• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH SYARIAT ISLAM DI ACEH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH SYARIAT ISLAM DI ACEH"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH SYARIAT ISLAM DI ACEH

BAB I

PENGERTIAN DAN PELAKSANAAN

SYARIAT ISLAM DI ACEH

A. PENGERTIAN SYARI’AT ISLAM

Secara etimologis, syariat islam terdiri dari dua kata, syariat artinya hukum agama dan islam artinya agama yang diajarkan oleh nabi muhammad SAW, berpedoman pada kitab suci al-quran, yang diturunkan kedunia melalui wahyu Allah SWT.

Dapat disimpulkan bahwa Syariat islam adalah Ajaran islam yang berpedoman pada kitab suci al-qur’an. Jadi pengertian tersebut harus bersumber dan berdasarkan kitab suci al-qur’an, pandangan normative dari syariat islam harus bersumber dari nilai-nilai dan kaidah-kaidah yang tercantum dalam al-qur’an. Al-qur’an lah yang menjadi pangkal tolak dari segala pemahaman

tentang syari’at islam. Kerangka dasar ajaran islam adalah akidah,

syar’iyah dan akhlak.Ketiganya bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan yang bersumber

pada tauhid, sebagai inti akhidah yang kemudian melahirkansyar’iyah, sebagai jalan berupa

ibadah dan muamalah, serta akhlak sebagai tingkah laku baik kepada Allah SWT maupun kepada makhluk ciptaan-Nya yang lain.

Menurut M. Daud Ali, Syariat adalah jalan yang harus ditempuh, dalam arti teknis, syariat adalah seperangkat norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lain dalam kehidupan social, hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan hidupnya.

Akhlak adalah peringai atau tingkah laku yang berkenaan dengan sikap manusia, terbagi atas akhlak terhadap Allah SWT dan terhadap sesama makhluk. Akhlak terhadap sesama makhluk terbagi atas akhlak terhadap manusia, yakni diri sendiri, keluarga, dan masyarakat, serta akhlak terhadap makhluk bukan manusia yang ada di sekitar lingkungan hidup, yakni tumbuh-tumbuhan, hewan, bumi, air, serta udara.

(2)

benda dan alam lingkungan hidupnya. Syariat islam ini berlaku bagi hamba-Nya yang berakal, sehat, dan telah menginjak usia baligh atau dewasa. (dimana sudah mengerti/memahami segala masalah yang dihadapinya). Tanda baligh atau dewasa bagi anak laki-laki, yaitu apabila telah bermimpi bersetubuh dengan lawan jenisnya, sedangkan bagi anak wanita adalah jika sudah mengalami datang bulan (menstruasi).

Bagi orang yang mengaku Islam, keharusan mematuhi peraturan ini diterangkan dalam firman Allah SWT. "kemudian Kami jadikan engkau (Muhammad) mengikuti syariat (peraturan) dari agama itu, maka ikutilah syariat itu, dan janganlah engkau ikuti keinginan orang-orang yang tidak mengetahui." (QS. 45/211-Jatsiyah: 18).

B. SYARIAT ISLAM DAN QANUN

Syari’at Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan.Pelaksanaan Syari’at Islam diatur dalam Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam(Dinas Syari’at Islam,2009: 257). Adapun aspek-aspek pelaksanaan Syari’at Islam adalah seperti terdapat dalam Perda Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam. Bab IV Pasal 5 ayat 2, yaitu: Aqidah, Ibadah, Muamalah, Akhlak, Pendidikan dandakwah Islamiyah/amar makruf anhi munkar, Baitulmal, kemasyarakatan, Syiar Islam, Pembelaan Islam, Qadha, Jinayat, Munakahat, dan Mawaris.

Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh,didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pelaksanaan Syari’at Islamdi Aceh telah diatur dalam Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, pasal 31 disebutkan:

1. Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkan

dengan Peraturan Pemerintah.

2. Ketentuan Pelaksanaan undang-unang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi

(3)

Darussalam.Peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang berkaitandengan kewenangan pemerintah pusat akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

C. TUJUAN SYARI’AT ISLAM

Tujuan Allah SWT merumuskan hukum islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia,

baik didunia maupun di akhirat. Tujuan dimaksud hendak dicapai melalui taklif.

Taklif itu baru dapat dilaksanakan bila memahami sumber hukum islam, kemudian

tujuan itu tidak akan tercapai kecuali dengan keluarnya seseorang dari diperbudak oleh hawa nafsunya, menjadi hamba Allah dalam arti tunduk keada-Nya. Salah satu ayat al-quran yang menunjukkan pernyataan bahwa tujuan hukum islam adalah untuk kemaslahatan umat manusia yaitu surat al-anbiya ayat 107 yang berbunyi: ”dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.

Untuk mewujudkan kemaslahatan ada lima hal pokok yang harus diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, nyawa, akal,keturunan, dan harta. Lima masalah pokok ini wajib dipelihara oleh setiap manusia. Untuk itu, didatangkan hukum islam berupa perintah, larangan, dan keijinan yang harus dipatuhi oleh setiap mukallaf.

(4)

D. PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM di ACEH

Dalam perjalanan Syariat Islam di Aceh, jika dibandingkan dengan daerah lain di Indonesia, maka Aceh memiliki keunikan karena masyarakatnya mampu menyerap budaya dan menyesuaikan diri. Dalam konsiderans UU no. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Contohnya, para ulama di Aceh mendapatkan tempat yang istimewa dalam hal memberikan pandangan-pandangan, saran-saran, dan masukan-masukan untuk menetapkan suatu kebijakan. Hal tersebut tidak didapatkan para ulama di daerah lain. Contoh lain, para ulama Aceh sejak abad ke-17 telah dapat menerima dan bahkan mendorong kehadiran perempuan dalam ranah kegiatan publik, seperti menjadi anggota Dewan PerwakilanRakyat, hakim pada mahkamah, panglima perang, sampai menjadi kepala negara (Sultan), yang di banyak tempat dianggap sebagai tidak sejalan dengan ajaran Islam.

Aceh dapat dikatakan sebagai daerah yang memiliki pengalaman sejarah seperti yang telah disebutkan di atas dalam penyesuaiannya sudah relatif sangat lentur dengan budaya lokal dan dapat menjadi tempat untuk pelaksanaan Syariat Islam secara kaffah. Senada dengan hal tersebut, Daud Rasyid mengatakan bahwa Aceh seharusnya menjadi pilot project bagi perjuangan Syariat.

Menurut Rusdi Ali Muhammad dalam pidato pengukuhan Guru Besar Rektor UIN Ar-Raniry Banda Aceh bahwa kurangnya pemahaman terhadap Al-Qur’an akan membawa kepada pola penalaran yang tidak memiliki semangat universalitas, fleksibilitas, kering akan nuansa sosiologis dan bahkan akan menyulitkan penerapan Syariat Islam dalam kehidupan manusia. Padahal hakekat keberadaan Syariat Islam adalah membawa kemaslahatan bagi manusia baik di dunia maupun di akhirat.

BAB II

SEJARAH SYARIAT ISLAM DI ACEH

A. SEJARAH PENERAPAN SYARIAT ISLAM DI ACEH.

(5)

Kerajaan Aceh mencapai gemilang masa pemerintahan iskandar muda (1607-1636). Salah satu usaha beliau adalah meneruskan perjuangan sultan sebelumnya untuk melawan kekuasaan portugis yang sangat membenci islam. Dia juga mendorong penyebaran agama islam keluar kerajaan Aceh, seperti malaka dan pantai barat pulau sumatera. (Zakaria Ahmad, 1973:20-22).

Peradilan islam dibentuk untuk mengatur tatanan hokum yang di atur oleh ulama. Pengadilan diberikan kewenangan sepenuhnya untuk mengatur jalan roda hokum tanpa meminta persetujuan pihak atasan, peranan Qadhi malikul Adil (hakim agung kesultanan) di pusat kerajaan Aceh memiliki kewenangan seperti Mahkamah Agung sekarang ini.

Setiap kawasan ada Qadhi ulee baling yang memutuskan perkara di daerah tersebut. Jika ingin mengajukan banding diteruskan pada Qadli Maliku Adil. Kedua Qadhi ini diangkat dari kalangan ulama yang cakap dan berwibawa.

Sultan Aceh merupakan pelindung ajaran islam sehingga banyak ulama dating ke Aceh. Pada masa itu hidup ulama seperti Hamzah fansuri, Syamsuddin As-samathrani dan syekh Ibrahim as-syami. Pada masa iskandar thani (1636-1641) dating Nuruddin arraniri. Pada tahun 1603, bukhari al jauhari mengarang buku tajussalatih (mahkota raja-raja), sebuah buku yang membahas tata Negara yang berpedoman pada syariat islam ( zakaria ahmad, 1973: 22).

Di bawah perintah sultan juga ditulis buku mit’at-uttullah karangan syekh abdurra’uf disusun pada masa pemerintahan sultanah safiattuddin syah ( 1641-1675 ), dan buku safinat-ulhukkamyi takhlish khashham karangan syekh jalaluddin at-tarussani disusun masa pemerintahan sultan alaiddin johansyah (1732-1760). Buku ini ditulis sebagai pegangan hakim dalam menyelesaikan perkara yang berlaku di seluruh wilayah di seluruh kerajaan Aceh sendiri dan di seluruh rantau takluknya. Kedua buku ini bersumber pada buku-buku fiqih bermazhab syafi’i.

