• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMMERSIVE LEARNING MELEJITKAN PENGUASAAN (2)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IMMERSIVE LEARNING MELEJITKAN PENGUASAAN (2)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

IMMERSIVE LEARNING:

MELEJITKAN PENGUASAAN BAHASA INGGRIS PEMELAJAR INDONESIA

Oleh

Mashadi Said

Abstrak

Menguasai bahasa Inggris sebagai bahasa Internasional merupakan dambaan setiap pemelajar Indonesia. Namun, pemelajar Indonesia menghadapi banyak tantangan, mulai dari faktor linguistik, yaitu perbedaan yang mencolok antara budaya bahasa Inggris dan bahasa Indinesia serta bahasa lokal pemelajar, sampai pada faktor non-linguistik, yaitu lingkungan yang tidak mendukung karena bahasa yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah bahasa lokal dan bahasa Indonesia, sampai pada lingkungan sekolah yang bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia, serta metode yang digunakan oleh guru belum menemukan tujuannya, yaitu memberikan kemampuan yang maksimal kepada para pemelajar. Tulisan ini memaparkan suatu metode pembelajaran bahasa asing yang telah terbukti berhasil dijalankan di Kanada dan Amerika Serikat. Metode yang dimaksud adalah metode Immersive learning.

Kata Kunci: Immersive Learning, penguasaan bahasa Inggris, pemelajar Indonesia

PENDAHULUAN

(2)

kemampuan bahasa Inggris mereka sangat rendah (setara dengan nilai TOEFL 350)1, belum

lagi kalau dilihat dari kemampuan berbicaranya. Kenyataan menunjukkan bahwa sangat sulit menemukan tamatan SMA yang dapat berkomunikasi dengan baik dalam bahasa Inggris.

Mencapai prestasi dalam bahasa Inggris pada konteks Indonesia tidaklah mudah. Kemungkinan keberhasilan pemelajar sangat kecil, walaupun terdapat sangat sedikit kekecualian—hanya sebagian kecil mahasiswa Indonesia yang dapat menggunakan bahasa Inggris secara aktif. Rendahnya hasil pemelajaran bahasa Inggris di Indonesia disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu faktor linguistik dan faktor non-linguistik. Dari sudut pandang analisis kontrastif (Contrastive Analysis), faktor linguistik meliputi perbedaan antara sistem bahasa Inggris dan sistem bahasa Indonesia yang sangat tajam. Perbedaan yang sangat menonjol disebabkan kedua bahasa memiliki rumpun bahasa yang berbeda. Perbedaan yang menonjol meliputi unsur fonologis, struktur, dan kosa kata seperti verba frase, idiom, dan sanding kata (collocation).

Pertama, panjang-pendeknya bunyi vokal dalam bahasa Inggris membedakan arti. Pemelajar Indonesia sering salah mengucapkan bunyi vokal tersebut karena pengaruh pengetahuan vokal dalam bahasa Indonesia yang tidak membedakan arti baik diucapkan dengan pendek maupun panjang (Said, 1984). Misalnya, come, calm, bed, bad, ship, sheep, pull, pool penyebutannya sulit dibedakan pemelajar Indonesia. Di samping itu, ketidaksesuaian ejaan dengan ucapan ikut mempersulit penguasaan pemelajar dalam hal ucapan. Misalnya kata: bury, determine, examine, target diucapkan salah oleh banyak pemelajar Indonesia. Di samping itu, unsur konsonan juga mempengaruhi seriusnya masalah pemelajaran bahasa Inggris di Indonesia. Umumnya pemelajar Indonesia sulit membedakan antara bunyi sy, s, z, θ, ð, v, f, p, sehingga ucapan mereka salah. Di samping itu, tekanan (stress) dalam bahasa Inggris juga merupakan masalah tersendiri bagi pemelajar Indonesia. Misalnya, de’velop, en’viroment, eco’nomic, ‘present (kata sifat), pre’sent (verba), dsb.

Kedua, sejumlah struktur bahasa Inggris sangat berbeda dengan struktur bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris dikenal unsur kala (tenses), tetapi dalam bahasa Indonesia tidak. Misalnya, tiga kalimat pengandaian dalam bahasa Inggris sulit dicarikan padanannya dalam bahasa Indonesia. Ketiga, unsur kosa kata yang meliputi verba frase, dan sanding kata juga sangat berbeda, sehingga pemelajar Indonesia sering menerjemahkan secara harfiah sanding kata bahasa Indonesia ke dalam bahasa Inggris atau dikenal dengan istilah transfer negatif (Said, 2011). Sanding kata yang dianggap alami dalam bahasa Indonesia, tidak alami dalam bahasa Inggris. Misalnya, pemelajar Indonesia mengatakan dalam bahasa Inggris: I

(3)

could not decide whether I should follow the test or go home adalah terjemahan harfiah dari Saya tidak bisa memutuskan apakah sebaiknya mengikuti tes atau pulang. Sanding kata ‘follow the test” sama sekali tidak dimengerti dalam bahasa Inggris, tetapi dalam bahasa Indonesia “mengikuti tes” adalah sanding kata yang sangat alami. Pemelajar tersebut seharusnya mengatakan I could not decide whether I should take the test or go home (Said, 2011).

Di samping faktor linguistik, faktor lain yang turut memberi pengaruh negatif terhadap situasi pemelajaran bahasa Inggris di Indonesia adalah faktor nonlinguistik. Faktor itu meliputi (1) kedudukan bahasa Inggris sebagai bahasa asing, (2) geografis, (3) kearifan lokal (umumnya pemelajar memiliki budaya “takut mengambil risiko” atau dosen terlalu dominan di dalam kelas), (4) kualifikasi akademis dan profesional guru bahasa Inggris, (5) besarnya jumlah siswa dalam kelas, (6) sarana pembelajaran, (7) Siswa mempelajari terlalu banyak mata pelajaran/mata kuliah di samping bahasa Inggris, (8) sistem evaluasi, (9) kesempatan menggunakan bahasa Inggris hampir tidak ada—bahasa Inggris tidak digunakan oleh masyarakat, (10) kurikulum bahasa Inggris, khususnya di SMP dan SMA terlalu padat (Nurkamto, 2000).

