• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK HUKUM EKONOMI SYARIAH DI INDONES

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLITIK HUKUM EKONOMI SYARIAH DI INDONES"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK HUKUM EKONOMI SYARIAH DI INDONESIA

Sufiarina, SH, MH

Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Tama Jagakarsa Jakarta

Abstract

When business activities are carried out based on Islamic principles have disputes, the estuary of the settlement of disputes in litigation sharia is the absolute competence of religious courts in accordance with Law No. 3 of 2006. While the government’s legal policy (legislative and executive) on economic activity sharia impressed still ambiguous. Government ambiguity is reflected in article 55 paragraph (2) of Act No. 21 of 2008 which still provides the option of dispute resolution through the courts of Islamic banking in general court.

Keywords: Sharia economic, legal policy, dispute resolution.

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang Permasalahan

Perikatan sebagai suatu hubungan hukum timbul karena perjanjian ataupun karena undang-undang. Hubungan hukum merupakan hubungan-hubungan yang mempunyai akibat hukum (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009: 72). Menurut Riduan Syahrani, perikatan adalah hubungan hukum antara dua pihak dalam lapangan hukum harta kekayaan, dimana pihak yang satu (kreditor) berhak atas prestasi dan pihak yang lain (debitor) berkewajiban memenuhi prestasi itu (Riduan Syahrani, 2004: 196). Hak dan kewajiban tersebut merupakan akibat hubungan hukum yaitu hubungan yang diatur oleh hukum. Obyek perikatan yang merupakan hak kreditor dan kewajiban debitor biasanya dinamakan prestasi (Pasal 1234 KUHPerdata).

Perjanjian utang piutang mengakibatkan timbulnya hubungan hukum antara si berpiutang (kreditor) dan pihak yang mempunyai utang (debitor). Dalam perjanjian utang piutang debitor mempunyai kewajiban untuk mengembalikan utangnya sesuai dengan perjanjian yang telah disanggupinya, dan kreditor berhak atas pengembalian piutangnya sesuai dengan kesepakatan para pihak tersebut. Dalam kehidupan masyarakat yang beradab, utang wajib dibayar (Fred B.G. Tumbuan, 2004: 75).

Ketika debitor berada dalam keadaan tidak membayar baik karena ketidakmampuannya secara ekonomi maupun karena tidak mau melaksanakan kewajibannya untuk berprestasi, dalam hal ini debitor dikatakan wanprestasi. Debitor dalam keadaan wanprestasi dm hanya mempunyai satu kreditor saja, tidak membayar utangnya secara sukarela, maka kreditor akan menggugat debitor secara perdata ke Pengadilan yang berwenang dan seluruh harta debitor menjadi sumber pelunasan utangnya kepada kreditor tersebut (Kartini Mulyadi, 2008: 4). Sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 1131 KUHPerdata, yaitu begitu seseorang mempunyai utang, maka seluruh kekayaannya merupakan jaminan demi hukum.

(2)

kreditor maupun debitor sendiri. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, timbullah lembaga kepailitan yang mengatur tata cara yang adil mengenai pembayaran tagihan-tagihan para kreditor (M. Hadi Subhan, 2008: 4). Agar supaya tidak berlaku hukum rimba maka perlu dijaga semacam tertib hukum yaitu dimana keadilan dan kebenaran akan ditegakkan sesuai Pasal 1132 KUHPerdata.

Apabila terjadi benturan antara kreditor-kreditor maka di situ harus ada aturan permainannya (Fred B.G. Tumbuan, 2004: 75). Peraturan mainnya diterapkan melalui Undang--Undang Kepailitan dan yang terakhir adalah Undang--Undang-Undang--Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Undang-Undang Kepailitan semata-mata diadakan untuk melaksanakan 2 (dua) ketentuan dalam KUHPerdata yang merupakan soko guru dari masyarakat yang beradab bahwa utang wajib dibayar (Fred B.G. Tumbuan, 2004: 75). Sesuai dengan ketentuan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUHPerdata.

Untuk kepentingan para kreditor bersama, Undang-Undang Kepailitan memungkinkan adanya kepailitan yang merupakan penyitaan umum atas seluruh harta pailit debitor dan eksekusi masal untuk kepentingan semua kreditor dari debitor (Fred B.G. Tumbuan, 2004: 75). Pailit merupakan suatu keadaan dimana debitor tidak mampu untuk melakukan pembayaran--pembayaran terhadap utang-utang dari para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran (M. Hadi Subhan, 2008:1).

