• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAM Dalam Konstitusi Indonesia dan jamin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HAM Dalam Konstitusi Indonesia dan jamin"

Copied!
27
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Hak Asasi Manusia (HAM) menjadi bahasan penting setelah Perang Dunia II dan pada waktu pembentukan Persrikatan Bangsa-Bangsa tahun 1945. Istilah HAM menggantikan istilah Natural Rights. Hal ini karena konsep hukum alam ybg berkaitan dengan hak-hak alam menjadi suatu kontroversial. Hak Asasi Manusia yang dipahami sebagai natural Rigts merupakan suatu kebutuhan dari realitas sosial yang bersifat universal.

Semula HAM berada dinegara-negara maju. Akan tetapi sesuai dengan perkembangan kemajuan transportasi dan komunikasi secara meluas, maka negara berkembang seperti Indonesia, sebagai anggota PBB mau tidak mau harus menerimanya untuk melakukan ratifikasi instrumen HAM Internasional sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta kebudayaan bangsa Indonesia.

Dengan bergulirnya rezim Soeharto dan diganti dengan era reformasi, pengaturan HAM mulai tampak jelas kearah mana HAM ini akan ditujukan. HAM tidak saja merupakan hak untuk berkumpul, berserikat dan berbicara (civil and political rights) tetapi juga meliputi hak sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Serta proses dalam penegakan pelanggaran HAM berat yang terjadi. Tampak jelas bahwa demikian kompleksnya permasalahan dan peluang pemberdayaan HAM di Indonesia. Kompleksitas permasalahan ini memerlukan upaya penanganan serius dan sesegera mungkin. Berbagai pihak juga harus terlibat untuk berpartisipasi secara aktif demi mewujudkan konsep pemberdayaan itu secara komperehensif.

(2)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti, sebagai berikut:

1. Bagaimana sejarah lahirnya Undang-Undang Dasar 1945?

2. Bagaimana sejarah lahirnya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949? 3. Bagaimana sejarah lahirnya Undang-Undang Dasar Sementara 1950? 4. Bagaimana sejarah lahirnya kembali Undang-Undang Dasar 1945? 5. Bagaimana latar belakang lahirnya Amandemen UUD 1945? 6. Bagaimana Materi Muatan HAM dalam UUD 1945?

7. Bagaimana Materi Muatan HAM dalam Konstitusi RIS 1949? 8. Bagaimana Materi Muatan HAM dalam UUDS 1950?

9. Bagaimana Materi Muatan HAM Pasca Kembali ke UUD 1945? 10. Bagaimana Materi Muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945? 11. Bagaimana Perlindungan Hukum terhadap HAM?

12. Bagaimana Pengadilan HAM? C. Tujuan Pembahasan

Berdasarkan rumusan masalah tersebut dapat diketahui, adapun tujuan pembahasan dari makalah ini adalah:

1. Mengetahui sejarah lahirnya Undang-Undang Dasar 1945

2. Mengetahui sejarah lahirnya Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 3. Mengetahui sejarah lahirnya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 4. Mengetahui sejarah lahirnya kembali Undang-Undang Dasar 1945 5. Mengetahui latar belakang lahirnya Amandemen UUD 1945 6. Menelaah Materi Muatan HAM dalam UUD 1945

7. Memberi penjelasan Materi Muatan HAM dalam Konstitusi RIS 1949 8. Mengetahui Materi Muatan HAM dalam UUDS 1950

9. Memberi definisi Materi Muatan HAM Pasca Kembali ke UUD 1945 10. Mengetahui Materi Muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945 11. Menjelaskan Perlindungan Hukum terhadap HAM

12. Menjelaskan tentang Pengadilan HAM

BAB II PEMBAHASAN A. Lahirnya Undang-Undang Dasar (UUD) 1945

(3)

dalam UUD 1945 lahir sebagai konsensus dari proses permufakatan yang berlangsung secara damai.1

Pembahasan tentang lahirnya UUD 1945, dapat dibagi kedalam dua tahapan, yaitu tahap perencanaan dan tahap penetapan serta pengesahan, adapun uraiannya yaitu:

1. Tahap Perencanaan UUD 1945

Perencanaan UUD 1945 beserta pembukaan UUD 1945 dirancang oleh panitia kerja yang berbeda yang dibentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia). Proses perencanaan dimulai pada tanggal 29 Mei s/d 17 Juli 1945 melalui dua kali persidangan. Sidang pertama tanggal 29 Mei s/d Juni 1945, menghasilkan kesepakatan menerimam Pancasila sebagai dasar negara. Sidang kedua, tanggal 10 s/d 16 Juli 1945, mulai membahas secara intensif perencanaan UUD. Dalam rangka perencanaan pembahasan UUD di bentuk panitia kerja diantaranya yaitu:

a. Panitia Perumus (Panitia Sembilan), yang menyusun Rancangan Pembukaan UUD (Piagam Jakarta, 22 Juni 1945). Diantara para Anggotanya adalah: Ir. Soekarno, Drs. Moh . hatta, Mr. Moh. Yamin, Mr. Achmad Soebardjo, Mr. AA. Maramis, K.H. Abdul Kahar Muzakkir, K.H . Wahid Hasjim, Abikusno Tjokrosujoso, dan K.H . Agus Salim.

b. Panitia Perancang Undang-Undang yang diketuai oleh Ir. Soekarno, dan telah menyusun Rancangan UUD 1945 pada tanggal 11-13 Juli 1945 dan naskahnya terdiri dari 42 Pasal.2 Khusus mengenai agenda pertama UUD mengawali persidangan pertamanya masih diwarnai dengan diskusi agar Achmad Yamin dimasukkan kedalam aggota pembahasan UUD meskipun pada akhirnya usul tersebut ditolak.

Ketua BPUPKI, Radjiman Widyodiningrat, sebelumnya telah memutuskan bahwa Yamin masuk kedalam salah seorang anggota pembahas agenda kedua, yakni keuangan dan perekonomian yang diketuai oleh Hatta, namun Yamin menyatakan dirinya tidak dapat memberikan konstribusinya secara maksimal.

Berdasarkan hal tesebut, secara praktis keikut sertaan Yamin dalam proses perancangan UUD terbilang pasif. Rancangan UUD terlihat lebih diwarnai oleh pemikiran Soepomo, yang juga kemuadian atas usul Wangsonegoro, Soepomo menjadi ketua panitia kecil perancang UUD.

1 Majda El- Muhtaj,M.Hum. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, cet. Ke-2, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 67

(4)

Dalam Rapat Pleno pembahasan rancangan UUD tangggal 15 Juli 1945, secara berturut Soekarno dan Soepomo menyampaikan hasil laporan. Khusus tentang keberadaan HAM dalam rancangan UUD terjadi semacam interaksi dialogis yang intens antara Soekarno dan Soepomo di satu pihak, dengan Yamin dan Hatta di pihak yang lain. pihak pertama menolak memasukkan HAM, terutama yang individual, ke dalam UUD karena menurut mereka Indonesia harus dibangun sebagai negara kekeluargaan, sedangkan pihak kedua menghendaki agar UUD itu memuat masalah-masalah HAM secara eksplisit.

Adapun menurut Soekarno bahwasannya, mengenai HAM tidak perlu untuk dimasukkan dalam rancangan UUD tersebut karena baginya hal demikian sudah menjadi kesadaran otomatis, beliau menegaskan bahwa jika bangsa Indonesia betul-betul hendak mendasarkan negara ini pada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham gotong royong, dan keadilan sosial, maka kita sebagai bangsa Indonesia harus membuang semua fikiran tentang adanya paham individualisme dan leberalisme.

