• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II YURISDIKSI EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS MENURUT EUROPEAN CONVENTION ON HUMAN RIGHTS - Yurisdiksi European Court Of Human Rights Terkait Implementasi Putusannya Di Inggris Menurut Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II YURISDIKSI EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS MENURUT EUROPEAN CONVENTION ON HUMAN RIGHTS - Yurisdiksi European Court Of Human Rights Terkait Implementasi Putusannya Di Inggris Menurut Hukum Internasional"

Copied!
58
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

YURISDIKSI EUROPEAN COURT OF HUMAN RIGHTS MENURUT EUROPEAN CONVENTION ON HUMAN RIGHTS

A. Tinjauan Umum Tentang Yurisdiksi menurut Hukum Internasional

Hukum Internasional (HI) ialah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur

hubungan atau persoalan yang melintasi batas Negara antara ; Negara dengan

Negara, Negara dengan subjek hukum lain bukan Negara atau subjek hukum

bukan Negara satu sama lain.43 Pada umumya HI diartikan sebagai himpunan dari

peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengikat serta mengatur

hubungan antara Negara-negara dan subjek-subjek hukum lainnya dalam

kehidupan maysarakat internasional.44

Secara teoritis dapat dikemukakan bahwa subjek HI sebenarnya hanyalah

Negara.

45

dan beberapa penulis tertentu menyatakan bahwa negara satu-satunya

subjek HI.46

43

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, op.cit, hlm. 4

Namun keberatan terhadap teori itu senantiasa dikaitkan dengan

perkara budak-budak (slaves) dan perompak-perompak (pirates). Sebagai akibat dari traktat-traktat umum, beberapa hak perlindungan tertentu dan lain-lain telah

diberikan kepada budak-budak oleh masyarakat Negara-negara. Selain itu,

berdasarkan hukum kebiasaan internasional, individu-individu yang melakukan

tindak pidana perompakan jure gentium di laut lepas dapat dipandang sebagai

44Boer Mauna, HI: Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global,

(Bandung: Alumni, 2011), hlm. 1

45

Ibid, hlm. 95

46

(2)

musuh-musuh umat manusia yang bertanggung jawab atas penghukuman oleh

setiap Negara yang menangkap mereka.47 Dengan demikian berdasarkan mana

para budak menikmati perlindungan sesungguhnya memberikan

kewajiban-kewajiban atas Negara-negara peserta. Tanpa adanya kewajiban-kewajiban demikian atas

Negara-negara untuk mengakui dan melindungi kepentingan-kepentingan mereka,

maka para budak tersebut tidak akan memiliki hak-hak apapun dalam HI.48

Subjek HI menurut Martin Dixon adalah “a body or entity which is capable of possessing and exercising rights and duties under international law”. Subjek-subjek HI tersebut seharusnya memiliki kecakapan-kecakapan HI utama (the main international law capacities) untuk mewujudkan kepribadian Hukum Intenraisonalnya (international legal personality). Kecakapan hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut :

Sebagai pendukung teori tersebut maka terdapat berbagai pendapat yang

menyatakan bahwa individu merupakan subjek hukum yang sesungguhnya dari

HI, karena dalam analisis terakhir, individulah yang merupakan subjek segala

hukum nasional maupun internasional.

49

1. Mampu untuk menuntut hak-haknya di depan pengadilan internasional

(dan nasional)

2. Menjadi subjek dari beberapa atau semua kewajiban yang diberikan oleh

Hukum Internasional

47

Ibid hlm.78

48

Ibid

49

(3)

3. Mampu membuat perjanjian internasional yang sah dan mengikat dalam

Hukum Internasional

4. Menikmati imunitas dari yurisdiksi pengadilan domestik.

Dalam praktik hanya Negara dan organisasi internasional tertentu seperti PBB

yang memiliki semua kecakapan hukum diatas.50

1. Negara

Seiring dengan perkembangan

pendapat ini, terdapat berbagai macam subjek HI yang memperoleh

kedudukannya berdasarkan hukum kebiasaan internasional karena perkembangan

sejarah. Adapun subjek-subjek hukum menurut kebiasaan internasional yang

dianggap memiliki beberapa kecakapan tersebut antara lain :

Negara adalah subjek HI dalam arti yang klasik, dan telah demikian halnya

sejak lahirnya HI.51 Teori HI dilandasi oleh prinsip kedaulatan negara.52

Mengenai syarat-syarat sebuah entitas dapat dikategorikan sebagai Negara,

HI mengacu pada Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 tentang hak dan Negara memiliki kewenangan terbesar sebagai subjek HI dan semua

kecakapan hukum. Dalam perkembangannya telah muncul macam-macam

bentuk Negara dan kesatuan Bukan Negara, antara lain Negara kesatuan,

Negara federasi, Negara konfederasi, Negara persemakmuran, Negara mikro,

Negara netral, Negara protektorat, condominium, serta wilayah perwalian

(trust).

50Karenanya Boer Mauna membagi subjek HI dalam subjek HI aktif yaitu Negara dan

organissasi internasional serta subjek HI pasif yaitu subjek HI non-Negara dan organisasi internasional.

51

Sefriani, op.cit, hlm. 98

52

(4)

kewajiban Negara53

a. Memiliki teritorial tertentu

yang menyatakan bahwa karakteristik Negara adalah

sebagai berikut :

Suatu wilayah yang pasti (fixed territory) merupakan persyaratan mendasar adanya suatu Negara. meskipun demikian, tidak ada

persyaratan dalam HI bahwa semua perbatasan sudah final dan tidak

memiliki sengketa perbatasan lagi dengan Negara-negara tetanga baik

pada waktu memproklamirkan diri sebagai Negara baru ataupun

setelahnya.54

b. Memiliki populasi permanen

Negara tidak akan eksis tanpa penduduk. Persyaratan a permanent population dimaksudkan untuk sebuah komunitas yang stabil. Tidak ada peryaratan jumlah minimum penduduk yang harus dimiliki suatu

Negara. HI juga tidak mensyaratkan bahwa penduduk haruslah

homogeneous. Kriteria a stable population merujuk pada kelompok individu yang hidup di wilayah Negara tertentu.55

c. Memiliki pemerintahan (government)

Pemerintah yang dimaksud adalah pemerintah yang berdaulat,

mampu menguasai organ-organ pemerintahan secara efektif dan

memelihara ketertiban dan stabilitas dalam negeri yang bersangkutan.

Pengertian berdaulat tidak dapat ditafsirkan bahwa pemerintah yang

53

Konvensi ini sebenarnya hanya merupakan konvensi Regional kawasan Amerika, senantiasa menjadi rujukan dalam HI

54

Sefriani, op.cit hlm. 104

55

(5)

bersangkutan tidak pernah diintervensi pihak manapun dalam

menentukan kebijakannya. Dalam praktik, hampir tidak ditemukan

pemerintah suatu Negara yang bebas dari intervensi, baik intervensi

yang berasal dari Negara lain maupun subjek HI lain seperti yang

berasal dari lembaga internasional.56

d. Memiliki kemampuan untuk melakukan hubungan internasional

dengan negara lain (capacity to enter into relations with other state).

Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan Negara lain

merupakan manifestasi dari kedaulatan. Suatu Negara yang merdeka

tidak dibawah kedaulatan Negara lain akan mampu melakukan

hubungan dengan Negara lain. Suatu Negara dikatakan merdeka (legal independence) jika wilayahnya tidak berada dibawah otoritas berdaulat yang sah dari Negara lain. Kemampuan untuk melakukan hubungan

dengan Negara lain adalah kemampuan dalam pengertian yuridis baik

berdasarkan hukum nasional maupun internasional, bukan kemampuan

secara fisik.57

2. Organisasi (Publik) Internasional

Organisasi internasional diakui sebagai subjek HI yang berhak

menyandang hak dan kewajiban dalam HI barulah sejak keluarnya

pendapat nasihat Mahkamah Internasional dalam kasus Reparation Case

1949. Mahkamah Internasional dalam pendapat nasihatnya menyatakan

bahwa secara de jure dan de facto cukup PBB sebagai suatu organisasi

56

Ibid, hlm.106

57

(6)

internasional yang memiliki legal personality serta legal capacity untuk bertindak di depan hukum mewakili kepentingan PBB sendiri juga

kepentingan korbannya.58

D.W. Bowett merumuskan pengertian umum dari organisasi

internasional sebagai berikut : In general, however, they were permanent association…,based upon treaty of a multilateral than a bilateral type and with some define criterion of purpose.59

Terdapat dua fungsi utama dari organisasi internasional yaitu

sentralitas seperti halnya mengatur kegiatan organisasi lewat struktur yang

stabil dan perlengkapan administrasi yang mendukung. Selain itu

organisasi internasional juga berfungsi independen yang berarti memiliki

kemampuan untuk bertindak sesuai kadarnya dalam suatu bidang

tertentu.

Dalam artian ini organisasi

internasional harus memiliki syarat yaitu perjanjian dan lebih cenderung

pada perjanjian multilateral (banyak Negara) dibandingkan dengan

perjanjian bilateral (antara dua Negara) dan harus dengan tujuan tertentu.

