Kehidupan di zaman modern dan global sekarang telah jauh berbeda dengan
kehidupan di zaman Rasulullah SAW. Perubahan sosial dalam berbagai aspek selalu
melahirkan tuntutan agar perangkat hukum yang menata masyarakat haruslah ikut
berkembang bersamanya.1
Perubahan sosial dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti kependudukan,
habitat fisik, teknologi atau struktur dan kebudayaan masyarakat, sedangkan
prosesnya dapat didorong oleh kemajuan sistem pendidikan, sikap toleransi terhadap
penyimpangan perilaku, sistemstratifikasi sosial yang terbuka, tingkatheterogenitas
penduduk, dan rasa ketidakpuasan terhadap kondisi kehidupan tertentu.2
Dalam hubungannya dengan masyarakat, hukum mempunyai dua fungsi, yaitu
sebagaisocial engineering dan social control. Pada fungsi pertama, hukum berperan
menciptakan perubahan struktur sosial dan memacu masyarakat agar bergerak.
Artinya hukum-hukum diatur untuk tujuan menggerakkan masyarakat pendukungnya
supaya maju. Sebaliknya, pada fungsi kedua hukum itu berperan memelihara
stabilitas sosial serta menggendalikan arah dan mengontrol lajunya perubahan
masyarakat, agar tidak keluar dari ketentuan-ketentuan yang berlaku. Dalam kaitan
1M.Hasballah Thaib,Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam,Konsentrasi Hukum
Islam( Medan : Pasca Sarjana USU, 2002), hal. 5 2
ini, hukum selalu ketinggalan dari, dan mengalami tarik menarik dengan tuntutan
perubahan masyarakat yang dinamis. Pada satu sisi hukum menggekang berbagai
gerakan masyarakat, dan disisi lainnya dinamika masyarakat selalu menuntut agar
hukum menyesuaikan diri dengan kebutuhan zaman.3
Indonesia adalah Negara hukum yang sangat majemuk akan segala budaya.
Dalam perkembangan hukum yang terjadi di Indonesia, hukum Islam termasuk
menjadi sumber hukum di Indonesia.4
Realitasnya, umat Islam merupakan jumlah mayoritas di negeri ini. Karenanya
wajar jika harapan umat Islam pada umumnya menjadikan hukum Islam sebagai
hukum positif bagi umat Islam Indonesia. Hal ini didasarkan pada cara berpikir
pandangan hidup dan karakter suatu bangsa tercermin dalam kebudayaan dan
hukumnya.5
Menurut pakar hukum Islam di Indonesia,6 pembaharuan hukum Islam yang terjadi saat ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain : pertama, untuk mengisi
kekosongan hukum karena norma-norma yang terdapat dalam kitab-kitab fikih tidak
mengaturnya, sedangkan kebutuhan masyarakat terhadap hukum terhadap masalah
yang baru terjadi itu sangat mendesak untuk ditetapkan. Kedua, pengaruh globalisasi
ekonomi dan ilmu pengetahuan dan tekhnologi sehingga perlu ada aturan hukum
3
Ramlan Yusuf Rangkuti,Fiqih Kontemporer di Indonesia studi tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia( Medan : Pustaka Bangsa Press, 2010), hal. 44-45
4 Suparman Usman, Hukum Islam : Asas-asas Pengantar Studi Hukum Islam dalam Tata
Hukum Indonesia, (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2001), hal. 122
5
R. Subekti,Perbandingan Hukum Perdata, cet.XII, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1993), hal.3 6
yang mengaturnya, terutama masalah-masalah yang belum ada aturan hukumnya.
Ketiga, pengaruh reformasi dalam berbagai bidang yang memberikan peluang kepada
hukum Islam untuk bahan acuan dalam membuat hukum Nasional. Keempat,
pengaruh pembaharuan pemikiran hukum Islam yang dilaksanakan oleh para
mujtahid baik ditingkat Internasional maupun tingkat Nasional, terutama hal-hal yang
menyangkut perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.7
Adanya faktor-faktor penyebab terjadinya pembaharuan hukum Islam
sebagaimana tersebut diatas, mengakibatkan munculnya berbagai macam perubahan
dalam tatanan sosial umat Islam, baik yang menyangkut ideologi, politik, sosial,
budaya, dan lain sebagainya. Faktor-faktor tersebut melahirkan sejumlah tantangan
baru yang harus dijawab sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari upaya
pembaharuan pemikiran hukum Islam. Untuk mengantisipasi masalah ini, maka
Ijtihad tidak boleh berhenti dan harus terus menerus dilaksanakan untuk mencapai
solusi terhadap berbagai masalah hukum baru yang sangat diperlukan oleh umat
Islam.8
Salah satu hukum Islam yang hingga sekarang masih berlaku dan
diberlakukan di Indonesia khususnya bagi umat Islam adalah Hukum Waris atau yang
disebut dengan Faraid. Hukum Waris Islam dianggap kewajiban yang harus
dilaksanakan oleh setiap muslim. Ia dianggap sebagai compulsory law (dwingent
recht) yakni hukum yang berlaku secara mutlak dan baku.9
7
Ramlan Yusuf Rangkuti, Op.Cit., hal. 45
8
Ibid. hal. 46 9
Konflik tentang hukum Waris Islam di Indonesia terutama antara kelompok
Klasik dengan kalangan yang menamakan dirinya kelompok Modernis masih
merupakan fenomena yang mengisi teks-teks hukum Waris Islam, walaupun dapat
dipastikan doktrin fikih waris sunni proSyafi’iyang banyak dianut dalam masyarakat
muslim Indonesia. Terkait dengan kesejarahannya yang panjang sejak masuknya
Islam di Indonesia.10
Doktrin fikih waris sunni pro Syafi’i hingga sekarang masih mewarnai dan
menjadi pedoman yuridis para Hakim di Pengadilan Agama. Kebutuhan akan adanya
suatu buku bagi Pengadilan Agama sudah lama menjadi catatan dalam sejarah
Departemen Agama dalam mencapai keseragaman dan rujukan hakim-hakim pada
Peradilan Agama.11
Berbagai polemik dalam hukum kewarisan Islam, terutama masalah
penentuan dan bagian yang diterima oleh seorang ahli waris yang tidak diatur secara
tegas atau pengaturannya secara garis besarnya dalam Al-Qur’an dan tidak ada
penjelasan dari As Sunnah.
Suatu terobosan yang dilakukan di Indonesia dengan tetap mendasari kepada
Al-Qur’an dan As-Sunnah serta Ijtihad para ulama fikih terdahulu, untuk dijadikan
sebagai pedoman dan acuan dalam menyelesaikan suatu masalah kewarisan
disusunlah suatu buku Kompilasi Hukum Islam yang berlaku dengan Instruksi
10
Rahmat Djatnika,Sosialisasi Hukum Islam dan Kontroversi pemikiran Islam di Indonesia, Cet II, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 244.
