MENGKAJI MASA DEPAN TRADISI
(Pudentia MPSS)
Ada dua peristiwa penting yang dapat menarik perhatian kita bersama pada tahun 2017 ini. Keduanya membawa pengaruh pada
peristiwa kebudayaan di Indonesia. Pertama, ditetapkannya UU Pemajuan Kebudayaan No 5 pada bulan Juni 2017 yang lalu setelah menunggu selama puluhan tahun. Tidak kurang dari 25 draft rancangan undang-undang kebudayaan yang selalu saja gagal ditetapkan1. Sehingga
pengesahan undang –undang ini pantas disyukuri. Peristiwa berikutnya yang menarik adalah terpilihnya Indonesia dalam Sidang Umum di Paris sebagai anggota “Executive Board” UNESCO dengan mendapatkan
dukungan 160 suara, nomer 3 setelah Jepang (166 suara) dan India (161 suara). untuk masa 4 tahun mendatang. Penetapan ini memungkinkan Indonesia untuk berkontribusi secara signifkan dalam menentukan standard rancangan dan keputusan-keputusan UNESCO mengenai Warisan Budaya baik yang tak benda / WBTB (Intangible Cultural
Heritage/ICH) sesuai Convention 2003 maupun warisan budaya bendawi
(Cultural Heritage).
Menariknya kedua peristiwa tersebut ditandai dengan kesunyian berita yang dihasilkan dari keputusan penting dalam bidang kebudayaan tersebut. Berbeda dengan UU Pronograf atau UU Sistem Pendidikan Nasional pada tahun 2003 yang lalu ramai dan heboh dengan berbagai respon termasuk respon yang saling bertentangan. Kedua peristiwa di atas saat ini tampaknya ditanggapi dengan “bicara seperlunya saja”. Hampir sama “dingin”nya juga setiap kali diumumkan bahwa warisan budaya kita ditetapkan UNESCO menjadi warisan dunia.
Ada 2 macam penghargaan yang secara intens saya ikuti
perkembangannya, yaitu Memory of the World (MOW) dan Intangible Cultural Heritage (ICH). Indonesia sudah mendapatkan 6 penghargaan
1 Sekedar contoh saja , saya sudah masuk di 3 masa dirjen yang berbeda untuk
MOW sampai dengan tahun ini. Uniknya pada tahun ini kita mendapatkan 3 penghargaan sekaligus dalam tahun yang sama, dokumen Non Blok, Arsip Borobudur, dan Naskah Panji. Biasanya hanya satu saja setiap penetapan di tahun yang sama2. Untuk penghargaan ICH Indonesia telah
memperoleh 7 penghargaan untuk Keris (2008), Wayang (2008), Batik (2009), Angklung (2010), Saman (2011) , Noken (2012) , 3 Genre Tari Tradisional Bali (2015) , dan semoga Phinisi yang hari ini mulai
disidangkan dapat ditetapkan juga. Tahun yang akan datang semoga Pantun menyusul ditetapkan juga sebagai warisan dunia. Kita bersama mengetahui bahwa “cultural heritage is not belong to one country but it belongs to civilization (whole word)3.” Warisan budaya , baik yang
tangible maupun yang intangible bukan menjadi hanya milik Indonesia
saja, tetapi juga milik bersama warga dunia.
Meskipun tampak bergengsi dan mengangkat marwah bangsa, tetapi peristiwa tersebut kurang bergema. Sedikit catatan untuk dampak penetapan Saman dan Batik yang memperlihatkan perbedaan. Saman menjadi komoditi tradisi di banyak sekolah dan sajian pentas pertunjukan di berbagai kesempatan. Tampaknya saman yang semula merupakan tradisi komunitas Gayo Luwes dalam berkomunikasi sudah “diproduksi” menjadi seni pertunjukan. Batik juga demikian. Yang semula hanya
dipakai di kalangan terbatas dan ebih untuk pakaian “seragam” akhirnya dipakai oleh berbagai kalangan termasuk anak muda dan menjadi
industri kreatif yang meningkatkan pemasukan dana yang cukup berarti. Penetapan berbagai warisan budaya menjadi warisan dunia, penetapan Indonesia sebagai Anggota Executive Board di UNESCO, dan pengesahan UU Pemajuan Kebudayaan sepi dari tepuk tangan yang gemuruh4.
