• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik Inern/ Matan Perspektif Muhammad al-Ghazali

Dalam dokumen Pemikiran Hadis Muhammad Al Gazali.pdf (Halaman 71-105)

MUHAMMAD AL- GHAZALI

C. Kritik Inern/ Matan Perspektif Muhammad al-Ghazali

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya, bahwa Ghazali termasuk di antara ulama yang meyakini kedudukan hadis sebagai sumber otoritatif setelah Qur'an. Sekalipun demikian, Ghazali memberikan catatan, bahwa khusus mengenai sunnah nabi, maka ia mengandung sesuatu yang mengharuskan untuk diwaspadai dalam menerimanya, sebab tidak semua hadis yang dinisbahkan berasal dari nabi, benar-benar bersumber dari beliau, juga tidak semua benar-benar pemahamannya atau benar-benar penempatan masalahnya.26

Dari uraian di atas, secara eksplisit menunjukkan perhatian Ghazali terhadap pentingnya penelitian hadis. Semangat dan keseriusan Ghazali dalam mengkritisi berbagai riwayat hadis tertuang dalam beberapa tulisannya, khususnya dalam buku

al-Sunnah al-Nabawiyah; Baina Ahl al- Fiqh wa Ahl al-Hadith. Dalam karyanya yang bercorak eksploratif tersebut, secara umum Ghazali lebih menekankan penelitiannya pada matan hadis, baik yang berhubungan dengan kritik yang tujuannya untuk memisahkan atau menentukan sahih tidaknya sebuah hadis, maupun sebagai upaya untuk menemukan makna dan pemahaman yang benar terhadapmatan

hadis. Dalam kaitannya dengan penelitian yang bertujuan menyeleksi matan hadis, Ghazali menggunakan berbagai tolok ukur, yang merupakan standar dan rujukannya, dalam mengklaim sahih tidaknya sebuah matan hadis. Sedangkan dengan persoalan pemahaman hadis, Ghazali menggunakan berbagai metode dan pendekatan.

26

Sekaitan dengan kedua cara yang digunakan Ghazali dalam mengkritisi sebuah hadis, berikut ini akan dideskripsikan dan dikaji secara kritis.

1. Tolok Ukur KesahihanMatanHadis Perspektif Muhammad al-Ghazali Pada prinsipnya Ghazali dalam berbagai tulisannya mengenai hadis tidak pernah secara eksplisit mensistematisasi berbagai tolok ukur yang mesti diberlakukan dalam menilai sahih tidaknya matan hadis. Adapun urut-urutan tolok ukur yang akan disebutkan di bawah ini, adalah hasil dari kesimpulan penulis yang disimpulakn dari sejumlah karya/ tulisan Ghazali mengenai masalah terkait.

Jika berbagai tolok ukur yang sering diberlakukan oleh Ghazali dalam mengklaim sahih tidaknya matan hadis dirinci, maka paling tidak ada empat unsur primer yang menjadi kerangka dasar yang dijadikan patokan, yaitu :

a. Sebuah hadis dinyatakan sahih matannya, apabila tidak bertentangan dengan Qur'an

b. Sebuah hadis dinyatakan sahih matannya, jika tidak bertentangan dengan rasio

c. Sebuah hadis dinyatakan sahih matannya, jika tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih

d. Sebuah hadis dinyatakan sahih matannya, apabila tidak menyalahi fakta historis.

a. Tidak bertentangan dengan Qur'an

Pengujianmatanhadis dengan Qur'an bukanlah hal yang baru, Tolok ukur ini telah menjadi sejarah dan bergulir terus hingga zaman ini. Para ulama hadis sepakat

menetapkan, bahwa salah satu tolok ukur utama bagi kepalsuan matan hadis, apabila secara lahiriyah bertentangan dengan kandungan pokok ajaran Qu'ran. Sekalipun demikian pengimplementasian tolok ukur ini menimbulkan perbedaan dikalangan ulama.