11
Presiden Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991, dan Surat
Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 154 tahun 1991, tanggal 22 Juli
1991.
Sebelumnya dalam penyelesaian masalah kewarisan di Indonesia memakai
hukum kewarisan dalam mazhabSyafi’idengan sistem patrilinial sesuai dengan Surat
Edaran Biro Peradilan Agama Departemen Agama RI Nomor : B/1/735 tanggal 18
Februari 1958.
Kompilasi Hukum Islam terdiri dari 3 (tiga) buku yaitu :
1) Buku I : Hukum Perkawinan
2) Buku II : Hukum Kewarisan
3) Buku III : Hukum Perwakafan
Dalam KHI pengaturan tentang ahli waris dan bagian waris dimuat dalam
buku II secara jelas dan yang merupakan ketentuan yang diatur dan diberlakunya ahli
waris pengganti dalam pembagian warisan, yang selama ini dikenal dengan mazhab
Syafi’i.
Ahli waris pengganti pada dasarnya ahli waris karena penggantian, dapat
diartikan sebagai orang-orang yang menjadi ahli waris karena orang tuanya yang
berhak mendapat warisan meninggal lebih dahulu dari pada pewaris, sehingga
kedudukannya digantikan olehnya.
Pasal 185 KHI berbunyi :
Ayat 2 : bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Jika kita cermati bunyi Pasal 185 ayat 1 mengandung pengertian luas, yang
sebelumnya para ahli fikih berbeda pendapat tentang kedudukan, jenis kelamin, hak
yang diperoleh dan batasan bagian perolehan bagi mereka yang menjadi ahli waris
pengganti. Dalam pasal tersebut semua perbedaan pendapat seperti diatas di akomodir
menjadi satu pasal yang mengandung pengertian ahli waris pengganti/ penggantian
tempat ahli waris dalam arti yang luas. Sistem kewarisan bilateral Hazairin dengan
mawali-nya pada prinsipnya sama dengan ahli waris pengganti di dalam KHI dengan
tidak meninggalkan sistem kewarisan patrilinial Syafi’i yang tidak mengenal adanya
ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris dengan acuan dan dasar utama
Al-Qur’an.
Jadi dengan ada dan berlakunya Kompilasi Hukum Islam sebagai acuan dalam
menyelesaikan masalah kewarisan di Indonesia khususnya dalam hal adanya/
tampilan ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris sebagai yang mewaris
bersama-sama dengan ahli waris lainnya.
Hazairin mengemukakan bahwa hukum kewarisan Islam menganut sistem
kewarisan Bilateral. Hal ini didasari dari penafsiran Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 11,
dalam ayat tersebut menunjukkan bahwa anak laki-laki dan anak perempuan
mewarisi dari ibu bapaknya. Ayah dan ibu mewarisi dari anaknya laki-laki maupun
anak perempuan. Ini menunjukkan bahwa hak mewaris bagi anak laki-laki dan anak
apakah yang diwarisi itu laki-laki atau perempuan, apalagi kalau ayat ini dikaitkan
dengan surat An-Nisa ayat 7 menunjukkan bahwa Al-Qur’an menghendaki sistem
bilateral dalam bidang kewarisan. Jika mengenai persoalan cucu, maka konsistensi
dengan ayat tersebut sangat penting, karena menurut Hazairin sistem kewarisan
bilateral mempunyai konsekwensi untuk adanya sistem penggantian tempat ahli
waris/ ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam.12
Penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti ditafsirkan dari ayat
Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 33 yang dikatakan sebagai ayat yang mendasari adanya
ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris. Ahli waris menurut Al-Qur’an
oleh Hazairin dibedakan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu : 1) Dzawu-al-faraid, 2)
Dzawu al-qarabat, 3) Mawali.
Dalam Al-Qur’an suart An-Nisa ayat 33 dijumpai katamawali:
“Wa likullin Ja’alna mawalia taraka walidani walaqrabuna,
walladzina’aqadat’aimanukum, faatuhum nasibahum”.
Hazairin menerjemahkan nasibahum sebagai bagian kewarisan yaitu sesuatu
bagian dari harta peninggalan. Ayat ini menjelaskan bahwa nasib itu diberikan
kepadamawali.13
Pewaris adalah ayah atau ibu atau aqrabun. Jika ayah atau ibu yang
meninggal maka yang mewarisi dan seandainya anak atau salah seorang dari anaknya
meningga lebih dahulu dari pewaris (ayah atau ibu) maka diberikan kepada cucu
sebagai mawali dari anak yang meninggal tadi, maksudnya mawali si anak tersebut
ikut serta sebagai ahli waris terhadap harta pewaris (orang tua). Hubungan kewarisan
yang menyebabkan si cucu menjadi ahli waris atas dasar pertalian darah antara si
meninggal dengan mawali-nya (cucu) adalah hubungan si pewaris dengan
keturunannya melalui mendiang anaknya yang sudah meninggal.
Pemberlakuan hukum kewarisan Islam secara formil tersebut bukan berarti
tidak dibenarkannya terjadinya pembagian harta warisan keluarga muslim diluar
Pengadilan Agama yang bersifat non Litigasi didasarkan karena hukum kewarisan
Islam dianggap sebagai hukum-hukum yang mengatur private atau keperdataan.
Munculnya persoalan di Pengadilan Agama hanya terjadi jika ketidak sepakatan
keluarga muslim dalam pembagian kewarisan yang mereka akan terima atau salah
satu pihak di antara mereka tidak mau melaksanakan hukum kewarisan Islam.
Pengadilan Agama akan menentukan bagian masing-masing ahli waris didasarkan
pada pedoman dokumenyustisiaberupa Kompilasi Hukum Islam yang termuat dalam
Bab. II Ketentuan Hukum Kewarisan. Ada 22 pasal yang memuat ketentuan hukum
Kewarisan yaitu pasal 171 sampai dengan pasal 193. Sedangkan pasal yang
berhubungan erat dan memiliki pengaruh perhitungan dengan hukum kewarisan
adalah tentang Wasiat yakni pasal 193 sampai dengan pasal 209. Sedangkan bahasan
tentang Hibah dimulai dari pasal 210 sampai dengan pasal 214. Kompilasi Hukum
Islam yang memuat hukum keluarga bagi umat Islam sebagian kecil masih
menimbulkan pro dan kontra. Salah satunya menyangkut persoalan Ahli Waris
dikenal dengan Plaatsvervulling yang termuat dalam pasal 185 Kompilasi Hukum
Islam.14
Dalam kitab-kitab fikih atau buku-buku yang ditulis para Yuris Islam tidak
mengenal sebutan Ahli Waris Pengganti ataupun Penggatian Tempat kedudukan ahli
waris (plaatsvervulling) seperti yang tersebut dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum
Islam. Ini merupakan dekontruksi atas pendapat umum dalam hukum kewarisan
Islam. Hukum Islam normatif, sebagaimana kebanyakan yang menjadi pendapat
umum dikalangan ahli hukum kewarisan menentukan bagian masing-masing ahli
waris berdasarkan apa yang tersebut dalam teks-teks Suci Al-Qur’an dan penguatan
pengetahuan dari Hadist Nabi Muhammad SAW.