Pernyataan pailit seorang Debitor dilakukan oleh Hakim Pengadilan Niaga dengan suatu putusan (vonnis) dan tidak dengan suatu ketetapan (beschikking). Hal itu disebabkan suatu putusan menimbulkan akibat hukum baru, sedangkan ketetapan tidak menimbulkan akibat hukum yang baru tetapi hanya bersifat deklarator saja. Pernyataan pailit menimbulkan suatu akibat hukum yang baru seperti antara lain Debitor yang semula berwenang mengurus dan menguasai hartanya menjadi tidak berwenang mengurus dan menguasai hartanya (Man S. Sastrawidjaja, 2006: 101).

Tugas pokok dari pada pengadilan, yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, adalah untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya (Sudikno Mertokusumo, 2002: 75).

Permohonan pailit diajukan pada Ketua Pengadilan dan pengadilan yang yang dimaksud dalam Undang-Undang Kepailitan adalah Pengadilan Niaga dalam Lingkungan Peradilan Umum (Pasal 6 ayat (1) dan Pasal 1 ayat (7) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang). Pengadilan Niaga tersebut bukanlah merupakan pengadilan baru sebagai tambahan pengadilan yang telah ada sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dalam Pasal 10 ayat (2) menyatakan bahwa “Badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.

(3)

Sekarang, eksistensi Pengadilan Niaga mengacu kepada ketentuan Pasal 1 angka 7 dan Pasal 300 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004.

Pengadilan Niaga hanya merupakan chamber dari Pengadilan Umum, seperti halnya dengan Pengadilan Anak dan Pengadilan Lalu Lintas (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 147). Perpu No. 1 Tahun 1998 sebagai landasan pembentukan Pengadilan Niaga yang memberikan kewenangan secara eksklusif untuk memeriksa perkara permohonan Kepailitan, permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dan perkara-perkara di bidang perniagaan pada umumya yang akan ditentukan dalam Peraturan Pemerintah (Elijana S, 2001: ). Berarti mengenai kepailitan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 telah memberikan kewenangan absolut kepada Pengadilan Niaga untuk mengadili dan memutus masalah kepailitan. Pengadilan lainnya di luar Pengadilan Niaga tidak mempunyai kewenangan atas perkara kepailitan tersebut. Bahkan meskipun para pihak mempunyai kesepakatan dalam perjanjian mereka untuk memilih arbitrase guna menyelesaikan sengketa dalam hubungan hukum mereka, masalah kepailitan hanyalah kewenangan absolut dari Pengadilan Niaga, seperti juga ditegaskan dalam Pasal 303 Undang-undang No. 37 Tahun 2004. Ketentuan Pasal 303 memberikan penegasan bahwa pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak, sekalipun perjanjian utangpiutang yang mereka buat memuat klausul arbitrase. Sehingga Pengadilan Niaga adalah satu-satunya pengadilan di Indonesia yang berwenang mengadili perkara kepailitan.

Wewenang absolut adalah menyangkut pembagian kekuasaan antar badan-badan peradilan, dilihat dari macam-macamnya pengadilan menyangkut pembagian kekuasaan untuk mengadili, dan dalam bahasa Belanda disebut attributie van rechtsmachth (Retnowulan Sutantio, 2002: 11).

Pada dasawarsa terakhir ini alhamdulillah, perhatian umat Islam Indonesia terhadap ajaran ekonomi yang berdasarkan syari’ah mulai tumbuh dan berkembang. Penyebabnya selam karena sistem ekonomi konvensional ternyata tidak dapat memenuhi harapan, disamping kesadaran umat untuk bersyari’ah secara kaffah dalam pelbagai aspek kehidupan ternyata juga terus meningkat (K.H Ma’ruf Amin, 2006: xi).