Ghazali dalam berbagai tulisannya mengenai tolok ukur kriteria dapat tidaknya matan hadis diterima, sangat menekankan pada Qur’an, bahkan dapat

dikatakan, bahwa kriteria inilah yang menjadi pusat kriteria bagi Ghazali. Sebagaimana ulama lainnya Ghazali mendasarkan pandangannya atas praktek Aisyah yang menolak hadis yang bersumber dari Ibnu Umar, mengenai tersiksanya seorang mayit lantaran isak tangis keluarganya.27 Penekanan tolok ukur ini "berkali-kali" diungkapkan Ghazali dalam berbagai tulisannya mengenai hadis, oleh

karena itu upaya intensif dalam memahami Qu’ran harus mendapat perhatian

sebelum menelaah hadis, dalam kaitan ini Ghazali mengatakan :

Kegiatan mengkaji kebenaran sumber hadis, tidak sepantasnya dilakukan bagi mereka yang belum memiliki syarat-syarat tertentu yaitu; (1) orang yang belum mempelajari berbagai cabang ilmu Qu'ran dan yang belum dapat menguasai ilmu-ilmu tersebut, tidak sepatutnya melakukan kegiatan meneliti kebenaran sumber hadis dan riwayat-riwayatnya. Sebab Qu’ran adalah

sumber terpokok bagi Islam. Qur'anlah yang telah dengan sangat cermat menentukan kewajiban-kewajiban dan hak-hak seorang muslim ...; (2) Setelah benar-benar memahami Qur'an barulah orang dapat memahami dengan benar apa yang dikehendaki oleh hadis; (3) Oleh karena itu, para ulama peneliti hadis berpandangan, bahwa hadis-hadis ahad, harus ditolok bila berlainan dengan lahiriyah Qu'ran dan keumuman nas atau tidak sejalan dengan qiyas (analogi) yang didasarkan pada hukum-hukum Qu'ran.28

Pada bagian tulisannya yang lain Ghazali mengatakan :

27

Aku tidak hendak membuat hal yang baru dalam lapangan agama, yang ingin saya tekankan adalah urgennya memberikan perhatian yang intensif terhadap Qur'an. Ada beberapa kelompok yang terus menerus hanya membaca kitab hadis dan menelantarkan Qur'an. Oleh karena itu pikiran mereka telah tumbuh menjadi bengkok, menjadi panjang ditempat yang seharusnya pendek dan menjadi pendek ditempat yang seharusnya panjang.29

Dari uraian di atas, secara eksplisit menunjukkan bahwa selama menyangkut kritik, baik dalam pengertian menyisihkan matan yang dipandang sahih maupun daif, ataupun kritik matan dalam arti upaya menemukan pemahaman hadis yang dapat diterima, Ghazali menggunakan standar Qur'an. Kriteria tidak bertentangan dengan Qur'an, oleh Ghazali diarahkan pada 2 (dua) hal, yaitu; (1). Tidak bertentangan

dengan lahiriyah Qu’ran; (2). Dan tidak menyalahi qiyas (analogi) yang didasarkan pada hukum-hukum Qur'an.

Penerapan kritik hadis dengan standarisasi Qur'an, dijalankan secara konsisten oleh Ghazali. Hal ini dapat dilihat khususnya pada buku Sunnah al-Nabawiyah. Karenanya tidak sedikit hadis-hadis yang dipandang sahih oleh kebanyakan ulama, misalnya berbagai yang terdapat dalam kitab sahih Bukhari dan Muslim dipandang daif oleh Ghazali. Bahkan secara tegas dia mengatakan, bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan persoalan kemaslahatan dan muamalat duniawiyah, ia lebih memilih untuk mengutamakan hadis yang sanad nya daif, bila kandungan maknanya singkron dengan prinsip-prinsip ajaran Qur'an, ketimbang hadis sahih (sanad nya sahih) akan tetapi kandungan maknanya tidak singkron dengan inti ajaran Qur'an.

