BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keberadaan narkotika telah ada sejak zaman prasejarah, mulanya hanya
dikenal sebagai obat penghilang rasa sakit atau obat bius, namun zat tersebut terus
berkembang penggunaannya oleh masyarakat dunia sehingga beralih fungsi
keberadaannya. Awal tahun 1970 penyalahgunaan narkotika sudah semakin sering
terjadi di masyarakat dan jenis-jenis narkotika yang beredar semakin banyak pula
ragamnya.1
Narkotika apabila dipergunakan secara proposional, artinya sesuai menurut
pemanfaatannya, baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan pengembangan
ilmu pengetahuan, dan teknologi maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai
suatu tindak pidana narkotika. Penggunaan narkotika sebaliknya jika untuk
maksud-maksud tertentu di luar daripada ilmu pengetahuan, maka perbuatan tersebut dapat
dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan/atau penyalahgunaan narkotika
berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Masalah tentang Narkoba (Narkotika, Psikotropika dan bahan Adiktif
lainnya) adalah merupakan salah satu tindak pidana khusus yang masalahnya
menyebar secara Nasional dan Internasional, karena penyalahgunaannya berdampak
negatif dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
1
Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain berikut ini:2
1. Penyalahgunaan melebihi dosis;
2. Pengedaran Narkotika; dan
3. Jual beli Narkotika.
Ketiga bentuk tindak pidana narkotika itu adalah merupakan salah satu
penyebab terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana kejahatan dan
pelanggaran, yang secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap
masyarakat, generasi muda, dan terutama bagi si pengguna zat itu sendiri, seperti:
pembunuhan, pencurian, penodongan, penjamretan, penipuan dan pemerkosaan.
Peran hukum dalam hal ini adalah untuk penanggulangan kejahatan melalui
kebijakan hukum pidana dan merupakan salah satu usaha dalam penegakan hukum.
Kebijakaan merupakan hal yang fundamental dalam suatu negara. Negara Indonesia
sendiri adalah merupakan Negara Hukum yang berbentuk republik seperti tersebut
di dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebijakan hukum pidana dapat mencakup
ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana
formal dan bidang hukum pelaksanaan pidana.3
Kebijakan perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 menjadi
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah untuk
meningkatkan kegiatan guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan
peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan
masyarakat, bangsa, dan negara. Menurut Sudarto kebijakan atau politik hukum
2
Ibid, hlm. 45.
3
pidana adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk
menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa
digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan
untuk mencapai apa yang dicita-citakan.4
Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika, maka kebijakan
hukum pidana berperan dalam memposisikan pecandu narkotika sebagai korban,
bukan pelaku kejahatan. Pecandu pada dasarnya adalah merupakan korban
penyalahgunaan tindak pidana narkotika yang melanggar peraturan pemerintah, dan
mereka itu semua merupakan warga negara Indonesia yang diharapkan dapat
membangun negeri ini dari keterpurukan di segala bidang.
5
Mengingat dampak penyalahgunaan narkotika berpengaruh pada sendi-sendi
keluarga, masyarakat dan pemerintah yang mengakibatkan hubungan diantara
ketiganya mengalami gangguan. Penyalahgunaan menjadi beban bagi keluarga,
adanya stigma masyarakat yang buruk terhadap korban, perilaku korban cenderung
melakukan kriminal, pemerintah pun mengalami gangguan dalam melanjutkan
pembangunan dalam pengembangan sumber daya manusia. Tentu hal ini
memerlukan penanganan, salah satunya dengan merujuk pecandu atau korban untuk
mendapatkan pelayanan rehabilitasi.
Terangkum data dari pengguna atau penyalahguna narkotika dalam dua
tahun terakhir yang dihimpun dari Balai Pemasyarakatan kota Medan terdapat data
yang cukup signifikan:
4
Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, ( Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm. 20.