Menurut kebanyakan para Yuris Islam, teks suci Al-Qur’an telah rinci
menjelaskan tentang pembagian warisan bagi orang muslim. Mustahil ada celah
untuk mempengaruhinya, baik secara sosiologis maupun filosofis. Ini berarti masalah
kewarisan Islam dianggap kelompok ini sabagai hal yang final danQoth’i. Pengertian
qoth’i maksudnya petunjuk yang telah jelas sebagai lawan zhonni yang artinya ada
kesamaran. Kajian ushul fiqih untuk maksud tersebut diatas diistilahkan dengan
Qoth’i al Dilalah (petujuk yang jelas maksudnya) dan Zhonni al Dilalah (petunjuk
yang tidak jelas maksudnya).15
Memahami salah satu dari sekian ayat tentang hukum waris Islam dalam teks
suci Al-Qur’an, hukum kewarisan Islam secara mendasar dipahami sebagai ekspresi
14Ibid. hal. 19-20
15 A. Sukris Sarmadi, Membangun Refleksi Nalar, Filsafat Hukum Islam Paradigmatik,
langsung dari teks-teks suci sebagaimana pula yang telah disepakati keberadaannya,
bila dirincikan, sebagai berikut :
1. Cara pembagian antara laki-laki dengan perempuan adalah berbanding 2 : 1
berdasarkan Q.S. An Nisa ayat 11;
2. Anak perempuan yang berjumlah lebih dari dua orang, secara kolektif
memperoleh bagian dua pertiga dan jika ia hanya seorang saja akan mendapatkan
bagian seperdua, berdasarkan Q.S. An Nisa ayat 11;
3. Ayah dan Ibu mendapatkan seperenam bagian jika pewaris memiliki anak. Jika
pewaris tidak memiliki anak, maka bagian ibu menjadi sepertiga kecuali jika
pewaris walaupun tidak punya anak tetapi punya saudara-saudara maka ia hanya
memperoleh seperenam, berdasarkan Q.S. An Nisa ayat 11;
4. Harta warisan adalah bagian harta sisa setelah harta peninggalan pewaris
dibayarkan untuk wasiat dan segala utangnya jika ada, berdasarkan Q.S.An.Nisa
ayat 11;
5. Suami memperoleh seperdua dari istrinya yang meninggal dunia (pewaris) jika
mereka tidak mempunyai anak dan jika mempunyai anak maka bagiannya
menjadi seperempat, berdasarkan Q.S.An Nisa ayat 12;
6. Istri akan memperoleh seperempat dari suaminya yang meninggal (pewaris) jika
suami tidak mempunyai anak, tetapi ia akan memperoleh seperdelapan jika
mempunyai anak, berdasarkan Q.S. An Nisa ayat 12;
7. Ahli Waris, apabila hanya ada seorang saudara laki-laki atau saudara perempuan
masing-masing mereka memperoleh seperenam dan jika mereka lebih dari seorang,
secara kolektif mereka memperoleh sepertiga, berdasarkan Q.S An Nisa ayat 12;
8. Pewaris yang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak, tetapi mempunyai
saudara perempuan, maka bagi saudara perempuan tersebut memperoleh dua
pertiga. Apabila mereka dua orang atau lebih maka akan memperoleh dua pertiga
berbagi sesama mereka. Teknis ini terjadi pula jika pewaris meninggalkan
saudara laki-laki maka ia akan berbilang, lelaki dan perempuan, mereka
memperolehnya secara kolektif dengan perbandingan untuk seorang lelaki
seumpama seorang perempuan, berdasarkan Q.S An Nisa ayat 176.
Berdasarkan pendapat umum dalam hukum Islam yang dipahami dari
ayat-ayat diatas, tidak ada istilah Ahli waris pengganti ataupun penggantian tempat
ahli waris (plaatsvervulling). Seseorang memperoleh hak waris dikarenakan
ditentukan dalam hukum itu sendiri berhak menerima waris dengan bagian yang
berbeda-beda. Misalnya tentang anak-anak memperoleh hak bagi anak lelaki dua
kali lipat dari anak perempuan, jika anak lelaki sendirian atau bersama dengan
anak lelaki lain maka mereka mendapatushubahyakni menghabiskan semua sisa
harta. Sedangkan anak perempuan memperoleh ½ bila sendirian tanpa anak
lelaki.
Anak-anak pancar lelaki (para cucu pancar lelaki) memperoleh ushubah
(mengambil semua sisa) jika sipewaris tidak mempunyai anak dan tidak ada ahli
waris lain. Jika ia bersama dengan cucu lelaki pancar lelaki lain maka ia berbagi
pancar lelaki memperoleh dua bagian (2 : 1). 16sedangkan cucu perempuan pancar lelaki memperoleh bagian separoh (1/2) bila ia hanya sendirian dan 2/3
bila ia dua orang atau lebih. Jika ia bersama dengan cucu lelaki pancar lelaki
maka ia peroleh bagian separoh dari saudaranya lelaki (cucu pancar lelaki).17 Pemahaman terhadap anak lelaki dan anak perempuan pewaris dengan metode
berfikir qias (analogi). Mereka juga memperkuat pendapat tersebut dengan dasar
pendapatIbnu Mas’ud, RA(sahabat Rasulullah SAW) yang menyatakan bahwa Nabi
Muhammad, SAW memahamkan demikian, yang artinya sebagai berikut :
“Huzail Ibnu Surajil berkata, ditanyai Abu Musa tentang anak perempuan, cucu perempuan pancar lelaki dan saudara perempuan kandung maka Abu Musa berkata bahwa anak perempuan memperoleh ½ dan saudara perempuan 1/2. lalu aku datang kepada Ibnu Mas’ud RA maka ditanyakan kepadanya, lalu Ibnu Mas’ud RA mengabarkan perkataan Abu Musa RA berkata, sungguh aku sesat jika tidak termasuk orang yang diberi petunjuk, aku memutus dengan apa yang diputus oleh Nabi Muhammad, SAW yaitu anak perempuan ½, cucu perempuan pancar lelaki 1/6 sebagai penyempurna dua pertiga dan sisanya untuk saudara perempuan. Maka aku datang kepada Abu Musa berkata, aku tidak pernah ditanyai tentang itu selama ini.”H.R.Bukhari18
Selanjutnya tentang cucu lelaki atau perempuan pancar perempuan, mereka
dianggap tidak berhak atas waris bila masih ada far’u waris berupa ashabul furud
(orang-orang yang telah ditentukan bagiannya) dan ashoba (orang yang mengahabisi
sisa). Mereka digolongkan termasuk sebagai dzawil arham yakni golongan yang
16Fathurrahman,Ilmu Waris, Cet. II, (Bandung : Al Ma’arif, 1981), hal. 196. 17Ibid, 174.
