• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAM DAN DEMOKRASI PERSPEKTIF KAUM MODERA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HAM DAN DEMOKRASI PERSPEKTIF KAUM MODERA"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

HAM DAN DEMOKRASI

PERSPEKTIF KAUM MODERAT DAN KAUM PURITAN

(PEMETAAN KHALEED ABOU EL FADL TERHADAP RESPON DAN PANDANGAN INTELEKTUAL MUSLIM)

Rendra Khaldun

Pengantar

Beberapa dekade terakhir ini masalah demokrasi dan hak asasi manusia merupakan bahan diskusi yang masih hangat di berbagai pelosok dunia baik oleh orang Muslim sendiri maupun non-Muslim karena dikatakan “bertentangan” dengan keyakinan Islam, bahkan Islam dikatakan sebagai sebuah ancaman bagi non Islam yang oleh orang-orang Barat dicap sebagai agama yang anti demokrasi dan tidak toleran.1

Sebagian pemimpin gerakan-gerakan Islam menentang demokrasi ala Barat dan sistem pemerintahan parliamenter. Reaksi negatif mereka semakin menjadi bagian dari penolakan umum terhadap pengaruh kolonial Eropa, tindakan mempertahankan Islam agar semakin tidak tergantung kepada Barat, yang menurut sebagian orang Islam bukan merupakan penolakan total terhadap demokrasi. Bahkan dalam dekade-dekade belakangan, banyak Muslim menerima gagasan demokrasi namun mereka berselisih mengenai makna demokrasi yang tepat. Begitu juga sebaliknya, tidak sedikit dari para tokoh-tokoh gerakan Islam yang menolak demokrasi menjadi salah satu bentuk pemerintahan karena berasal dari Barat dan dijadikan sebagai salah salah satu propaganda Barat terhadap dunia Islam.

Ada perbedaan antara paham demokrasi Barat dan tradisi Islam. Semakin ditekannya liberalisasi politik, elektrolal politik, dan demokratisasi tidak berarti menyiratkan diterimanya secara tidak kritis bentuk-bentuk demokrasi Barat. Argumen yang lazim terdengar adalah bahwa Islam memiliki atau dapat melahirkan bentuk-bentuk demokrasi khasnya sendiri dimana kedaulatan rakyat dikukuhkan dalam keseimbangan yang harmonis yang mampu melahirkan banyak bentuk dan konfigurasi.

Isu hak asasi manusia juga memunculkan serangkaian permasalahanan yang serupa. Hak asasi manusia (HAM) merupakan suatu hal yang fundamental, sensitif, dan kontroversial.2 Selama beberapa dekade, isu-isu hak asasi manusia telah menjadi perdebatan menarik di kalangan pemikir modern baik di bidang politik maupun hukum. Hal ini berdasar kepada kecenderungan munculnya isu-isu hak asasi manusia bukan hanya dipengaruhi oleh anasir-anasir politik dan hukum melainkan juga agama dan budaya.3 HAM yang dideklarasikan oleh badan

1John L. Esposito, Ancaman Islam Mitos Atau Realitas, terj. Alwiyah Abdurrahman dan

MISSI. (Bandung: Mizan, 1994), 35

2Pasal-pasal kontroversial dalam UDHR menurut sebagian masyarakat Muslim lihat,

Anshari Tayyib (ed.) HAM dan Pluralisme Agama (Surabaya: PKSK, 1997), 241

3 Secara politis negara–negara Barat sering mengangkat isu ini untuk dapat mengintervensi negara

(2)

tertinggi dunia pada 10 Desember 1948 yang dikenal dengan “The Universal Declaration of Human Rights” atau UDHR (Deklarasi Semesta tentang Hak Asasi Manusia) yang terdiri dari 30 pasal, ternyata belum dapat mengakomodasi keinginan semua bangsa-bangsa di dunia yang amat beragam latar belakang budaya dan agamanya (terutama agama Islam).

Hak asasi manusia merupakan hak yang dimiliki oleh setiap orang sesuai dengan kondisi yang manusiawi. Oleh karena itu hak asasi manusia selalu dipandang sebagai sesuatu yang mendasar, fundamental, dan penting sehingga banyak pendapat yang mengatakan bahwa hak asasi manusia adalah sebuah “ kekuasaan sekaligus keamanan” yang dimiliki oleh setiap individu.4

Alwi Shihab mengatakan, bahwa hak-hak asasi manusia dalam Islam bersifat teosentris, yakni bertujuan untuk dan bersumber dari Tuhan, sebaliknya HAM menurut pandangannya, lebih bersifat antroposentris, yakni lebih terfokus hanya pada manusia itu sendiri, HAM dalam perspektif kedua menempatkan manusia dalam suatu setting dimana hubungannya dengan Tuhan sama sekali tidak disebut, hak-hak asasi manusia dimulai sebagai perolehan alamiah sejak kelahiran. Perbedaan persepsi tentang manusia, hak-hak berikut nasibnya merupakan salah satu sebab utama yang memicu konflik antara dunia Barat sekuler dan Islam.5

Islam menempatkan Hak-hak manusia sebagai konsekuensi dari pelaksanaan kewajiban terhadap Allah. HAM menurut pandangan Barat sekuler adalah ekspresi kebebasan manusia yang terlepas dari ketentuan Tuhan, agama, moral, atau kewajiban metafisika. Dalam Islam, ekspresi kebebasan manusia harus ditempatkan dalam kerangka keadilan, kasih sayang dan persamaan kedudukan di mata Tuhan.6

Memang, hak-hak yang didaftar dalam Risalah Deklarasi Internasional cenderung bervariasi sekali. Misalnya dokumen-dokumen internasional ini berbicara tentang hak individu atas kebebasan menyampaikan nurani dan keyakinan, kebebasan berbicara, hak atas privasi, tetapi dokumen-dokumen itu juga berbicara tentang hak atas tempat tinggal, hak atas makanan dan gizi yang cukup, dan hak liburan dan cuti wanita (haid, hamil, dan sebagainya). Musykil kiranya jika kita mendiskusikan setiap item yang tertera dalam deklarasi tersebut.