Sebetulnya tidaklah mengherankan bila segala hal ihwal yang meliputi warisan budaya dan semacamnya kurang mendapatkan
2 Setiap tahun hanya satu yang ditetapkan, tetapi bisa lebih dari satu pengusulan setiap
tahunnya bila kita mengusulkan sebagai nominasi bersama negara lain. Dokumen lainnya yang sudah ditetapkan adalah Arsip VOC, Naskah Negarakertagama, Babad Diponogoro, dan Dokumen Asia Arika.
3 Pernyataan para ahli yang mengikuti Seminar mengenai Dokumentasi Tradisi Lisan di
Khong Khaen, tahun 1998.
4 Meminjam pernyataan “tepuk tangan yang gemuruh” yang diutarakan Kak Ros, salah
sambutan. Apakah memang Indonesia sudah sampai pada situasi
“cultural blind spot” atau kebudayaan memang dianggap penting sebatas
wacana. Visi dan arah Pembangunan Jangka Panjang menegaskan hal ini. Visi Nasional yang tercantum dalam dokumen resmi Pemerintah Republik Indonesia” Visi dan Arah Pembangunan Jangka Panjang (PJP) Tahun 2005-2025”5 dinyatakan sebagai berikut.
“..terciptanya manusia yang sehat, cerdas, produktif, dan berakhlak mulia dan
masyarakat yang makin sejahtera dalam pembangunan yang berkelanjutan didorong oleh perekonomian yang makin maju, mandiri, dan merata di seluruh wilayah didukung oleh penyediaan infrastruktur yang memadai serta makin kokohnya kesatuan dan persatuan bangsa yang dijiwai oleh karakter yang tangguh dalam wadah Negara
Kesatuan Republik Indonesa yang diselenggarakan dengan demokrasi {yang didasarkan pada nilai-nilai Pancasila} sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara serta menjunjung tegaknya supremasi hukum.
Dengan visi nasional seperti tersebut di atas, visi pembangunan sosial budaya adalah
“...terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, dan bermoralitas tinggi melalui pembangunan kebudayaan nasional yang dicirikan dengan watak dan perilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beriman dan taqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, cerdas, inovatif, etos kerja tinggi, berbudi luhur, toleran, bergotong royong,
patriotik, dinamis, dan berorientasi kepada ilmu pengetahuan dan teknologi.”
Visi yang kemudian diuraikan lebih lanjut dalam dokumen tersebut memperlihatkan kebudayaan dalam artian yang terbatas dan cenderung hanya diwakili oleh “kesenian”. Tidaklah mengherankan bila program kebudayaan di berbagai lembaga pemerintah maupun umum diartikan sebagai kegiatan pentas seni6. Bila dibandingkan dengan Deklarasi7 yang
dicanangkan oleh PBB (UN) dan masuk sebagai inti Sustainable
Development Goals (SDGs) pasca 2015 bahwa “The Future We Want
Includes Culture”, tampak adanya kesenjangan target Millenium
Development Goals (MDGs) Indonesia dengan dunia. Dalam pertimbangan
penetapan target dikemukakan berbagai hal yang masih menjadi masalah kita, yaitu kemiskinan (pendapatan 2$ per hari) masih mendekati 50%; pengetahuan menyeluruh mengenai HIV/AIDS dan pemakain kondom
5 Dikeluarkan oleh Kantor Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional.
6 Uniknya muncul konsep IPTEKS di DIKTI yang dimaksudkan untuk menampung aspirasi
dan berbagai kepentingan dari berbagai lembaga tinggi kesenian.
7 Deklarasi ini disosialisasikan ke berbagai pihak. UNESCO menghimpun
masih tinggi prosentasenya (66%). Akan tetapi, ada memang yang sudah mencapai target yaitu “Education or All” (EFA), pendidikan untuk semua kalangan di tingkat dasar hingga pendidikan menengah atas dan
kesetaraaan gender serta pemberdayaan perempuan.
