• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemikiran Hadis Muhammad Al Gazali.pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemikiran Hadis Muhammad Al Gazali.pdf"

Copied!
125
0
0

Teks penuh

(1)

x

E. Kajian Pustaka dan Signifikansi Penelitian ... 11

F. Sistematika Pembahasan ... 13

BAB II. LANDASAN TEORITIK KRITIKMATN ... 16

A. Hadis dan Kritik Hadis ... 16

1. Pengertian Hadis ... 16

2. Pengertian Kritik Hadis dan KritikMatn ... 19

B. Teori dan Metodologi KritikMatn ... 22

1. Sketsa Sejarah KritikMatn ... 22

2. Konstruksi Teori KritikMatn ... 27

(2)

xi

B. Pandangan Muhammad al-Ghazali tentang Hadis ... 57

C. KritikMatnPerspektif Muhammad al-Ghazali ... 72

A. Tinjauan Umum Terhadap Aplikasi Teori KritikMatnModel Muhammad al-Ghazali ... 103

B. Karakteristik dan Tipologi Pemikiran Muhammad al-Ghazali ... 115

C. Implikasi dan Konsekuensi Terhadap Studi Hadis ... 120

BAB V. PENUTUP ... 127

A. Kesimpulan ... 127

(3)
(4)

iv N i m : 97 21 2400

Judul Tesis : KRITIK MATN HADIS (Studi Terhadap Pemikiran Muhammad al-Ghazali [1917-1996] )

Pada dasarnya upaya penelitian atau pengkajian terhadap hadis, bertujuan untuk menemukan matn hadis yang berkualitas sahih (valid). Karena itulah matn sebagai salah satu komponen hadis menduduki posisi penting. Bila demikian, maka pemikiran tentang kritik matn dengan berbagai dimensinya yang dilakukan oleh seorang tokoh, juga memiliki arti penting.

Dalam kenyataannya, studi hadis umumnya lebih banyak berputar di sekitar wilayah sanad, padahal cikal bakal dari kritik hadis yang terjadi di zaman Nabi dan sahabat, adalah kritik matn. Walaupun pada masa itu sistem dan metodologi kritikmatnbelum disistematisasi.

Kenyataan pada masa pasca sahabat yang menunjukkan lebih banyaknya pengkajian hadis yang diarahkan pada wilayah sanad ketimbang kajian pada wilayah matn, tentunya tidak berdiri sendiri, tetapi lebih disebabkan oleh faktor politik umat Islam masa awal yang sarat dengan pertikaian, akibatnya sejarah periwayatan hadis diwarnai dengan berbagai pemalsuan. Oleh karena itu sanad yang merupakan sarana yang mengantar kita kepada matn, mendapat porsi perhatian yang besar. Karena jika persoalan sanad ini tidak dapat terselesaikan, maka dapat dipastikan, generasi berikutnya akan menemui kesulitan dalam penelitian hadis.

Hanya saja, ketika tugas kajian sanad telah dikerjakan dengan sangat menakjubkan oleh para ulama hadis masa awal, yang terbukti dengan lahirnya metode kritik sanad dengan berbagai teknik operasionalnya, seolah-olah tugas kajian hadis hanya berhenti pada hal tersebut. Dan kajian

matn sebagai salah satu perangkat yang tidak kalah pentingnya, tetap kurang mendapat porsi perhatian.

(5)

v

semua itu, tampaknya Ghazali ingin membangun kesadaran kembali akan pentingnya kritikmatn, tanpa mengabaikan nilai pentingsanad.

Dalam pemikiran Ghazali ada empat hal yang dapat dijadikan acuan untuk menilai apakah matn sebuah hadis dapat dikategorikan berstatus sahih. Pada prinsipnya apa yang disebutkan Ghazali tersebut, bukanlah hal yang sama sekali baru, karena berbagai tolok ukur yang hampir sama telah dikemukakan oleh para ulama hadis sebelumnya.

Sekalipun pemikiran Ghazali mengenai dasar acuan dalam mengukur kualitas matn, secara prinsip telah dikemukakan, namun tetap saja ada perbedaan, khususnya ketika mengaplikasikan tolok ukur tersebut. Karena itu menyangkut sikap dalam mengaplikasikan tolok ukur tersebut, Ghazali dikelompokkan pada kelompok yang sangat ketat dalam menilai suatu hadis berstatus sahih, sebaliknya cenderung mudah mengklaim hadis status

da'ifatau bahkan palsu.

(6)

1 A. Latar Belakang Masalah

Keberadaan/kedudukan hadis Nabi sebagai sumber hukum disepakati oleh sebagian besar umat Islam. Berangkat dari kedudukan hadis yang demikian, dengan sendirinya menjadikan penelitian dan pengkajian hadis menjadi urgen. Upaya meneliti dan mengkaji hadis yang sedemikian penting, tidak saja karena kedudukan hadis sebagai sumber otoritatif, tetapi juga didasari atas suatu fakta, bahwa hadis-hadis Nabi yang dijadikan sumber justifikasi dalam agama, secara resmi baru dilembagakan pada akhir abad pertama Hijriyah, yaitu pada masa kekuasaan khalifah Umar ibn Abdul Aziz (w.101).

Adanya selisih waktu antara periwayatan hadis yang berlangsung secara lisan dengan pelembagaannya secara resmi, memungkinkan bagi lahirnya kesangsian terhadap otentisitas hadis sebagai suatu berita yang benar-benar bersumber dari Nabi. Apalagi fakta sejarah menunjukkan, bahwa keberadaan umat Islam masa awal sarat dengan berbagai pertentangan dan pertikaian, baik yang berhubungan dengan teologi, fiqih, politik dan sebagainya.

(7)

menyaring dan membersihkan hadis-hadis dari segala usaha pemalsuannya. Hasil dari jerih payah para ulama tersebut, lahir dalam beragan bentuk karya tulis di bidang hadis, yang bertujuan sebagai dasar pijakan bagi umat Islam untuk mengkaji dan menganalisis tentang benar tidaknya sebuah riwayat hadis. Ilmu-ilmu tersebut antara lain, ilm rijal al-hadith, ilm al-jarh wa al-ta dil.dan lain-lain

Sekalipun demikian, juga diakui, bahwa upaya-upaya terhadap pengkajian hadis dalam segala aspeknya, tidak sesemarak dengan usaha yang telah dilakukan dalam bidang kajian dan pengembangan pemikiran terhadap Qur’an. Lambannya gerakan pengkajian terhadap hadis, antara lain disebabkan oleh karena kebanyakan ulama lebih

mengedepankan sikap reserve (segan) untuk melakukan telaah ulang

dan mengembangkan pemikiran hadis. Selain itu umumnya mereka

berpandangan, bahwa hasil karya ulama masa lampau dalam bidang

hadis, terlebih khusus dalam hal yang berkaitan dengan persoalan

al-jarh wa al-ta dil yang tercantum dalam berbagai kitab rijal, dinilai cukup

representatif dan memadai. Sehingga untuk keperluan menentukan

kesahihan sebuah hadis khususnya yang berkaitan dengan telaah sanad

tinggal merujuk kepada kitab-kitabrijalyang ada.

Asumsi terhadap kemapanan kitab-kitab hadis yang diproduksi

pada masa-masa awal, tidak jarang melahirkan sikap alergi untuk

"mengotak-atik" hadis dan metode pemahamannya. Oleh karenanya

(8)

menganalisis dan mengkritisi hadis, acapkali dianggap sebagai penyimpangan, bahkan sangat mungkin dicap sebagai ingkar sunnah.1

Sekalipun berjalan lamban karya-karya tulis para ulama di bidang hadis terus bermunculan, baik yang menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan pembicaraan tentang akurasi periwayatan maupun yang menyangkut pemahaman sebuah teks hadis.2

Pada abad ke-20, sebagaimana abad-abad sebelumnya juga muncul banyak pakar yang memiliki perhatian terhadap hadis dan masing-masing di antara mereka memunculkan hasil, berupa karya tulis. Hal ini sekaligus merupakan sumbangan bagi pengayaan khazanah intelektual muslim di bidang kajian hadis. Nama-nama seperti Mahmud Abu Rayyah, dengan karyanya: Adwa’ ’ala al-Sunnah al-Muhammadiyah

1 M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, (Yogyakarta; Pustaka Pelajar, 1996), h. 309.

2

(9)

aw Difa’ ’an al-Hadith, Ahmad Amin (w.1954), dengan Fajr al-Islam-nya, telah membuat nuansa tersendiri dan mewakili sosok yang kontroversial hingga penghujung abad ini. Di sisi lain muncul ulama yang juga concern dalam bidang yang sama seperti Muhammad ’Ajjaj al-Khatib maupun Mustafa as-Siba’i, yang juga melahirkan sejumlah tulisan dan karya-karya

di bidang hadis.3 Geliat pemikiran ulama hadis terus berlangsung, selain nama-nama yang telah disebutkan di atas, tokoh-tokoh seperti

Muhammad Nasiruddin Albani, Abdullah ibn Baz, Rabi’ bin Hadi

al-Madkhali, Muhammad al-Ghazali dan Yusuf Qardhawi turut memberikan

sumbangan yang berarti bagi pengembangan pemikiran di bidang hadis.

Di antara tokoh-tokoh yang disebutkan di atas, sosok Ahmad Amin

(selanjutnya disebut Amin) Muhammad al-Ghazali (selanjutnya disebut

Ghazali) adalah di antara para tokoh abad ini yang sangat kritis dalam

memberikan pemahaman dan menganalisis hadis-hadis Nabi.

Amin menulis bebrapa karya diantaranya Fajr Islam, Duha

al-Islam dan zuhur al-Islam. Dalam Fajr al-Islam yang pertama kali

diterbitkan pada th. 1926, memuat pikiran pikiran Amin disekitar hadis.