60

Pemahaman lebih lanjut tentang elemen-elemen yang harus dimiliki

sebuah organisasi internasional diutarakan oleh Lerroy Bennet61

mengemukakan ada 5 ciri-ciri yang dimiliki organisasi Internasional yaitu:

58

Michael Akehurst, A Modern Introduction to International Law, (Inggris: George Allen 7 Unwin Publisher, 1983), hlm.69, dikutip dari Sefriani, op.cit, hlm.143

59

D. W. Bowett, The Law of International Institutions, (2nd ed.), (London: Butter Worth, 1970), hlm.5-6

60

Gerd Oberleitner, op.cit, hlm.12

61

(7)

a. A permanent organization to carry on a continuing set of functions

b. Voluntary Membership of Eligible

c. Basic Instrumen stating goals, structure and methods of operation

d. A broadly representative consultative conference organ

e. Permanent secretariat to carry on continuous administrative, research and information functions

Klasifikasi secara umum berdasarkan Piagam PBB bahwa terdapat 2

(dua) jenis organisasi internasional yaitu organisasi internasional

antar-pemerintah atau Internastional Governmental Organizations (IGOs) dan organisasi non-pemerintah atau Non-Governmental Organizations

(NGOs).62 Organisasi internasional antar pemerintah atau Internasional Governmental Organization (IGOs) adalah organisasi yang beranggotakan pemerintah atau instansi yang mewakili pemerintah suatu Negara secara

resmi.63

Dalam menjalankan fungsinya, organisasi tersebut perlu mempunyai

keabsahan sebagai satuan tersendiri, bukan sekedar mengatasnamakan Sedangkan Non-Governmental Organization adalah suatu lembaga yang didirikan atas prakarsa swasta atau non-pemerintah. Ruang

lingkup organisasi NGOs ini sangat luas dan beraneka ragam : Bidang

humaniter seperti Komisi Palang Merah Internasional (International Committee of Red Cross/ICRC) maupun Amnesty International. Selain itu, di bidang olahraga seperti Komite Olimpiade Internasional dan bidang

perlindungan lingkungan seperti Greenpeace.

62

United Nations, United Nations Charter, Pasal 71

63

(8)

Negara-negara anggotanya.64 Legal personality dan legal capacity adalah hal yang sangat penting dimiliki oleh suatu organisasi internasional agar

mereka dapat menjalankan fungsinya.65 Tidak semua organisasi

internasional memiliki status sebagai subjek hukum HI. Organisasi

Internasional yang diakui sebagai subjek HI harus memenuhi karakteristik

berikut66

a. Dibentuk dengan suatu perjanjian internasional oleh lebih dari dua :

Negara, apapun namanya dan tunduk pada rezim HI

b. Memiliki sekretariat tetap

Lewat perjanjian ini dapat diketahui apa nama organisasi tersebut,

tujuan, fungsi, asas, kewenangan, sistem keanggotaan, sistem pemungutan

suara, hak dan kewajiban anggota, juga organ-organ atau struktur

organisasinya. Syarat adanya perjanjian yang dibentuk oleh Negara-negara

menjadikan organisasi yang memiliki kedudukan sebagai subjek dalam HI

hanyalah organisasi antar-pemerintah (Inter-Government Organization) bukan Non-Government Organization.

Syarat kedua menujukkan tempat kedudukan organisasi tersebut.

Sekretariat menjadi tempat kegiatan, penyimpanan arsip,

pertemuan-pertemuan dan administrasi dari organisasi internasional hal ini juga

sebagai identitas dan pertanggunjawaban pendirian organisasi dalam

menunjukkan eksistensinya sebagai organisasi internasional. Dengan

64

T. May Rudy,op.cit, hlm. 26

65

Sefriani, op.cit, hlm.143

66

(9)

international personality yang dimilikinya maka suatu organisasi internasional akan memiliki kecakapan HI (international legal capacity).67

3. Tahta Suci (Vatikan)

Tahta Suci merupakan suatu contoh dari suatu subjek HI yang telah

ada sejak dahulu di samping Negara. Hal ini merupakan peninggalan atau

kelanjutan sejarah sejak zaman dahulu ketika paus bukan hanya

merupakan kepala gereja Roma, tetapi memiliki pula kekuasaan duniawi.

Hingga sekarang Takhta Suci mempunyai perwakilan diplomatik di

banyak ibukota (antara lain di Jakarta) wakil diplomatik Negara-negara

lain. Takhta suci merupakan suatu hukum dalam arti yang penuh dan

sejajar keduudkannya dengan Negara. hal ini terjadi terutama setelah

diadakannya perjanjian antara Italia dan Takhta Suci pada tanggal 11

Februari 1929 (Lateran Treaty) yang mengembalikan sebidang tanah di Roma kepada Takhta Suci dan memungkinkan didirikannya Negara

Vatikan, yang dengan perjanjian itu sekaligus dibentuk dan diakui.

Dalam kategori yang sama, yaitu subjek HI karena sejarah, walaupun

dalam arti yang jauh lebih terbatas dapat pula disebut suatu satuan yang

bernama Order of The Knights of Malta. Himpunan ini hanya diakui oleh beberapa Negara sebagai subjek HI.

4. Palang Merah internasional

International Committee of The Red Cross (ICRC) atau Palang Merah Internasional yang berkedudukan di Jenewa mempunyai tempat tersendiri

67

(10)

(unik) dalam sejarah HI. ICRC adalah organisasi yang dibentuk oleh John

Henry Dunant pada tahun 1949. Organisasi ini sebagai suatu subjek

hukum (yang terbatas) lahir karena sejarah walaupun kemudian

kedudukannya (status) diperkuat dalam perjanjian dan kemudian

Konvensi-konvensi Palang Merah (sekarang Konvensi Jenewa Tahun

1949 tentang Perlindungan Korban Perang). Sekarang Palang Merah

Internasional secara umum memiliki kedudukan sebagai subjek HI

walaupun dengan ruang lingkup yang sangat terbatas. 68

5. Orang Perorangan (Individu)

Pendapat yang dikemukakan Hans Kelsen dalam bukunya Prinsciples of International Law menyatakan bahwa apa yang dinamakan hak dan kewajiban negara sebenarnya adalah hak dan kewajiban semua manusia

yang merupakan anggota masyarakat yang mengorganisir dirinya dalam

negara itu. Dalam pandangan teori Kelsen ini Negara tidak lain dari suatu

konstruksi yuridis yang tidak akan mungkin tanpa manusia-manusia

anggota masyarakat Negara itu.69

Dalam perjanjian perdamaian Versailes tahun 1919 yang mengakhiri

Perang Dunia I antara Jerman dengan Inggris dan Perancis, dengan

masing-masing sekutunya sudah terdapat pasal-pasal yang memungkinkan

orang perorangan mengajukan perkara ke hadapan Mahkamah Arbitrase

Internasional, sehingga dengan demikian sudah ditinggalkan dalil lama

68

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, op.cit, hlm. 101

69

(11)

bahwa hanya Negara yang bisa menjadi pihak di hadapan suatu peradilan

internasional.70

Selanjutnya pasca perang dunia kedua dalam pengadilan ad hoc

Nurenberg dan Tokyo dinyatakan bahwa individu memeiliki international

personality, mampu menyandang hak dan kewajiban yang diberikan HI

padanya. Individu bertanggung jawab secara pribadi, dapat dituntut di

pengadilan internasional atas kejahatan perang yang dilakukannya tanpa

dapat berlinudng dibalik negaranya.71

Dari paparan historis tersebut tampak bahwa pengakuan HI terhadap

individu sebagai subjek HI terbatas pada dimungkinkannya individu

dituntut di depan pengadilan internasional untuk bertanggung jawab secara

pribadi atas namanyanya sendiri terhadap kejahatan-kejahatan

internasional yang telah dilakukannya.

72

Pengakuan terhadap kewajiban individu sebagai subjek HI diikuti oleh

pengakuan hak atas individu tersebut secara internasional. Perjanjian

Internasional yang memberikan hak pada individu untuk mengajukan

tuntutan di depan pengadilan internasional (salah satunya) adalah

Washington Convention Establishing the International Centre for Settlement of Investment Dispute 1965 yang dikenal dengan konvensi ICSID.

73

70

Treaty of Versailles, 1919, Pasal 297 dan 304

71

Sefriani, ibid, hlm. 147

72

Ibid, hlm. 148

73

(12)

Namun pengakuan ini memperoleh pembatasan. Individu-individu

dalam hal tertentu dapat menjadi subjek HI, tetapi hanya sebagai subjek

hukum buatan, sebagaimana yang dikatakan oleh Prof. Nguyen Quoc

Din.74

6. Pemberontak dan Pihak dalam Sengketa (Belligerent)

Disebut subjek hukum buatan adalah karena kehendak

Negara-negaralah yang menjadikan individu-individu tersebut dalam hal-hal

tertentu sebagai subjek HI yang dirumuskan dalam ketentuan-ketentuan

konvensional.