28

Lihat antara lain; Ghazali, Fiqh...., h. 64-73; Ghazali, al-Sunnah...., h. 15, Ghazali,

Humum...., h. 53.

29

Sebagai contoh kasus, dapat disebutkan disini mengenai penolakan Ghazali terhadap hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, karena menurutnya bertentangan dengan Qur'an adalah hadis predestinasi, muatan informasi hadis tersebut sebagai berikut:

Maka demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, adakalanya seseorang di antara kamu mengerjakan suatu amalan ahli surga, sehingga jarak antara dia dan syurga tinggal sehasta namun suratan takdir mendahuluinya sehingga ia pun mengerjakan amalan ahli neraka dan masuklah ia kedalam neraka. Dan adakalanya seseorang mengerjakan amalan ahli mereka, sehingga jarak antara dia dan neraka tinggal sehasta, namun suratan takdir mendahuluinya sehingga ia mengerjakan amalan ahli surga maka masuklah ia ke dalam surga.30

Menanggapi dan mengomentari hadis di atas, Ghazali mengatakan bahwa bagaimanapun makna hadis tersebut tidak dapat diterima, karena yang demikian itu bertentangan dengan Qur'an dan sunnah atau dengan akal dan naql. Lebih lanjut Ghazali mengatakan, bahwa setiap hadis yang mengacaukan pikiran atau menafikan kehendak bebas manusia dalam membentuk masa depan ukhrawi mesti disingkirkan, oleh karena prinsip dasar agama yang telah dikokohkan keberadaannya oleh akal dan

naql(Qur'an dan hadis sahih) tidak boleh digoyangkan hanya oleh sebuah hadis yang sanadnya lemah atau matan-nya cacat.31

b. Tidak Bertentangan dengan rasio

Kriteria berikutnya bagi sebuah matan hadis yang sahih, adalah tidak bertentangan dengan rasio. Kriteria bertentangan dengan rasio dalam tradisi Ghazali, mencakup dua hal, yaitu; tidak memenuhi rasa keadilan atau bertentangan dengan

hak asasi manusia dan bertentangan dengan ilmu pengetahuan atau temuan ilmu pengetahuan modern.

1). Tidak memenuhi rasa keadilan atau bertentangan dengan HAM (Hak Azasi Manusia)

Kata keadilan yang berasal dari kata "adil", dalam bahasa Indonesia pada asalnya diadopsi dari bahasa Arab“al-'adl”, yaitu suatu kondisi kejiwaan seseorang yang mengantarnya pada prilaku jujur dan lurus. Secara harfiah, kata ini diartikan dengan "menempatkan sesuatu pada tempatnya" yang dilawankan dengan kata

zulm; "menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya".32Lalu dalam bahasa Indonesia kata ini secara harfiah berarti, tidak berat sebelah, tidak sewenang-wenang, memberikan perlakuan dan jaminan yang sama, menentukan mana yang benar dan yang salah. Bila kata ini dikaitkan dengan hukum maka dapat dimaknai, bahwa setiap orang harus mendapat perlakuan yang sama, dalam arti keadilan harus diberikan kepada siapa saja tanpa harus memandang status sosial, latar belakang politik, budaya, ekonomi bahkan agama. Dengan pengertian seperti maka biasa kita menjumpai ungkapan; "semua manusia sama dengan hukum".33

Bila dikaitkan dengan persoalan HAM, maka memperoleh keadilan adalah merupakan hak manusia yang dibawanya sejak lahir, dan sebagai makhluk Tuhan, hak tersebut terjaga dan dijamin oleh Tuhan. Dalam agama (agama apa saja)

30

Bukhari,Sahih Bukhari, jilid VII ... , h. 210 ; Muslim,Sahih Muslim, jilid II ..., h. 451-452; hadis yang sama juga diriwayatkan oleh Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, jilid IV, h.388/ ; Ibnu Majah,Sunan Ibnu Majah, jilid I….., h. 3940.