Dalam analisisnya Amin melihat kajian hadis pada umumnya masih

terarah pada sanad, Amin secara eksplisit menyatakan bahwa kajian

3

(10)

terhadap sanad selama ini harus direkonstruksi kembali, oleh karena kaidah atau kriteria tentang adil tidaknya seorang periwayat hanya terbatas sama pada periwayat tingkat tabi’in sedangkan sahabat sama sekali belum atau bahkan tidak tersentuh sama sekali. Padahal menurut Amin dalam budaya sahabat sendiri terlihat upaya saling mengkritisi diantara mereka.4

Sedangkan menyangkut kritik matn, menurut Amin masih terpaku pada sisi pengkajian shudzuz dan illat saja, padahal menurut Amin kriteria-kriteria tentang masalah tersebut adalah sangat bervarisi seperti yang telah disebutka oleh para ulama. Oleh karena itu bagi Amin sebuah hadis harus disorot dari segi eksternalnya, yang menyangkut penilaian terhadap relevansi antara apa yang dinisbahkan kepada nabi, dengan kondisi sosial kulturalnya sedangkan aspek internalnya harus diarahkan terhadap kandungan informasi, dengan melihat adakah ia mirip atau dekat sebagi pandangan filsafat atau formulasi fiqhiyah yang berkembang lebih kemudian.5

SementaraGhazali menulis sebanyak 48 (empat puluh delapan) buah buku dan sebagian besar telah diterjemahkan ke dalam berbagai

Rayyah juga secara khusus mengeritik pemikiran Ahmad Amin tentang hadis dan berbagai permasalahannya.

4

Ahmad Amin,Fajr al-Islam,(kairo: Maktabah al-Nahdah,1975).h.217-218

(11)

bahasa. Salah satu di antara karyanya adalah al-Sunnah al-Nabawiyah; Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadith.6

Karena pandangan dan pendapat-pendapatnya yang tajam dan berani, buku al-Sunnah al-Nabawiyah, mengundang banyak tanggapan dan kritik, menurut Ghazali tidak kurang 7 (tujuh) buah buku yang telah ditulis khusus untuk menyanggah dan menanggapi pikiran-pikirannya yang termuat dalam buku tersebut. Salah satu diantaranya adalah buku yang ditulis oleh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, yang secara keras telah menyorot tajam pandangan Ghazali, dalam satu karya tulis yang berjudul

"Kashfu mawqifi Ghazali min al-Sunnah wa Ahlihi wa Naqd ba’d Ara’ihi.7 Terlepas dari kontroversi yang ditimbulkan oleh pandangan dan

pemikiran-pemikiran kedua tokoh di atas, yang jelas dalam kenyataannya

merekai cukup berani dalam menerobos secara kritis pengkajian

terhadap hadis yang selama ini dilakukan. Kedua tokoh ini tidak hanya

6

Buku al-Sunnah al-Nabawiyyah, ditulis oleh Muhammad Ghazali untuk memenuhi permintaanInternational Institute of Islamic Thought, yang dipimpin oleh Taha Jabir al-’Alwani, menurut al-’Alwani permintaan tersebut dilatar-belakangi oleh keinginan IIIT , untuk dapat mengkaji sunnah Nabi SAW, baik yang berhubungan dengan metode pengkajian dan analisisnya, pengkajian tentang segala dimensi dan proses dijadikannya sebagai sumber hukum, pengetahuan, kebudayaan dan kultur Islam. Buku ini kemudian untuk pertama kali dipublikasikan pada tahun 1989 oleh penerbit Dar al-Shuruq, Kairo. Dan pada tahun 1991 oleh Muhammad al-Baqir diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

7

(12)

terpaku dengan sistematika kaidah-kaidah kesahihan sanad hadis yang diwariskan oleh ulama hadis masa lampau.

Amin misalnya meneropong hadis dengan pendekatan sejarah dan melihar sejauh mena hadis tersebut memiliki informasi tersebut dapat diterima secara logika, sementra Ghazali dengan ijtihadnya berusaha memberi perimbangan pemahaman antara hadis-hadis yang dipahami oleh ahli hadis secara tekstual dengan kajian-kajian hadis yang dilakukan oleh fuqaha (ahli fiqhi) secara kontekstual.

Ghazali mendasari pijakan metodenya, dalam menganalisa dan mengkritisi hadis, dengan berpegang pada prinsip-prinsip umum ajaran Qur’an dan argumen rasional. Dengan dasar ini, Ghazali banyak menolak hadis-hadis yang bila ditinjau dari segi kesahihan sanad hadis, memiliki

kualitas sanad yang baik. Karenanya tidak jarang hadis-hadis yang

dipandang sahih oleh sebagian besar ulama, seperti hadis Bukhari dan

Muslim,8oleh Ghazali dinilai da’if. 9

Sebagai sebuah realitas sejarah, baik Amin maupun Ghazali tidak

dapat disangkal telah meramaikan bursa pemikiran dan khazanah

intelektual Muslim abad ini, dan layak kiranya bila pemikiran dan

gagasannya mendapat perhatian untuk dikaji. Oleh karenanya penulis

(13)

tokoh ini, berdasarkan prinsip-prinsip ilmiah dan obyektif yang dikenal dalam dunia ilmu pengetahuan.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang yang telah disebutkan, studi ini mencoba menelusuri pemikiran Amin dan Ghazali mengenai hadis. Dengan kata lain yang akan dikaji dalam studi ini adalah: pertama, Bagaimanakah pemikiran kedua tokoh ini mengenai hadis, konsep analitisnya serta gagasan dan metode yang ditawarkan dalam kaitannya dengan problem kritik matn hadis ; kedua, Sejauhmana implikasi dan konsekuensi pemikiran Amin danGhazali mengenai kritikmatn hadis.

C. Metode

Obyek dari penelitian ini adalah menyangkut pemikiran seorang tokoh tentang satu masalah tertentu. Dalam hal ini tokoh yang dijadikan sasaran penelitian adalah Ghazali. Sasaran penelitian terhadap tokoh dimaksud diarahkan pada pemikirannya, dalam hal ini dikhususkan pada kritik matn. Dengan demikian bila dilihat dari sasaran obyek penelitian, maka penelitian ini masuk dalam kerangka penelitian budaya.10

9

Ghazali, Fiqh al-Sirah, (Kairo: Dar al-Kutub), h. 16-17; /al-Sunnah ....,

op.cit., h. 104. 10

(14)

Adapun metode yang digunakan dalam studi ini adalah deskriptif analisis dengan pendekatan filosofis dan komparatif. Dengan metode ini dimaksudkan bahwa poin-poin dari pemikiran Amin dan Ghazali diuraikan secara lengkap dan ketat, baik yang terdapat dalam sumber primer maupun sumber sekunder,11 sehingga pemikiran tokoh dimaksud dapat dipotret secara jelas.12

Sementara itu pendekatan filosofis digunakan untuk mencari jawaban secara mendasar tentang aspek-aspek pemikiran kedua tokoh, terutama fundamental ideas mengenai problem kritik matn. Terakhir, dengan pendekatan komparatif terutama digunakan untuk membandingkan pemikiran Amin dan Ghazali dengan pemikiran lainnya guna mengungkapkan karakteristik pemikiran kedua tokoh.

Dalam pencarian data, metode yang digunakan adalah library research, langkah konkret dari metode ini adalah: membaca serta menelaah secara mendalam tulisan dan pikiran-pikiran Amin danGhazali mengenai hadis, khususnya problem yang menyangkut metodologi. Karena itu buku Fajr al-Islam tulisan Amin dan tulisan Ghazali dalam halini buku al-Sunnal al-Nabawiyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadith

(1989) akan dijadikan sumber primer. Sementara sumber sekunder adalah berbagai buku, artikel yang memiliki hubungan dengan topik pembahasan yang sedang dikaji.

Agama berikut nilai-nilai yang dianutnya. (M. Atho Mudzhar,Penelitian Agama dan Keagamaan, Makalah, 1996, h. 5).

11

Anton Bakker, Ahmad Charis Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 8.

12

(15)

Setelah seluruh data terkumpul, langkah selanjutnya adalah melakukan analisis secara deduktif, induktif dan komparatif. Penggunaan metode deduktif dilakukan dalam rangka memperoleh gambaran mengenai rincian pemikiran Amin danGhazali. Sementara penggunaan metode induktif untuk memperoleh gambaran yang lengkap dari tokoh yang dikaji terutama mengenai metodologi pemahaman hadis. Pada akhirnya metode komparatif dilakukan untuk membandingkan pemikiran Amin dan Ghazali guna melihat perbedaan dan persamaan pemikiran nya.

D. Kerangka Teori

Hadis atau tradisi profetik merefleksikan praktek kehidupan Nabi yang tercakup dalam ucapan, perbuatan dan ketetapannya. Selain hadis istilah yang akrab untuk tiga kategori di atas adalah sunnah. Tidak sedikit penulis dan ahli yang mensinonimkan kedua istilah tersebut sungguhpun antara keduanya memiliki perbedaan.13

Kalangan ahli ushul fiqhi mendefinisikan sunnah sebagai segala hal yang keluar dari Nabi selain Qur’an, berupa ucapan, perbuatan dan

13

Menurut Mustafa Azami, kata sunnah dan hadis memiliki perbedaan makna. Sebuah hadis, mungkin saja tidak mencakup sebuah sunnah, tapi dalam beberapa hal sebuah hadis bisa saja merangkum sebuah sunnah. Lihat, Azami,

(16)

ketetapan (taqrir) yang tepat untuk dijadikan dalil hukum syar’i.14 Oleh Karenanya jika merujuk pada istilah ahli fiqh seperti tersebut di atas, jelas

mengisyaratkan bahwa tidak semua hadis dapat dikategorikan sebagai

sunnah, sehingga dengan sendirinya tidak semua hadis pasti

mengandung syari’at.