5
Table 1. Rekapitulasi Pengguna atau Penyalahguna Narkotika
Bulan Tahun 2013 Tahun 2014
Januari 24 56
Februari 26 59
Maret 29 62
April 31 67
Mei 34 69
Juni 36 72
Juli 40 75
Agustus 42 77
September 45 -
Oktober 47 -
November 50 -
Desember 53 -
Sumber : BAPAS Kelas I Kota Medan
Para penyalahguna narkotika di atas (tabel) sebagaimana kebijakan hukum
pidana yang telah diterapkan putusan pengadilan memperlakukan mereka sebagai
pelaku tindak pidana kriminal. Meskipun kesalahan yang telah dilakukan oleh
pelaku terhitung relatif rendah. Hasil informasi yang diperoleh terdapat 6 orang
dinyatakan pulih melalui proses pembinaan secara kekeluargaan dan juga dengan
keterlibatan dari pihak BAPAS.6
Klasifikasi penanggulangan kesalahan atau kejahatan lazimnya dibedakan
antara tingkat kerugian yang dilakukan oleh pelaku, dan juga dapat dibedakan
berdasarkan motif, kondisi perilaku, kaidah yang dilanggar dan frekuensi
kejahatan.
7
Sebagaimana secara tegas dalam kebijakan hukum pidana SEMA No. 4
Tahun 2010 tentang penempatan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan dan
pecandu narkotika kedalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
Membedakan adanya pengklasifikasian (tipologi) atas tindakan yang telah
dilakukan pecandu.8
Lebih lanjut Didik dkk menyetujui adanya pengklasifikasian
penyalahgunaan narkotika yang juga dikategorikan sebagai korban, yang dapat
diidentifikasi menurut keadaan dan kondisi, yaitu:
9
1) Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku.
2) Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban.
3) Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.
4) Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.
5) Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.
6) Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.
6
Wawancara M. Arifin Harahap (Kepala Sub. Bag. Tata Usaha) BAPAS Kelas I Medan, tanggal 22 Agustus 2014 pukul 14.00 wib.
7
Referensi Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana, (Laksabang Grafika-2013), hlm. 86.
8
Lihat SEMA No. 4 Tahun 2010 point 2 dan 3
9
Pengklasifikasian di atas secara tidak langsung pecandu narkotika termasuk
dalam kategori tipologi korban self victimizing victims, karena pecandu narkotika
ketergantungannya akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukan sendiri.
Sebagaimana berdasarkan data diatas pelaku penyalahgunaan narkotika adalah
untuk kepuasan dirinya sendiri.
Undang-undang narkotika memiliki keistimewaan dibandingkan dengan
Undang-undang yang lain, dikarenakan seorang hakim memiliki kewenangan
menjatuhkan vonis bagi seseorang yang terbukti sebagai pecandu narkotika.10
Penerapan suatu sanksi kepada pengguna tidak hanya sebatas dengan penjatuhan
sanksi pidana akan tetapi peluang penjatuhan juga dapat menjatuhkan vonis sanksi
tindakan.11
Kenyataannya menunjukan penjatuhan vonis oleh hakim dalam perkara
narkotika masih belum efektif pelaksanaannya. Sebagian besar pecandu narkotika
tidak dijatuhkan vonis rehabilitasi sesuai yang disebutkan dalam undang-undang
narkotika melainkan dijatuhkan vonis penjara meskipun ketentuan Undang-undang
menjamin pengaturan upaya rehabilitasi, baik itu rehabilitasi medis maupun
rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika.
Tidak selamanya pula penegak hukum harus memenjarakan
sebanyak-banyaknya para pengguna narkotika dan psikotropika di lembaga pemasyarakatan.
Penegakan hukum narkotika menggunakan instrumen pidana bukanlah
merupakan satu-satunya kebijakan yang harus diutamakan, maka dalam hal ini di
10
Lihat Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.
11
perlukan strategi penegakan hukum narkotika seperti strategi treatment (perawatan)
dan rehabilitation (perbaikan). Strategi ini dengan menggunakan dua pendekatan
yakni pendekatan pertama, ialah eliminate drug dependency yakni tujuannya untuk
mengurangi ketergantungan penyalahgunaan narkotika bagi pecandu narkotika,
maka dilakukan program medical rehabilitation (rehabilitasi medis).