Hukum berlaku untuk setiap lapisan masyarakat termasuk kaum bangsawan dan kerabat raja. Dari cerita mulut ke mulut iskandar muda menjatuhkan hukuman rajam kepada anak kandungnya sendiri karena terbukti berzina dengan salah seorang isteri bangsawan di lingkungan istana. Raja ling eke XIV masa sultan ala’uddin ri’ayatsyah-al qahhar (1537-1571) di jatuhi hukuman oleh qadli malikul adil untuk membayar 100 ekor kerbau kepada keluarga adik tirinya yang dia bunuh dengan sengaja ( al yasa’ abu bakar, 2006:389-390)

Masa Aceh di bawah tampuk kerajaan masa dulu sudah di terapkan syariat islam,buktinya adalah:

A. datangnya ulama-ulama besar, berarti kebutuhan dan penghargaan terhadap ulama masa itu

(6)

B. Di bentuknya peradilan islam yang di atur oleh ulama tanpa campur tangan penguasa, ada

keleluasaan untuk menjalankan hukum syariah.

C. Pengadilan di buat sistematis, dari tingkat daerah hingga pusat. Masalah yang tidak selesai di

tingkat daerah( qadhi ulee baling) diteruskan ke mahkamah yang lebih tinggi (qadhi malikul adil).

D. Jika kisah iskandar muda yang menghukum anaknya berzina adanya, berarti hukum rajam bagi

pelaku zina sudah diberlakukan pada saat itu.

2. Masa awal kemerdekaan Indonesia dan orde baru.

Ketika kemerdekaan Indonesia di deklarasikan soekarno pada 17 agustus 1945, aceh belum menjadi bagian dari NKRI. Kesediaan bergabung dalam wilayah RI karena adanya janji soekarno yang ingin memberikan kebebasan untuk mengurus diri sendiri termasuk pelaksanaan syariat islam. Janji itu terucap pada tahun 1948, bung karno dating ke aceh mencari dukungan moril dan materil bagi perjuangan bangsa Indonesia melawan belanda. Kebebasan melaksakan syariat merupakan imbalan jika bangsa Aceh bersedia memberikan bantuan.

Gayung pun bersambut. Di bawah komando daud beureueh berhasil terkumpul dana sebanyak 500.000 dolar AS. Untuk membiayai ABRI 250.000 dolar,50.000 dolar untuk perkantoran pemerintahan,100.000 dolar untuk biaya pengembalian pemerintahan RI dari Yogya ke Jakarta. Bangsa Aceh juga menyumbang emas lantakan untuk membelia oblogasi pemerintahan dan dua pesawat terbang, selawah agam dan selawah dara.

Janji yang di lontarkan sang presiden RI di wujudkan malah provinsi Aceh di satukan dengan provinsi sumatera utara tahun 1951. Hak mengurus wilayah sendiri dicabut. Rumah rakyat,dayah,menasah yang hancur porak-porandaakibat peperangan melawam Belanda dibiarkan begitu saja. Dari sinilah daud beureueh menggulirkan ide pembentukan Negara islam Indonesia( DII ), april 1953 dia bergerilya ke hutan. Namun pada tahun 1962 bersedia menyerah karena di janjikan akan di buatkan UU syariat Islam bagi rakyat Aceh (majalah Era Muslim “untold history”. ] 30 September 2009 jam 22:35)

Setelah itu di berikan otonomi khusus untuk menjalankan proses keagamaan, peradatan dan pendidikan namun pelaksanaan syariat islam masih sebatas yang di izinkan pemerintah pusat. Hal itu tertuang dalam keputusan penguasa perang (panglima militer 1 Aceh/ iskandar muda, colonel M.Jasin) no KPTS/PEPERDA-061/3/1962 tentang kebijaksanaan unsure-unsur syariat agama islam bagi pemeluknya di Daerah Istimewa Aceh yang berbunyi :

(7)

Kedua: penertiban pelaksanaan arti dan maksud ayat pertama di serahkan sepenuhnya kepada pemerintah Daerah Istimewa Aceh. (al yasa Abu Bakar, 2006:33).

Pada tahun 1966 orde baru yang berkuasa, di sahkan peraturan daerah nomor 1 tahun 1966 tentang pedoman dasar majelis permusyawaratan ulama. Fungsi majelis ini adalah sebagai lembaga pemersatu umat, sebagai penasehat pemerintah daerah dalam bidang keagamaan dan sebagai lembaga fatwa yang akan memberikan pedoman kepada umat islam dalam hidup keseharian dan keagamaanya.

Langkah untuk mewujudkan syariat islam melalui PERDA yang mengatur rambu-rambu pelaksanaan stariat islam di Aceh ditempuh dengan membuat panitia khusus yang terdiri dari cendekiawan dan ulama di luar DPRD. Rancangan ini disahkan DPRD menjadi peraturan daerah nomor 6 tahun 1968 tentang pelaksanaan unsure syariat islam Daerah Istimewa Aceh. Ketika peraturan daerah ini di ajukan kedepartemen dalam negeri untuk mengesahkan namun di tolak dan secara halus (tidak resmi) meminta DPRD dan PEMDA Aceh mencabut PERDA tersebut.

Tahun 1974 pemerintah mengesahkan undang-undang tentang pokok pemerintahan didaerah yang antara lain menyatakan bahwa sebutan Daerah Istimewa Aceh hanyalah sekedar nama, peraturan sama dengan daerah lain. Syariat islam yang berlaku di tingkat gampong dig anti dengan undang-undang no:5 tahun 1979 tentang pemerintahan desa ( alyasa abu bakar, 2006:31-39)

Tidak ada penerapan syariat islam sama sekali baik pada masa orde lama maupun orde baru. Syariat islam Cuma senjata politik untuk memuluskan rencana penguasa.

Periode orde lama, soekarno menggunakan janji keleluasaan penerapan syriat islam untuk mencari dukungan dari pemimpin Aceh, Abu Beureueh dan berhasil. Saat janji yang tak pernah di tepati itu ditagih melalui perlawanan bersenjata, kembali jurus syariat islam yang di pergunakan dan sekali lagi berhasil. Beberapa PERDA yang mengatur tata pelaksanaan syariat namun sebatas yang di bolehkan penguasa. Masa orde lama pun tak jauh beda. Syariat islam Cuma sekedar usaha penguatan kedudukan di mata masyarakat yang sudah hilang kesabaran menanti janji pemerintah. Setelah kepercayaan masyarakat tumbuh malah syariat islam yang di laksnakan turun-temurun tingkat desa malah di hapuskan dan di ganti dengan peraturan yang berlaku di seluruh Indonesia.

3. Syariat islam era otonomi khusus (sekarang).

(8)

Istilah kaffah digunakan karena Negara akan melibatkan diri dalam pelaksanaan syariat islam di Aceh. Membuat hukum positif yang sejalan dengan syariat, merumuskan kurikulum yang islami, dan masalah-maslah lain yang berkaitan dengan syariat.

Dasar hukum pelaksanaan syariat islam di Aceh adalah diundangkan UU no 44 tahun 1999 dan UU no 18 tahun 2001. Dalam undang-undang nomor 44 syariat islam didefinisikan sebagai semua aspek ajaran islam. Dalam undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah akan melaksanakan syariat islam yang di tuangkan ke dalam qanun terlebih dahulu. Qanun adalah peraturan yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya di Aceh ( al yasa abu bakar, 2004:61).

Pelaksanaan syariat islam secara kaffah mempunyai beberapa tujuan , di antaranya yaitu:

1. Alas an agama: pelaksanaan syariat islam merupakan perintah agama untuk dapat menjadi

muslim yang lebih baik,sempurna, lebih dekat dengan ALLAH.

2. Alas an psikologis: masyarakat akan merasa aman dan tenteram karena apa yang mereka jalani

dalam pendidikan, dalam kehidupan sehari-hari sesuai dan sejalan dengan kesadaran dan kata hati mereka sendiri.

3. Alasan hukum: masyarakat akan hidup dalam tata aturan yang lebih sesuai dengasn kesadaran

hukum, rasa keadilan dan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat.

4. Alas an ekonomi dan kesejahteraan sosial: bahwa nilai tambah pada kegiatan ekonomi, serta

kesetiakawanan sosial dalam bentuk tolong menolong, baik untuk kegiatan ekonomi atau kegiatan sosial akan lebih mudah terbentuk dan lebih solid.

B. LEMBAGA YANG TERKAIT PENERAPAN SYARIAT ISLAM.

a. Dinas syariat islam.

b. Majelis permusyawaratan ulama (MPU) c. Wilayatul hisbah (WH)

C. SISTEM PENYUSUNAN HUKUM SYARIAT ISLAM DI NAD

Syariat islam yang akan menjadi hukum materil dituliskan dalam bentuk qanun terlebih dahulu, untuk mencegah kesimpangsiuran. Penerapan hukum jika hakim mengambil langsung dari buku-buku fikih dan berijtihad sendiri dari al-quran dan sunnah rasul.

Sebelum terbentuknya qanun terlebih dahulu di buat rancangan oleh sebuah team untuk disosialisasikan kepada masyarakat untuk memperoleh masukan dan tanggapan. Setelah itu dilakukan konsultasi antara DPRD dengan MPU.

Hukuman cambuk

(9)

a. Terhukum dalam kondisi sehat.

b. Pencambuk adalah wilayatul hisbah yang di tunjuk jaksa penuntut umum.

c. Cambuk yang digunakan adalah rotan dengan diameter 0.75 s/d 1.00 cm.

d. Jarak pencambuk dengan terhukum kira-kira 70 cm.

e. Jarak pencambuk dengan orang yang menyaksikan paling dekat 10 meter.

f. Pencambukan di hentikan jika menyebabkan luka, di minta dokter atas pertimbangan medis, atau

terhukum melarikan diri.

g. Pencambukan akan dilanjutkan setelah terhukum dinyatakan sehat atau setelah terhukum

menyerahkan diri atau tertangkap.