Dengan keberadaan UU No 5 tahun 2017 mengenai Pemajuan
Kebudayaan yang uraian dalam pasal-pasalnya melampaui uraian kedua Konvensi UNESCO (Konvensi 2003 dan Konvensi 2005) diharapkan peran kebudayaan sebagai .UU Pemajuan Kebudayaan memperlihatkan
pentingnya pengelolaan yang dikatakan sebagai proses pemajuan kebudayaan dengan melakukan pelindungan, pengembangan,
pemanfaatan, dan pembinaan warisan budaya. Warisan budaya yang dimaksudkan dalam UU Pemajuan Kebudayaan terdiri dari 10 bidang, yaitu: tradisi lisan, naskah, adat-istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olah raga tradisional8. Dalam pengertian luas sesuai dengan batasan yang
ditetapkan dalam Konsorsium Kajian Tradisi Lisan, selain naskah, ke-9 bidang yang disebutkan di atas dimasukkan sebagai Tradisi Lisan9.
Seperti halnya di berbagai negara lain, di Indonesia pun warisan budaya tak benda makin lama makin menghilang dan beberapa di antaranya mendekati kepunahan. Beberapa warisan budaya
memperlihatkan perubahan sesuai dengan kondisi masyarakat pendukungnya, baik secara perlahan-lahan, maupun yang terjadi
demikian cepat. Proses perubahan tersebut dan peristiwa punahnya karya budaya yang seringkali juga bersamaan dengan tidak adanya pendukung berarti juga menghilangnya seperangkat sistem pengetahuan tradisional, keari an lokal, dan nilai-nilai yang menjadi sumber berharga semacam ensiklopedi sebuah komunitas. Dengan demikian berarti pula identitas lokal yang dalam arti luas berarti juga identitas dan karakter bangsa ikut menghilang secara berangsur-angsur10. Tulisan Hobsbawn sejak 25 tahun
8 Menurut Konvensi 2003, warisan budaya takbenda terdiri atas tradisi lisan dan
ekspresinya (termasuk bahasa), seni pertunjukan, ritual dan perayaan, pengetahuan mengenai semesta, dan kemahiran tradisional.
9 Buku Pedoman Kajian Tradisi Lisan, Dirtektorat Jendral Pendidikan Tinggi, 2009. 10 Penjelasan mengenai peranan tradisi sebagai sumber identitas lihat lebih lanjut
Richard Bauman, 1982, “Contextualization, Tradition, and the Dialogue of
yang lalu yang memperlihatkan proses kehadiran tradisi11 perlu dilengkapi
dengan tulisan Olivier Morin12 mengenai tradisi-tradisi yang dapat
bertahan dan tradisi yang tidak dapat bertahan seperti pada masa awalnya atau yang kemudian punah karena berbagai alasan .
Menariknya, peristiwa hilang atau berubahnya tradisi tidak serta merta menghilangkan peranan tradisi dalam kehidupan komunitasnya. Pada suatu masa tradisi dapat kembali lagi dengan berbagai kemasan baru. Masyarakat pemilik tradisi memiliki hak dan sekaligus kewajiban mengelola tradisi untuk pemanfaatannya. Pada kenyataan fsik sumber-sumber tradisi memang berasal dan berada dalam pengelolaan komunitas pemilik atau pendukung budaya yang bersangkutan. Potensi tradisi dalam ranah ekonomi kreati atau ekonomi berbasis budaya bukan hanya karena menyimpan berbagai hal yang berkaitan dengan seni, bahasa, cerita, sejarah, candi dan semacamnya, tetapi juga merupakan ungkapan
terdalam mengenai pikiran, harapan, cita-cita, kreasi, teknologi. Kearifan lokal, dan sistem kognisi dari sebuah komunitas, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui simbol-simbol dalam media tertentu. Penting untuk melihat potensi terpendam yang dimiliki masyarakat tradisi di tengah pertarungan “medsos” dalam era milenium ini, karena nilai-nilai tradisi yang dikembangkan untuk membangun ekonomi
kerakyatan diharapkan dapat menciptakan kemakmuran yang adil dan merata, khususnya untuk meningkatkan daya saing lokal, misalnya seperti Best Practices Batik di Pekalongan, Sistem Sabulungan
masyarakat Mentawai dan Sistem Tunjuk Ajar masyarakat Petalangan dalam mengelola hutan dan hasil alamnya, pembuatan kain tenun oleh wanita Sumba, pengolahan Legen menjadi gula merah yang tahan berbulan-bulan tanpa bahan pengawet di daerah Pacitan, orang Toraja penganut Aluk Todolo melaksanakan Rambu Solo’, dan orang Bali yang merawat desa Pakraman (desa adat) untuk memelihara adat istiadat / budaya Bali serta mampu menerapkan flosof Tri Hita Karana (3
as an Interactive Phenomenon, ed. Alessandro Duranti and Charles Goodwim, Cambridge University Press (125-45) .