Pendekatan kedua, ialah prevent recidivism, yakni program pembinaan
terhadap para bekas narapidana narkotika atau para residivis narkotika, dengan
tujuan dilakukannya pemantauan secara terus menerus agar tidak melibatkan diri
kembali kepada perbuatan kriminal yang telah dilakukan sebelumnya.12
Indonesia sebagai salah satu peserta yang telah menandatangani beberapa
Konvensi yaitu: Konvensi Tunggal Narkotika, Konvensi Psikotropika, Konvensi
Pemberantasan peredaran gelap narkotika psikotropika, secara tidak langsung
bertanggung jawab guna melengkapi kebijakan hukum dan juga sarana prasarana
untuk penanggulangan dan pencegahan penyalahgunaan narkotika.
Salah satu contoh yang berfungsi sebagai sarana rehabilitasi sosial di
Sumatera Utara adalah Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara di bawah
naungan Kementerian Sosial RI. Bertugas dan bertanggungjawab sebagai pemangku
mandat kebijakan hukum pidana atas pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu
tindak pidana narkotika.
Para terpidana narkotika dan psikotropika selama menjalani masa
rehabilitasi, dapat pula dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum untuk
12
dilakukannya pelatihan mengenai kewajiban memberikan informasi tentang bahaya
dan kerugian yang ditimbulkan dari narkotika dan psikotropika.
Tujuan pemidanaan dalam pelaksanaan rehabilitasi ini adalah treatment
(perawatan) dan rehabilitation (perbaikan), yang lebih memandang pemberian
pemidanaan pada pelaku kejahatan bukan pada perbuatannya. Sehingga tujuan
kemanfaatan hukum untuk para pecandu dalam tindak pidana narkotika dapat
tercapai.
Pengaturan rehabilitasi atas pecandu narkotika menunjukkan adanya
kebijakan hukum pidana yang bertujuan agar penyalah guna dan pecandu narkotika
tidak lagi menyalahgunakan narkotika tersebut. Berdasarkan data di atas upaya
rehabilitasi merupakan suatu alternatif pemidanaan yang tepat untuk para pecandu
narkotika, yang patut didukung dengan peraturan pelaksanaan yang mengakomodir
hak bagi para penyalahguna dan pecandu narkotika.
Berdasarkan uraian dan fakta tersebut diatas sangatlah penting dan menarik
untuk menggali, mengkaji, dan membahas tentang sinkronisasi “Aplikasi Kebijakan
Hukum Pidana Terhadap Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu Tindak Pidana
Narkotika (Studi Di Rehabilitasi Kementrian Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di kemukakan diatas, maka rumusan
permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana aplikasi kebijakan hukum pidana dalam pelaksanaan rehabilitasi
terhadap pecandu narkotika?
2. Bagaimana pelaksanaan rehabilitasi sosial memberikan kemanfaatan bagi
pecandu narkotika di PSPP Insyaf Sumatera Utara?
3. Bagaimana hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi bagi
pecandu narkotika di PSPP Insyaf Sumatera Utara?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas maka
tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui aplikasi kebijakan hukum pidana terhadap pelaksanaan rehabilitasi
bagi para penyalah guna dan pecandu narkotika.
2. Mengetahui kemanfaatan hukum dari pelaksanaan pemidanaan rehabilitasi
terhadap pecandu narkotika dalam kebijakan hukum pidana.
3. Mengetahui hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap
D. Manfaat Penelitian
Selain tujuan-tujuan tersebut diatas, penulisan tesis ini juga diharapkan
dapat memberi manfaat untuk berbagai hal diantaranya:
1. Secara teoritis
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis guna
melatih diri dan mengembangkan pemahaman dan kemampuan berpikir melalui
penulisan karya ilmiah serta menambah khasanah pengetahuan, wawasan
khususnya berkaitan dengan penelitian dibidang hukum dengan menerapkan
pengetahuan dan pengalaman praktis yang telah diperoleh selama ini dan dapat
memberikan sumbangan pemikiran mengenai pemidanaan yang tepat terhadap
pecandu narkotika ataupun penyalahgunaan narkotika.