BAB III

A. SEJARAH DINAMIKA PEMIKIRAN ISLAM

Sejarah pemikiran Islam selalu sejalan dengan perkembangan peradaban Islam, mulai dari masa Rasulullah sampai masa sekarang ini. Karena semua hasil pemikiran manusia adalah sebuah budaya dan menjadi sebuah peradaban. Oleh sebab itu dalam perjalanannya selama lebih dari 14 abad, pemikiran Islam mengalami perkembangan dan dinamika. Para ahli berbeda dalam membagi priodeisasi perkembangan pemikiran dan peradaban Islam. Khudhary Beyk, dalam karyanya membagi ke dalam enam periode, yaitu:

1. Periode Rasulullah saw.

2. Periode Sahabat Besar hingga berakhir masa Khulafaurrasyidin

3. Periode sahabat kecil hingga tabi’in yang berakhir pada akhir abad pertama Hijriah

4. Periode perkembangan pemikiran hukum Islam menjadi satu disiplin ilmu keIslaman yang

ditandai dengan lahirnya imam-imam mujtahid yang berakhir hingga abad ke 13 Hijriah

5. Periode perkembangan diskusi tentang pemikiran hukum Islam dan lahirnya penulis-penulis

besar yang berlangsung hingga kejatuhan Dinasti Bani Abbas 1258 M/756 H.

6. Periode taklid sejak runtuhnya Bani Abbasiyah.

Asaf A.A. Fyzee membagi perkembangan hukum Islam menjadi lima periode, yaitu:

1. Periode tahun pertama hijriah hingga wafatnya Rasulullah (10 Hijriah).

2. Periode khulafaurrasyidin (10-40 Hijriah)

3. Periode abad ke tiga Hijriah

4. Periode panjang kemunduran hukum Islam secara merata di dunia Islam hingga jatuhnya Dinasti

Usmani 1924 M.

5. Periode modern sejak kejatuhan Dinasti Usmani dimana hukum Islam kehilangan sanksi dan

hanya menjadi hukum moral.

Menurut Prof. Dr. Harun Nasution periodisasi sejarah peradaban Islam terbagi pada 3 periode:

1. Periode Klasik (650-1250 M)

Meliputi dua masa kemajuan yaitu masa Rasulullah SAW, Khulafaurrasyidin, Bani Umayyah, dan masa-masa permulaan Daulah Abbasiyah.

2. Periode Pertengahan (1250-1800 M.)

(10)

3. Peridoe Modern (1800- sekarang)

Pada periode ini umat Islam banyak belajar dari dunia Barat dalam rangka mengembalikan keseimbangan kekuatan antara barat dan dunia Islam. Dalam era ini Islam mulai bangkit kembali dengan melakukan pembaharuan (tajdid).

B. PERKEMBANGAN AWAL PEMIKIRAN ISLAM

Kajian modern tentang warisan intelektual Islam klasik umumnya berakhir dengan Ibn khaldun, kebetulan atau tidak, kenyataannya bahwa Dunia Islam, tidak seberapa lama sesudah kepergian pemikir besar itu, berada dalam hubungan yang tidak menguntukan dengan dunia luar Islam, khususnya Eropa barat. Kehebatan prestasi Ibn Khaldun dikontraskan dengan situasi Dunia Islam dalam konteks global yang kurang beruntung tersebut memang dapat menimbulkan kesan amat kuat tentang mendekatnya kegiatan Intelektual Umat sesudah pemikir besar itu.

C. MODE PEMIKIRAN ISLAM 1. Kelompok Neo-Tradisionalisme

Kelompok ini lebih cendrung kepada sufisme yang kental bercampur dengan filsafat. Mereka lahir dan berkembang setelah Perang Dunia II, F. Schuon, Hossein Nasr, Hamid Algar, Roger Garaudy, Martin Lings, Muhammad Naquib Al-Attas, barang kali dapat digolongkan kelompok ini. Kecuali Nasr dan Al-Attas yang memang berasal dari kultur Islam, yang lain adalah sarjana-sarjana barat yang menyebrang menjadi muslim setelah mereka dewasa.

2. Kelompok Modernis dan Penerusnya Neo-Modernis Islam

Tokoh-tokoh kelompok ini antara lain Al-Afghani, Muhammad Abduh, Ahmad Khan, Syibli, Nu’mani, Namik Kemal, H.Agus Salim, Muhammad Natsir, Buya Hamka, Fazlur Rahman dan Ali Syariati. Kelompok ini dikenal sebagai kelompok pembela ijdtihad sebagai metode utama untuk meretas kebekuan berfikir umat Islam. Mereka sadar sepenuhnya bahwa kejatuhan umat Islam sama sekali bukan karena agamanya, tapi semata-mata karena keasalah pahaman dan ketidak cerdasan meraka dalam membaca ajaran Islam.

3. Kelompok Sekularis atau Islam Liberal

Tokoh-tokoh utama kelompok ini, diantaranya adalah Ali Abd Raziq, Kemal Atturk, Sukarno, Bassam Tibi, Abdullah Laroui, Detlev H. Khalid. Mungkin juga Abu Kalam Azad dapat pula dimasukkan dalam kelompok ini. Atribut sekularis disini hendaklah dibatsi dalam pandangan mereka tentang hubungan Islam dan politik. Bagi mereka, agama (termasuk Islam) harus dipisahkan menjadi sistem etika belaka. Bassam Tibi, misalnya, melalui karya-karyanya dalam bahasa Jerman (sebagian telah diterjemahkan kedalam bahasa Inggris), telah mengangkat kembali masalah hubungan Islam dengan kekuasaan.

4. Kelompok Post Tradisionalisme

(11)

Karena muatan politik begitu menyarati pemikiran kelompok ini, maka formulasi Islamnya tidak jarang terlalu dicoraki oleh ekspediensi politik semasa. Maka tidaklah mengherankan kalau fondasi intelektualismenya sulit sekali mencapai kestabilan. Dengan cara ini, rona wajah Islam akan sangat ditentukan oleh penafsiran mereka terhadap fluktuasi politik dari masa kemasa.

D. FARIASI PEMIKIRAN ISLAM

1. Bidang Kalam (Teologi)

Munculnya teologi pada pertengahan abad kedelapan merupakan hasil dari suatu semangat penyelidikan baru yang dikobarkan dalam dunia muslim oleh perkenalan dengan filsafatYunani. Namun dalam beberapa hal interaksi antara filsafat dan dogma menghasilkan suatu perpecahan antara keduanya.

2. Bidang Fiqih

Bidang fiqih atau lebih dikenal dengan syariat mempunyai perkembangan fiqih pada masa itu merupakan pemahaman ilmu agama secara keseluruhan, termasuk tauhid, akhlak, dan hukum tanpa ada pemisahan pemahaman. .

BAB IV

POKOK PEMBAHASAN DAN JINAYAT

A. POKOK – POKOK PEMBAHASAN SYARIAT ISLAM

Syariat Islam adalah tuntunan ajaran Islam dalam semua aspek kehidupan. Pelaksanaan syariat Islam diatur dalam peraturan Daerah Istimewa Aceh tahun 2000 tentang pelaksanaan syariat islam (Dinas syariat islam 2009: 257). Adapun aspek-aspek pelaksanaan syariat islam adalah seperti terdapat dalam perda Daerah Istimewa Aceh nomor 5 tahun 2000

tentang pelaksanaan Syariat Islam. Bab IV pasal 5 ayat 2, yaitu: aqidah, ibadah, muamalah,

akhlak, pendidikan dan dakwah islamiyah/amar makruf nahi mungkar, baitul mal, kemasyarakatan syiar islam, pembelaan islam, Qadha,jinayah, munakahat, dan mawaris

Pengertian pokok-pokok syariat Islam tersebut di atas adalah sebagai berikut :

1. Aqidah adalah aqidah ahlussunah wal jamaah berdasarkan Alquran dan Hadis yang menjadi

keyakinan keagamaan yang dianut oleh seseorang dan menjadi landasan segala bentuk aktifitas, sikap, pandangan, dan pegangan hidupnya.

Setiap orang berkewajiban untuk menjaga dan memelihara aqidah dari pengaruh paham atau aliran sesat .setiap orang juga di larang untuk menyebarkan paham atau aliran sesat,barang siapa yang menyebarkan suatu paham atau aliran sesat maka akan dihukum dengan ta’zir berupa hukuman penjara paling lama 2 tahun atau hukuman cambuk di depan umum paling anyak 12 kali.

2. Ibadah adalah perendahan diri kepada Allah yang dilandasi rasa cinta dan pengagungan dengan

cara melaksanakan perintah-perintahNya dan menjauhi larangan-laranganNya sebagaimana yang dituntun dalam syariatNya.

(12)

3. Muamalah adalah ketentuan hukum tentang kebendaan dan hak-hak atas benda, tata hubungan

manusia dalam masalah jual beli, sewa menyewa, pinjam meminjam, transaksi (ijab qabul), perserikatan dan segala jenis usaha perekonomian.

4. Baitul Mal Aceh adalah Lembaga Daerah Non Struktural yang dalam melaksanakan tugasnya

bersifat independen sesuai dengan ketentuan syariat, dan bertanggung jawab kepada Gubernur. 5. Munakahat adalah akad yang menghalalkan hubungan laki-laki dan perempuan dalam ikatan

suami istri.

6. Mawaris adalah ketentuan tentang pembagian harta pusaka, orang yang berhak menerima waris

serta jumlahnya.

7. Syi'ar Islam adalah semua kegiatan yang mengandung nilai-nilai ibadah untuk menyemarakkan

dan mengagungkan pelaksanaan ajaran Islam.

