• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mengenal Bentuk Dan Konsep Otonomi Desa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mengenal Bentuk Dan Konsep Otonomi Desa"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

MENGENAL BENTUK DAN KONSEP OTONOMI DESA

SEBELUM DAN SESUDAH UU NO 6 TAHUN 2016

Negara kesatuan Republik Indonesia tidak akan pernah berdiri tegak, seandainya perjuangan untuk menegakkan kemerdekaan tidak didukung oleh rakyat di desa-desa dan diseluruh tanah air. Maka dari itu, meminjam pendapat Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H1, Desa dan kehidupan masyarakat desa adalah fondasi atau tiang utama kehidupan bernegara Indonesia.

Sebagai sebuah entitas yang memiliki hak otonomi asli dan bersifat istimewa2, Keberadaan Desa sebagai kesatuan masyarakat yang memiliki keistimewaan tersendiri yang tidak bisa disamakan dengan keistimewaan kesatuan pemerintahan daerah (Provinsi Aceh, DKI jakarta atau Yogyakarta). Hal ini dikarenakan Desa mempunyai Otonomi asli, bulat dan utuh yang ke-otonomi-annya bukan merupakan pemberian ataupun penyerahan wewenang dari pemerintah, melainkan berasalkan dari asal-usul dan adat istiadatnya yang keberadaannya jauh lebih dulu ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri terbentuk.

Mengenai bentuk dan konsep otonomi desa itu sendiri, ada baiknya jika diketahui terlebih dahulu, pengertian atau apa yang dimaksud sebagai desa. Menurut Soetardjo kartohadikusoemo3, desa merupakan suatu kesatuan hukum, dimana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Sementara itu menurut Prof. Dr. Hazairin, S.H.4, bahwa desa di jawa dan di madura, nagari diminangkabau merupakan masyarakat hukum adat, yang merupakan kesatuan-kesatuan kemasyarakatan yang memiliki kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu memiliki

1 Jimly Asshiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta Barat; PT. BHUANA ILMU POPULER, hlm.49

2 Lihat penjelasan pasal 18 pada Penjelasan UUD NRI 1945 sebelum perubahan, pada point II berbunyi “Dalam territori Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”.

(2)

kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak sesama atas tanah dan air bagi semua anggotanya.

Sehingga dengan demikian, apa yang dimaksud “..daerah-daerah yang bersifat istimewa.” dalam pasal 18 UUD NRI 1945 (sebelum perubahan) ialah “Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya, merupakan daerah yang bersifat istimewa yang keistimewaannya itu terletak pada susunan aslinya dan pengaturan daerahnya yang ditentukan oleh hukum adat setempat.

Adapun sejarah perjalanan peraturan yang mengatur terkait pengaturan desa, baik sebelum Indonesia merdeka dan berdaulat maupun setelah Indonesia merdeka, merupakan suatu proses kristalisasi norma yang bisa dibilang cukup lama seiring dengan kompleksitas dan keberagaman jenis desa yang di Indonesia. hal ini bisa dilihat pada sejarah perkembangan pengaturan terkait desa, yang sangat dinamis dan kompleks, yang kebanyakan dari pengaturan tersebut, sangat jarang ditemukan dalam suatu peraturan Undang-Undang khusus atau Undang-Undang tersendiri yang mengatur secara ekslusif mengenai Desa. Kebanyakan sari peraturan tersebut di selipkan pada pengaturan mengenai Pemerintahan Desa, seperti pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dan kemudian Lalu setelah amandemen kedua UUD NRI 1945 pada tahun 20005, pengaturan mengenai Desa diatur pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

(3)

Tingkat III di Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa

Adapun Sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia merdeka, Di masa penjajahan pemerintah Hindia belanda misalnya, terdapat juga peraturan yang mengatur secara khusus mengenai desa, yaitu pada tahun 1906 dengan Staatsblad nomor 3, Pemerintah Belanda menetapkan Inlandsche Gemente Ordonantie (I.G.O.), dan pada tahun 1938, Inlandsche Gemente Ordonantie Buitengewesten (I.G.O.B.). Kedua Ordonatie ini di maksudkan untuk mengatur desa sebagai kesatuan masyarakat Hukum adat, yang terhadap jawa dan madura berlaku Inlandsche Gemente Ordonantie (I.G.O.), dan terhadap di luar jawa dan madura berlaku Inlandsche Gemente Ordonantie Buitengewesten (I.G.O.B.).

Kembali pada pembahasan mengenai bentuk dan otonomi desa, jika kita lihat pada keseluruhan pengaturan peraturan Undang-Undang terkait desa, baik yang diselipkan di dalam pengaturan terkait pemerintah, maupun di atur secara khusus dalam suatu Undang-Undang tertentu, bisa kita lihat seperti apa bentuk dan otonomi bentuk yang diakui oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia kepada Desa.

