• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN - Aplikasi Kebijakan Hukum Piana Terhadap Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Di Rehabilitasi Kementerian Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN - Aplikasi Kebijakan Hukum Piana Terhadap Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu Dalam Tindak Pidana Narkotika (Studi Di Rehabilitasi Kementerian Sosial Pamardi Putra “Insyaf” Sumatera Utara)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keberadaan narkotika telah ada sejak zaman prasejarah, mulanya hanya

dikenal sebagai obat penghilang rasa sakit atau obat bius, namun zat tersebut terus

berkembang penggunaannya oleh masyarakat dunia sehingga beralih fungsi

keberadaannya. Awal tahun 1970 penyalahgunaan narkotika sudah semakin sering

terjadi di masyarakat dan jenis-jenis narkotika yang beredar semakin banyak pula

ragamnya.1

Narkotika apabila dipergunakan secara proposional, artinya sesuai menurut

pemanfaatannya, baik untuk kesehatan maupun untuk kepentingan pengembangan

ilmu pengetahuan, dan teknologi maka hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai

suatu tindak pidana narkotika. Penggunaan narkotika sebaliknya jika untuk

maksud-maksud tertentu di luar daripada ilmu pengetahuan, maka perbuatan tersebut dapat

dikategorikan sebagai perbuatan pidana dan/atau penyalahgunaan narkotika

berdasarkan Undang-undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Masalah tentang Narkoba (Narkotika, Psikotropika dan bahan Adiktif

lainnya) adalah merupakan salah satu tindak pidana khusus yang masalahnya

menyebar secara Nasional dan Internasional, karena penyalahgunaannya berdampak

negatif dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.

1

(2)

Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain berikut ini:2

1. Penyalahgunaan melebihi dosis;

2. Pengedaran Narkotika; dan

3. Jual beli Narkotika.

Ketiga bentuk tindak pidana narkotika itu adalah merupakan salah satu

penyebab terjadinya berbagai macam bentuk tindak pidana kejahatan dan

pelanggaran, yang secara langsung menimbulkan akibat demoralisasi terhadap

masyarakat, generasi muda, dan terutama bagi si pengguna zat itu sendiri, seperti:

pembunuhan, pencurian, penodongan, penjamretan, penipuan dan pemerkosaan.

Peran hukum dalam hal ini adalah untuk penanggulangan kejahatan melalui

kebijakan hukum pidana dan merupakan salah satu usaha dalam penegakan hukum.

Kebijakaan merupakan hal yang fundamental dalam suatu negara. Negara Indonesia

sendiri adalah merupakan Negara Hukum yang berbentuk republik seperti tersebut

di dalam Undang-undang Dasar 1945. Kebijakan hukum pidana dapat mencakup

ruang lingkup kebijakan di bidang hukum pidana materiil, di bidang hukum pidana

formal dan bidang hukum pelaksanaan pidana.3

Kebijakan perubahan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 menjadi

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika adalah untuk

meningkatkan kegiatan guna mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan

peredaran gelap narkotika yang sangat merugikan dan membahayakan kehidupan

masyarakat, bangsa, dan negara. Menurut Sudarto kebijakan atau politik hukum

2

Ibid, hlm. 45.

3

(3)

pidana adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan yang berwenang untuk

menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa

digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan

untuk mencapai apa yang dicita-citakan.4

Berkaitan dengan masalah penyalahgunaan narkotika, maka kebijakan

hukum pidana berperan dalam memposisikan pecandu narkotika sebagai korban,

bukan pelaku kejahatan. Pecandu pada dasarnya adalah merupakan korban

penyalahgunaan tindak pidana narkotika yang melanggar peraturan pemerintah, dan

mereka itu semua merupakan warga negara Indonesia yang diharapkan dapat

membangun negeri ini dari keterpurukan di segala bidang.