31

Ghazali,al-Sunnah..., h.34

32

Ibrahim Anis, dkk,Al-Mu'jam al- Wasit(Angkasa; ttp,tth), h. 164 & 196.

33

keadilan adalah salah satu misi, dalam arti setiap agama mengkampanyekan pemberian keadilan pada manusia dan sekaligus sebagai amanat Tuhan.

Berangkat dari pemahaman seperti di atas, maka Ghazali memandang adalah tidak masuk akal bila ada hadis nabi yang mengabaikan rasa keadilan. Karena itu Ghazali berpendapat, bahwa bagaimanapun sahihnya sanad sebuah hadis, jika muatan informasinya bertentangan dengan prinsip keadilan dan prinsip-prinsip hak azasi manusia, maka hadis tersebut tidak layak pakai (daif). Beranjak dari pandangan tersebut, maka Ghazali tidak segan-segan menolak setiap hadis yang dalam pandangannya tidak memenuhi kriteria prinsip keadilan dan prinsip-prinsip HAM. Sekalipun hadis-hadis tersebut diriwayatkan oleh periwayat sekaliber Bukhari dan Muslim.34

Sebagai contoh kasus yang dapat disebutkan, mengenai pandangan Ghazali dalam masalah ini adalah hadis mengenai peniadaan (tidak wajibnya dikenai) hukum

qisas bagi seorang muslim yang membunuh orang kafir.35

Bagi Ghazali, hadis tersebut di atas tidak dapat dikategorikan hadis sahih, sekalipun memiliki sanad yang berkualitas. Dasar argument bagi penolakan hadis tersebut, karena kandungan maknanya mengabaikan rasa keadilan dan tidak menghargai jiwa manusia. Lebih lanjut menurut Ghazali, bahwa dalam kaidah kemasyarakatan dan pergaulan hidup dengan kelompok non muslim, bagi mereka

34

Hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Nasa'i, yang bersumber dari Ali :

"Orang-orang Mukmin sama hak darah mereka, dan orang yang terpandang rendah dari mereka boleh mengerjakan sesuatu atas tanggungan mereka, dan mereka bersatu tangan dalam melawan orang yang lain dari mereka, dan tidak boleh dibunuh orang Mukmin dengan sebab membunuh orang kafir ... lihat; (Ahmad, Musnad Ahmad jilid II. (Beirut; Dar al- Fikr, 1981), h.178 / Abu Dawud, Sunan Abu Dawud Jilid IV...., h. 31

35

adalah hak yang sama sebagaimana diberlakukannya kewajiban yang sama. Oleh sebab itu, adalah sangat na’if bila mengabaikan darah orang yang terbunuh.36

Beranjak dari pandangan di atas, terlihat jelas bagaimana isu keadilan dimasukkan oleh Ghazali sebagai tolok ukur dalam menilai sahih tidaknya matan sebuah hadis. Diangkatnya isu keadilan oleh Ghazali, disamping berlatar belakang keagamaan (normatif), juga didasari oleh kenyataan yang didapatinya, bahwa hampir semua serangan-serangan yang ditujukan kepada agama Islam yang dianutnya, diarahkan pada isu-isu keadilan dan hak azasi manusia.

Disamping contoh kasus yang telah disebutkan, masih terdapat sejumlah kasus yang berkaitan dengan informasi hadis, yang dievaluasi oleh Ghazali dengan kriteria prinsip-prinsip keadilan. Misalnya,diyatseorang perempuan yang terbunuh separuh diyat seorang laki-laki, menurutnya hal tersebut tidak rasional dan tidak bermoral.37

2) Bertentangan dengan ilmu pengetahuan (temuan ilmu pengetahuan modern)

Kedudukan strategis hadis sebagai sumber otoritatif dalam Islam, adalah salah satu alasan mengapa penelitian terhadap kebenaran informasi hadis menjadi penting. Sebagai suatu informasi yang memuat ajaran-ajaran keagamaan yang tidak saja menyentuh aspek-aspek yang bersifat normatif, tetapi juga terkadang

36

QS. 5:45, 48 dan 50.