Kedudukan bahasa Inggris sebagai bahasa asing memiliki ciri sebagai berikut. Bahasa Inggris tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari, sehingga pemelajar sangat sulit menemukan pajanan (exposure) bahasa Inggris yang dapat mendukung proses pemelajaran bahasa Inggris. Bahasa Inggris tidak digunakan sebagai bahasa resmi pemerintahan, pendidikan, hukum, usaha, dan media. Dari sudut pandang geografis, letak Indonesia sangat berjauhan dengan negara yang masyarakatnya menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pertama, seperti Inggris, Amerika Serikat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru. Hal ini tidak memungkinkan pemelajar untuk kontak langsung dengan para penutur negara tersebut. Faktor lain adalah faktor budaya pemelajar. Dardjowidjojo (dalam Nurkamto, 2000) menengarai bahwa ada nilai budaya yang tidak mendidik pemelajar untuk berperilaku aktif dan proaktif2 di dalam kelas. Nilai tersebut antara lain manut-lan-miturut (selalu patuh),

ewuh-pekewuh (malu, merasa tidak enak hati), dan sabda pendita ratu (orangtua selalu benar). Yang pertama menyatakan bahwa ukuran untuk menilai baik buruknya anak adalah tingkat kepatuhannya kepada orangtua; makin patuh makin baik. Yang kedua mengandung makna bahwa orang merasa tidak enak hati untuk berbeda pendapat, dan yang ketiga adalah orangtua dianggap atau menganggap dirinya selalu benar. Implikasinya jelas terlihat di dalam

(4)

kelas. Pemelajar kurang aktif dan pemelajar tidak mau mengambil risiko serta kurang terjadinya komunikasi dua arah antara guru dan pemelajar. Padahal salah satu penentu utama keberhasilan belajar adalah berani mengambil risiko (high risk taking)3. Hal ini sejalan

dengan Exley (2005) dari Queensland University of Technology yang menemukan bahwa ada tiga ciri yang mendominasi pemelajar Indonesia yang kurang mendukung pencapaian prestasi dalam bahasa Inggris. Ciri tersebut meliputi: a) pasif—pemelajar Indonesia umumnya tidak aktif dalam belajar atau tidak mengambil inisiatif; b) malu—pemelajar Indonesia malu bila berbuat salah atau tidak mau mengambil risiko; c) diam—karena pemelajar Indonesia tidak mau mengambil risiko, mereka lebih memilih diam.

Faktor keempat—faktor yang sangat strategis dalam pemelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing di Indonesia—adalah kualifikasi guru, yaitu kualifikasi akademik dan kualifikasi profesional. Yang pertama mengacu pada penguasaan guru terhadap materi yang diajarkan dan yang kedua mengacu pada kemampuan guru mengelola kelas. Di samping itu, masalah lain yang erat hubungannya dengan keberhasilan pemelajar di Indonesia adalah tujuan dan waktu belajar bahasa Inggris. Sasaran belajar bahasa Inggris siswa pada umumnya di sekolah adalah hanya memperoleh nilai tinggi, bukannya menguasai bahasa Inggris secara utuh. Hal ini menentukan motivasi pemelajar untuk belajar bahasa Inggris dengan tekun. Akibatnya adalah pemelajar bahasa Inggris hanya berusaha dan menghabiskan waktu berlatih menjawab soal-soal ujian yang mungkin akan diujikan, bukannya bagaimana menguasai bahasa Inggris secara utuh. Hal inilah yang menghilangkan substansi belajar, yaitu kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris. Kurangnya waktu yang diluangkan untuk belajar juga ikut menentukan keberhasilan belajar. Di SMP, jumlah jam pelajaran adalah 4 jam per minggu (40 menit per jam pelajaran), di SMA jumlah jam pelajaran juga 4 jam per minggu (45 menit per jam pelajaran). Siswa belajar bahasa Inggris secara formal maksimum 811 jam per tahun (@60 menit) selama 3 tahun, dan di SMA maksimum 111,5 jam per tahun (@60 menit) selama 3 tahun4.

Masalah lain yang paling menentukan dalam pencapaian belajar siswa adalah kualitas guru. Hal ini meliputi: a) penguasaan bahasa Inggris para guru. Masih banyak guru bahasa Inggris di Indonesia memiliki kemampuan bahasa Inggris rendah. Mereka tidak bisa menjadi teladan (role model) bagi siswa dalam bahasa Inggris. Misalnya, ucapan bahasa Inggrisnya masih banyak mengadung kesalahan, penguasaan kosa kata dan tatabahasa yang sangat

3 Istilah high risk taking digunakan sebagai ciri pemelajar bahasa yang tidak malu atau segan mengambil risiko untuk mengujicobakan bahasa Inggris yang baru saja dipelajarinya. Dengan kata lain, berani mengambil risiko atas kesalahan yang mungkin akan dibuatnya ketika berbicara atau menulis. Pemelajar seperti itu sering cepat berhasil dalam pemelajaran bahasa yang dipelajarinya.

(5)

rendah serta bagaimana memungsikan bahasa dalam komunikasi nyata masih diragukan. Masalah kedua menyangkut guru bahasa Inggris adalah b) kemampuan guru mengelola kelas. Budaya sabda pendita ratu membuat guru sering mendominasi kelas, sehingga kesempatan bagi pemelajar untuk mengambil bagian dalam belajar sering tidak terpenuhi. Di lain pihak, besarnya jumlah pemelajar dalam kelas ikut memengaruhi sulitnya pemelajar mendapat kesempatan berpartisipasi aktif dalam kelas.

Lalu, bagaimana cara mengatasi permasalahan pemelajaran bahasa Inggris di Indoensia, sehingga kegiatan belajar dapat melejitkan penguasaan bahasa Inggris pemelajar Indonesia? Melalui tulisan ini, saya berkeyakinan bahwa hanya melalui cara ‘belajar imersif’ (Immersive Learning), yaitu proses belajar yang melibatkan pemelajar secara penuh, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam proses pemelajaran, hasil belajar bahasa Inggris dapat dicapai dengan baik.