5

Mengingat dampak penyalahgunaan narkotika berpengaruh pada sendi-sendi

keluarga, masyarakat dan pemerintah yang mengakibatkan hubungan diantara

ketiganya mengalami gangguan. Penyalahgunaan menjadi beban bagi keluarga,

adanya stigma masyarakat yang buruk terhadap korban, perilaku korban cenderung

melakukan kriminal, pemerintah pun mengalami gangguan dalam melanjutkan

pembangunan dalam pengembangan sumber daya manusia. Tentu hal ini

memerlukan penanganan, salah satunya dengan merujuk pecandu atau korban untuk

mendapatkan pelayanan rehabilitasi.

Terangkum data dari pengguna atau penyalahguna narkotika dalam dua

tahun terakhir yang dihimpun dari Balai Pemasyarakatan kota Medan terdapat data

yang cukup signifikan:

4

Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, ( Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm. 20.

5

(4)

Table 1. Rekapitulasi Pengguna atau Penyalahguna Narkotika

Bulan Tahun 2013 Tahun 2014

Januari 24 56

Februari 26 59

Maret 29 62

April 31 67

Mei 34 69

Juni 36 72

Juli 40 75

Agustus 42 77

September 45 -

Oktober 47 -

November 50 -

Desember 53 -

Sumber : BAPAS Kelas I Kota Medan

Para penyalahguna narkotika di atas (tabel) sebagaimana kebijakan hukum

pidana yang telah diterapkan putusan pengadilan memperlakukan mereka sebagai

pelaku tindak pidana kriminal. Meskipun kesalahan yang telah dilakukan oleh

pelaku terhitung relatif rendah. Hasil informasi yang diperoleh terdapat 6 orang

(5)

dinyatakan pulih melalui proses pembinaan secara kekeluargaan dan juga dengan

keterlibatan dari pihak BAPAS.6

Klasifikasi penanggulangan kesalahan atau kejahatan lazimnya dibedakan

antara tingkat kerugian yang dilakukan oleh pelaku, dan juga dapat dibedakan

berdasarkan motif, kondisi perilaku, kaidah yang dilanggar dan frekuensi

kejahatan.

7

Sebagaimana secara tegas dalam kebijakan hukum pidana SEMA No. 4

Tahun 2010 tentang penempatan penyalahgunaan, korban penyalahgunaan dan

pecandu narkotika kedalam lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Membedakan adanya pengklasifikasian (tipologi) atas tindakan yang telah

dilakukan pecandu.8

Lebih lanjut Didik dkk menyetujui adanya pengklasifikasian

penyalahgunaan narkotika yang juga dikategorikan sebagai korban, yang dapat

diidentifikasi menurut keadaan dan kondisi, yaitu:

9

1) Unrelated victims, yaitu korban yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan pelaku.

2) Provocative victims, yaitu seseorang yang secara aktif mendorong dirinya menjadi korban.

3) Participating victims, yaitu seseorang yang tidak berbuat, akan tetapi dengan sikapnya justru mendorong dirinya menjadi korban.

4) Biologically weak victims, yaitu mereka yang secara fisik memiliki kelemahan yang menyebabkan ia menjadi korban.

5) Socially weak victims, yaitu mereka yang memiliki kedudukan sosial yang lemah yang menyebabkan ia menjadi korban.

6) Self victimizing victims, yaitu mereka yang menjadi korban karena kejahatan yang dilakukannya sendiri.

6

Wawancara M. Arifin Harahap (Kepala Sub. Bag. Tata Usaha) BAPAS Kelas I Medan, tanggal 22 Agustus 2014 pukul 14.00 wib.

7

Referensi Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana, (Laksabang Grafika-2013), hlm. 86.

8

Lihat SEMA No. 4 Tahun 2010 point 2 dan 3

9

(6)

Pengklasifikasian di atas secara tidak langsung pecandu narkotika termasuk

dalam kategori tipologi korban self victimizing victims, karena pecandu narkotika

ketergantungannya akibat dari penyalahgunaan narkotika yang dilakukan sendiri.

Sebagaimana berdasarkan data diatas pelaku penyalahgunaan narkotika adalah

untuk kepuasan dirinya sendiri.