11 Hobsbawn, Eric dan Terence Ranger (eds.) The Invention o Tradition, Cambridge
University Press, 1992.
Penyebab Kesejahteraan) yang mengatur hubungan harmonis antara individu dengan Tuhan, individu dengan alam, dan individu dengan manusia lain secara indah. Kesemuanya itu hanyalah sedikit dari sekian banyak contoh bagaimana tradisi dapat dioptimalkan dan dijadikan potensi ekonomi kreati yang akan menunjang perekonomian nasional. Pandangan mengelirukan yang masih terjadi bahwa membiayai sektor pariwisata dan industri kreati lebih menguntungkan karena dengan segera mendapatkan imbalan uang masuk asalkan tata kelolanya bagus sedang membiayai sektor kebudayaan meskipun dikelola berdasar pada berbagai konsep dan teori hanyalah menghabiskan dana dan tidak
signifkan mendapatkan uang masuk. Pandangan lain yang mengelirukan adalah tradisi dianggap sebagai karya masa lalu yang biasanya
membosankan. Kenyataannya, karena justru masih dapat dikenali dan menjadi bagian dari masa kini, maka kita menyebutnya tradisi. Berbeda dengan peristiwa sejarah yang hanya satu kali saja terjadi, peristiwa pementasan/pertunjukan tradisi dapat terjadi berulang kali yang setiap pengulangannya bisa merupakan sesuatu yang baru dikenal. Hal tersebut dimungkinkan terjadi sejalan dengan perubahan yang terjadi pada
masyarakat pemiliknya dan perkembangan teknologi informasi yang membuat fungsi dan peran tradisi mengalami transformasi .
Peluang untuk mewacanakan tradisi sebagai warisan budaya tak benda agar dikelola dengan tepat dan baik sejalan dengan pernyataan bahwa kebudayaan adalah poros penggerak pembangunan
(dideklarasikan oleh PBB dan UNESCO untuk MDGs Pasca 2015) sudah mulai dengan serius dimulai oleh Direktorat Jendral Kebudayaan,
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dengan melakukan pencatatan atas warisan budaya Indonesia yang hingga kini sudah mencapai sekitar 7000 karya dan sejak 5 tahun yang lalu sudah ditetapkan sebanyak 594 karya budaya sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia.
pengetahuan yang memperlihatkan keunikan-keunikan dan atau kearifan lokal yang sangat luar biasa. Sangat beralasan pernyataan Direktur
Jendral (ADG) UNESCO, rancesco Bandarin pada tanggal 7 November 2017 yang lalu dalam acara sidelines General Assembly di Paris dan dikutip oleh Kantor Berita Antara yang mengakui Indonesia sebagai
negara “super power” dalam bidang kebudayaan dengan memperlihatkan berbagai warisan budaya Indonesia yang telah diakui UNESCO sebagai warisan dunia.
Menjaga warisan untuk masa depan diselenggarakan dengan
berbagai program yang dilakukan berbagai pihak terkait, baik pemerintah maupun non pemerintah dan perorangan, khususnya para pewaris tradisi. Mereka dan komunitas pendukungnya semakin berkurang dan biasanya tidak memiliki akses yang baik untuk mendapatkan bantuan. Seringkali ketika muncul bantuan yang lebih sering bersiat praktis pragmatis yang secara instan dapat menyelesaikan masalah mereka pada saat itu (misal untuk berobat dan makan), tradisi kemudian bergeser menjadi komoditas industri atau menjadi sajian pertunjukan untuk para turis13.
Untuk membuat tradisi menjadi “living tradition” dan bukan hanya “memory tradition” diperlukan pewarisan dan pengembangan kajian tradisi sesuai dengan hakekat tradisi lisan yang dibatasi paling tidak dari pemahaman tradisi sebagai peristiwa sosial budaya dan tradisi sebagai bagian dari warisan budaya bangsa sesuai dengan isi Konvensi UNESCO 2003, Konvensi UNESCO 2005 , dan UU Pemajuan Kebudayaan no 5, tahun 2017.