18Hadist Bukhari no. 6239, lihatKutubus Sittah, 1991-1997, Mau suatu al Hadist al syarif,
bukanashabul furuddanasobah.19alasan umum pendapat mereka adalah bahwa cucu perempuan pancar perempuan tidak dibicarakan dalam teks-teks Al-Qur’an.
Kelompok ini di sponsori oleh mayoritas jumhur ulama dan madzab sunni (terutama
imam 4 madzab). Artinya, tidak ditemukan ada istilah ahli waris pengganti/
penggantian tempat ahli waris sebab orang-orang tertentu berhak atas suatu fard
(perolehan bagian waris) yang disebut dengan ashabul furud dan ashobah.
Sedangakandzawil arhamadalah orang yang memperoleh hak dikarena kan tidak ada
ashabul furuddanashobah.
Pendapat tersebut ditentang oleh sebagian tokoh Islam. Beberapa buku waris
mempersoalkannya. Mereka lebih memahami bahwa para cucu, baik laki-laki
maupun perempuan pancar perempuan berhak memperoleh bagian sebagaimana hak
para cucu pancar lelaki. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Syiah. Mereka tidak
boleh dibedakan. Mereka bukan anak pisang terbalik seperti anak pisang
Minangkabau.20
Berdasarkan adanya istilah ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli
waris memungkinkan terjadinya penafsiran. Hukum tidak mutlak digerakkan oleh
hukum positif atau hukum peraturan perundang-undangan, tetapi hukum progresif
juga bergerak pada arah non-formal. Jika peraturan masih terlihat kurang baik, hakim
harus berupaya melakukan interpretasi progresifnya sedemikian rupa yaitu dengan
hati nurani, melihat hukum bukan hanya dalam dataran yang tertulis dari teks
19
Fathurrahman,Op Cit. hal. 351-362 20
formalnya tetapi juga pada teks non formal. Disini hukum dibaca secara kontekstual,
bukan secara tekstual, sehingga berani keluar dari hal-hal yang bersifat prosedural
dan mencari serta menemukan hakikat dari suatu peraturan, Pada akhirnya akan
terbaca teks hukum secara kontekstual, filosofis, sosiologis dan yuridis di mana suatu
teks hukum selalu menyatakan lebih dari yang dimaksudkan yang tidak lain untuk
tujuan kemaslahatan, kemanusiaan, keadilan, kesejahteraan, kepedulian kepada
rakyat.
Hukum akan terlibat dalam bentuknya yang asli yaitu hukum progresif.
Seperti dalam analisis hukum penggantian tempat ahli waris/ahli waris pengganti,
kesan yang bisa diambil secara substansif merupakan pemikiran untuk dan agar cucu
pancar perempuan akan memperoleh haknya yang berbeda dengan pendapat umum
dalam hukum waris. Bisa jadi merupakan wajah lama yang muncul dalam istilah baru
atau pendapat yang menentang sistem pendapat kaum klasik selama ini yang banyak
mengisi buku-buku waris Islam. Jelasnya, terjadidekontruksihukum kewarisan Islam
yang selama ini telah dianggap preskriptif yang tak dapat dirubah.
Secara historis, ada beberapa problem hukum waris yang menjadi polemik
para yuris klasik karena nas tentangnya tidak tegas. Kenyataannya demikian,
munculnya hukum waris aliran madzhab hukum Sunni dan Syiah serta
perbedaan-perbedaan lainnya antar kalangan mereka tentang berbagai hal mengenai kewarisan
adanya pembaharuan hukum waris. Pendapat ini pada kenyataannya banyak ditentang
oleh para yuris Islam di dunia maupun di Indonesia.21
Allah SWT menjadikan mawali bagi seseorang (si fulan) bukanlah sia-sia,
tetapi ada maksudnya. Harta itu memang bukan untuk si fulan, karena dia sendiri
telah meninggal dunia terlebih dahulu sebelum si pewaris meninggal. Tetapi bahagian
yang diperolehnya seandainya dia masih hidup pada saat si pewaris mewariskan harta
peninggalannya akan dibagi-bagikan kepada mawalinya itu, mereka bukan sebagai
ahli waris si fulan, tetapi sebagai ahli waris dari yang mewariskan kepada si fulan
tersebut, misalnya bapak atau ibu si fulan tersebut. Pengertian tersebut tergambar bagi
seorang bapak atau ibu yang diwarisi oleh anak-anaknya bersama-sama dengan
mawali bagi anak-anaknya yang telah lebih dahulu meninggal. Bisa saja terjadi
pengertian lain, seperti bagi seorang bapak atau ibu yang hanya diwarisi olehmawali
untuk anak-anaknya yang semuanya telah meninggal terlebih dahulu.22
Wasiat wajibah adalah kata mejemuk terdiri dari dua kata, yaitu wasiat dan
wajibah. Kata wasiat berasal dari bahasa Arab dapat berarti membuat wasiat atau
berwasiat, dan terkadang dipergunakan untuk sesuatu yang diwasiatkan.23 Kata wajibah merupakan istilah fikih, yang berasal dari kata wajib yang telah mendapat
penambahan ta ta’nis. Zaki Sya’ban menyebut pengertian wajib itu :24 Yang terjemahannya “Sesuatu perbuatan yang diperintahkan Allah SWT, untuk
melaksanakannya secara keharusan, baik dia diperoleh dari kata perintah itu sendiri
21
Yahya Harahap, Praktek Hukum Waris Tidak Pantas Membuat Generalisasi, dalam Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Pustaka Panjimas,1988), hal. 139
22Hazairin 2,Op.Cit, hal. 29-31
23Louis Ma’luf, Al-Munjid,Op. Cit, hal. 904.
24Zaki al-Din Sya’ban dalam A. Sukris Sarmadi,Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam
(amar) atau dari tanda-tanda lain yang dapat dipahami sebagai perintah. Dari
pengertian tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa wasiat wajibah adalah sesuatu
perintah syar’i (Allah SWT) yang merupakan keharusan untuk mentasaruffkan
peninggalan yang ditangguhkan waktunya sampai setelah terjadinya kematian.