Undang-undang narkotika memiliki keistimewaan dibandingkan dengan

Undang-undang yang lain, dikarenakan seorang hakim memiliki kewenangan

menjatuhkan vonis bagi seseorang yang terbukti sebagai pecandu narkotika.10

Penerapan suatu sanksi kepada pengguna tidak hanya sebatas dengan penjatuhan

sanksi pidana akan tetapi peluang penjatuhan juga dapat menjatuhkan vonis sanksi

tindakan.11

Kenyataannya menunjukan penjatuhan vonis oleh hakim dalam perkara

narkotika masih belum efektif pelaksanaannya. Sebagian besar pecandu narkotika

tidak dijatuhkan vonis rehabilitasi sesuai yang disebutkan dalam undang-undang

narkotika melainkan dijatuhkan vonis penjara meskipun ketentuan Undang-undang

menjamin pengaturan upaya rehabilitasi, baik itu rehabilitasi medis maupun

rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu narkotika.

Tidak selamanya pula penegak hukum harus memenjarakan

sebanyak-banyaknya para pengguna narkotika dan psikotropika di lembaga pemasyarakatan.

Penegakan hukum narkotika menggunakan instrumen pidana bukanlah

merupakan satu-satunya kebijakan yang harus diutamakan, maka dalam hal ini di

10

Lihat Pasal 103 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika.

11

(7)

perlukan strategi penegakan hukum narkotika seperti strategi treatment (perawatan)

dan rehabilitation (perbaikan). Strategi ini dengan menggunakan dua pendekatan

yakni pendekatan pertama, ialah eliminate drug dependency yakni tujuannya untuk

mengurangi ketergantungan penyalahgunaan narkotika bagi pecandu narkotika,

maka dilakukan program medical rehabilitation (rehabilitasi medis).

Pendekatan kedua, ialah prevent recidivism, yakni program pembinaan

terhadap para bekas narapidana narkotika atau para residivis narkotika, dengan

tujuan dilakukannya pemantauan secara terus menerus agar tidak melibatkan diri

kembali kepada perbuatan kriminal yang telah dilakukan sebelumnya.12

Indonesia sebagai salah satu peserta yang telah menandatangani beberapa

Konvensi yaitu: Konvensi Tunggal Narkotika, Konvensi Psikotropika, Konvensi

Pemberantasan peredaran gelap narkotika psikotropika, secara tidak langsung

bertanggung jawab guna melengkapi kebijakan hukum dan juga sarana prasarana

untuk penanggulangan dan pencegahan penyalahgunaan narkotika.

Salah satu contoh yang berfungsi sebagai sarana rehabilitasi sosial di

Sumatera Utara adalah Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera Utara di bawah

naungan Kementerian Sosial RI. Bertugas dan bertanggungjawab sebagai pemangku

mandat kebijakan hukum pidana atas pelaksanaan rehabilitasi terhadap pecandu

tindak pidana narkotika.

Para terpidana narkotika dan psikotropika selama menjalani masa

rehabilitasi, dapat pula dimanfaatkan oleh aparat penegak hukum untuk

12

(8)

dilakukannya pelatihan mengenai kewajiban memberikan informasi tentang bahaya

dan kerugian yang ditimbulkan dari narkotika dan psikotropika.

Tujuan pemidanaan dalam pelaksanaan rehabilitasi ini adalah treatment

(perawatan) dan rehabilitation (perbaikan), yang lebih memandang pemberian

pemidanaan pada pelaku kejahatan bukan pada perbuatannya. Sehingga tujuan

kemanfaatan hukum untuk para pecandu dalam tindak pidana narkotika dapat

tercapai.

Pengaturan rehabilitasi atas pecandu narkotika menunjukkan adanya

kebijakan hukum pidana yang bertujuan agar penyalah guna dan pecandu narkotika

tidak lagi menyalahgunakan narkotika tersebut. Berdasarkan data di atas upaya

rehabilitasi merupakan suatu alternatif pemidanaan yang tepat untuk para pecandu

narkotika, yang patut didukung dengan peraturan pelaksanaan yang mengakomodir

hak bagi para penyalahguna dan pecandu narkotika.