HAKIKAT IMMERSIVE LEARNING

Istilah Immersive Learning (belajar imersif) berasal dari Immersion Program (program imersi) yang pernah berhasil dilakukan di Kanada dan Amerika Serikat. Program imersi adalah cara mengajarkan bahasa kedua atau bahasa asing melalui bahasa pengajaran di kelas. Bahasa kedua atau bahasa asing menjadi bahasa pengajaran. Program imersi pertama kali dilakukan di Kanada dan dengan sukses mengantarkan pemelajar menguasai bahasa asing pada tahun 1960-an. Program ini bertujuan agar anak-anak dapat menguasai dua bahasa, yaitu bahasa ibu dan bahasa kedua, sehingga anak-anak menjadi dwibahasawan. Pada sat itu, orang tua yang berasal dari kelas menengah Anglophone, yang berbahasa Inggris, meyakinkan para pendidik untuk membuat program percobaan, yaitu program imersi bahasa Prancis yang memungkinkan anak-anak mereka dapat mengapresiasi tradisi dan budaya orang Kanada berbahasa Prancis dan orang Kanada berbahasa Inggris (Baker, 1993). Melalui metode ini, pemelajar mempelajari mata pelajaran di sekolah, seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, dan ilmu sosial lainnya dalam bahasa kedua, yaitu bahasa Prancis. Tujuan metode ini adalah meningkatkan kemampuan siswa untuk menggunakan dua bahasa, yaitu bahasa Inggris sebagai bahasa pertama (bahasa ibu) dan bahasa Prancis sebagai bahasa kedua.

(6)

para murid (Curtain & Dahlberg, 2004). Imersi bahasa asing adalah pendekatan untuk mengajarkan bahasa lain yang melibatkan pencelupan (imersi) siswa dalam bahasa sasaran sepanjang hari sekolah. Para guru hanya penggunakan bahasa sasaran untuk mengajarkan mata pelajaran, dengan menggunakan sejumlah strategi pembelajaran. Tujuan akhir jenis program tersebut adalah bagi siswa menjadi mahir dalam bahasa sasaran selain bahasa Inggris, dan mengembangkan kesadaran budaya sembari prestasi akademisnya mencapai tingkat capaian yang tinggi (Fortune & Tedick, 2003).

(7)

budaya, dan meningkatkan kesadaran kebahasaan. Jenis program imersi ini biasanya tidak berkelanjutan (Anderson & Rhodes, 1983).

Di Amerika Serikat, ada dua jenis program imersi, yaitu: a) imersi penuh—semua mata pelajaran pada tingkat lebih rendah (K-2) diajarkan dalam bahasa kedua; pembelajaran dalam bahasa Inggris biasanya bertambah 20-50% pada kelas sekolah dasar yang lebih tinggi (3-6). Program berlanjut terus sampai tingkat SMP dan SMA; b) imersi setengah—50% mata pelajaran diajarkan dalam bahasa kedua. Program berlanjut sampai tingkat SMP dan SMA.

Program imersi memberi banyak manfaat, yaitu (1) meningkatkan kemampuan pemelajar dalam bahasa kedua secara signifikan; (2) meningkatkan kemampuan metalinguistik pemelajar; (3) meningkatkan kemampuan kognitif pemelajar dalam berpikir divergen, pembentukan konsep, kemampuan verbal, keterampilan menyimak, dan penalaran umum; (4) meningkatkan pemahaman pemelajar dalam bahasa pertama; (5) membuka pintu pada budaya lain dan membantu anak memahami serta menghargai orang dari budaya lain; (6) meningkatkan kesempatan kerja dalam karier karena kemampuan dalam bahasa kedua merupakan aset nyata; (7) mengunggulkan skor SAT dan tes standar; dan (8) meningkatkan memori. Hasil penelitian mengenai program imersi menunjukkan bahwa belajar melalui program imersi adalah cara efektif untuk menguasai bahasa asing (Anderson & Rhodes, 1983).

ASUMSI IMMERSIVE LEARNING

Immersive Learning atau ‘belajar imersif’ memiliki asumsi bahwa pemerolehan bahasa asing terjadi dengan sangat mudah dan cepat pada lingkungan dan budaya bahasa sasaran. Oleh karena itu, program tersebut dirancang untuk mendorong kondisi belajar mirip dengan kondisi aslinya, tempat bahasa sasaran itu digunakan. Hal ini dilakukan dengan memaksimalkan waktu pemajanan bahasa dan budaya sasaran kepada pemelajar.

(8)

Rendahnya kualitas guru merupakan tantangan terbesar negeri yang kita cintai ini. Kalau saja kita mau belajar dari negeri tetangga kita, tentulah guru kita tidak hanya dihujat dan dipersalahkan5. Pada bulan November 2010 di Thailand, Konferensi Internasional

“Language, Education, and Millennium Development Goals (MDGs) menyimpulkan bahwa penggunaan bahasa asing (Inggris) di sekolah bertaraf internasional di Indonesia tidak efektif. Ketidakefektifan pengajaran bahasa Inggris disebabkan oleh rendahnya kemampuan guru bahasa Inggris. Jumlah guru yang memiliki penguasaan bahasa Inggris yang baik kurang dari 25%. Oleh karena itu, agar program imersi menjadi sarana ampuh untuk membangun sumber daya manusia Indonesia yang berdayasaing tinggi, kemampuan guru mutlak diperlukan. Guru sebagai agen penting untuk mengarahkan kegiatan pemelajaran bahasa Inggris dituntut keras untuk meningkatkan kualitas bahasa Inggrisnya. Negara berkewajiban untuk menyiapkan guru yang berkualitas tinggi, baik dalam penguasaan tingkat tinggi bahasa Inggris maupun dalam penguasaan konten serta kemampuan pedagogis.

Pembelajaran bahasa sasaran melalui program imersi di Kanada dan Amerika telah terbukti keandalannya. Bukti keberhasilan program imersi di Amerika Serikat adalah pada saat ini ada 310 program imersi bahasa asing di 263 sekolah; beberapa sekolah mengadakan lebih dari satu program imersi. Program imersi pada 263 sekolah tersebut menyebar di 33 negara bagian dan 83 distrik. Oleh karena itu, usaha pemerintah Indonesia mengadakan sekolah bertaraf internasional perlu didukung dan manajemennya terus diperbaiki, khususnya pada bidang standar pengajaran, kurikulum, metode pengajaran, dan kemampuan bahasa Inggris para guru.