Menurut Fatchurrahman, yang dimaksud wasiat wajibah adalah suatu
tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat negara untuk
memaksa atau memberikan putusan wajib wasiat bagi orang yang telah meninggal,
yang diberikan kepada orang-orang tertentu, dalam keadaantertentu.25 Seiring demikian, adanya pasal 185 dalam Kompilasi Hukum Islam dengan
menyebut penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti sangatlah menarik
dicermati dan diteliti. Pertanyaan seperti Bagaimana Konsep penggantian ahli waris
pengganti dalam Hukum Kewarisan Islam, Bagaimana penerapan Kompilasi Hukum
Islam dalam kasus ahli waris pengganti serta hambatan – hambatan apa saja yang
dihadapi dalam penerapan Kompilasi Hukum Islam. Penelitian diharapkan dapat
menemukan hukum yang berkaitan dengan penggatian tempat ahli waris/ ahli waris
pengganti, baik dari segi normatif, filosofis keadilan maupun sosiologisnya, untuk
kepentingan khazanah pengetahuan hukum pada umumnya khususnya di Kecamatan
Banda Sakti Kota Lhokseumawe.
B. Perumusan Masalah.
Dari uraian latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan beberapa hal yang
menjadi permasalahan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Bagaimana konsep ahli waris pengganti dalam Hukum Kewarisan Islam ?
2. Bagaimana Penerapan KHI dalam kasus ahli waris pengganti di Masyarakat
Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe ?
3. Hambatan apa saja yang dihadapi dalam penerapan KHI dalam Kasus ahli waris
pengganti di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah sebagaimana yang telah dikemukakan diatas,
yang menjadi tujuan penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis konsep ahli waris pengganti dalam Hukum
Kewarisan Islam.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis bagaimana penerapan KHI dalam kasus ahli
waris pengganti di Masyarakat Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe.
3. Untuk mengetahui dan menganalisis hambatan apa yang dihadapi dalam
penerapan KHI pada kasus ahli waris pengganti di Kecamatan Banda Sakti Kota
Lhokseumawe.
D. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara
teoritis dan secara praktis, yaitu :
1. Secara Teoritis
Secara Teoritis, diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai
penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti di Kecamatan Banda Sakti Kota
aturan penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti dan besarnya bagian
warisan terhadap penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti tersebut.
2. Secara Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan menjadi bahan masukan,
bagi para Hakim, Tokoh Ulama, Tokoh Adat, Cendikiawan Muslim, Notaris,
Akademisi, Pengacara serta Mahasiswa dalam menyelesaikan perselisihan mengenai
penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti dan besarnya bagian yang bisa
diberikan kepada penggantian tempat ahli waris/ ahli waris pengganti tersebut di
Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran kepustakaan yang khususnya dilingkungan
Universitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa penelitian dengan Judul “ Analisis
Yuridis Penerapan KHI dalam Penggantian Tempat Ahli Waris pada Masayarakat
Aceh di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe”. Ternyata penelitian ini belum
pernah dilakukan oleh peneliti sebelumnya , namun ada satu yang membahas
mengenaiMunasakhah, yaitu yang diteliti oleh :
Sri Isnaida, NIM 107011070, Mahasiswi Program Pasca Sarjana Magister
Kenotariatan Universitas Sumatera Utara tahun 2010, berjudul Tinjauan Yuridis
Terhadap Kewarisan Munasakhah Dalam Perspektif Hukum Waris Islam (Studi
Kasus Penetapan Pengadilan Agama Medan No. 77/Pdt.P/2009/PA Mdn).
Adapun permasalahan yang dibahas dalam penelitian tersebut adalah :
2. Bagaimana Menyelesaikan KasusMunasakhah.
3. Apakah yang menjadi dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan
kasus Munasakhah dalam penetapan Pengadilan Agama Medan No.
77/Pdt.P/2009/PA. Mdn.
Dengan demikian penelitian ini dapat disebut asli dengan asas-asas keilmuan
yang jujur, rasional dan objektif serta terbuka.
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Teori adalah merupakan suatu prinsip yang dibangun dan dikembangkan
melalui proses penelitian yang dimaksud untuk memberikan gambaran dan
menjelaskan suatu masalah.26 Menurut Neuman “ Teori adalah suatu sistem yang tersusun oleh berbagai abstarksi yang berinterkoneksi satu sama lainnya atau berbagai
ide yang memandatkan dan mengorganisasi pengetahuan tentang dunia. Ia adalah
cara yang ringkas untuk berfikir tentang dunia dan bagaimana dunia itu bekerja.”27 Dalam kamus besar bahasa Indonesia dijelaskan bahwa pengertian teori
adalah :
1. Pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan
argumentasi.
2. Penyelidikan eksperiment yang mampu menghasilkan fakta berdasarkan ilmu
pasti, logika, metodologi dan argumentasi.28
26 R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, (Bandung : PT. Reflika Aditama,
2004), hal 21
27W.L. Neuman, Social Research Methods,(Allyn dan Bacon, London, 2004), Cet 6, hal.20 28Pusat bahasa Depertemen Pendidikan Nasional,Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta;
Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan pedoman dan
petunjuk serta menjelaskan gejala yang diamati.29 Sedangkan kerangkat teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat teori, mengenai suatu permasalahan
yang menjadi dasar pertimbangan atau pegangan teoritis.30
Teori dipergunakan untuk menjelaskan secara teoritis antara variable yang
sudah diputuskan untuk diteliti khususnya hubungan antara variable bebas
(independent) dan variable tak bebas (dependent). Telaah teoritis dan temuan
penelitian yang relevan berfungsi menjelaskan permasalahan dan menegakkan
prediksi dan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan penelitian.31 Dalam penelitian ini menggunakan teori keadilan yang dipergunakan sebagai pisau analisis (grand
theory) penelitian ini juga didukung dengan teori Maslahat Mursalah serta teori
positif dan teori kepastian hukum. Teori-teori ini mempunyai nilai sangat penting
dalam memecahkan masalah dan mempunyai keterkaitan satu sama lainnya.