Salah satu cara penyelenggaraan syi’ar Islam ialah dengan adanya peraturan wajib berbusana muslim. setiap orang Islam wajib berbusana Islami, pimpinan instansi pemerintah, lembaga pendidikan, badan usaha dan atau institusi masyarkat wajib membudayakan busana Islami di langkungannya.barang siapa tidak berbusana yang Islami maka akan dipidna dengan hukuman ta’zir setelah melalui proses peringatan dan pembinaan oleh wilayatul hisbah.

8. Akhlak adalah prilaku dan tata pergaulan hidup sehari- hari umat muslim yang menetap kuat

dalam jiwa seseorang dan merupakan sumber timbulnya perbuatan-perbuatan tertentu dari dirinya secara mudah dan ringan tanpa perlu dipikirkan atau direncanakan sebelumnya.

9. Tarbiyah (pendidikan) adalah sistem pendidikan yang berdasarkan nilai-nilai syariat Islam untuk

membentuk kepribadian muslim yang shalih dan mushlih.

10. Dakwah islamiyah adalah semua kegiatan yang mengajak orang lain untuk berbuat kepada

kebaikan dan melarang berbuat kejahatan atau amar ma'ruf nahi mungkar.

B. Jinayat

Secara teoritis, jinayat atau hukum pidana Islam didefinisikan sebagai hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang dilarang yang lazimnya disebut dengan

jarimahatau tindak pidana dan ancaman hukumannya(uqubah). Uqubah adalah pembalasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan masyarakat karena adanya pelanggaran atas

ketentuan-ketentuan syara’.dalam hukum pidana Islam dikenal tiga macam ketentuan-ketentuan pidana yaituhudud,

qishash/diyat, dan ta’zir.

1. Hudud

Hudud atau alhudud adalah bentuk jamak dari kata hadd yang berarti batas, rintangan, halangan dan pagar. Dalam Al-qur’an, hudud sering kali diartikan sebagai hukum atau ketetapan Allah SWT. Dalam ilmu fiqh, hudud atau hadd ialah hukuman atas perbuatan pidana tertentu(jarimah hudud) yang jenis dan bentuk hukumannya telah ditentukan syar’i .yang termasuk ke dalam hudud adalah sebagai berikut :

a. Zina ,adalah hubungan seksual antara seorang laki-laki dengan perempuan diluar akad

nikah. hukuman bagi pezina ghairu muhsan ialah dicambuk seratus kali.

b. Qadhaf ,adalah tuduhan berzina terhadap seseorang tanpa menghadirkan saksi yang memenuhi

syarat. Hukuman bagi penuduh zina ini aalah didera delapan puluh kali.

c. Pencurian (sariqa), seseorang yang secara sengaja diam-diam mencuri harta orang lain . si

pencuri dikenakan had potong tangan.

d. Perampokan(qat’ul al thariq), merupakan suatu perbuatan yang sangat di benci dalam Islam

karena dapat merusak keamanan masyarakat. Pemberontakan(al-bughyi), suatu perbuatan yang berusaha untuk menghancurkan negara islam dan imamnya yang adil dengan tujuan menjadikan negara tersebut sebagai negara kafir.orang-orang atau kelompok yang melakukan pemberontakan

(13)

e. Al riddah atau murtad,berarti keluar dari agama Islam . hukumannya tidak disebutkan secara

jelas.

f. Minum khamar(syurb),merupakan salah satu kesalahan jinayah dalam Islam .hukumannya

biasanya ialah disebat dengan tali atau di cambuk.

2. Qishash

Qishash merupakan suatu ketentuan Allah yang berkenaan dengan pembunuhan sengaja dimana pelakunya dikenakan hukuman mati.akan tetapi keluarga si korban dapat menurunkan

hukuman mati menjadi hukuman denda atau diyat.diyat ialah denda yang harus di bayarkan oleh

seseorang dikarenakan telah melakukan pembunuhan, jumhur ulama sepakat bahwa jumlah diyat

yang harus dibayarkan kepada keluarga terbunuh ialah 100 ekor unta. qisash/diyat, meliputi :

pembunuhan dan penganiayaan.

3. Ta’zir yaitu hukuman yang dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran syariat selain

hudud dan qishash/diyat.ta’zir adalah perbuatan pidana yang jenis dan hukumannya tidak ditentukan lebih dahulu dalam nash. Seperti: maisir (perjudian), penipuan, pemalsuan, khalwat(mesum),dan meniggalkan salat fardhu dan puasa Ramadhan.

a. Maisir atau perjudian, Pada tanggal 15 juli 2003,Gubernur provinsi NAD mengesahkan qanun

provinsi nomor 13 tentang maisir dengan persetujuan DPRD Provinsi NAD . khasus pertama yang sampai ke pengadilan terjadi di Aceh Tenggara , di ajukan ke mahkamah syariah Kutacane serta diputuskan tanggal 19 Januari dengan putusan nomor:01/JN.S/2005/MSY-KC.

b. Khalwat/mesum, adalah perbuatan yang dilakukan oleh dua orang yang berlawanan jenis atau

lebih, tanpa ikatan nikah atau bukan muhrim pada tempat tertentu yantg sepi yang memungkinkan terjadinya perbuatan maksiat di bidang seksual atau yang berpeluang pada terjadinya perbuatan perzinaan .

C. Petunjuk Pelaksanaan Uqubat Cambuk

Pelaksanaan uqubat cambuk dilakukan dengan semena-mena, akan tetapi ada cara-cara tertentu yang harus dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan. Diantaranya adalah :

 Uqubat cambuk dilakukan di suatu tempat terbuka yang dapat disaksikan oleh banyak orang

 Pencambukan dilakukan pada bagian punggung(bahu sampai pinggul) terhukum

 Sebelum pelaksanaan pencambukan terhukum diperiksa kesehatannya terlebih dahulu

 Apabila kondisi kesehatan terhukum menurut hasil pemeriksaan dokter tidak dapat menjalani

uqubat cambuk, maka pelqksanaan pencambukan ditunda sampai yang bersangkutan donyatakan sehat untuk menjalani uqubat cambuk.

 Cambuk dilakukan oleh seorang pencambuk dengan memakai penutup wajah yang terbuat dari

kain

 Pada saat pencambukan,terhukum mengenakan pakaian tipis yang menutup aurat yang telah

disedikan

 Posisi terhukum pada saat pencambukan dalam kondisi berdiri bagi laki-laki dan posisi duduk

bagi perempuan

Pencambukan akan dihentikan, apabila: a. Terhukum terluka akibat pencambukan

b. Diperintahkan oleh Dokter yang bertugas berdasarkan pertimbangan medis

c. Terhukum melarikan diri dari tempat pencambukan sebelum hukuman cambuk selesai

(14)

BAB V

QANUN, EKSITENSI DAN ESENSI SYARIAT ISLAM DI ACEH

A. DEFINISI QANUN

Kata Qanun berasal dari bahasa Arab yang berarti Undang-Undang. Qanun dapat juga bermakna kumpulan materi hukum yang tersusun secara sistematis dalam suatu lembaga yang dikenal dengan Undang-Undang. Jadi, Qanun adalah hukum materil yang menghimpun ketentuan-ketentuan pidana.

Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksana undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam penyelenggaraan otonomi kuhus (pasal 1 ayat (8) Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001). Dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa isi muatan Qanun hanya mengatur ketentuan-ketentuan yang bersifat delegasi suatu Undang-undang dalam rangka pelaksanaan otonomi khusus. Dengan kata lain, Qanun hanya dapat mengatur atas dasar pendelegasian suatu ketentuan undang-undang dalam penyelenggaraan otonomi khusus.

B. QANUN SYARIAT ISLAM DI ACEH

Lima Qanun yang berhubungan langsung dengan pelaksanaan syariat islam di Aceh. Yaitu :

1. PERDA No. 5 tahun 2000. Peraturan tersebut masih disebut sebagai PERDA, seperti di provinsi

lainnya, sebelum kemudian disebut sebagai Qanun semenjak UU otonomi khusus disahkan pada tahun 2001.

PERDA tersebut menyebutkan bahwa seluruh elemen pelaksanaan syariat islam akan dilaksanakan termasuk didalamnya hal-hal yang berhuungan dengan aqidah, ibadah, mua’amalah, akhlak, pembelaan islam, qadha, pendidikan, masalah perdata dan pidana, dan perayaan hari besar islam, pendidikan dan dakwah, dan baitulmal. Peraturan tersebut juga menyiapkan/mengatur sebuah lembaga pengawas pelaksanaan syariat islam di masyarakat, yang kemudian disebut dengan Wilayatul Hisbah (WH).

2. Qanun yang kedua berhubungan langsung dengan pelaksanaan syariat islam adalah qanun No.

10 tahun 2002tentang pembentukan makahma syar’iyah yang kewenangannya tidak hanya

sebatas permasalahan keluarga dan perwarisan. Kewenangan lebih luas yang diberikan ke sistem pengadilan yang baru di Indonesia ini adalah kewenangan terhadap kriminal (jinayah).

Hukum jinayah tersebut di bagi ke dalam 3 kategori, yaitu :

1) Hudud, yaitu yang mengatur permasalahan zina, pemerkosaan dan kejahatn lainnya yang disebutkan dalam al-quran seperti mencuri, minum-minumn barakohol, murtad, dan pemberontakan.

2) Qishas dan Diyat, yaitu yang mencakup kejahatan pembunuhan dan pemukulan dimana pelaku di hukum dengan cara yang sama, pembunuh akan dibunuh atau pelaku pemukulan dihukum dengan pukulan atau denagn memberikan kompensasi setelah pelaku dimaafkan oleh sepupu atau saudara korban.