Seperti pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, bentuk keistimewaan dan otonomi yang diakui oleh Negara kepada Desa, terletak pada penentuan Kepala daerahnya. Yang dimana di dalam penjelasannya6, ditentukan bahwa Kepala Daerah yang ditentukan, di angkat oleh pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. Sehingga dengan demikian, daerah-daerah tersebut di tegaskan dalam undang-undang ini ditetapkan sebagai daerah istimewa otonom.

Namun setelah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948 Tentang Penetapan Aturan-Aturan Pokok Mengenai pemerintahan Sendiri Di Daerah-Daerah Yang Berhak Mengatur dan Mengurus Rumah Tangganya Sendiri, digantikan oleh beberapa peraturan perundang-undangan berupa Undang-Undang setelahnya secara berangsur, seperti yang dimulai pada

(4)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, lalu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan di Daerah, terlihat seperti adanya upaya pengkaburan susunan asli dan otonomi yang dimiliki desa, berupa upaya yang terlihat seperti “pemaksaan” untuk mengubah bentuk desa yang berupa daerah yang berdasar hukum adat-istiadat menjadi daerah administratif yang diperistilahkan dengan daerah tingkat III dibawah daerah tingkat I (provinsi) dan daerah tingkat II (kabupaten)7, apalagi setelah di keluarkannya Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang semakin menjadikan nasib dan susunan keaslian Desa semakin dramatis8. Kedramatisan itu bisa terlihat pada ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 Tentang Pemerintahan Desa, hendak melakukan Unifikasi Hukum atau penyeragaman terhadap desa di Indonesia yang sejatinya beraneka ragam, tentunya jika diperhatikan, hal ini sangat bertentangan dengan semangat yang dibangun pada pasal 18 UUD NRI 1945 (sebelum perubahan) yang hendak membiarkan desa, gempong, huta nagari, marga, dan sebagainya dapat tumbuh dan berkembang dalam suasan keanekaragaman atau kebhinekaan9.

Barulah setelah di keluarkannya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Desa, Desa sebagai daerah asli yang mempunyai sifat keisitmewaan dan memiliki hak otonomi asli, berangsur kembali menemukan tempatnya di susunan ketatanegaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia. hal itu bisa dilihat dari usaha yang dilakukan oleh Negara dalam hal ini Pemerintah Pusat yang berusaha meredefinisi pengertian Desa yang menjadi sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan

7 Seperti yang terlihat pada beberapa ketentuan didalam peraturan perundang-undang berupa Undang-Undang yang menyinggung persoalan desa didalam Undang-Undang-Undang-Undang pemerintahan desa, seperti pada penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, lalu pada pasal 4 ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah yang membuka peluang pembentukan daerah administratif desa sebagai kecamatan, dan pada pasal 88 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok- Pokok Pemerintahan di Daerah yang menegaskan bentuk pemerintahan desa sebagai kecamatan melalui pembentukan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa.

8 Pada pasal 1 Undang-Undang ini menjelaskan bahwa “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung dibawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia”, yang tentunya dengan pendefinisian ini, terjadi kerancuan dan percampuradukan makna antara makna desa yang sesungguhnya dan daerah

(5)

asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten10. Selain itu juga didalam Undang-Undang ini di atur juga mengenai Badan Perwakilan Desa berfungsi mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa11. Selain itu ditetapkannya juga kewenangan Desa didalam Undang-undang ini yang antara lain mencakup12;

a. kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa;

b. kewenangan yang oleh peraturan perundang-perundangan yang berlaku belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah;

c. dan Tugas Pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten.

Kemudian diatur juga mengenai kewenangan mengadakan kerja sama dalam lingkup antar desa untuk kepentingan Desa13 yang sebagaimana kita jika lihat, ketentuan ini belum pernah diatur sama sekali oleh Undang-Undang sebelumnya yang mengatur terkait Desa.

Lalu pada keberlakuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang mencabut dan menggantikan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, di atur mengenai kewenangan kemudian menjadi Kewenangan Desa didalam pasal 206. adapun kewenangan tersebut mencakup;

a. urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;

b. urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa;

c. tugas pembantuan dari Pemerintah, pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota;

d. urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa.

Terhadap kewenangan yang dapat diadakan oleh Desa, yang semula pada Undang-undang sebelumnya hanya terbatas pada kerjasama antardesa, diperluas dengan

10 Lihat bunyi pasal 1 huruf O Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, “Desa atau yang disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem Pemerintahan Nasional dan berada di Daerah Kabupaten.”