Fazlur Rahman secara tegas membedakan kedua istilah tersebut.

Menurutnya, sunnah adalah perumusan para ulama mengenai hadis.

Oleh karena itu sunnah melibatkan unsur interpretasi manusia. Lebih

lanjut ia menjelaskan bahwa, sunnah memiliki dua sisi; yaitu fakta

historis yang menyatakan tindakan dan norma-normanya untuk generasi

penerus.15 Sedangkan hadis adalah merupakan refleksi verbal (komentar monumental mengenai Nabi oleh umat muslim lampau) dari sunnah yang

hidup dan karena itu, sunnah Nabi dapat saja berada dalam hadis.16 Oleh kerana itu upaya kajian dan telaah kritis terhadap hadis yang

telah mengalami proses ortodoksi dalam tubuh ummat Islam menjadi

sebuah keniscayaan. Dan dengan sendirinya tentu saja hadis-hadis yang

ada tersebut membutuhkan kajian lebih lanjut dalam upaya memisahkan

antara sunnah normatif dan sunnah historis. Dalam konteks inilah

pemikiran Amin danGhazali mengenai hadis terutama kritik matn dapat

disorot secara tajam dan lebih obyektif.

14

Muhammad ’Ajjaj al-Khatib,al-Sunnah Qabl al-Tadwin, (Beirut: Dar ’l-Fikr, 1978), h. 16.

15

Fazlur Rahman,Islam, (Chicago: Chicago University Pres, 1985), h. 40. 16

(17)

E. Kajian Pustaka dan Signifikansi Penelitian

Sepengetahuan penulis hingga tulisan ini dibuat, kecuali karya Mustafa as-Siba’i penulis belum menemulkan kajian yang membahaspandangan Amin mengenai hadis, khususnya mengenai kriteria kesahihan matn, dalam pandangannya secara tajam as-Siba’i menyorot pemikiran Amin, bahkan lebih dari itu tulisan ini sampai-samapi menuduh Amin sebagai intelektual yang telah “tertular”, oleh para orientalis, sehingga kesan dari tulisan ini lebih bersifat “menghujat” ketimbang menoropong pemikiran Amin secara obyektif.

Sedangkan menyangkut pembahsan tentang pemikiran Ghazali, sepengetahuan penulis telah ada dua tulisan yang secara khusus mengkaji pemikiran pemikiran Ghazali, masing-masing yang ditulis oleh Rabi bin Hadi al-Madkhali dan Yusuf al-Qardawi. Selain dari dua tulisan yang telah mengkaji pemikiran Ghazali secara khusus dalam satu buku, masih terdapat seorang penulis yang menyinggung pemikiran Ghazali secara sepintas dalam satu bagian buku, seperti yang ditulis oleh Daniel W. Brown.

Rabi’ menulis satu buku:Kashfu Mawqif Ghazali min al-Sunnah wa Ahlihi wa Naqd ba’d Ara ih, tulisan Rabi’ menyorot muatan pikiran Ghazali

mengenai hadis, khususnya penolakan Ghazali mengenai hadis ahad.

Tulisan Rabi pada prinsipnya berangkat dari asumsi bahwa materi-materi

pemikiran Ghazali sangat membahayakan dan melenceng dari "manhaj

(18)

tulisan Rabi’ lebih bersifat "mengadili" dan menghukum Ghazali sebagai mu’tazilidan pengikut orientalis.17

Sementara itu tulisan Qardawi dibawah judul Shaikh al-Ghazali

Kama araftuh ; rihlah nisf Qarnin, juga mengkaji berbagai pemikiran

Ghazali, tetapi berbeda dengan Rabi’ yang mengecam pemikiran

Ghazali, apa yang dilakukan Qardawi adalah "membela"

pemikiran-pemikiran Ghazali. Buku Qardawi ini pada prinsipnya adalah merupakan

deskripsi dari sejarah hidup dan pandangan-pandangan keagamaan

Ghazali. Karenanya buku ini tidak memfokuskan bahasannya pada satu

aspek tertentu.18

Adapun tulisan Daniel W. Brown,Sunnah and Islamic Revivalism19 dalam Rethinking Tradition in Modern Islamic Thought, tidak lebih

sebagai sebuah "pengantar", karenanya tulisan tersebut memiliki porsi

yang kecil dan juga tidak secara khusus memfokuskan kajiannya

terhadap Ghazali.

Oleh kerena itu mengkaji pemikiran Amin dan Ghazali bukan tanpa

alasan, terutama bila melihat kapsitas kedua tokoh tersebut, di samping

gagasan-gagsannya yang dianggap kontroversi dan karena pemikirannya

mengenai hadis yang tertuang dalam karya mereka sehingga baik Amin

17

Rabi’,Kashfu Mawqif...op.cit., h. 42. 18

Lihat; Yusuf Qardawi, Shaikh Muhammad al-Ghazali; Kama Araftuh, rihlah nisf Qarnina.b. Surya Darma, L.C, Syaikh Muhammad al-Ghazali yang saya kenal, (Jakarta: Rabbani Press, 1999).

19

(19)

dan Ghazali oleh sementara pengeritiknya dituduh sebagai sebagai pengingkar sunnah., Karena itulah signifikansi dari tulisan ini mencoba mengkaji dan meneropong secara kritis pemikiran kedua tokoh tersebut, tanpa suatu tendensi lain selain tendensi obyektivitas. Selain itu studi ini juga bermaksud menghidupkan budaya mendialogkan satu pemikiran dengan yang lainnya dalam suasana yang kondusif, penuh saling pengertian.

F. Sistematika Pembahasan

Bahasan-bahasan dalam tulisan ini dituangkan dalam enam bab, dimana antara satu bab dengan bab lainnya memiliki keterikatan logis dan organik.

(20)

sebelumnya sekaligus akan nampak orisinalitas kajian penulis yang membedakannya dengan sejumlah penelitian sebelumnya. Sedang sistematika pembahasan dimaksudkan untuk melihat rasionalisasi dan interrelasi keseluruhan Bab dari tesis ini.

Pada Bab II, tulisan ini mencoba menelusuri tentang keberadaan kritik matn, meliputi pengertian dan apa yang menjadi landasan teoritiknya. Sejalan dengan bagian di atas, maka untuk memahami arti penting dari kritik hadis khususnya kritik matn, dikemukakan urgensi dari kajian tersebut. Tujuan pembahasan ini adalah untuk memberikan penjelasan tentang apa dan mengapa kritik matn serta fungsi strategisnya bagi kajian hadis.

(21)

Bab IV, uraian analisis yang terdiri dari empat bagian, yaitu; (a) berupa tinjauan umum terhadap pemikiran Amin dan Ghazali mengenai kritik matn dengan tujuan untuk melihat apakah sistem dan metodologi yang diterapkan oleh kedua tokoh tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur metodologis kritik matn; (b) uraian tentang corak dan tipologi pemikiran Amin dan Ghazali untuk melihat posisinya dalam trend

pemikiran Islam kontemporer; dan (c) melihat sejauh mana pengaruh atau implikasi teoritik pemikiran mereka terhadap kajian hadis secara umum. (d) bagian ini merupakan deskripsi tentang perbedaan dan persamaan pemikiran dari kedua tokoh tersebut.

(22)

16

A. Hadis dan Kritik Hadis

1. Pengertian Hadis

Secara etimologi hadis mengandung arti al-jadid (sesuatu yang baru), lawan dari kata al-qadim. Selain itu, hadis juga biasa diartikan dengan al-qarib; yang bermakna sesuatu yang belum lama terjadi, atau hadis juga biasa digunakan dalam

pengertianal-khabar.

Mengacu pada arti etimologi di atas, para ulama melahirkan sejumlah

pandangan mengenai apa sebenarnya yang disebut hadis, dimana

pandangan-pandangan tersebut yang kemudian disebut definisi hadis, sangat terkait dan

dipengaruhi oleh kecenderungan dan spesialisasi masing-masing ulama, sehingga

tampaklah oleh kita hadis dalam perspektif ahl al-hadith, ulama ushul fiqhi demikian pula hadis dalam perspektif ulama fiqhi.

Dalam perspektif ahl al-hadith; hadis didefinisikan sebagai segala hal yang bersangkutan dengan ucapan Nabi, perbuatannya, segala ketetapan dan keseluruhan

keadaan beliau. Pandangan yang demikian, didasari oleh pemahaman bahwa

sesungguhnya Muhammad SAW., adalah merupakan junjungan, karenanya segala

apa yang menjadi hal ihwal dari kehidupannya harus diteladani, serta segala sesuatu

yang berkaitan dengan pribadi agung itu mesti diikuti, baik yang berkaitan dengan

(23)

Lebih jauh dalam perspektif ahli hadis, mereka berpandangan bahwa segala sesuatu

yang dinisbahkan kepada Nabi, baik sebelum dan sesudah masa kenabian, juga

dikategorikan sebagai sunnah.

Sementara itu, dalam pandangan dan pendapat ulama usul fiqh, pengertian

hadis diberi batasan-batasan tertentu, sehingga yang dianggap hadis oleh mereka

hanyalah sebatas persoalan-persoalan yang dapat dijadikan kaidah hukum.