Peranan tradisi, khususnya tradisi lisan sebagai informasi , ingatan, dan pengetahuan masyarakat pemiliknya yang telah melewati beberapa generasi tidak sama dengan peranan sejarah lisan (yang
merekam ingatan-ingatan seseorang atau sekelompok orang yang pernah mengalami atau yang masih mengingat peristiwa tertentu dalam sejarah) dan juga bukan merupakan dokumen umum semacam testimoni. Tradisi lisan juga berbeda dengan kelisanan yang dibatasi sebagai tuturan /
13 Saya tidak bermaksud mengatakan ini tidak boleh dilakukan, tetapi bila titik beratnya
ungkapan verbal dalam sebuah masyarakat yang tidak/kurang mengenal atau yang tidak berkaitan dengan teknologi tulis dan cetak.
Sebagai sebuah kajian akademis, diperlukan upaya untuk mengubah berbagai pengetahuan yang bersumber dari tradisi menjadi ilmu
pengetahuan. Akan tetapi, masih ada tantangan melakukan hal ini karena belum banyak yang siap untuk memperlihatkan kajian tradisi yang
bersumber dari “lisan” sebagai kajian ilmu pengetahuan. Monica Dorothy King14 memaparkan bagaimana para sejarawan pernah menyatakan
bahwa Afrika tidak memiliki sejarah sebelum masa kolonial. Mereka menulis sejarah tanpa memaparkan masa lalu Afrika karena para sejarawan tersebut tidak dapat mempercayai tuturan atau kisah yang disampaikan nara sumbernya yang dinilai tidak akurat, meragukan dan tidak ada bukti pendukung yang dapat dipertanggungjawabkan. Monica memperlihatkan dan membuktikan bagaimana tradisi lisan yang berupa nyanyian, puisi kesejarahan, cerita-cerita Afrika dengan menggunakan penafsiran kritis dan analisis data yang terukur ternyata mempunyai keterkaitan dengan berbagai peristiwa, termasuk dinamika sosial politik masa lalu di Africa.
Sejalan dengan ini, Margaret Field dan Jon Meza Cuero memberikan contoh yang sangat menarik dari salah satu genre cerita anak berjudul “Rabbit and Frog” (“Kelinci dan Kodok”)15 . Cerita tersebut sebetulnya
bukan untuk anak yang mengisahkan bagaimana kelinci yang memiliki rumah dapat diperdaya kodok yang “tidak memiliki rumah” tetapi berhasil mengambil rumah kelinci dan mengusir kelinci dari rumahnya sendiri. Cuero mengatakan inti cerita sama tetapi penyajian berbeda-beda tergantung di bagian wilayah mana ia bercerita: Mexico, Hawai, atau tempat lainnya. Kelinci dan Kodok menggambarkan komunitas Kumeyaay yang sudah terancam keberadaannya di Baja (Utara Caliornia, Mexico). Bahasa Kumeyaay pada saat artikel ini dibuat (2012) hanya dituturkan secara aktif oleh 50 orang saja. Revitalisasi yang dilakukan untuk
komunitas ini dan tradisi yang dimilikinya dimaksudkan bukan hanya akan
14 Monica Dorothy King, “The Role o Oral Traditions in Africa History”, The Dyke Vol 2.2,
p: 42-52, 2006.
15 Margaret ield (bio) and Jon Meza Cuero, “Kumeyaay Oral Tradition, Cultural Identity,
menyelamatkan berbagai nilai berharga dan wawasan flosofnya, tetapi juga dimaksudkan untuk menginspirasi pendengarnya mengenai peristiwa tersebut.