3) Ta’zir. Yaitu yang mencakup perjudian, penipuan, pemalsuan dokumeen, hubungan yang tidak

(15)

3. Qanun yang ketiga adalah No. 11 tahun 20026 tentang pelaksanaan syariat islam dalam bidang

aqidah, ibadah, dan penerapan simbo-simbol islam.

4. Qanun keempat yang mengatur langsung pelaksanaan syariat islam adalah qanun No. 12 tahun

2003 tentang khamar.yang melarang semua jenis minuman yang dapat mengganggu kesehatan,

kesadaran, dan pikiran.

5. Qanun kelima adalah qanun No. 7 tahun 2004 tentang manajemen zakat.

Qanun tersebut memberikan mandate pembentukan baitul mal, yang diatur untuk dapat menerima/menyimpan denda dari para pelanggar syariat Islam.

C. EKSITENSI SYARIAT ISLAM DI ACEH

Eksistensi Syariat Islam di Aceh dikarenakan dalam sejarahnya yang cukup panjang, masyarakat Aceh telah menjadikan Islam sebagai pedoman hidupnya. Islam telah menjadi bagian dari kehidupan mereka dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Masyarakat Aceh amat tunduk dan taat kepada ajaran Islam serta memperhatikan fatwa ulama karena ulamalah yang menjadi ahli waris Nabi. Penghayatan terhadap ajaran Islam kemudian melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat. Adat tersebut lahir dari renungan para ulama, kemudian dipraktekkan, dikembangkan, dan dilestarikan dalam kehidupan masyarakat (hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat), yang kemudian diakumulasikan lalu

disimpulkan menjadi “Adat bak Poteumourehom, Hukom bak Syiah Kuala Qanun bak Putro

Phang, Reusam bak Laksamana”, yang artinya “Hukum adat di tangan pemerintah dan hukum syariat ada di tangan ulama”. Ungkapan ini merupakan pencerminan dari perwujudan Syariat Islam dalam praktek hidup sehari-hari bagi masyarakat Aceh. Kemudian Aceh dikenal sebagai Serambih Mekkah karena dari wilayah paling barat inilah, kaum muslimin dari wilayah lain di Nusantara berangkat ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima. Untuk itu, maka perlu dibentuknya suatu dinas yang bertugas melaksanakan penyelenggaraan Syariat Islam dalam suatu susunan organisasi dan tata kerja Dinas Syariat Islam.

D. ESENSI SYARIAT ISLAM DI ACEH

syariat Islam bukanlah hal baru, karena sejatinya masyarakat Aceh telah menerapkan syariat Islam sejak Islam pertama sekali masuk dan berkembang di Aceh. Syariat Islam sudah diterapkan sejak Aceh masih dalam bentuk kerajaan. Dalam penerapannya Ulama merupakan ujung tombak pelaksanaan hukum tanpa harus meminta persetujuan dari penguasa.. Masyarakat Aceh sangat menjunjung tinggi ajaran agama Islam, teguh dalam aqidah dan taat menjalankan Syariat Islam. Penerapan Syariat Islam tersebut berlandaskan pada hukum Al-Qur’an dan Hadist yang telah mengatur segala aspek dari hal-hal yang telah diwajibkan dan dilarang Allah SWT. seperti kewajiban dalam aspek beribadah, beraqidah, berakhlaktul-karimah, membela Islam jika terdapat individu atau sekelompok individu melecehkan agama Islam. Adapun larangannya seperti berzina, berjudi, membunuh, minum-minuman keras, mencuri, yang bagi pelanggarnya mendapatkan hukuman sesuai dengan perbuatannya atau di denda seperti hukuman rajam bagi pelaku zina dan denda dengan membayar diyat oleh pelaku pembunuhan.

(16)

BAB VI

PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH

A. PILAR PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM

Untuk mempercepat pelaksanaan syariat Islam Prof.Dr.Al-yasa Abu Bakar,M.A sebagai kepala dinas Syariat Islam pertama bersama Kabag Litbang dan program Dinas Syariat Islam yaitu Drs.M.Saleh Suhaidi (Alm) membuat program Lima sasaran utama pelaksanaan syariat islam di Aceh. Lima Pilar Pelaksanaan Syariat Islam adalah :

1. MenghidupkanMeunasah

2. Pemberdayaan Zakat

3. Lingkungan Kantor danSekolah yang Islami

4. PengawasanPelaksanaanSyariat Islam, dan

5. PerluasanKewenanganMahkamahSyar’iyah

1. Menghidupkan meunasah

Dalam kehidupan masyarakat Aceh, sebagai salah satu landasan pilar budaya,terdapat satu lembaga yang di namakan dengan meunasah,sebagai simbol masyarakat Aceh. pada setiap kampung atau lingkungan yang berdekatan senantiasa dijumpai uatu bangunan meunasah yang bentuknya sama dengan rumah kediaman biasa. Namun tanpa dilengkapi dengan jendela,lorong,atau sekatan-sekatan. Bentuk dan kondisi meunasah semacam itu pada kurun sekarang ini mungkin sudah sedikit dan kondisi sudah jauh berbeda mengikuti arus kemajuan zaman.

2. Pemberdayaan zakat

Wujud dari pemberdayaan zakat adalah terbentuknya Baitul mal pada tingkat Kampung,Kabupaten/Kota dan Provinsi. Sumber zakat pada tingkat kampung di fokuskan pada hasil pertanian kampung dan usaha-usaha pada tingkat kampung, sedang sumber zakat Baitul mal Kabupaten adalah dari hasil perdagangan dan usaha pada tingkat Kabupaten/Kota. Dan untuk sumber zakat Baitul mal Provinsi adalah dari perusahaan yang bergerak pada level provinsi.

3. Lingkungan kantor dan sekolah yang islami

semenjak adanya program ini setiap kantor atau sekolah sudah memiliki tempat shalat zuhur berjamaah. Program yang berhubungan dengan kantor dan sekolah ini, termasuk pada kewajiban memakai pakaian islami. Sehingga dikatakan dalam qanun : setiap kepala kantor atau pemimpin bertanggung jawab terhadap pakaian yang di gunakan pegawainya. Demikian juga halnya dengan sekolah, setiap orang yang terlibat dalam proses belajar mengajar berkewajiban memakai pakaian islami,mungkin juga bisa kita katakan bahwa adanya ‘’ kantin kejujuran’’ pada saat ini sekolah-sekolah adalah dalam rangka menciptakan sekolah yang islami.

Implementasi beberapa qanun yang telah ditetapkan mengarah pada perubahan di nyatakan secara tertulis atau tidak tertulis di antaranya yaitu :

(17)

j. Budaya libur sekolah

4. Pengawasan pelaksanaan syariat islam

Di bentuknya lembaga Wilayatul Hisbah (WH) yang berfungsi untuk mensosialisasikan dan mengawasi pelaksanaan syariat islam. Pada awalnya lembaga ini berada di bawah Dinas Syariat Islam,tetapi sejak lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh Wilayatul Hisbah bergabung dengan lembaga Satpol PP,kedua lembaga yang sekarang sudah bergabung menjadi satu dan mempunyai kewenangan yang berbeda.

Wilayatul Hisbah (WH) berwenang mengawasi pelaksanaan qanun-qanun Syariat Islam, Satpol PP berwenang mengawasi perda atau qanun non Syariat.

5. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah

Berlakunya syariat islam di Aceh di tandai dengan perubahan nama Peradilan Agama menjadi Mahkamah Syar’iyah. Perubahan nama itu turut memperluas kewenangannya,yang selama ini hanya berhubungan dengan pelaksanaan hukum keluarga tetapi sekarang menjadi lebih luas dengan cakupan hukum jinayah dan juga mu’amalah. Dalam tatanan hukum di Indonesia perubahan ini sangat luar biasa karena perubahannya berkaitan dengan perluasan kewenangan mahkamah syar’iyah,berarti membatasi kewenangan Pengadilan Negeri.

B.

Fungsi pilar pelaksanaan syari’at islam di Aceh

 Sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia di dalam mengatur diri dan masyarakat

 Alat penyeimbang antara unsur yang baik dan yang tidak baik yang terdapat dalam diri manusia.

 Alat mendidik manusia menjadi suci lahir bathin.sayriat turun menuntun dan membimbing

manusia untuk membersihkan diri agar ia mampu membaca arti sebuah kehidupan. Karena itulah,kebahagiaan abadi hanya dapat di gapai oleh manusia yang bersih.

BAB VII

A. KEDUDUKAN, TUGAS DAN WEWENANG DINAS SYARIAT ISLAM DALAM PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH

Pembentukan Dinas Syariat Islam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah untuk meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas operasional Pemerintah Daerah di bidang Pelaksanaan Syariat Islam sebagai tindak lanjut pelaksanaan Undang-Undang Nomor 44 tahun 1999.

Dinas Syariat Islam adalah unsur pelaksanaan Syariat Islam di lingkungan Pemerintah Daerah yang berada di bawah Gubernur dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah.

Tugas dari Dinas Syariat Islam di provinsi Aceh di atur dalam Peraturan Daerah Provinsi Aceh Nomor 33 tahun 2001 pada Pasal 3.Dinas Syariat Islam mempunyai tugas melaksanakan tugas umum dan khusus Pemerintah Daerah dan pembangunan serta bertanggung jawab di bidang pelaksanaan Syariat islam.

