• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENJAMINAN MUTU DALAM PENERIMAAN PASIEN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENJAMINAN MUTU DALAM PENERIMAAN PASIEN"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Kelompok

PENJAMINAN MUTU DALAM PENERIMAAN PASIEN BARU DI UNIT GAWAT DARURAT

Disusun untuk memenuhi Tugas

Mata Kuliah: Mutu dan pelayanan Kesehatan Dosen Pengampu: M. Rofi’i, S. Kp., M. Kep

Oleh:

Kusnadi Jaya 22020114410044

Wiwin Nur Aeni 22020114410050

Candra Dewi Rahayu 22020114410051 Sri Siska Mardiana 22020114410052

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO

(2)

Page 1 of 24 A. Pendahuluan

Rumah sakit sebagai salah satu fasilitas pelayanan kesehatan perorangan merupakan bagian dari sumber daya kesehatan yang sangat diperlukan dalam mendukung penyelenggaraan upaya kesehatan. Penyelenggaran pelayanan kesehatan di rumah sakit mempunyai karakteristik dan organisasi yang sangat kompleks. Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuan yang beragam, berinteraksi satu sama lain.

Berbagai jenis tenaga kesehatan dengan perangkat keilmuan yang beragam, berinteraksi satu sama lain. Ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran yang berkembang sangat pesat yang perlu diikuti oleh tenaga kesehatan dalam rangka pemberian pelayanan yang bermutu standar, membuat semakin kompleksnya permasalahan di rumah sakit. Pada hakekatnya rumah sakit berfungsi sebagai tempat penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Fungsi dimaksud memiliki makna tanggung jawab yang seyogyanya merupakan tanggung jawab pemerintah dalam meningkatkan taraf keejahteraan mesyarakat.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan Standar Pelayanan Minimal BAB I ayat 6 menyatakan : Standar pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat SPM adalah ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib daerah yang berhak diperoleh setiap warga negara secara minimal. Ayat 7. Indikator SPM adalah tolak ukur untuk prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi didalarn pencapaian suatu SPM tertentu berupa masukan, proses, hasil dan atau manfaat pelayanan.

Sebagai bagian integral pelayanan keperawatan, pelayanan kegawat daruratan harus sesuai dengan SPM. Pelayanan keperawatan gawat darurat mengutamakan akses pelayanan kesehatan bagi korban dengan tujuan untuk mencegah dan mengurangi angka kesakitan, kematian dan kecacatan [22].

(3)

Page 2 of 24

keseluruhan. Untuk lebih mendalami bagaimana penjaminan mutu diselenggarakan di rumah sakit, maka Penulis melakukan studi observasi tentang pelayanan pasien baru di UGD yang dilakukan di RSUD dr. Soenarto Gemolong. Alasan pemilihan RS tersebut karena merupakan salah satu rumah sakit yang dikonversi dari Puskesmas Perawatan dengan type D. rumah sakit yag sedang berbenah tentu membutuhkan terobosan-terobosan dan perubahan-perubahan ke arah yang lebih baik. Hasil dari kajian yang Penulis lakukan diharapkan dapat memberikan masukan bagi RS dalam upaya penjaminan mutu kedepan.

B. Telaah literatur

Tidak semua pasien dengan kondisi akut merasa perlu dibawa ke Unit Gawat Darurat (UGD). Beberapa bahkan merasa sangat puas jika memungkinkan untuk dirawat di rumah tanpa harus berlama-lama di UGD [1]. Bahkan lebih dari separuh pasien yang mengalami kegawatan di rumah di Kanada merasa sangat puas jika dikunjungi oleh terapis keluarga atau sekedar konsultasi per telepon [2]. Karena itu screening kegawatan pada fase akut harus dilakukan dengan baik untuk memutuskan pertolongan yang dibutuhkan. Screening yang meragukan menyebabkan banyak waktu dihabiskan oleh pasien di UGD, dan jika petugas tidak mengetahui harapan pasien terhadap kunjungan ke UGD tersebut tentu akan menyebabkan ketidakpuasan. Selain itu, penanganan oleh berbagai tenaga profesional di UGD juga dapat menambah ketidakpuasan pasien. Misalnya pada saat melakukan assesment awal, masing bertindak dengan cara mereka masing-masing bahkan mengulang-ulang beberapa prosedur yang sama.

(4)

Page 3 of 24

langsung untuk kondisi yang mendesak [3]. Perpaduan dari komunikasi inefektif antar profesional dan banyaknya kasus-kasus non-akut di UGD yang sebenarnya tidak harus dirawat di UGD meningkatkan stress kerja dan kebosanan di antara pegawai dan sangat tidak produktif [4].