Berdasarkan uraian dan fakta tersebut diatas sangatlah penting dan menarik

untuk menggali, mengkaji, dan membahas tentang sinkronisasi “Aplikasi Kebijakan

Hukum Pidana Terhadap Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu Tindak Pidana

Narkotika (Studi Di Rehabilitasi Kementrian Sosial Pamardi Putra Insyaf Sumatera

(9)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah di kemukakan diatas, maka rumusan

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana aplikasi kebijakan hukum pidana dalam pelaksanaan rehabilitasi

terhadap pecandu narkotika?

2. Bagaimana pelaksanaan rehabilitasi sosial memberikan kemanfaatan bagi

pecandu narkotika di PSPP Insyaf Sumatera Utara?

3. Bagaimana hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi bagi

pecandu narkotika di PSPP Insyaf Sumatera Utara?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas maka

tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui aplikasi kebijakan hukum pidana terhadap pelaksanaan rehabilitasi

bagi para penyalah guna dan pecandu narkotika.

2. Mengetahui kemanfaatan hukum dari pelaksanaan pemidanaan rehabilitasi

terhadap pecandu narkotika dalam kebijakan hukum pidana.

3. Mengetahui hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan rehabilitasi terhadap

(10)

D. Manfaat Penelitian

Selain tujuan-tujuan tersebut diatas, penulisan tesis ini juga diharapkan

dapat memberi manfaat untuk berbagai hal diantaranya:

1. Secara teoritis

Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis guna

melatih diri dan mengembangkan pemahaman dan kemampuan berpikir melalui

penulisan karya ilmiah serta menambah khasanah pengetahuan, wawasan

khususnya berkaitan dengan penelitian dibidang hukum dengan menerapkan

pengetahuan dan pengalaman praktis yang telah diperoleh selama ini dan dapat

memberikan sumbangan pemikiran mengenai pemidanaan yang tepat terhadap

pecandu narkotika ataupun penyalahgunaan narkotika.

2. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk:

a. Para aparat penegak hukum agar dapat mengetahui tentang bagaimana

tindakan yang tepat untuk kasus penyalahgunaan narkotika terhadap

pecandu tindak pidana narkotika.

b. Bagi para legislator sebagai sumbangan pemikiran terhadap strategi

penegakan hukum narkotika untuk para penyalah guna dan pecandu tindak

(11)

E. Keaslian Penulisan

Sepanjang pengetahuan penulis dan penelitian yang dilakukan dengan judul

“Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pelaksanaan Rehabilitasi Pecandu Dalam

Tindak Pidana Narkotika (Studi di Rehabilitasi Sosial Pamardi Putra Insyaf Kota

Medan)” belum pernah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya di lingkungan

sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Akan tetapi judul

yang terkait dengan permasalahan tindakan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika

telah pernah diteliti oleh beberapa orang yakni:

1. Syamsinar Simatupang, tesis pada tahun 2012 dengan judul : Pelaksanaan

Terapi dan Rehabilitasi terhadap Narapidana Narkotika sebagai Sistem

Pemidanaan di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika (suatu studi di

lembaga pemasyarakatan narkotika kelas II A Pematangsiantar)

2. Ardiansyah, tesis pada tahun 2007 dengan judul : Kedudukan Lembaga

Pemasyarakatan Rehabilitasi Terhadap Pelaku Tindak Pidana Penyalahgunaan

Narkotika dan Psikotropika.

3. Mala Puspita Sari Boru Ginting, tesis pada tahun 2010 dengan judul : Analisis

Yuridis Rehabilitasi terhadap Pengguna Narkotika dalam Perspektif

Pembaharuan Hukum Pidana Nasional.