Untuk melaksanakan tugas tersebut di atas, Dinas Syariat Islam menjalankan lima fungsi, yakni :

(18)

2. Penyiapan dan pembinaan sumber daya manusia yang berhubungan dengan pelaksanaan

syariat Islam;

3. Pelaksanaan tugas yang berhubungan dengan kelancaran dan ketertiban pelaksanaan

peribadatan dan penataan sarananya serta penyemarakan syiar Islam;

4. Bimbingan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Syariat Islam;

5. Bimbingan dan penyuluhan Syariat Islam.

Sedangkan kewenangan Dinas Syariat Islam diterangkan pada Pasal 5, yaitu: a. Merencanakan Program, Penelitian dan Pengembangan unsur – unsur syariat Islam

b. Melestarikan Nilai – nilai Islam

c. Mengembangkan dan membimbing pelaksanaan islam yang meliputi bidang – bidang aqidah,

ibadah, muamalat, akhlak, pendidikan dan dakwah islamiyah, ammar makruf nahi mungkar, baitul mal, kemasyarakatan, syiar Islam, pembelaan Islam, Qadha, jinayat, munakahat, dan mawans

d. Mengawasi terhadapa pelaksanaan syariat Islam

e. Membina dan mengawas terhadap Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ)

Di antara program-program yang telah dilaksanakan Dinas Syariat Islam adalah : pengiriman da’i ( pendakwah ) ke daerah perbatasan dan terpencil, pembinaan Wilayatul Hisbah ( WH ) sebagai pengawas syariat, bantuan sarana peribadatan dan sarana peradilan ( Mahkamah Syar’iyah ). Khusus untuk lembaga Wilayatul Hisbah sejak tahun 2008 tidak lagi di bawah pembinaan Dinas Syari’at Islam, tetapi telah bernaung di bawah suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah ( SKPD ) tersendiri yakni Badan Satuan Polisi pamong Praja dan Wilayatul Hisbah.

B. EKSISTENSI DAN KEWENANGAN MAHKAMAH SYAR’IYYAH DALAM PELAKSANAAN SYARIAT ISLAM DI ACEH

1.Eksistensi Mahkamah Syar’iyah

Eksistensi dan kewenangan Mahkamah Syar’iyah dikuatkan dengan Keputusan Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyat Aceh No. 35 tanggal 03 Desember 1947. Setelah itu Mahkamah Syar’iyah di Aceh berjalan dengan baik hingga dikuatkan pula dengan Peraturan Pemerintah No.29 tahun 1957 setelah melalui Perjuangan panjang masyarakat Aceh terutama para ulama dan tokoh masyarakat.

Peradilan Syari’at Islam juga dilakukan oleh suatu lembaga pengadilan yang disebut Mahkamah Syar’iyah. Hal ini dengan tegas disebutkan oleh pasal 25 ayat (2) UU No.18/2001 pasal 128 ayat (4) UU No. 11 tahun 2006 yang menentukan kewenangan Mahkamah Syar’iyah didasarkan atas syariat Islam dalam hukum Nasional yang di atur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Aceh.

Mahkamah Syar’iyyah merupakan salah satu pengadilan khusus yang berdasarkan Syariat Islam di Provinsi Aceh sebagai pengembangan dari peradilan agama. Kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyyah selalu berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam bidang ibadah dan Syariat islam yang ditetapkan dalam Qanun.

2. Kewenangan Mahkamah Syar’iyah

Adapun tugas dan wewenang Mahkamah Syar’iyah antara lain ialah memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara – perkara pada tingkat pertama tertera pada pasal 49 Qanun No. 10 Tahun 2002,dalam bidang ahwal al – syakhsiyah, mu’amalah, dan jinayah. Selain itu Mahkamah Syar’iyah juga bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan perkara yang menjadi kewenangannya dalam tingkat banding juga tertera pada Pasal 50 ayat (1) : mengadili

(19)

Adapun Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 11 Tahun 2003 mengenai kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Syar’iyyah terdapat pada Pasal 3, yaitu :

1. Kekuasaan dan Kewenangan Mahkamah Syar’iyyah dan Mahkamah Syar’iyyah provinsi adalah

kekuasaan dan kewenangan Pengadilan Tinggi Agama, ditambah dengan kekuasaan dan kewenangan lain yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam ibadah dan syiar islam yang ditetapkan dalam Qanun.

2. Kekuasaan dan Kewenangan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara

bertahap sesuai dengan kemampuan kompetensi dan ketersediaan sumber daya manusia dalam

kerangka sistem Peradilan Nasional.[2]

Mahkamah Syar’iyah juga berwenang mengadili dan memutuskan

perkaraperkara jarimah (tindak pidana), seperti penyebaran aliran sesat (bidang aqidah), tidak

shalat Jumat tiga kali berturut-turut tanpa uzur syar'i (bidang ibadah), menyediakan fasilitas/peluang kepada orang muslim tanpa uzur syar'i untuk tidak berpuasa (bidang ibadah), makan minum di tempat umum di siang hari di bulan puasa (bidang ibadah), dan tidak berbusana Islami (bidang syiar Islam). Mahkamah Syar’iyah dipercayakan pula untuk mengadili perkara-perkara tindak pidana dalam pengelolaan zakat.

Sebagaimana diatur dalam Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat. Tindak pidana dimaksud, meliputi tidak membayar zakat setelah jatuh tempo, membuat surat palsu atau memalsukan surat baitul mal, serta menyelewengkan pengelolaan zakat.

Mahkamah Syar’iyyah tidak memulai dari yang baru tetapi menyempurnakan apa yang

sudah ada selama ini (baik tentang materi hukum maupun hukum acaranya).[3]

[1] Rusjdi Ali Muhammad. Revitalisasi Syari’at Islam di Aceh. Ciputat : Logos Wacana Ilmu. 2003. hlm XXXVI

[2] Dinas Syariat Islam. Himpunan Undang – Undang keputusan Presiden Peraturan Daerah /

Qanun Intruksi Gubernur Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syariat Islam. Aceh.2008.hlm 40

[3] Safwan Idris. Syariat di Wilayah Syariat. Aceh : Yayasan Ulul Urham. 2002.hlm 21

BAB VIII

Fungsi, Tugas, Kedudukan dan Kewenangan Majelis Permusyawaratan

Ulama (Mpu) dan Baitul Mal

A. Fungsi MPU

Fungsi MPU sebagai penasehat yang memberi saran, pertimbangan kepada pemerintahan daerah (eksekutif dan legislatif) dan sebagai pengawas terhadap pelaksanaan kebijakan daerah, baik bidang pemerintahan, pembangunan maupun pembinaan kemasyarakatan serta tatanan hukum dan tatanan ekonomi yang islami.

(20)

MPU mempunyai kedudukan yang bebas dan tidak tergantung pada Kepala Daerah dan DPRD atau kekuatan-kekuatan sosial dalam masyarakat.Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, MPU mempunyai hak dan kewajiban yaitu:

pertama, MPU berhak mengajukan usul kepada pemerintahan daerah (Eksekutif dan legislatif). Kedua, MPU berkewajiban memberi masukan, pertimbangan dalam menentukan kebijakan daerah dari aspek syariat Islam secara kaffah serta memberi jawaban atas pertanyaan kepala daerah.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, MPU bersifat pasif dalam memberikan pertimbangan, usulan kepada pemerintah daerah dan DPRD. Selama ini MPU memberi fatwa tapi pelaksanaanya tidak berjalan secara efektif. Hal ini karena MPU tidak cukup mempunyai aparat yang dapat mengamati seluruh kebijaksanaan Kepala Daerah yang telah dilaksanakan sejalan dengan pertimbangan yang telah diberikan.

Hal penting adalah fungsi atau tugas MPU telah dilaksanakan walaupun tidak seluruhnya diterima oleh Kepala Daerah. Diterima atau tidaknya pertimbangan-pertimbangan MPU menjadi tanggungjawab moral Kepala Daerah untuk diperhatikan.

Secara normatif pertimbangan-pertimbangan MPU yang disampaikan kepala daerah tidak terikat, namun sangat dipengaruhi atas kesadaran kepala daerah, sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang bertanggunggunjawab, sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang layak, dan kualitas pertimbangan yang disampaikan oleh MPU yang menyebabkan kepala deaerah tidak ada pilihan lain untuk tidak menerimanya.

B. Tuagas MPU Ditingkat Propinsi dan Kabupaten/Kota

a. Tugas MPU ditingkat Propinsi

1. Memberikan masukan, pertimbangan, dan saran kepada Pemerintah Aceh dan DPRA dalam

menetapkan kebijakan berdasarkan syari’at Islam.

2. Melakukan pengawasn terhadap penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan daerah

berdasarkan syari’at Islam.

3. Melakukan penelitian, pengembangan, penerjemahan, penerbitan, dan pendokumentasian

terhadap naskah-naskah yang berkenaan dengan syari’at Islam

4. Melakukan pengkaderan ulama.

b. Tugas MPU ditingkat Kabupaten/kota

1. Memberi masukan, pertimbangan, dan saran kepada pemerintah Kabupaten/kota dan DPRK

dalam menetapkan kebijakan berdasarkan syari’at islam .

2. Melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemerintahan, kebijakan daerah

berdasarkan syari’at islam.

3. Melakukan pengkaderan ulama.

4. Melakukan pemantauan dan kajian terhadap dugaan adanya penyimpangan kegiatan

Keagamaan yang meresahkan masyarakat serta melaporkannya kepada MPU.

C. Kedudukan MPU

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) merupakan lembaga yang bersifat Independen dan merupakan mitra kerja Pemerintahan Aceh. Secara legal formal keberadaan MPU di Aceh merujuk pada Pasal 18 B Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia yaitu:

(21)

2). Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

D. Kewenangan MPU di Tingkat Propinsi dan Kabupaten/kota

a. kewenangan MPU di tingkat Propinsi

1. Menetapkan fatwa terhadap masalah pemerintahan, pembangunan,ekonomi, sosial budaya dan

kemasyarakatan.

2. Memberikan arahan terhadap perbedaan pendapat dalam masalah keagamaan baik sesama umat Islam maupun antar umat beragama lainnya.