Demikian halnya pula, Soepomo menegaskan, bahwa UUD dirancang atas paham kekeluargaan, bukan berdasar atas paham perseorangan, sedangkan peryataan berkumpul dan berserikat dalam didalam UUD merupakan sistematik dari paham perseorangan dan menentang paham kekeluargaan.

Disisi lain, berbeda dengan kedua pandangan tersebut, Hatta dan Yamin justru menghendaki agar masalah HAM dimasukkan dalam UUD. Beliau mengatakan lebih lanjut:

Memang kita harus menentang individualisme, kita mendirikan negara baru atas dasar gotong royong dan hasil usaha bersama, tetapi suatu hal yang saya khawatirkan , jika tidak ada suatu keyakinan atau satu pertanggungan kepada rakyat dalam UUD yang mengenai hak untuk mengeluarkan suara, hendaklah kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin , jangan menjadi negara kekuasaan.

Sejalan dengan Hatta, Yamin menolak segala alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkan tentang HAM dalam rancangan UUD. Menurutnya, jika hal tersebut tidak dijelaskan dalam hukum dasar maka hal ini merupakan kekhilafan yang sangat besar bagi Republik kepada rakyat yang menantikan hak; misalnya mengenai yang tertuju kepada warga negara yang akan mendapat hak, juga penduduk yang akan dilindungi oleh Republik ini.

(5)

UUD.3 Adapun dalam tahap perencanaan itu dapat dikatakan hasil karya BPUPKI antara lain:

a. Rancangan Dasar Negara Indonesia Merdeka: Pancasila

b. Rancangan Pembukaan UUD 1945 (Piagam Jakarta, 22 Juni 1945)

c. Rancangan UUD 1945 yang dibahas sejak tanggal 13 s/d 16 Juli 1945 yang naskahnya terdiri dari 42 Pasal.

d. Memutuskan agar Indonesia lekas merdeka, bentuk Pemerintahan Republik, wilayah negara seluas Indonesia Raya.

2. Tahap Penetapan dan Pengesahan UUD 1945

Pasca-Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945, PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) segera menggelar sidang pertamanya, pada 18 Agustus 1945 dan dalam keputusannya UUD yang telah dirancang oleh BPUPKI dengan beberapa perubahan dan tambahan. Adapun hasil karya PPKI yang berhubungan dengan tahap penetapan adalah:

a. Kata ‘Mukaddimah’ diganti menjadi ‘Pembukaan’ UUD 1945 yang berasal dari Piagam Jakarta, dengan sedikit perubahan.

b. Perubahan yang yang prinsipil pada alenia ke-4 yaitu: kata ‘Hukum Dasar’ diganti menjadi ‘Undang-Undang Dasar’; dan perubahan yang sangat penting, kalimat yang berbunyi: ‘Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya’, diganti dengan ‘Ketuhanan yang Maha Esa’.

c. RUUD yang semula terdiri atas 42 Pasal menjadi 37 Pasal. d. Dua Pasal materi muatan yang mengalami perubahan yakni:

o Pasal 6 yang semula (dalam Batang Tubuh UUD) berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”, diubah menjadi: “Presiden ialah orang Indonesia asli”.

o Pasal 28 yang semulaberbunyi: “Negara berdasar atas Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya”, diubah menjadi: “Negara berdasarkan Ke-Tuhanan yang Maha Esa (Pasal ini kemudian menjadi Pasal 29 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945).4

B. Lahirnya Konstitusi Republik Indonesia Serikat (KRIS) 1949

Arthur Shiller dalam bukunya berjudul The formation of Federal Indonesia 1945-1949” Melukiskan situasi politik Indonesia awal kemerdekaan dengan menyatakan; “Meskipun Indonesia telah menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, namun tidaklah berarti kondisi sosial politik Indonesia semakin kondusif.” Menurutnya, era 1945-1949 Negara Indonesia berada pada kondisi

3 Op.cit, Majda El- Muhtaj,M.Hum, hal. 70-71

(6)

“esatablishment of a federal form government” (Era pemantapan bentuk negara federal). Hal ini disebabkan bahwa pasca kekalahan Jepang atas sekutu membawa implikasi politik bagi Indonesia. Belanda dengan segala caranya berupaya menancapkan kembali politik kolonialismenya atas Indonesia.

Realitas yang demikian mengakibatkan pemerintah dan rakyat Indonesia disibukkan dengan upaya mempertahankan kembali derajat dan martabat kebangsaan yang telah diraih sebelumnya. Peperangan senjata muncul dimana-mana akibat Bekanda secara sepihak menduduki beberapa tempat, terutama kota-kota di Indonesia untuk mendirika kembali pemerintahan Belanda.

Akibat peperangan yang terus bergejolak, pemerintah Belanda kemudian mengambil langkah strategis baru dengan memecah belah Negara Kesatuan Indonesia sebagai Republik Indonesia Serikat yang terdiri atas beberapa negara bagian. Khusus untuk Negara Bagian Indonesia Timur yang dibentuk Belanda pada 24 Desember 1946 adalah yang terbesar dan kerap dijadikan model untuk satuan-satuan federal lainnya. Rekayasa ini ditujukan untuk menciptakan ketergantungan Indonesia sekaligus menjamin kepentingan-kepentingan Belanda di Indonesia.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan dan mendesak agar diselesaikan melalui sebuah jalan damai, yakni konferensi antara Indonesia dan Belanda dengan melibatkan pihak ketiga, yakni BFO (Byeenkomst voor Federal Overleg/Federal Consultative Assembly), sebuah ikatan negara-negara bagian hasil bentukan Belanda. Konferensi tersebut akhirnya berlangsung di Den Haag, Belanda dengan nama Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 23 Agustus s/d 2 November 1949. KMB menghasilkan tiga hal mendasar, yaitu:

a. Pembetukan Negara Republik Indonesia Serikat,

b. Penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat, c. Pembentukan Uni-RIS Belanda.

Penyerahan kedaulatan direncanakan 27 Desember 1949 dan sebagai dasar berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat direncanakan sebuah Undang-Undang Dasar yang dirancang oleh delegasi Republik Indonesia dengen BFO. Rancangan UUD itu diberi nama Konstitusi Republik Indonesis Serikat (KRIS).

Pada tanggal 27 Desember pukul 10.17 pagi Ratu Juliana dihadapan ketiga delegasi menandatangani Akta Penyerahan Kedaulatan yang kemudian berakibat pada berlakunya dua hal yakni; semua persetujuan-persetujuan hasil KMB, dan Konstitusi RIS 1949.

(7)

bagian yang lainnya. Adapun kekuasaan wilayahnya adalah adalah daerah yang disebut didalam persetujuan Renville. Begitu juga dengan kedudukan UUD 1945, dengan sendirinya juga berstatus UUD Negara Bagian Republik Indonesia.

Secara anatomik, KRIS terdiri atas dua bagian, yakni Pembukaan dan Batang Tubuh. Berbeda dengan jumlah-jumlah Pasal dalam UUD 1945, KRIS muatannya jauh lebih banyak, yakni 6 bab dan 197 Pasal. Meskipun demikian, KRIS hanyalah dimaksudkan untuk bersifat sementara, meskipun dari namanya tidak mempergunakan kata ‘sementara’. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 186 yang berbunyi, “Konstituante (Sidang Pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan pemerintah selekas-lekasnya menetapkan konstitusi Republik Indonesia Serikat”.5

C. Lahirnya UUD Sementara (UUDS) 1950

Semenjak Indonesia berubah bentuk negara menjadi Republik Indonesia Serikat dengan Konstitusi RIS. Wilayah-wilayah Indonesia dalam negara bagian menciptakan disharmonisasi dikalangan masyarakat. Bahkan, pemerintah yang bersifat federal ini telah melakukan revolusi dibeberapa wilayah Indonesia. Oleh karena itu, dengan semangat dan keinginan besar rakyat Indonesia meminta bentuk negara dikembalikan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Maka pada tanggal 19 Mei 1950 berlangsung kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat yang diwakili oleh Moh. Hatta dan Pemerintah Republik Indonesia yang diwakili oleh A. Halim. Kesepakatan tersebut intinya persetujuan terbentuknya pemerintahan baru dan pembubaran Republik Indonesia Serikat dan pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah baru yang dimaksud adalah kembalinya Indonesia kepada negara kesatuan. Ini menjadi bukti sejarah lahirnya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950).

