KHULU’ DAN NUSYUZ
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah : Fiqh Munakahat
Dosen Pengampu : Mushofikin
Disusun Oleh :
Nanik Wijayanti (1702056021) Nurul Rizqina Risnani Charisa (1702056022)
Agung Pratomo (1702056027)
PIH A2
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG 2018
A. Latar Belakang
Perkawinan merupakan salah satu ibadah yang pasti dilakukan oleh setiap orang Islam. Tujuan seseorang melakukan perkawinan selain sebagai ibadah juga agar dapat membangun keluarga yang sakinah, mawadah dan warohmah serta agar mendapatkan keturunan. Pada umumnya setiap orang yang melakukan perkawinan pasti mengharapkan terciptanya sebuah keluarga yang harmonis dan penuh dengan kebahagiaan. Namun dalam membangun sebuah rumah tangga itu pasti tidak akan berjalan mulus sesuai dengan apa yang dicita-citakan semula. Masalah-masalah sering kali datang dan membuat sebuah perkawinan itu goyah bahkan hancur. Faktor penyebabnya bisa saja datang dari pihak istri atau pihak suami atau bahkan dari keduanya. Semua itu semestinya dapat diselesaikan dengan jalan damai atau bermusyawarah antara suami dan istri. Akan tetapi pada kenyataannya banyak masalah-masalah yang tidak dapat diselesaikan hanya dengan keduanya. Bahkan masalah sepele pun dapat membuat hubungan suami istri itu menjadi berantakan dan berkahir dengan perceraian. Oleh karena itu dalam perkawinan dapat memunculkan hal-hal yang biasa kita kenal denga kedurhakaan (Nusyuz). Akan tetapi, Masalah yang ditimbulkan oleh suami terkadang membuat istri muak dan ingin menggugat cerai suaminya dengan jalan khulu’.
Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan membahas mengenai Khulu’ dan Nusyuz yang terjadi dalam pernikahan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Khulu’ dalam pernikahan? 2. Bagaimana proses terjadinya Khulu’?
3. Bagaimana hukum Khulu’ dalam pernikahan? 4. Berapakah ‘iwad Khulu’?
5. Apa pengertian Nusyuz ?
BAB II PEMBAHASAN A. KHULU’
1. Pengertian
Khulu’ adalah perceraian yang terjadi berdasarkan persetujuan suami istri yang berbentuk jatuhnya satu kali talak dari suami kepada si istri dengan adanya penebusan dengan harta atau uang oleh si istri yang menginginkan khulu’ itu.1
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, khulu’ menurut bahasa berarti si istri meninggalkan harta. Kata khulu’ ini diambil dari lafal khala’a ats-tsauba (melepaskan pakaian), karena wanita adalah pakaian laki-laki dan sebaliknya secara maknawi. Syarat yang menjadi ‘illah untuk pembolehan khuluk ialah suami istri itu tidak dapat lagi menjalankan peraturan-peraturan Tuhan, kalau mereka teruskan hubungan perkawinannya. Dalam surat Al Baqarah ayat 187 :
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian mereka”
Menurut fuqaha khulu’ secara umumyakni perceraian yang disertai dengan sejumlah harta sebagai’iwadh yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan.
Abu Bakar bin Duraid menyebutkan didalam Amali-nya bahwa khulu’ yang pertama kali terjadi didunia ialah bahwa Amir bin Azh-Zahrib
mengawinkan anak perempuannya dengan anak laki-laki saudaranya, Amir bin Al Harits bin Azh Zahrib. Tetapi, ketika si perempuan itu dipertemukan dengan si laki-laki, dia lari dari laki-laki (suaminya) itu, lalu si suami mengadu kepada ayah si perempuan. Kemudian ayah perempuan itu berkata, “Aku tidak bisa menghimpun padamu keterpisahan istrimu dan hartamu, dan aku melepaskannya darimu dengan (mengambilkan) sesuatu yang telah engkau berikan padanya.” Ibnu Duraid berkata, “Maka para ulama beranggapan bahwa inilah khulu’ yang terjadi dikalangan bangsa Arab”.2
2. Proses terjadinya Khulu’
Pada prinsipnya khulu’ itu terjadi dengan kerelaan antara suami dan istri. Jika suami tidak mau menerima tebusan karena ia masih cinta kepada istrinya, maka si istri dapat mengajukan perkaranya ke pengadilan. Jika seorang wanita ingin mengakhiri kehidupan bersuami istri maka haruslah mendapat perkenaan
1 Sajuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penerbit UI, 1974), hlm. 127
dari kepala keluarga. Apabila kepala keluarga (suami) tidak berkenaan, sedang ia sudah tidak suka untuk hidup bersamanya lagi, maka ia dapat mencari
perlindungan kepada pengadilan. Dan pengadilan harus mandapatkan data yang akurat bahwa kebencian si istri dan keinginannya untuk bercerai bukan muncul secara mendadak, melainkan merupakan keinginan yang betul betul tumbuh dari lubuk hati yang dalam. Oleh karena itu, pengadilan perlu memangil kedua belah pihak untuk berdamai dengan mendatangkan seorang hakam (juru damai) dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri. Apabila kedua hakam tidak mendapatkan taufik untuk mewujudkan perdamaian, maka hal itu menujukan bahwa kebencian si istri sudah sangat berat, dan ia akan menderita jika hubungan kehidupan suami-istrinya diteruskan. Pada saat itu barulah hakim memutuskan untuk khulu’.