4. Muhamad Tavip, tesis pada tahun 2009 dengan judul : Pelaksanaan Therapeutic

Community dan Rehabilitasi Terpadu Bagi Narapidana Narkotika dan

Psikotropika di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Medan dihubungkan dengan

(12)

Meskipun demikian, permasalahan dan penyajian dari penelitian ini tidaklah

sama dengan penelitian-penelitian tersebut. Permasalahan dan penyajian dalam

penelitian ini merupakan hasil dari pemikiran dan ide penulis sendiri yang

didasarkan pada referensi buku-buku dan informasi dari media cetak serta

elektronik. Mengacu kepada alasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

penelitian ini adalah asli dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya secara

ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsepsi 1. Kerangka Teori

Istilah teori berasal dari bahasa inggris, yaitu theory. Dalam bahasa belanda

disebut dengan theorie. Menurut Fred N. Kerlinger perkembangan teori dalam ilmu

hukum oleh HS. Salim, yakni sebagai “ seperangkat konsep, batasan, dan proposisi

yang menyajikan pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci

hubungan-hubungan antar variabel, dengan tujuan untuk menjelaskan dan

memprediksi gejala itu.13

Pemidanaan adalah penjatuhan hukuman kepada perbuatan pidana. Istilah

teori pemidanaan berasal dari Inggris, yaitu comdemnation theory. Perbuatan

Pidana merupakan perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam

pidana.14

13

HS. Salim, Perkembangan Teori dalam IlmuHukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), hlm.7.

Penentuan sanksi pidana dalam hukum pidana terkait dengan empat aspek:

yakni yang pertama, penetepan perbuatan yang dilarang; kedua, penetapan

14

(13)

ancaman sanksi pidana terhadap perbuatan yang dilarang; ketiga, tahap penjatuhan

pidana pada subjek hukum; keempat, tahap pelaksanaan pidana. Keempat aspek

tersebut terkait antara satu dengan lainnya dan merupakan satu jalinan dalam wadah

sistem hukum pidana.15

Pemidanaan mempunyai tujuan, beberapa tujuan yang dapat diklasifikasikan

berdasarkan pada teori-teori pemidanaan adalah: retributive, deterrence,

integrative, treatment, social defence. Berdasarkan pada teori-teori pemidanaan,

rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment.

Menurut C. Ray Jeffery dalam Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal

Policy dan Non-Penal Policy dalam Penanganan Kejahatan Kekerasan, Treatment

sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif yang berpendapat

bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan kepada pelaku kejahatan, bukan pada

perbuatannya. Namun pemidanaan yang dimaksudkan oleh aliran ini adalah untuk

memberi tindakan perawatan (treatment) dan perbaikan (rehabilitation) kepada

pelaku kejahatan sebagai pengganti dari penghukuman.16

Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Kebijakan Kriminal,

Teori Treatment, dan Teori Kemanfaatan. Teori Kebijakan Kriminal sebagaimana

di kemukakan oleh G. Petter Hoefnagles bahwa Kebijakan Kriminal adalah17

15

Teguh Prasetyo, Op.cit, hlm. 82.

suatu usaha yang rasional dari pemerintah dan masyarakat dalam melakukan

penanggulangan dilakukan melalui:

16

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal Policy dalam Penangan Kejahatan Kekerasan, ( Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 79.

17

(14)

a. Criminal Policy is the science of responses “ Kebijakan Kriminal merupakan ilmu tanggapan”.

b. Criminal Policy is the science of crime prevention “ Kebijakan Kriminal merupakan ilmu pencegahan”.

c. Criminal Policy is a policy of designating human behavior as crime “ Kebijakan Kriminal merupakan kebijakan yang dapat merubah perilaku manusia untuk berbuat lebih baik”.

d. Criminal Policy is a rational total of the responses to crime “ Kebijakan Kriminal merupakan tanggapan dari seluruh pemangku kebijakan terhadap dampak satu kejahatan”.