Secara sederhana, kata syariah dapat dipahami sebagai perangkat ketentuan hukum Ilahiah yang berupa dalil-dalil yang bersifat qat’i (definitifimperatif), atau seperangkat ajaran-ajaran yang konkrit, maupun yang bersifat zanni (hipotetik-probalistik) atau seperangkat ajaran-ajaran umum, yang ditetapkan oleh Allah Swt, dan dijelaskan oleh rasul-Nya, yang berhubungan dengan pengaturan tingkah laku manusia dalam semua aspek kehidupan pribadi dan masyarakat, yang tuntunannya harus diikuti manusia dalam bentuk kepatuhan, untuk mencapai kehidupan yang baik di dunia dan di akhirat (M. Hasbi Hasan, 2010: 99). Prinsip Syari’ah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan ekonomi berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah (Lihat Ketentuan Umum Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syraiah).

(4)

Ekonomi syari’ah adalah, “perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah” (lihat Penjelasan Pasal 49 huruf i Undang-Undang No. 3 Tahun 2006). Prinsip dasar syari’ah yang membedakan ekonomi syari’ah dengan ekonomi konvensional adalah ridha, (kebebasan berkontrak), ta’awun, bebas riba, bebas gharar, bebas tadlis, bebas maisir, objek yang halal dan amanah (Hasbi Hasan, 2010:127).

Dalam aspek hukum lembaga keuangan syari’ah, ketika akan menyusun kontrak perjanjian, maka masing-masing pihak diwajibkan untuk mengacu pada ketentuan syari’ah. Keterikatan ini merupakan wujud dari fitrah perbuatan manusia yang selalu terikat dengan hukum syara’, (Burhanudin S., 2008: 22) dalam arti sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam.

Dengan beragamnya kegiatan ekonomi syari’ah dalam praktiknya menimbulkan perikatan yang mengakibatkan terdapatnya hak dan kewajiban bagi para pihak sehingga tidak tertutup kemungkinan menimbulkan sengketa. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian apabila tidak dipenuhi secara sukarela, tentu dapat dimintakan pemenuhannya secara paksa melalui pengadilan.

Pengadilan yang dimaksud dalam penyelesaian sengketa syari’ah adalah Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 ini telah membawa perubahan besar bagi kompetensi Peradilan Agama. Melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tersebut, kompetensi Peradilan Agama diperluas dengan memasukkan antara lain penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, sebagai salah satu bidang kompetensinya. Artinya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 ini menegaskan secara eksplisit bahwa masalah ekonomi syari’ah telah menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama (Hasbi Hasan, 2010: 69).

Ekonomi syari’ah adalah usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh orang perorang, kelompok orang, badan usaha yang berbadan hukum atau tidak berbadan hukum dalam rangka memenuhi kebutuhan yang bersifat komersial dan tidak komersial menurut prinsip Syari’ah (Tim Redaksi Fokusmedia, 2009: 196). Dalam dunia bisnis, lembaga keuangan mempunyai fungsi sangat penting, terutama sebagai lembaga intermediasi (financial intermediary) di antara para pemilik modal dengan pihak lain yang membutuhkannya. Hubungan antara semua pihak yang terkait dengan lembaga keuangan, harus selalu dibentuk atas dasar kontrak perjanjian/perikatan (Burhanuddin S., 2009: 22).

Dalam transaksi ekonomi syari’ah, ketika salah satu pihak tidak dapat memenuhi apa yang menjadi kewajibannya (debitor) maka pihak lainnya (kreditor) dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama untuk minta pemenuhan apa yang menjadi haknya berdasarkan Pasal 49 Undang-Undang No. 3 Tahun 2006. Namun bagaimana halnya jika pihak yang dibebani kewajiban tersebut (debitor) dalam transaksi syari’ah mempunyai lebih dari satu kreditor yang piutangnya telah jatuh tempo dan debitor berada dalam keadaan berhenti membayar. Situsai seperti ini menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 telah terpenuhi unsur kepalitan dan merupakan kewenangan dari Pengadilan Niaga.

(5)

Undang-Undang no. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang memberikan opsi penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui Peradilan Umum berdasarkan isi akad.

2. Pokok Permasalahan

Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka masalah pokok yang akan diteliti berhubungan dengan:

a. Bagaimana politik hukum ekonomi syariah di Indonesia?

b. Pengadilan manakah yang mempunyai kompetensi absolut dalam memutus sengketa kepailitan transaksi ekonomi syari’ah?