Tulisan ini mencoba memusatkan perhatian pada persoalan pemetaan Khaleed Abou el Fadl terhadap pandangan kaum moderat dan puritan mengenai hak-hak asasi manusia dan demokrasi yang dianggap sebagai suatu konsep kontroversial.

srandart internasional.untuk lebih jelasnya lihat. Mayer Ann Elizabeth, Islam Tradition and

Politics Human Rights, (Westview Press, 1995), 2.

4

Untuk lebih jelasnya lihat Harun Nasution dan Bachtiar Efendi (ed.). Hak Asasi Manusia

dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1978), h. 14

5 Alwi Syihab, Islam inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama, (Bandung: Mizan,

1999) h. 179

(3)

Terminologi Moderat dan Puritan Dalam Perspektif Khaleed Abou El Fadl

Terminologi moderat di derivikasi dari beberapa riwayat Nabi tatkala dihadapkan pada dua pilihan ekstrim. Nabi selalu dilukiskan sebagai sosok moderat yang cenderung menolak terjatuh pada kutub ekstrim. Orang-orang yang dinamai kelompok moderat sudah secara beragam digambarkan sebagai kelompok modernis, progressif, dan reformis. Namun menurut Khaled Abou Fadl tak ada satupun dari istilah-istilah tersebut bisa menggantikan kata moderat.

Istilah modernis mengisyaratkan pada suatu kelompok yang berusaha mengatasi tantangan modernitas, sementara yang lain bersikap reaksioner seperti ingin kembali ke masa lalu. Banyak kalangan moderat mengklaim diri merepresentasikan diri sebagai Muslim sejati dan autentik. Namun dalam hal lain, mereka menegaskan bahwa mereka tidak mengubah agama. Sebaliknya mereka berupaya mengajak umat Islam kembali ke keyakinan orisinal mereka. Namun satu hal yang pasti bahwa istilah moderat lebih tepat menggambarkan pendirian keagamaan mayoritas umat Islam dibandingkan reformis dan progresif.

Sedangkan term puritan sudah dideskripsikan oleh beragam penulis dengan istilah fundamentalisme, militan, ektrimis, radikal, fanatik, jahidis, dan bahkan cukup dengan istilah islamis. Khaleed Abou Fadl lebih suka menggunakan term puritan didasarkan dari ciri yang menonjol kelompok ini dalam hal keyakinannya menganut faham absolutisme yang tak kenal kompromi. Dalam banyak hal orientasi kelompok ini cenderung menjadi puris, dalam arti ia tidak toleran terhadap berbagai sudut pandang yang berkompetisi dan memandang realitas pluralis sebagai suatu bentuk kontaminasi atas kebenaran sejati.7

Istilah fundamentalis menurutnya adalah sebuah istilah yang sangat problematis untuk disandingkan dengan kata Islam. Menurutnya semua kelompok dan organisasi Islam menyatakan setia menjalanjan ajaran-ajaran fundamental Islam. Bahkan gerakan paling liberal pun akan menegaskan bahwa cita-cita dan pendirian mereka merepresentasikan ajaran-ajaran iman secara lebih baik. Istilah fundamentalis sangat tidak pas untuk konteks Islam karena dalam bahasa Arab istilah tersebut dikenal dengan nama “ ” yang berarti seseorang yang bersandar pada hal-hal yang bersifat pokok dan mendasar. Jadi ungkapan “fundamentalisme Islam” akan memunculkan mispersepsi yang tak bisa dihindari bahwa hanya kelompok fundamentalis saja yang penafsiran mereka bedasarkan al-Qur’an dan al- .

Sedangkan istilah ekstrimis, fanatis, dan radikal benar-benar menawarkan alternatif yang masuk akal. Yang pasti, Taliban dan al-Qaeda adalah ekstrimis, fanatis, dan radikal. Secara kebahasaan, ekstrimis adalah lawan kata moderasi. Dengan mencerrmati kelompok ini dalam kaitannya dengan pelbagai isu, tampaklah bahwa mereka secara konsisten dan sistematis menganut absolutisme, berfikir dikotomis, dan bahkan idealistik. Pada isu tertentu, sebagaimana mereka menafsirkan warisan Nabi dan para sahabat, kelompok ini cenderung menganut absolutisme, kaku, dan puritan, tidak ekstrimis atau radikal. Dengan kata lain, kelompok-kelompok yang disebutkan diatas tidak selalu dalam setiap isu fanatik,

7 Khaleed Abou El Fadhl, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta: Serambi,

(4)

radikal atau ekstrimis, tetapi mereka selalu puritan. Karena ciri khas dari pemikiran mereka adalah bahwa mereka menganut absolutisme dan menuntut adanya kejelasan dalam menafsir teks, bukan watak fanatik, radikal atau ekstrimis.8

Pemetaan Khaleed Abou Fadl Terhadap Pandangan Kaum Moderat Tentang HAM

HAM dan demokrasi merupakan konsep yang yang sangat sensitif, kontroversial, dan debatable dalam diskursus keislaman. Disatu sisi, kedua konsep tersebut membawa implikasi positif bagi keberlangsungan hidup masyarakat di dunia dan disatu sisi hal tersebut dipandang diskriminatif oleh yang lainnya khususnya oleh umat Islam. Khaleed Abou Fadl mencoba melakukan pemetaan terhadap respon dan pandangan umat Islam terhadap kedua konsep ini yang dia bagi menjadi dua kelompok besar yakni kaum moderat dan kaum puritan.

Tentang hak-hak asasi manusia, banyak Muslim moderat sangat skeptis terhadap pandangan yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah konsep universal yang keliru atau HAM adalah merupakan praktik khas Barat dan tidak sesuai atau tidak pas dengan budaya lain dimanapun.9 Di balik klaim-klaim seperti itu, tersembunyi suatu etnosentrisme tertentu karena mereka sama saja mengatakan bahwa masyarakat non Barat pada dasarnya tidak sanggup hidup dibawah sistem pemerintahan non demokrasi yang dibatasi oleh aturan hukum, dan juga tidak sanggup memahami atau menghargai hak-hak asasi manusia.