Tujuan dari Kebijakan Kriminal adalah memampukan antara kebijakan

sosial dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat (social welfare) dengan

upaya perlindungan (social defence) yang dikaitkan juga dengan kemaksimalan

dalam kebijakan kriminal (penal dan non penal) sebagai mana diungkapkan bahwa

kebijakan kriminal meliputi :18

criminal policy as a science of policy is part of a larger policy the law enforcement policy. This makes it understandable that administrative and civil law occupy the same place in the diagram as non criminal legal crime prevention. The legislative and enforcement policy is in part of social policy”

( Kebijakan Kriminal merupakan bagian dari ilmu kebijakan yang lebih luas dari kebijakan penegakan hukum. Dimana terdiri dari hukum administrasi dan perdata yang juga merupakan bagian yang sama dalam upaya pencegahan kejahatan di luar hukum pidana, sedangkan kebijakan legislative dan kebijakan penegakan hukum merupakan bagian penting dari pelaksanaan kebijakan sosial).

Relavansi antara pelaksanaan rehabilitasi dengan teori kebijakan kriminal

yakni pada bagaimana implementasi peraturan oleh kebijakan hukum pidana dalam

upaya pemberantasan, pencegahan dan pemulihan terhadap penyalahguna dan

pecandu narkotika.

18

(15)

Rehabilitasi terhadap pecandu narkotika menganut teori treatment sebab

rehabilitasi terhadap pecandu narkotika merupakan suatu proses kegiatan

pengobatan secara terpadu untuk membebaskan pecandu dari ketergantungan. Hal

tersebut sesuai dengan pemidanaan, menurut aliran teori treatment pelaku kejahatan

adalah orang sakit sehingga membutuhkan tindakan perawatan (treatment) dan

perbaikan (rehabilitation).

Perbuatan seseorang tidak bisa hanya dilihat dari aspek yuridis semata

terlepas dari orang yang melakukannya. Perbuatan seseorang itu harus dilihat dari

secara kongkrit bahwa dalam kenyataannya perbuatan seseorang itu dipengaruhi

oleh watak pribadinya, faktor-faktor biologis, maupun faktor-faktor lingkungan.

Bentuk pertanggungjawaban si pembuat lebih bersifat tindakan (treatment) untuk

melindungi kepentingan masyarakat. Metode treatment sebagai pengganti

pemidanaan, menjadikan pendekatan secara medis menjadi model yang digemari

dalam kriminologi.19

Dengan dilakukannya pengamatan mengenai bahaya sosial yang potensial

dan perlindungan sosial menjadikan suatu standar dalam menjustifikasi suatu

perbuatan, daripada pertanggungjawaban moral dan keadilan. Menurut Herbert L.

Packer, rehabilitasi dilakukan terhadap pelaku kejahatan karena dalam menjatuhkan

sanksi harus berorientasi kepada diri individu pelaku, bukan kepada perbuatannya.

19

(16)

Bagaimana menjadikan individu pelaku kejahatan tersebut untuk menjadi lebih

baik.20

Berdasarkan data yang telah diuraikan dalam latar belakang permasalahan,

teori Kemanfaatan dipandang tepat sebagai pisau anlisis dalam pelaksanaan

rehabilitasi. Teori Kemanfaatan (Utilitarisme) dipelopori oleh Jeremy Bentham

(1748-1832). Bagi Jeremy Bentham, hukum barulah dapat diakui sebagai hukum,

jika memberikan kemanfaatan yang sebesar-besarnya terhadap sebanyak-banyaknya

orang. Prinsip ini dikemukakan oleh Bentham dalam karyanya Introduction to the

Principles of Morals and Legislation (1789), yang bunyinya adalah the greatest

happiness of the greatest number (kebahagiaan yang sebesar-besarnya untuk

sebanyak-banyaknya orang).21

Utilitarisme berasal dari kata latin utilis yang berarti bermanfaat. Menurut

teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tetapi manfaat itu

harus menyangkut bukan saja satu atau dua orang melainkan masyarakat secara

keseluruhan.