37

menyinggung aspek kehidupan yang lain, maka menurut Ghazali penelitian terhadap hadis harus melibatkan berbagai ahli dalam berbagai bidang.38

Dengan demikian untuk menghasilkan suatu kesimpulan yang lebih tepat dan komprehensip terhadap suatu hadis, baik untuk mengetahui benar tidaknya suatu hadis ataupun untuk menemukan makna sebuah hadis yang lebih memenuhi sasaran bukanlah monopoli ahli hadis dan ahli fiqhi saja. Tujuannya agar suatu hadis yang berkaitan atau berhubungan dengan persoalan-persoalan tertentu misalnya mengenai masalah; sosial kemasyarakatan, penyakit atau obat-obatan, tidak serampangan dinilai sahih, lantaran sanad nya dipandang berkualitas.

Sikap seperti di atas ditunjukkan Ghazali dalam menyikapi hadis yang berkaitan dengan persoalan "lalat". Menanggapi hadis yang berkaitan dengan persoalan "lalat" tersebut. Ghazali menyatakan; bila hasil penelitian dari pakar ilmu pengetahuan terkait, menyebutkan bahwa pada serangga (lalat) membawa penyakit dan pada saat yang sama juga dapat memberikan penangkal seperti dalam kasus yang disebutkan dalam sebuah hadis, maka hal itu haruslah diterima. Akan tetapi bila berdasarkan penelitian para pakar yang ahli dibidang terkait menyebutkan hal yang sebaliknya, maka hadis tersebut haruslah ditolok.39

38Ibid., h. 28.

39

Ghazali, Qazaif al- Haq ... op.cit., h. 181; Adapun hadis yang dimaksud, menyebutkan bahwa Rasulullah bersabda; "Apabila seekor lalat menghinggapi wadah (tempat makan atau minuman kalian, hendaklah lalat tersebut dibenamkan, karena sayapnya yang satu mengandung penyakit dan sayapnya lain mengandung obat."Hadis riwayat Bukhari, bersumber dari Abu Hurairah. Oleh Bukhari hadis ini dimasukkan dalam,Kitab al-Marda wa al-Tib, Juz IV,….., h. 33.

c. Tidak bertentangan dengan hadis yang lebih sahih

Tolok ukur ketiga yang dijadikan sandaran oleh Ghazali dalam menilai kualitas matan hadis, bahwa hadis yang dijadikan dasar argumen diharuskan tidak bertentangan dengan hadis mutawatir dan hadis lainnya yang lebih sahih.40 Atas dasar pandangan ini, Ghazali menolak pijakan hadis yang dijadikan argumen oleh sekelompok ulama yang mewajibkan penggunaan cadar bagi para wanita.

Adapun hadis yang dijadikan dasar oleh sekelompok ulama yang mewajibkan penggunaan cadar bagi wanita, adalah hadis yang bersumber dari Aisyah yang diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadis tersebut menyebut-kan; para wanita mengulurkan jilbabnya dari kepala hingga wajah mereka ketika berpapasan dengan beberapa penunggang kuda.41

Menurut Ghazali, hadis ini bertentangan dengan sejumlah riwayat hadis sahih, yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, Abu Dawud, dan lain-lain yang disampaikan oleh sejumlah sahabat nabi. Di mana ditemukan sejumlah indikasi yang hidup dalam masyarakat pada waktu itu yang menunjukkan, bahwa wanita tidak menggunakan cadar pada masa Rasulullah.42

40

Pengujian hadis dengan hadis lainnya, dalam pembahasan ilmu hadis berkait dengan persoalan shadh. Dalam pengertian ilmu hadis sebagaimana pendapat Imam Syafi'i, sebuah hadis dikatakan shadh, adalah riwayat hadis yang disampaikan oleh periwayat thiqah, tetapi bertentangan dengan riwayat lain yang disampaikan oleh sejumlah periwayat, yang jugathiqah(lihat; Ibnu Sallah,

'Ulum al-Hadith..., h. 48).