Sebuah model yang disebut Interprofessionalisme mencoba menggambarkan model perawatan dari penyedia layanan kesehatan menggunakan keterampilan yang saling melengkapi, pengetahuan dan kompetensi untuk memberikan layanan berkualitas kepada pasien. Interaksi masing-masing profesional ini ditandai oleh kepercayaan, rasa hormat dan pemahaman tentang keterampilan dan pengetahuan masing-masing [5], [6]. Namun demikian, meskipun model interprofesional dikembangkan untuk mempersingkat waktu triase dan penanganan fase akut dengan tujuan pasien menjadi puas, tetapi adakalanya pasien memiliki harapan dan keinginannya sendiri yang berbeda dengan harapan petugas. Penelitian Masso dkk (2007) di Australia mengungkapkan bahwa ternyata ada perbedaan bermakna antara petugas dan pasien dalam menentukan hal-hal yang penting untuk mereka peroleh selama di UGD yang membuktikan bahwa memang terdapat perbedaan perspektif dan kebutuhan antara petugas (dokter dan perawat) maupun pasien [7], [8].

(5)

Page 4 of 24

yang mereka harapkan saat dibawa ke UGD sehingga mereka dapat turut berpartisipasi mengambil keputusan bagi dirinya sendiri.

Beberapa Rumah Sakit kemudian mengembangkan unit khusus seperti emergency short-stay unit (ESSU). Penelitian Arendts dkk (2006) di Australia melaporkan bahwa sebagian besar pasien ESSU yang memperoleh discharge planing dengan baik merasa puas dengan metode ini. Hanya sebagian kecil yang melakukan kunjungan ke RS lain sesudah pulang atau kembali lagi untuk keluhan yang sama [12]. Dengan demikian, pelayanan singkat di UGD dapat meningkatkan kualitas pelayanan. Bahkan di Irlandia disepakati bahwa dalam waktu kurang dari 6 jam pasien harus sudah memperoleh keputusan apakah mereka akan dirawat atau dipulangkan [13]. Di Swiss, pasien-pasien yang dipulangkan oleh petugas UGD, akan di follow-up oleh petugas on-call yang bekerja di luar jam dinasnya [14]. Di Australia, pasien dengan penyakit kronis yang sering bolak-balik ke rumah sakit ditangani secara berbeda dengan pasien dengan kondisi akut (gawat-darurat). Mereka dipandu oleh petugas khusus (care navigation) yang mengelola mulai dari kedatangan di RS, monitoring selama perawatan hingga koordinasi dengan perawat komunitas saat pasien keluar RS. Kebijakan ini diterapkan untuk memfokuskan area kerja petugas gawat-darurat di UGD [15]. Kebijakan ini juga efektif apabila diterapkan terhadap pasien lansia maupun gangguan jiwa [16].

(6)

Page 5 of 24

Sebuah model yang dikembangkan di Finlandia mencoba mengatasi masalah-masalah tersebut dengan cara membagi peran penanganan menjadi penanganan primer dan sekunder. Penanganan primer bertanggung jawab untuk penilaian awal dan pengobatan. Mereka juga mengatur rujukan dan akses ke perawatan sekunder. Mereka menerapkan Sistem Triase ABCDE yang terbukti mengurangi crowdeed di UGD. Triage dilakukan secara face-to-face kemudian diberikan inisial menggunakan huruf, misalnya huruf A (pasien dikirim langsung ke perawatan sekunder), B (untuk diperiksa dalam waktu 10 menit), C (Untuk diperiksa dalam waktu 1 jam), D (untuk diperiksa dalam waktu 2 jam) dan E (tidak perlu pengobatan segera) untuk menilai urgensi kebutuhan perawatan pasien [3].

C. Identifikasi tema penting

Berdasarkan paparan dan telaah literatur di atas maka dapat diidentifikasi tema-tema penting sebagai dasar dalam menyusun aplikasi, sebagai berikut :

1. Tidak semua pasien yang datang ke UGD harus ditangani di UGD. Ada yang boleh pulang atau langsung ke unit rawat inap.

2. Assesment awal pasien gawat darurat harus dilaksanakan terpadu, tidak tumpang tindih.

3. Pemulangan pasien dari UGD harus disertai dengan discharge planning yang memadai dan ditindaklanjuti dengan mengaktifkan petugas on-call dan home care.

4. Kasus-kasus penyakit kronis, lansia atau gangguan jiwa yang tidak mengandung unsur kegawat-daruratan harus dieliminasi dan ditangani di luar konteks gawat darurat.

5. Perspektif perawat, dokter dan pasien terhadap penatalaksanaan gawat darurat harus disetarakan dalam waktu relatif singkat. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian informasi standar yang dapat diakses pasien dan keluarga secara mandiri.