Bahwa tujuan perundang-undangan adalah untuk

menghasilkan kebahagiaan bagi masyarakat.

22

Kemanfaatan disini diartikan sebagai kebahagiaan (happiness), yang

tidak mempersalahakan baik atau tidak adilnya suatu hukum, melainkan bergantung

kepada pembahasan mengenai apakah hukum dapat memberikan kebahagiaan

kepada manusia atau tidak.23

20

Referensi, Herbert L. Packer, The Limits of The Criminal Sanction, ( California: Stanford University Press, 1968), hlm. 54.

21

Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan

(Judicialprudence), (Jakarta: Kencana, 2009), hlm.76.

22

K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis, ( Yogyakarta : Kanisius, 2010), hlm. 66.

23

(17)

Dengan memegang prinsip manusia akan melakukan tindakan untuk

mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan.

Atas dasar ini, baik buruknya suatu perbuatan diukur apakah perbuatan itu

mendatangkan kebahagian atau tidak. Demikian juga terhadap

perundang-undangan. Baik buruknya ditentukan pula oleh ukuran tersebut diatas. Bahwa

undang-undang yang banyak memberikan kebahagiaan pada bagian terbesar

masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik.24

Bentham menemukan bahwa dasar yang paling objektif adalah dengan

melihat apakah suatu kebijaksanaan atau tindakan tertentu membawa manfaat atau

hasil yang berguna atau sebaliknya yaitu kerugian bagi orang-orang yang terkait.

Menepati janji, berkata benar, atau menghormati milik orang adalah baik karena

hasil baik yang dicapai dengannya, bukan karena suatu sifat intern dari

perbuatan-perbuatan tersebut. Sedangkan, mengingkari janji, berbohong atau mencuri adalah

perbuatan buruk karena akibat buruk yang dibawakannya, bukan karena suatu sifat

dari perbuatan-perbuatan itu. Utilitarisme dapat memberi tempat juga kepada

kewajiban, tetapi hanya dalam arti bahwa manusia harus menghasilkan kebaikan

dan bukan keburukan.25

24

Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 64.

25

(18)

Secara lebih kongkret, dalam kerangka etika utilitarisme dapat dirumuskan

tiga kriteria objektif yang dapat dijadikan dasar objektif sekaligus norma untuk

menilai suatu kebijaksanaan atau tindakan, antara lain: 26

a. Kriteria pertama adalah manfaat, yaitu bahwa kebijaksanaan atau tindakan itu mendatangkan manfaat atau kegunaan tertentu. Kebijaksanaan atau tindakan yang paling baik adalah menghasilkan hal yang baik, sebaliknya kebijaksanaan atau tindakan yang tidak baik adalah yang mendatangkan kerugian tertentu. b. Kriteria kedua adalah manfaat terbesar, yaitu bahwa kebijaksanaan atau

tindakan itu mendatangkan manfaat terbesar (atau dalam situasi tertentu lebih besar) dibandingkan dengan kebijaksanaan atau tindakan, maka suatu kebijaksanaan atau tindakan dinilai baik secara moral kalau mendatangkan lebih banyak manfaat dibandingkan dengan kerugian. Dalam situasi tertentu, ketika kerugian tidak bisa dihindari, dapat dikatakan bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang menimbulkan kerugian terkecil (termasuk kalau dibandingkan dengan kerugian yang ditimbulkan oleh kebijaksanaan atau tindakan alternatif). c. Kriteria ketiga adalah manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang. Suatu

kebijaksanaan atau tindakan yang baik dan tepat dari segi etis menurut etika utilitarisme adalah kebijaksanaan atau tindakan yang membawa manfaat terbesar bagi sebanyak mungkin orang atau sebaliknya membawa akibat merugikan yang sekecil mungkin bagi sedikit mungkin orang.