Menggantungkan harapan pada keberhasilan pembelajaran bahasa Inggris pada sekolah bertaraf internasional semata tidaklah cukup. Jumlah penduduk yang demikian besar dan terbatasnya dana negara, sulit bagi kita untuk segera menuntaskan segala macam persoalan pembelajaran bahasa Inggris yang dihadapi pemerintah dan para pendidik. Oleh karena itu, berdasarkan asumsi pembelajaran imersi yang telah dipaparkan di atas, sistem ‘belajar imersif’ tidak hanya dapat terjadi pada program imersi, seperti halnya di Kanada dan Amerika Serikat atau pada sekolah bertaraf internasional di Indonesia, tetapi juga dapat diciptakan secara mandiri oleh sekolah yang memiliki guru yang mampu mengajarkan mata pelajaran tertentu dalam bahasa Inggris. Di samping itu, sistem ‘belajar imersif’ dapat diciptakan oleh pemelajar bahasa asing itu secara mandiri.

(9)

IMMERSIVE LEARNING (BELAJAR IMERSIF)

Berdasarkan pengalaman pribadi saya sebagai pemelajar mandiri (sejak tahun 1977) dan sebagai pengajar bahasa Inggris (sejak tahun 1983), saya berkeyakinan bahwa pemelajar tidak hanya dapat mencapai keberhasilan memuaskan melalui pemelajaran imersif pada program imersi, tetapi juga melalui sistem imersif secara mandiri. Pemelajaran imersif secara mandiri bisa berhasil dengan baik dengan syarat (1) sikap dan tindakan proaktif pemelajar, (2) visi belajar bahasa Inggris yang jelas, (3) belajar bahasa Inggris berbasiskan isi (konten), (4) secara terus menerus berpikir dalam bahasa Inggris (5) kemampuan menciptakan suasana belajar yang positif, (5) penyediaan input yang bermakna, baik dalam bentuk lisan maupun tulis, dan (8) intensitas belajar yang tinggi.

Sikap dan Tindakan Proaktif

Kata proaktif berarti bahwa sebagai pemelajar, ia mengambil inisiatif dan bertanggung jawab atas tugas belajarnya sendiri. Perilaku pemelajar proaktif mampu mengambil keputusan yang tepat atas kegiatan belajarnya. Ia dapat mengambil inisiatif dan keputusan sendiri untuk melakukan tindakan mengenai apa yang harus dilakukan dalam kegiatan belajarnya. Ia mencari, menemukan, dan mentapkan sendiri kegiatan atau strategi belajar6 yang perlu dilakukan. Kegiatan mereka dalam belajar adalah produk dari pilihan

sadar mereka, berdasarkan nilai dan bukan hasil dari kondisi mereka yang berdasarkan perasaan. Sebaliknya, pemelajar reaktif sering menyalahkan lingkungan sosialnya, misalnya guru atau teman-temannya. Ketika guru melayaninya dengan baik, dia menjadi senang. Tetapi jika tidak mereka menjadi defensif atau protektif. Pemelajar yang reaktif membangun kehidupan emosionalnya berdasarkan perilaku orang lain; dia menggantungkan nasibnya pada orang lain atau lingkungan sekitarnya. Tetapi pemelajar proaktif dipandu oleh nilai, yaitu nilai yang dipikirkan secara cermat, diseleksi dan dihayati. Pemelajar proaktif juga dipengaruhi oleh stimulus luar: fisik, sosial, atau psikologis, tetapi respons mereka terhadap stimulus tersebut, sadar atau tidak sadar didasarkan pada pilihan yang berdasarkan nilai yang diyakininya (Covey, 1989). Ia memiliki integritas, komitmen, kegigihan, kedidiplinan yang tinggi dalam pemelajaran.

Pemelajar proaktif mampu memilih strategi belajar yang tepat dan cocok untuk dirinya. Dalam penelitian linguistik terapan terungkap bahwa strategi pemelajaran yang dipilih pemelajar memainkan peran penting dalam meningkatkan prestasi belajar bahasa

(10)

(Rubin, 1975; Pearson, 1988; O'Malley dan Chamot, 1990). Ini berarti bahwa pemelajar bahasa yang proaktif mampu mengembangkan keterampilan bahasa mereka karena dapat memilih dan menerapkan strategi yang tepat untuk dirinya. Selanjutnya, pemelajar yang menggunakan strategi belajar yang efektif dapat berbuat lebih baik di luar kelas dengan inisiatifnya sendiri. Hal ini diyakini bahwa dalam kegiatan belajar, pemelajar penting mengontrol proses kegiatan belajarnya sendiri. Pemelajar yang imersif adalah pemelajar yang aktif untuk mencari solusi atas segala masalah belajar yang dihadapinya. Cotteral dan Crabbe dalam Nurkamto (2000) menyatakan bahwa pemelajar yang baik adalah pemelajar yang (1) merencanakan dan mengatur sendiri kegiatan belajarnya, (2) mengetahui bidang yang menjadi fokus pemelajarannya, (3) memantau sendiri kemajuan belajarnya, (4) mencari kesempatan sendiri untuk berlatih, (5) antusias terhadap bahasa dan belajar bahasa, (6) memiliki kepercayaan untuk menggunakan bahasa, dan (7) mencari bantuan apabila diperlukan. Pemelajar imersif adalah pemelajar yang mandiri, tidak bergantung kepada gurunya dan orang lain. Sebaliknya, ia aktif mencari strategi untuk meraih keberhasilannya.

Merujuk pada Tujuan Akhir

Berpikir, bersikap, dan bertindak dengan merujuk pada tujuan akhir. Prinsip ini juga telah ditekankan oleh Stephen R. Covey (1989) dalam 7 kebiasaan manusia yang sangat efektif. Pemelajar yang efektif adalah pemelajar yang memiliki pengetahuan yang jelas dan tepat terhadap apa yang ingin dicapai. Kita semua memiliki pikiran sadar dan pikiran bawah sadar. Pikiran sadar mengungkapkan dirinya dalam kerangka logika, misalnya “Saya sebaiknya belajar tata bahasa terlebih dahulu” atau “Saya ingin meningkatkan ucapan setiap kata bahasa Inggris saya dalam waktu 2 minggu (8 jam sehari selama 10 hari). Pikiran bawah sadar lebih memedulikan perasaan tentang diri kita sendiri. Apakah kita merasa nyaman, tertekan, atau terancam? Apakah kita merasa percaya diri atau khawatir?