3. Dalam hal Badan Legislatif menjalankan fungsi legislasi, penganggaran dan pengawasan

kebijakan Daerah, menyangkut dengan Hukum Islam, wajib meminta dan mempertimbangkan Fatwa dan pertimbangan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).Badan Legislatif dapat menerima Rancangan Qanun di bidang Syari?at Islam yang diajukan MPU sebagai Rancangan Qanun hak inisiatif anggota DPRD. Dalam rangka pembentukan Komisi independen Pemilihan dan Komisi Pengawas Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Badan Legislatif wajib meminta pertimbangan MPU.

b. kewenangan MPU ditingkat Kabupaten/Kota

1. Melaksanakan dan mengamankan fatwa yang dikeluarkan oleh MPU.

2. Memberikan pertimbangan dan masukan kepada pemerintahan Kabupaten/Kotayang meliputi

bidang pemerintahan, pembangunan, kemasyarakatan serta tatanan ekonomi yang Islami.

E. Pengertian Baitul Mal

Secara etimologis baitul mal terdiri dari dua kata, yaitu Bait, artinya rumah dan mal yang berarti harta. Jadi kalau digabungkan kedua kata itu maka baitul mal dapat berarti satu rumah yang di dalamnya berupa harta. Sedangkan menurut terminologis, sebagaiman diajelaskan dalam Qanun nomor 7 tahun 2004 tentang pengelolaan Zakat, yang disebutkan dalam pasal 1 ayat (1), bahwa Badan Baitul Mal merupakan lembaga daerah yang berwenang melakukan tugas pengelolaan zakat dan harta agama lainnyadi provinsi NAD, dan juga dalam Bab I Ketentuan umum oleh Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal adalah lembaga daerah non struktural yang diberi kmewenangan untuk mengelola dan mengembangkan zakat, wakaf, harta agama dengan tujuan untuk kemaslahatan ummat serta menjadi wali/wali pengawas terhadap anak yati piatu dan/atau hartanya serta mengelola terhadap harta warisan yang tidak ada wali berdasarkan syari’at Islam.

F. Kedudukan Dan Kewenangan Baitul Mal di Propinsi Aceh

(22)

Baitul Mal itu sendiri. Hukum Islam dalam hal ini memberikan kebebasan kepada pemerintah untuk membuat aturan-aturan yang dianggap sesuai dan memberi manfaat bagi negara dan rakyat, dengan demikian maka bentuk dan sistem pengelolaan Baitul Mal dapat saja berubah sesuai dengan perkembangan dan kebutuhannya disamping dapat pula berbeda-beda antara negara satu dengan yang lainnya.

Lembaga Baitul Mal di Propinsi Aceh adalah lembaga yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah berdasarkan amanat perundang-undangan, Keberadaan Baitul Mal di Aceh sendiri tidak terlepas dari perkembangan pengelolaan Zakat yang telah ada semenjak abad ke 7 Masehi, yaitu sejak agama Islam masuk ke Aceh, namun pada masa itu keberadaan Baitul Mal belum terlembaga dan hanya terbatas pengelolaan zakat secara tradisonal yang berbentuk pemungutan dan penyaluran zakat oleh Ulama atau lembaga Pengajian.

Pada perkembangan selanjutnya penegasan tentang zakat sebagai sumber pendapatan Asli daerah terdapat juga di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) yang menggantikan Undang-undang Nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Penegasan tersebut terdapat di dalam 3 pasal,yaitu, Pasal 180 ayat (1) Pasal 191 dan Pasal 192.

Khusus di propinsi Aceh, pengurusan dan pengelolaan zakat ini merupakan kewenangan dari Baitul Mal, dasar hukumnya adalah qanun nomor 10 tahun 2007 tentang Baitul Mal. sedangkan pajak dikenakan kepada penduduk yang non muslim, untuk menghindari dari kewajiban pembayaran double duties (kewajiban rangkap) berupa zakat dan pajak.

G. Dasar Hukum

Adapun yang menjadi dasar hukum Baitul Mal di Provinsi Aceh adalah sebagai berikut: 1. U.U. No.11/2006 tentang Pemerintahan Aceh yang mengatur masalah Zakat dan Baitul Mal.

2. Qanun Aceh No. 10/2007 tentang Baitul Mal, menetapkan Baitul Mal sebagai Lembaga Daerah

non struktural dan bersifat Independen.

3. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 18/2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja

Lembaga Keistimewaan Provinsi NAD (termasuk Baitul Mal) menetapkan Sekretariat Baitul Mal Aceh (BMA) sebagai Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) dalam jabatan struktural (Eselon II.b, III.b dan IV.a)

4. Peraturan Menteri Dalam Negeri No.37/2009 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja

Lembaga Keistimewaan Kabupaten/Kota Prov.Aceh menetapkan sekretariat Baitul Mal Kabupaten/Kota (BMK) sebagai Satuan Kerja Perangkat Kabupaten/Kota SKPK dalam jabatan struktural eselon III.a dan IV.a

5. Peraturan Gubernur NAD No.33/2008 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat

Lembaga Keistimewaan Aceh.

6. Keputusan MPU Aceh No.451.12/15/SK/2009 tanggal 5 Januari 2009 (Diperbaiki tanggal 29

April 2009) tentang Pengangkatan/Penetapan Tim Pembina Baitul Mal Aceh. Dan masih banyak lagi.

H. Unit Pengumpul Zakat (UPZ)

(23)

Di sisni terlihat bahwa kewenangan UPZ hanya sebatas melakukan pengumpulan pada unit-unit masing dan tidak dibeerikan kewenangan untuk melakukan pengembangan dan pendistribusian kepada mustahik.

I. Macam-macam Tingkatan Baitul Mal

Adapun tingkatan Baitul Mal yang berlaku di Aceh setelah Qanun nomor 10 tahun 2007 adalah:

1. Baitul Aceh, adalah lembaga daerah Non Strutural yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat

independen sesuai dengan ketentuan syari’at, dan bertanggung jawab kepada Gubernur. 2. Baitul Mal Kabupaten/Kota, bertanggung jawab kepada Bupati/Walikota.

3. Baitul Mal Mukim, bertanggung jawab kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.

4. Baitul Mal Gampong, bertanggung jawab kepada Baitul Mal Kabupaten/Kota.

Setiap tingkat Baitul Mal empunyai struktur organisasi masing-massing, semakin tinggi tingkat organisasi Baitul Mal semakin besar pula komponen struktur oranosasinya, sebagiama disebutkan berikut:

a) Badan Pelaksana Baitul Mal Aceh adalah terdiri dari: Kepala, Sekretaris, Bendahara, Bidang

Pengawasan, Bidang Pengumpulan, Bidang Pedistribusian dan Pendayagunaan Bidang Sosialisasi dan Pengembangan dan Bidang Perwalian yang terdiri dari Sub Bidang dan Sub Bagian.

b) Badan Pelaksana Baitul Mal Kabupaten/Kota adalah terdiri dari: Kepala, Sekretaris, Bendahara,

Bagin Pengumpulan, Bagian Pedistribusian dan Pendayagunaan Bagian Sosialisasi dan Pembinaan dan Bagian Perwalian yang terdiri dari Sub Bagian dan Seksi.

c) Badan Pelaksana Baitul Kemukiman adalah terdiri dari: Ketua yang karena jabatannya

dilaksanakan oleh Imuem Mesjid kemukiman atau nama lain, Sekretaris, Bendahara, Seksi Perwalian, Seksi Perencanaan dan Pendataan dan Seksi Pewngawasan yang ditetapkan oleh Imuem Mukim atau nama lain.

d) Badan Pelaksana Baitul Gampong atau nama lain, yang terdiri atas Ketua yang karena

jabatannya dilaksanakan oleh Imuem Meunasah atau Imuem Mesjid atau nama lain, Sekretaris, Bendahara, Urusan Perwalian, Urusan Pengumpulan dan Urusan Penyaluran yang ditetapkan oleh Geuchik atau nama lain.

J. Harta Objek Zakat

Zakat yang wajib dibayar menurut Qanunm nomor 10 tahun 2007 adalah zakat fitrah, zakat maal, dan zakat penghasilan. Dan jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah:

1. Emas, perak, logam mulia lainnya dan uang; 2. Perdagangan dan perusahaan;

3. Perindustrian;

4. Pertanian, perkebunan dan perikanan; 5. Peternakan;

6. Pertambangan;

7. Pendapatan dan jasa; dan

8. rikaz, serta jenis harta lainnya yang ditetapkan oleh fatwa MPU Aceh.

BAB IX

EKSEKUTIF DAN LEGISLATIF

(24)

1.Eksekutif

Esekutif adalah suatu pemerintahan negara yang memiliki kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan dan perundang-undang. Dalam sistem kabinet presidensial, presiden disamping berfungsi sebagai kepala negara juga berfungsi sebagai kepala eksekutif.

2.Legislatif

Lembaga legislatif secara etimologi dalam kemelut politik adalah lembaga yang memiliki

kekuasaan untukmembuat/mengeluarkan UU sedangkan Legislatif dalam terminology fiqh

disebut sebagai lembaga penengah dan pemberi fatwa.Istilah lembaga legislative dalam Islam

lebih popular dengan sebutan Afl al-Halli wa al-‘aqd. Secara harfiah Ahl al-Halli wa al-‘aqd berarti orang yang dapat memusatkan dan mengikat.

Adapun para ahli fiqh siyasah merumuskan istilah ini sebagai orang yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan menentukan sesuatu atas nama umat, dengan kota lain ahl-Halli wa al-‘aqd adalah lembaga perwakilan yang menampung dan menyalurkan aspirasi/suara masyarakat. Adapun dalam pemerintahan Islam, pembentukan lembaga Ahl al-Halli wa al-‘aqd perlu mengingat banyaknya permasalahan kenegaraan yang harus diputuskan secara bijak dan pandangan yang tajam sehingga mampu menjaga kemaslahatan umat.