Berbagai contoh kajian tradisi dari Indonesia dapat ditelisik dari khasanah yang terhimpun dalam Konsorsium Kajian Tradisi Lisan yang jumlahnya tidak kurang dari 200 karya penelitian, tesis dan disertasi. Tradisi lisan memperkenalkan berbagai hal yang berkait dengan laut dan kemaritiman sebagai mana pengetahuan mengenai pinisi di atas, atau berbagai contoh berikut.16Misalnya tentang tradisi Laot di Aceh. Lembaga
Panglima Laot berkedudukan di wilayah laut dan berfungsi mengatur pengelolaan sumber daya alam di wilayah pesisir pantai hingga ke laut lepas. Ia berfungsi untuk 1) mempertahankan keamanan di laut; 2) mengatur pengelolaan sumber daya alam di laut, dan 3) mengatur pengelolaan lingkungan laut. Ruang fsik pesisir pantai yang dikuasai Panglima Laot adalah bineh pasie (tepi pantai), ln leun pukat (kawasan untuk tarik pukat darat), kuala dan teupien (tepian pendaratan perahu), dan laot luah (laut lepas). Ruang fsik yang berkaitan dengan ekosistem pantai meliputi uteun Bangka (hutan bakau), uteun pasie (hutan pantai), uteun aron (hutan cemara), neuheun (tambak), dan lancang sira (ladang garam). Untuk menangkap ikan di laut, hukum adat Laot mencantumkan beberapa teknik seperti Palong, Pukat Lengger, Pukat Aceh, Perahoe , Jalo, Jeue, jareng, Kawe Go, Kawe Tek, Geunengom, Bubee, Sawok/Sareng, Jang, Jeuremai, dan Nyap. Teknik yang akan dipilih bergantung pada jenis ikan yang akan ditangkap (teri, cumi-cumi, tongkol, dan lain sebagainya). Selain berbagai hal tersebut, Hukum Adat Laot juga mengenal Hari
Pantang Laot , yaitu “ dilarang melaut pada hari Jumat, pada hari Iedul Fitri (selama 2 hari); pada hari Raya Iedul Adha (selama 3 hari) dan pada Hari Kemerdekaan tanggal 17 Agustus. Sekarang pantangan itu ditambah dengan tanggal 26 Desember untuk mengenang tragedi tsunami pada
16 Beberapa contoh sudah saya kemukakan dalam makalah saya berjudul “Budaya
tahun 2004. Mereka juga setiap 3 tahun sekali membuat Kenduri Laot selama 3 hari dan mereka semua dilarang pergi melaut17.
Tradisi menangkap ikan di Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara yang dinamakan Mane’e menarik untuk diperlihatkan juga sebagai perbandingan18. Corrie Buata dalam disertasinya menjelaskan tradisi
Mane’e. Upacara Mane’e ini masuk rekor Muri karena diikuti oleh 1.159 orang peserta dengan bentangan tali janur sepanjang 3.300meter.
Mane’e dimulai setelah terjadi gempa bumi dan badai tsunami pada abad ke-16 dan diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sampai kini setiap tahun umumnya pada bulan Mei dan Juni, ketika pasang tertinggi dan surut terendah atau pada saat bulan purnama atau bulan awal bulan mati Upacara Mane’e dilaksanakan. Upacara ini diselenggarakan oleh masyarakat Talaud dan juga oleh Pemerintah sebagai kegiatan pariwisata. Doa yang dibawakan pimpinan adat dalam Tradisi Mane ‘e juga khas.
17 Lihat lebih lanjut rinciannya dalam penelitian tentang berbagai hal kelautan yang
tercantum dalam Hukum Adat Laot pada masyarakat Aceh dan paparan Rusjdi Ali Muhammad, “Kearifan Lokal Aceh dalam Penyelesaian Konfik Antar-Nelayan,” dalam acara Focus Group Discussion Dinas Kelautan dan Perikanan Aceh, 28 April 2011. .
18 Uraian terperinci dilakukan oleh Corri Buata dalam disertasinya yang berjudul “ Tradisi
Mawu punnene … ruata banggile Tuhan pohonnya …. Tuhan pangkal
Punnu wia pohon hidup
Upacara Mane’e menandai kearifan yang dimiliki masyarakat Talaud dalam melakukan pengelolaan laut dan hasilnya serta melakukan pembagian yang adil secara adat kepada komunitas pemilik tradisi. Suku Maori di New Zealand mempercayai kekuatan tradisi lisan dalam memelihara tradisi maritim yang diungkapkan melalui
whakatauki (ungkapan-ungkapan lama), whakapapa (hubungan genealogis), nyanyian, dan cerita.19 Mereka memiliki kalender bulan
baik untuk menangkap ikan yang catatannya tersimpan atau berasala dari tradisi lisan mereka.