41

Lihat antara lain, Ahmad, Musnad Ahmad Juz III ..., h. 287; Abu Dawud, Sunan Abu DawudJuz II ... .., h. 163.

42

Lihat antara lain, Bukhari,Sahih Bukhari, Juz II ... ., h. 156; Muslim, Sahih MuslimJuz II ..., h. 176.

Dengan alasan bahwa hadis yang menyebutkan penggunaan cadar bertentangan dengan hadis yang lebih sahih, maka Ghazali secara tegas menolak setiap peristiwa yang berkaitan dengan masalah tersebut.43

d. Tidak Menyalahi Fakta Historis

Sebagai sebuah tumpuan dari rekaman kejadian atau peristiwa masa lalu yang didasarkan atas suatu fakta, sejarah memiliki kedudukan penting sebagai alat untuk menilai benar tidaknya suatu riwayat yang dinisbatkan kepada nabi. Oleh karena itu, antara hadis dan sejarah memiliki hubungan sinergis yang saling menguatkan satu sama lain, sehingga dengan adanya kecocokan antara hadis dengan fakta sejarah akan semakin menjadikan hadis tersebut memiliki sandaran validitas yang semakin kokoh. Demikian pula sebaliknya, bila terjadi penyimpangan antara hadis dengan sejarah, maka salah satu diantara keduanya perlu diragukan kebenarannya.

Karena itu salah satu bagian yang menjadi tolok ukur dalam menilai matan hadis, adalah sejauh mana hadis tersebut memiliki hubungan dengan fakta sejarah yang terpelihara dan dikenal secara umum. Ghazali sebagaimana ulama lainnya juga menjadikan sejarah sebagai salah satu alat untuk menilai kebenaran matan sebuah hadis. Karena itu, dia secara tegas menolak setiap riwayat yang menurut hasil analisisnya bertentangan dengan fakta historis yang terpelihara dan dikenal secara umum.

Berangkat dari alasan di atas, maka hadis Nafi' (mawla Umar bin Khattab) yang menginformasikan tentang "terjadinya serangan yang dilakukan oleh kaum

43

Muslim kepada kelompok Bani Musthaliq yang dilakukan secara tiba-tiba, tanpa didahului dengan dakwah agar mereka memeluk Islam", ditolok oleh Ghazali, sekalipun secara faktual hadis tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.44

Lebih lanjut menurut Ghazali, bahwa berdasarkan fakta dan pengalaman sejarah, Rasulullah SAW., dikenal sebagai seorang yang memiliki perilaku kehidupan yang sangat mulia. Oleh karena itu, segala tindakannya mesti dilandasi atas sesuatu yang berdimensi etis, yaitu menghormati hak-hak sesama manusia sekalipun terhadap kelompok non Muslim, sehingga yang tampak dan dikenal dalam sejarah kehidupannya, apabila harus terjadi pergesakan antara komunitas muslim dengan yang lainnya, yang ujung-ujungnya mesti diselesaikan dengan pengerahan pasukan, maka satu hal yang menjadi kebiasaan Rasulullah ketika melepas pasukan perangnya, dipesankan akan tiga hal yaitu;

(i) Serulah mereka kepada agama Islam, jika mereka menerima seruan tersebut, terimalah mereka dan jangan memeranginya.

(ii) Ajaklah mereka untuk bersatu pada perkampungan kaum Muhajirin, bila mereka menyetujui, maka kedudukan mereka menjadi sama dengan kaum muslim lainnya dalam semua hak dan kewajiban. (iii) Jika mereka menolak untuk berpindah tempat, maka mereka

disamakan dengan kaum muslim dari kalangan bangsa Arab pengembara dan berlaku kepada mereka hukum-hukum Allah yang berlaku atas kaum muslim secara keseluruhan.