B. PEMBAHASAN

1. Analisis Politik Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia

Menurut Mahfud politik hukum adalah. “legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara” (Moh. Mahfud MD, 2009: 1). Dengan demikian politik hukum merupakan pilihan tentang hukum hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 (Moh. Mahfud MD, 2009: 1).

Padmo Wahjono dalam bukunya Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum, (Padmo Wahjono, 1986: 160) mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Definisi ini masih bersifat abstrak dan kemudian dilengkapi dengan sebuah artikelnya di majalah Forum Keadilan yang berjudul “Menyelisisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan”. Dalam artikel tersebut Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum, penerapan hukum, dan penegakannya sendiri (Padmo Wahjono, 1991: 65).

Dari kedua definisi di atas, dapat dinyatakan bahwa menurut Padmo Wahjono politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukum sesuatu. Dengan demikian, politik hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa datang atau ius constituendum (Imam Syaukani dan A Ahsin Thohari, 2008: 27)

Pada dasarnya senada apa yang disampaikan oleh Mahfud dan Padmo Wahjono bahwa politik hukum menyangkut tentang ius constituendum dalam arti tentang hukum yang akan diberlakukan, baik dalam bentuk pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, penerapan hukum, dan penegakannya yang ditujukan untuk mencapai cita hukum.

Dalam politik hukum Indonesia, pemikiran dan gagasan mengenai konsep ekonomi syariah telah direpresentasikan dalam praktik perbankan syariah. Akses konsep ekonomi syariah di tengah praktik sistem ekonomi kontemporer faktualnya memang belum banyak merambah sektor ekonomi di tingkat pasar dan dunia usaha, hingga saat ini masih terbatas pada dunia asuransi, koperasi, dan bahkan masih dominan dalam dunia perbankan (Hasbi Hasan, 2010:82).

(6)

sistem ekonomi syariah, namun eksistensi dan legitimasinya sebagai konsep sistem ekonomi alternatif dalam tata kegiatan usaha bisnis global kontemporer justru masih dihadapkan pada kompleksitas problem tata hukum dan dominasi sistem ekonomi konvensional (Hasbi Hasan, 2010: 82). Kendati demikian tidak dapat dipungkiri bahwa operasional konsep ekonomi syariah dengan segala spesifikasi karakteristiknya telah menjadi satu keniscayaan alternatif, baik di dunia internasional umumnya maupun Indonesia khususnya (Hasbi Hasan, 2010: 82).

Teuku Muhammad Radhi, mantan kepala BPHN, sebagaimana dikutip Suparman Usman, mengatakan bahwa salah satu syarat untuk dapat berlakunya hukum dengan baik dalam masyarakat adalah bahwa hukum tersebut harus sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat (Suparman Usman, 2001: 125-126). Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat Indonesia sebagian besar beragama Islam, dan karenanya dapat dipahami apabila terdapat keinginan agar dalam penyusunan hukum nasional pihak berwenang mengindahkan hukum Islam, dan hendaknya dalam hukum nasional yang akan datang tidak terdapat hal-hal yang bertentangan dengan hukum Islam tersebut (Suparman Usman, 2001: 125-126).

Berangkat dari pengertian politik hukum di atas, yang membagi politik hukum ekonomi syariah ke dalam dua sifat yaitu secara ius constitutum adalah produk hukum ekonomi syariah yang telah terbit dan telah berjalan, dan ius constituendum terhadap produk hukum yang dicita-citakan. Politik hukum ekonomi syariah meliputi beberapa produk hukum (ius constitutum) dengan telah terbitnya beberapa produknya berupa undang-undang dan pedoman lainnya sebagai panduan yang akan menentukan arah perkembangan hukum ekonomi syanah yang akan dibangun.

Berkaitan dengan ius constitutum, politik hukum sehubungan dengan penegakan hukum dalam rangka penyelesaian sengketa (dispute) ekonomi syariah, telah diundangkan ketentuan mengenai Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Ketika perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah menimbulkan sengketa, maka muara penyelesaian perkara secara litigasi menjadi kompetensi Peradilan Agama. Sedangkan penyelesaian melalui jalur non litigasi dapat dilakukan melalui lembaga arbitrase, dalam hal ini Basyarnas dan alternatif penyelesaian sengketa dengan memperhatikan ketentuan dalam Undang-undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariah.