Muslim moderat percaya bahwa mengupayakan penghargaan dan penegakan hak-hak asasi manusia sebagai tujuan etis yang hendak dicapai merupakan perkara prinsip moral yang mendasar, dan jauh dari konsep universal yang keliru.10 Muslim moderat juga percaya bahwa sementara bisa sangat tidak jujur untuk berlagak bahwa hukum Islam menawarkan daftar hak-hak asasi manusia yang siap pakai, hak-hak asasi manusia sebagai sebuah konsep dan demokrasi sebagai sebuah sistem pemerintahan benar-benar bisa dipertemukan dengan teologi hukum Islam. Sejumlah kaum moderat bahkan melangkah lebih jauh lagi dan berpendapat bahwa tak hanya Islam dan demokrasi serta hak-hak asasi manusia bisa dipertemukan, melainkan bahwa Islam memerintahkan dan menuntut sebuah sistim pemerintahan yang demokratis.

Dibangun berdasarkan tradisi Islam, kaum moderat mengemukakan bahwa minimal semua manusia mempunyai hak akan harga diri dan kebebasan. Keyakinan orang-orang moderat terhadap demokrasi dan hak-hak asasi manusia diawali dengan premis bahwa penindasan adalah pelecehan besar-besaran terhadap Tuhan dan manusia. Al-Qur’an mendeskripsikan para penindas sebagai perusak bumi dan juga menggambarkan penindasan sebagai bentuk penghinaan

8Ibid., 31

9

Ann Elizabeth Mayer, Islam and Human Rights, Tradition dan Politics (London: Pinter Publishers, 1995), 8-9

10 Berbagai tanggapan pro dan kontra tentang HAM dalam Islam dan dunia Arab lihat

(5)

terhadap Tuhan. Dalam pemikiran moderat, diakui bahwa semua manusia berhak atas harga diri. Al-Qur’an dengan jelas menganugerahkan harga diri pada setiap manusia.11

Terkait dengan kebebasan dan persamaan hak antar sesama manusia kaum moderat mengatakan bahwa diperbudak dan ditundukkan oleh manusia pada dasarnya tidak selaras dengan kewajiban untuk tunduk kepada Tuhan tanpa syarat. Sesungguhnya al-Qur’an mengundang umat Islam dan kaum non Muslim untuk menciptakan sebuah konsensus diantara mereka untuk menyembah Tuhan semata dan tidak memperlakukan satu sama lain sebagai Tuhan. Bagi orang-orang moderat, ayat ini memancangkan sebuah prinsip mendasar dan krusial bahwa manusia semestinya tidak mendominasi satu sama lain. Satu-satunya ketundukan yang bernilai etis adalah ketundukan kepada Tuhan, sedangkan ketundukan manusia dihadapan manusia lain tak lain adalah sebentuk penindasan. Diskursus al-Qur’an ini merangsang umat Islam dan kaum non Muslim untuk menemukan sebuah tatanan yang dapat menjadi acuan bagi mereka untuk tidak saling mendominasi.12

Dalam tradisi Islam, keadilan adalah sebuah nilai inti dan mendasar. Para sarjana klasik menekankan keadilan sebagai kewajiban Islam sampai-sampai sebagian dari mereka berpendapat bahwa dimata Tuhan, masyarakat non Muslim yang adil lebih baik nilainya dibandingkan masyarakat Muslim yang tidak adil. Para sarjana klasik lainnya mengemukakan bahwa ketundukan sejati kepada Tuhan adalah mustahil adanya bila ketidakadilan merambah dimana-mana ditengah-tengah masyarakat.

Landasan keadilan adalah memberikan hak kepada setiap orang. Keadilan yang sempurna berarti mencapai keseimbangan yang juga sempurna antara kewajiban dan hak. Orang-orang moderat berfikir bahwa penegakan keadilan menuntut umat Islam untuk harus berupaya membangun suatu sistem politik yang paling berpeluang menciptakan keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam masyarakat. Lebih jauh lagi dikatakan bahwa pencapaian keadilan mewajibkan umat Islam untuk menemukan suatu sistem yang memungkinkan umat setiap orang untuk menemukan akses terhadap kekuasaan dan institusi dalam masyarakat yang bisa membenahi ketidakadilan dan melindungi orang dari penindasan.

Al-Qur’an dan al- memperjelas bahwa manusia punya hak atas pemerolehan hak-hak dan perlindungan di dalam hidup. Dalam tradisi yuriprudensi Islam, para sarjana klasik telah menyusun skema hak asasi manusia berdasarkan apa yang disebut sebagai “kepentingan yang terlindungi” yang ada pada diri manusia. Para sarjana klasik mendefinisikan lima kepentingan yang terlindungi adalah kehidupan, akal, keturunan, reputasi, dan harta. Karena itulah,

11

Untuk lebih jelasnya lihat Mashood A. Baderin, International Human Rights And

Islamic Law (London: Oxford University Press, 2003), 13.

12 Pada masalah-masalah tertentu hal ini dapat dilaksanakan dengan baik seperti masalah

persamaan hak di depan hukum, namun dalam hal lain seperti masalah kebebasan akan sangat sulit untuk mencari titik temu diantara keduanya karena antara Islam dan Barat berasal dari budaya dan karakter yang berbeda. Untuk lebih jelasnya lihat Seyyed Hossein Nashr, Islamic Life and Thought (New York: State Univercity of New York Press, 1992), 16. Khaleed Abou Fadl, Selamatkan

(6)

sistem politik dan hukum Islam harus melindungi dan memperjuangkan kelima hak terlindungi tersebut.13

Demi meningkatkan fungsi dan perlindungan yang diberikan lima kepentingan itu para sarjana klasik menyusun tiga kategorisasi, dengan menegaskan bahwa isu-isu yang terkait dengan semua kepentingan yang terlindungi itu bisa dibagi ke dalam kategori , (kemendesakan yang mendasar atau kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan mendasar atau kebutuhan sekunder), dan tahsiniyat (kemewahan atau kebutuhan tersier).

terdiri atas sesuatu yang mendasar dan esensial bagi kelangsungan dan perlindungan kepentingan atau hak-hak diatas. Dharuriyyat adalah segala sesuatu yang bila tidak tersedia akan menjadikan kepentingan atau hak-hak diatas tidak bisa terlindungi sama sekali.

Hajjiyat berada sedikit di bawah level , hajjiyat atau kebutuhan sekunder adalah segala sesuatu yang sangat penting bagi perlindungan kepentingan atau hak yang dimaksud, tetapi tidak sedemikian darurat. Tidak seperti , jika tidak terpenuhi, maka kepentingan atau hak tersebut masih bisa terlindungi, meskipun sangat melemah.