Peringatan HUT RI yang kelima tanggal 17 Agustus 1950 menjadi momentum yang sangat berarti, ini menandakan terjadinya perubahan ketatanegaraan Indonesia. Dengan segala konsekuensi, Konstitusi RIS berubah menjadi UUDS. Wujud dari konsekuensi ini Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. UUDS 1950 ini merupakan Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia yang secara formil sebuah perubahan Konstitusi Sementara RIS.

(8)

UUDS 1950 ini menjadi landasan dasar untuk pembentukan sebuah negara kesatuan Indonesia. Dilihat dari sudut bentuk, UUDS 1950 merupakan bagian dari UU Federal No. 7 Tahun 1950 tentang Perubahan Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat Menjadi Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (LNRIS Tahun 1950 No. 56), sebab pemberlakuannya ditetapkan dalam UU tersebut. Dengan demikian fungsi UU No. 7 Tahun 1950 hanya memberlakukan UUDS , atau lebih tegas lagi hanya mengubah Konstitusi RIS menjadi UUDS. Dengan sendirinya setelah UUDS 1950 ini berlaku, maka tugas UU No. 7 Tahun 1950 yang hanya berlaku sekali menjadi selesai.

UUDS 1950 terdiri dari 6 Bab dan 146 pasal. Sebagaimana telah ditegaskan pada paragraf diatas bahwa materi muatan UUDS 1950 adalah perubahan dari Konstitusi RIS, maka perihal mengenai HAM juga memiliki kesamaan secara umum, terdapat juga perbedaan yang prinsipil. Perbedaan tersebut diantaranya. Pertama, hak dasar mengenai kebebasan agama, keinsyafan batin dan pikiran meliputi kebebasan bertukar agama atau keyakinan, dan sebagainya sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 Konstitusi RIS oleh Pasal 18 UUDS 1950, pernyataan meliputi kebebasan bertukar agama atau keyakinan tidak ditegaskan lagi. Kedua, Pasal 21 UUDS 1950 mengatur hak demonstrasi dan mogok yang sebelumnya tidak terdapat pada Konstitusi RIS.

Berdasarkan Pasal 26 ayat (3) UUDS 1950, hak milik itu adalah fungsi sosial. Dengan ketentuan ini maka semakin jelas bahwa UUDS 1950 tidak saja mengandalkan hak-hak asasi secara individu saja, melainkan juga penekanan kepada fungsi dan manfaat sosial. Pencantuman HAM sebagai pribadi, keluarga, warga negara, dan kewajiban asasi baik oleh pribadi maupun negara dalam UUDS 1950 ini sangat sistematis. Bahkan, dengan masuknya beberapa pasal perubahan atas Konstitusi RIS 1949, dapat dikatakan bahwa UUDS 1950 membuat terobosan baru dalam jaminan HAM yang sebelumnya belum pernah diatur dalam HAM PBB 1948 dan Konstitusi RIS 1949.

(9)

konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama pemerintah menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang dasar sementara ini. Untuk pelaksanaan tersebut maka dilakukan pemilihan umum (general election) pada tahun 1955, ini merupakan pemilihan umum pertama sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia.6

D. Kembali Kepada UUD 1945

Berdasarkan hasil pemilu 1955, sebenarnya konstituante diberikan kewenangan konstitusional untuk menyusun sebuah UUD yang tepat sebagaimana diamanatkan dalam Bab V Pasal 134 UUDS 1950, Konstituante (Sidang Pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama pemerintah menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang dasar sementara ini.

Maka, pada tanggal 10 November 1956 sampai 2 Juni 1959 Majelis Konstituante yang berjumlah 544 orang mengadakan sidang. Dalam sidang ini membahas tiga agenda penting, yakni: pertama, pembahasan dasar negara pada tahun 1957; kedua, pembahasan mengenai HAM pada tahun 1958; ketiga, pembahasan mengenai pemberlakuan kembali UUD 1945 pada tahun 1959. Dengan waktu yang cukup lama, sangat dimustahilkan bila tidak terjadi perdebatan hangat dalam tubuh Konstituante.

Kondisi yang kian memprihatinkan menimbulkan reaksi tersendiri di masyarakat dan pemerintah. Desakan dari luar konstituante meminta agar Majelis Konstituante menghentikan segala pembahasan dalam sidang dan menyatakan kembali kepada UUD 1945. Ide ini muncul mengingat secara formal, UUDS 1950 menganut sistem pemerintahan liberal, maka agar diperoleh kembali sistem pemerintahan dalam bentuk NKRI haruslah UUD 1945 menjadi pilihan satu-satunya. Dengan munculnya ide ini menimbulkan reaksi di kalangan Majelis Konstituante.

Selaku presiden, Soekarno, melalui rapat Dewan Menteri tanggal 19 Februari 1959 di Bogor telah mengambil keputusan dengan suara bulat mengenai pelaksanaan Demokrasi Terpimpin di bawah Soekarno menegaskan kembali kepada UUD 1945. Demokrasi Terpimpin didasarkan pada aliansi antara partai-partai (termasuk PKI), tentara dan presiden sebagai pihak ketiga. Keputusan Dewan Menteri ini merupakan

(10)

langkah awal kearah pemberlakuan UUD 1945. Dalam putusannya mengatakan bahwa UUD 1945 lebih menjamin terlaksananya demokrasi terpimpin. Namun, semuanya mengandung kelemahan-kelemahan. Sebab segala sesuatu akan tergantung dari presiden yang mempraktikan politik perimbangan. Meskipun demikian, dalam keputusan Dewan Menteri harus dipertahankan secara keseluruhan dan mengenai perubahan UUD 1945 dikembaliokan pada pernyataan Pasal 37 UUD 1945.

Dengan belum kondusifnya perpolitikan Indonesia serta terjadinya petarungan faham dan ego membuat Presiden Soekarno menyatakan negara dalam kondisi darurat (Staat van Oorlog en Beleg). Maka dengan alasan itu presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan: pertama, pembubaran Konstituante; kedua, memberlakukan kembali UUD 1945, dan ketiga, penarikan kembali UUD 1950 dan, dalam waktu sesingkat-singkatnya, mendirikan lembaga-lembaga kenegaraan sesuai dengan UUD 1945.7 Keluarnya dekrit ini membuat kembali berlakunya UUD 1945 dan menyatakan UUD 1950 tidak berlaku lagi.