Khulu’ itu mempunyai bentuk hakiki yang bukan karena tindakan suami yang sengaja melaratkan istri, melainkan semata-mata istri sudah tidak senang dan ingin berpisah dan bentuk lahiriah dimana suami sengaja memelaratkan istri, tetapi si istri tidak mampu memastikan dharar yang memperbolehkan talak, lalu dia meminta khulu’ dan menebus dirinya dengan mengambilkan apa yang telah diberikan suami untuk membebaskan dirinya dari dharar (kemelaratan). Dalam kondisi seperti ini, si suami berdosa karena mengambil tanpa hak.3
3. Hukum Khulu’
Para ulama Fiqh mengatakan bahwa khulu’ itu mempunyai dua hukum, tergantung kondisi dan situasinya. Dua hukum tersebut adalah mubah dan haram.
1. Mubah
Hukumnya menurut jumhur ulama adalah boleh atau mubah.4 Istri
boleh-boleh saja mengajukan khulu’ manakala ia merasa tidak nyaman apabila tetap hidup bersama suaminya, baik karena sifat sifat buruk suaminya, atau dikhawatirkan tidak memberikan hak hak nya kembali atau karena ia takut ketaatan kepada suaminya tidak menyebabkan berdiri dan terjaganya ketentuan-ketentuan Allah. Dasar dari kebolehannya terdapat dalam Al Quran dan Hadis Nabi yang artinya:
3 Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, (Jakarta: Gema Insani, 1999), hlm. 378-379
“Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”.
2. Haram
Khulu’ bisa haram hukumnya bila dilakukan dalam kondisi berikut ini: a. Apabila si istri meminta khulu’ kepada suaminya tanpa ada alasan dan
sebab yang jelas, padahal urusan rumah tangganya baik-baik saja, tidak ada alasan yang dapat dijadikan dasar oleh istri untuk mengajukan khulu’.
Hal ini didasarkan pada firman Allah berikut ini:
“Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya” (QS Al Baqarah: 229).
b. Apabila si suami sengaja menyakiti dan tidak memberikan hak hak si istri mengajukan khulu’, maka hal ini juga haram hukumnya. Apabila khulu’ terjadi si suami tidak berhak mendapat dan mengambil iwadah, uang gantinya karena maksudnya saja sudah salah dan berdoa. Allah berfirman :
“Hai orang-orang beriman, tidak halal bagi kalian mempusakai wanita dengan jalan paksa. Janganlah kalian menghalangi mereka kawin dan jangnlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, melakukan pekerjaan kerji yang nyata.” (QS An Nisa’: 19).
Namun, apabila si suami berbuat seperti diatas lantaran si sitri berbuat zina, maka apa yang dilakukan si suami boleh-boleh saja dan ia berhak mengambil ‘iwadh tersebut.
4. Iwadh (Tebusan)
melakukan khulu’ dengan memberikan hartanya yang lebih dari mahar yang pernah diterimanya saat pelaksanaan akad nikah dari suaminya. Yang boleh dijadikan tebusan adalah berupa benda yang tidak najis zatnya, manfaat, halal, bernilai atau jasa yang dibenarkan oleh agama.5 Tidak ada batasan dalam
tebusan, baik lebih banyak daripada mahar yang diberikan suami kepada istri atau lebih sedikit. Karena Allah berfirman :
“Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayarn yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya”. (QS. Al Baqarah: 229).6
B. NUSYUZ 1. Pengertian
Kata nusyuz dalam bahasa arab merupakan bentuk mashdar (akar kata) yang berarti duduk kemudian berdiri, berdiri dari, menonjol, menentang atau durhaka.7 Dalam kontek pernikahan, makna nusyuz yang tepat untuk digunakan
adalah menentang atau durhaka. Sebab makna inilah yang paling mendekati dengan persoalan rumah tangga. Menurut Al-Qurtubi nusyuz adalah mengetahui dan menyakini bahwa istri itu melanggar apa yang sudah menjadi ketentuan Allah dari pada taat kepada suami. Sedangkan menurut istilah, dalam kitab al-bajuri dikatakan bahwa nusyuz adalah keluara dari ketaatan (secara umum) dari istri atau suami atau keduanya.