Teori keadilan diposisikan sebagai keadaan yang hendak diwujudkan oleh
hukum. Upaya untuk mewujudkan keadilan dalam hukum tersebut merupakan proses
yang dinamis yang memakan banyak waktu. Upaya ini seringkali juga didominasi
oleh kekuatan-kekuatan yang bertarung dalam kerangka umum tatanan politik untuk
mengatualisasikannya. Yang kemudian oleh John Rawls yang hidup pada awal abad
29Lexy Meleong,Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung : Remma Rosdakarya, 2002),
hal. 35
30M. Soly Lubis,Filsafat Ilmu dan Penelitian, ( Bandung : CV. Mandar Maju, 1994), hal. 27 31Agusri Pasaribu,Metodelogi Nomotetik dan Idiografi serta Triangalasi,(Medan :
21 lebih menekankan pada keadilan sosial,32 Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah :
1. Jaminan stabilitas hidup, dan;
2. Keseimbangan kehidupan pribadi dan kehidupan bersama.
Teori keadilan dalam hukum Islam, persyaratan adil sangat menentukan besar
atau tidaknya dan sah atau batalnya suatu pelaksanaan hukum. Umpamanya dalam
kewarisan, sebagaimana dikemukakan olehHusanain Muhammad Makhluf,ahli Fikih
Kontemporer asal Mesir, bahwa Islam mensyariatkan aturan hukum yang adil karena
menyangkut penetapan hak milik seseorang, yakni hak yang harus dimiliki seseorang
sebagai ahli waris dengan sebab meninggalnya seseorang yang lain.33
Disini akan terjadi pemindahan pemilikan harta dari yang meninggal kepada
ahli warisnya (mustahik) harus adil, tidak boleh berlaku aniaya atau pengurangan
yang satu untuk ditambahkan kepada bagian yang lain. Ini semua telah diatur oleh
agama, seperti warisan yang diperoleh bagian laki-laki adalah dua bagian dari bagian
perempuan, atau suami memperoleh setengah harta warisan jika istri yang meninggal
tidak mempunyai anak, dan seterusnya (QS.An-Nisa : 11-12, dan 176). Ini merupakan
ketentuan atau keadilan dari Allah SWT dan siapa yang mematuhinya akan masuk
syurga (QS.An-Nisa : 13).
Salah satu asas penting dalam sistem kewarisan dalam hukum Islam adalah
asas keadilan berimbang, yang maksudnya adalah seseorang akan memperoleh hak
32 John Rawls, Modern Jurisprudensi, (Kuala Lumpur : Internasional Law Book Review,
1994), hal. 278
33 Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung :
dalam harta kewarisan seimbang dengan kepercayaannya. Salah satu bentuk keadilan
berimbang ini dapat dilihat pada kasusAuldanRadd.
Contoh lain, kasus ahli waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris,
berdasarkan asas keadilan berimbang ini, bila seorang cucu yang secara kebetulan
ayahnya terlebih dahulu meninggal dunia dari kakek, dan pamannya, kehidupannya
sudah terlunta-lunta, lantas tidak diberikan pula harta warisan dari kakeknya
kepadanya.34
Keadilan dalam warisan tidak berarti membagi sama harta warisan semua ahli
waris, tetapi berpihak kepada kebenaran sebagaimana yang telah digariskan oleh
Allah SWT dalam Al-Qur’an. Jika laki-laki memperoleh lebih banyak dari
perempuan ini terkait dengan tanggung jawab laki-laki yang lebih besar daripada
perempuan untuk membiayai rumah tangganya.
Disamping teori keadilan diatas, juga digunakan teori Maslahat Mursalah
Untuk menjamin proses penegakan hukum waris Islam di kalangan umat muslim,
teori maslahat mursalah dapat digunakan sebagai teori aplikasi, terutama kaitannya
dengan ahli waris pengganti/ Penggantian tempat ahli waris menurut hukum Islam.
Maslahat, atau dalam bahasa Arab biasa disebut al-mashlahah, artinya adalah
manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat.35istilah ini dikemukakan ulama Ushul Fikih dalam membahas metode yang dipergunakan saat melakukan
istinbath(menetapkan hukum berdasarkan dalil-dalil yang terdapat pada nash).
34Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, (Medan : Magister Kenotariatan, 2011), hal. 17 35Zamakhsyari,Teori-Teori Hukum Islam dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung :
Keberadaan maslahat menurut syarak, Mustafa asy-Syalabi membaginya
sebagai berikut :
1. Kemaslahatan yang didukung oleh syarak. Artinya ada dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut.
Misalnya, hukuman bagi orang-orang yang meminum minuman keras yang terdapat dalam hadist Rasulullah SAW ketika melaksanakan hukuman bagi orang yang meminum minuman keras.
2. Kemaslahatan yang ditolak oleh syarak, karena bertentangan dengan ketentuan syarak.
Misalnya, syarak menenunkan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari dalam bulan Ramadhan dikenakan hukuman memerdekakan budak, atau puasa selama dua bulan berturut-turut, atau memberi makan bagi enam puluh fakir miskin (HR Bukhari dan Muslim). Yahya bin Yahya al-laitsi, ahli fikih mazhab maliki di Spanyol, menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi seseorang (penguasa Spanyol) yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya disiang hari dalam bulan Ramadhan.
Ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadist Rasulullah SAW diatas, karena bentuk-bentuk hukuman itu harus diterapkan secara berurut. Apabila tidak mampu memerdekakan budak, baru dikenakan puasa dua bulan berturut-turut.
Karenanya, ulama Ushul Fikih memandang mendahulukan hukuman puasa dua bulan berturut-turut dari memerdekakan budak merupakan kemaslahatan yang bertentangan dengan kehendak syarak, sehingga hukumannya batal (ditolak) syarak. Kemaslahatan seperti ini menurut kesepakatan ulama di sebutal-mashlahah al-mulghah.
3. Kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syarak dan tidak pula dibatalkan (ditolak) syarak melalui dalil yang rinci. Kemaslahatan dalam bentuk ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu :
a. Kemaslahatan yang sama sekali tidak ada dukungan dari syarak, baik secara rinci maupun secara umum, dan
b. Kemaslahatan yang tidak ada dukungan dari syarak secara rinci, tetapi didukung oleh makna sejumlah nash.
Kemaslahatan yang pertama disebut dengan al-mashlahah al-Gharibah
secara pasti. Bahkan Imam asy-Syatibi menyatakan bahwa kemaslahatan seperti ini
tidak ditemukan dalam praktek, sekalipun ada teori.36
Sedangkan kemaslahatan dalam bentuk kedua disebut mashlahah
al-mursalah. Kemaslahatan ini didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat dan hadist)
bukan nash yang rinci.
Ulama ushul fikih sepakat menyatakan bahwa al-mashlahah al-mu’tabarah
dapat dijadikan sebagai hujjah (alasan) dalam menetapkan hukum Islam.
Kemaslahatan seperti ini termasuk metode Qiyas. Mereka juga sepakat menyatakan
bahwa al-mashlahah al-mulghah tidak dapat dijadikan landasan dalam menetapkan
hukum Islam, demikian juga dengan al-mashlahah al-Gharibah, karena tidak
ditemukan dalam praktek.37
Adapun terhadap kehujjahan al-mashlahah al-mursalah, pada prinsipnya
jumhur ulama mazhab menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan
hukum syarak, sekalipun dalam menentukan syarak, penerapan, dan penempatannya,
mereka berbeda pendapat.