44

Jika ketiga seruan di atas, belum dipenuhi, maka tetaplah jizyah, jika disetujui maka terimalah dan peliharalah keamanan mereka. Tetapi bila mereka menolaknya, mintalah pertolongan Allah lalu perangilah mereka.45

Demikianlah fakta historis yang menjadi kebiasaan Rasulullah SAW., sehingga menurut Ghazali, hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim yang bersumber dari Nafi' tidak dapat diterima. Penolakan Ghazali terhadap riwayat tersebut, tidak hanya didasari oleh fakta historis, tetapi muatan informasi riwayat tentang penyerangan terhadap Bani Musthaliq yang dilakukan "secara tiba-tiba", juga bertentangan dengan prinsip keadilan antara sesama manusia dan prinsip-prinsip ajaran Qur'an yang terdapat dalam suratal-Anbiya'ayat 109.46

Dari pembahasan mengenai tolok ukur kesahihan matan dalam perspektif Ghazali, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, dapat dijelaskan bahwa acuan-acuan tersebut diterapkan dengan metode perbandingan. Metode tersebut dijalankan dengan cara menelaah dan mengkaji keterkaitan muatan informasi hadis

dengan dengan acuan atau tolok ukur yang ada, yang menjadikan Qur’an sebagai

acuan sentral dan penalaran sebagai sebagai unsur perekat.

Bila ternyata sebuah hadis yang ditelaah, menunjukkan adanya korelasi atau

memiliki kesamaan ide dengan acuan yang ada (Qur’an, rasio (akal sehat), hadis

yang lebih sahih dan fakta historis), maka disimpulkan hadis tersebut bersatatus

45

Muslim,Sahih MuslimJuz. II ...., h. 69,

46

Sekaitan dengan riwayat mengenai peperangan yang terjadi dengan Bani Musthaliq seperti yang dikemukakan di atas sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, Ghazali mengatakan: ... Saya tidak dapat memastikan kebenaran riwayat Bukhari dan Muslim, mengenai cara yang ditempuh oleh Rasulullah dalam peperangan melawan Bani Musthaliq. Cara peperangan seperti ini tidak dapat dibenarkan dalam pandangan Islam dan mustahil dilakukan Rasulullah. Oleh karena itu saya tidak yakin kalau cara demikian dilakukan oleh Rasulullah. Saya lebih merasa tenang meyampaikan riwayat yang bersumber dari Ibnu Jarir, walaupun menurut hasil pemeriksaan dan penelitian Syaikh Nashiruddin al-'Albani, hadis tersebut dipandang lemah, namun apa yang disampaikan oleh Ibnu Jarir (Lebih lanjut baca,Tarikh Ibnu JarirJuz II, h. 160-162) tersebut sejalan dengan akidah Islam yang telah diyakini kebenarannya, yaitu : peperangan tidak boleh dilancarkan kecuali kepada orang yang zalim (Ghazali,Fiqh...., h. 16-17).

sahih. Demikian pula sebaliknya, bila setelah ditelaah ternyata muatan informasi sebuah hadis tidak memiliki korelasi atau bertentangan secara diametral dengan tolok ukur yang ada, maka disimpulkan sebagai hadis yang daif.

Sementara itu dalam hubungannya dengan tolok ukur ke empat, yaitu penilaian matan hadis dengan fakta historis, yang dijalankan oleh Ghazali, (dalam

hal ini kasus penyerangan Bani Mustaliq, yang dalam informasi Nafi’, penyerangan tersebut dilakukan secara “tiba-tiba”), maka setelah memperhatikan dan menelaah

pola kritik sejarah yang dilakukannya, menurut penulis tampaknya Ghazali menggeneralisasi suatu persoalan.

Asumsi dasar Ghazali adalah, jika dalam peristiwa-peristiwa terdahulu (peperangan-peperangan yang dilakukan sebelumnya oleh kaum muslimin) ditemukan satu budaya yang hidup dan diperaktekkan oleh Rasulullah SAW., yaitu

Dalam dokumen Pemikiran Hadis Muhammad Al Gazali.pdf (Halaman 71-105)