(7)

Page 6 of 24 D. Hasil Observasi di RS dr. Soenarto Gemolong

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

129/Menkes/SK/II/2008 Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit merupakan pondasi utama dalam konteks penjaminan mutu. Dalam melakukan pengamatan ini maka kerangka utama yang digunakan adalah SPM Pelayanan Gawat Darurat sesuai dengan Kepmenkes di atas. Untuk memperluas pemahaman, maka Penulis juga melakukan pengamatan terhadap hal-hal lain yang berhubungan dengan penjaminan mutu serta standar-standar yang dimiliki oleh RS dalam konteks menjaga mutu sebagaimana hasil telaah jurnal yang telah dilakukan.

Tabel 1.

Hasil Pengamatan SPM Pelayanan Gawat Darurat UGD RS dr. Soenarto Gemolong

No Indikator Standar Hasil Kesan

1 Kemampuan menangani life saving anak dan dewasa

100% Dilaporkan oleh Ka. Ru. bahwa perawat terampil dalam

Gawat Darurat 24 jam Dilaporkan oleh Ka. Ru. bahwa UGD buka 24 jam dan menjadi pintu masuk sesudah pelayanan Poliklinik berakhir

Standar dapat dipenuhi

3 Pemberi pelayanan gawat darurat yang bersertifikat yang masih berlaku BLS/PPGD/GELS/ALS

100% Dilaporkan oleh Ka. Ru. bahwa 11 orang perawat UGD

penanggulangan bencana 1 tim Dilaporkan oleh Ka. Ru. bahwa RS belum memiliki tim penanggulangan bencana

Kemungkinan besar saat ini belum dibutuhkan 5 Waktu tanggap pelayanan

Dokter di Gawat Darurat ≤ lima menit

(8)

Page 7 of 24 pelayanan RS sudah

memuaskan dan sesuai dengan harapan. 1 orang tidak sempat diwawancara karena sedang

Menurut Ka. Ru. pasien yang ditangani jarang meninggal di UGD.

Hasil observasi : pasien banyak menunggu antrian masuk ruang rawat inap

Belum dapat disimpulkan

8 Tidak adanya pasien yang diharuskan membayar uang muka

100% Hasil observasi : tidak ada

pasien yang diminta uang muka Standar dapat dipenuhi

Berdasarkan tabel 1 di atas maka dapat disimpulkan bahwa secara umum indikator pelayanan minimal sudah terpenuhi. Selanjutnya Penulis melakukan pengamatan menggunakan perspektif berbeda sebagai pengembangan. Hasil pengamatan yang Penulis lakukan selama 3 jam pengamatan dengan jumlah total 6 orang pasien di ruang UGD RS dr. Soenarto Gemolong mendapat hasil bahwa menurut pasien dan keluarga yang diamati, dalam pemberian pelayan sudah cukup bagus perawat cepat menangani kondisi pasien akan tetapi ada 3 pasien yang belum mengatahui diagnosa penyakitnya. Hal lain dijelaskan oleh pasien dan keluarga mereka sudah dilakukan perawatan di UGD selama 1 hari. Pasien menyampaikan, “Saya dirawat sudah dari kemarin mbak, tapi belum dipindah ke ruangan, kata Perawat ruangannya penuh”.

(9)

Page 8 of 24

inap) sehingga hal tersebut menjadi suatu kendala dalam pemberian pelayanan di UGD. Berdasarkan perluasan konteks dan topik observasi, maka Penulis mencoba membandingkan beberapa aspek untuk memperoleh gambaran masalah dengan lebih baik.

Berikut adalah alur penerimaan pasien baru di RS dr. Soenarto Gemolong berdasarkan hasil pengamatan.

Gambar 1

Alur Paien Masuk UGD Rumah Sakir dr. Soenarto Gemolong

Pasien Masuk (belum ada SPO penerimaan pasien baru)

Amannesa oleh perawat

Penjelasan kepada keluarga pasien

Perawatan di RS

Pasien Pulang Keluarga mendaftarkan

pasien

Perawatan di RS

Pemesanan kamar Konfirmasi ruangan Memindahkan pasien ke ruang pewarawatan

(blm ada SPO) Lapor dokter

Menulis RM dan resep Pemeriksaan Dokter

Rekam Medik Catatan keperawatan dan

(10)

Page 9 of 24

Hasil pengamatan tersebut kemudian dibandingkan dengan hasil ekstraksi dari jurnal dan dituangkqan dalam tabel 2 berikut

Tabel 2

Perbandingan hasil ekstraksi literatur dan hasil observasi

Hasil ekstraksi literatur Hasil observasi Rekomendasi

Tidak semua pasien yang datang ke UGD harus ditangani di UGD. Ada yang boleh pulang atau langsung ke unit rawat inap.