Berlaku kembalinya UUD 1945 tidak membuat materi muatan HAM berubah. Meskipun diakui bahwa materi muatan HAM sangat rumit. Kehendak Dekrit presiden 5 Juli 1959 mengakibatkan secara serta merta apa yang tertuang dalam UUD 1945 pada saat pertama kali berlaku semenjak Proklamasi Kemerdekaan RI menjadi sepenuhnya berlaku kembali sejak dikeluarkan Dekrit presiden tersebut. Ini berarti jaminan konstitusi atas HAM tidak sempurna dan tidak tegas. Pengaturan HAM dalam UUD 1945 sangat tergantung sekali pada konfigurasi politik tertentu. Jika konfigurasi politik demokrasi, maka HAM memperoleh tempat dan implementasi yang relatif proporsional, tetapi jika konfigurasi politik bekerja dibawah payung otoriter maka HAM pun akan mendapatkan perlakuan yang buruk. Tidak saja mengenai HAM, tetapi dalam segenap peraturan dibawahnya. Kesemuanya itu sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik tertentu. Kebijakan penguasa adalah manifestasi dari format dan paradigma pemerintahan yang dijalankan, demokratis atau mengarah kepada otoritarianisme.8

E. Lahirnya Amandemen UUD 1945

7 Ibid, hal. 79-82

(11)

Isu mengenai perubahan UUD 1945 bukanlah isu yang baru berkembang. Hal ini terlihat dari histori perubahan UUD merupakan wacana penting bahkan menjadi perdebatan yang hangat para pendiri bangsa. Karena UUD 1945 harus benar-benar dapat sesuai dengan tingkat perubahan zaman Indonesia. Isu perubahan UUD 1945 pertama kali muncul pada sidang BPUPKI tanggal 11 Juli 1945 yang dikemukakan oleh S. Kolopaking. Kemudian ide perubahan tersebut dilanjutkan oleh Iwa Kusuma yang mengatakan sebagai berikut:

. . . maka benarlah bahwa ini adalah Undang-Undang Dasar kilat. Akan tetapi meskipun demikian, ada syarat-syarat dari suatu Undang-Undang Dasar, yang tidak boleh dilupakan. . . salah satu perubahan yang akan saya tambahakan, yang saya usulkan tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Disini belum ada artikel tentang perubahan Undang-Undang Dasar dan ini menurut pendapat saya masih perlu diadakan.

Berdasarkan hal tersebut, Soepomo memberikan jawaban secara langsung. Ia mengatakan seabagai berikut:

Berhubungan dengan usulan tuan Iwa itu, memang harus ada Bab XVI, tentang perubahan Undang-Undang Dasar. Yaitu, yang memuat pasal baru ayat (1) yang menentukan, bahwa untuk mengubah Undang-Undang Dasar, sekurang-kurangnya 2/3 anggota harus hadir. Jadi, untuk mengubah Undang-Undang Dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari banyaknya anggota harus hadir dalam sidang. Dan, ayat (2) bahwa putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada yang hadir.9

Pada masa Orde Lama maupun Orde Baru niat baik untuk melahirkan formulasi Undang-Undang Dasar yang baru dan komperehensif tidak pernah tercapai. Hal ini ditandai dengan rezim yang berkuasa pada masing-masing periode. Mereka berupaya mempertahankan tampuk kekuasaan dengan cara mensakralkan Undang-Undang Dasar. Sudah jelas barang tentu bila Undang-Undang-Undang-Undang Dasar disakralkan akan banyak terjadinya KKN, memasung semangat demokrasi dan penegakan hukum, dan memberi peluang tumbuhnya pemerintahan yang otoriter, anti kritik dan anti perbedaan pendapat. Dan jika ada pihak yang ingin merubah Undang-Undang Dasar dianggap sebagai “makar” terhadap negara.

Tergelincirnya rezim Soeharto dari tampuk kekuasaan pada Mei 1998 membawa angin segara terhadap reformasi Indonesia. Bagaimana tidak, selaku Presiden yang pernah menjabat selama 32 tahun, ia telah membuat kesalahan baik kepada negara dan warga negara. Mengingat kekejamannya yang bersifat otoriter

(12)

telah banyak mencekam hak individu orang-orang. Dengan runtuhnya rezim ini maka amanat reformasi adalah Perubahan dasar UUD 1945 yang dipandang telah menciptakan multitafsir. Penafsiran sepihak telah dirasakan sebagai energi negatif terhadap perkembangan pembangunan Indonesia kedepannya.

K. C. Wheare seorang ahli hukum tata negara Inggris mengatakan bahwa sebuah proses perubahan dihampir semua konstitusi modern harus dilakukan dengan: (1) pertimbangan yang masak, tidak secara serampangan dan dengan sadar; (2) melibatkan peran serta masyarakat secara aktif atas perubahan yang ada; (3) terjaminnya hak-hak pribadi dan masyarakat.10 Ketiga poin tersebut mengisyaratkan bahwa pentingnya prasyarat dalam melakukan proses amandemen. Keniscayaan tersebut mengisyaratkan pula terbinannya kesadaran kolektif berbangsa akan penting sebuah mekanisme perubahan yang dilakukan atas dasar tanggung jawab bersama demi keutuhan, kelangsungan dan masa depan rakyat Indonesia.

Pada tanggal 19 Oktober 1999, melalui Tap MPR No. IX/MPR/1999, Majelis menugaskan Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja (PAH I BP MPR) menyiapkan rancangan perubahan UUD 1945. Untuk disahkan pada Sidang Tahunan MPR tanggal 18 Agustus 2000. Oleh karena PAH I BP MPR tak mampu menyelesaikan perubahan UUD 1945 secara tuntas, maka masa kerja PAH I BP MPR diperpanjang sampai Sidang Tahunan MPR 2002. Terlambatnya penyelesaian ini dikarenakan terbatasnya waktu bagi anggota PAH I BP MPR akibat disibukan oleh agenda persidangan MPR, DAP dan PAH I BP MPR sendiri dan kaburnya muatan subtansial serta batasan-batasan perubahan yang dilakukan sebagai akibat tarik menarik kepentingan politik. Adapun perubahan-perubahan itu diantaranya:

1. Perubahan I UUD 1945 pada tanggal 14-21 Oktober 1999 dalam Sidang Umum MPR. Perubahan ini terdiri dari 9 pasal, yaitu Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21. Secara umum perubahan ini menyoroti kekuasaan presiden.

2. Perubahan II pada tanggal 7-18 Agustus 2000. Pada Sidang Tahunan MPR. Perubahan ini terdiri dari 5 bab dan 25 pasal, yaitu Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 22A, Pasal 22B, Bab IXA, Pasal 25E, Bab X, Pasal 26, Pasal 27, Bab XA, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28C, Pasal 28D, Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J, Bab XII, Pasal 30 Bab XV, Pasal 36A, Pasal 36B dan Pasal 36 C. Secara umum perubahan ini

(13)

menyoroti aspek desentralisasi, pemberdayaan DPR, penyempurnaan HAM, pertahanan negara dan atribut negara.

3. Perubahan III pada tanggal 1-9 November 2001 pada Sidang Tahunan MPR. Perubahan ini terdiri dari 3 bab dan 22 pasal, yaitu Pasal 1, Pasal 3, Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 7A, Pasal 7B, Pasal 7C, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 17, Bab VIIA, Pasal 22C, Pasal 22D, Bab VIIB, Pasal 22E, Pasal 23, Pasal 23A, Pasal 23C, Bab VIIIA, Pasal 23E, Pasal 23F Pasal, 23G, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 24C. Secara umum perubahan ini menyoroti penyempunaan atas pelaksanaan kedaulatan rakyat, pemilu presiden dan wakil presiden secara langsung dan pembentukan beberapa lembaga negara, yakni Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Makamah Konstitusi(MK), dan Komisi Yudisial (KY).