Pengadilan yang dimaksud dalam penyelesaian sengketa syari’ah adalah Pengadilan Agama sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Lahirnya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 ini telah membawa perubahan besar bagi kompetensi absolut (absolutely competence) Peradilan Agama. Melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tersebut, kompetensi Peradilan Agama diperluas (extensive) dengan memasukkan antara lain penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah, sebagai salah satu bidang kompetensinya yang selama ini dimiliki oleh Peradilan Umum (PN). Artinya Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 ini menegaskan secara eksplisit bahwa masalah ekonomi syari’ah telah menjadi kompetensi absolut Peradilan Agama (Hasbi Hasan, 2010: 69). Keberhasilan perluasan kompetensi absolut Peradilan Agama berarti telah meretas keterkungkungan dan marginalisasi hukum Islam.

(7)

hukum Islam di Indonesia dengan cara menyandarkan keberlakuannya kepada hukum adat dan juga hukum barat (Ahmad Rofiq, 2002: 55-57). Oleh karena itu keberhasilan memperluas kompetensi absolut Peradilan Agama merupakan kemenangan politik hukum Islam Indonesia. Dengan demikian kompetensi hakim Peradilan Agama dalam memutuskan sengketa ekonomi syariah merupakan kemajuan yang signifikan terhadap legitimasi dan eksistensi sistem ekonomi Islam di Indonesia. Sebab persoalan sengketa (dispute) adalah sesuatu yang inherent dari keberadaan ekonomi Islam itu sendiri.

Berkaitan dengan penyelesaian sengketa di bidang ekonomi Syari’ah pada lembaga Peradilan Agama, dengan dasar Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 kompetensi absolutnya telah jelas serta hakim tidak berhak menolak untuk menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya termasuk kepailitan transaksi ekonomi syariah, dengan alasan belum ada ketentuan yang mengatur. Hakim berkewajiban menciptakan hukum atau to create the law (Muchsin, Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan Ekonomi Syariah, www.google.com 27 November 2010). Atau untuk mengisi kekosongan hukum, maka konsep yang diterapkan oleh Peradilan Umum berupa Pengadilan Niaga sebagai pengadilan khusus, setidaknya dapat dipakai sebagai acuan sebelum Peradilan Agama mengadakan pengkhususan pengadilan. Karena lebih lanjut dinyatakan bahwa di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan pengadilan yang diatur dengan undang-undang (Lihat ketentuan Pasal 3A Undang-undang No. 3 Tahun 2006). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1998, pasal 1 ayat (1), pasal 280 ayat (2), serta pasal 281. Penjelasan pasal 1 ayat (1) menyatakan: yang dimaksud pengadilan adalah pengadilan niaga yang merupakan pengkhususan pengadilan di bidang perniagaan yang di bentuk dalam lingkungan Peradilan umum. Pengadilan niaga ini dipisahkan yurisdiksinya dari pengadilan Negeri dalam perkara pailit dan penundaan kewajiban pembayaran utang.

Sementara jika dikaitkan dengan pasal tersebut, yang menyatakan: Pengadilan khusus dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Pengadilan Syari’ah Islam yang diatur dengan Undang-Undang Mahkamah Syar’iyah di propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 tahun 2001 tentang otonomi khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa NAD, yang oleh Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman pasal 15 ayat (2) disebutkan bahwa: Peradilan Syari’ah Islam di Propinsi NAD merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan Pengadilan Agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan Pengadilan Agama dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan pengadilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum (Lihat ketentuan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004).

Selama ini di lingkungan Peradilan Agama sendiri telah berkembang wacana tentang kemungkinan dan perlunya diwujudkan dua pengadilan khusus di Peradilan Agama, antara lain berupa Pengadilan Keluarga (al-ahwal al- syakhshiyah, family court) yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa hukum keluarga dan Pengadilan Muamalah Syar’iyyah (amwal al-syar’iyah) yang bertugas untuk menyelesaikan sengketa harta kekayaan yang berkaitan dengan harta bersama, warisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari’ah. Dalam era reformasi hukum sekarang ini, wacana tersebut sudah saatnya digulirkan agar menjadi kenyataan untuk mengantisipasi kebutuhan mendesak masyarakat pencari keadilan lewat pengadilan khusus (Syamsuhadi Irsyad, Selasa, 30 Januari 2007: 12).