Tahsiniyyat merupakan kebutuhan yang tidak mendesak dan tidak juga sangat penting bagi perlindungan kepentingan atau hak. Sebaliknya, jika terpenuhi

tahsiniyyat akan menyempurnakan dijalankannya kepentingan atau hak tersebut.14

Para sarjana klasik tidak mendefinisikan apa yang secara pasti menentukan sesuatu sebagai , hajiyyat, dan tahsiniyyat. Akan tetapi pada prinsipnya, mereka berupaya membedakan antara hal-hal yang harus dijamin pemenuhannya bagi orang, sebab hal tersebut sangat esensial dan menjadi sendi kehidupan yang sehat, terhormat, dan bermartabat. Para sarjana klasik berpendapat bahwa apa yang seyogyanya dipandang sebagai , hajjiyat, dan tahsiniyyat bergantung pada setiap generasi muslim untuk mengeksplorasi dan menentukannya, sesuai dengan tuntunan lingkungan yang bergeser dari waktu yang berubah.

Menurut teori klasik, masyarakat yang berkesederajatan dan adil akan memberlakukan dharuriyyat sebagai suatu yang sangat khusus dan tidak kenal kompromi. Sebuah masyarakat yang bisa melindungi hajiyyat manusia, melengkapi , akan dipandang lebih adil dan berkesederajatan. Akhirnya sebuah masyarakat yang bisa memberikan tahsiniyyat kepada manusia, melengkapi perlindungan terhadap dan hajiyyat, akan menjadi masyarakat yang paling adil dan berkesedarjatan.15

Kaum moderat ingin membangun tradisi bernilai ini dengan mencoba memancangkan apa saja yang mendesak untuk diperjuangkan oleh manusia, dan juga mencoba untuk mengeksplorasi apa yang boleh jadi bukan sebuah kemendesakan dalam hidup akan tetap dipandang cukup penting untuk berposisi

13Lima bentuk perlindungan ini dapat dikatakan sebagai konsep atau teori tentang

perlindungan hak-hak asasi manusia dalam Islam. Term ini dikenal dengan istilah al-kulliyah al

khamsah atau maslahah al-mu’tabarah selanjutnya lihat ‘Abd Wahhab Khallaf, ‘Ilm al-Fiqh

(Kuwait: Darl al-Qalam, tt) 200-201.

(7)

sebagai kebutuhan atau kemewahan. Kaum moderat berpendapat bahwa, minimal perdebatan klasik mengenai dan hajjiyyat seyogyanya diterjemahkan di era modern menjadi hak-hak yang bisa bisa melindungi kepentingan individu.16

Tuhan dan manusia sama-sama memiliki hak. Akan tetapi mereka berpendapat bahwa sementara hak-hak Tuhan akan ditetapkan di hari akhir olehNya, hak-hak individu atau manusia harus dijaga dan ditegakkan oleh manusia di muka bumi. Pada praktiknya, Tuhan akan peduli dengan hak-hakNya di hari akhir, tetapi manusia harus peduli dengan hak-hak mereka dimuka bumi, dengan mengakui hak asasi manusia dan melindungi kesucian hak-hak asasi tersebut.17

Pemetaan Khaleed Abou Fadl Terhadap Pandangan Kaum Moderat dan Puritan Tentang Demokrasi

Kaum moderat percaya bahwa ada beberapa konsep dan praktik lain dalam warisan Islam yang mendukung prinsip demokrasi. Al-Qur’an dengan jelas memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan semua urusannya lewat musyawarah (shura). Orang-orang moderat membaca ayat ini sebagai perintah Tuhan yang menandaskan kembali tidak dibenarkannya penindasan dan kesewenangan. Pengambilan keputusan harus tidak oleh orang atau elit despotik. Sebaliknya, umat Islam harus menemukan cara untuk menetapkan keputusan sebagai hasil dari interaksi demokratis diantara banyak orang.18

Melengkapi prinsip musyawarah, ketika Nabi untuk kali pertama memasuki kota Madinah, beliau menyusun sebuah konstitusi yang jelas memaparkan kewajiban, tugas, dan hak-hak masing-masing kelompok suku (dan juga orang-orang non muslim yang tinggal di Madinah) yang dikenal dengan nama Piagam Madinah.19 Preseden sejarah ini memperkuat gagasan bahwa sistem politik yang sah dalam Islam haruslah pemerintahan konstitusional.

Preseden atau kasus lain yang kerap dikutip dan dijadikan sandaran oleh kaum moderat adalah dibentuknya lembaga perwakilan diawal sejarah Islam yang dikenal dengan istilah ahl-hall wa al-‘aqd.20 Sebelum wafat, khalifah kedua, Umar Ibn al-Khattab, menunjuk sejumlah tokoh dan tetua dan terkemuka yang mewakili beragam komunitas di Negara Islam dan memberi mereka kekuasaan

16 Ibid., 230

17

Ibid., 224

18 Fazlur Rahman, “Implementation of The Concept of State in Pakistani Milieu”, Islamic

Studies, No. 6. (September 1967), 205. Lihat juga Khaleed Abou el Fadl, Selamatkan Islam, 230

19

Robert N. Bellah seperti yang dikutip oleh Yudi Latif juga menyebut sistem Madinah sebagai bentuk nasionalisme yang egaliter partisipatif (equalitarian participant nationalism). Hal ini berbeda dengan sistem republik negarakota Yunani kuno, yang membuka partisipasi hanya kepada kaum lelaki merdeka, yang hanya meliputi 5 persen dari penduduk. Hal ini menunjukkan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Nabi merupakasn sebuah trobosan yang sangat modern dalam sistem ketatanegaraan dunia khususnya Islam, untuk lebih jelasnya lihat Yudi Latif, Tafsir Sosiologis Atas Piagam Madinah, dalam Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana (ed.). Islam,

HAM, dan Keindonesiaan (Jakarta: Ma’arif Institute for Culture and Humanity, 2007), 21