2. Secara Praktis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:
a. Para aparat penegak hukum agar dapat mengetahui tentang bagaimana
tindakan yang tepat untuk kasus penyalahgunaan narkotika terhadap
pecandu tindak pidana narkotika.
b. Bagi para legislator sebagai sumbangan pemikiran terhadap strategi
penegakan hukum narkotika untuk para penyalah guna dan pecandu tindak
E. Keaslian Penulisan
Sepanjang pengetahuan penulis dan penelitian yang dilakukan dengan judul
“Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu Dalam
Tindak Pidana Narkotika (Studi di Rehabilitasi Sosial Pamardi Putra Insyaf Kota
Medan)” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya di lingkungan
sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Akan tetapi judul
yang terkait dengan permasalahan tindakan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika
telah pernah diteliti oleh beberapa orang yakni:
1. Syamsinar Simatupang, tesis pada tahun 2012 dengan judul : Pelaksanaan
Terapi dan Rehabilitasi terhadap Narapidana Narkotika sebagai Sistem
Pemidanaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika (suatu studi di
lembaga pemasyarakatan narkotika kelas II A Pematangsiantar)
2. Ardiansyah, tesis pada tahun 2007 dengan judul : Kedudukan Lembaga
Pemasyarakatan Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan
Narkotika dan Psikotropika.
3. Mala Puspita Sari Boru Ginting, tesis pada tahun 2010 dengan judul : Analisis
Yuridis Rehabilitasi terhadap Pengguna Narkotika dalam Perspektif
Pembaharuan Hukum Pidana Nasional.
4. Muhamad Tavip, tesis pada tahun 2009 dengan judul : Pelaksanaan Therapeutic
Community dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika dan
Psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Medan dihubungkan dengan
Meskipun demikian, permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah
sama dengan penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan dan penyajian dalam
penelitian ini merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang
didasarkan pada referensi buku-buku dan informasi dari media cetak serta
elektronik. Mengacu kepada alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa
penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara
ilmiah.
F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi 1. Kerangka Teori
Istilah teori berasal dari bahasa inggris, yaitu theory. Dalam bahasa belanda
disebut dengan theorie. Menurut Fred N. Kerlinger perkembangan teori dalam ilmu
hukum oleh HS. Salim, yakni sebagai “ seperangkat konsep, batasan, dan proposisi
yang menyajikan pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci
hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan dan
memprediksi gejala itu.13
Pemidanaan adalah penjatuhan hukuman kepada perbuatan pidana. Istilah
teori pemidanaan berasal dari Inggris, yaitu comdemnation theory. Perbuatan
Pidana merupakan perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam
pidana.14
13
HS. Salim, Perkembangan Teori dalam IlmuHukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.7.
Penentuan sanksi pidana dalam hukum pidana terkait dengan empat aspek:
yakni yang pertama, penetepan perbuatan yang dilarang; kedua, penetapan
14
ancaman sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilarang; ketiga, tahap penjatuhan
pidana pada subjek hukum; keempat, tahap pelaksanaan pidana. Keempat aspek
tersebut terkait antara satu dengan lainnya dan merupakan satu jalinan dalam wadah
sistem hukum pidana.15
Pemidanaan mempunyai tujuan, beberapa tujuan yang dapat diklasifikasikan
berdasarkan pada teori-teori pemidanaan adalah: retributive, deterrence,
integrative, treatment, social defence. Berdasarkan pada teori-teori pemidanaan,
rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment.
Menurut C. Ray Jeffery dalam Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal
Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanganan Kejahatan Kekerasan, Treatment
sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat
bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada
perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk
memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada
pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.16
Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Kebijakan Kriminal,
Teori Treatment, dan Teori Kemanfaatan. Teori Kebijakan Kriminal sebagaimana
di kemukakan oleh G. Petter Hoefnagles bahwa Kebijakan Kriminal adalah17
15
Teguh Prasetyo, Op.cit, hlm. 82.