(8)

sebagai organ pengadilan dianggap memahami hukum. Andaikata ia tidak memahami hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum (Yudha Bhakti Ardhiwisastra, 2008: 1), melalui cara menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman).

Lagi pula bahwa peraturan perundang-undangan itu tidak lengkap dan tidak jelas. Tidak ada peraturan perundang-undangan yang lengkap selengkap-lengkapnya dan jelas sejelas--jelasnya. Peraturan perundang-undangan dimaksudkan untuk mengatur kegiatan kehidupan manusia. Kegiatan kehidupan manusia manusia itu sedemikian luasnya, sehingga tidak terhitung lagi jenis dan jumlahnya (Sudikno Mertokusumo, 2001: 48).

Berkaitan dengan kepailitan transaksi ekonomi syariah sementara belum ada ketentuan yang menjadi pedomannya, maka ketentuan kepalitan dalam Undang-Undang No. 37 tahun 2004 dapat dijadikan pedoman oleh hakim Pengadilan Agama dalam menyelesaikan sengketa kepailitan transaksi ekonomi syariah, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip syariah.

2. Analisis Berdasarkan Teori-Teori Hukum Positif

Konsep ekonomi syariah meletakkan nilai-nilai Islam sebagai dasar dan landasan dalam aktivitas perekonomian dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat lahir batin. Salah satu upaya merealisasikan nilai-nilai ekonomi syariah dalam aktivitas yang nyata adalah mendirikan lembaga-lembaga perekonomian berdasarkan syariah Islam. Paralel dengan konsepsi tersebut, maka ketika terjadi sengketa dalam bidang ekonomi syariah, lembaga kekuasaan kehakiman yang berwenang menyelesaikannya adalah Peradilan Agama, karena lembaga tersebut memiliki hukum materil yang bersumber pada hukum Islam dan dijalani oleh aparat hukum yang menguasai prinsip-prinsip syariah (Sudikno Mertokusumo, 2001: 22).

Menurut Mukti Arto, ada dua asas untuk menentukan kompetensi absolut Pengadilan Agama, yaitu apabila suatu perkara menyangkut status hukum seorang muslim, atau suatu sengketa yang timbul dan suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang dilakukan/terjadi berdasarkan hukum Islam atau berkaitan erat dengan status hukum sebagai Muslim (A. Mukti Arto, 2004: 6).

Kompetensi absolut Peradilan Agama sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mengalami perubahan strategis sebagai respon atas perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, terutama dalam bidang ekonomi syariah. Ketentuan mengenai kompetensi absolut Peradilan Agama dalam perkara ekonomi syariah ini dituangkan dalam Undang-Undang No.3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan kemudian diperteguh dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. Kedua peraturan tersebut mengatur bagaimana solusi bagi penyelesaian perkara ekonomi syariah.

Namun kemudian muncul persoalan tatkala Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah memberikan kompetensi kepada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum untuk menyelesaikan perkara perbankan syariah. Pasal 55

Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 menyebutkan;

a. Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

b. Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad.

(9)

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) Undang-Undang No. 21 tahun 2008 menyebutkan, “ yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi akad” adalah upaya sebagai berikut: a. Musyawarah; b. Mediasi Perbankan; c. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan atau d. Melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Ketentuan Pasal 55 ayat (2) beserta penjelasannya itu menunjukkan bahwa telah terjadi reduksi terhadap kompetensi Peradilan Agama dalam bidang perbankan syariah. Berdasarkan Undang-Undang No. 3 tahun 2006, Peradilan Agama memiliki kompetensi dalam menangani perkara ekonomi syariah, yang didalamnya termasuk perkara perbankan syariah. Ternyata, ketentuan Undang-Undang No. 3 tahun 2006 itu dikurangi oleh perangkat hukum lain, yaitu Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 yang nota bene sebenamya dimaksudkan untuk memudahkan penanganan perkara ekonomi syariah, khususnya di bidang perbankan syariah.