Untuk bisa menjadikan al-mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam
menetapkan hukum, mazhabMalikidanHambalimensyaratkan tiga hal, yaitu :
1. Kemaslahatan itu sejalan dengan kehendak syarak, dan termasuk ke dalam jenis kemaslahatan yang didukung nash secara umum.
2. Kemaslahatan itu bersifat rasional dan pasti, bukan sekedar perkiraan, sehingga hukum yang ditetapkan melalui al-maslahah al-mursalah itu benar-benar menghasilkan manfaat dan menghindari atau menolak kemudharatan.
36Ibid, hal. 43
3. Kemaslahatan itu menyangkut kepentingan orang banyak, bukan kepentingan pribadi atau kelompok kecil tertentu.38
Al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab Ushul Fiqihnya, membahas
permasalahan al-maslahah al-mursalah. Ada beberapa syarat yang dikemukakan
terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam melakukanistinbath, yaitu:
1. Maslahah itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan syarak.
2. Maslahah itu tidak meninggalkan atau bertentangan dengan nash syarak. 3. Maslahah itu termasuk ke dalam kategori maslahah yang ad-Dharuriyah,
baik menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak.39
Untuk syarat yang terakhir, al-Ghazali juga menyatakan bahwa yang
al-hajiyyah, baik menyangkut kepentingan orang banyak bisa menjadiad-Dharuriyah.
Berdasarkan uraian diatas, Pemberian warisan kepada cucu sebagai ahli waris
pengganti/ penggantian tempat ahli waris termasuk dalam kategori Mashlahah
al-Mursalahkarena tidak disebutkan secara rinci dalam Al-Qur’an dan Sunnah dan tidak
ada pula ada ayat dan hadist yang bertentangan dengan konsep ahli waris pengganti/
penggantian tempat ahli waris tersebut.
Digunakan pula teori positif dalam penulisan ini juga, yaitu sebagaimana yang
dipelopori olehJhon Austin. Hukum itu sebagaia command of the law giver(perintah
dari pembentuk hidup terhadap atu penguasa) yaitu suatu perintah mereka yang
memegang kekuasaan tertinggi atau memegang kedaulatan, hukum dianggap sebagai
suatu system yang logis, tetap dan bersifat tertutup (close logical system). Hukum
secara tegas dipisahkan dari moral dan keadilan tidak didasarkan pada penilaian baik
buruk.40 Yang dinamakan sebagai hukum mengandung didalamnya suatu perintah, sanksi kewajiban dan kedaulatan.
Sedangkan Teori Kepastian Hukum di Indonesia sebagai negara yang
berlandaskan hukum sedang mengalami masa transisi, yaitu sedang terjadi perubahan
nilai-nilai dalam masyarakat dari nilai-nilai tradisional ke nilai-nilai
modern.41Namun, masih terjadi persoalan nilai-nilai manakah yang hendak ditinggalkan dan nilai-nilai baru yang akan menggantikannya, sudah barang tentu
dalam proses perubahan ini akan banyak dihadapi hambatan-hambatan yang
kadang-kadang akan menimbulkan keresahan-keresahan maupun kegoncangan di dalam
masyarakat.
Mochtar Kusumaatmadja misalnya, mengemukakan beberapa hambatan
utama seperti jika yang akan diubah itu identik dengan kepribadian nasional, sikap
golongan intelektual dan pimpinan masyarakat yang tidak mempraktekkan nilai-nilai
yang dianjurkan disamping sifat heterogenitas bangsa Indonesia, baik yang tingkat
kemajuannya, agama serta bahasanya yang berbeda-beda satu dengan yang lainnya.42 Menurut Roscoe Pound salah seorang pendukung Socialogical Jurisprudence
menyatakan, hukum dapat berfungsi sebagai alat merekayasa masyarakat (law as a
tool of social engineering), tidak hanya sekedar melestarikan status quo.43
40Lili Rasyidi dan Ina Thania Rasyidi,
Pengantar Filasafat Hukum, (Bandung : Mandar Maju, 2002), hal. 55
41
Ibid. hal. 20
42Kuntjaraningrat,Pergeseran Nilai-nilai Budaya dalam Masa Transisi termuat dalam
Simposium Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa Transisi, (Badan Pembinaan Hukum Nasional, Banacipta, 2009), hal. 25
43Darji Darmodiharjo dan Shidarta, pokok-poko Filsafat Huku, Apa dan Bagaimana Filsafat
Kepastian hukum mengandung dua pengertian, pertama adanya aturan yang
bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi individu dari
kesewenangan pemerintah karena adanya aturan yang bersifat umum itu individu
dapat mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan oleh negara
terhadap individu. Kepastian hukum bukan hanya berupa pasal-pasal dalam
Undang-undang. Melainkan juga konsistensi dalam putusan hakim untuk kasus serupa yang
telah diputus.44
Kepastian hukum adalah merupakan perlindungan yustisiabel terhadap
tindakan sewenang-wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh
sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu.45
MenurutScheltema, adanya unsur-unsur dalam kepastian hukum, meliputi :
1. Asas legalitas;
2. Adanya undang-undang yang mengatur tindakan yang berwenang
sedemikian rupa, sehingga warga dapat mengetahui apa yang diharapkan;
3. Undang-undang tidak boleh berlaku surut;
4. Pengadilan yang bebas dari pengaruh kekuasaan yang lain.46
44Peter Mahmud Marzuki,Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta : Kencana Predana Media Group,
2008), hal. 158
45Sudikno Mertokusumo,Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta : Liberty, 1999),
hal. 145
46Ida Bagus Putu Kumara Ady Adyana,Penjabaran Nilai-nilai Pancasila dalam Materi
2. Konsepsi
Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang
digeneralisasikan dari hal yang berbentuk khusus.47
Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsep dalam
penelitian adalah untuk menghubungkan antara teori dan observasi, antara abstraksi
dengan realitas.48
Pemakaian konsep terhadap istilah yang digunakan terutama dalam judul
penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata dengan
pihak lain. Sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi menuntun
peneliti sendiri didalam menangani proses penelitian dimaksud.49
Konsepsi ini bertujuan untuk menghindari salah pengertian atau penafsiran
terhadap istilah-istilah yang digunakan dalam penelitian ini. oleh karena itu dalam
penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar atau istilah, agar didalam
pelaksanaannya diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah
ditentukan, yaitu :
a. Analisis Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia lengkap adalah masalah untuk
mengetahui keadaan yang sebenar-benarnya, proses pemecahan masalah yang
dimulai dengan dugaan akan kebenarnnya, menganalisis (v) melakukan
analisis.50
47
Sumardi Suryabrata,Metodelogi Penelitian, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 4
48
Masri Singaribun dkk,Metode Penelitian Survey, (Jakarta : LP3ES, 1998), hal. 34 49
Sanapiah Faisal,Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 1999), hal. 107-108
b. Yuridis artinya sesuatu yang sudah terjamin kebenarannya dan terbukti secara
hukum adanya.