4. Perubahan IV pada tanggal 1-11 Agustus 2002 pada Sidang Tahunan MPR. Perubahan ini terdiri dari 2 bab dan 13 pasal, yaitu Pasal 2, Pasal 6A, Pasal 8, Pasal 11, Pasal 16, Pasal 23B, Pasal 23D, Pasal 24, Pasal 31, Pasal 32, Bab XIV, Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 37. Perubahan ini bersifat penyempurnaan dari Perubahan III UUD 1945. Diantara yang mendasar adalah Pasal 6A ayat (4) tentang pemilu presiden dan wakil presiden putaran kedua.11

Meskipun Undang–Undang Dasar ini telah diamandemen sebanyak 4 kali, namun masih saja terjadi prokontra. Dalam konteks amandemen dan hasil amandemen ini, dasar hukum dan format hukumnya tidak jelas, bukan dalam bentuk TAP MPR, bukan pula UU atau peraturan hukum yang lain tetapi hanyalah risalah rapat Paripurna MPR. Risalah sebuah rapat dapat mengubah dasar negara yang berisi sember hukum tertinggi, falsafah bangsa, idiologi negara, konsepsi nasional, dll. Yang tertuang dalam UUD melalui amandeman, itulah kesalahan konstitusional yang fatal dalam sejarah dan tidak boleh terulang lagi.12

Perlu diketahui, dalam makalah yang diselenggarakan oleh Forum Rektor dan disponsori oleh NDI (National Democratic Institute) di Jakarta, pada tanggal 8 Juni 2001 dan Medan 21 Juni 2001, Drs. Jacob Tobing, MPA menyebutkan 5 (lima ) kesepakatan MPR. Sedangkan, laporan yang mengatasnamakan Fraksi PDI-P menyebutkan 6 butir kesepakatan dan yang tidak dituangkan adalah butir keempat tentang prinsip check and balance. Jadi, dasar hukum dilakukan amandemen terhadap

11 Ibid, hal. 87-90

(14)

UUD 1945 adalah hanya karena adanya satu kesepakatan MPR tanpa format hukum yang jelas, yang menyangkut 5 hal, sebagai berikut:

1. MPR tetap mempertahankan Pembukaan UUD 1945; 2. MPR tetap mempertahankan bentuk Negara NKRI; 3. Tetap menggunakan sistem pemerintahan presidensial;

4. Mengahpus penjelasan UUD 1945 dengan catatan hal-hal yang normatif dalam Penjelasan akan dipindahkan kedalam pasal-pasal UUD;

5. Perubahan dilakukan dengan cara adendum.

Itulah dasar hukum 5 (lima) butir isi kesepakatan MPR yang dipakai sebagai dasar hukum melakukan amandemen yang ternyata juga dilanggar oleh MPR sendiri dan hasilnya pun menimbulkan kontoversi, problematik dan konflik dilapangan.13

Oleh karena itu UUD 1945 harus memiliki kekuatan fundamental dan menjadi referensi bagi kerangka pembangunan nasional. Atas dasar itu, UUD 1945 yang diamandemen harus melalui proses kerja yang bijaksana. Dorongan kearah terciptanya konstitusi baru yang lebih mengutamakan kepentingan dan masa depan rakyat adalah cita-cita seluruh rakyat Indonesia. Kehadiran konstitusi adalah sebuah keniscayaan. Maka proses penyempurnaan dan kematangan mutlak dilakukan. Persoalan konstitusi adalah persoalan eksistensi bangsa dalam menjawab perkembangan dan perubahan zaman.

Dengan telah dilakukannya amandemen UUD 1945 yang keempat, maka ini merupakan hasil akhir dari sebuah UUD 1945 untuk saat ini. Meskipun masih ada juga prokontra terhadap hasil amandemen tapi setidaknya UUD 1945 pasca amandemen telah memberikan angin segar khususnya terhadap HAM. Sebelum amandemen HAM dalam UUD 1945 tidak tersusun secara sistematis. Semenjak amandemen kedua UUD 1945 maka HAM terdapat dalam bab tersendiri, yakni Bab XA mengenai Hak Asasi Manusia dengan 10 pasal. HAM bukan lagi kehendak isu global melainkan syarat negara hukum. Serta seringkali dijadikan salah satu indikator untuk mengukur tingkat peradaban, demokrasi dan kemajuan suatu bangsa.

Kehadiran perubahan kedua UUD 1945 mengenai HAM merupakan suatu kemajuan yang signifikan, sebagai buah dari perjuangan panjang para pendiri bangsa. Selain karena terdapatnya dalam satu bab tersendiri, hal lain adalah berisikan pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan HAM, baik secara pribadi maupun sebagai warga negara Indonesia. Secara subtansional materi muatan HAM memuat berbagai

(15)

hal kepentingan manusia yang harus dijaga, dipelihara, dijamin dan dilindungi sebagai bentuk komitmen jaminan konstitusi atas penegakan hukum dan HAM di Indonesia.

Namun secara redaksional dan jangkauan lingkup HAM masih terbilang sederhana bahkan tidak menggambarkan sebuah komitmen atas penegakan hukum dan HAM. Ini terlihat masih adanya pasal yang tumpang tindih dan tidak ditemukannya daya desak penegakan hukum dan HAM oleh negara dalam bentuk kewajiban-kewajiban kongkrit secara eksplisit. Sehingga kelihatan bahwa perubahan UUD 1945 yang kedua tidak memiliki kejelasan. Hal ini dikuat dengan pandangan Saldi Isra, sebagaimana dikutip Majda El-Muhtaj, materi muatan HAM dalam perubahan kedua UUD 1945 tidak konsisten dalam merumuskan kategorisasi hak-hak asasi, apakah pembagiannya menurut kategori hak sipil dan hak ekonomi, sosial dan budaya ataukah mendefinisikannya dengan menggunakan pembagian atas derogable right dan nonderagable right, ataukah merumuskannya dengan cara memuat hak-hak individu, komunal, dan vulnerable right.

Ketidakjelasan makna ini terlihat dari Bab Pasal 27 ayat (3) dengan Bab XII Pasal 30 ayat (1) tentang hak atas pembelaan negara. Bab XA Pasal 28D dengan Bab X Pasal 27 ayat (1) tentang hak atas equality before the law (persamaan dihadapan hukum). Bab XA Pasal 28F dengan Pasal 28 tentang berserikat dan berkumpul. Ketidakjelasan ini memberikan pengaruh terhadap penegakan HAM dalam muatan-muatan HAM yang diatur tersebut. Ketidakjelasan lain akibat penggabungan muatan-muatan HAM dengan muatan HAM lain yang tidak sinkron. Seperti Bab XA Pasal 28C yang menggabungkan hak atas kebutuhan dasariah dengan hak mendapatkan pendidikan dan seni budaya. Serta Bab XA Pasal 28E menggabungkan hak beragama dengan hak mendapatkan pekerjaan dan hak atas kewarganegaraan.