“
suatu usaha yang rasional dari pemerintah dan masyarakat dalam melakukan
penanggulangan dilakukan melalui:
16
Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penangan Kejahatan Kekerasan, ( Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 79.
17
a. Criminal Policy is the science of responses “ Kebijakan Kriminal merupakan ilmu tanggapan”.
b. Criminal Policy is the science of crime prevention “ Kebijakan Kriminal merupakan ilmu pencegahan”.
c. Criminal Policy is a policy of designating human behavior as crime “ Kebijakan Kriminal merupakan kebijakan yang dapat merubah perilaku manusia untuk berbuat lebih baik”.
d. Criminal Policy is a rational total of the responses to crime “ Kebijakan Kriminal merupakan tanggapan dari seluruh pemangku kebijakan terhadap dampak satu kejahatan”.
Tujuan dari Kebijakan Kriminal adalah memampukan antara kebijakan
sosial dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat (social welfare) dengan
upaya perlindungan (social defence) yang dikaitkan juga dengan kemaksimalan
dalam kebijakan kriminal (penal dan non penal) sebagai mana diungkapkan bahwa
kebijakan kriminal meliputi :18
“criminal policy as a science of policy is part of a larger policy the law enforcement policy. This makes it understandable that administrative and civil law occupy the same place in the diagram as non criminal legal crime prevention. The legislative and enforcement policy is in part of social policy”
( Kebijakan Kriminal merupakan bagian dari ilmu kebijakan yang lebih luas dari kebijakan penegakan hukum. Dimana terdiri dari hukum administrasi dan perdata yang juga merupakan bagian yang sama dalam upaya pencegahan kejahatan di luar hukum pidana, sedangkan kebijakan legislative dan kebijakan penegakan hukum merupakan bagian penting dari pelaksanaan kebijakan sosial).
Relavansi antara pelaksanaan rehabilitasi dengan teori kebijakan kriminal
yakni pada bagaimana implementasi peraturan oleh kebijakan hukum pidana dalam
upaya pemberantasan, pencegahan dan pemulihan terhadap penyalahguna dan
pecandu narkotika.
18
Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment sebab
rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan
pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal
tersebut sesuai dengan pemidanaan, menurut aliran teori treatment pelaku kejahatan
adalah orang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan
perbaikan (rehabilitation).
Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata
terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat dari
secara kongkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi
oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan.
Bentuk pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan (treatment) untuk
melindungi kepentingan masyarakat. Metode treatment sebagai pengganti
pemidanaan, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari
dalam kriminologi.19
Dengan dilakukannya pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial
dan perlindungan sosial menjadikan suatu standar dalam menjustifikasi suatu
perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. Menurut Herbert L.
Packer, rehabilitasi dilakukan terhadap pelaku kejahatan karena dalam menjatuhkan
sanksi harus berorientasi kepada diri individu pelaku, bukan kepada perbuatannya.
19
Bagaimana menjadikan individu pelaku kejahatan tersebut untuk menjadi lebih
baik.20
Berdasarkan data yang telah diuraikan dalam latar belakang permasalahan,
teori Kemanfaatan dipandang tepat sebagai pisau anlisis dalam pelaksanaan
rehabilitasi. Teori Kemanfaatan (Utilitarisme) dipelopori oleh Jeremy Bentham
(1748-1832). Bagi Jeremy Bentham, hukum barulah dapat diakui sebagai hukum,
jika memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya
orang. Prinsip ini dikemukakan oleh Bentham dalam karyanya Introduction to the
Principles of Morals and Legislation (1789), yang bunyinya adalah the greatest
happiness of the greatest number (kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk
sebanyak-banyaknya orang).21
Utilitarisme berasal dari kata latin utilis yang berarti bermanfaat. Menurut
teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tetapi manfaat itu
harus menyangkut bukan saja satu atau dua orang melainkan masyarakat secara
keseluruhan.
Bahwa tujuan perundang-undangan adalah untuk
menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat.
22
Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness), yang
tidak mempersalahakan baik atau tidak adilnya suatu hukum, melainkan bergantung
kepada pembahasan mengenai apakah hukum dapat memberikan kebahagiaan
kepada manusia atau tidak.23
20
Referensi, Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, ( California: Stanford University Press, 1968), hlm. 54.