Dengan demikian politik hukum pemerintah (legislatif dan eksekutif) terhadap perbankan syariah terkesan masih ambivalen, sebagaimana tercermin dalam Pasal 55 ayat (2) dan penjelasan huruf d yang masih memberi opsi penyelesaian sengketa perbankan syariah melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum. Adanya opsi kompetensi peradilan dalam lingkungan Peradilan Agama dan Peradilan Umum dalam bidang perbankan syariah ini menunjukkan adanya reduksi dan penyempitan serta mengarah pada dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi, sekalipun kompetensi yang diberikan kepada Peradilan Umum adalah terkait dengan isi suatu akad, khususnya mengenai choice of forum dan choice ofjurisdiction.

Menurut Profesor Radin, dalam bukunya The Nature of Bankruptcy, sebagaimana dikutip oleh Jordan et al, tujuan semua Undang-Undang Kepailitan (bankruptcy laws) adalah untuk memberikan suatu forum kolektif untuk memilah-milah hak-hak dari berbagai penagih terhadap aset seorang Debitor yang tidak cukup nilainya atau “debt collection system” (Herna Pardede, www.google.com. 9 Sept 2010).

Ketentuan yang dikeluarkan DSNMUI sebagai pedoman bagi para pelaku transaksi syari’ah belum mengatur perihal kepailitan, yang diatur hanyalah wanprestasinya debitor terhadap satu kreditor, dan penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional yang justru memberikan kesempatan kepada debitor untuk menunda apabila debitor tidak mampu untuk membayar utangnya.

Apabila debitor hanya memiliki satu orang kreditor, maka eksistensi dari Kepailitan sesuai dengan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 kehilangan raison d’etre-nya (Sutan Remy Sjahdeini, 2002: 53). Dalam hal debitor hanya mempunyai satu kreditor sudah pasti seluruh hasil penjualan harta kekayaan tersebut merupakan sumber pelunasan bagi kreditor. Sehingga tidak ada ketakutan terjadi perlombaan dan perebutan terhadap kekayaan debitor karena hanya ada satu kreditor. Kondisi debitor tidak mampu membayar dan hanya punya satu kreditor adalah kedudukan debitor berada dalam keadaan wanprestasi dan tidak perlu dinyatakan pailit, dimana kepailitan mensyaratkan adanya concurs us creditorum.

C. PENUTUP 1. Kesimpulan

(10)

Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan kemudian diperteguh dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.

Kedua peraturan tersebut mengatur bagaimana solusi bagi penyelesaian perkara ekonomi syariah. Ketentuan perundang-undangan tersebut tidak serta merta turun dari langit, akan tetapi sesuai dengan dinamika politik hukum nasional yang berusaha sedapat mungkin memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang dalam kenyataan empiriknya menampilkan kehidupan perekonomian yang mengadopsi prinsip syariah pada kegiatan usaha tertentu. Dalam kenyataannya, perekonomian yang demikian telah memberi pengaruh, bahkan sedang menunjukkan eksistensinya dan telah memberi warna tersediri bagi kegiatan usaha di Indonesia. Dengan kebijakan politik hukum pemerintah tersebut, ekonomi syariah telah menjadi salah satu sub sistem ekonomi nasional. Konsekuensinya, hukum ekonomi syariah juga secara otomatis telah menjadi sub sistem hukum nasional. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hal itulah yang menjadi salah satu pertimbangan pemerintah sehingga menerbitkan perundang-undangan baru yang terkait dengan ekonomi syariah, seperti Undang Bank Indonesia, Undang-undang Perbankan Nasional, Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Perbankan Syariah, Undang-undang Obligasi dan Surat Berharga Syariah dan lain sebagainya.

D. DAFTAR PUSTAKA 1. Sumber Utama Al-Qur’an

Hadist 2. Buku

Ahmad Rofiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 2002.

A. Mukti Arto, Praktik Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004.

Burhanudin S, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, cet ke-1,UII Press, Yogyakarta, 2008. ___________, Hukum Kontrak Syariah, cet-1, Yogyakarta, 2009.

Elijana S, Pengadilan Niaga,Pelaksanaan dan Dampaknya yang dimuat dalam Rudhi A Lontoh, Denny Kailimang & Benny Ponto (Ed), Penyelesaian Utang-piutang, Melalui pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001.