20Al mawardi menamakan orang-orang yang dikelompokkan sebagai orang yang berhak

(8)

untuk memerintah negara dalam periode transisi setelah ia wafat dan kemudian juga memilih khalifah ketiga yang akan memimpin negara Muslim. Alasan mereka dikatakan sebagai ahl-hall wa al-‘aqd adalah untuk menandai bahwa sebagai wakil komunitas, mereka punya kekuasaan untuk membuat keputusan yang mengikat pada komunitas itu.21

Terakhir, kaum moderat bertumpu pada konsep sensus (‘ijma), atau persetujuan bersama dari sekelompok orang bahwa isu tertentu salah atau benar. Kaum moderat telah mencoba menafsirkan kembali konsep konsensus untuk menopang ide demokrasi yang ditentukan oleh kehendak mayoritas. Kaum moderat berpendapat bahwa untuk tujuan memerintah suatu negara, kehendak rakyat merepresentasikan kedaulatan politik, dan kehendak ini mengikat, dan bersifat wajib. Selain itu mereka menegaskan bahwa pandangan-pandangan atau atau suara setiap warga, muslim atau yang lain, seharusnya juga dipertimbangkan dalam rangka mendapatkan kehendak mayoritas, sehingga nanti dapat menggambarkan kehendak rakyat.22

Oleh sebab itu, kehendak mayoritas harus dihormati, tetapi dalam bingkai parameter konstitusional; jika melanggar batas-batas konstitusional ini kehendak mayoritas tidak akan dihargai. Dengan kata lain, kehendak mayoritas segera dinyatakan sebagai tidak konstitusional. Beberapa orang moderat mengutarakan bahwa parameter konstitusional seharusnya tidak dibatasi pada masalah hak-hak individu, melainkan mencakup pula prinsip-prinsip etis dan moral Islam. Konsekuensinya, jika mayoritas menghendaki sebuah undang-undang yang berbenturan dengan prinsip etika dan moral Islam, maka undang-undang tersebut akan dianggap inkonstituional.23

Ketika membincangkan tentang demokrasi, salah satu persoalan paling sentral adalah isu kedaulatan yakni siapa yang memegang kedaulatan di dalam sebuah sistem demokrasi? Pertanyaan ini terkait dengan pertanyaan siapa pemilik otoritas puncak dan terakhir? Bagi beberapa orang moderat sudah menyuarakan beberapa pendapat terkait dengan hal ini.24 Pertama, bahwa otoritas terakhir ada pada Tuhan, dan dengan begitu Tuhanlah pemegang kedaulatan. Akan tetapi Tuhan telah mendelegasikan otoritas total kepada manusia untuk menjalankan urusan-urusan mereka sesuai dengan kehendak mereka. Tuhan menunda hakNya untuk memberikan pahala atau menghukum siapa yang dikehendakinya kelak di akhirat.

21 Ahl-Hall wa al-‘aqd diartikan sebagai orang-orang yang mempunyai wewenang

melonggar dan mengikat. Istilah ini telah dirumuskan oleh ulama fiqh untuk sebutan bagi orang-orang yang bertindak sebagai wakil umat untuk menyuarakan hati nurani mereka dalam pemilihan. Untuk lebih jelasnya lihat Muhammad Dhiya al-Din Al Rayis, Al- al- al-Islamiyah (Mesir, Maktabah al Anjlu, 1957), 167-168. Khaleed Abou el Fadl, Selamatkan Islam,

231

22 Hal ini mirip dengan teori kedaulatan rakyat yang dikemukakan oleh J.J. Rosseou

Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hukum Politik, terj. Ida Sundari Husen dan Hidayat

(Jakarta: Dian Rakyat, 1989) , 102.

23 Khaleed Abou el-Fadl, Selamatkan Islam, 232-233

24 Dalam terminologi Barat hal ini disebut sebagai Teiori Kedaulatan Tuhan sedangkan Al

Maududi menyebutnya sebagai Teo Demokrasi. Lihat, Abul A’la Maudadi, et al. Esensi

(9)

Kedua, bahwa manusia adalah pemegang kedaulatan sepanjang menyangkut hukum yang mengatur masalah-masalah manusia. Tuhan memegang kedaulatan dalam hal-hal yang menyangkut hukum abadi. Karena tugas manusia adalah mengatur hukum yang menyangkut masalah-masalah manusia, dan bukan hukum abadi, manusia bebas mengatur sepanjang peraturan itu berupaya mewujudkan nilai-nilai kebertuhanan di muka bumi (yaitu berupaya memenuhi hukum abadi). Jika peraturan itu gagal menegakkan nilai-nilai kebertuhanan di muka bumi, hukum semacam itu harus dinyatakan sebagai tidak konstitusional.25

Ketiga, mereka mengatakan bahwa manusia adalah pemegang kedaulatan karena urusan-urusan Tuhan diserahkan kepada tuhan, dan urusan-urusan negara diserahkan pada manusia dan nampaknya pendekatan terakhir ini lebih dekat dengan pandangan sekuler.

Isu selanjutnya yang menjadi diskusi bagi kalangan moderat adalah peran yang diharapkan dari hukum syari’at atau hukum agama di dalam sebuah sistem demokrasi muslim. Isu terakhir ini terbukti sangat menantang, dan karena itu mencuatlah begitu beragam pandangan. Pandangan-pandangan tersebut kemudian dikelompokkan menjadi empat pandangan yakni:

Pertama, mereka menyatakan bahwa peraturan hukum seharusnya ditentukan ditangan rakyat, kecuali untuk sekelompok peraturan hukum yang bersifat inti yang dikenal dengan istilah . adalah sehimpunan hukum yang secara eksplisit disebut dalam al-Qur’an. Hukum tersebut meliputi seumpamanya, hukuman bagi bagi kasus zina dan pencurian. Walaupun

mencakup hukuman pidana yang keras, aspek kekerasan dalam hudud ini menjadi terkurangi oleh kenyataan bahwa syarat pembuktian yang dibutuhkan untuk bisa memberlakukan hukuman ini sangat detail dan banyak persyaratannya.

Kedua, beberapa orang moderat tidak mengamini pandapat di atas dan berpendapat bahwa demokrasi islam seharusnya tidak berupaya menerapkan bagian apapun dari huku Syari’at, dan bahwa satu-satunya hukum yang relevan hukum yang dibuat oleh badan legislatif. Dalam pendekatan ini, syari’at berfungsi sebagai panduan moral dan etika, tetapi rakyat secara keseluruhan seharusnya menjadi sumber satu-satunya bagi proses legislasi.