(11)

visi tentang yang ingin dicapai dan keyakinan yang kuat bahwa visi tersebut dapat dicapai. Dalam falsafah Bugis, ini disebut falsafah mappatepu (Said, 2007).7

Sebelum memulai kegiatan belajar, terlebih dahulu pemelajar perlu mengenalis hasil akhir yang diinginkan. Pemahaman sepenuhnya atas hasil yang ingin didapatkan sangat membantu proses pencapaian belajar. Ketika pemelajar benar-benar memahami hasil yang ingin dicapai, maka dirinya dapat dengan mudah mengarahkan seluruh kapasitas dalam kegiatan belajarnya. Pemahaman hasil akhir yang akan dicapai dapat membantu mengidentifikasi efektifitas suatu kegiatan belajar, apakah semakin mendekatkan atau menjauhkannya dari hasil yang diinginkan.

Belajar Berbasiskan Konten

Ciri lain ‘belajar imersif’ adalah belajar bahasa asing berbasiskan konten. Menurut Brinton, Snow, & Wesche (1989), pembelajaran berbasiskan konten (content-based instruction) adalah pendekatan yang signifikan dalam pendidikan bahasa. Metode ini menyiapkan pembelajaran kepada pemelajar bahasa asing dengan konten dan bahasa. Tujuan pembelajaran berbasiskan konten adalah mempersiapkan pemelajar untuk memperoleh bahasa asing ketika digunakan dalam konteks dari setiap materi pelajaran yang dipelajari. Sistem belajar seperti ini membuahkan hasil yang gemilang dalam Program Imersi di Kanada. Di Indonesia, belajar berbasiskan konten banyak dipraktikkan di pesantren. Mata pelajaran yang dipelajari dalam bahasa Arab, bukan dalam bahasa Indonesia. Hasilnya adalah luaran pesantren umumnya dapat menggunakan bahasa Arab dengan baik. Belajar bahasa asing berbasiskan konten memungkinkan pemelajar belajar dalam konteks tertentu.

Belajar berbasiskan konten adalah menggunakan materi pelajaran sebagai sarana untuk belajar bahasa asing. Pembelajaran berbasiskan konten memiliki banyak keutungan sebagai berikut.

1. Pemelajar terpajankan banyak bahasa melalui konten atau materi yang merangsang. Peserta didik menjelajahi konten yang menarik dan terlibat dalam kegiatan yang terikat dengan bahasa. Oleh karena itu, belajar bahasa asing menjadi otomatis.

2. Pembelajaran berbasiskan konten mendukung pemelajaran kontekstual; pemelajar diajarkan bahasa yang berguna yang terikat dengan konteks wacana yang relevan dan bukan sebagai fragmen bahasa yang terisolasi, sehingga pemelajar dapat membuat hubungan antara bahasa dan pengalaman dan pengetahuan awal mereka.

(12)

3. Informasi yang kompleks disampaikan melalui konteks kehidupan nyata sekaligus pemelajar dapat meningkatkan motivasi intrinsiknya.

4. Dalam pembelajaran berbasiskan konten, informasi ditegaskan kembali oleh informasi yang disampaikan secara strategis pada waktu yang tepat, sehingga mendorong pemelajar untuk belajar.

5. Fleksibilitas dan adaptasi yang lebih besar, sehingga dapat digunakan sesuai dengan minat pemelajar.

Berpikir dalam Bahasa Inggris

Hal utama yang perlu ditekankan adalah perlunya memfokuskan secara langsung mengenai makna komunikasi ketika menggunakan bahasa Inggris. Pemelajar tidak perlu terlebih dahulu merencanakan ujaran dalam bahasa ibu lalu menerjemahkannya ke dalam bahasa Inggris. Ketika berkomunikasi kita tidak merencanakan apa yang mau dikatakan, melainkan biasanya dilakukan secara otomatis. Cara yang dilakukan adalah menjauhkan bahasa ibu dari pikiran sehingga ide dan kata-kata bisa menjadi spontan dalam bahasa Inggris. Secara umum berpikir dalam bahasa yang dipelajari akan memberikan kemampuan kepada pemelajar untuk belajar lebih baik. Semakin sedikit berpikir, berbicara, dan membaca dalam bahasa ibu, semakin cepat dan semakin baik kita dapat menguasai bahasa Inggris. Kenyataan menunjukkan bahwa ada hubungan timbal balik antara menggunakan bahasa dan berpikir dalam bahasa tersebut. Kita mendengarnya, menggunakannya dalam berbicara, berarti kita belajar berpikir dalam bahasa tersebut. Menurut Wenden (1987), jika pemelajar berpikir dalam bahasa Inggris, pemelajar akan dapat berbicara dengan baik.

Penciptaan Lingkungan belajar yang positif

(13)

Menurut Lozanov, alasan atas ketidakefisienan pemelajar dalam belajar adalah karena pemelajar menanamkan hambatan psikologis terhadap belajar. Misalnya, pemelajar merasa bahwa bahasa yang dipelajarinya amat sulit atau tidak mudah, atau mungkin pemelajar mengatakan bahwa percuma saja belajar karena dia pasti berakhir dengan kekecewaan. Dengan hambatan psikologis itu, pemelajar tidak memanfaatkan kapasitas mentalnya secara penuh. Lozanov berasumsi bahwa umumnya pemelajar hanya menggunakan 5 (lima) sampai dengan 10 persen kapasitas mentalnya dalam belajar. Oleh karena itu, agar pemelajar dapat menggunakan kapasitas yang masih tersimpan sebesar 90-95 persen, keterbatasan/hambatan psikologis harus dihilangkan (desuggested). Hal ini juga ditekankan juga oleh MacGregor (1992) bahwa pemelajar hanya dapat menggunakan pikirannya—sadar (12%) dan bawah sadar (88%) secara efektif bila pemelajar dalam keadaan nyaman, gembira, dan santai. Hal ini juga dapat dilakukan humor (Hill, 1988).