Ada 3 pasien yang sudah berada di UGD lebih dari 24 jam untuk antri masuk ruangan perawatan.

Terbatasnya kapasitas rawat inap harus diatasi dengan mengoptimalkan triase. Pasien harus diorientasikan kembali tentang kebutuhan untuk rawat inap berdasarkan

kondisinya. Apabila

dibutuhkan, RS dapat

membuat unit rawat sehari. Assesment awal pasien gawat

darurat harus dilaksanakan terpadu, tidak tumpang tindih.

Hasil observasi, perawat melakukan pemeriksaan fisik pertama kali kemudian lapor dokter jaga. Dokter kemudian

mengkonfirmasi dengan

memeriksa ulang kemudian menuliskan resep/memberikan harus disertai dengan discharge planning yang memadai dan ditindaklanjuti dengan cara mengaktifkan petugas on-call dan home care.

Dari 6 pasien yang ada selama observasi tidak ada yang dipulangkan. Sebanyak 3 dari 6 pasien belum ditegakkan diagnosa dan menunggu di UGD lebih dari 24 jam

Pasien yang sudah stabil dan tidak ada indikasi rawat inap

sebaiknya dipulangkan

dengan discharge planning yang baik.

Kasus-kasus penyakit kronis, lansia atau gangguan jiwa yang tidak mengandung unsur kegawat-daruratan harus dieliminasi dan ditangani di luar konteks gawat darurat.

Selama observasi tidak ada kasus gangguan jiwa maupun penyakit kronis.

Perspektif perawat, dokter dan

pasien terhadap

penatalaksanaan gawat darurat harus disetarakan dalam waktu relatif singkat. Hal ini dapat diatasi dengan pemberian informasi standar yang dapat diakses pasien dan keluarga secara mandiri.

Hasil observasi : Tidak ditemukan leaflet atau bagan alur yang ditempelkan di ruangan tentang alur pelayanan. Pasien yang sudah lama menunggu di UGD juga tidak pernah diberikan penyuluhan agar dirawat di rumah.

Dibuat bagan alur dan SPO triase maupun penanganan pasien di rawat darurat dan ditempelkan di dinding ruangan sebagai bagian dari pemberian informasi kepada pasien.

Dibutuhkan sistem seleksi kondisi kegawatdaruratan yang memiliki lebih banyak gradasi untuk menurunkan kejadian crowdeed di UGD

Menurut Ka. Ru. beberapa kali UGD penuh dengan pasien karena Ruangan Perawatan penuh, sehingga petugas UGD kewalahan.

(11)

Page 10 of 24

Berdasarkan tabel 2 di atas maka dapat dibuat beberapa rekomendasi untuk penjaminan mutu sebagai berikut :

1. Assesmen terintegrasi perawat dan dokkter dalam satu periode. Untuk itu dibutuhkan format dokumentasi terintegrasi untuk UGD.

2. Dibutuhkan SPO penerimaan pasien baru dan penatalaksanaan di UGD.

3. Dibutuhkan sosialisasi tentang bagan alir penerimaan pasien baru yang dapat diakses oleh pasien dan keluarga.

4. Dibutuhkan unit rawat sehari sebagai transit dan observasi selama fase akut yang terpisah dari UGD

E. Desain aplikasi

Aplikasi ini merupakan kombinasi sistem penapisan yang dikembangkan dalam penelitian Kantonen (2010) yang dipadukan dengan support system yang dikembangkan oleh Arendts (2006) dan Huber (2011). Pada tahap awal, harus disepakati terlebih dahulu kode-kode yang akan diterapkan berdasarkan hasil screening, yaitu :

1. A : Langsung Masuk Ruang Rawat

2. B : Untuk diperiksa dalam waktu kurang dari 10 menit

3. C : Untuk diperiksa dalam waktu 1 jam

4. D : Untuk diperiksa dalam waktu 2 jam

5. E : Boleh dirawat di rumah

(12)

Page 11 of 24

Gambar 2

Metoda Screening Pasien Di UGD

F. Rancangan Standar Prosedur Operasional

Pusdiklat Aparatur Badan PPSDM Kesehatan Kementerian Kesehatan 2013 menjelaskan pentingnya SPO dalam pemberian pelayan keperawatan karena SPO merupakan panduan hasil kerja yang diinginkan serta proses kerja yang harus dilaksanakan. SPO dibuat dan di dokumentasikan secara tertulis yang memuat prosedur (alur proses) kerja secara rinci dan sistematis. Alur kerja (prosedur) tersebut haruslah mudah dipahami dan dapat di implementasikan dengan baik dan konsisten oleh pelaku. Implementasi SPO yang baik akan menunjukkan konsistensi hasil kerja, hasil produk dan proses pelayanan seluruhnya dengan mengacu kepada kemudahan, pelayanan dan pengaturan yang seimbang [23]. Berdasarkan paparan di atas maka penulis yang juga sebagai observer dalam kegiatan ini merasa perlu menyusun SPO tentang penerimaan pasen baru di Unit Gawat Darurat.