Dari beberapa definisi diatas bisa ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan nusyuz adalah pelanggaran komitmen bersama terhadap apa yang menjadi kewajiban dalam rumah tangga. Adanya tindakan nusyuz ini adalah merupakan pintu pertama dalam kehancuran rumah tangga. Untuk itu demi kelanggengan rumah tangga sebagaimana yang menjadi tujuan setiap pernikahan, maka suami maupun istri mempunyai hak yang sama untuk menegur masing-masing pihak yang ada tanda-tanda melakukan nusyuz.
2. Macam-macam nusyuz
1. Nusyuz perempuan atau istri
Dilihat dari sifat istri pada suaminya dapat dipilah menjadi dua, pertama istri yang solihah yaitu istri yang tunduk dan taat kepada perintah Allah dan
5 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan, (Jakarta; Kencana, 2006), hlm. 491
6 Tahqiq & Takhrij Rif’at Fauzi dan Abdul Muththalib, Al Umm, Terj. Misbah, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2015), hlm. 372
perintah suami dan lain-lain. Kedua istri yang berusaha keluar dari
kewajibannya sebagai istri, meninggalkan suaminya sebagai pucuk pimpinan rumah tangga dan menghendaki agar kehidupan rumah tangga menjadi berantakan. Istri yang demikian itu disebut istri yang nusyuz. 8
Dalil al-quran mengenai nusyuz perempuan ada dalam surat An-Nisa’ ayat 34 yang artinya:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya maka nasehatilah mereka dan pisahkan diri dari tempat tidur mereka dan pukulah mereka, kemudian jika mereka mentaatimu maka janganlah mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah maha tinggi lagi maha besar”. a. Tanda-tanda nusyuz perempuan (istri) itu antara lain:
Para imam mazhab yang empat juga mengumumkan beberapa tanda nusyuz istri lainya :
1. Nusyuz dengan ucapan adalah
- Tidak cepat menjawab suaminya berdasarkan bukan kebiasaan - Tidak nyata atau tidak jelas penghormatan kepada suaminy - Tidak mendatangi kecuali dengan bosan, jamu atau dengan muka
yang cemberut.
2. Nusyuz dengan perbuatan
- Apabila biasanya kalau diajak tidur maka ia menyambut dengan senyum dan wajah berseri tetapi kemudian ia berubah menjadi enggan dan menolak dengan wajah yang tidak menyenangkan. - Kemudian yang biasanya sang suami pulang kerja disambut
dengan hangat dan menyiapkan segala keperluannya, kemudian ia berubah dengan sikap tidak perduli lagi.
b. Cara penyelesaian.
Jika istri melakukan nusyuz ada beberapa cara yang bisa ditempuh suami untuk meredakan nusyuz sang istri, diantaranya: 1. Menasehati dengan tegas agar ia dapat kembali menjalankan
kwajibannya dengan baik sebagai istri. Disini suami dituntut bijaksana dalam perkataan dan perbuatan, tegas buakn berarti kasar. 2. Berpisah tempat tidur. Cara ini baru dilakukan jika cara yang pertama
tidak mempan.
3. Jika cara pertama dan kedua tidak bisa membuat istri berubah menjadi taat kepada komitmen bersama dalam membangun rumah tangga, maka jalan terakhirnya adalah dengan memukulnya. Akan
tetapi pemukulan disini tidak bisa diartikan sebagai memukul dengan tangan atau dengan alat secara kasar, apalagi melukai.9
2. Nusyuz laki-laki atau suami.
Suami nusyuz mengandung arti pendurhakaan suami kepada Allah karena meninggalkan kewajibanya kepada istri, hal ini terjadi bila ia tidak melaksanakan kewajiban kepada istrinya baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi maupun non materi.10
Allah SWT berfirman dalam Al-Quran suart An-Nisa’ ayat 128 yang berarti : “Dan jika wanita khawatir tentang nusyuz atau sikap tidak acuh dari
suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamian itu lebih baik bagi mereka walaupun manusia itu menurut thabiatnya adalah kikir. Dan jika kamu bergaul dengan istrimu dengan baik, dan mereka memlihara dirimu (dari nusyuz dan sikap acuh) maka sesungguhnya Allah adalah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.
a. Tanda tanda Nusyuz Suami
Nusyuz suami pada dasarnya adalah jika suami tidak memenuhi kewajibannya, antara lain:
1. Memberikan mahar sesuai dengan permintaan istri
2. Memberikan nafkah lahir sesuai dengan pendapatan suami 3. Menyiapkan peralatan rumah tangga, perlengkapan dapur,
perlengkapan kamar utama seperti alat rias dan perlengkapan mandi sesuai keadaan dirumah istri.