Fred B.G. Tumbuan, Konsep Dasar dan Aspek Hukum Kepailitan, Prosiding Rangkaian Lokakarya Terbatas Masalah-masalah Kepailitan dan Wawasan Hukum Bisnis lainnya, Ketua Editor Emmy Yuhassarie, Pusat Pengkajian Hukum, Jakarta, 2004.

(11)

Imam Syaukani dan A Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Penerbit PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008.

Kartini Mulyadi, Pengertian dan Prinsip-prinsip Umum Hukum Kepailitan, dalam Hukum Kepailitan Penyelesaian Utang Piutang, Editor Rudhy A. Lontoh dkk, Penerbit Alumni, Bandung, 2001.

M. Hadi Subhan, Hukum Kepailitan, Prinsip, Norma dan Praktik di Peradilan, Penerbit Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008.

Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2006.

Mariana Sutadi, Hukum Acara Pada Pengadilan Niaga, yang dimuat dalam Rudhi A Lontoh, Denny Kailimang & Benny Ponto (Ed), Penyelesaian Utang piutang, Melalui pailit atau Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Alumni, Bandung, 2001.

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Penerbit Rajawali Pers Divisi Buku Perguruan Tinggi PT. RajaGrafmdo Persada, Jakarta, 2009.

____________, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Penerbit Gema Media, Yogyakarta, 1999.

Padmo Wahjono, Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet ke II, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986.

__________, “Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan”, Forum Keadilan, No. 29 April, 1991.

Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek, Penerbit, Cv Mandar Maju, Bandung, 2002.

Riduan Syahrani, Seluk-beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, Penerbit Alumni Bandung, 2004. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Penerbit PT Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2009.

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2001.

Sutan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan, Penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2002. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keenam, Penerbit Liberty

Yogyakarta, 2002

(12)

Syamsuhadi Irsyad, Eksistensi Peradilan Agama, ceramah pada acara Mohon Diri Purna Tugas dalam Rapat Pleno MARI, Selasa, 30 Januari 2007.

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Penafsiran dan Konstruksi Hukum, Penerbit Alumni Bandung, 2008.

3. Makalah, Artikel dan Internet

Herna Pardede, Tujuan dan Asas-asas Hukum Kepailitan, www.goog le.com . 9 Sept 2010

Lastuti Abubakar, Implikasi Penerapan Prinsip Syariah dalam Aktivitas Ekonomi Terhadap Pengembangan Hukum Ekonomi dan Peran Perguruan Tinggi di Indonesia, Disampaikan pada Seminar Perkembangan Ekonomi Syariah, Bagian Keperdataan FH Unpad, 6 Desember 2010

Muchsin, Wewenang Pemailitan Lembaga Keuangan Ekonomi Syariah, www.google.com 27 November 2010

4. Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor No. 4 Tahun 2004 yang telah dirubah dengan Undang-undang 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Undang-Undang No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

Referensi

Dokumen terkait

KABEL LISTRIK KABEL LISTRIK KELAS : X KELAS : X SEMESTER : GASAL SEMESTER : GASAL DISUSUN OLEH: DISUSUN OLEH: ABDUL KHAMID.ST ABDUL KHAMID.ST NO PESERTA :13030861710635 NO

Meskipun pluralisme mengakui akan adanya kesamaan dalam tujuan setiap agama, bukan berarti pluralisme ingin menciptakan suatu agama baru yang dimana semua agama

Manfaat dari penelitian ini adalah menambah pengetahuan dan wawasan yang berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan siswa SMP di lingkungan sekolah,

a) Game akan memaparkan cerita dan peristiwa pelaksanaan Sumpah Palapa secara kronologis dalam bentuk leveling , agar pengguna dapat mengetahui dan memahami

Pengujian ketahanan luntur warna terhadap pencucian, keringat asam dan cahaya matahari menghasilkan nilai yang masuk dalam kategori sedang sampai tinggi (3,3-4,4 dan 5) dan pada

 Perumahan dengan tipe kavling/persil besar ( > 400 m2) sebanyak 1.298 unit.  Pengembangan perumahan di Kawasan Perencanaan pada masa datang adalah mengikuti pola yang

This implies that this research will also ex- plore and find out the forms of social capital, the description of the utilization of social capital that is done by an individual in

Dilihat dari hukum Islam perubahan harga secara sepihak oleh pembeli yang disebabkan karena adanya spekulasi yang dilakukan oleh pembeli dalam membeli tembakau