Sedangkan ulama fiqhi membatasi pembahasan mereka pada persoalan-persoalan

yang berkaitan dengan perincian hukum syari’at dalam hubungannya dengan hukum

wajib, sunnat, makruh atau mubah.1

Selain kata hadis, istilah lain yang biasa dihubungkan dengan segala

perkataan, tindakan dan ketetapan Nabi adalah kata “sunnah”. Secara literal kata

sunnah berarti jalan, arah, mode atau cara tentang tindakan atau sikap hidup. John

Penrice dalam A Dictionary and Glosary of the Koran menyebutkan; kata sunnah seringkali digunakan dalam pengertian arah peraturan yang sudah mapan, gaya

hidup serta cara bersikap.2

Sedangkan menurut Azami; ungkapan "sunnah Nabi" dalam pengertian

teladan kehidupan, yang bersumber dari Nabi, mulai dikenal tatkala Allah

memerintahkan kepada komunitas Muslim untuk menaati Nabi dan menjadikan

perjalanan hidupnya sebagai contoh baik yang harus diteladani. Lebih lanjut Azami

mengatakan, bahwa sejak penghujung abad kedua hijriyah, kata sunnah

1

al-Khatib,al-Sunnah...,h.16

2

(24)

penggunaannya hanya terbatas pada norma yang dicetuskan oleh Nabi atau norma

yang disarikan dari ketentuan yang telah digariskan oleh Nabi.3

Istilah hadis dan sunnah, sering digunakan secara bergantian dalam

pengertian yang sama, sekalipun antara kedua istilah ini memiliki celah perbedaan,

namun pada lazimnya perbedaan itu tidak terlalu dipersoalkan. Bila sunnah

berintikan suatu keteladanan, maka hadis adalah sebuah informasi yang dinisbahkan

kepada beliau, menurut Azami sebuah hadis mungkin tidak mencakup sebuah

sunnah, tetapi dalam beberapa hal sebuah hadis bisa saja merangkum sejumlah

sunnah.4Sekalipun sebuah hadis belum tentu mencakup sebuah sunnah, namun harus

diingat, bahwa orientasi keagamaan alami tentang sebuah hadis ialah kearah yang

sesuai dengan sunnah, suatu norma keagamaan yang praktis.5

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, kedua istilah tersebut akan digunakan

secara bergantian, sehingga dalam konteks tulisan ini hadis dimaksudkan sebagai

sebuah informasi yang dinisbatkan kepada Nabi, yang terdiri dari dua bagian yaitu

adanya sejumlah orang yang menyampaikan berita atau informasi yang disebut rantai

periwayat (isnad) dan muatan informasi yang memuat kandungan isi dari sebuah hadis (matan).

2. Pengertian Kritik Hadis dan Kritik Intern/ Matan

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa sebuah hadis pada hakikatnya

adalah merupakan informasi yang disampaikan oleh beberapa subyek yang kemudian

3

Azami,Studies...,h.21

4Ibid

.,

5

(25)

disebut dengan periwayat hadis, karenanya sebuah hadis mesti memiliki isnad yaitu rantai para pewarta dan hadis. Sebagai suatu wacana yang terjun dalam budaya

manusia baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, maka semua hadis yang sampai

kepada kita mesti dicurigai. Hal tersebut adalah sikap yang wajar dan beralasan,

mengingat dalam penuturan dan penulisan hadis oleh para periwayat, adalah tidak

mustahil mengandung kekeliruan dan kesalahan, dimana hal tersebut sangat mungkin

terjadi sekalipun oleh seorang tokoh kepercayaan dan kenamaan. Karenanya,

diperlukan sikap kritis dalam melihat dan menggunakan hadis.

Kegiatan kritik hadis memiliki pengertian yang berintikan pemisahan dan

penyeleksian terhadap hadis. Dalam bahasa Arab kata kritik biasanya diungkapkan

dengan kata naqd6. Kata ini digunakan oleh beberapa pakar hadis masa awal yakni awal abad ke dua hijriyah. Kata naqd berarti membahas untuk mengkaji dan mengeluarkan sesuatu yang baik dari yang buruk.7 Menurut Azami, sekalipun kata

ini (naqd) tidak ditemukan penggunaannya dalam literatur Qu'ran dan hadis dalam pengertian kritik, hal ini bukanlah berarti bahwa konsep kritik muncul belakangan,

karena secara faktual, Qu'ran menggunakan kata yamiz (bentuk mudari' dari kata

maza) untuk maksud ini. Kata yamiz mengandung arti memisahkan sesuatu dari sesuatu yang lain.

Sejalan dengan makna yang terkandung dalam kata naqd, dalam bahasa Indonesia kata kritik juga mengandung makna pemisahan sesuatu yang bernilai baik

6

Azami,Ibid., h. 21.

7

(26)

dengan sesuatu yang buruk.8Muhammad Thahir al-Jawabi dalam bukunya Juhud al-Muhaddithin fi Naqd Matan al-Hadith, memberikan formulasi tentang definisi kritik hadis sebagai berikut;

Menetapkan kualitas periwayat dengan nilai cacat atau adil lewat penggunaan lafaz tertentu, dan dengan menggunakan alasan yang telah ditetapkan para ahli hadis, serta meneliti matan hadis yang

sanad nya sahih dalam rangka untuk memastikan kebenarannya atau ketidak beneran matan tersebut. Dan untuk menghilangkan kemuskilan pada hadis-hadis sahih yang tampak muskil maknanya serta menghapuskan pertentangan kandungannya dengan melalui penerapan standar yang mendalam.9

Dari definisi yang dikemukakan oleh al-Jawabi diatas, makna kritik hadis

pada intinya adalah upaya untuk mengetahui kebenaran suatu informasi yang

disandarkan kepada perkataan, perbuatan dan ketetapan Nabi oleh para

periwayatnya. Dengan kata lain, kritik hadis merupakan upaya untuk dapat

memisahkan antara hadis yang berkualitas baik dan hadis yang tidak memenuhi

standar kualitas, sebagai dasar pegangan dalam beragama. Bila dipilah maka upaya

kritik hadis dilakukan dengan dua cara yaitu kritik sanad (kritik ekstern)10dan kritik

matan (kritik intern).

8

W.J.S. Poerwadarminta,Kamus Besar Bahasa Indonesia(Jakarta: Balai Pustaka, th. 1989) h. 534.

9

Muhammad Tahir al-Jawabi,Juhud al-Muhaddithin fi Naqd Matan al-Hadith (Muassasat 'Abdul Karim ; ttp,tth) h. 94.

10

(27)

Berdasarkan definisi kritik hadis yang dikemukakan al-Jawabi seperti yang

dikutip di atas, maka kritik matan sebagai bagian dari kritik hadis mencakup dua hal,

yaitu; (1). Kritik yang berkaitan dengan penelitian matan hadis, dalam upaya

menentukan benar tidaknya matan hadis bersangkutan, dan (2). Kritik matan yang

dilakukan dalam rangka memberikan interpretasi atau tafsiran yang benar mengenai

isi kandungan dan muatan informasi yang terdapat dalam sebuahmatanhadis.11

B. Teori dan Metodologi Kritik Inetern /Matan

1. Sketsa Sejarah Kritik Intern/ Matan

Istilah kritik hadis (naqd al-hadith) sekalipun belum muncul di zaman Nabi, akan tetapi unsur-unsur dari tema kegiatan kritik hadis sesungguhnya telah terjadi di

masa Nabi. Kritik sebagai upaya membedakan antara apa yang benar dan yang salah,

di masa Nabi lahir dalam bentuk, upaya konfirmasi oleh sahabat kepada Nabi

sebagai usaha untuk membuktikan apakah informasi yang mereka dengar dari

sahabat yang lain benar adanya. Upaya konfirmasi dalam rangka pembuktian

kebenaran suatu informasi dapat dilihat sejumlah kasus.12

naskah diberi notasi oleh Nuruddin 'Itr (al-Madinah al-Munawwarah; al-Maktabah al-'Ilmiyah, th. 1927), h. 10.

11

Selain kritiksanadyang telah disebutkan di atas, kritik matan juga menjadi perhatian para ulama hadis, hal tersebut mengingat bahwa sebuah hadis yang sahih sanad nya tidak serta merta menjadikan nya juga sahih. Sekalipun demikian dibandingkan dengan kritik sanad, kegiatan kritik matan memiliki tingkat kesulitan yang lebih besar. Menurut al-Adlabi kesulitan dalam kritik matan lebih disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu ; (1). Kitab yang membahas kritik matan berikut metodenya masih sangat langkah, (2). Pembahasan matan dalam kitab-kitab tertentu sangat berserak, (3). Adanya keraguan dikalangan ahli hadis untuk mengklaim sesuatu sebagai bukan hadis padahal hadis dan demikian pula sebaliknya.

12

(28)

Di kalangan para sahabat, dikenal nama-nama yang sangat kritis dalam

menerima hadis, di antaranya Abu Bakar, Umar, Aisyah dan lain-lain. Kasus yang

paling populer untuk menunjukkan kegiatan kritik pada masa sahabat ini, adalah

penolakan Aisyah terhadap hadis yang disampaikan oleh Ibnu Umar dan Abu

Hurairah.13

Dari kegiatan yang disebutkan di atas dan sejumlah kegiatan yang sama yang

tidak disebutkan dalam tulisan ini, secara eksplisit memberikan informasi kepada

kita, bahwa dalam perspektif sejarah ummat Islam, kritik hadis telah dilakukan sejak

zaman Nabi. Kegiatan kritik terhadap hadis tampaknya semakin ketat dilakukan oleh

para sahabat setelah Nabi wafat, dan terus berlanjut hingga masa tabi' tabi'in. Sebagai contoh kasus dapat disebutkan disini adalah Imam Hasan al-Basri (w.110

H), menemui seseorang di Kufah hanya karena ingin mengkonfirmasi suatu berita

yang dia dengar.14 Kasus lain yang dapat disebut adalah, Abul Aliyah al-Riyahi,

beliau berkata; 'Kami telah mendengar sebuah hadis dari para sahabat Nabi di

Basrah, tetapi kami belum puas sebelum pergi langsung ke Medinah dan

mendengarnya langsung dari sahabat yang menuturkan hadis tersebut.15 Sekalipun

kegiatan-kegiatan yang serupa terjadi dalam masa Nabi hidup, dan dilanjutkan pada

zaman para sahabat demikian pula para tabi'-tabi'in namun diakui bahwa secara

yang dikonfirmasi oleh Dimam. (Abu 'Abdillah Muhammad bin 'Isma'il al-Bukhari,al-Jami' al- Sahih (Sahih Bukhari), juz. IIII(Beirut : Dar 'l-Fikr) h. 10.