Kajian mengenai tradisi kemaritiman secara khusus
Pengetahuan mengenai pembuatan “pinisi” yang siap disidangkan di UNESCO tanggal 4—9 Desember 2017 ini dimulai dari berbagai cerita dan pengamatan fsik pinisi yang ada di kampung Bira, Bulukumba, Sulawesi Selatan. Para panritalopi (ahli pembuat kapal tradisional di Bira) berkisah tentang pembuatan pinisi yang dikatakannya tidak memakai gambar arsitektur sebagai dasar ragangan pembuatan kapal. Dikatakannya setelah mendapat “wangsit” dia baru bisa memulai pembuatan kapal. Dengan merangkaikan cerita yang didapat dari seorang panritalopi yang representatif mewakili lainnya dan berdiskusi dengan berbagai pakar, khususnya dengan Horst Liebner, ahli kapal dan maritim dari Jerman dapatlah dijelaskan rumusan pembuatan kapal pinisi sebagai ilmu pengetahuan. Arsitekturnya terletak pada apa yang disebut panatta, sebatang bambu dengan tanda-tanda untuk menghitung ukuran dan letak lunas tengah (kalebiseang) dan papan standard untuk lambung
(papangappag). Rumus ini yang kemudian dikembangkan dan dapat dipakai oleh kapal-kapal lain seperti padewakang, palari, dan lambok. Arsitektur tradisional yang sudah berkembang paling tidak sejak 1500 tahun yang lalu berdasarkan teknologi membangun perahu lesung
19 Penjelasan lebih lanjut dalam makalah “Marine Resources in Maori Oral Tradition: He
menjadi perahu bercadik yang khas Austronesia dan tidak terdapat di manapun di dunia ini.
Dengan pinisi, kita mewarisi tradisi besar yang menyumbang pada teknologi masa kini. Dengan demikian kemaritiman tidak hanya dikenal melalui industri lagu –lagu tentang pelaut seperti “Nenek Moyangku orang Pelaut” atau “Seemann”. Bukan pula hanya dikenal melalui lirik-lirik
berikut,
Siapa bilang pelaut mata keranjang ; Kapal bastom lepas tali lepas cinta. So berlayar sampai so ka ujung dunia; Banyak doi baroyal habis parcuma Dorang bilang pelaut obral cinta ; Dompet so kosong baru inga rumah
(Balada Pelaut)
Kemaritiman dan sistem pelayaran dapat kita lihat juga dari
Pembagian hasil secara adil menurut adat yang berlaku dalam sebuah komunitas yangdilakukan oleh orang Bugis dalam tradisi Pasompe20.
Tradisi ini berisi kearifan lokal Bugis dalam melakukan kegiatan berlayar dan berdagang. Pemilik perahu yang disebut Ponggawa mendapatkan 50% dari hasil pendapatan keseluruhan; sisanya dibagi antara Nakhoda dan para Sawi/karyawan kapal (terdiri atas sawi tetap, sawi bebas, dan sawi penumpang). Yang menarik untuk dicermati adalah ungkapan mereka mengenai laut,
SamerenngE uala paddaga-raga Pelayaran kujadikan sebagai hiburan
Tasik-E uala linopottang Lautanlah kujadikan sebagai alam daratan
Lelangeng ri casa gena-E Pengembaraan yang penuh kebebasan
Nalawa mua salareng riwu Biar aku dihadang oleh angin topan
Naku gun cirik gulikku Aku akan putar kemudiku
Kaola mui telling-E notowali E Aku memilih
tenggelam daripada
kembali
Dalam melakukan pengelolaan tradisi untuk pemajuan kebudayaan diperlukan ahli tradisi yang memiliki kemampuan akademis. Perguruan Tinggi memiliki peran untuk melakukan mediasi dalam
“penciptaan”/pengadaan para pengelola atau pelestari tradisi yang akan
menjadi lokomotif transfomasi pewarisan nilai dan melakukan kajian atas pengetahuan mereka mengenai tradisi yang ditelitinya menjadi ilmu pengetahuan. Perguruan Tinggi merupakan lembaga strategis yang dapat menyiapkan sumber daya ahli-ahli tradisi yang akan mewarisi dan
mewariskan berbagai pengetahuan yang berasal dari berbagai tradisi menjadi ilmu pengetahuan mengenai tradisi. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia boleh berbangga hati karena sudah merintis keberadaan kajian tradisi sejak tahun 2009. Dalam lima tahun terakhir ini ada 26 orang mahasiswa peserta S3 KTL ( 21 orang di antaranya
mendapatkan beasiswa KTL DIKTI) dan 42 orang peserta S2 KTL (29 orang mendapatkan beasiswa). Semoga di masa mendatang penyelenggaraan kajian tradisi lisan dengan dukungan universitas, dikti, lembaga lain yang berkaitan, dan bapak serta ibu sekalian di sini dapat lebih berjaya dan berguna.
Terima kasih. Rahayu