4. Menyiapkan pembantu bagi istri yang rumahnya memiliki pembantu 5. Menyiapkan bahan makanan minuman setiap hari untuk istri dan
anak-anak dan pembantu kalau ada
6. Memasak, mencuci, menyetrika dan pekerjaan rumah 7. Memberikan rasa aman dan nyaman dalam rumah tangga
8. Membayar upah kepada istri jika istri meminta bayaran atas semua pekerjaannya
9. Bebruat adil, apabila memiliki istri lebih dari satu 10. Berbuat adil diantara anak-anaknya
b. Cara penyelesaian
Dalam nusyuz suami ini yang ditekankan cara penyelesainnya adalah dengan cara sebagai berikut:
1. Dengan melakukan Ishlah (perdamaian)
9 Ali Yusuf As Subki, Fiqh Keluarga, (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 312
2. Jika cara tersebut tidak berhasil maka suami dan istri harus menunjuk hakam dari kedua belah pihak. Hakam ini juga bisa datang dari pihak keluarga, tokoh masyarakat atau pemuka agama, atau bisa juga melalui KUA.
Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Al Quran surat An Nisa’ ayat 35 yang artinya
“Dan jika kamu khawatir ada persengketaan antara keduanya, maka angkatlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam tersebut
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah member taufiq kepada suami istri itu, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
3. Apabila kedua cara itu masih belum berhasil maka hakim boleh menjatuhkan Ta’zir. Adapun bentuk ta’zir nya antara lain pemukulan yang tidak melukai, tempelengan yaitu pemukulan dengan
keseluruhan telapak tangan, penahanan (penjara), mencela dengan perkataan, mengasingkan dari daerah asal sapai pada jarak tempuh yang boleh melakukan qasar, dan memecat dari kedudukannya. Bentuk dan jenis ta’zir ini diserahkan kepada pemerintah atau pejabat yang berwenang.
4. Apabila dengan jalan ta’zir ini suami masih melakukan nusyuz, maka istri bisa menempuh jalur hukum juga berupa fasakh. Hal ini bisa dilakukan apabila suami tidak memberikan nafkah selama 6 bulan.
3. Akibat Nusyuz
Sebagai akibat hukum dari perbuatan nusyuz ini menurut jumhur ulama, mereka sepakat bahwa istri yang tidak taat kepada suaminya tanpa adanya suatu alasan yang dibenarkan menurut syar’i atau secara ‘aqli maka istri itu dianggap nusyuz dan tidak berhak mendapatkan nafkah, dan jika suami itu memiliki istri lebih dari satu (poligami) maka terhadap istri yang nusyuz selain tidak diberikan nafkah juga tidak wajib memberikan gilirannya tetapi masih wajib memberikan tempat tinggal.
pengadilan untuk membrikan nasehat kepada suami tersebut apabila si suami belum bisa diajak damai dengan cara musyawarah.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Khulu’ adalah perceraian yang terjadi berdasarkan persetujuan suami istri yang berbentuk jatuhnya satu kali talak dari suami kepada si istri dengan adanya
penebusan dengan harta atau uang oleh si istri yang menginginkan khulu’ itu. Khulu’ terjadi jika adanya kerelaan antara suami dan istri untuk melakukan perceraian dengan pihak istri memberikan tebusan kepada pihak suami. Hukum khulu’ adalah Mubah dan Haram sesuai dengan kondisi dan situasi yang terjadi. Uang tebusan yang diberikan pihak istri kepada pihak suami adalah sebesar dengan mahar yang diberikan pihak suami kepada istri saat akad nikah.
Nusyuz adalah pelanggaran komitmen bersama terhadap apa yang menjadi kewajiban dalam rumah tangga. Nusyuz terbagi menjadi dua yaitu nusyuz laki-laki dan nusyuz perempuan. Akibat dari adanya nusyuz ini salah satu nya pihak istri tidak berhak mendapat nafkah. Sedangkan nusyuz suami, istri boleh melaporkannya kepada pihak pengadilan.
B. Kritik dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
Thalib, Sajuti. 1974. Hukum Kekeluargaan Indonesia. Jakarta: Yayasan Penerbit UI.
Syuqqah, Abdul Halim Abu. 1999. Kebebasan Wanita. Jakarta: Gema Insani. Munawir, Ahmad Warsan. 1994. Al-Munawir Kamus Arab Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Progresif.
Supriyatna dkk. 2008. Fiqh Munakahat II. Yogyakarta: Bidang Akademik UIN. Subki, Ali Yusuf As. 2010. Fiqh Keluarga. Jakarta: Amzah.
Syarifuddin, Amir. 2006. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Antara Fiqh Munakahat dan UU Perkawinan. Jakarta; Kencana.