BAB X

SYARIAT DAN ADAT ACEH

A. Pengertian Adat Aceh

Aceh adalah salah satu provinsi di Indonesia yang sangat menjunjung tinggi adat istiadat dalam masyarakatnya. Hal ini terlihat dengan masih berfungsinya institusi-institusi adat di tingkat gampong atau mukim. Meskipun Undang-undang no 5 tahun 1975 berusaha menghilangkan fungsi mukim, keberadaan Imum Mukim di Aceh masih tetap diakui dan berjalan. Hukum adat di Aceh tetap masih memegang peranan dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat Aceh terdapat institusi-institusi adat di tingkat gampong dan mukim. Institusi ini juga merupakan lembaga pemerintahan. Jadi, setiap kejadian dalam kehidupan bermasyarakat, Ureueng Aceh selalu menyelesaikan masalah tersebut secara adat yang berlaku dalam masyarakatnya. Pengelolaan sumber daya alam pun di atur oleh lembaga adat yang sudah terbentuk.

Adat adalah kebiasaan-kebiasaan yang telah berlaku antar generasi dalam satu masyarakat, dimana keberadaannya berfungsi sebagai pedoman dalam berfikir dan bertindak dimasyarakat pemangku adat tersebut.

B. Jenis jenis adat aceh :

3 jenis adat aceh :

 Adat meukuta alam yaitu adat yang diwarisi dari sultan-sultan terdahulu yang telah

disesuaikan menurut keadaan.

 Adat mahkamah yaitu adat yang berbentuk undang-undang yang dibuat oleh majelis kerajaan.

 Adat tunah yaitu adat yng dibuat oleh penguasa atau panglima negeri di daerah masing-masing

(25)

C. Adat istiadat di Aceh dalam kehidupan sehari-hari :

1. Adat perkawinan

Menurut adat aceh, upacara-upacara yang berlangsung dalam suatu proses perkawinan terjadi atas 4 tahap yaitu: Meresek, melamar, pesta pernikahan dan antar pengantin perempuan. Dalam kaedah syariat Islam jika seseorang ingin menikahi haruslah ada mahar bagi perempuan dan pada saat resepsi seharusnya tidak menghadirkan lagu-lagu atau para penyanyi baik laki-laki maupun perempuan yang dapat melalaikan si pendengar dari dzikrullah atau dapat membangkitkan syahwat mereka. Hindari pula penggunaan alat-alat musik didalam walimah pernikahan ini kecuali duff lembaga/instansi adat yang berwenang, yakni Panglima Uteuen yang dibawahi beberapa struktur adat lainnya seperti Petua Seuneubôk, Keujruen Blang, Pawang Glé, dan sebagainya.Sistem pengelolaan hutan sebagai lahan bercocok tanam, fungsi Petua Seuneubôk tak dapat dinafikan. Seuneubôk sendiri maknanya adalah suatu wilayah baru di luar gampông yang pada mulanya berupa hutan. Hutan tersebut kemudian dijadikan ladang. Karena itu, pembukaan lahan seuneubôk harus selalu memperhatikan aspek lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi anggota seuneubôk dan lingkungan hidup itu sendiri. Maka fungsi Petua Seuneubôk menjadi penting dalam menata bercocok tanam, di samping kebutuhan terhadap Keujruen Blang.

A. Lembaga Adat Aceh

Lembaga Adat berfungsi dan berperan sebagai wahana partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan Pemerintahan Aceh dan pemerintahan Kabupaten/Kota di bidang keamanan, ketenteraman, kerukunan, dan ketertiban masyarakat. Tugas, wewenang, hak dan kewajiban lembaga adat, pemberdayaan adat, dan adat istiadat diatur dengan Qanun Aceh. Penyelesaian masalah sosial kemasyarakatan secara adat ditempuh melalui Lembaga Adat.

D. Lembaga adat Aceh meliputi:

1. Majelis Adat Aceh

Majelis Adat Aceh adalah majelis penyelenggara kehidupan adat di Aceh yang struktur kelembagaannya sampai ke tingkat gampong.

2. Imeum Mukim

Imeum mukim adalah orang yang dipercayakan sebagai pemangku adat di kemukiman atau sering disebut juga dengan kepala mukim. Ke-mukim-an merupakan bentuk pemerintahan yang berada di atas gampong dan jugasebagai badan federal dari beberapa gampong. Seorang imeum mukim bertugas mengawasi pelaksanaan adat di tiap-tiap kemukiman, dan mempunyai kewenangan dalam menindak tegas masyarakat yang melanggar adat di wilayah ke-mukim-an. Selain itu, dia juga bertugas menyelesaikan sengketa tapal batas antar gampong dan masalah-masalah perselisihan yang terjadi antar masyarakat gampong dalam ke-mukim-annya.

(26)

Imeum chik adalah imeum masjid pada tingkat ke-mukim-an. Imeum chikbertugas untuk memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di mukim yang berkaitan dengan bidang agama Islam dan pelaksanaan Syari'at Islam.

4. Keuchik

Keuchik/geuchik adalah kepala persekutuan masyarakat adat gampong. Keuchik tidak hanya memiliki otoritas dalam bidang pemerintahan, seperti penyelenggara pemerintahan gampong, tetapi juga bertugas untuk melestarikan adat istiadat dan hukum adat. Selain itu Keuchik juga bertugas untuk menjaga keamanan, kerukunan, ketentraman, dan ketertiban masyarakat. Ibrahim Alfian menganalogikan keuchik sebagai “bapak/ayah gampong” karena besamya tanggung jawab yang dipercayakan kepadanya untuk pengendalian dan pemeliharaan pemerintahan serta adat di tingkat gampong.

5. Tuha Peut

Tuha peut adalah suatu lembaga permusyawaratan di tingkat gampong. Badan ini berfungsi untuk memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Keuchik pada setiap pengambilan keputusan dalam rangka menjalankan pemerintahan gampong.Lembaga ini disebut dengan Tuha peut karena jumlah mereka sebanyak empat orang yang terdiri dari unsur pemerintahan, agama, tokoh adat dan cerdik pandai yang berada di gampong.

6. Tuha Lapan

Tuha lapan adalah lembaga adat yang terdapat pada tingkat mukim dan gampong dan bertugas sebagai penasihat imeum mukim dan keuchik dalam menjalankan pemerintahannya dengan sebaik-baiknya. Lembaga ini terdiri dari unsur-unsur Pemerintah, Agama, tokoh Adat, tokoh masyarakat, cerdik pandai, pemuda, perempuan dan kelompok organisasi masyarakat

7. Imeum Meunasah

Imeum meunasah adalah orang yang memimpin kegiatan-kegiatan masyarakat di gampong yang berkenaan dengan bidang agama Islam, pelaksanaan dan penegakan syari'at Islam. Hubungan antara keuchik dan imeum meunasah sangat erat. Sehingga imeum meunasah dapat dianalogikan sebagai “ibu gampong”.

8. Keujreun Blang

Keujruen blang adalah orang yang membantu keuchik dan imeum mukimdi bidang pengaturan dan penggunaan air irigasi untuk persawahan. Lembaga ini bertuugas mempertahankan Hukum Adat di bidang pertanian. Selain bertugas mengelola lingkungan di wilayah persawahan, keujruen blang juga bertugas untuk menindak pelanggaran hukum adat dan menyelesaikan sengketa yang timbul di wilayah kewenangannya.

9. Panglima Laot

Panglima laot adalah orang yang memimpin adat istiadat atau kebiasaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan di laut. Selain itu lembaga ini juga bertugas mengatur tempat/areal penangkapan ikan, penambatan perahu dan menyelesaikan sengketa bagi hasil. Kekuasaan panglima laot hanya berlaku di wilayah laut meliputi semua aspek kehidupan di laut. Tugas panglimat laot tidak hanya sekedar melakukan pengaturan tetapi juga memberikan sanksipada setiap pelanggaran adat dan sebagai hakim perdamaian ketika terjadi persengketaan di wilayahnya bertugas.

10. Pawang Glee/Uteun

Pawang glee/uteun adalah orang yang memimpin dan mengatur adat istiadat yang berkenaan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh dari variasi suhu dan pelarut yang digunakan dalam ekstraksi pada total fenol, aktivitas antioksidan dan antimikrobia ekstrak

bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2), Pasal 11 ayat (6), Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (2) Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Qanun Aceh

Jika perbandingan antara energi pada suhu rendah dan suhu tinggi suatu mesin Carnot adalah 3 : 4, maka berapakah efisiensi yang dimiliki mesin tersebut?.?. Sejumlah gas ideal

Merujuk kepada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2011 tentang pengelolaan zakat pasal 1 ayat (1) mengatakan bahwa Pengelolaan zakat adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan,

Sedangkan menurut Pasal 1 Butir 2, Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 Tentang Pengelolaan Zakat, zakat adalah: harta yang wajib disisihkan oleh seorang muslim atau badan yang

1 Undang-undang nomor 23 tahun 2011 pasal 1 ayat 3 Tentang Pengelolaan Zakat, menjelaskan bahwa Zakat adalah harta yang wajib dikeluarkan oleh seorang muslim atau badan

Pada pemerintahan Orde Baru yang berlangsung lama, memang pada pemerintahan ini banyak program yang dibuat dan janjikan untuk masyarakat dan tidak seburuk juga

Berdasarkan angket respon siswa yang telah diisi oleh siswa kelas eksperimen (X IPA 3), menunjukkan bahwa media ular tangga 3D dapat membantu siswa dalam mempelajari