Ketiga, mereka yang berpendapat bahwa dalam demokrasi Islam, badan legislatif seharusnya memasukkan hukum apapun yang dipandangnya tepat. Namun demikian, harus ada sebuah peradilan tertinggi yang bisa menghapus setiap undang-undang yang tidak sejalan dengan al-Qur’an. Keempat, bahwa undang-undang itu milik rakyat, dan dengan begitu badan legislatif harus bebas menyetujui perundangan yang mereka anggap tepat. Akan tetapi undang-undang harus sesuai dengan standar moral dasar tertentu yang beroleh inspirasinya dari syari’at. Perundang-undangan yang mencederai moral, bahkan jika dikehendaki oleh sebuah badan legislatif, seharusnya dinyatakan tidak konstitusional atau batal.26

25Bandingkan dengan pembedaan kekuasaan yang dikemukakan oleh Khallaf dalam

Abdul Wahhab Khallaf, Al al-Syar’iyyah, terj. Zainuddin Adnan, Politik Hukum Islam

(Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994) 42. Khaleed Abou el-Fadl, Selamatkan Islam, h. 234

26Kendatipun dalam Islam, tidak terdapat sistem ketatanegaraan dalam artian teori

(10)

Kemudian bagaimana dengan pandangan kaum puritan terhadap masalah demokrasi ini? Menurut Khaleed Abou el Fadl, nyaris semua yang telah diuraikan dimuka adalah merupakan perilaku bid’ah. Menurut orang-orang puritan bahwa demokrasi adalah temuan orang Barat, dan ini cukup menjadi alasan untuk menolaknya. Selain itu orang-orang puritan bersikukuh pada perlunya penciptaan kembali lembaga khalifah sebagai landasan sistem pemerintahan Islam. Dengan ini mereka membayangkan model yang dibangun oleh keempat khulafa’ al , yang memegang kekuasaaan setelah meninggalnya Nabi. Orang-orang puritan berusaha menciptakan apa yang mereka bayangkan sebagai replika sistem pemerintahan yang dibangun oleh empat khalifah ini.27

Kenyataan yang gagal diakui oleh orang-orang puritan adalah bahwa para khalifah itu tidak mengambil satu bentuk pemerintahan saja; sebaliknya setiap mereka menerapkan kebijakan-kebijakan yang berbeda dan menciptakan institusi yang berlainan. Dalam kenyataannya, para khalifah itu tidak merepresentasikan suatu teori pemerintahan tertentu, melainkan sebuah institusi historis yang berhasil menyatukan banyak umat Islam pada waktu yang berlainan di masa silam. Intinya, khalifah menjadi suatu simbol kesatuan umat Islam tanpa serta merta membentuk suatu model pemerintahan tertentu.28

Menurut orang-orang puritan, sistem pemerintahan yang tegak diera yang diklaim sebagai masa keemasan khalifah adalah “sistem ”, yang ditegaskan oleh orang-orang puritan sebagai lebih tinggi dibandingkan dengan sistem demokrasi Barat. Seperti yang disebut dimuka, adalah konsep al-Qur’an yang berarti pemerintahan atas dasar musyawarah. Akan tetapi anehnya, orang-orang puritan berbicara seolah-olah ada teori pemerintahan yang utuh dan beda sama sekali yang disebut dengan “ ”. Syura dalam pandangan orang-orang puritan adalah pemimpin despotik yang adil, bijak, dan saleh, yang menerapkan hukum Islam dan memrintah dengan secara berkala merujuk kepada lembaga konsultatif yang mapan. Dalam pandangan orang-orang puritan, seorang pemimpin yang adil adalah pemimpin yang memberlakukan hukum Tuhan. Raja harus memenuhi syarat-syarat yang ketat berkaitan dengan karekter, kesalehan, dan pengetahuan agamanya. Dengan demikian, dia akan sanggup memahami hukum Tuhan. Pemimpin dan itu harus menerapkan perintah al-Qur’an yaitu bermusyawarah dengan orang berilmu dan saleh, pemimpin itu akan memilih tindakan yang tepat.29

Namun hal yang menarik dari kaum puritan adalah mereka sedikit sekali berbicara tentang jaminan prosedural macam apa yang akan mereka buat untuk memastikan bahwa pemimpin yang terpilih itu tetap adil, baik, atau bahkan saleh. Demikian pula, sangat sedikit dibahas ukuran-ukuran yang dipakai untuk

jelasnya liht Munawir Syadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1990), 1-2. Khaleed Abou Fadl, Selamatkan Islam, ibid., 236

27 Untuk lebih jelasnya lihat Munawir Syadzali, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta:

paramadina, 1997), h. 19 dan bandingkan dengan Gregory Rose”Velayat-e Faqih and the Recovery Islamic Identity”, dalam Nikki R. Keddie (ed.). Religion and Politics in Iran; Shi’ism from

Quitiesm (London: Yale Univercity Press, 1983), 183

(11)

memastikan bahwa pemimpin itu akan betul-betul mematuhi undang-undang dalam yurisprudensi Islam dan tidak secara vulgar menyelewengkan mandatnya. Akan tetapi orang-orang puritan mengandaikan bahwa sepanjang lembaga konsultatif menunjuk seorang penguasa yang sangat saleh, kesalehan akan cukup mampu mengendalikannya. 30

Kaum puritan memberikan kekuasaan kepada negara, yang pada kenyataannya, belum pernah ada dalam sejarah Islam. Negara di era modern mampu memobilisasi kekuasaan yang berlimpah dan memaksakan kehendak di dalam kehidupan rakyat dengan cara yang tidak terbayangkan di era pra modern. Kaum puritan menggunakan menggunakan kekuasaan besar untuk menjalankan apa yang mereka yakini sebagai kehendak Tuhan. Dengan menjalankan hukum Tuhan, keadilan akan tertegakkan karena diyakini orang-orang puritan yakin bahwa konsep hak asasi manusia itu sendiri adalah komponen lain dari invasi intelektual Barat. Dengan memberlakukan hukum-hukum Tuhan, orang-orang puritan percaya, hak-hak Tuhan dan hak-hak manusia terpenuhi dengan baik.31