13

(29)

teoritis dan metodologis, kritik hadis belum disusun secara khusus pada masa

tersebut.

Kritik hadis dilakukan secara lebih intensif utamanya ketika umat Islam

sudah bergesekan dengan masalah-masalah politik, di mana kondisi perpolitikan

ummat Islam yang tidak sehat dan berlangsung”panas”.Kondisi tersebut melahirkan

berbagai dampak yang tidak menguntungkan bagi periwayatan hadis. Akibat dari

pertentangan politik dan teologi yang terjadi masa awal, menyebabkan terjadinya

sejumlah usaha yang diarahkan kepada kegiatan memanipulasi berita yang

disandarkan kepada Nabi, yang dilakukan dalam rangka kepentingan pribadi dan

golongan.

Oleh karenanya, untuk menjaga kemurnian dan memelihara kebenaran hadis

dari usaha manipulasi sekelompok orang tertentu yang menginginkan keuntungan

pribadi dan golongannya, maka sejarah mencatat sejumlah pakar yang mengabdikan

dirinya untuk berjuang dengan gigih membendung segala upaya pemalsuan dan

penyebarluasan informasi yang disandarkan pada nabi.

Sejumlah ulama masa awal yang terkenal kritis dan selektif dalam menerima

hadis antara lain; Ibn Musayyib (w. 93 H) ;Al-Qashim bin Muhammad bin Abu

Bakar (w. 106 H); Salim bin 'Abdillah bin 'Umar (w. 106 H); Abu Salamah bin

'Abdur Rahman (w. 94 H).16

Bersamaan dengan semakin luasnya daerah Islam, maka sebagai

konsekuensinya adalah, berbagai informasi yang disebut hadispun semakin luas

(30)

penting, mengingat salah satu fungsi hadis itu sendiri, disamping sebagai ide

normatif keagamaan juga sebagai tafsir bagi pandangan Qur’an. Bertemunya antara

kebutuhan terhadap hadis disatu pihak dan interes politik dipihak lain dimanfaatkan

oleh sebagian kalangan untuk memproduksi hadis. Berangkat dari kenyataan inilah,

serta mencontoh generasi sahabat Nabi, maka setiap masa tidak pernah sunyi dari

sejumlah ulama yang mengkaji dan mendermakan hidupnya bagi upaya

penyelamatan hadis-hadis dari para pemalsunya, mereka terus berganti setiap

generasi dan upaya penyelidikan terhadap hadis dan sunnah Nabi terus

berkesinambungan baik yang menyangkut sanad maupun matan.

Seiring dengan tersebarnya sahabat nabi ke berbagai kota, maka penyebaran

hadispun semakin luas, sehingga sejak awal abad kedua hijriyah hingga beberapa

abad setelahnya, para ulama, tidak tanggung-tanggung mengeluarkan energi yang

lebih besar dalam upaya mengadakan penyeleksian terhadap hadis. Hal ini ditandai

dengan berbagai perlawatan yang dilakukan oleh sejumlah ulama hadis dengan

tujuan mengkonfirmasi kebenaran berita yang mereka dengar pada subyek sumber

berita. Check and recheck tampaknya telah menjadi budaya para ahli dan kritikus hadis sejak masa awal, dan terus berkelanjutan pada generasi berikutnya. Pada abad

kedua ini, tercatat sejumlah ulama kritik hadis yang terkenal antara lain; Sufyan

Sauri dari Kufah (w. 161 H), Malik bin Anas (w. 179 H), Sub'ah bin Wasith (w. 100

H), Hammad bin Salamah (w. 167 H), Al-Lais bin Sa'id dari Mesir (w. 175 H),

Hammad bin Sa'id di Mesir (w. 179 H), dan Ibnu Uyainah dari Mekkah (w.198H).17

16

Azami.,Kritik…h. 49.

17

(31)

Kegiatan kritik terus berlanjut dan hasilnya melahirkan sejumlah karya ulama dalam

bentuk teori dan metodologi dalam ilmu hadis baik yang berkaitan dengan

buku-buku yang berhubungan dengan kritik sanad maupun yang berkaitan dengan kritik

matan.

Kegiatan kritik yang dilakukan oleh para sahabat dan selanjutnya oleh para

ulama hadis masa belakangan, tidak saja ditunjang oleh kenyataan sejarah melainkan

juga ditunjang oleh berbagai landasan argumen naql, misalnya perintah Tuhan untuk mengadakancheck and recheckkepada setiap informasi yang beredar.18Selain itu, dari petunjuk Qur'an juga diperoleh himbauan kepada setiap orang agar bersifat

rasional dalam arti segala sesuatunya baru dapat diterima bila dapat dibuktikan

kebenarannya secara logis.19

Dari sekilas pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik hadis baik

yang menyangkut kritik sanad maupun yang berkaitan dengan matan memiliki

landasan historis di samping ditunjang oleh sejumlah argumennaql.

2. Konstruksi Teori Kritik Intern/ Matan

Terdapat kesepakatan dikalangan para ahli hadis, bahwa sebuah hadis yang

dikatakan sahih harus memenuhi lima syarat, yaitu; (a). Sanad hadis tersebut harus

muttasil, dengan kata lain antara satu periwayat dengan periwayat lainnya saling bersambung dan bertemu, (b). Setiap periwayat hadis yang menyampaikan hadis

tersebut harus positif keadilannya, (c). Seluruh subyek yang menyampaikan hadis

tersebut positif memiliki kapasitas intelektual yang memadai (dabit), (d). Tidak

18

(32)

terdapat kejanggalan pada sanad dan matan hadis bersangkutan (shadh), (e). Dan sanad serta matan hadis tersebut tidak mengandung cacat ('illat).20

Dari kelima kriteria yang disebut di atas, maka kriteria keempat dan kelima

selain menjadi kriteria bagi sanad hadis juga dijadikan acuan dan kriteria bagi

kesahihan matan hadis. Memperhatikan lima syarat utama bagi kesahihan suatu hadis

seperti yang disebutkan di atas, dapat disebutkan bahwa kegiatan atau langkah taktis

urut-urutan kritik hadis adalah, dimulai dengan kritik sanad terlebih dahulu

kemudian kritik matan.

Langkah taktis tersebut dapat dimengerti mengingat nilai pentingnya sanad

bagi sebuah hadis, sehingga suatu informasi yang disandarkan kepada Nabi yang

hanya berisi muatan informasi (matan) semata, tanpa memiliki rangkaian mata rantai

sanad, maka hal tersebut tidaklah dapat disebut sebagai hadis. Oleh karena itu,

sebuah hadis yang setelah dilakukan pengkajian terhadap sanad-nya diperoleh bukti

bahwa hadis bersangkutan sanad-nya tidak berkualitas, maka dengan sendirinya

tidak perlu lagi dilakukan kritik terhadap matan-nya. Dengan demikian, secara

urut-urutan langkah metodologis, kritik matan baru dilakukan apabila setelah dilakukan

penelitian terhadap sanad-nya dan diperoleh kesimpulan bahwa sanad tersebut

berkualitas sahih.

Dalam kenyataannya, tidaklah semua hadis yang sanad-nya berkualitas sahih,

matan nya pun demikian. Menurut Syuhudi Ismail, hal demikian terjadi disebabkan

oleh tiga kemungkinan, yaitu:

19

(33)

1. Telah terjadi kesalahan dalam penelitianmatanmisalnya. 2. Karena telah terjadi kesalahan dalam penelitiansanad.

3. Dan kemungkinan ketiga karena matan hadis yang bersangkutan telah mengalami periwayatan secara makna.21

Untuk itu idealnya penelitian matan hadis secara urut-urutan teknis metodologis dilakukan melalui tiga tahap yaitu; (1). Meneliti sanad sebelum meneliti

matan (2). Meneliti susunan lafal matan yang semakna (3). Meneliti kandungan

matan.22 Tetapi dalam kenyataannya teknis metodologis urutan satu dan dua sering

sekali tidak dilakukan, sehingga penelitian matan hadis langsung melompat pada

tahap ketiga, yaitu meneliti kandungan matan sebuah hadis.

Dalam kaitannya dengan penerapan kritik terhadap kandungan matan hadis,

dalam rangka menentukan kesahihan atau bahkan kepalsuan suatu hadis, maka

berbagai tolok ukur telah disusun oleh para ulama hadis. Tolok ukur tersebut sangat

bervariasi mengikuti kecenderungan ulama yang menyusunnya. Secara teoritis

berbagai tolok ukur yang berkaitan dengan matan dalam hubungannya dengan sahih

tidaknya sebuah matan hadis telah dibahas dan dikaji oleh ulama kritik hadis.

Ibnu Jauzi misalnya melihat sahih tidaknya matan hadis ditentukan dengan, apakah matan bersangkutan bertentangan atau tidak dengan akal dan ketetapan

20

Ibnu Shallah, 'Ulum al-Hadith, naskah diteliti oleh Nuruddin 'Itr, (Al-Madinah al-Munawwarah; al-Matba'ah al-'Ilmiyah, th. 1979), h. 10, lihat juga, Abu Zakariyah Yahya bin Syaraf an-Nawawi,Al-Taqrib al-Nawawi Fan Usul ‘l-Hadith (Kairo; Abd al-Rahman Muhammad, tth) h.2.