11 Lihat pasal 104 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah

12 Lihat pasal 99 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah.

(6)

dimungkinkannya diadakan kerjasama dengan pihak ketiga. Namun, apa yang kemudian dimaksud dengan pihak ketiga ini dalam Undang-undang ini, tidak terdapat penjelasan lebih lanjut, baik itu didalam ketentuan pasal terkait kerjasama ini maupun didalam penjelasan terhadap Undang-Undang ini.

Lalu sejak tahun 2014 (sampai sekarang), di Undangkan suatu peraturan perundangan-undangan berupa Undang-Undang yang secara khusus dan ekslusif mengatur mengenai Desa, yaitu Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Menarik untuk diperhatikan pada Undang-Undang ini, dimana ketentuan mengenai Desa, diatur lebih rinci dibandingkan dengan Undang-Undang yang mengatur terkait pengaturan desa sebelumnya. Salah satunya bisa dilihat pada Undang-undang ini yang menegaskan jenis Desa dengan membaginya terdiri dari Desa dan Desa Adat, yang penggunaannya disesuaikan dengan penyebutan yang berlaku didaerah setempat14. Adapun mengenai kewenangan Desa yang ditentukan didalam Undang-Undang ini, meliputi kewenangan dibidang penyelenggaraan Pemerintahan Desa, pelaksanaan Pembangunan Desa, pembinaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan adat istiadat Desa15. Adapun kewenangannya meliputi antara lain16;

a. kewenangan berdasarkan hak asal usul; b. kewenangan lokal berskala Desa;

c. kewenangan yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota; dan

d. kewenangan lain yang ditugaskan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, atau Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian ada juga ditetapkan kewenangan yang menjadi kewenangan desa adat dalam Undang-Undang ini, berdasar pada hak asal usul dan prinsip keberagaman, kewenangan desa adat meliputi17;

a. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli; b. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;

c. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;

14 Pasal 6 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa 15 Pasal 18

(7)

d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;

e. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;

f. pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan

g. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.

Lalu mengenai kerjasama yang dapat diadakan desa, pada undang-undang ini juga mengatur hal itu, baik kerjasama antar desa, dan dengan pihak ketiga. Namun perbedaan yang menjadi pembeda dengan undang-undang sebelumnya, jika pada Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah mengatur kerja sama antar desa yang prosesi kesepakatannya diatur dengan keputusan bersama dan diberitahukan kepada camat18, dan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah mengatur hubungan kerja sama, baik antar desa maupun kepada pihak ketiga, prosesi keputusannya di putuskan bersama kemudian dilaporkan kepada bupati/walikota melalui camat19, pada Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa, mengatur hubungan kerja sama baik itu terhadap kerja sama antar-desa maupun kerjasama kepada pihak ketiga, tidak diatur adanya ketentuan khusus seperti pada undang-undang sebelumnya seperti mengenai pelaporan khusus ke bupati/walikota maupun camat untuk kesepakatannya. Adapun kesepakatan yang diatur pada undang-undang terbaru ini, jika kerja sama tersebut diadakan antar desa, disepakati berdasarkan kesepakatan musyawarah antar-desa20, dan jika diadakan bersama pihak ketiga, disepakati berdasarkan kesepakatan musyawarah desa21.

18 Pasal 109 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah 19 Pasal 204 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah 20 Pasal 92 ayat 2 Undang-undang Nomor 6 tahun 2014 tentang desa

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis secara keseluruhan diketahui bahwa penerapan metode Computer Assisted Test (CAT) dalam seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil berbasis Kompetensi di

Boleh dikatakan gendang gangsa dari jenis Heger I peringkat awal majoriti motifnya adalah motif yang berunsur geometri seperti motiftangga , motif gergaji dan

Pemberian kalori yang adekuat sangat penting untuk membuat keseimbangan nitrogen menjadi positi>. Menghitung kebutuhan kalori pada ))$ lebih rumit karena harus diperhitungkan

Garry Yukl (Abdurrahman Wahid, 2001) sebelum menyimpulkan definisi kepemimpinan mengumpulkan beberapa definisi kepemimpinan dari beberapa peneliti pendahulu , diantaranya

Sehingga hasil akhir yang diharapkan dari program pembelajaran bahasa Arab agar siswa memiliki kompetensi dalam penguasaan dasar berbahasa Arab.yang meliputi,

¾ To determine areas of risk in intangible and tangible assets and investments. ¾ To obtain appropriate audit evidence.. of capitalised development expenses) ¾ Reasonableness of

Berdasarkan data, sebesar 75% kabupaten di Indonesia pada tahun 2005 memiliki nilai jumlah penduduk miskin dibawah 114200.. Namun di tahun 2011, 75% kabupaten di Indonesia

Dalam penelitian ini dilakukan analisa terhadap 4 karakteristik probiotik berdasarkan Food and Agriculture Organization/World Health Organization (FAO/WHO) (2001),