Pasien datang ke UGD

Screening

B, C, D

A E

Rawat Inap

1. Aktifasi care-navigation bagi pasien tetap dengan kondisi kronis

2. Aktifasi rujukan bagi kasus gangguan jiwa 3. Case-manager

UGD

1. Aktifasi SPGDT

2. Integrated Care Pathway

Pulang

1. Aktifasi on-call services

(13)

Page 12 of 24 SPO Penerimaan Pasien Baru di IGD

1. Pengertian :

Sebuah prosedur kerja yang dilakukan oleh tenaga kesehatan yang bertugas di ruang IGD dalam menerima pasien baru dan arahan tindakan berikutnya.

2. Tujuan :

Memberikan pelayanan gawat darurat yang cepat, tepat, dan akurat. 3. Ruang Lingkup :

a. Triase

b. Pendaftaran pasien c. Evaluasi awal d. Costumer care 4. Prosedur pelaksanaan :

a. Triase

1) Pasien yang diantar ambulance atau membutuhkan resusitasi/emergensi dan didampingi perawat, pemeriksaan triase dilakukan dengan cara Walk In Triase. pengantar mengaktifkan sistem alert lalu serah terima kepada tim IGD.

2) Pasien yang diantar bukan oleh ambulance, perawat melakukan triase di IGD.

3) Apabila hasil triase :

Pasien dengan kriteria gawat dan atau darurat, ditangani oleh tim IGD Pasien dengan false emergency atau not urgent, dapat ditangani dalam waktu maksimal 2 jam, khusus bagi lansia (>65 tahun) dan batita (<3 tahun) didahulukan. Pasien yang tidak gawat dan tidak darurat boleh pulang dengan mengaktifkan on-call service atau home care

(14)

Page 13 of 24

b. Pendaftaran pasien

1) Keluarga pasien diarahkan untuk melakukan pendaftaran kepada petugas pendaftaran ketika pasien diperiksa

2) Petugas pendaftaran mendokumentasikan data pasien

3) Petugas pendaftaran menyerahkan rekam medik pasien ke ruang IGD dan menyimpan di folder pasien baru IGD

c. Evaluasi awal

1) Dokter jaga menerima serah terima pasien dari perawat dan menandatangani form triase di kolom dokter jaga

2) Dokter melakukan proses evaluasi awal, anamnesa singkat, dan pemeriksaan fisik.

3) Dokter menetapkan diagnosa medis sementara 4) Dokter melakukan penanganan awal

5) Dokter menentukan penempatan ruang bagi pasien d. Costumer care

1) Costumer care menjelaskan hak dan kewajiban pasien

2) Costumer care menjelaskan mekanisme pembayaran dan penjaminan di IGD

3) Costumer care memberikan kartu tunggu pasien yang hanya diperuntukkan bagi satu penunggu.

(15)

Page 14 of 24

Jika merujuk dan mebandingkan rencana aplikasi dan SPO yang dirancang oleh observer maka dengan alur yang dapat digunakan di RS dr. Soenarto Gemolong dalam dilihat dalam bagan berikut:

Tabel 3

Perbandingan Penilaian Alur Pasien Masuk

Penilaian RSUD Gemolong Rancangan

Penerimaan pasien baru Penerimaan pasien baru belum

tentu oleh perawat Penerima pasien adalah tenaga kesehatan terlatih

Triase Proses triase belum berjalan

optimal Proses triase dilaksanakan pada saat pasien baru masuk UGD dan harus oleh oleh tenaga kesehatan terlatih (perawat/dokter)

Pendaftran pasien Pendaftaran dilakukan oleh pasien/keluarga/penanggung

jawab dengan arahan

perawat/tenaga kesehatan

Pendaftaran dilakukan oleh pasien/keluarga/penanggung

jawab dengan arahan

perawat/tenaga kesehatan atau dengan membaca leaflet / poster yang ditempelkan di dinding.