Pendekatan ini telah dikembangkan untuk membantu pemelajar menghilangkan perasaan negatif bahwa mereka tidak bisa berhasil atau menghilangkan berbagai pikiran negatif yang menghambat keberhasilan belajarnya. Untuk mengatasi hambatan psikologis yang bersifat negatif dalam belajar, Lozanov menyarankan agar pemelajar didudukkan dalam suasana kelas yang nyaman, memasang musik latar, mengoptimalkan partisipasi pemelajar dalam proses belajar, menggunakan poster untuk memberi kesan besar sambil menonjolkan informasi dan menyediakan guru yang terlatih baik dalam seni pengajaran sugestif. Kondisi nyaman yang menyenangkan dalam proses pemelajaran, yang menjadi pusat perhatian Lozanov, telah dijadikan syarat mutlak dalam sistem pemelajaran terakselerasi (Accelerated Learning). Para pakar belajar terakselerasi, seperti Meier (2000) dan pakar Quantum Learning, seperti DePorter dan Hernacki (1992) menyatakan bahwa hanya dengan kondisi yang luwes, gembira, santai, mengutamakan tujuan, kerjasama, multi-indrawi, mengasuh, mementingkan kegiatan, mementingkan mental dan emosi, serta fisik, berdasar hasil, pemelajaran akan dapat berjalan secara efektif.

(14)

menyenangkan untuk menciptakan emosi positif, karena emosi positif meningkatkan kekuatan otak, keyakinan diri, dan keberhasilan belajar (Rose, 1999).

Pemerolehan Alami

Banyak ahli pendidikan bahasa telah menghabiskan sebagian besar masa hidupnya untuk meneliti bagaimana cara belajar bahasa yang efektif, sehingga dapat memfasilitasi pemerolehan bahasa yang sukses bagi pemelajar bahasa asing. Misalnya, Pimsleur memfokuskan penelitiannya pada pemahaman proses pemerolehan bahasa, khususnya belajar organik anak-anak yang mampu menggunakan bahasa tanpa harus mengetahui struktur formal bahasa yang bersangkutan. Pimsleur mempelajari proses belajar kelompok anak-anak, orang dewasa, dan orang dewasa multi-bahasa. Dari hasil penelitiannya, ia menciptakan suatu metode yang ia namakan “The Pimsleur Language Learning System.” Dalam sistem itu, ia menekankan kegiatan menyimak yang banyak agar dapat membantu pemelajar menirukan bunyi-bunyi atau ucapan yang benar dalam bahasa asing yang dipelajari. Menurut Pimsleur belajar bahasa baru, sama dengan anak-anak belajar bahasa ibunya. Anak-anak memerlukan waktu selama berbulan-bulan, jauh sebelum anak-anak mampu mengucapkan sepatah kata. Anak-anak memerlukan waktu untuk mencoba memaknai bunyi yang ia dengar. Tak seorang pun yang menyuruhnya bahwa ia harus berbicara. Anak-anak memilih untuk berbicara ketika ia siap untuk berbicara. Oleh karena itu, menurut Pimsleur, untuk mampu menguasai bahasa baru, pemelajar perlu pajanan (exposure). Nation dan Macalister (2010) menekankan bahwa sebelum pemelajar dituntut untuk menyatakan dirinya dalam bahasa Inggris baik lisan maupun tulis, pemelajar perlu dipajankan dengan bahan yang bermakna (meaningful input). Bahan yang bermakna itu dapat diperloeh melalui menyimak dan membaca (comprehension).

Belajar bahasa yang menekankan kegiatan menyimak yang juga disebut Comprehension Approach juga ditekankan oleh James Asher, seorang psikolog, dengan metodenya yang terkenal “Total Physical Responses (TPR).” Berdasarkan penelitiannya, dia mengatakan bahwa cara tercepat untuk memperoleh pemahaman dalam bahasa asing apa pun yang dipelajari adalah ‘mengikuti perintah yang diucapkan oleh instruktur (tanpa terjemahan dalam bahasa pemelajar). Pemelajar imersi berusaha menciptakan suasana, sehingga ia dapat memperoleh pajanan alami. Pajanan alami atau otentik dapat diperoleh dengan mendengarkan radio, menonton TV, atau menoton film.

(15)

Mencapai keberhasilan belajar tidak bisa dilakukan secara instan kecuali mukjizat. Keberhasilan belajar dalam bahasa Inggris sebagai bahasa asing memerlukan proses, waktu, dan harus dilakukan secara terus menerus. Pemelajar imersi melakukan kegiatan belajar secara intensif. Sebagai ilustrasi, mari kita tinjau program pembibitan para dosen Indonesia yang akan dikirim untuk studi di luar negeri. Pada tahun 1989, Kementerian Agama R.I. hendak mengirim dosen muda Institut Agama Islam Negeri (IAIN) belajar ke luar negeri. Mereka berpendidikan S-1. Artinya, mereka telah belajar bahasa Inggris di tingkat SMP dan SMA ditambah dengan belajar bahasa Inggris sebagai mata kuliah umum di perguruan tinggi. Untuk memenuhi kualifikasi bahasa Inggris yang memungkinkan mereka dapat mengikuti kuliah di luar negeri dengan TOEFL minimal 550, mereka diberikan program Kursus Bahasa Inggris selama 1440 jam (8 jam sehari selama 6 bulan); namun tidak semuanya dapat memenuhi kualifikasi yang disyaratkan, sehingga tidak bisa diberangkatkan belajar ke luar negeri8. Kedua, calon mahasiswa program pascasarjana yang akan dikirim ke

Jerman dengan beasiswa DAAD (Deutscher Akademischer Austausch Dienst) mengalami hal yang sama. Sebelum mereka belajar di Jerman, mereka harus menjalani kegiatan belajar intensif selama 6 bulan di Indonesia. Lalu, setelah tiba di Jerman, mereka masih harus mengikuti program belajar selama minimal 6 bulan9. Ini berarti bahwa belajar bahasa tidak

cukup dengan hanya kemauan, tetapi juga harus dijalani dengan sungguh-sungguh. Krashen (1982), pendidik bahasa, menyarankan bahwa syarat utama untuk berhasil mempelajari bahasa asing adalah di samping kemampuan keras, juga ketekunan (motivation & perseverance). Inilah yang dimaksud dalam falsafah Bugis “Resopa na tinulu na temangingngi malomo naletei pammase Dewata” (Hanya melalui kerja keras dan ketekunanlah rahmat Tuhan akan diperoleh) atau dengan kata lain ‘sarana untuk mencapai keberhasilan adalah kerja keras dan ketekunan’ (Said, 2007); man jadda wajada (siapa rajin dan sungguh-sungguh, dialah yang pantas meraih keberhasilan).