Menurut kaum puritan bahwa saat ini tidak ada satupun negara Islam yang betul-betul Islam. Semua pemerintahan Muslim saat ini tidaklah sah karena diantaranya mereka menerapkan hukum yang ada pada aslinya adalah hukum Prancis atau Inggris. Karena itulah, orang-orang puritan meyakini bahwa pemerintah sekarang harus digulingkan, ketika sarana untuk melakukannya telah tersedia. Inilah salah satu perbedaan antara kaum puritan dan konservatif. Walaupun kaum konservatif benar-benar yakin bahwa negara Islam harus mempraktikkan hukum Tuhan. Mereka juga pada umumnya menolak penggunaan kekerasan dalam rangka mencapai tujuan-tujuan mereka, sementara orang-orang puritan memeluk ideologi kekerasan.32

Catatan Terhadap Pemetaan Khaleed Abou el Fadl Mengenai Pandangan Kaum Moderat dan Puritan Tentang HAM dan Demokrasi.

Dari pemetaan yang dilakukan oleh Khaleed Abou Fadl tentang pandangan kaum moderat dan kaum puritan mengenai konsep hak asasi manusia dan demokrasi merupakan sebuah potret dari tanggapan orang-orang Islam terhadap konsep hak asasi manusia dan sistem demokrasi yang menurut sebagian orang Islam penuh dengan kontroversial, tidak sesuai dengan ajaran Islam, dan merupakan salah satu propaganda Barat untuk menjajah Islam.

Dari hasil pemetaannya terhadap dua kelompok tersebut Khaleed Abou Fadl nampaknya “berat sebelah” dalam membahas argumentasi yang diberikan oleh kaum puritan. Khaleed Abou Fadl tidak melakukan sebuah sintesis terhadap kedua pendapat yang dikemukakan baik oleh kalangan moderat maupun kaum puritan sehingga apa yang telah dikemukakan tidak terlalu bias ataupun subyektif.

30Ibid

31

Bagaimana visi Islam tentang hak-hak asasi manusia telah tenggelam dalam tradisinya dan disebabkan oleh literalisme yang kelewatan dan kekuasaan yang dispotik lihat Roger Garaudy, Hak-hak Asasi dan Islam; Ketegangan Visi dan Tradisi, terj. Abas aL-Jauhari, Islamika, (Oktober-Desember 1993), 2.

(12)

Dalam masalah hak-hak asasi manusia Khaleed Abou Fadl sama sekali tidak menyuguhkan pendapat dari kelompok puritan. Hal ini bisa dimaklumi karena kaum puritan menolak prinsip hak-hak asasi manusia yang dikemukakan oleh PBB secara keseluruhan. Mereka beranggapan bahwa nilai-nilai HAM yang datang dari Barat mengandung unsur bias etnosentris yang merepresentasikan nilai sosio kultural Judeo-Kristen masyarakat Barat dan mereka tidak menerima kalau HAM diklaim sebagai satu-satunya standarhukum internasional modern yang bersifat universal sehingga dapat diterima dinegara mana saja dan kapan saja.

Untuk konsep demokrasi kalau boleh dikatakan bahwa bias ideologis Abou Fadl sangat kentara, hal ini bisa dilihat dari analisis yang tajam dan mendalam ketika mengkritisi argumentasi yang dikemukakan oleh kaum puritan, sedangkan untuk kaum moderat sebaliknya. Khaleed Abou Fadl cenderung melakukan “pembiaran” terhadap argumentasi yang kurang jelas dari kaum moderat seperti konsep ijma’ yang dikemukakan oleh mereka dalam menopang ide demokrasi, Khaleed Abou Fadl tidak menjelaskan secara detail dari pandangan kaum moderat tentang maksud, tujuan, dan konsep ijma’ seperti apa yang akan diterapkan dalam menopang ide demokrasi yang mereka gagas. Padahal, pada dasarnya konsep ijma’ tidak pernah terlaksana dan dilaksanakan dalam sejarah Islam. Jika ijma’ yang dimaksudkan adalah kesepakatan seluruh umat Islam yang ada pada suatu negara tersebut, maka mustahil konsep ini dilaksanakan oleh negara manapun. Namun jika yang dimaksudkan adalah ijma’ dari sekumpulan wakil yang ditunjuk oleh masyarakat (parlemen) maka hal itu bisa dilaksanakan.

Begitu juga dengan konsep syuro, Khaleed tidak melakukan sebuah kompromi atau sintesa terhadap dua pendapat tersebut, Khaleed cenderung menelanjangi konsep yang dikemukakan oleh kaum puritan ketimbang melakukan sebuah sintesis. Padahal, sebagai sebuah konsep, syuro dalam Islam tidak berbeda dengan demokrasi. Baik syuro maupun demokrasi muncul dari anggapan bahwa pertimbangan kolektif (collective liberation) lebih mungkin melahirkan hasil yang adil dan masuk akal bagi kebaikan bersama daripada pilihan individual. Kedua konsep tersebut mengasumsikan bahwa pertimbangan mayoritas cenderung lebih komprehensif dan akurat ketimbang penilaian minoritas. Dengan demikian keduanya menjalankan aturan masyarakat melalui penerapan hukum bukannya aturan-aturan individual atau keluarga dengan keputusan yang otokratis.

Pada dasarnya demokrasi dan syuro tidaklah jauh berbeda secara konsep dan prinsip, meskipun keduanya mungkin berbeda dalam rincian penerapannya disesuaikan dengan adat-kebiasaan lokal setempat. Keduanya menolak pemerintahan apapun yang mengurangi legitimasi pemilihan yang bebas, diktator, lalim, kejam dan tidak pro rakyat. Begitu juga logika demokrasi dan syuro tidak menyetujui undang-undang keturunan. Kemerdekaan dan kompetensi tidak bisa dimonopoli oleh beberapa individu atau keluarga.

Catatan Akhir

(13)

terhadap modernitas. Dari hasil pemetaannya, terdapat dua kutub besar yang berlawanan dalam merespon masalah hak asasi manusia dan demokrasi yang kemudian dia sebut dengan istilah kaum moderat dan kaum puritan.