Evaluasi awal Evaluasi awal dilakukan oleh

dokter jaga UGD Evaluasi awal dilakukan oleh dokter jaga UGD Costumer care Dijelaskan oleh perawat Dijelaskan oleh perawat atau

petugas kesehatan yang lain

Standar Prosedur

Operasional (SPO) Belum ada SPO penerimaan pasien baru Rancangan SPO penerimaan pasien baru

(16)

Page 15 of 24

Pendaftaran yang dilakukan oleh keluarga pasien secara langsung merupakan suatu upaya memandirikan pasien dan keluarga karena asuhan keperawatan menurut perspektif Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 Tentang Keperawatan adalah rangkaian interaksi antara perawat dengan klien dan lingkungannya untuk mencapai kebutuhan pemenuhan dan kemandiran klien dalam merawat dirinya [19]. Penelitian yang dilakukan oleh Petsunee Thungjaroenkul pada tahun 2007 kemandirian pasien akan memperpendek lama perawatan hal ini disebabkan karena perawatan yang dilkukan lebih efektif dan efisien sehingga menekan biaya menurunkan LOS dan meningkatkan kepuasan pasien [20].

Pada kenyataan yang Penulis amati di Rumah Sakit Gumolong, Rumah sakit tersebut hanya mempunyai SAK (Standar Asuhan Kerja) dan Juknis (Petunjuk Teknis) akan tetapi rumah sakit belum mempunyai SPO (Standar Prosedur Operasional) tata laksana pemberian asuhan kesehatan di UGD. SPO merupakan tolok ukur dalam menilai mutu dan penampilan kinerja, memberi arah dan bimbingan langsung dalam asuhan sehingga dapat digunakan untuk menilai diri sendiri, inspeksi dan akreditasi. Berdasarkan fungsi tersebut, maka SPO harus direvisi secara berkala sesuai situasi, kondisi serta perkembangan IPTEK. SPO yang tersusun harus sesai dengan SPM yang mengacu pada Visi, Misi dan Tujuan Rumah Sakit. SPO akan membenatu perawat dalam meberikan pelayanan/ asuhan keperawatan yang berkualitas [21].

G. Tahap Perencanaan Plan Of Action Penerimaan Pasien Baru Di UGD

1. General

a. Management Support  Sebagai pekerjaan awal yang dapat dilakukan adalah menginformasikan kepada pimpinan tentang pentingnya SPO penerimaan pasien baru di Rumah sakit. Serta meminta persetujuan mengembangkan SPO penerimaan pasien baru di UGD sesuai dengan tuntutan pelanggaan dan kebutuhan Rumah Sakit

(17)

Page 16 of 24 c. Coordination Memberikan nama koordinator dan jika memungkinkan

segera membentuk tim (idealnya multidisiplin) yang membawahi program penyususnan SPO Penerimaan paien baru di UGD

d. Integration and alignment mengidentifikasi kebijakan, protokol dan SAK yang telah berlaku kemudian disesuaikan dengan Plan Of Action yang akan dikembangkan

2. System Change

a. Baseline assessment  menganalisis dan melaporkan infrastruktur dlm pelaksanaan penerimaan Pasien baru di UGD

b. Standar Prosedur Operasional (SPO) products  Membuat SPO menerimaan pasien baru dan SPO pengawasan terhadap alur pasien masuk ke UGD.

c. Management support  Setelah semua data kita dapat maka langkah selanjutnya adalah membuat proposal untuk segera melakukan perubahan dimana di dalamnya juga memuat tentang hasil kesesuaian antara guideline yang ada dan kondisi selama ini  Hal ini bertujuan untuk mendapatkan dukungan dari pihak pimpinan maupun manager, termasuk dukungan keuangan.

3. Training/ Education

a. Planning  mengevaluasi trainer terlatih yang tersedia di rumah sakit, mengamati serta menentukan besarnya biaya untuk mengadakan pelatihan bagi calon trainer atau trainer yang sudah

b. Execution  Melatih trainer sebaik mungkin untuk mengawasi kegiatan pengawasan SPO penerimaan pasien masuk UGD dan merancang program dasar untuk melakukan edukasi ke semua staff rumah sakit.

(18)

Page 17 of 24

4. Feed Back and Evaluation

a. Regular evaluation  Adanya prioritas dan rencana dilakukannya follow-up berkala tentang kepatuhan staff dalam melaksanakan SPO penerimaan pasien baru di UGD

b. Access to expertise  Mengidentifikasi dan mencari ahli untuk melakukan evaluasi.

c. Feedback  menciptakan dan menjaga sistem pencatatan dan pelaporan hasil secepat mungkin baik dari staff maupun dari manajer senior serta membuka komunikasi antar bidang.