21
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.76.
22
K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, ( Yogyakarta : Kanisius, 2010), hlm. 66.
23
Dengan memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk
mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.
Atas dasar ini, baik buruknya suatu perbuatan diukur apakah perbuatan itu
mendatangkan kebahagian atau tidak. Demikian juga terhadap
perundang-undangan. Baik buruknya ditentukan pula oleh ukuran tersebut diatas. Bahwa
undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar
masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik.24
Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan
melihat apakah suatu kebijaksanaan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau
hasil yang berguna atau sebaliknya yaitu kerugian bagi orang-orang yang terkait.
Menepati janji, berkata benar, atau menghormati milik orang adalah baik karena
hasil baik yang dicapai dengannya, bukan karena suatu sifat intern dari
perbuatan-perbuatan tersebut. Sedangkan, mengingkari janji, berbohong atau mencuri adalah
perbuatan buruk karena akibat buruk yang dibawakannya, bukan karena suatu sifat
dari perbuatan-perbuatan itu. Utilitarisme dapat memberi tempat juga kepada
kewajiban, tetapi hanya dalam arti bahwa manusia harus menghasilkan kebaikan
dan bukan keburukan.25
24
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 64.
25
Secara lebih kongkret, dalam kerangka etika utilitarisme dapat dirumuskan
tiga kriteria objektif yang dapat dijadikan dasar objektif sekaligus norma untuk
menilai suatu kebijaksanaan atau tindakan, antara lain: 26
a. Kriteria pertama adalah manfaat, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Kebijaksanaan atau tindakan yang paling baik adalah menghasilkan hal yang baik, sebaliknya kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu. b. Kriteria kedua adalah manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau
tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar (atau dalam situasi tertentu lebih besar) dibandingkan dengan kebijaksanaan atau tindakan, maka suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau mendatangkan lebih banyak manfaat dibandingkan dengan kerugian. Dalam situasi tertentu, ketika kerugian tidak bisa dihindari, dapat dikatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang menimbulkan kerugian terkecil (termasuk kalau dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan atau tindakan alternatif). c. Kriteria ketiga adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Suatu
kebijaksanaan atau tindakan yang baik dan tepat dari segi etis menurut etika utilitarisme adalah kebijaksanaan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau sebaliknya membawa akibat merugikan yang sekecil mungkin bagi sedikit mungkin orang.
Secara umum, utilitarisme dapat dipakai dalam dua wujud yang berbeda, antara lain:27
a. Sebagai proses untuk mengambil sebuah keputusan, kebijaksanaan, ataupun untuk bertindak (sebagai prosedur untuk mengambil keputusan). Yaitu menjadi sebuah metode untuk bisa mengambil keputusan yang tepat tentang tindakan atau kebijaksanaan yang akan dilakukan.
b. Sebagai standar penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah terjadi berdasarkan akibat konsekuensinya, sejauh mana mendatangkan hasil terbaik bagi banyak orang.
Teori kemanfaatan ini menggambarkan tentang apa yang sesungguhnya
dilakukan oleh orang yang rasional dalam mengambil keputusan dalam hidup ini.
Hal ini dapat dipahami dari alasan diberikannya alternatif sanksi tindakan yakni
26
Ibid., hlm. 94-95.
27
rehabilitasi, sebagai sanksi yang tepat untuk mencegah dan memulihkan para
penyalah guna dan pecandu narkotika.
2. Kerangka Konsepsi
Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian
yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Pentingnya definisi
operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran dari
suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan
beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang
sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:
a. Aplikasi adalah penggunaan atau penerapan, pemakaian suatu cara atau metode
atau suatu teori atau suatu sistem.28
b. Kebijakan hukum pidana adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan yang
berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang
diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.29
c. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk
membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.30
d. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik
fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali
melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.31
28
tanggal 1 Agustus 2014, pukul 09.40 wib.