Pada perubahan kedua UUD 1945 khususnya mengenai HAM, terlihat jelas bahwa HAM jauh dari sempurna. Secara redaksional menurut Satya Arianto, sebagaimana dikutip Majda El-Muhtaj, bahwa materi muatan HAM dalam perubahan kedua UUD 1945 sebagian besar merupakan pasal-pasal yang berasal atau setidak-tidaknya memiliki kesamaan dengan pasal-pasal HAM sebagaimana diatur dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Sudah jelas barang tentu materi muatan HAM dalam perubahan kedua tidak berdiri sendiri dan aturan ini memberikan pengaruh besar terhadap rumusan materi HAM pada perubahan kedua UUD 1945.14

(16)

F. Jaminan Konstitusi atas HAM dalam UUD Tahun 1945, Konstitusi RIS 1949, UUDS 1950, Kembali Kepada UUD 1945 dan Latar Belakang Lahirnya Amandemen UUD 1945.15

1) Materi Muatan HAM dalam UUD 1945

Menyikapi jaminan UUD 1945 atas HAM, terdapat pandangan yang beragam, yaitu ada tiga kelompok pandangan, yakni:

a. Mereka yang berpandangan bahwa UUD 1945 tidak memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif. Pandangan ini didukung oleh Mahfud MD dan Bambang Sutiyoso, hal ini didasarkan bahwa istilah HAM tidak ditemukan secara eksplisit dalam Pembukaan, Batang Tubuh maupun Penjelasannya. Bahkan menurut Sutiyoso didalam UUD 1945 hanya ditemukan pencantuman dengan tegas perkataan hak dan kewajiban warga Negara dan hak-hak DPR. Menurut Mahfud tidak sedikit orang yang berpendapat bahwa UUD 1945 itu sebenarnya tidak banyak member perhatian pada HAM , bahkan UUD 1945 tidak berbicara apapun tentang HAM universal kecuali dalam dua hal, yaitu Sila keempat Pancasila dan Pasal 29 yang menderivasikan jaminan “kemerdekaan tiap penduduk untuk memeluk agama dan beribadah”, Selebihnya hanya berbicara mengenai HAW (Hak Asasi Warganegara). Dimana HAM dan HAW mempunyai makna yang berbeda yaitu HAM mendasarkan diri pada paham bahwa secara kodrati manusia itu dan di manapun mempunyai hak-hak bawaan yang tidak bisa dipindah, diambil atau dialihkan. Sedangkan HAW hanya mungkin diperoleh karena seseorang memiliki status sebagai warga Negara. Hal inilah yang membuat adanya kesan bahwa Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 tidak memiliki semangat yang kuat dalam memberikan perlindungan HAM atau lebih menganut keinginan untuk membatasi HAM .

b. Mereka yang berpandangan UUD 1945 memberikan jaminan atas HAM secara komprehensif. Pandangan ini didukung oleh Soedjono Sumobroto, Marwoto, Azhary, dan Dahlan Thaib. Sumobroto dan Marwoto mengatakan UUD 1945 mengangkat fenomena HAM yang ada dalam masyarakat. Atas dasar itu HAM yang tersirat dalam UUD 1945 bersumber pasa falsafah dasar

(17)

dan pandangan hidup bangsa yaitu pancasila. Penegakan HAM diindonesia sejalan dengan implementasi dari nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, dengan kata lain bahwa Pancasila merupakan nilai-nilai HAM yang hidup dalam kepribadian bangsa. Sedangkan menurut Dahlan Thaib dalam Pembukaan dan Batang Tubuh maupun penjelasannya ditemukan 15 prinsip HAM. Jadi hal ini sudah cukup membuktikan bahwa UUD 1945 sangat menjamin HAM.

c. Mereka yang berpandangan bahwa UUD 1945 hanya memberikan pokok-pokok jaminan atas HAM. Pandangan ini didukung oleh Kuntjoro Purbopranoto, G.J. Wolhoff dan Solly Lubis. Menurut Kuntjoro, jaminan UUD 1945 terhadap HAM bukan tidak ada, melainkan dalam ketentuan-ketentuan UUD 1945 mencantumkannya secara tidak sistematis. Solly Lubis, menegaskan bahwa ketika demokrasi diakui sebagai pilihan terbaik bagi system dan arah kehidupan sebuah bangsa, pada umumnya orang tiba pada suatu prinsip umum bahwa pada hakikatnya hak-hak asasi itu harusnya mendapat jaminan sesuai dengan asas demokrasi yang berlaku dan mendasari sistem politik dan kekuasaan yang sedang berjalan, selain itu menurut Solly Lubis UUD 1945 tetap mengandung pengakuan dan jaminan yang luas mengenai hak-hak asasi walaupun harus diakui secara redaksional formulasi mengenai hak-hak itu sangat sederhana dan singkat.

2) Materi Muatan HAM dalam Konstitusi RIS 1949

Konstitusi RIS memberikan penekanan yang signifikan tentang HAM. Hal tersebut diatur dalam Bab 1 Bagian 5 Hak-Hak dan Kebebasan-Kebebasan Dasar Manusia yang terbentang dalam 27 pasal. Selain itu, Konstitusi RIS juga mengatur kewajiban asasi Negara dalam hubungannya dengan upaya penegakan HAM yang terdapat dalam Bab 1, Bagian 6 Asas-Asas Dasar yang terbentang dalam 8 pasal.

Penekanan dan Jaminan Konstitusi RIS atas HAM secara historis sangat dipengaruhi oleh keberadaan DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia) yang dirumsukan oleh PBB pada 10 Desember 1948. Dalam konteks Negara-Bangsa maka diseminasi HAM versi PBB pada waktu itu sangat dirasakan mempengaruhi Konstitusi-Konstitusi Negara-negara di dunia, termasuk Konstitusi RIS 1949

(18)

pun/tiada seorang pun, setiap warga Negara dan berbagai kata yang menunjukkan adanya kewajiban Hak Asasi Manusia dan Negara. Keseluruhan kata ini dapat ditafsirkan kepada makna dan pengertian HAM yang sesungguhnya. Dengan kata lain, manusia secara pribadi, kelompok, keluarga, dan sebagai warga Negara benar-benar ditegaskan sebagai mereka yang mendapatkan jaminan dalam Konstitusi RIS.

Dapat dikatakan bahwa HAM didalam Konstitusi RIS menempati posisi penting yang menunjukkan terdapatnya sebuah jaminan perlindungan yang ideal. Meskipun, Konstitusi RIS terbilang sementara namun kenyataannya muatan-muatan hak-hak asasi tersebut semakain dikuatkan dengan terdapatnya kewajiban asasi yang harus dilaksanakan oleh penguasa/pemerintah.

3) Materi Muatan HAM dalam UUDS 1950

Secara Anatomik UUDS 1950 terdiri atas 6 Bab dan 146 Pasal yang membahas tentang HAM, karena materi muatan UUDS 1950 adalah perubahan atas Konstitusi RIS 1949 maka perihal HAM juga disamping memiliki kesamaan secara umum terdapata juga perbedaan-perbedaan yang prinsipil.

Menurut catatan Soepomo setidaknya terdapat tiga perbedaan mendasar Konstitusi RIS 1949 dengan UUDS 1950 dalam hal penegasannya tentang HAM, yaitu:

 Hak dasar mengenai kebebasan agama, keinsyafan batin dan pikiran

meliputi kebebasan bertukar agama atau keyakinan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 18 UUDS 1950

 Dalam pasal 21 UUDS 1950 diatur perihal hak berdemonstrasi dan hak mogok yang sebelumnya tidak terdapat pada Konstitusi RIS

 Dasar perekonomian sebagaimana dimuat pada pasal 33 UUD 1945

diadopsi kedalam pasal 38 UUDS 1950, selain itu, Pasal 37 ayat (3) melarang organisai-organisasi yang bersifat monopoli partikelir yang merugikan ekonomi nasional.

(19)

hak-hak asasi secara individual, melainkan juga penekanan kepada fungsi dan manfaat sosial.

Pencantuman HAM sebagai pribadi, keluarga, warga Negara dan kewajiban asasi baik oleh pribadi, warga Negara maupun Negara dalam UUDS 1950 dinilai sangat sistematis. Bahkan dengan masuknya beberapa pasal perubahan atas Konstitusi RIS 1949, dapat dikatakan bahwa UUDS 1950 membuat terobosan baru dalam jaminan HAM yang sebelumnya belum pernah diatur dalam HAM PBB Tahun 1948 dan Konstitusi RIS 1949.