5. SafetyClimate

Dalam hal iklim keselamatan, ada beberapa hal yang perlu dilakukan dalam melakukan perubahan hand hygiene antara lain :

a. Multimodal approach  Melakukan rencana penilaian penggunaan SPO penerimaan pasien baru di UGD. menggunakan menggunakan format penilaian kepatuhan penggunaan SPO dalam penerimaan pasien baru di ruang UGD. Self-Assessment secara berkala, seperti setiap 3 bulan atau 6 bulan sekali oleh para manajemen rumah sakit.

b. Budget  Membuat proposal biaya jangka pendek dan jangka panjang untuk semua aktivitas yang sudah direncanakan, berdasarkan sumber daya yang sudah ada (baik lama maupun yang baru), serta mengevaluasi dan menentukan proposal biaya tersebut dengan manajemen rumah sakit.

c. Communication  Sesering mungkin mengirim pesan baik langsung maupun tidak langsung (short message) dengan isi yang berbentuk motivasi dan dukungan kepada tim yang terkait penerimaan pasien baru sesuai dengan SPO yang telah dibentuk dan disepakati.

(19)

Page 18 of 24

e. Role model  Dalam melakukan perubahan asuhan keperawata yang sesuaai dengan SPO dilakukan oleh semua perawat. Hal ini diharapkan dapat menciptakan budaya kerja yang terstruktur.

(20)

Page 19 of 24

Tabel 4

Planing Of Action Rancangan Aplikasi

Intervensi Tujuan Rincian Kegian Unit terkait Strategi Kegiatan Output Tempat Waktu Mulai

Langsung Pendukung

1. Mengkomunikasikan hasil kajian dan gagasan perubahan kepada manajer dan stakeholder

change Melakukan perubahan secara terencana

1. Melakukan inisiasi penerapan sistem triase dan SPO

education Pengembangan kapasitas SDM berkelanjutan

1. Penjajakan dan pembentukan Mitra Bestari melibatkan institusi pendidikan 2. Pelatihan / inhouse-training

tentang penanganan pasien gawat darurat di UGD

Direktur - Bagian

perencanaan Pelatihan terlaksana RSUD Gemolong Tahun bulan VII II minggu ke 1 Feedback

and evaluation

Monitoring

(21)

Page 20 of 24 dan etos kerja

yang berorientasi keselamatan pasien

- DPRD 2. Kebijakan politis : Pelayanan

Prima Direktur - Pemerintah Daerah

- DPRD 3. Kebijakan politis : Akreditasi

KARS Direktur - Pemerintah Daerah

(22)

Page 21 of 24 H. Kepustakaan

[1] A. H. Swain, M. Al-salami, S. R. Hoyle, and P. D. Larsen, “Patient satisfaction and outcome using emergency care practitioners in New Zealand Methods : Results : Conclusion :,” Emerg. Med. Australas., vol. 24, pp. 175–180, 2012.

[2] M. Howard, J. Goertzen, B. Hutchison, J. Kaczorowski, and K. Morris, “Patient satisfaction with care for urgent health problems: a survey of family practice patients.,” Ann. Fam. Med., vol. 5, no. 5, pp. 419–424, 2007.

[3] J. Kantonen, J. Kaartinen, J. Mattila, R. Menezes, M. Malmila, M. Castren, and T. Kauppila, “Impact of the ABCDE triage on the number of patient visits to the emergency department.,” BMC Emerg. Med., vol. 10, no. 00014, p. 12, 2010.

[4] M. Arora, S. Asha, J. Chinnappa, and A. D. Diwan, “Review article : Burnout in emergency nnedicine physicians,” Emerg. Med. Australas., vol. 25, pp. 491–495, 2013.

[5] A. Tran, “‘Acute caring’ in the emergency department,” J. Interprof. Care, vol. 26, no. July, pp. 505–507, 2012.

[6] J. Considine, R. Martin, D. Smit, J. Jenkins, and C. Winter, “Defining the scope of practice of the emergency nurse practitioner role in a metropolitan emergency department,” Int. J. Nurs. Pract., vol. 12, no. 4, pp. 205–213, 2006.

[7] M. Masso, A. J. Bezzina, P. Siminski, R. Middleton, and K. Eagar, “Why patients attend emergency departments for conditions potentially appropriate for primary care: Reasons given by patients and clinicians differ,” EMA - Emerg. Med. Australas., vol. 19, no. 4, pp. 333–340, 2007.

[8] C. Richmond, E. Merrick, T. Green, M. Dinh, and R. Iedema, “Bedside review of patient care in an emergency department: The Cow Round,” EMA - Emerg. Med. Australas., vol. 23, no. 5, pp. 600–605, 2011.

[9] D. F. Blake, D. B. Dissanayake, R. M. Hay, and L. H. Brown, “‘Did not waits’: A regional Australian emergency department experience,” EMA - Emerg. Med. Australas., vol. 26, no. 2, pp. 145–152, 2014.

(23)

Page 22 of 24

[11] V. Vega and S. J. J. M. C. Guire, “Program at St . Joseph Hospital,” Hosp. Top. Res. Perspect. Healthc., vol. 85, no. 4, pp. 17–24, 2007.