c. Kompilasi Hukum Islam adalah Hukum Nasional Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iah yang terkodifikasi dan unifikasi yang pertama saat
ini dan diperlukan untuk landasan rujukan setiap keputusan Pengadilan Agama/
Mahkamah Syari’ah.51
d. Ahli Waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan
darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak
terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.52
e. Penggantian Tempat Ahli Waris/ Ahli Waris Pengganti adalah pengganti dalam
pembagian warisan bilamana ahli waris tersebut lebih dahulu meninggal dunia
dari sipewaris, maka warisannya dapat diterima kepada anak-anak waris yang
meninggal.53 G. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini metode merupakan unsur paling utama dan didasarkan
pada fakta dan pemikiran yang logis sehingga apa yang diuraikan merupakan suatu
kebenaran. Metodelogi penelitian adalah ilmu tentang metode-metode yang akan
digunakan dalam melakukan suatu penelitian. Penelitian hukum pada dasarnya dibagi
dalam 2 (dua) jenis penelitian yaitu penelitian normatif dan penelitian empiris.
Penelitian normatif merupakan penelitian dengan menggunakan data sekunder
sehingga disebut pula penelitian kepustakaan, sedangkan yang dimaksud dengan
51M. Hasballah Thaib, Ilmu Hukum Waris Islam, (Medan : USU, 2006), hal. 11 52Ibid.
penelitian empiris adalah penelitian secara langsung di masyarakat ada yang melalui
wawancara langsung. Penelitian dilakukan dengan metode penelitian yuridis empiris
dengan melakukan kajian yang komprehensif dengan melakukan pengamatan dan
wawancara langsung ke lokasi penelitian, sedangkan untuk mendukung hasil
wawancara dilakukan dengan metode normatif, yaitu dengan mengkaji berbagai
sumber hukum yang berlaku.
1. Sifat Penelitian dan Jenis Penelitian
Sesuai dengan rumusan permasalahan diatas, Guna mengumpulkan data
dilakukan dengan penelitian bersifat deskriftif analitis yaitu penelitian yang bertujuan
untuk menggambarkan/melukiskan dan menjelaskan secara sistematis, faktual dan
akurat terhadap data-data dan fakta-fakta yang ditemukan dalam kitab-kitab fikih
klasik dan data-data serta fakta-fakta yang terdapat dalam KHI. Karena istilah ahli
waris pengganti/ penggantian tempat ahli waris merupakan masalah baru, tidak semua
orang mengetahuinya dan dapat menimbulkan kekhilafan dalam kehidupan umat
Islam. Sedangkan analitis dalam arti bahwa hasil dengan melakukan analisis terhadap
data yang ada, untuk melihat proses penyelesaian ahli waris pengganti karena
menyangkut kepentingan umum.
2. Metode Pendekatan
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis empiris/sosiologis,
didahulukan dengan meneliti tentang keberlakuan dengan pertimbangan bahwa
seperti perubahan yang terjadi dalam masyarakat, perkembangan kebudayaan dalan
lain-lain.54
3. Lokasi Penelitian
Lokasi yang dipilih dalam penelitian ini adalah Kecamatan Banda Sakti Kota
Lhokseumawe dimana Pengambilan lokasi ini dengan mempertimbangkan bahwa
terdapat Kasus Ahli Waris Pengganti yang diselesaikan secara Adat yang bersumber
pada kitab-kitab fikih klasik oleh Tokoh Agama dan Adat yang terjadi di daerah
tersebut dibandingkan dengan daerah lain serta diselesaikan menurut Pasal 185
Kompilasi Hukum Islam Indonesia dan disamping itu juga karena di Kecamatan
tersebut Pusat Pemerintahan Kota Lhokseumawe.
4. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi sebagai keseluruhan atau himpunan objek dengan ciri yang sama,55 maka populasi penelitian ini adalah Ahli waris dan Ahli waris pengganti/ penggantian
tempat ahli waris yang berada di Kecamatan Banda Sakti Kota Lhokseumawe.
Dengan pertimbangan sample yang dipilih adalah lima puluh persen dari 6 (enam)
kasus ahli waris pengganti/penggantian tempat ahli waris yang telah diputuskan
sesuai dengan pasal 185 KHI dan secara 6 (enam) secara Fikih Klasik di Kecamatan
Banda Sakti Kota Lhokseumawe.
Responden terdiri dari 3 orang ahli waris pengganti dan 3 orang ahli waris.
Sedangkan Narasumber terdiri dari 2 orang Ulama dari MPU, 2 orang Tokoh Adat
dari MAA serta 3 orang Hakim.
54Muchtar Alamsyah, kedudukan Ahli Waris Pengganti dalam Pewarisan Studi pada wilayah
Hukum Mahkamah Syari’ah Bireuen, (Medan : Cita Pustaka Media Perintis, 2008), hal. 35
55Soerjono Soekanto,Penelitian Hukum Normatif suatu Tujuan Singkat, (Jakarta, PT. Raja
5. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu
baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Sumber
data tersebut terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer, yang merupakan bahan hukum yang mengikat berupa
peraturan perundang-undangan yang antara lain dari :
1. Al-Qur’an dan Hadist;
2. Kompilasi Hukum Islam;
3. Hasil wawancara.
b. Bahan Hukum Sekunder yang merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa :
1. Buku-buku;
2. Jurnal-jurnal;
3. Majalah-majalah;
4. Artikel-artikel media;
5. Dan berbagai tulisan lainnya.
c. Bahan Hukum Tersier yang merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti :
1. Kamus Inggris-Indonesia;
2. Kamus Hukum Arab-Indonesia;
4. Ensiklopedi Hukum Islam.
6. Analisa Data
Analisis data yaitu melakukan suatu proses atau langkah-langkah dalam
pengorganisasian yang mengurutkan bahan hukum yang dikumpulkan pada suatu
pola kategori dan satuan untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan
diatas. Jadi, bahan hukum yang diperoleh dari kepustakaan, bahan hukum primer
seperti peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder seperti buku-buku
teks, literatur, karya tulis ilmiah dan bahan hukum tersier seperti kamus, tulisan, dan
lain-lain diuraikan dan dihubungkan begitu rupa sehingga disajikan dalam penulisan
yang lebih sistematis guna membahas dan menjawab permasalahan yang telah