21

Syuhudi Ismail,Metodologi....op.cit., h. 122.

(34)

pokok ajaran agama.23 Berbeda dengan Ibnu Jauzi, Khatib al-Baghdadi merinci

enam hal yang dapat dijadikan tolok ukur dalam menakar sahih tidaknya matan

sebuah hadis(mi'yar naqd 'l-matan).Keenam kriteria tersebut adalah; (1) Tidak bertentangan dengan akal yang sehat

(2) Tidak bertentangan dengan hukum Qur'an yang muhkam

(3) Tidak bertentangan dengan hadis yangmutawatir

(4) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah disepakati oleh ulama masa

lampau.

(5) Tidak bertentangan dengan dalil yang telah pasti.

(6) Tidak bertentangan dengan hadisahadyang kualitasnya lebih kuat.24 Berbeda dengan al-Baghdadi, Salahuddin al-Adlabi mengemukakan

empat syarat yang menjadi kriteria bagi hadis sahih, keempat syarat tersebut

adalah :

(1) Tidak bertentangan dengan petunjuk Qur'an.

(2) Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih kuat.

(3) Tidak bertentangan dengan akal dan indera yang sehat.

(4) Susunan pernyataannya menunjukkan ciri-ciri sabda. Nabi.25

Selain dari kriteria yang telah disebutkan oleh al-Baghdadi dan al-Adlabi,

masih terdapat kriteria yang disebutkan oleh jumhur ulama sebagai standar dalam

menilaimatanhadis yang dinilai palsu, kriteria tersebut adalah;

23

Abu Farj 'Abd al-Rahman bin 'Ali Ibnu al-Jauzi,Kitab al-Mawdu'at, juz I, (Beirut; Dar ’l -Fikr th. 1983), h. 106, : lihat juga, Salahuddin bin Ahmad al-Adlabi,Manhaj Naqd Matn, (Beirut: Dar al-Afaq al-Jadidah, 1983), h. 237.

24

Abu Bakar Ahmad bin Thabith al-Khatib al-Baghdadi, Al-Kifayah fa al-‘Ilm al-Riwayat

(35)

1). Ungkapan hadis bersangkutan tidak dangkal, oleh karena yang dangkal

tidak mungkin diucapkan oleh Rasulullah SAW., oleh karena Rasulullah

memiliki apresiasi yang tinggi.

2). Tidak menyalahi pandangan para cendekiawan (mereka yang memiliki

pandanga yang luas) sebab sekiranya menyalahi makamatanhadis tidak dapat ditakwil.

3). Tidak bertentangan dengan pandangan umum tentang hukum dan

akhlak.

4). Tidak bertentangan dengan perasaan dan hasil pengamatan serta

penelitian.

5). Tidak menyalahi para cendekiawan dalam bidang kedokteran dan

filsafat.

6). Tidak mengandung kepicikan sebab syar’iat sama sekali jauh dari segala

hal yang menyempitkan.

7). Tidak bertentangan dengan akal sehat, utamanya yang berhubungan

dengan pokok-pokok akidah, termasuk di dalam sifat Allah dan

Rasul-Nya.

8). Tidak menyimpang dari sunnah Allah yang berhubungan dengan alam

dan kehidupan manusia.

9). Tidak mengandung sesuatu yang na’if oleh karena orang yang beriman

mustahil dihinggapi sifat demikian.

25

(36)

10). Tidak bertentangan dengan Qur'an dan hadis yang disepakati

kesahihannya, juga dengan ijma' ulama hukum yang telah disepakati

berdasarkan Qur'an dan sunnah, ataupun hukum-hukum agama yang

telah menjadi keharusan yang tidak perlu diinterpretasikan.

11). Tidak bertentangan dengan fakta historis yang diketahui oleh umum.

12). Tidak menyerupai mazhab rawi yang menganggap hanya mazhabnya saja yang benar.

13). Tidak menyampaikan suatu berita tentang peristiwa yang dapat

diketahui oleh orang banyak, pada hal riwayat tersebut hanya

disampaikan oleh seorang periwayat saja.

14). Tidak menyampaikan suatu berita yang kandungannya tampak lebih

menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan.

15). Tidak mengandung uraian yang membesar-besarkan pahala bagi

perbuatan yang kecil, juga tidak mengandung uraian yang

membesar-besarkan ancaman dari dosa yang kecil.26

Dari berbagai variasi kriteria yang telah disusun oleh ulama dalam

menilai sahih tidaknya atau palsu tidaknya sebuah matan hadis, maka menurut penulis paling tidak, ada empat hal patokan umum yang merangkum

sekian banyak kriteria yang disebutkan oleh para pakar hadis dalam

kaitannya dengan tolok ukur kesahihanmatanhadis, yaitu : (1) Tidak bertentangan dengan Qur'an.

26

(37)

(2) Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih.

(3) Tidak bertentangan dengan rasio dan logika yang sehat.

(4) Tidak menyalahi fakta sejarah yang diketahui oleh umum

3. Metode dan Pendekatan KritikMatan

Kritik hadis sebagaimana yang telah dikemukakan pada bahasan yang lalu,

tidak saja berarti kegiatan yang mengarah hanya pada persoalan menentukan sahih

tidaknya sebuah hadis, tetapi juga mencakup penelitian atau pengkajian hadis dalam

rangka untuk menemukan dan menempatkan pesan normatif hadis pada proporsi

yang sebenarnya. Untuk pengertian yang terakhir ini akan sangat terkait dengan cara

pendekatan dalam memahami hadis.

Mengingat kedudukan hadis yang menempati posisi penting dalam ajaran

Islam setelah Qur'an, sementara Islam itu sendiri oleh hampir seluruh pemeluknya

diyakini sebagai Agama dan jalan hidup yang sempurna.27 Berangkat dari

pandangan ini, para ulama dan umumnya umat Islam meyakini bila agama yang

mereka imani ajarannya akan selalu sesuai dengan segala masa dan tempat serta

berlaku universal.

Sebagai ajaran yang diterjunkan pada masyarakat manusia, yang awal

mulanya dikenalkan pada masyarakat Arab, maka sudah barang tentu sebagian besar

dari konsep ajarannya mengikuti trend masyarakat setempat. Adalah suatu hal yang lumrah terjadi, bahwa pada masyarakat manusia dalam setiap generasi dan kurun

27

Pandangan dan keyakinan yang demikian, didasarkan atas firman Allah dalam Qur'an, ...

(38)

waktu tertentu, pola dan cara kehidupannya selain memiliki kemiripan atau

kesamaan dalam aspek-aspek tertentu, juga memiliki perbedaan, bahkan perbedaan

cara dan model kehidupan akan lebih banyak dan sangat menonjol berbanding

dengan persamaannya. Perbedaan tersebut jelas tidak dapat dilepaskan dari

perbedaan tempat dan waktu.

Bila kemungkinan terjadinya persamaan dan perbedaan dalam kehidupan

pada suatu masyarakat yang hidup dalam kurun waktu dan tempat yang berbeda,

dihubungkan dengan konsep ajaran Islam yang oleh sebagian terbesar ummat Islam

diimani sebagai ajaran yang tetap dapat berlaku pada setiap kurun waktu dan tempat,

maka hal yang harus terjadi dalam konsep ajaran Islam itu sendiri adalah, adanya

konsep ajaran yang bersifat umum dan temporal, dan berlaku lokal.

Kemungkinan kenyataan di atas sangat terbuka, mengingat posisi nabi dalam

sejarah memiliki peran multifungsi, baik posisi nabi selaku pesuruh dan utusan Allah

yang bertugas menyampaikan wahyu, maupun posisi lain nabi selaku kepala Negara,

panglima perang, pemimpin masyarakat, hakim yang memutuskan perkara antara

individu, ataupun posisi nabi sebagai individu yang hidup di tengah-tengah

komunitas masyarakat pada waktu itu.

Beranjak dari kenyataan tersebut di atas, maka pemahaman terhadap

hadis-hadis nabi, dalam kaitannya dengan kedudukan hadis-hadis sebagai salah satu sumber

patokan dalam beragama, sangat urgen dikaitkan dengan peran dan posisi Nabi

ketika mengucapkan hadis tersebut, atau dalam rangka apa yang menjadi

(39)

Perhatian terhadap unsur-unsur terkait yang menyertai lahirnya sebuah hadis

sangat penting, mengingat secara teoritis makna suatu pesan sangat terkait dengan

kondisi dan suasana ketika pesan itu dikeluarkan. Oleh karena itu, memahami makna

dan pesan sebuah hadis dengan hanya bertumpu pada teks secara apa adanya,

sangat tidak memadai, bahkan akan semakin mempersempit ruang lingkup dan

cakupan ajaran Islam yang diklaim universal.

Dengan demikian pemanfaatan metode dan pendekatan yang analitis dan

kritis terhadap teks hadis menjadi suatu keniscayaan. Dan tentunya pendekatan

dalam memahami teks tidak harus terpaku dengan satu pendekatan. Untuk itu

pendekatan historis, antropologis, sosiologis bahkan pendekatan kebahasaan

sebaiknya menjadi perangkat yang selalu diikut sertakan dalam mengkaji sebuah

hadis.

a. Pendekatan Historis

Adapun pendekatan historis itu sendiri dilakukan sebagai satu usaha dalam

mempertimbangkan kondisi historis pada saat hadis diluncurkan. Pendekatan ini

pada dasarnya bukan suatu hal yang baru, oleh karena pendekatan semacam ini telah

dikenal dan diperkenalkan oleh ulama hadis sejak dahulu, dengan satu disiplin ilmu

yang disebutasbab al-wurud. Yaitu suatu ilmu yang menerangkan sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan masa-masa Nabi menuturkannya.28

Pentingnya pengetahuan terhadap hal ini, karena kejadian-kejadian yang

(40)

yang 'am, membatasi yang mutlak, merinci yang global dan menentukan adanya

nasakh, menjelaskan'illathukum dan membantu menjelaskan hadis yangmusykil.29 Dalam pendekatan historis, pertanyaan mengenai mengapa nabi bersabda

serta bagaimana suasana dan kondisi sosio kultural masyarakat, termasuk

didalamnya persoalan politik saat itu, menjadi mengemuka dan mendapat penekanan.