SIMPULAN DAN SARAN

Dari uraian di atas, jelas tergambar bahwa pembelajaran dan pemelajaran bahasa Inggris yang kedudukannya sebagai bahasa asing di Indonesia memiliki banyak tantangan dan permasalahan. Cara ampuh yang dapat ditempuh untuk mengatasi berbagai masalah tersebut adalah melalui pembelajaran dan pemelajaran imersif. Program imersi telah terbukti afektif untuk mendorong capaian belajar bahasa Inggris yang gemilang. Pembelajaran imersif

8 Hasil wawancara dengan Andi Faisal Bakti, guru besar dalam Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah, sekaligus sebagai peserta dalam program tersebut.

(16)

dapat dilakukan melalui pendekatan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) dilengkapi guru yang berkompetensi tinggi, baik dalam kemampuan bahasa Inggris, konten, maupun pedagogis. Pemelajaran imersif dapat dilakukan secara mandiri oleh pemelajar itu sendiri. Pemelajaran imersif dapat berhasil bila beberapa kondisi terpenuhi (1) melibatkan diri secara penuh dalam proses pemelajaran, yaitu pemelajar sendiri yang harus proaktif, mengambil inisiatif dan bertanggungjawab atas kegiatan belajar; (2) menentapkan visi akan hasil belajarnya, yaitu pemelajar itu sendiri memiliki rencana capaian yang jelas, yang mendorongnya untuk membangkitkan kapasitasnya baik kapasitas sadar maupun kapasitas bawah sadar. (3) berpikir dalam bahasa Inggris, yaitu melibatkan pikiran pemelajar secara penuh dalam bahasa Inggris; (4) belajar bahasa berbasiskan konten, mempelajari materi apa pun dalam bahasa Inggris; (5) mampu menciptakan suasana belajar positif, menyenangkan, dan penuh kegembiraan, yaitu suasana belajar yang bebas dari perasaan tertekan dan memiliki fasilitas belajar yang kondusif (6) rajin mencari sumber otentik, yaitu input bahasa yang bermakna (meaningful input) baik dalam bentuk lisan maupun tulis; dan (7) siap meluangkan waktunya untuk belajar secara intensif sampai benar-benar hasil yang diinginkannya dapat tercapai.

Pada akhirnya, untuk meningkatkan jumlah anak bangsa yang mahir berbahasa Inggris dan memiliki daya saing tinggi, negara perlu meningkatkan kualitas SBI, yang mengacu pada program imersi dan mendorong program inovatif lainnya yang bertujuan mengembangkan kemahiran berbahasa Inggris tingkat tinggi. Salah satu caranya adalah meningkatkan kualitas bahasa Inggris para guru agar dapat menjalankan program imersi dengan baik. Selain itu, negara perlu menambah jumlah sekolah yang mengacu pada program imersi. Manajemen SBI perlu terus dimantapkan dengan mengacu pada sekolah yang telah berhasil menjalankan sistem tersebut, mulai dari kurikulum sampai pada strategi pengembangan gurunya. Untuk mengembangkan program imersi dengan baik, dibutuhkan banyak guru bermutu tinggi, yang memiliki keterampilan bahasa tingkat tinggi dan memiliki pengetahuan tentang cara mengajarkan bahasa, budaya, dan konten akademis dalam bahasa Inggris.

Jika momentum nasional di arahkan pada pengembangan ‘generasi emas’10 menuju

masyarakat bahasa berkompetensi tinggi, tidak diragukan lagi, pembelajaran imersi akan memperkuat dan meningkatkan jumlah generasi muda Indonesia dengan kemampuan bahasa Inggris berkualitas tinggi. ‘belajar imersif’ akan mampu memperkaya pengembangan bahasa Inggris mereka dan menyiapkannya dengan kesadaran global yang tinggi serta keyakinan

(17)

kemampuan berbahasa, yang sekaligus akan bermanfaat dalam banyak aspek kehidupan, baik nasional maupun internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Anderson, H., & Rhodes, N. (1983). Immersion and other innovations in U.S. elementary schools. In: "Studies in Language Learning, 4" (ERIC Document Reproduction Service No. ED 278 237).

Anderson, N.J. (2005). L2 learning strategies. In Hinkel, E. (ed.) Handbook of Research in

Second Language Teaching and Learning. Mahwah: Lawrence Erlbaum.

Baker, C. (1993). Foundations of Bilingual Education and Bilingualism. Clevedon: Multilingual Matters.

Bialystok, E. (1981). The role of conscious strategies in second language proficiency. The Modern Language Journal, 65(1), 24-35. Retrieved June 2, 2006, from digital archive of scholarly journal, JSTOR.

Brinton, D. M., Snow, M. A., & Wesche, M. B. (1989). Content-Based Second Language Instruction. New York: Newbury House.

Brown, H.D. (2000). Principles of Language Learning and Teaching. (4th ed.). New York:

Longman.

Chamot, A.U. (2004). Issues in language learning strategy research and teaching. Electronic Journal of Foreign Language Teaching, 1(1), 14-26.

Chamot, A.U., Barnhart, S., El-Dinary, P.B., & Robbin, J. (1999). The Learning Strategies

Handbook. New York: Addison Wesley Longman.

Chen, Ya-Ling (2006). The Influence of Partial English Immersion Programs in Taiwan on Kindergartners' Perceptions of Chinese and English Languages and Cultures. The Asian EFL Journal Vol 8(1)

Cohen, A. (1994). Verbal Reports on Learning Strategies. TESOL Quarterly, 28(4), 678-682.