Kejadian-kejadian dalam suatu negara, termasuk di dalamnya

pemberontakan dari kaum separatis merupakan urusan intern negara yang

bersangkutan. Hukum yang berlaku terhadap peristiwa pemberontakan

tersebut adalah hukum nasional Negara yang bersangkutan. HI melarang

Negara lain untuk tidak melakukan intervensi tanpa persetujuan Negara

tersebut. Negara-negara lain berkewajiban menghormati hak Negara

tersebut menerapkan hukum nasionalnya terhadap peristiwa

pemberontakan itu.75 Menurut hukum perang, pemberontak dapat

memperoleh kedudukan dan hak sebagai pihak yang bersengketa

(belligerent) dalam beberapa keadaan tertentu76 Pada umumnya terdapat 4 unsur yang harus dipenuhi kaum pemberontak untuk mendapat pengakuan

sebagai belligerent yaitu77

74

Nguyen Quoc Din, Droit International Public, (5th Ed.), (Paris: Libraire Generale de Droit et de Jurisprudence, 1994), hlm. 620

:

75

I Wayan Parthiana, op.cit, hlm. 85

76

Lih Oppenheim-Lauterpacht, International Law, (8th Ed., Vol II) dikutip dari Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, op.cit, hlm. 110

77

(13)

a. Terorganisir secara rapi dan teratur dibawah kepemimpinan yang jelas

b. Harus menggunakan tanda pengenal yang jelas yang menunjukkan

identitasnya

c. Harus sudah mengasai secara efektif sebagian wilayah sehingga wilayah

tersebut benar-benar telah di bawah kekuasaannya

d. Harus mendapat dukungan dari rakyat di wilayah yang didudukinya

Beberapa subjek-subjek lantas dapat dikaitkan dengan yurisdiksi. Dalam

praktiknya, kata yurisdiksi sering memiliki beberapa arti seperti territorial dan

kewenangan. Namun paling sering untuk menyatakan kewenangan yang

dilaksanakan oleh Negara terhadap orang, benda atau peristiwa.78

Kata yurisdiksi (jurisdiction) berasal dari kata yurisdictio yang berasal dari dua kata yaitu kata yuris dan dictio. Yuris berarti kepunyaan hukum atau kepunyaan menurut hukum. Adapun diction berarti ucapan, sabda atau sebutan. Didalam bahasa Inggris jurisdiction berarti “authority to carry out justice and to interpret and apply laws” atau ”right to exercise legal authority”.

79

Adapun

Black’s Law Dictionary mendefinisikan yurisdiksi sebagai “the power of court to inquire into facts, apply the law, make decision, and declare judgement” atau “the legal right by which judges exercise their authority.”80

Namun banyak pendapat sarjana yang menyimpulkan bahwa bukan hanya

Negara yang memiliki yurisdiksi. Pendapat-pendapat tersebut dapat dibagi

78

Michael Akehurst, op.cit, dikutip dari Sefriani, op.cit, hlm.232

79

A.P. Cowie (ed), Oxford Advanced Learner’s Dictionary, (Oxford: Oxford University Press, 1989), hlm. 679

80

(14)

menjadi pendapat yang mendefinisikan yurisdiksi secara sempit (hanya

dimiliki oleh Negara) dan pendapat yurisdiksi secara lebih luas.

1. Yurisdiksi Dalam Arti Sempit

Dalam pendapat yang menyatakan bahwa yurisdiksi dilaksanakan oleh

Negara, lebih cenderung berpendapat bahwa yurisdiksi adalah refleksi dari

kedaulatan suatu Negara, yang dilaksanakan dalam batas-batas wilayahnya.

Apabila kedaulatan merupakan atribut atau ciri khusus dari Negara maka

yurisdiksi merupakan lambang kedaulatan suatu Negara. Pendapat-pendapat

yang mendukung pernyataan tersebut antara lain :

a. B. James George Jr. yang mendefinisikan yurisdiksi sebagai “the authority of nations or states to create or prescribe penal or regulatory norms and to enforce them through administrative and judicial action”.81

b. Malcon N. Shaw memberikan pengertian yurisdiksi sebagai berikut:

“The power of state to affect people, property and circumstances and reflects the basic of state sovereignty, equality of states and non-interference in domestic affairs. Jurisdiction is a vital and indeed central feature of sovereignty,…it may be achieved by means of legislative action or by executive action or by judicial action.”

Hal ini berarti yurisdiksi menggambarkan kekuasaan Negara untuk

mengatur orang, kebendaan, dan peristiwa serta mencerminkan

landasan dari kedaulatan Negara, kesederajatan antar-negara dan tidak

campur tangan dalam urusan dalam negeri Negara lain. Shaw juga

81

(15)

berpendapat bahwa yurisdiksi merupakan hal yang sangat penting dari

kedaulatan Negara, Hal ini dapat diwujudkan melalui kegiatan

legislatif, eksekutif ataupun yudikatif. Menurut Shaw, lingkup

yursidiksi sebagai refleksi kedaulatan negara terdiri dari tiga jenis

yurisdiksi yaitu :

1) Legislative Jurisdiction. Yurisdiksi legislatif menunjukan pada kekuasaan yang dimiliki organ Negara secara konstitusional untuk

membuat hukum yang mengikat di dalam wilayahnya.

2) Executive Jurisdiction. Yurisdiksi eksekutif berkaitan dengan kemampuan Negara untuk melakukan tindakan di dalam

batas-batas Negara lain. Pejabat negar tidak dapat menerapkan

hukumnya di wilayah Negara lain.

3) Judicial Jurisdiction. Yurisdiksi yudisial berkaitan dengan kekuasaan pengadilan Negara tertentu untuk mengadili

perkara-perkara yang ada faktor asing. Terdapat sejumlah dasar atau alasan

yang dapat digunakan pengadilan untuk menuntut mengadili dalam

yurisdiksinya, dari mulai prinsip territorial sampai prinsip

universal.82

c. Hakim Mac Millan menyatakan :

“it is essential attribute if sovereignity…,as of all soverign independent states, that it just process jurisdiction over all person and

82

(16)

things within its territorial limits and in all causes, civil and criminal arising within its limits”83

(Ini merupakan karakteristik esensial dari kedaulatan…,sebagaimana

juga yang melekat pada semua Negara merdeka yang berdaulat, bahwa

kekuasaan tersebut mencakup yurisdiksi atau kewenangan atas semua

orang dan benda atau peristiwa yang ada atau terjadi dalam batas-batas

wilayahnya, baik yang bersifat keperdataan maupun pidana)

Dalam tataran teoritis, terdapat dua doktrin kontemporer tentang yurisdiksi

ini yakni doktrin Domestic Jurisdiction (Yurisdiksi Domestik) yang merupakan yurisdiksi dalam suatu Negara dan Universal Jurisdiction

(Yurisdiksi Universal). Dalam HI prinsip yurisdiksi domestik dijamin seperti

dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (7) Piagam PBB yang berbunyi :

“Nothing contained in the present Charter shall authorize The United Nations to intervene in matters which are essentially with the domestic jurisdiction of any state.”84

Namun dalam Piagam PBB juga diberikan pengesahan untuk melakukan

intervensi (dalam hal ini intervensi positif atau kemanusiaan, seperti yang

diatur dalam Bab VII tentang keleluasaan Organisasi Internasional (PBB, atau

organisasi regional) untuk merespons ancaman-ancaman terhadap perdamaian,

pelanggaran atas perdamaian, tindakan-tindakan melanggar HAM dan praktik

terorisme. Dengan kata lain, yurisdiksi domestik masih diakui selama tidak

83

Sigid Suseno, loc.cit., hlm. 54

84

(17)

bertentangan dan menjadi ancaman bagi perdamaian dan keamanan dunia

global.

Dalam kajian HI kontemporer, setidaknya ada 2 penyebab utama kenapa

yurisdiksi domestik suatu Negara tidak bisa dijalankan secara mutlak, yaitu :

a. Adanya perkembangan mekanisme internasional tentang perlindungan

HAM dan perlingdungan dari serangan terorisme global

b. Adanya praktik-praktik intervensi yang dilakukan komunitas

internasional terhadap rezim pemerintahan yang dinilai telah

melakukan kejahatan berat HAM dan Terorisme.85

Selain itu terdapat doktrin Universal Jurisdiction (Yurisdiksi Universal) Prinsip HI yang menjadi antitesa dari kejayaan prinsip yurisdiksi domestik

adalah prinsip yurisdiksi universal. Prinsip ini lahir dari pemahaman bahwa

setiap Negara di dunia ini memiliki kewajiban-kewajiban universal untuk

melindungi HAM, memerangi terorisme global dan melindungi kebebasan

fundamental semua warga dunia. Berdasarkan hal ini, dipandang perlu adanya

suatu komunitas internasional yang mempunyai hak dan tanggung jawab

untuk mengawasi dan mengambil tindakan tegas terhadap Negara-negara yang

mengancam kedamaian dunia. Komunitas internasional tersebut adalah PBB

dan organisasi regional yang ada di setiap belahan dunia yang diberi mandat

untuk mempromosikan dan memberikan perlindungan dari teroris dan

kejahatan HAM. 86

85

Ibid, hlm.61-62

86

(18)

Berdasarkan objek dan yurisdiksi dapat dibagi menjadi yurisdiksi

personal, yurisdiksi teritorial, dan yurisdiksi kuasi teritorial. Sedangkan

berdasaarkan ketentuan yang membatasi pelaksanaan kedaulatannya,

yurisdiksi dapat dibagi menjadi yurisdiksi terbatas dan yurisdiksi tidak

terbatas.

a. Yurisdiksi Personal

Yurisdiksi merupakan otoritas yang ditimbulkan oleh kedaulatan

negara atas individu-individu berdasarkan proteksi (perlindungan).

Dengan demikian titik beratnya 0ada sujek hukum yang ditundukkan

oleh hukum yang bersangkutan.87 Lebih lanjut, yurisdiksi personal ini

terdiri dari yurisdiksi personal aktif dimana berdasarkan prinsip ini,

negar memiliki yurisdiksi terhadap warganya yang melakuan kejahatan

di luar negeri serta yurisdiksi personal pasif dimana engara memiliki

yurisdiksi terhadap wargnya yang menjadi korban kejahatan yang

dilakukan orang asing di luar negeri.88

b. Yurisdiksi Teritorial

Pengertian yurisdiksi teritorial menunjuk pada yurisdiksi yang

berlaku atas orang ataupun benda khususnya pada wilayah di mana

orang ataupun benda berada. Dalam setiap wilayah teritorial negara,

yurisdiksi teritorial ini mencakup warga negara beserta harat bendanya.

87

F.X. Adji Samekto, Negara dalam Dimensi Hukum Internasional, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2009), hlm. 62

88

(19)

Orang asing tidak dapat menuntut pembebasan diri atas yurisdiksi

teritorial.89

Meskipun penting, kuat dan populer, penerapan yurisdiksi teritorial

tidaklah absolut. Ada beberapa pengecualian yang diatur dalam HI di

mana negara tidak dapat menerapkan yurisdiksi teritorialnya,

meskipun suatu peristiwa terjadi di wilayahnya. Beberapa

pengecualian yang dimaksud adalah90

a. Terhadap pejabat diplomatik negara asing :

b. Terhadap negara dan kepala negara asing

c. Terhadap kapal publik negara asing

d. Terhadap organisasi internasional

e. Terhadap pangkalan militer negara asing

c. Yurisdiksi Terbatas dan Yurisdiksi Tidak Terbatas

Pada dasarnya setiap negara berdaulat melaksanakan yurisdiksi

tidak terbatas di dalam wilayahnya atas semua orang dan benda,

kecuali yang terhadapnya telah dibatasi oleh perjanjian-perjanjian

internasional, hukum kebiasaan internasional, serta prinsip-prinsip

hukum umum. Dalam bidang-bidang tertentu yurisdiksi negara

memang harus dibatasi. Apabila tidak dibatasi, suatu negara berdaulat

dalam wilayah teritorialnya dapat mengabaikan subjek-subjek hukum

internasional yang lain melalui pelaksanaan kekuasaannya di bidang

legislatif, yudikatif dan eksekutif. Pengakuan timbal balik antara

89

F.X. Adji Samekto, op.cit, hlm. 63

90

(20)

negara berdaulat mengandung arti bahwa apabila tidak ada ketentuan

hukum internasional yang mengatur sebaliknya, masing-masing negara

mempunyai tanggung jawab hukum untuk tidak melanggar yurisdiksi

teritorial negara berdaulat lain.

Yurisdiksi yang tidak terbatas adalah yang mencakup wilayah

teritorial negara, harta benda, dan hak milik warga negaranya. Negara

juga berhak melaksanakan yurisdiksi teritorialnya terhadap orang

asing, tetapi pelaksanaannya dibatasi oleh standar minimum

internasional untuk kepentingan orang asing itu dan

pembatasan-pembatasan penerapan yurisdiksi ini lebih lanjut dituangkan melalui

perjanjian internasional.91

2. Yurisdiksi Dalam Arti Luas

Adapun beberapa pendapat tentang definisi yurisdiksi secara lebih luas,

dikemukakan oleh para sarjana hukum, antara lain :

a. Menurut I Wayan Parthiana, kata yurisdiksi berarti kekuasaan atau

kewenangan yang dimiliki suatu badan peradilan atau badan-badan

Negara lainnya yang berdasarkan atas hukum yang berlaku. Bila

yurisdiksi dikaitkan dengan Negara maka akan berarti kekuasaaan atau

kewenangan Negara untuk menetapkan dan memaksakan (to declare

91

(21)

and to enforce) hukum yang dibuat oleh negara atau bangsa itu sendiri.92

b. Romly Atmasasmita membedakan 3 konsep tentang lingkup yurisdiksi,

yaitu :

1) Yurisdiksi untuk menetapkan suatu peraturan perundang-undangan

(jurisdiction to prescribe)

2) Yurisdiksi untuk melaksanakan penuntutan (jurisdiction to adjudicates)

3) Yurisdiksi untuk menerapkan peraturan perundang-undangan

(jurisdiction to enforce)

Dengan perkataan lain lingkup yurisdiksi meliputi yurisdiksi untuk

menetapkan hukum, yurisdiksi untuk menerapkan hukum dan

yurisdiksi untuk menuntut atau mengadili.93

c. Menurut Prof. Sugeng Istanto, Yurisdiksi adalah kekuasaan, hak atau

wewenang untuk menetapkan hukum. Bila dihubungkan dengan ajaran

“trias politica”, yurisdiksi mencakup kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.94

d. Bert-Jaap Koops dan Susan Benner memandang bahwa yurisdiksi

meliputi beberapa konsep dengan ciri-ciri tersendri, yaitu jurisdiction to prescribe, jurisdiction to adjudicate dan jurisdiction to enforce.

Jurisdiction to prescribe adalah suatu kedaulatan entitas kekuasaan untuk membuat hukum yang dapat diterapkan terhadap berbagai

92

I Wayan Parthiana, op.cit, hlm. 293-294

93

Sigid Suseno, op,cit, hlm.54

94

(22)

aktivitas, hubungan, status orang atau kepentingan orang-orang tentang

kekuasaan. Jurisdiction to adjudicate suatu kedaulatan entitas kekuasaan terhadap orang atau entitas untuk diproses di pengadilan

atau peradilanadministrasi dengan tujuan untuk memutuskan terjadinya

pelanggaran hukum. jurisdiction to enforce adalah kedaulatan entitas kekuasaan untuk melaksanakan atau memaksa memenuhi atau

memutuskan tidak melakukan menurut hukum atau peraturan, apakah

dilakukan melalui pengadilan atau dilakukan oleh eksekutif,

administratif polisi, atau tindakan non-yudisial lainnya.

Dari pendapat-pendapat sarjana dan sumber-sumber lain diatas maka dapat

disimpulkan bahwa definisi yurisdiksi terdiri dari definisi yang sempit dimana

hanya Negara yang memiliki yurisdiksi berkaitan dengan kedaulatannya, serta

definisi yang lebih luas dimana yurisdiksi adalah bentuk dari kekuatan atau

kompetensi atau kewenangan. Ini berarti bahwa yurisdiksi menggambarkan

kompentensi untuk mengendalikan dan mengubah hubungan hukum dari

subjek-subjek pada kompetensi itu dan penerapan dari norma hukum.95

B. Sejarah Terbentuknya European Court of Human Rights

HAM telah lama menjadi bahan kajian teori maupun praktik, baik

pembicaraan mengenai hakikat hingga kepada esensi penegakkan perlindungan

terhadapnya. Dalam pengkajian hakikat dan esensi tersebut, muncul pendapat dari

95

(23)

berbagai pandangan yang masing-masing menekankan pada suatu aspek tertentu.

Beberapa diantara pandangan-pandangan tersebut antara lain :

a. John Locke

Menurut John Locke, hak adalah hak yang diberikan langsung oleh

Tuhan sebagai sesuatu yang alami. Artinya, hak asasi manusia yang

dimiliki oleh manusia sifatnya tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya,

sehingga besifat suci.

b. Franz Magnis Suseno

Hak asasi manusia adalah hak-hak manusia tidak seperti yang

diberikan kepadanya oleh masyarakat. Jadi bukan karena hukum

positif, tetapi dengan martabat sebagai manusia. Manusia memilikinya

karena ia adalah manusia.

c. Miriam Budiardjo

Miriam Budiardjo membatasi gagasan hak asasi manusia sebagai hak

asasi manusia yang telah diperoleh dan dilakukan bersamaan dengan

lahirnya atau kehadiran di masyarakat.96

Kajian mengenai HAM mulai berkembang pesat ketika berakhirnya

Perang Dunia II (1939-1945). Dalam perspektif sejarah, penghormatan HAM

telah dilaksanakan lewat Piagam Madinah tahun 622 M.97

96

100 Pengertian Hak Asasi Manusia menurut Para Ahli, Setelah itu banyak

lahir pernyataan-pernyataan dan instrumen-instrumen hukum dari berbagai

para.5, 10, dan 11, terakhir diakses tanggal 12 Januari 2015

97

(24)

belahan dunia lainnya antara lain Magna Charta (1679), Bill of Rights (1776),

Declaration des Droits l’Hommes et du Citoyen (1789).

Seiring perkembangannya, isu HAM tidak lagi menjadi suatu masalah

yang secara eksklusif merupakan kewenangan dalam negeri dari Negara,

namun yang sekarang diakui, HAM telah menjadi masalah yang diatur baik

oleh hukum nasional maupun Hukum Internasional dan tidak menjadi

yurisdiksi dalam suatu Negara. United Nations Declaration of Human Rights

atau Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB (DUHAM) yang dibentuk tahun 1948

merupakan dokumen HAM internasional yang merupakan komitmen

Negara-negara dunia terutama setelah berakhirnya perang dunia kedua. Pentingnya

perlindungan dan penghormatan HAM lantas ditegaskan dalam konsideran

DUHAM : “Whereas it is essential, if man is not to be compelled to have recourse, as a last resort, to rebellion against tyranny and oppression, that human rights should be protected by the rule of law”98

Sebagai sebuah pernyataan atau piagam, DUHAM hanya merumuskan

secara moral, belum secara yuridis walau dinilai telah memberi pengaruh

moril, politik dan edukatif yang sangat besar. Sejalan dengan hal tersebut,

HAM dalam instrumen hukum, tetap dikembangkan dengan dibentuknya

berbagai Perjanjian Internasional yang lebih rinci antara lain, International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) atau Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) atau Konvenan Internasional

98

(25)

tentang Hak Sipil dan Politik) tahun 1966.99 Hal ini sesuai dengan tujuan

hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan.100

Perkembangan ini lantas menggerakkan kesadaran di berbagai belahan

dunia lain, untuk membentuk instrumen hukum dalam perlindungan HAM

termasuk di tingkat nasional dan regional salah satunya di tingkat Eropa.

Sehubungan dengan hal tersebut, pembentukan European Court of Human Rights (ECtHR) atau Mahkamah Hak Asasi Eropa merupakan organ dari

Council of Europe (CoE) atau Dewan Eropa yang sasarannya adalah, inter alia, penguatan demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Rule of Law.101

CoE (Conseil de l'Europe, Consejo de Europa, Europarat, Consiglio d'Europa) terbentuk dengan ditandatanganinya Treaty of London atau Statute of Council of Europe pada tanggal 5 Mei tahun 1949 oleh sepuluh Negara yakni “the Kingdom of Belgium, the Kingdom of Denmark, the French Republic, the Irish Republic, the Italian Republic, the Grand Duchy of Luxembourg, the Kingdom of the Netherlands, the Kingdom of Norway, the Kingdom of Sweden and the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland.102

99

Semua pihak dalam ECHR adalah juga termasuk pihak dalam ICCPR.

CoE merupakan organisasi Inter-Governmental (antar-pemerintah) oleh karena anggota organisasi ini terdiri dari pemerintah yang mewakili

negara secara resmi.

100

Pendapat Gustav Radbruch dalam Ahmad Zaenal Fanani, Teori Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Islam, diunduh dari

101

Council of Europe, Statute of the Council of Europe, 1949, Pasal 3, Bab II

102

(26)

CoE adalah lembaga tertua yang memiliki peran signifikan dalam

mempromosikan HAM di tingkat Eropa.103

Sebagai organisasi Internasional yang memiliki internasional legal capacity, CoE dapat membuat perjanjian internasional dengan subjek HI lainnya, salah satunya adalah dengan Uni Eropa. CoE adalah organisasi

Internasional regional Eropa pertama dan khusus membidangi hal-hal

sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 3 Statute of Council of Europe

sedangkan Uni Eropa dibentuk berdasarkan Treaty on European Union dan lebih berfokus pada kemajuan ekonomi regional, seperti mempromosikan

pasar antar negara anggota atau melestarikan, melindungi, peningkatan

kualitas lingkungan.

Pada tahun-tahun pertamanya,

keanggotaan CoE terbatas pada Negara-Negara Demokrasi Eropa terkecuali

Spanyol dan Portugis sampai pada pertengahan 1970an. Dalam

perkembangannya saat ini anggota CoE telah berjumlah 47 negara termasuk

semua anggota European Union atau Uni Eropa.

104

Namun keduanya memiliki tujuan yang sama yakni

menyatukan Eropa dalam suatu komunitas regional di berbagai bidang

kehidupan. Jadi, walaupun memiliki hubungan yang erat dengan Uni Eropa,

CoE bukanlah bagian dari Uni Eropa.105

Adapun kerjasama-kerjasama yang dilakukan CoE dan UE antara lain:

a.

and the European Union (2007)

b. Council of Europe - European Union: "A sole ambition for the

103

Ibid, hlm.135

104

Penelope Kent, Law of the European Union, (Great Britain: Longman, 2001), hlm.4

105

Duke University School of Law, Council of Europe,

(27)

European continent” - Report by Jean-Claude Juncker (2006)

c.

of Europe and the European Union (2001)

d.

for Fundamental Rights and the Council of Europe (2008)106

e. Dan menggelar High-level Political Dialogue Meetings between the UE and the Council of Europe (former "Quadripartite" Meetings)

Selain kemampuan menjalin kerjasama dengan orgaisasi lain, sebagai

organisasi Internasional CoE memiliki beberapa organ untuk menjalankan

fungsinya dalam mencapai tujuan organisasi. Adapun organ-organ awal yang

dibentuk CoE yakni The Committee of Ministers (Komisi Menteri) dan The Parliamentary Assembly (Majelis Parlemen) sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 10 StatutaCouncil of Europe.

a. The Committee of Ministers (Komisi Menteri)

Komite ini adalah organ dengan karakter tradisional, dapat dikatakan,

bersifat kepemerintahan.107 Komite Menteri dibentuk dari Menteri Luar

Negeri masing-masing Negara anggota.108

106

The Council of Europe's Relations with the European Union, Dalam kerjasama dengan

Majelis Parlemen, komisi ini menjadi pengawal nilai dasar CoE, dan

bertugas mengamati kesesuaian Negara anggota terhadap kewajibannya.

Komisi Menteri juga membantu masalah kebijakan bersama Steering Committee for Human Rights yang terbentuk dari wakil 47 Negara-negara anggota dimana setiap Negara anggota berhak atas satu hak suara.

107

D.W Bowett, Hukum Organisasi Internasional, terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), hlm.219

108

(28)

Komisi Menteri ini, setelah ECtHR terbentuk, bertugas untuk

mengawasi penegakkan putusan ECtHR berdasarkan Pasal 46 ECHR.

Fungsi utama Komite ini adalah menjamin Negara-negara anggota menaati

putusan dan ketetapan pengadilan.

b. The Parliamentary Assembly (Majelis Parlemen)

Majelis Parlemen dibentuk dari kelompok perwakilan dari parlemen

nasional Negara-negara anggota (saat ini terdapat 636 anggota). Jika

dalam Komite Menteri setiap Negara-negara anggota memiliki satu hak

suara, dalam Majelis Parlemen ini setiap Negara tergantung pada

populasinya, telah memiliki antara 2-18 perwakilan, yang menyediakan

refleksi keseimbangan pada tekanan politik yang mewakili parlemen

nasional. Maka setiap Negara anggota tinggal memutuskan bagaimana

menentukan atau memilih perwakilannya. Contohnya Inggris, menunjuk

Perdana Menteri. Majelis Parlemen memilih agendanya sendiri dan

merekomendasikan kebijakan untuk mengadopsi yang nantinya akan

dilanjutkan kepada pemerintah untuk ditindak lanjuti.

Selain itu, dalam rangka pengembangan lebih lanjut pelaksanaan hukum

Hak Asasi Manusia, dibentuk pula Committee of Experts on Human Rights

yang bertugas, antara lain :

a. Mendata pelaksanaan sistem pengawasan dari konvensi dan

mempercepat tata kerjanya demi terciptanya perlindungan individu

(29)

b. Membawa Konvensi HAM Eropa sejalan dengan Konvensi Hak-Hak

Sipil dan Politik PBB; dan

c. Promosi terciptanya kesadaran Eropa lebih tinggi di lingkungan

nasional, internasional, dan juga di kalangan masyarakat umum.

CoE menghasilkan banyak perjanjian-perjanjian HAM yang penting, dan

yang paling awal dan menonjol adalah Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedom atau European Convention on Human Rights (ECHR) yang ditandatangani di Roma pada 4 November 1950. ECHR berlaku pada bulan September 1953 dan sampai Tahun 2014 telah

memiliki sembilan Protokol Tambahan dan telah ditandatangani oleh 47

negara-negara Eropa. Kecuali Belarus dan Vatikan, seluruh Eropa saat ini

berada dalam sistem perlindungan Konvensi.109

Dalam Mukadimah Konsideran atau Pertimbangan Hukum pada konvensi

tersebut menegaskan:

“ ... Considering that the aim of the Council of Europe is the achiement of greater unity between its members and that one of the methods by which that aim is to be pursued is the maintenance and further realization of the Human Rights and Fundamental Freedom,” dan “...have a command heritage of political tradition, ideas, freedom and the rule of law to take the first steps for the Universal Declaration”.

Dari mukadimah tersebut, terbukti bahwa perekat utama bangsa-bangsa

Eropa ialah merasa memiliki persamaan pandangan dalam tradisi, ide, sejarah,

dan politik.110

109

Alice Donald, Jane Gordon, Philip Leach, op.cit, hlm.10

Perjanjian HAM regional yang melindungi hak sipil dan politik

yang mendasar, tercipta sebagai tindakan dukungan melawan pengulangan

110

(30)

pelanggaran HAM. Pihak yang menandatangani perjanjian tersebut juga

bertujuan untuk mendorong perluasan demokrasi dalam komunisme Eropa dan

menekan penyebaran ideologi kediktatoran dan ketotalitarianan di bagian

Eropa yang lain.111

Untuk memperjelas isi konvensi maka diperlukan protokol yang berisi

berbagai rincian yang belum tercantum di dalam konvensi. Adapun

seluProtokol Tambahan ECHR yaitu :

a. Protokol Pertama112

b. Protokol Kedua (Protokol Nomor 4)

, berisi hak-hak dan kebebasan fundamental seperti

perlindungan hak terhadap properti dan hak untuk pendidikan

113

c. Protokol Ketiga (Protokol Nomor 6)

, melindungi hak-hak dan

kebebasan fundamental tertentu selain yang telah tercantum dalam

Konvensi dan dalam Protokol Tambahan pertama seperti Kebebasan

untuk Bergerak dan Pelarangan Pengusiran dari Kewarganegaraan

114

d. Protokol Keempat (Protokol Nomor 7)

, berisi tentang penambahan

perlindungan HAM dalam Konvensi yakni penghapusan Hukuman

Mati

115

111Ibid. hlm. 136

, berisi melengkapi hak-hak

dan kebebasan yang telah ada pada Konvensi dan protokol-protokol

sebelumnya, seperti kompensasi untuk penghukuman yang salah serta

hak untuk tidak diadili dua kali

112

Berlaku pada tanggal 18 Mei 1954

113

Berlaku pada tanggal 2 Mei 1968

114

Berlaku pada tanggal 1 Maret 1985

115

(31)

e. Protokol Kelima (Protokol Nomor 12)116

f. Protokol Keenam (Protokol Nomor 13)

, berisi pelarangan terhadap

diskriminasi

117

g. Protokol Ketujuh (Protokol Nomor 14)

, berisi pengembangan

pengaturan yang berkaitan dengan penghapusan hukuman mati pada

semua keadaan

118

h. Protokol Kedelapan (Protokol Nomor 15)

, amandemen ketentuan

tertentu untuk memelihara dan meningkatkan efisiensi dari sistem

kontrol jangka panjang, yakni dengan membuat pengaturan yang lebih

mengenai pengawasan pelaksanaan putusan ECtHR

119

i. Protokol Kesembilan (Protokol Nomor 16)

berisi tentang prinsip

subsidiaritas dan margin of appreciation berkaitan dengan tanggung jawab Negara dalam melindungi hak dan kebebasan yang ditetapkan

dalam Konvensi dan Protokol tambahan.

120

Mengenai kaitannya dengan HI, ECHR diinspirasi dan dipengaruhi oleh

DUHAM.

berisi penambahan

kompetensi Pengadilan untuk memberikan pendapat nasihat untuk

menambah interaksi antara Pengadilan dan otoritas nasional.

121

116

Berlaku pada tanggal 1 April 2005

Selain sebagai konvensi regional, dalam bagian konsideran,

konvensi tersebut juga dibentuk dengan mempertimbangkan DUHAM yang

diproklamirkan oleh Majelis Umum Pada 10 Desember 1948. Dalam

117Berlaku pada tanggal 1 Juli 2003

118

Berlaku pada tanggal 1 Juni 2010

119

Diresmikan pada tanggal 26 April 2013

120

Diresmikan pada tanggal 28 Juni 2013

121

(32)

konsideran Konvensi, juga dinyatakan ini bertujuan untuk melindungi

pengakuan yang efektif dan universal serta kepatuhan terhadap hak-hak yang

dinyatakan dalam Konvensi.122 Hal ini yang menyebabkan, motif pencetusan

HAM negara-negara Eropa, antara lain bertujuan memperkuat Hak Asasi

Manusia PBB.123

Dalam perlindungan hak-hak tersebut, maka dibentuk badan-badan

tertentu. Dalam pelaksanaan ECHR, institusi terdiri dari European Commission of Human Rights (komisi yang bertugas untuk menyaring pengaduan untuk Pengadilan) The European Court of Human Right

(pengadilan regional yang menjalankan fungsi yudisial terhadap pelanggaran

hak-hak yang tercantum di dalam ECHR) dan Committee of Ministers (badan yang mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan).

124

Dasar pendirian European Court of Human Rights (ECtHR) yakni melalui Pasal 19 ECHR :“To ensure the observance of the engagements undertaken by the High Contracting Parties in the Convention and the Protocols thereto, there shall be set up a European Court of Human Rights, hereinafter referred to as “the Court”. It shall function on a permanent basis.” Pada tanggal 1 November 1998, ketika Protokol 11 diberlakukan, Komisi dihapuskan dan

fungsinya digabungkan pada Pengadilan permanen dan sepenuhnya. Kekuatan

pembuatan keputusan Komisi ini juga dihapuskan dengan Protokol ini serta

122Konsideran European Convention of Human Rights mempertimbangkan Universal

Declaration of Human Rights yang diproklamirkan oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948.

123

Masyhur Effendi, Taufani S.Evandri, op.cit, hlm.119

124

(33)

peran Komite Menteri sekarang dibatasi untuk mengawasi pelaksanaan

putusan.125

ECtHR merupakan salah satu dan yang pertama dari beberapa Pengadilan

HAM di dunia disamping The Inter American Court of Human Rights (1996) dan African Court of Human and People’s Rights (1981). Namun keunikan yang ditawarkannya adalah ECtHR secara luas dipandang sebagai Pengadilan

trans-national yang paling efektif untuk pengaduan yang diajukan oleh perseorangan dan organisasi untuk melawan pemerintah mereka, dan sedikit

banyak sering gugatan pelanggaran dilakukan oleh Negara-negara anggota

melawan satu sama lain.

126

Mengenai hubungannya dengan Uni Eropa

Dengan demikian, Pengadilan HAM yang baru

menentukan kedua permasalahan yakni permasalahan diterima atau tidaknya

sebuah pengaduan serta tahap proses pengadilan terhadap kasus.

127

125Council of Europe, European Convention on Human Rights, 1950, BAB II, Pasal 42

kesalahpahaman sering

terjadi mengenai permasalahan bahwa ECHR adalah hasil dari dan secara

langsung berhubungan dengan Uni Eropa. Prinsip ECHR adalah untuk

meningkatkan integrasi Eropa dalam rangka mengeliminasi sebab perang

dimasa depan dan untuk itu, Uni Eropa telah mengaksesi Treaty of Rome

tahun 1956. Namun, dalam hukum Uni Eropa, Uni Eropa dan institusinya

(seperti Komisi Eropa, Parlemen Eropa dan Pengadilan Uni Eropa di

126

Steven Greer, The European Counrt of Human Rights, Achievements, Problems and Prospects, (Cambridge: Cambridge University Press, 2006), hlm. 1

127Piagam Hak Fundamental (Fundamental Rights) diproklamirkan oleh Uni Eropa pada

(34)

Luxembourg) tidaklah secara langsung terikat pada ECHR. Hal ini secara

tidak langsung menyebabkan ketidakseimbangan, bahwa anggota Uni Eropa

merupakan subjek ECHR, sedangkan institusi supranasional dimana mereka

telah melimpahkan kekuasaannya, tidak.

Untuk memperbaiki kejanggalan ini, Uni Eropa telah berkomitmen (lewat

Treaty of Lisbon, yang berlaku pada tahun 2009)128 untuk menjadi bagian ECHR. Semua 28 anggotanya juga merupakan pihak ECHR dan meratifikasi

ECHR dimana secara explisit merupakan syarat aksesi Uni Eropa. Ketika

aksesi sepenuhnya dilaksanakan, perseorangan akan dapat membawa

pengaduan pelanggaran hak-hak dalam ECHR oleh Uni Eropa kepada ECtHR.

Kemungkinan ini juga dibuka oleh CoE melalui Paragraf 2 Pasal 59 Konvensi

yang berbunyi “The European Union may accede to this Convention.” Oleh karenanya Uni Eropa menjadi dalam situasi yang sama sebagaimana

perseorangan Negara-negara yang Terikat.129

C.Komponen European Court of Human Rights

Lawrence M. Friedmann berpendapat “…a working system can be analyzed further into structural. By structural, we mean the institution themselves, from the forms they take, and the processes that they perform…”

128

Pasal 6 Treaty of Lisbon berbunyi “The Union shall accede to The European Convention for the Protection of Human Rights and Fundamental Freedoms”

129

(35)

(sistem yang bekerja dapat dianalisis lebih jauh kepada struktural. Dengan

struktural, yang dimaksud adalah institusi itu sendiri, dari bentuk-bentuk yang

mereka ambil, dan proses yang mereka tunjukkan).130

Pendapat ini berkorelasi dengan alasan mengapa suatu institusi atau

organisasi dalam menjalankan fungsi dan untuk mencapai tujuannya harus

dilengkapi dengan struktur institusi atau organisasi itu sendiri. Hans Kelsen

berpendapat, hanya organ, secara terbatas yang dapat mematuhi atau tidak

mematuhi norma hukum, dengan mengaplikasikan atau tidak mengaplikasikan

sanksi yang ditentukan. Sebagaimana biasa digunakan kata mematuhi norma

dan tidak mematuhi norma menunjuk pada tindakan subjek.131 Hal ini

mencerminkan bahwa organisasi Internasional dalam mencapai tujuannya dan

menampilkan fungsinya terutama adalah melalui organ-organnya. Selalu ada

setidaknya satu organ dalam sebuah organisasi namun umumnya terdapat

lebih dari satu.132

Terdapat dua jenis organ dari organisasi Internasional yakni organ

non-yudisial dan organ non-yudisial. Organ non-non-yudisial adalah organ yang

menjalankan fungsi selain bidang yang mengadili perkara, seperti fungsi

administrasi dan finansial internasional. Contoh organ yang termasuk dalam

jenis ini antara lain adalah Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB.

Sedangkan organ yudisial adalah organ yang menangani perkara seperti

130

Lawrence M.Friedmann dikutip dari Masyhur Effendi, Taufani S.Evandri, op.cit, hlm.42

131Hans Kelsen, General Theory of Laws and State, terjemahan Anders Wedberg, New

York: Russell & Russell), 1961, hlm.61 dikutip dari Jimly Asshiddiqie, M.Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen tentang Hukum, (Edisi Keempat) (Jakarta: Kon Press, 2014), hlm.53-54

132

C. F. Amerasinghe, Principles of the Institutional Law of International Organizations

(36)

International Criminal Tribunal for the Former Rwanda (ICTR),

International Court of Justice (ICJ) dari PBB dan ECtHR sendiri yang berasal dari CoE. Kebanyakan organisasi internasional memiliki setidaknya suatu

pengadilannya sendiri atau menggunakan pengadilan internal dari organisasi

lain untuk menyelesaikan masalah sengketa melalui jalan yudisial.133

Untuk mengetahui sistem kerja dan proses ECtHR dapat diidentifikasi

melalui komposisi atau susunan Pengadilan dalam menjalankan fungsi

yudisialnya yang merupakan hal yang lebih teknis. Dasar terbentuknya

komponen di ECtHR tercantum dalam Paragraf 1 Pasal 24 ECHR yang

menegaskan “The Court shall have a Registry, the functions and organisation of which shall be laid down in the rules of the Court”. Hal ini berarti, ECtHR harus memiliki fungsi-fungsi dan bagian-bagian dalam menjalankan aturan

Pengadilan. Fungsi-fungsi dan bagian-bagian tersebut terutama terdiri dari

Hakim-hakim, Seksi dan Grand Chamber.

134

1. Hakim-Hakim

Hakim-hakim dipilih oleh Majelis Parlemen dan berasal dari daftar tiga

kandidat yang diajukan oleh masing-masing Negara-negara Pihak. Mereka

dipilih untuk periode 9 tahun yang tidak dapat diperbaharui lagi dan tidak

ada batasan usia pensiun. Susunan hakim dapat terdiri dari hanya satu

hakim (single judge) dan tiga hakim yang disebut sebagai Komite135

133

Ibid, hlm.220

yang

134Component

135

(37)

memiliki kompetensi dalam mengumumkan bahwa suatu kasus itu

diterima (admissible) hingga dilanjutkan pada proses persidangan, maupun tidak diterimanya kasus tersebut (inadmissible) sehingga dikeluarkan dari daftar kasus serta tidak akan dilanjutkan dengan pemeriksaan lebih

lanjut.136 Adapun para hakim di ECtHR memiliki kriteria-kriteria tertentu

dalam menjalankan fungsinya, sebagaimana tercantum pada Pasal 21

Paragraf 1, 2 dan 3.137 Walaupun hakim dipilih untuk menghormati

Negara, tetapi mereka bersifat independen dan tidak dapat ikut dalam

kegiatan yang akan bertentangan dengan kewajiban independensi dan

ketidakberpihakan.138

2. Seksi dan Chamber

Komponen ini adalah formasi yudisial dari Pengadilan khususnya

dalam Pengadilan Pleno (Paripurna) dimana menurut Paragraf 1 Pasal 26

dibentuk oleh tujuh orang hakim. Pengadilan memiliki 5 seksi di mana

Chamber terbentuk. Setiap seksi memiliki presiden, wakil presiden dan beberapa hakim. Ketentuan tentang Seksi dan Chamber dapat dilihat pada

huruf (b) pasal 25 ECHR “The plenary Court shall:…(b) set up Chambers, constituted for a fixed period of time;”

Hal ini berarti Chamber memiliki tugas utama atau kewenangan dalam hal admissibility (penerimaan) permohonan yang diajukan baik oleh

136

Council of Europe, European Convention on Human Rights, Bagian II, Pasal 28

137

Hakim harus memiliki karakter moral yang tinggi dan harus memenuhi kualifikasi yang disyaratkan untuk pertemuan di kantor yudisial atau menjadi juri konsul dari kompetensi yang diakui, ia juga harus bekerja di Pengadilan dalam kapasitas perseorangannya. Selama masa kerja, hakim harus tidak terikat dalam aktifitas lain yang tidak sesuai dengan independensi mereka, secara terpisah atau dikehendaki dalam kerja penuh waktu.

138

(38)

perorangan maupun antar negara, jika tidak ada keputusan yang diambil

oleh hakim tunggal. Selain itu dapat pula dilihat kewenangan dalam

memproses pada pokok perkara (merits) menurut Pasal 29. 3. Grand Chamber

Dalam Paragraf 2 Pasal 26, Grand Chamber terbentuk dari 17 hakim : Presiden-Presiden Pengadilan dan Wakil-Wakil Presiden, seksi Presiden

dan hakim nasional, bersama-sama dengan hakim-hakim. Kewenangan

Grand Chamber tercantum dalam Pasal 31 ECHR, antara lain adalah mempertimbangkan permohonan berdasarkan Pasal 33 dan 34 ECHR,

memutuskan permasalahan yang diajukan pada ECtHR dari Komite

Menteri berdasarkan Paragraf 4 Pasal 46, serta mempertimbangkan

permintaan advisory opinion.

Selain itu menurut Pasal 43 dalam waktu 3 bulan dari putusan

Chamber, para pihak boleh meminta kasus untuk diserahkan kepada

Grand Chamber (dalam kasus tertentu) dan Grand Chamber harus menetapkan cara putusan bila suatu kasus dapat berpengaruh pada

penafsiran ataupun penerapan dari Konvensi atau Protokol tambahan atau

masalah lain yang menyangkut kepentingan umum.

C. Yurisdiksi European Court of Human Rights Menurut European Convention on Human Rights

Pada umumnya yurisdiksi diturunkan dari statuta, instrumen atau

(39)

yang berasal dari sumber-sumber tersebut.139

1. Yurisdiksi Penerapan Konvensi (Application)

Begitu pula pada ECtHR dimana

pengaturan yang jelas mengenai yurisdiksi ECtHR tercantum dalam Pasal 32

ECHR : “The jurisdiction of the Court shall extend to all matters concerning the interpretation and application of the Convention and the Protocols thereto which are referred to it as provided in Articles 33, 34, 46 and 47.” (semua hal yang menyangkut penafsiran dan penerapan Konvensi dan Protokol yang di

ditujukan padanya sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 33, 34, 46 dan

47 ECHR). Yurisdiksi tersebut dapat dielaborasikan sebagai berikut :

Instrumen HI yang bersifat normatif harus diaplikasikan, termasuk juga

hak-hak yang dijamin ECHR. Aplikasi atau penerapan hak-hak tersebut diatur

dalam Pasal 33 dan 34 ECHR. Yurisdiksi ECHR dalam hal aplikasi atau

penerapan konvensi adalah cara atau prosedur dalam pengaplikasian konvensi

tersebut oleh ECtHR. Kewenangan ini dapat dibagi berdasarkan jenis

permohonan yakni permohonan antar-Negara dan perseorangan.

a. Individual Application (Permohonan Perseorangan)

Sebagai subjek hukum sebagaimana telah dijelaskan pada sub bab

sebelumnya, individu atau perorangan memiliki derajat yang sama di

hadapan hukum tanpa memandang asal usul, agama atau kepercayaan, ras

tau etnis, maupun jenis kelamin. Padanya juga melekat hak-hak asasi

manusia yang dewasa ini, khususnya pada negara hukum modern, sangat

diatur, dilindungi serta dijunjung tinggi. Badan hukum merupakan suatu

139

(40)

konstruksi yurisdis yang dapat menunjukkan eksistensinya dalam berbagai

bidang kegiatan.140

Berkaitan dengan hal tersebut, mekanisme permohonan perseorangan

terhadap pelanggaran konvensi diperbolehkan. Ketentuan permohonan

perseorangan yang terdapat dalam Pasal 34 mengamanatkan adanya

yurisdiksi terhadap permohonan yang dapat diajukan oleh perseorangan. “The Court may receive applications from any person, nongovernmental organisation or group of perseorangans claiming to be the victim of a violation by one of the High Contracting Parties of the rights set forth in the Convention or the Protocols thereto. The High Contracting Parties undertake not to hinder in any way the effective exercise of this right.”

Pengaduan yang didasarkan pada Pasal 34 dapat diajukan oleh

seseorang, organisasi non-pemerintah ataupun kelompok orang.141 Dalam

perspektif sejarah, European Commission of Human Rights telah menerima permohonan perseorangan ini dari tanggal 5 Juli 1955, ketika

syarat jumlah Negara-negara (setidaknya Negara) telah bergabung di

dalamnya, dan Pengadilan telah dibuka untuk menjalankan fungsinya pada

tahun 1959.142

Mengenai tahap pertama dalam permohonan kepada ECtHR adalah

admissibility yang dilakukan oleh Hakim Tunggal (Single-Judge). Hal-hal yang dipertimbangkan dalam menyatakan suatu kasus menjadi admissible

(dapat diterima) antara lain jika :

140

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 118

141

Javaid Rehman,op.cit, hlm.160

142

(41)

1) Ratione Materiae

Dalam kompetensi ini, perseorangan tidak dapat mengajukan

pengaduan terhadap pelanggaran hak-hak yang tidak terkandung dalam

Konvensi. Biarpun terdapat keinginan yang kuat dalam suatu

permasalahan tertentu atau betapapun seriusnya sifat pelanggaran

HAM tersebut, individu tidak dapat bergantung pada hak-hak yang

tidak terkandung dalam Konvensi dan Protokol-Protokolnya. Sebagai

contoh, individu tidak dapat mengadukan pelanggaran dari hak-hak

seperti hak untuk pensiun, keamanan sosial, nasionalitas atau suaka

politik (politic asylum).

Bagaimanapun juga, hak-hak dalam Konvensi terkadang telah

diberikan arti yang luas dan diterapkan di berbagai keadaaan.

Misalnya, ketika tidak ada hak suaka politik dan kebebasan dari

pengusiran atau ekstradisi (hak yang terkandung dalam ECHR),

pemohon telah dapat menggunakan Pasal 3 yang melindungi hak

larangan penyiksaan, yang dalam kasus ini dapat diasumsikan jika di

Negara asalnya, seorang tersebut telah menerima atau memiliki

kemungkinan menerima penyiksaan tertentu.

2) Ratione Personae

Pembatasan ini mengacu pada pembatasan subjek hukum yang

dapat mengajukan pengaduan. Pengaduan boleh dibawa oleh

perseorangan, organisasi non-pemerintah atau kelompok-kelompok

(42)

dalam Konvensi 143

“The Court may receive applications from any person, nongovernmental organisation or group of perseorangans claiming to be the victim of a violation by one of the High Contracting Parties of the rights set forth in the Convention or the Protocols thereto. The High Contracting Parties undertake not to hinder in any way the effective exercise of this right.”

sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 34

Paragraf 1 ECHR :

3) Ratione Loci

Kompetensi ini membatasi kompetensi Pengadilan untuk

menganalisis dugaan pelanggaran yang terjadi dalam yurisdiksi

Negara tertentu. Pasal 1 dari ECHR menawarkan bahwa Konvensi

dapat diterapkan pada setiap orang dalam yurisdiksi Negara yang

Terikat. Menurut HI umum, sebuah perjanjian dapat diterapkan pada

seluruh teritorial dari Negara penandatangan, termasuk teritorial yang

dimilikinya menurut hubungan internasional dari Negara dimana

atasnya, ia memiliki tanggung jawab.144

“Any State may at the time of its ratification or at any time thereafter declare by notification addressed to the Secretary General of the Council of Europe that the present Convention shall, subject to paragraph 4 of this Article, extend to all or any of the territories for whose international relations it is responsible.”

Negara dapat melakukan

perbuatan hukum dalam yurisdiksi di dalam wilayahnya. Yurisdiksi

wilayah ECtHR tercantum dalam Pasal 56 Paragraf 1:

Namun, tanggung jawab Negara dapat dilakukan di bawah

kekuasaannya, baik ditunjukkan di dalam maupun di luar batas

143

Ibid, hlm.160

144

(43)

wilayah Negara. Dengan kata lain, Negara bertanggungjawab untuk

tindakan-tindakan yang terjadi pada wilayahnya hanya diperluas jika

itu dilakukan oleh organ-organnya.145

Negara manapun pada saat yang sama dengan ratifikasinya atau

kapanpun setelah diumumkannya pemberitahuan pada Sekretariat

Umum dari CoE bahwa konvensi ini harus menjadi subjek paragraf 4

dari Pasal ini, memperluas pada semua atau beberapa wilayah yang

menurut hubungan internasional ia memilki tanggung jawab atasnya. Selain itu, yurisdiksi yang

dibutuhkan disini tidaklah memiliki arti yang sama dengan teritori atau

wilayah, contohnya hal itu dapat termasuk tanggung jawab Negara

untuk melakukan tindakan yang ditugaskan pada wakil-wakil atau

organ-organnya di luar wilayah mereka. Contohnya tentara suatu

Negara yang ditugaskan di Negara lain, maka yurisdiksi mereka adalah

sebatas tentara dan markas mereka di Negara tersebut. Hal mengenai

wilayah ini lebih lanjut dijabarkan dalam Paragraf 1 dan 2 mengenai

penerapan wilayah (territorial applications).

4) Ratione temporis.

Menggunakan secara umum prinsip yang diterima dalam HI,

sebuah perjanjian tidak untuk diterapkan pada fakta atau keadaaan

bahwa mereka telah menarik diri, sebelum perjanjian berlaku dan

diratifikasi oleh Negara. Penerapan ini juga terdapat dalam ECHR.

Komisi telah menetapkan untuk memutuskan penolakan yurisdiksi

145

(44)

pada pengaduan yang berhubungan dengan keadaan yang sedang

berlangsung seperti pelanggaran konvensi yang disebabkan oleh

tindakan yang dilakukan pada saat tertentu namun dapat berlanjut oleh

karena tindakan yang pokok. Kasus seperti itu terjadi pada warga

Belgia yang melakukan pengaduan berkaitan dengan hukuman oleh

Pengadilan Belgia untuk pengkhianatan saat Perang Dunia II. Putusan

hakim telah diumumkan sebelum Belgia meratifikasi Konvensi, namun

keadaan pengaduan penghukuman dalam bentuk pembatasan hak

berekspresi- berlanjut setelah konvensi diberlakukan di Belgia. Komisi

mengumumkan bahwa pengaduan diterima dan mengatakan bahwa

fakta yang muncul belakangan, tampak jelas.146

5) Kegagalan Upaya dalam Negeri

Syarat awal yang harus terpenuhi adalah bahwa ECtHR harus

menegaskan apakah permohonan khusus memenuhi kriteria

penerimaan. Pengaturan kegagalan pengadilan dalam negeri adalah

berdasarkan pengaturan HI umum bahwa Negara harus memiliki

kesempatan untuk merubah suatu dugaan pelanggaran. Tugas ini

memastikan bahwa terdapat kemungkinan upaya yang cukup dan

efektif yang merupakan syarat penting yang sedang dibebankan pada

Negara-negara yang Terikat. Hal ini tercantum dalam Pasal 35

Konvensi. Pasal 35 mengatur “The Court may only deal with the matter after all domestic remedies have been exhausted, according to

146

Referensi

Dokumen terkait

Instrumen pokok hak asasi manusia yang mengatur jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan adalah Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966) khususnya pasal 18,

• Komitmen pemerintah Indonesia untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26 % tidak di ikuti dengan kebijakan perencaan yang konsisten. • Orientasi kebijakan anggaran

Rumusan masalah penelitian adalah “Apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan prestasi belajar pada mahasiswa semester III Akademi Kebidanan Universitas Prima

Kemudian dari wawancara singkat penulis dengan penjaga makam tersebut, penulis mendapatkan informasi bahwa keluarga dari orang Jepang yang dikuburkan pada pemakaman ini sudah

hermaprodit, bertelur/ovipar (kecuali Gyrodactilus, vivipar) dan memiliki larva yang berenang bebas disebut oncomiracidium. Oncomiracidium menyerang inang dan post oncomiracidium

Jadi, keputusan rapat yang diputuskan dalam Rapat Umum Pemegang Saham, yang diselenggarakaan tanpa kehadiran Notaris, dengan demkian, disebut dengan risalah rapat yang dibuat di

abdomen, dapat berupa trauma tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak... Trauma Abdomen adalah terjadinya atau

Hasil uji statistik rank spearman diperoleh angka signifikan atau nilai probabilitas (0,000) jauh lebih rendah standart signifikan 0,05 atau (p value<  ),