Jadi pendekatan historis yang dilakukan terhadap obyek material hadis, secara teknis

dilakukan dengan meneliti proses yang berada di sekeliling hadis. Tujuan dari

pendekatan ini, adalah untuk menemukan penjelasan tentang faktor-faktor apa saja

yang menyebabkan matan hadis muncul. Selain itu pendekatan histories juga

berfungsi guna menemukan generalisasi yang berguna dalam upaya memahami

gejala masa kini.

b. Pendekatan Sosiologis dan Antropologis

Adapun pendekatan sosiologi bertujuan untuk menyorot sudut posisi manusia

yang membawanya kepada prilaku itu. Sedangkan pendekatan antropologi, adalah

analisa yang dilakukan dengan memperhatikan terbentuknya pola-pola prilaku dalam

sebuah tatanan nilai yang dipegang atau dianut dalam kehidupan manusia.30

Kontribusi pendekatan ini (antropologi) bertujuan menyajikan uraian yang

meyakinkan tentang apa sesungguhnya yang terjadi dengan manusia dalam berbagai

situasi hidup dalam hubungannya dengan ruang dan waktu.31

28

TM. Hasbi ash-Shiddieqie,Sejarah Ilmu Hadis, (Jakarta, Bulan Bintang, 1993), hh. 163-164.

29

Untuk lebih jelasnya dapat dibaca tulisan Jalaluddin al-Suyuti, Lam'u fi Asbab al-Hadith(Beirut, Dar l-Fikr, t.th), hh. 11-17.

30

Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, (Ed.) Metodologi Penelitian Agama: Sebuah Pengantar(Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 1.

31

(41)

c. Pendekatan Kebahasaan

Selain mengkaji dan memahami makna dan pesan hadis dengan tiga

pendekatan tersebut di atas, pendekatan lain yang juga dapat dilakukan dalam upaya

menghasilkan suatu pemahaman terhadap hadis secara proporsional adalah dengan

menggunakan pendekatan kebahasaan.

Matan hadis sebagai obyek material dari penelitian hadis, sebagaimana

diketahui diriwayatkan dalam dua bentuk, yaitu ; riwayat bi al-lafdh dan riwayat bi al-ma’na. Kenyataan tersebut menggiring kita kepada dua bentuk penelitian yaitu ; (1). Penelitian atas kebenaran kata yang disepakati, guna mengetahui keaslian kata

tersebut apakah benar bersumber dari nabi atau produk periwayat yang disebut. (2)

Dan yang kedua adalah penelitian terhadap ketepatan kata yang disepakati perawi

dalam mengungkapkan kejadian di masa nabi yang disebut.

Dengan demikian, penelitian atas matan hadis ditinjau dari sudut pendekatan

bahasa mencakup dua hal : (1) Penelitian terhadap keaslian kata, ditinjau dari sudut

dikenal tidaknya kata tersebut dalam kurun masa ke-nabian dan sahabat. (2) Dan

yang kedua adalah ketepatan pemilihan kata yang dilakukan oleh periwayat yang

meyakinkan sesuai dengan kejadian di masa Nabi.32

C. Urgensi KritikMatan

Dalam hubungannya dengan sumber otoritatif Islam, antara Qur'an dan hadis

nabi memiliki suatu perbedaan yang mendasar. Umat Islam dalam hal ini

(42)

tetapi tidaklah demikian adanya dengan hadis, secara faktual sebagian besar atau

hampir secara keseluruhan sistim periwayatan hadis bersifat zan. Dengan demikian, setinggi apapun predikat kesahihan sebuah hadis, kesimpulannya hanya sampai

“diduga kuat”sebagai suatu yang bersumber dari nabi.

Perbedaan dari segi wurud dan dilalat antara Qur'an dan hadis, sebagaimana disebutkan di atas memiliki implikasi yang sangat besar dari segi hokum, antara

mereka yang meragukan Qur'an dan hadis. Karena itu, seorang individu atau sebuah

komunitas yang meragukan Qur'an sebagai wahyu Allah, dapat mengakibatkan

seseorang menjadi “kafir”. Sedangkan meragukan sebuah hadis, sebagai sebuah

informasi yang bersumber dari nabi tidaklah mengakibatkan orang tersebut menjadi

kafir.

Berangkat dari kondisi faktual, bahwa hadis nabi pada umumnya atau

sebagian terbesar sampai kepada kita melalui, sistem periwayatan yang hanya sampai

pada kategori zanny atau diduga kuat, maka kita menemukan titik kepentingan mengapa penelitian terhadap hadis menjadi urgen. Letak kepentingan bagi upaya

penelitian hadis paling tidak didasarkan atas beberapa alasan pokok dan

mendasar.Yaitu; berkaitan langsung dengan eksistensi hadis sebagai salah satu

sumber otoritatif dalam ajaran Islam, maupun dari segi kesejarahan yang berada

disekeliling hadis. Faktor-faktor pokok yang mendasari pentingnya kritik matan

hadis, antara lain :

(1) Hadis sebagai salah satu sumber otoritatif

(2) Sebagian besar hadis belum tercatat di zaman Nabi

(3) Telah terjadi pemalsuan hadis

32

(43)

1. Kedudukan hadis sebagai sumber otoratif

Sebagian besar ummat Islam sepakat, bahwa ucapan, perbuatan dan ketetapan

Nabi (hadis), memiliki kedudukan sebagai sumber otoritaf dalam ajaran Islam

setelah Qur'an. Oleh karenanya hadis yang disampaikan melalui periwayatan yang

sahih merupakan dalil Agama.

Sepanjang sejarah ummat Islam, golongan yang tidak mengakui eksistensi

hadis nabi sebagai dasar dalam menjalankan ajaran Agama, dikenal dengan nama

“ingkar sunnah”. Golongan ini bukanlah golongan yang baru muncul, tetapi sudah

muncul sejak zaman Imam Syafi'i (w. 204 H). Secara khusus al-Syafi'i telah menulis

bantahan terhadap golongan ini, sekaligus menjelaskan tentang keabsahan dan

kehujjahan hadis nabi.

Pada prinsipnya argumen yang menyebutkan kedudukan penting hadis Nabi,

dapat ditemukan pada beberapa ayat-ayat Qur'an, yang menjelaskan tentang perintah

mentaati Allah dan Rasul-Nya, sebagai berikut:

"Katakanlah : Taatilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir".33

"Barangsiapa yang mentaati Rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka".34

"Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada lagi bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan

33

QS. 2:32

34

(44)

mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya dia telah sesat secara nyata".35

Berangkat dari ayat-ayat Qur'an yang disebutkan diatas sekalipun

ungkapannya bervariasi, tetapi memiliki makna dan pengertian yang sama, yaitu;

perintah mentaati untuk Allah dan mentaati ajaran Rasul-Nya, tentunya yang

dimaksud dalam hal ini adalah Qur'an dan hadis Nabi yang sahih.

Perintah mentaati Allah dan Rasul-Nya dalam Qur'an terulang sebanyak 19

(sembilan belas) kali. Menurut Quraish shihab, kadang-kadang perintah tersebut

digabung antara ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya (Ati'u Allah wa al-Rasul) seperti dalam QS. 3:32, 132; QS. 8:1 dan sebagainya, atau terkadang keduanya

dipisahkan dengan kata "ati’u: ”ati'u Allah wa al-Rasul”, seperti yang dapat dilihat pada QS 4:59 ; QS. 24:54; QS. 4:23, dan sebagainya. Kesemua hal ini

merupakan isyarat, bahwa perintah-perintah Nabi Muhammad SAW., harus diikuti,

baik yang bersumber langsung dari Qur'an, maupun perintah-perintahnya berupa

kebijaksanaannya.36 Dari penjelasan-penjelasan yang dikemukakan di atas, jelas

memberikan keterangan yang secara tegas dan meyakinkan tentang kedudukan

penting hadis nabi dalam ajaran Islam.

Selain dari dasar-dasar yang terdapat dalam Qur'an yang menerangkan

tentang posisi hadis nabi sebagai sumber otoritatif, keterangan tentang posisi penting

35

QS. 33:36

36

(45)

hadis nabi tersebut, juga dapat ditemukan dari keterangan nabi sendiri, yang secara

eksplisit menerangkan untuk berpegang kepada sunnahnya.37

Kedudukan penting hadis nabi, juga didukung oleh argumen aql atau jalan pikiran dan logika manusia. Mengingat Qur'an sebagai sumber utama dari Islam

tidaklah merinci seluruh hal yang berkaitan dengan masalah teknis, dan praktek

Agama. Hal ini dapat dirujuk pada berbagai perintah yang berkaitan dengan

ibadah-ibadah mahdah. Misalnya perintah menjalankan shalat, melaksanakan puasa, mengeluarkan zakat, menjalankan haji dan lain-lain. Perintah tersebut dalam Qur'an

tidak dijelaskan secara terperinci syarat dan rukunnya, sehingga untuk

melaksanakannya niscaya untuk merujuk pada keterangan yang bersumber dari

praktek yang telah dijalankan oleh Nabi SAW. , dalam hal ini hadis atau sunnah.