Covey, Stephen R. (1989). The Seven Habits of Highly Effective People. New York: Fereside.

Curtain, H., & Dahlberg, C. A. (2004). Languages and children: Making the Match (3rd ed.). Boston: Allyn & Bacon.

DePorter, B. & Hernacki, M. (1992). Quantum Learning. Unleasing the Genius in You. New York: Dell Publishing.

(18)

Journal, 72(3), 253-265. Retrieved March 17, 2006, from digital archive of scholarly journal, JSTOR.

Ehrman, M. & Oxford, R. (1995). Cognition plus: Correlates of language learning success. Modern Language Journal, 79:1, 67-89.

Exley, B. (2005). Learner Characteristics of ‘Asian’ EFL Students: Exceptions to the ‘Norm’. Dalam Young, Janelle, Peny. Proceedings Pleasure Passion Provocation. Joint National Conference AATE & ALEA 2005, hlm. 1-16, Gold Coast, Australia.

Fortune, T. W., & Tedick, D. J. (2003). What parents want to know about foreign language immersion programs. ERIC Digest. Washington DC: ERIC Clearinghouse on Languages and Linguistics (ERIC Document Reproduction Service No. ED482493).

Retrieved December 18, 2006, from

http://www.cal.org/resources/digest/0304fortune.html

Harmer, J. (2002). The Practice of English language Teaching. (3rd ed.). Malaysia:

Cambridge.

Hill, D. J. (1988). Humor in the Classroom: A Handbook for Teachers (and other entertainers!). Springfield, Ill., U.S.A.: C.C. Thomas.

Larson-Freeman, D. (2000). Techniques and Principles in Language Teaching. New York: Oxford University Press.

Leaver, B.L., Ehrman, M., & Shekhtman, B. (2005). Achieving Success in Second Language Acquisition. Cambridge: Cambridge University press.

MacGregor, S. Piece of Mind: Mengaktifkan Kekuatan Pikiran Bawah Sadar untuk Mencapai Tujuan. Terjemahan oleh Yudi Sujana. (2003). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Meir, D. (2000). The Accelerated Learning Handbook. New York: McGrow-Hill.

Naiman, N., Frohlich, M., Stern, H.H., & Todesco, A. (1996). The Good Language Learner. Toronto: Multilingual Matters Ltd.

Nation, I.S.P. dan Macalister, J. (2010). Language Curriculum Design. New York: Routlege.

Nurkamto, J. (2000). Problema Pengajaran Bahasa Inggris di Indonesia. www.e-li.org/Pages/Current_Issues.aspx? docname =/published

O’Malley, J.M. & Chamot, A.U. (1990). Learning Strategies in Second Language acquisition. Cambridge: Cambridge University Press.

Oxford, R. and Nyikos, M. (1989). Variables Affecting Choice of Language Learning Strategies by University Students. The Modern Language Journal, 73(3), 291-300. Retrieved March 17, 2006, from JSTOR.

(19)

Oxford, R.L. (2003). Language Learning Styles and Strategies: an overview. Retrieved May 15, 2006 from web.ntpu.edu.tw/~language/workshop/read2.pdf

Porte, G. (1988). Poor Language Learners and their Strategies for dealing with new vocabulary. ELT Journal 42(3), 167-171.

Rinvolucri and Baker. (2003). Unlocking Self-expression Through NLP: Integrating Skills Activities. Delta Publishing

Rose, C. (1999). Master it Faster. Aylesburry, Bucks: Accelerated Learning Systems Ltd.

Said, M. (1984). Pronunciation Errors Made by the Students of SMA Negeri 1 Ujung Pandang. Skripsi, Tidak diterbitkan.

Said, M. (2007). Konsep Jati Diri Manusia Bugis: Sebuah Telaah Falsafi tentang Kearifan Bugis. Ciputat: Churia Press.

Said, M. (2011). Negative Transfer of Indonesian Collocations into English and Implications for Teaching English as a Foreign Language. Lingua, Vol. 6, No. 2 Agustus 2011. hlm. 164-173.

Stevick, E.W. (1989).Success with foreign Languages: Seven who achieved it and what worked for them. New York: Prentice Hall.

Takeuchi, O. (2003). What Can We Learn from Good Foreign Language Learners? A qualitative Study in the Japanese Foreign Language Context. System, 31(3), 385-392. Retrieved March 17, 2006 from Science Direct database.

Vann, R. J., & R. Abraham. (1990). Strategies of Unsuccessful Language Learners, TESOL Quarterly, 24(2), 177-98.

Wenden, A. & Rubin, J. (1987). Learner Strategies in Language Learning. New Jersey: Prentice-Hall International.

Wharton, G. (2000). Language learning strategy use of bilingual foreign language learners in Singapore. Language Learning, 50(2), 203-244. Retrieved June 2, 2006 from

http://www.blackwell-synergy.com/toc/lang/50/2

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini menunjukkan (1) penggunaan persona ketiga terletak pada usia, kelamin, sikap penutur, hubungan keluarga, atau profesi; (2) fungsi persona ketiga

Imsak artinya menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa (makan, minum, hubungan intim, dan hal lain yang membatalkan) dari waktu subuh hingga waktu

In- formation sharing dapat membantu perusahaan dalam memperbaiki efisiensi dan efektivitas rantai pasokan dan merupakan faktor yang paling penting untuk mencapai

Metoda: Penelitian eksperimental paralel, acak, buta ganda, subjek dibagi secara acak menjadi dua kelompok pengobatan: tiap kelompok terdiri dari 32 subjek yang menerima

Model konseling perkawinan berbasis komunitas ini melibatkan partisipasi aktif komunitas misalnya PKK maupun pengurus dan kader organisasi wanita lainnya yang berperan

pemerintahan daerah, Otonomi daerah adalah kewenangan yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

Comparison of basinwide optimal water allocation policy with the representative agricultural water conservation policy in the presence of return flow: (a) irrigation efficiency

13 Data tertulis dari sumber pustaka ini, baik langsung maupun tidak langsung terkait dengan permasalahan obyek yang diteliti yaitu Kesenian Gangsir Ngentir dalam