29
Sudarto,op.cit., hlm .20.
30
e. Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan
narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik
maupun psikis.32
f. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan
hukum.33
g. Korban penyalahguna adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan
narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan atau diancam untuk
menggunakan narkotika.34
h. Tindak Pidana adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja
telah dilakukan oleh seseorang yang dapat di pertanggungjawabkan atas
tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.35
i. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman ,
baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau
perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa
nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.36
j. Tindak pidana narkotika adalah suatu perbuatan yang melanggar
ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 22 Tahun
1997 tentang Narkotika yang digantikan dengan Undang-Undang No. 35 Tahun
31
Pasal 1 butir 17 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
32
Pasal 1 butir 13 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
33
Pasal 1 butir 15 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
34
Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika
35
Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm.75.
36
2009 tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan atau
tidak bertentangan dengan Undang-Undang tersebut.37
G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis
normatif dan yuridis empiris, yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian yuridis
normatif digunakan untuk menggambarkan dan menganalisa pelaksanaan
konsep-konsep hukum dan peraturan yang erat kaitannya dengan pokok bahasan tesis ini,
sejauh mana para pemangku kebijakan menerapkannya.38 Penelitian yuridis
normatif mempergunakan bahan-bahan hukum yang mengikat sebagai bagian data
sekunder, dari beberapa sudut kekuatan mengikat dapat digolongkan ke dalam
(Bahan hukum primer, hukum sekunder dan hukum tertier).39
Sedangkan penelitian yuridis empiris adalah suatu penelitian guna mengukur
efektivitas hukum yang mampu dipahami dan dioperasikan dikalangan aparatur
sebagai pemangku kebijakan dan juga para tokoh masyarakat yang dianggap layak
dan tepat dalam memahaminya. Pada prinsip dalam metode ini ingin melihat sejauh
mana niat dan tujuan para inisiator pembuat kebijakan itu, baik ditataran
Kepolisian, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, LSM dan Pers yang memiliki
persepsi yang sama sewaktu kebijakan tersebut diundangkan, melalui pengujian
37
Taufik Makaro., op.cit., hlm. 41.
38
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hlm.50.
39
konsep-konsep tertulis yang telah dianggap sebagai wacana doctrinal terhadap
hukum.40
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang berupa bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.41
b. Bahan Hukum Sekunder
Seperti peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan narkotika dan rehabilitasi
terhadap pengguna narkotika, yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009
tentang Narkotika yang telah disempurnakan yang sebelumnya adalah
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Surat Edaran
Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010.
Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi
buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal
hukum, pendapat para sarjana, komentar-komentar atas putusan hakim,
40
Ibid, hlm. 53.
41
kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang
berkaitan dengan topik penelitian.42
Dalam hal penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah
buku-buku teks tentang narkoba, kebijakan atau politik hukum pidana, dan
sistem pemidanaan.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.43
Bahan hukum tertier yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa
kamus hukum dan situs-situs dalam internet. Kemudian, penelitian ini
didukung oleh bahan non hukum, berupa hasil wawancara dengan para
pelaksana tindakan rehabilitasi di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan
dan beberapa pegawai pendukung pelaksana tersebut.
3. Teknik Pengumpulan Data
Seluruh data dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan
(library research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang dianggap
relavan. Selanjutnya pengumpulan data juga dilakukan dengan wawancara
melalui studi lapangan (field research) terhadap pihak yang terkait dalam
kebijakan pelaksanaan rehabilitasi pecandu tindak pidana narkotika.
42
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,( Surabaya: Bayumedia, 2008), hlm. 296.
43
4. Analisis Data
Keseluruhan data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Lalu
dilakukan studi lapangan untuk melakukan identifikasi dan analisis tentang
bagaimana hukum dan kebijakan penanggulangan itu bekerja dan diupayakan.
Analisis kualitatif ini akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis
dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data dan menjelaskan data
informasi dari responden. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah,
kemudian dianalisis secara deskriptif. Sehingga selain menggambarkan dan
mengungkapkan, diharapkan akan memberikan keterangan dan solusi atas