Dalam pandangan Abou Fadl ada skisma antara Muslim moderat dan kelompok puritan dalam Islam. Baik yang moderat maupun puritan sama-sama mengklaim diri mereka sebagai representasi dari “Islam” yang paling benar dan otentik. Keduanya yakin bahwa mereka merepresentasikan pesan Ilahi yang berakar di dalam al-Quran dan hadits khususnya terkait dalam masalah hak asasi manusia dan demokrasi.

Kaum moderat mengatakan bahwa dalam banyak hal, termasuk dalam gagasan-gagasan kemanusiaan seperti yang terkandung dalam hak hak asasi manusia yang di deklarasikan oleh PBB, antara Islam dan Barat memiliki banyak kesamaan dan kesesuaian. Sedangkan menurut kaum puritan sebaliknya. Hak asasi manusia yang dicetuskan oleh PBB merupakan sebuah alat propaganda Barat untuk menjajah dunia Islam dan isinya berasal dari tradisi judeo-kristiani.

Untuk masalah demokrasi, kaum puritan mengatakan bahwa demokrasi adalah temuan orang Barat. Selain itu orang-orang puritan bersikukuh pada perlunya penciptaan kembali lembaga khalifah sebagai landasan sistem pemerintahan Islam tentunya dengan prinsip musawarah ( ). Dengan ini mereka membayangkan model yang dibangun oleh keempat khulafa’ al , yang memegang kekuasaaan setelah meninggalnya Nabi.

Sedangkan kaum moderat mengatakan bahwa prinsip demokrasi sudah dipraktekkan dalam Islam pada masa Rasul. Menurut mereka, al-Qur’an dengan jelas memerintahkan umat Islam untuk melaksanakan semua urusannya lewat musyawarah ( ). Orang-orang moderat membaca ayat ini sebagai perintah Tuhan yang menandaskan kembali tidak dibenarkannya penindasan dan kesewenangan. Pengambilan keputusan harus tidak oleh orang atau elit despotik. Sebaliknya, umat Islam harus menemukan cara untuk menetapkan keputusan sebagai hasil dari interaksi demokratis diantara banyak orang.

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Al Rayis, Muhammad Dhiya al- , Al- al- al- (Mesir, Maktabah al Anjlu, 1957)

Al-Maudadi, Abul A’la, et al. Esensi Al-Qur’an Filsafat Politik, Ekonomi, Etika.( Mizan: Bandung, 1984)

Al-Mawardi, Abu Hasan, Al- al- , (Beirut: Darl al Kutub al-‘Ilmiyah, tt),

Anshari Tayyib (ed.) HAM dan Pluralisme Agama (Surabaya: PKSK, 1997) Baderin, Mashood A., International Human Rights And Islamic Law (London:

Oxford University Press, 2003)

Dwyer, Kevin, Arab Voice; Human Rights Debate in the Middle East (Barkerley: Univercity of California, 1991)

El Fadl, Khaleed Abou, Selamatkan Islam dari Muslim Puritan (Jakarta, Serambi, 2005)

Esposito, John L., Ancaman Islam Mitos Atau Realitas, terj. Alwiyah Abdurrahman dan MISSI. (Bandung: Mizan, 1994)

Garaudy, Roger, Hak-hak Asasi dan Islam; Ketegangan Visi dan Tradisi, terj. Abas aL-Jauhari, Islamika, (Oktober-Desember 1993)

Khallaf, Abdul Wahhab, Al al-Shar’iyyah, terj. Zainuddin Adnan. (Jogjakarta: Tiara Wacana, 1994)

---, ‘Abd Wahhab, ‘Ilm al-Fiqh (Kuwait: Darl al-Qalam, tt)

Latif, Yudi, Tafsir Sosiologis Atas Piagam Madinah, dalam Fajar Riza Ul Haq dan Endang Tirtana (ed.). Islam, HAM, dan Keindonesiaan (Jakarta: Ma’arif Institute for Culture and Humanity, 2007)

Mayer, Ann Elizabeth, Islam Tradition and Politics Human Rights, (Westview Press, 1995), h. 2.

---,Islam and Human Rights, Tradition dan Politics (London: Pinter Publishers, 1995),

Nasution, Harun, dan Bachtiar Efendi (ed.). Hak Asasi Manusia dalam Islam (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1978)

Nashr, Seyyed Hossein, Islamic Life and Thought (New York: State Univercity of New York Press, 1992)

Syadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI Press, 1990)

---, Ijtihad Kemanusiaan (Jakarta: paramadina, 1997)

Syihab, Alwi, Islam inklusif; menuju sikap terbuka dalam beragama, (Bandung: Mizan, 1999)

Rahman, Fazlur, “Implementation of The Concept of State in Pakistani Milieu”, Islamic Studies, No. 6. (September 1967)

Rosseou, J.J., Perihal Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hukum Politik, terj. Ida Sundari Husen dan Hidayat (Jakarta: Dian Rakyat, 1989)

Referensi

Dokumen terkait

Kedudukan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) lingkup Dinas Pertanian dan Kehutanan diatur dalam Perda Nomor 5 Tahun 2008 tentang pembentukan, organisasi dan tata kerja

Pada kegiatan belajar ini anda akan dipandu dalam penciptaan tari, proses. penyusunan tari tidak hanya menitik beratkan pada aspek

indikator tegangan (voltage) stabil; Pemeliharaan jaringan tapi listrik tetap nyala; indikator kWh meter diukur dengan akurat; Material pemeliharaan yang bermutu; Biaya pasang

Untuk mengetahui efektivitas pengelolaan persediaan dapat dilihat dari perhitungan tingkat perputaran persediaanya, karena semakin tinggi tingkat perputaran persediaan

Luaran penelitian ini adalah : (1) Kondisi eksisting fasilitas penunjang bagi kaum disabilitas di Benteng Kuto Besak; (2) Mengetahui apakah elemen-elemen

Dapat kita lihat dalam peraturan perundang-undangan seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 Tentang Penyandang

Hubungan Tanggung Jawab Sosial (CSR) dengan Brand Image dikemukakan oleh Mahardikanto (2014: 84) yang menyatakan bahwa seiring perkembangan definisi Tanggung Jawab

Hal tersebut sesuai dengan definisi masyarakat yang merupakan kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat- istiadat tertentu yang