[12] G. Arendts, J. MacKenzie, and J. K. Lee, “Discharge planning and patient satisfaction in an emergency short-stay unit,” EMA - Emerg. Med. Australas., vol. 18, no. 1, pp. 7–14, 2006.

[13] S. Byrne, V. Small, F. McDaid, M. Forde, U. Geary, and S. O’Connor, “A new era for emergency care services in Ireland,” Emerg Nurse, vol. 20, no. 5, pp. 18– 20, 2012.

[14] C. a. Huber, T. Rosemann, M. Zoller, K. Eichler, and O. Senn, “Out-of-hours demand in primary care: Frequency, mode of contact and reasons for encounter in Switzerland,” J. Eval. Clin. Pract., vol. 17, no. 1, pp. 174–179, 2011.

[15] N. Plant, K.-A. Mallitt, P. J. Kelly, T. Usherwood, J. Gillespie, S. Boyages, S. Jan, J. McNab, B. M. Essue, K. Gradidge, N. Maranan, D. Ralphs, C. Aspin, and S. Leeder, “Implementation and effectiveness of ‘care navigation’, coordinated management for people with complex chronic illness: rationale and methods of a randomised controlled.,” BMC Health Serv. Res., vol. 13, no. 1, p. 164, 2013.

[16] a. C. Tricco, J. Antony, N. M. Ivers, H. M. Ashoor, P. a. Khan, E. Blondal, M. Ghassemi, H. MacDonald, M. H. Chen, L. K. Ezer, and S. E. Straus, “Effectiveness of quality improvement strategies for coordination of care to reduce use of health care services: a systematic review and meta-analysis,” Can. Med. Assoc. J., vol. 186, no. 15, pp. E568–E578, 2014.

[17] E. J. Carter, S. M. Pouch, and E. L. Larson, “The Relationship Between Emergency Department Crowding and Patient Outcomes: A Systematic Review,” J Nurs Sch., pp. 106–115, 2013.

[18] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Kemenken NOMOR 129/Menkes/SK/II/2008. Tentang Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit. Kepenterian Kesehatan Republik Indonesia

[19] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Undang-Undang Republik Indonesia No 38 tahun 2014 Tentang keperawatan

(24)

Page 23 of 24

[21] Mulyana ratnasari. 2010. Penerapan Pengembangan Manajemen Kinerja (PMK) Klinik Bagi Perawat Dan Bidan Pada Sistem Remunerasi. Universitas Indonesia.

[22] Direktorat Bina Pelayanan Keperawatan Dan Keteknisian Medik. 2011. Standar Pelayanan Keperawatan Gawat Darurat Di Rumah Sakit. Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan RI.

Gambar

Tabel 1. Hasil Pengamatan SPM Pelayanan Gawat Darurat UGD RS dr. Soenarto Gemolong
Gambar 1 Alur Paien Masuk UGD Rumah Sakir dr. Soenarto Gemolong
Tabel 2 Perbandingan hasil ekstraksi literatur dan hasil observasi
Gambar 2 Metoda Screening Pasien Di UGD
+2

Referensi

Dokumen terkait

Pelaksanaan tindakan pada pertemuan kedua siklus 1 adalah konselor mengungkapkan kembali hasil dari pemberian layanan bimbingan konseling dengan pendekatan bimbingan kelompok

Berdasarkan pada Tabel 4-1 (halaman 150), berapa volume reaktor batch yang akan dibutuhkan untuk memproses spesies A per hari dengan jumlah yang sama sebagai laju

Dengan adanya aplikasi bahasa isyarat ini diharapkan dapat membantu anak-anak penyandang disabilitas tuna runggu dalam belajar mengenal huruf dan angka. Rekayasa

Elemen berspasi diperbolehkan terdiri dari dua atau lebih bagian yang mempunyai ketebalan tidak kurang dari 76 mm di mana diganjal secara padat di seluruh

P333 + P313 - Jika terjadi iritasi kulit atau ruam kulit: Dapatkan saran/ pertolongan medis P302 + P352 - JIKA TERKENA KULIT: Cuci dengan sabun dan air yang banyak.. P280 -

Laporan pisah batas bank sebaiknya dikirim langsung oleh bank kepada auditor. Oleh karena itu, auditor perlu meminta klien membuat surat permintaan kepada bank untuk

Proses pengambilan data mengetahui fenomena microbubble yang terjadi setelah keluar dari test section diambil berdasarkan hasil yang didapat dari test section dengan cara

Indikator kinerja program adalah: (1) jumlah masyarakat yang mengakses perpustakaan; (2) jumlah koleksi perpustakaan; (3) jumlah perpustakaan di Indonesia yang dikelola