4) Materi Muatan HAM Pasca Kembali ke UUD 1945

Materi muatan HAM dalam UUD 1945 tidak mengalami perubahan apapun. Meskipun diakui materi muatan HAM dalam UUD 1945 sangat sumir namun kehendak Dekrit mengakibatkan bahwa secara serta merta apa yang tertuang dalam UUD 1945 pada saat pertama kali berlaku sejak Proklamasi Kemerdekaan RI menjadi sepenuhnya berlaku kembali sejak 5 Juli 1959. Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa kembali berlakunya UUD 1945 berarti bahwa jaminan Konstitusi atas HAM menjadi tidak sempurna dan tidak tegas.

Sisi fleksibilitas UUD 1945 mengakibatkan fleksibel pula arah dan penegakan HAM diindonesia. Akibatnya muatan HAM didalam UUD 1945 menurut Mahfud MD sangat tergantung dari konfigurasi politik tertentu. Jika konfigurasi politik demokratis, maka HAM memperoleh tempat dan implementasi yang relatif proporsional tetapi jika konfigurasi politik sedang bekerja dibawah paying otoritarian maka HAM pun akan mendapat perlakuan yang buruk.

5) Materi Muatan HAM dalam Perubahan Kedua UUD 1945

Salah satu poin penting dari perubahan kedua UUD 1945 adalah mengenai Hak Asasi Manusi (HAM). Berbeda dengan UUD 1945, perubahan kedua UUD 1945 memasukkan perihal HAM menjadi satu Bab tersendiri yakni Bab XA mengenai HAM dengan 10 Pasal.

(20)

singkat dan sederhana. Maka kehadiran perubahan kedua UUD 1945 merupakan suatu kemajuan yang signifikan, sebagai buah dari perjuangan panjang dari para pendiri bangsa.

Muatan HAM dalam perubahan kedua UUD 1945 jauh melebihi ketentuan yang pernah diatur dalam UUD 1945, selain karena terdapatnya satu bab tersendiri hal lain adalah berisikan pasal-pasal yang berkaitan langsung dengan HAM baik secara pribadi maupun sebagai warga Negara Indonesia . Muatan HAM dalam perubahan kedua UUD 1945 dapat dikatakan sebagai bentuk komitmen jaminan konstitusi atas penegakan hukum dan HAM di Indonesia.

Mengenai perkembangan generasi HAM kelihatan dengan terang bahwa muatan HAM yang diatur dalam Perubahan Kedua UUD 1945 tidak memiliki kejelasan. Ketidakjelasan ini kemudian semakin kelihatan ketika pasal-pasal HAM tersebut tidak memberikan penegasan tentang penegakan HAM itu sendiri. Dengan kata lain, menurut Saldi Isra’ tidak ditemukan pasal-pasal enforcement dalam penegakan HAM secara konkret, yang ditemukan hanyalah bahwa pengaturan lebih lanjut tentang HAM diatur dalam peraturan perundang-undangan.

HAM yang diatur dalam Perubahan UUD 1945 masih terbilang konvensional karena apa yang ditegaskan adalah hal klasik yang setiap manusiapun mengerti dan memahaminya sebagai hak universal seperti hak hidup, hak tumbuh dan berkembang dan hak atas perlakuan adil dan lain-lainnya. Bisa dikatakan materi muatan HAM dala Peubahan UUD 1945 ini sudah jauh dari sempurna, secara Redaksional Satya Arinanto mengatakan bahwa materi muatan HAM dalam Perubahan UUD 1945 sebagian besar merupakan pasal-pasal yang berasal atau setidak-tidaknya memiliki kesamaan dengan pasal-pasal HAM sebagaimana diatur dalam Tap MPR No XVII/MPR/1998/Tentang HAM dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.

(21)

G. Perlindungan Hukum Terhadap Hak Asasi Manusia

Hukum diciptakan sebagai suatu sarana atau instrumen untuk mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban subyek hukum agar dapat menjalankan kewajibannya dengan baik. Hukum berfungsi sebagai instrumen perlindungan bagi subyek hukum.

Menurut Philipus yang dikutip oleh Bahder, perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif, rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang defenitif, artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.16

Menurut Irawan dalam kajian Hukum Administrasi Negara, tujuan pembentukan peradilan administrasi negara (Peradilan Tata Usaha Negara) adalah memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari ha-hak individu dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan pada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat tersebut.17

Berdasarkan Undang-Undang No.5 Tahun 1986 sebagaimana dirubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, perlindungan hukum akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) dapat ditempuh melalui dua jalur, yaitu melalui banding administrasi atau upaya administrasi dan melalui peradilan.

Menurut Sjahran Basah, perlindungan hukum yang diberikan merupakan qonditio sine qua non dalam menegakkan hukum. Penegak hukum merupakan qonditio sine qua non serta untuk merealisasikan fungsi hukum tersebut. Adapun fungsinya yaitu:

1. Direktif, sebagai pengarah dalam membangun untuk membentuk masyarakat yang hendak dicapai dengan tujuan kehidupan bernegara.

2. Integratif, sebagai pembina kesatuan bangsa.

16Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung: Mandar Maju, 2011, hal. 258

(22)

3. Stabilitatif, sebagai pemelihara dan menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

4. Perfektif, sebagai penyempurna baik terhadap sikap tindak administrasi negara maupun sikap tindak warga apabila terjadi pertentangan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

5. Korektif, sebagai pengoreksi atas sikap tindak baik administrasi negara maupun warga apabila terjadi pertentangan hak dan kewajiban untuk mendapatkan keadilan.

Dalam sejarah, kekuasaan yang diorganisasikan kedalam dan melalui organ-organ negara, sering terbukti melahirkan penindasan dan ketidakadilan, karena itu sejarah umat manusia mewariskan gagasan perlindungan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Gagasan perlindungan dan penghormatan HAM ini bahkan diadopsi kedalam pemikiran mengenai pembatasan kekuasaan yang kemudian dikenal dengan aliran konstitusionalisme. Aliran inilah yang memberi warna modern terhadap ide-ide demokrasi, sehingga perlindungan konstitusional terhadap HAM dianggap sebagai ciri utama yang perlu ada dalam setiap negara hukum yang demokratis. Dengan kata lain, isu HAM itu berhubungan dengan persoalan penegak hukum dan keadilan itu sendiri.

H. Pengadilan HAM

Istilah pengadilan HAM sering dipertentangkan dengan istilah pidana, karena pada hakikatnya kejahatan yang merupakan kewenangan pengadilan HAM juga merupakan perbuatan pidana. UU No. 26 Tahun 2000 yang menjadi landasan berdirinya pengadilan HAM, mengatur tentang beberapa kekhususan atau pengaturan yang berbeda dengan pengaturan dalam hukum acara pidana.

Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 ini dikeluarkan dengan dasar pertimbangan moral dan yuridis. Dasar pertimbangan moralnya adalah bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal, dan langgeng. Oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.

(23)

mengadili pelanggaran HAM berat. Secara rinci kekhususan yang dimaksud dalam penanganan pelanggaran HAM berat dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Diperlukan penyelidik dengan membentuk tim ad hoc, penyidik ad hoc, penuntut umum ad hoc dan hakim ad hoc.

2. Diperlikan penegasan bahwa penyelidikan hanya dilakukan oleh KOMNASHAM, sedangkan penyidik tidak berwenang menerima laporan atau pengaduan sebagaimana diatur dalam KUHAP.

3. Diperlukan ketentuan mengenai tenggang waktu tertentu untuk melakukan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan dipengadilan.