Dengan demikian, bila hadis ditolak sebagai dasar dalam beragama,

konsekuensinya umat Islam kini tidaklah dapat menjalankan praktek agama/ritual,

seperti tata cara dalam salat, mulai dari takbir hingga salam. Umatpun tidak dapat

menjalankan ibadah haji sebagaimana praktek yang kini terlihat, juga umat tidak

dapat mengeluarkan zakat, karena Qur'an tidak merinci tentang bahan dan barang

apa saja yang dapat dikeluarkan zakatnya dan berapa besar yang harus dikeluarkan.

Dari sekian hal yang telah disebutkan tersebut, menunjukkan secara nyata

fungsi hadis terhadap Qur'an, yaitu menjelaskan dan menjabarkan konsep-konsep

yang masih bersifat global. Dengan fungsi tersebut, menguatkan pandangan yang

menyebutkan, bahwa hadis-hadis nabi merupakan pijakan atau salah satu rujukan

37

(46)

dan dasar dalam beragama. Kedudukan penting hadis nabi tersebut, sekaligus

menunjukkan betapa pentingnya menelaah dan menelitinya, tentu saja dengan tujuan

untuk memisahkan hadis yangmaqbul(dapat dijadikan hujjah) dan hadis-hadis yang

mardud(hadis yang ditolak).

Usaha meneliti dan memisahkan hadis yang maqbul dan mardud ternyata tidak dapat dilepaskan dengan teori dan metodologi kritik matan yang merupakan

bagian dari pembahasan ilmu kritik hadis. Hal tersebut sekaligus menunjukkan

betapa pentingnya kritik matan.

2. Sebagian besar hadis Nabi belum tercatat di zaman Nabi

Sekalipun terdapat sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan hadis,

akan tetapi di samping jumlah mereka (sahabat) yang menulis sangat sedikit juga apa

yang dilakukan oleh para sahabat tersebut, baru sampai pada tahap penghimpunan

secara pribadi. Misalnya, catatan hadis yang dimiliki Abu Hurairah, jumlah hadis

yang disalin oleh beliau mencapai 1236 hadis, demikian pula dengan catatan yang

dimiliki oleh sahabat lainnya, seperti; Ibnu Umar, Anas bin Malik, Aisyah dan Ibnu

Abbas.38

Minimnya sahabat yang menulis hadis-hadis nabi antara lain disebabkan oleh

karena banyak di antara para sahabat yang belum pandai menulis, juga karena

perhatian umat pada masa itu lebih diarahkan kepada pemeliharaan Qur'an, oleh

karena pada zaman Nabi SAW., Qur'an belum dibukukan dalam bentuk Mushaf.39

38

Azami,Studies...op.cit., h. 32.

39

(47)

Data sejarah menunjukkan, bahwa pembukuan hadis secara resmi dan massal,

baru dimulai pada zaman Khalifah Umar bin Aziz (berkuasa antara th. 99 H-101 H),

pembukuan hadis pada zaman ini adalah merupakan kebijakan pemerintah di bawah

kepemimpinan Umar bin Abdul Aziz. Dikatakan demikian, karena sebelumnya

belum ada satu orangpun khalifah yang secara resmi mengeluarkan perintah bagi

penghimpunan hadis secara massal.40

Bila diperhatikan, maka pembukuan tersebut berlangsung tahun 99 Hijriyah,

berarti sebelumnya periwayatan hadis lebih banyak berlangsung dari lisan ke lisan

dengan mengandalkan kemampuan menghafal para periwayat. Mengingat bahwa

para periwayat hadis adalah seorang manusia biasa yang tetap mempunyai

kemungkinan untuk bersalah, di samping adanya kemungkinan-kemungkinan

lain-nya, seperti bercampur baurnya antara hadis-hadis nabi, dengan perkataan-perkataan

ulama (dalam hal ini para periwayat hadis), maka kebijakan Umar bin Abdul Aziz

jelas bertujuan untuk memelihara hadis-hadis tersebut dari penyimpangan yang

bukan mustahil terjadi tanpa disengaja, ataupun kesalahan dan penyimpangan yang

telah direncanakan oleh golongan lain.

Selain dari pemeliharaan hadis nabi yang dilakukan dengan cara

menghimpunnya, upaya lain yang dilakukan dalam usaha pemeliharaan hadis-hadis

beliau, adalah dengan jalan melakukan kajian dan penelitian yang mendalam

terhadap setiap riwayat, tentunya menggunakan kaidah-kaidah yang telah disusun

oleh ulama-ulama Islam di masa lampau.

40

(48)

Pentingnya penelitian tersebut, karena para penghimpun hadis, dalam hal ini

para ulama hadis masa awal, belum memisahkan (secara keseluruhan) antara hadis

yang maqbul dengan hadis yang mardud. Kenyataan yang menunjukkan belum dilembagakannya seluruh hadis pada zaman nabi dan adanya waktu yang panjang

antara kegiatan periwayat secara lisan ke lisan dengan penghimpunan ke dalam suatu

kitab hadis, menunjukkan terhadap pentingnya kritik matan.

3. Telah terjadi pemalsuan terhadap hadis Nabi

Sahabat Rasulullah SAW., dimasa awal Islam, sesungguhnya telah

menghidupkan ajaran-ajaran Nabi SAW., dengan jalan mengamalkan dan

menyebarluaskan sunnah beliau ke tengah masyarakat di masa itu. Akan tetapi,

setelah masa para sahabat berlalu dan terjadinya fitnah di kalangan kaum muslimin,

yang mengakibatkan terbunuhnya Usman ra., maka mulailah terlihat gejala-gejala

yang mengarah kepada pertentangan politik di antara kaum muslimin.

Akibat dari pertentangan politik yang terjadi, melahirkan kelompok-atau

sekte-sekte dalam Islam, seperti Syi'ah, Khawarij dan Jumhur. Konsekuensi logis

dari kelahiran berbagai sekte teologi, menjadikan pertentangan dalam tubuh intern

umat Islam semakin ”memanas”. Dan salah satu akibatnya adalah, tidak jarang

diantara pendukung masing-masing kelompok tertarik menciptakan hadis-hadis yang

disandarkan atas nama nabi, hanya untuk melegalisasi kepentingan-kepentingan

politik yang mereka jalankan.41

41

(49)

Menurut Mustafa as-Siba'i, bahwa th. 40 H., merupakan awal dari terciptanya

hadis palsu, pertentangan politik antara Ali dengan Muawiyah menimbulkan akibat

yang sangat mengerikan, yaitu terjadinya perang terbuka dan menelan korban

manusia yang sangat banyak. Hal yang paling disesalkan adalah pertentangan politis

kemudian merembet kepada masalah keagamaan, yang pada akhirnya mendorong

beberapa pihak untuk menciptakan hadis-hadis palsu.42

Pengkultusan individu juga menjadi salah satu faktor mengapa hadis

diproduksi, sehingga pencampuran antara riwayat hadis yang benar-benar bersumber

dari nabi dengan konsep-konsep palsu tidak dapat dihindari.43 Merebahnya

hadis-hadis palsu di tengah-tengah kaum Muslimin yang diakibatkan oleh beberapa faktor

yang telah disebutkan, mendorong ulama untuk menyeleksi hadis-hadis secara ketat.

Sebagai realisasi dari keinginan luhur para ulama dalam bidang hadis, maka mereka

berjuang sekuat tenaga untuk membongkar segala kebohongan yang disandarkan

kepada nabi. Hasil dari perjuangan tersebut, melahirkan ilmu kritik hadis serta

berbagai kaidah-kaidah yang terdapat di dalamnya, termasuk didalamnya kritik

matan hadis.

Pembahasan landasan teori yang telah dijelaskan di atas akan ditindak-lanjuti

dengan memotret pemikiran Ghazali tentang kritik matan yang akan diuraikan lebih

lanjut pada Bab III. Pada Bab ini akan dijelaskan tentang teori kritik matan yang

diajukan oleh Ghazali. Dan apakah teori-teori yang dikemukakannya masih

berpegang pada kaidah kritik matan yang telah disepakati oleh jumhur ulama hadis

42

al-Siba'i,al-Sunnah…, op.cit.,h. 75.

(50)

atau ia menawarkan metode kritik tersendiri atas ijtihadnya sendiri. Hal ini penting

Referensi

Dokumen terkait

Analisis data dilakukan dengan kuantitatif, kemudian analisis yang dilakukan terhadap data antara lain uji statistik deskriptif, uji validasi, uji reliabilitas, uji

Penelitian lain dilakukan oleh Dewi (2018) dengan periode data yang lebih panjang yaitu dari tahun 1980-2016, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam nilai

National Concil of Teacher in Mathematic (NCTM) (Siregar, 2009) menyatakan bahwa secara umum kemampuan geometri yang harus dimiliki siswa adalah: (1) Mampu

Untuk variabel proses belajar mengajar / (X1), nilai t hitung yang diperoleh adalah sebesar 9,464 dan nilai signifikansinya adalah 0,000, nilai ini lebih

Saintifik jelas sekali di dalam setiap langkahnya harus dilakukan secara sistematis mulai dari melakukan pengmatan sampai dengan membuat kesimpulan atau

Berdasarkan penghitungan nilai keragaman genetik, respon seleksi dan korelasi genetik terhadap 45 popu- lasi terigu introduksi maka dapat disimpulkan bahwa variabel yang tepat

Dugaan sebagai daerah prisma akresi ini dikarenakan banyaknya sesar naik yang dapat ditafsirkan sehingga menjadi kumpulan sesar naik, terdapatnya singkapan batuan bancuh, sedimen

Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa proses belajar mengajar PKn meliputi kegiatan yang dilakukan guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan,