BAB II
LANDASAN TEORI A. REGULASI EMOSI
1. Pengertian Regulasi Emosi
Gross (2007) menyatakan bahwa istilah emotion regulation atau regulasi
emosi merupakan istilah yang ambigu karena regulasi emosi bisa diartikan dengan
bagaimana emosi mengatur hal lainnya seperti pikiran, fisiologis, dan perilaku
(pengaturan oleh emosi) atau bisa juga diartikan dengan bagaimana emosi itu
sendiri diatur (pengaturan emosi). Gross (2002) menyatakan bahwa regulasi emosi
itu mengacu pada proses yang kita pengaruhi dengan emosi yang kita miliki dan
bagaimana kita mengalami dan mengekspresikan emosi tersebut.
Thompson (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie, 2000) mengatakan
bahwa regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan ekstrinsik yang bertanggung
jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan membatasi respon emosi
khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi
emosi yang efektif meliputi kemampuan secara fleksibel mengelola emosi sesuai
dengan tuntutan lingkungan.
Sedangkan menurut Gottman dan Katz (dalam Wilson, 1999) regulasi
emosi merujuk pada kemampuan untuk menghalangi perilaku tidak tepat akibat
kuatnya intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat menenangkan
diri dari pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi,
dapat memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk
Walden dan Smith (dalam Eisenberg, Fabes, Reiser & Guthrie, 2000)
menjelaskan bahwa regulasi emosi merupakan proses menerima, mempertahankan
dan mengendalikan suatu kejadian, intensitas dan lamanya emosi dirasakan,
proses fisiologis yang berhubungan dengan emosi, ekspresi wajah serta perilaku
yang dapat diobservasi.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa regulasi emosi
adalah kemampuan untuk mengelola emosi sesuai dengan tuntutan lingkungan.
2. Ciri-Ciri Regulasi Emosi
Gross (2007) menyatakan ada tiga ciri dari pengertian regulasi emosi yang
perlu mendapatkan perhatian khusus, yaitu:
a. Kemungkinan bahwa seseorang bisa meregulasi emosi baik emosi positif
ataupun negatif, dengan cara menaikkan atau menurunkan emosi tersebut.
Namun, hanya sedikit yang diketahui apakah emosi seseorang bisa berubah
sesuai dengan tahap perkembangan mereka.
b. Regulasi emosi dilakukan dengan kesadaran, seperti memutuskan untuk
mengubah topik yang menjengkelkan atau menggigit bibir sendiri saat marah.
Tetapi, regulasi emosi juga bisa terjadi tanpa adanya kesadaran penuh, seperti
saat seseorang membesar-besarkan kesenangannya setelah menerima hadiah
yang tidak menarik (Cole, 1986) atau saat seseorang berpindah perhatian
secara cepat dari sesuatu yang menjengkelkan (Boden & Baumeister, 1997).
c. Regulasi emosi bukanlah suatu sifat yang baik ataupun buruk. Hal ini penting
untuk dipahami, untuk menghindari kebingungan pada literatur-literatur
pertahanan yang standar dianggap sebagai sesuatu yang maladaptif dan
berlawanan dengan strategi mengatasi stres yang telah ditetapkan sebagai
sesuatu yang adaptif (Parker & Endler, 1996). Namun, dalam pandangan
Gross dan Thomson (2007) bahwa proses regulasi emosi itu bisa digunakan
untuk membuat sesuatu menjadi lebih baik ataupun lebih buruk, bergantung
pada konteksnya.
Selain itu, menurut Goleman (2004), individu dikatakan mampu
melakukan regulasi emosi jika memiliki kendali yang cukup baik terhadap emosi
yang muncul. Kemampuan regulasi emosi ini dapat dilihat dari enam kecakapan
berikut ini:
a. Kendali diri, dalam arti mampu mengelola emosi dan impuls yang merusak
secara efektif.
b. Memiliki hubungan interpersonal yang baik dengan orang lain.
c. Memiliki sikap hati-hati
d. Memiliki adaptibilitas, yang artinya luwes dalam menangani perubahan dan
tantangan.
e. Toleransi yang lebih tinggi terhadap frustasi
f. Memiliki pandangan yang positif terhadap dirinya dan lingkungan.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diketahui bahwa seseorang bisa
menaikkan, menjaga, dan menurunkan emosi-emosi negatif ataupun positif
mereka. Seseorang bisa melakukan regulasi emosi dengan adanya kesadaran
penuh ataupun tanpa disadarinya. Selain itu juga, regulasi emosi itu bukanlah
yang dikatakan memiliki regulasi emosi yang baik adalah jika bisa memiliki
kendali diri, hubungan interpersonal yang baik, bersikap hati-hati, mudah
menyesuaikan diri, toleransi yang tinggi terhadap frustrasi, dan memiliki
pandangan positif terhadap dirinya dan lingkungan.
3. Aspek-aspek Regulasi Emosi
Menurut Gratz dan Roemer (2004) ada empat aspek yang digunakan untuk
menentukan kemampuan regulasi emosi seseorang yaitu :
a. Acceptance of emotional response (acceptance) ialah kemampuan individu
untuk menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak
merasa malu merasakan emosi tersebut
b. Strategies to emotion regulation (strategies) ialah keyakinan individu untuk
dapat mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan
suatu cara yang dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat
menenangkan diri kembali setelah merasakan emosi yang berlebihan.
c. Engaging in goal directed behavior (goals) ialah kemampuan individu untuk
tidak terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap
berpikir dan melakukan sesuatu dengan baik.
d. Control emotional responses (impulse) ialah kemampuan individu untuk
dapat mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang
ditampilkan (respon fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga
individu tidak akan merasakan emosi yang berlebihan dan menunjukkan
4. Strategi Regulasi Emosi
Setiap individu memiliki cara yang berbeda dalam melakukan regulasi emosi.
Menurut Gross (1998) ada dua strategi dalam melakukan regulasi emosi, yaitu :
a. Antecedent-focused strategy
Antecedent-focused strategy ialah strategi yang dilakukan seseorang saat
emosi muncul dan terjadi sebelum seseorang memberi respon terhadap emosi.
Antecedent- focused merupakan strategi dalam regulasi emosi dengan mengubah
cara berpikir seseorang menjadi lebih positif dalam menafsirkan atau
menginterpretasi suatu peristiwa yang menimbulkan emosi. Oleh karena itu,
strategi ini disebut juga dengan cognitive reappraisal. Antecedent-focused
strategy dapat mengurangi pengaruh kuat dari emosi sehingga respon yang
ditampilkan tidak berlebihan.
b. Respon-focused strategy
Respon-focused strategy ialah bentuk dari pengaturan respon dengan
menghambat ekspresi emosi berlebihan yang meliputi ekspresi wajah, nada suara
dan perilaku. Strategi ini disebut juga dengan expressive suppression.
Respon-focused strategy hanya efektif untuk menghambat respon emosi yang berlebihan,
namun tidak membantu mengurangi emosi yang dirasakan. Individu yang sering
menggunakan respon-focused strategy membuat seseorang menjadi tidak jujur
dengan dirinya sendiri dan orang lain tentang apa yang mereka rasakan serta akan
menimbulkan perasaan negatif, daripada individu yang menggunakan
antecedent-focused strategy. Penelitian membuktikan bahwa antecedent focused strategy
Menurut Gross (2001) regulasi emosi dapat dilakukan individu dengan
lima cara, yaitu:
a. Situation selection
Suatu cara dimana individu mendekati/menghindari orang atau situasi
yang dapat menimbulkan emosi yang berlebihan. Contohnya, seseorang yang
lebih memilih menonton film komedi daripada membiarkan perasaan marah yang
berlebihan saat diputuskan pacar.
b. Situation modification
Suatu cara dimana seseorang mengubah lingkungan sehingga akan ikut
mengurangi pengaruh kuat dari emosi yang timbul. Contohnya, seseorang yang
baru saja diputuskan pacarnya akan mengatakan kepada temannya bahwa ia tidak
mau membicarakan kenangan-kenangan yang dilalui bersama pasangannya agar
tidak bertambah sedih.
c. Attention deployment
Suatu cara dimana seseorang mengalihkan perhatian mereka dari situasi
yang tidak menyenangkan untuk menghindari timbulnya emosi yang berlebihan.
Contohnya, seseorang yang sedih karena baru putus cinta maka ia akan
mengalihkannya dengan berbagai cara seperti memikirkan bahwa akan ada lagi
pasangan yang lebih baik dari sebelumnya.
d. Cognitive change
Suatu strategi dimana individu mengevaluasi kembali situasi dengan
pengaruh kuat dari emosi. Contohnya, seseorang yang berpikir bahwa kegagalan
yang dihadapi adalah keberhasilan yang tertunda.
e. Respon modulation
Usaha individu untuk mengatur dan menampilkan respon emosi yang tidak
berlebihan. Contohnya, seseorang yang tidak memperlihatkan ekspresi
kesedihannya kepada orang lain.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa macam
strategi dalam regulasi emosi yaitu antecedent-focused strategy, respon-focused
strategy, situation selection, situation modification, attention deployment,
cognitive change dan respon modulation.
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Regulasi Emosi
Gross (2007) menjelaskan ada faktor yang mempengaruhi kemampuan
regulasi emosi seseorang, yaitu :
a. Genetik
Ada bagian di otak yang berkontribusi terhadap regulasi emosi. Penelitian
lain juga menemukan bahwa variasi genetic 5-HTT mempengaruhi tempramen
dan affect individu.
b. Usia
Penelitian menemukan bahwa semakin bertambahnya usia, maka semakin
baik pula regulasi emosinya. Penelitian ini dilakukan dengan merangking usia
partisipan mulai dari 18-94 tahun, dan setiap partisipan diminta untuk melaporkan
emosi yang dialaminya, hasilnya menunjukkan bahwa kontrol emosi semakin baik
c. Religiusitas
Setiap agama mengajarkan seseorang untuk dapat mengontrol emosinya.
Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan
emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat
religiusitasnya rendah.
d. Gaya pengasuhan
Orang tua dapat mepengaruhi pembentukan regulasi emosi awal anak,
dikarenakan orang tua memiliki perbedaan dalam memandang bagaimana cara
mengekspresikan emosi. Ada orang tua yang mengajarkan anaknya 30
menggunakan strategi regulasi emosi reappraisal dan ada orang tua yang
mengajarkan anaknya menggunakan strategi regulasi suppression.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi regulasi emosi adalah genetik, usia, religiusitas, dan pola asuh.
B. MENTORING AGAMA ISLAM 1. Pengertian Mentoring
Mentoring merupakan sebuah pola pengembangan diri yang terus
berkembang dari waktu ke waktu. Pada tahun 1970 hingga tahun 1980-an,
mentoring adalah suatu proses yang hanya diberikan untuk proses penjenjangan
karir. Namun seiring berjalannya waktu, mentoring hingga saat ini juga diterapkan
dalam dunia pendidikan (Ingrid, 2005).
Mentoring merupakan bimbingan yang diberikan melalui demonstrasi,
Mentoring biasanya dilakukan oleh individu yang lebih tua untuk meningkatkan
kompetensi serta karakter individu yang lebih muda. Selama proses ini
berlangsung, pementor dan mentee mengembangkan suatu ikatan komitmen
bersama yang melibatkan karakter emosional dan diwarnai oleh sikap hormat
serta kesetiaan (Santrock, 2007).
Menurut McCreath (2000), mentoring merupakan sebuah pendekatan yang
lebih bersifat persahabatan. Dimana dalam proses persahabatan tersebut ada visi
untuk meningkatkan kualitas diri antar sesama baik secara pemikiran maupun
emosional.
Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwasanya mentoring adalah
suatu proses peningkatan kualitas diri yang dilakukan secara interpersonal baik
dalam hal pendidikan dan pekerjaan melalui pendekatan emosional diantara
pementor dengan para mentee-nya yang sifatnya persahabatan.
2. Pengertian Mentoring agama Islam
Satria (2010) mengatakan bahwasanya mentoring agama Islam merupakan
sebuah metode pendidikan Islam yang efektif dilakukan. Dalam Islam, istilah
mentoring agama Islam lebih dikenal dengan istilah halaqah atau usroh. sebuah
istilah yang berhubungan dengan pendidikan dan pengajaran Islam. Mentoring
terdiri dari sekelompok kecil individu yang secara rutin mengkaji ajaran Islam.
Jumlah peserta dalam kelompok kecil tersebut berkisar antara 3-12 orang. Mereka
mengkaji Islam dengan kurikulum tertentu. Biasanya kurikulum tersebut berasal
Proses jalannya mentoring agama Islam diawali dengan adanya
pembukaan mentoring agama Islam. Pada acara tersebut, setiap mahasiswa
muslim akan dibagi menjadi beberapa kelompok yang kemudian akan didampingi
oleh satu orang pementor (Muhammad, 2011).
Rusmiyati (2003) menambahkan bahwasanya dalam proses mentoring
agama Islam kegiatan pembinaan yang dilakukan kepada mahasiswa berlangsung
secara periodik dengan bimbingan seorang pementor. Pola pendekatan teman
sebaya yang diterapkan menjadikan program ini lebih menarik dan efektif serta
memiliki keunggulan tersendiri.
3. Komponen Mentoring agama Islam
Ada 3 komponen yang mempengaruhi jalannya proses mentoring, yakni :
a. Pementor
Pementor merupakan seseorang yang ditunjuk sebagai pembina dalam
proses mentoring. Biasanya pementor merupakan kakak kelas atau senior dari
suatu tingkatan yang telah mengikuti pelatihan dan seleksi pementor
(Ridwansyah, 2008).
b. Kurikulum
Kurikulum merupakan kumpulan dan urutan materi yang akan
disampaikan kepada kelompok mentoring (mentee) secara periodik. Biasanya
kurikulum tersebut berasal dari organisasi yang menaungi mentoring (Satria,
c. Mentee
Peserta mentoring atau yang lebih dikenal dengan istilah mentee adalah
sekelompok individu yang mendapatkan perlakuan mentoring dari para pementor
dalam jumlah yang berkisar antara 3-12 orang (Satria, 2010).
4. Tahapan Proses dalam Mentoring Agama Islam
Dalam buku Suplemen Mentoring Tingkat SMP (2007), tahapan-tahapan
dalam proses mentoring yang dilakukan adalah sebagai berikut :
a. Pembukaan
Membuka kegiatan mentoring yang dilakukan oleh salah seorang peserta.
b. Pembacaan dan Penghayatan Al-Qur’an
Peserta membaca Al-Qur’an secara bergiliran dan dibimbing oleh
pementor setelah itu dilakukan penghayatan Al-Qur’an sebagi proses perenungan
dan makna dari ayat-ayat Qur’an yang telah dibacakan, mengetahui asbabun
nuzul (sebab turunnya ayat), dan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari.
c. Penyampaian Materi
Pementor menyampaikan materi sesuia dengan kurikulum yang telah
ditentukan dengan pola pendekatan yang lebih aplikatif dengan realita kehidupan
sehari-hari dan fakta yang ada dalam kehidupan nyata sehingga tidak terkesan
menggurui para mentee.
d. Diskusi
Diskusi bisa berupa pertanyaan-pertanyaan dari mentee atau kasus-kasus
e. Sharing
Sesi ini merupakan kegiatan saling menanyakan kabar. Agenda ini
merupakan sarana yang dapat mempererat hubungan diantara sesama kelompok
mentoring dan proses pertukaran pikiran menjadi semakin lebih terbuka di
dalamnya.
f. Penutup
Penutupan biasanya dilakukan dengan lafaz hamdalah dan doa penutup
majelis yang dilakukan secara bersama-sama oleh kelompok mentoring.
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Pelaksanaan Mentoring Agama Islam
Mahasri dan Najmuddin (2008) mengemukakan beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi efektifitas mentoring, yakni :
a. Kesesuaian materi yang disajikan dengan buku panduan
b. Ketertarikan mentee terhadap materi yang disajikan oleh pementor
c. Penyimpangan materi yang disajikan oleh pementor
d. Waktu penyajian materi
e. Variasi penggunaan metode pembelajaran
f. Sikap mentee terhadap metode yang digunakan pementor
g. Penggunaan alat dan media pembelajaran
h. Kesiapan pementor
i. Kedisiplinan pementor
j. Penguasaan materi oleh pementor
l. Sikap mentee terhadap pementor
m. Harapan mentee terhadap pementor
6. Materi Mentoring agama Islam
Materi-materi di dalam mentoring merupakan materi yang dapat
mendukung pelajaran Agama Islam, juga dapat menumbuhkan
pemahaman-pemahaman yang lebih baik tentang Agama Islam seperti materi tentang akidah,
ibadah, dan akhlak (Rusmiyati, 2003). Berikut judul-judul materi yang dibawakan
dalam proses mentoring agama Islam di SMP Negeri 6 Binjai yang diadaptasi dari
buku Suplemen Mentoring Tingkat SMP (2007) :
a. Allah Melihat Kita (Muraqabatullah)
Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah diharapkan peserta
menyadari bahwa kita tidak luput dari pengawasan Allah.
b. Ayo Membaca Al-Qur’an
Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta memahami
manfaat mebaca Al-Qur’an dan termotivasi untuk membacanya dalam kehidupan
sehari-hari.
c. Bahaya Riya’
Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta memahami
makna riya’ dan menjauhinya.
d. Berbuat Ihsan
Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah memberikan
pemahaman mengenai perbuatan ihsan dan senantiasa berbuat baik kepada
e.Birrul Walidain (Berbakti Pada Orangtua Dan Guru)
Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta mengetahui
kewajiban kepada orangtua dan mengetahui cara menghormatinya.
f. Dimuliakan dengan Basmallah
Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta termotivasi
membaca basmallah sebelum memulai suatu kebajikan.
g. Ikhlas dalam Berniat
Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta mengetahui
mengapa harus melakukan sesuatu dengan ikhlas.
h. Menebarkan Salam
Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta dapat
mengetahui keutamaan memberi salam, mengetahui etika memberi salam, dan
mengaplikasikannya.
i. Merajut Ukhuwah di Awal Sekolah
Tujuan instruksional umum dari materi ini adalah agar peserta mengetahui
lebih jauh dan menjalankan cara-cara menumbuhkan ukhuwah secara benar dan
baik.
Secara umum tujuan pemberian materi dalam mentoring agama Islam
adalah sebagai upaya meningkatkan pemahaman aqidah dan akhlak bagi peserta
mentoring. Ketika seseorang memiliki pemahaman aqidah dan akhlak yang baik
maka hal ini akan mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan ajaran
islam dan hal ini dikenal dengan konsep religiusitas. Menurut Jalaluddin (1996),
individu yang mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar
ketaatannya terhadap agama. Selanjutnya menurut Glock dan Stark (dalam Ancok
dan Suroso,2005) religiusitas adalah suatu bentuk kepercayaan adi kodrati dimana
di dalamnya terdapat penghayatan dalam kehidupan sehari harinya dengan
menginternalisasikannya ke dalam kehidupan sehari hari. Dari definisi diatas
dapat diambil kesimpulan bahwasanya religiusitas adalah suatu bentuk
penghayatan ajaran agama yang mengarah kepada ketaatan dan komitmen dalam
melaksanakan ajaran agamanya yang dinternalisasikannya ke dalam kehidupan
sehari-hari.
C. Remaja
1. Pengertian Remaja
Remaja berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh
menjadi dewasa (Hurlock, 1999). Sedangkan menurut Stanley Hall, masa remaja
merupakan masa storm and stress (Santrock, 2007). Tokoh Psikososial Erickson
mengatakan bahwa masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau
pencarian identitas diri.
Remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak menuju dewasa.
Remaja merupakan masa tumpang tindih karena bukan lagi merupakan anak-anak
akan tetapi belum dapat dikatakan sebagai orang dewasa (Papalia, 2007). Remaja
sendiri mempunyai definisi sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak
sosio-emosional. Perkembangan remaja terbagi menjadi masa remaja awal 11-15 tahun
dan remaja akhir 15-22 tahun (Santrock, 2007).
Batasan usia biasanya dimulai dari usia 11 atau 12 tahun sampai akhir dari
masa remaja atau awal usia dua puluhan, dan adanya perubahan yang saling
bergantung dengan semua bidang perkembangan. Menurut Hurlock (1999)
batasan usia remaja berawal dari usia 13/14 hingga 18 tahun. Sementara Monks
(1999) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Stanley Hall (dalam
Santrock, 2007) justru merentangkan usia remaja yaitu 12-23 tahun. Menurut
WHO batasan usia remaja 12-24 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang
diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi
berakhirnya masa remaja sangat bervariasi.
Berdasarkan uraian beberapa tokoh di atas maka dapat disimpulkan bahwa
remaja adalah masa peralihan dari anak – anak menuju dewasa yang dimulai pada
usia 11 tahun dan berakhir pada usia 24 tahun.
2. Perkembangan Emosi Pada Remaja
Menurut Ali dan Asrori (2004), pada setiap tahapan perkembangan
terdapat karakteristik yang sedikit berbeda dalam hal perkembangan emosi
remaja, yaitu:
a. Periode Remaja Awal
Selama periode ini perkembangan yang semakin tampak adalah perubahan
seksual, yaitu perkembangan seksual primer dan sekumder. Hal ini menyebabkan
remaja seringkali mengalami kesukaran dalam menyesuaikan diri dengan
sehingga merasa terasing, kurang perhatian dari orang lain, atau bahkan merasa
tidak ada orang yang mau memperdulikannya. Kontrol terhadap dirinya
bertambah sulit dan mereka cepat marah dengan cara-cara yang kurang wajar
untuk meyakinkan dunia sekitarnya. Perilaku seperti ini sesungguhnya terjadi
karena adanya kecemasan terhadap dirinya sendiri sehingga muncul dalam reaksi
yang kadang-kadang tidak wajar.
b. Periode Remaja Tengah
Melihat fenomena yang sering terjadi dalam masyarakat yang seringkali
juga menunjukkan adanya kontradiksi dengan nilai-nilai moral yang mereka
ketahui, tidak jarang remaja mulai meragukan tentang apa yang disebut baik atau
buruk. Akibatnya remaja seringkali ingin membentuk nilai-nilai mereka sendiri
yang mereka anggap benar, baik, dan pantas untuk dikembangkan di kalangan
mereka sendiri.
c. Periode Remaja Akhir
Selama periode ini remaja mulai memandang dirinya sebagai orang
dewasa dan mulai mampu menunjukkan pemikiran, sikap, dan perilaku yang
semakin dewasa. Interaksi dengan orang tua menjadi lebih bagus dan lancar
karena mereka sudah memiliki kebebasan penuh serta emosinya pun mulai stabil.
Mereka juga mulai memilih cara-cara hidup yang dapat dipertanggung jawabkan
D. Perbedaan Regulasi Emosi pada Siswa yang Mengikuti dan Tidak Mengikuti Mentoring Agama Islam
Siswa sekolah menengah merupakan masa remaja yaitu salah satu masa
dalam perkembangan manusia yang menarik untuk dibahas dan dibicarakan.
Karena pada masa ini, remaja mengalami banyak perubahan dalam dirinya serta
kesulitan yang harus dihadapinya. Dengan kata lain, terjadi gejolak dalam diri
remaja (Santrock, 2004).
Perubahan-perubahan selama masa awal remaja terjadi dengan pesat, salah
satunya adalah meningginya emosi. Stanley Hall (dalam Santrock, 2004)
menyatakan bahwa keadaan emosi remaja berada pada periode storm and stress
yaitu suatu masa dimana ketegangan emosi meninggi sebagai akibat dari
perubahan fisik dan kelenjar. Gunarsa (2002) mengatakan bahwa salah satu
karakteristik yang dapat menimbulkan permasalahan pada masa remaja adalah
ketidak stabilan emosi. Segala pertentangan yang timbul dalam diri dan
lingkungan mereka akan memicu emosi yang bisa saja berakibat fatal apabila
tidak bisa mengatur emosinya dengan baik.
Gross (dalam Manz, 2007) mengatakan pada saat emosi tampak tidak
sesuai dengan situasi tertentu, individu sering mencoba untuk mengatur respon
emosional agar emosi tersebut dapat lebih bermanfaat untuk mencapai tujuan,
sehingga diperlukan suatu strategi yang dapat diterapkan untuk menghadapi
situasi emosional. Hal ini lah yang disebut regulasi emosi, yaitu kemampuan yang
dimiliki individu untuk menilai, mengatasi, mengelola, dan mengungkapkan
melakukan regulasi emosi, seseorang belajar untuk mengurangi atau
mengendalikan emosi negatif dan mempertahankan atau membangun emosi
positif (Kostiuk & Fouts, 2002).
Banyak faktor yang mempengaruhi regulasi emosi, salah satunya adalah
religiusitas (Gross, 2007). Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan
berusaha untuk menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan
dengan orang yang tingkat religiusitasnya rendah (Krause, dalam Coon, 2005).
Metode pendidikan Islam yang efektif dilaksanakan dalam upaya
peningkatan religiusitas adalah mentoring agama Islam (Uhbiyati, 1997).
Mentoring agama Islam adalah kegiatan pembinaan yang berlangsung secara
periodik mengkaji ajaran-ajaran Islam dengan tujuan untuk mengembangkan
pemahaman akhlak dan aqidah sehingga terbentuk muslim yang berkarakter
islami (satria, 2010).
Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan mengenai pengaruh
mentoring terhadap keagamaan ditemukan bahwa motivasi siswa untuk
melaksanakan ibadah harian meningkat setelah mengikuti mentoring
(Ridwansyah, 2008). Selain itu, dengan mengikuti mentoring agama Islam dapat
menambah pemahaman peserta mentoring terhadap Agama Islam (Romli, 2007).
Proses mentoring agama Islam diawali dengan pembukaan, pembacaan
Al-Qur’an, pembahasan materi, sharing atau diskusi dan penutupan (Muhammad,
2011). Pada setiap pekannya peserta diberikan materi yang berbeda-beda
berkaitan dengan pemahaman mereka terhadap ajaran Islam yang bertujuan untuk
kebutuhan peserta mentoring pada saat itu (Satria, 2010). Ketika seseorang sudah
memiliki pemahaman yang baik terhadap ajaran agamanya, maka ia akan
berperilaku sesuai dengan kadar ketaatannya. Hal ini yang dikanal dengan konsep
religiusitas yaitu keadaan yang ada dalam diri individu yang mendorongnya untuk
bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap agama (Jalaluddin,
1996). Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk
menampilkan emosi yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang
tingkat religiusitasnya rendah (Krause dalam Coon, 2005).
E. Hipotesis
Berdasarkan penjelasan secara teoritis yang telah dikemukakan diatas,
maka hipotesa penelitian adalah : ada perbedaan regulasi emosi pada siswa yang
mengikuti dan tidak mengikuti mentoring agama Islam dimana siswa yang
mengikuti mentoring agama Islam memiliki regulasi emosi lebih tinggi