4. Diperlukan ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban.

5. Diperlukan ketentuan mengenai penegasan tidak ada kadaluarsa bagi pelanggaran HAM berat.

6. Dapat diperlakukan asas retroaktif dalam rangka melindungi HAM berdasarkan ketentuan pasal 28J UUD Tahun 1945.

Maksud pemberlakuan asas retroaktif ini adalah bahwa mengenai pelangaran HAM berat seperti genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berdasarkan hukum internasional dapat digunakan asas retroaktif. Kategori pelanggaran HAM berat ini adalah pelanggaran yang merupakan kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana diatur dalam pasal 6 dan pasal 7 Rome Statute of The International Criminal Court. Kejahatan genosida ini merupakan kejahatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau bagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara:

1. Membunuh anggota kelompok seorang atau lebih.

2. Mengakibatkan penderita fisik atau mental yang berat terhadap angota-anggota kelompok.

3. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik.

(24)

5. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.

Sedangkan yang termasuk kategori kejahatan kemanusiaan adalah merupakan perbuatan yang dilakukan yang dilakukan sebagian dari serangan yang meluas atau sistematik, sebagai lanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi kekuasaan yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan cara:

1. Melakukan pembunuhan sebagaimana diatur dalam pasal 340 KUHP

2. Pemusnahan, termasuk perbuatan yang menimbulkan penderitaan yang dilakukan dengan sengaja seperti perbuatan menghambat pemasukan barang makanan dan obat-obatan.

3. Perbudakan yang didalamnya termasuk perdagangan manusia khususnya perdagangan wanita dan anak-anak.

BAB III PENUTUP

Kesimpulan:

1. Pembahasan tentang lahirnya UUD 1945, dapat dibagi kedalam dua tahapan, yaitu tahap perencanaan dan tahap penetapan serta pengesahan, adapun uraiannya yaitu: Tahap perencanaan dan tahap penetapan serta pengesahan UUD 1945. 2. Lahirnya konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dilatar belakangi akibat

(25)

3. Semenjak Indonesia berubah bentuk negara menjadi Republik Indonesia Serikat dengan Konstitusi RIS. Wilayah-wilayah Indonesia dalam negara bagian menciptakan disharmonisasi dikalangan masyarakat. Bahkan, pemerintah yang bersifat federal ini telah melakukan revolusi dibeberapa wilayah Indonesia. Oleh karena itu, dengan semangat dan keinginan besar rakyat Indonesia meminta bentuk negara dikembalikan menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka pada tanggal 19 Mei 1950 berlangsung kesepakatan antara Pemerintah Republik Indonesia Serikat Kesepakatan tersebut intinya persetujuan terbentuknya pemerintahan baru dan pembubaran Republik Indonesia Serikat dan pemerintah Republik Indonesia. Pemerintah baru yang dimaksud adalah kembalinya Indonesia kepada negara kesatuan. Ini menjadi bukti sejarah lahirnya Undang-Undang Dasar Sementara 1950 (UUDS 1950).

4. Berdasarkan hasil pemilu 1955, sebenarnya konstituante diberikan kewenangan konstitusional untuk menyusun sebuah UUD Maka, pada tanggal 10 November 1956 sampai 2 Juni 1959 Majelis Konstituante yang berjumlah 544 orang mengadakan sidang. Dalam sidang ini membahas tiga agenda penting, yakni: pertama, pembahasan dasar negara pada tahun 1957; kedua, pembahasan mengenai HAM pada tahun 1958; ketiga, pembahasan mengenai pemberlakuan kembali UUD 1945 pada tahun 1959. Dengan waktu yang cukup lama, sangat dimustahilkan bila tidak terjadi perdebatan hangat dalam tubuh Konstituante. 5. Isu mengenai perubahan UUD 1945 bukanlah isu yang baru berkembang. Hal ini

terlihat dari histori perubahan UUD merupakan wacana penting bahkan menjadi perdebatan yang hangat para pendiri bangsa. Karena UUD 1945 harus benar-benar dapat sesuai dengan tingkat perubahan zaman Indonesia. Sehingga dengan demikian Amandemen UUD sangat diperlukan dalam mengikuti perkembangan zaman, dan realitas sosial.

6. Menyikapi jaminan UUD 1945 atas HAM, terdapat pandangan yang beragam, yaitu ada tiga kelompok pandangan.

(26)

8. Secara Anatomik UUDS 1950 terdiri atas 6 Bab dan 146 Pasal yang membahas tentang HAM, karena materi muatan UUDS 1950 adalah perubahan atas Konstitusi RIS 1949 maka perihal HAM juga disamping memiliki kesamaan secara umum terdapata juga perbedaan-perbedaan yang prinsipil.

9. Materi muatan HAM dalam UUD 1945 tidak mengalami perubahan apapun. Meskipun diakui materi muatan HAM dalam UUD 1945 sangat sumir namun kehendak Dekrit mengakibatkan bahwa secara serta merta apa yang tertuang dalam UUD 1945 pada saat pertama kali berlaku sejak Proklamasi Kemerdekaan RI menjadi sepenuhnya berlaku kembali sejak 5 Juli 1959. Todung Mulya Lubis mengatakan bahwa kembali berlakunya UUD 1945 berarti bahwa jaminan Konstitusi atas HAM menjadi tidak sempurna dan tidak tegas.

10. Pada Perubahan kedua UUD 1945 memasukkan perihal HAM menjadi satu Bab tersendiri yakni Bab XA mengenai HAM dengan 10 Pasal.

11. Perlindungan hukum bagi rakyat dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu perlindungan hukum preventif dan represif. Perlindungan hukum preventif, rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang defenitif, artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, sedangkan perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa.

12. UU No. 26 Tahun 2000 yang menjadi landasan berdirinya pengadilan HAM, mengatur tentang beberapa kekhususan atau pengaturan yang berbeda dengan pengaturan dalam hukum acara pidana. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 ini dikeluarkan dengan dasar pertimbangan moral dan yuridis. Dasar pertimbangan moralnya adalah bahwa HAM merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal, dan langgeng. Oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi atau dirampas oleh siapapun.18

(27)

DAFTAR PUSTAKA

El- Muhtaj, Majda, M.Hum. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, cet. Ke-2, Jakarta: Kencana, 2007

Prof. Dr. I Atmadja, Dewa Gede, SH., MS, Hukum Konstitusi, cet. ke-2, Malang: Setara Press, 2012

Hartono, M. Dimyati, Problematika dan Solusi Amandemen UUD 1945 Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009

Muladi, Hak Asasi Manusia Bandung: PT Refika Aditama, 2009

Referensi

Dokumen terkait

kontemporer – misalnya- membagi katagori zakat kedalam sembilan katagori; zakat binatang ternak, zakat emas dan perak yang juga meliputi uang, zakat kekayaan

Perancangan perangkat keras terdiri atas modul-modul yang berfungsi sebagai pengendali kerja dari motor konveyor dan buka/tutup sumber radiasi.. Sedangkan untuk

Jika diperhatikan pendapat Bawengan tersebut diatas, maka timbul kesan bahwa pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 339 KUHPidana dilakukan karena terpaksa, akan

Berbeda hal-nya dengan di Desa Jambu, sebagian besar lansia memiliki kualitas hidup yang kurang pada domain kesehatan fisik, lingkungan dan hubungan sosial dengan

masyarakat Mandar di Kecamatan Sendana Kabupaten Majene ialah diantaranya: (1) penentuan calon dilihat dari akhlaknya yang baik (agama); (2) penjajakan dengan maksud

Hasil observasi di zona akses dari transportasi lain ke pintu masuk ditemukan bahwa terdapat 13 titik hambatan yang menyulitkan penyandang disabilitas tunadaka

Menentukan parameter sebagai input Input yang digunakan dalam dalam penjadwalan komponen menggunakan algoritma simulated annealing selain waktu penyelesaian dan

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan menganalisis kinerja keuangan perusahaan di sektor pertanian yang tercatat di BEI dengan menggunakan metode EVA, MVA,