Secara umum, utilitarisme dapat dipakai dalam dua wujud yang berbeda, antara lain:27

a. Sebagai proses untuk mengambil sebuah keputusan, kebijaksanaan, ataupun untuk bertindak (sebagai prosedur untuk mengambil keputusan). Yaitu menjadi sebuah metode untuk bisa mengambil keputusan yang tepat tentang tindakan atau kebijaksanaan yang akan dilakukan.

b. Sebagai standar penilaian bagi tindakan atau kebijaksanaan yang telah terjadi berdasarkan akibat konsekuensinya, sejauh mana mendatangkan hasil terbaik bagi banyak orang.

Teori kemanfaatan ini menggambarkan tentang apa yang sesungguhnya

dilakukan oleh orang yang rasional dalam mengambil keputusan dalam hidup ini.

Hal ini dapat dipahami dari alasan diberikannya alternatif sanksi tindakan yakni

26

Ibid., hlm. 94-95.

27

(19)

rehabilitasi, sebagai sanksi yang tepat untuk mencegah dan memulihkan para

penyalah guna dan pecandu narkotika.

2. Kerangka Konsepsi

Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian

yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. Pentingnya definisi

operasional adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran dari

suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan

beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang

sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

a. Aplikasi adalah penggunaan atau penerapan, pemakaian suatu cara atau metode

atau suatu teori atau suatu sistem.28

b. Kebijakan hukum pidana adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan yang

berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang

diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam

masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.29

c. Rehabilitasi medis adalah suatu proses kegiatan pengobatan secara terpadu untuk

membebaskan pecandu dari ketergantungan narkotika.30

d. Rehabilitasi sosial adalah suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu, baik

fisik, mental, maupun sosial, agar bekas pecandu narkotika dapat kembali

melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat.31

28

tanggal 1 Agustus 2014, pukul 09.40 wib.

29

Sudarto,op.cit., hlm .20.

30

(20)

e. Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan atau menyalahgunakan

narkotika dan dalam keadaan ketergantungan pada narkotika, baik secara fisik

maupun psikis.32

f. Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa hak dan melawan

hukum.33

g. Korban penyalahguna adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan

narkotika, karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa dan atau diancam untuk

menggunakan narkotika.34

h. Tindak Pidana adalah suatu tindakan melanggar hukum yang dengan sengaja

telah dilakukan oleh seseorang yang dapat di pertanggungjawabkan atas

tindakannya, yang dinyatakan sebagai dapat dihukum.35

i. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman ,

baik sintesis maupun semi sintesis, yang dapat menyebabkan penurunan atau

perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa

nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.36

j. Tindak pidana narkotika adalah suatu perbuatan yang melanggar

ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 22 Tahun

1997 tentang Narkotika yang digantikan dengan Undang-Undang No. 35 Tahun

31

Pasal 1 butir 17 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

32

Pasal 1 butir 13 Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

33

Pasal 1 butir 15 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

34

Penjelasan Pasal 54 Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika

35

Adami Chazawi. Pelajaran Hukum Pidana, Bagian 1, ( Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2010), hlm.75.

36

(21)

2009 tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan atau

tidak bertentangan dengan Undang-Undang tersebut.37

G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis

normatif dan yuridis empiris, yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian yuridis

normatif digunakan untuk menggambarkan dan menganalisa pelaksanaan

konsep-konsep hukum dan peraturan yang erat kaitannya dengan pokok bahasan tesis ini,

sejauh mana para pemangku kebijakan menerapkannya.38 Penelitian yuridis

normatif mempergunakan bahan-bahan hukum yang mengikat sebagai bagian data

sekunder, dari beberapa sudut kekuatan mengikat dapat digolongkan ke dalam

(Bahan hukum primer, hukum sekunder dan hukum tertier).39

Sedangkan penelitian yuridis empiris adalah suatu penelitian guna mengukur

efektivitas hukum yang mampu dipahami dan dioperasikan dikalangan aparatur

sebagai pemangku kebijakan dan juga para tokoh masyarakat yang dianggap layak

dan tepat dalam memahaminya. Pada prinsip dalam metode ini ingin melihat sejauh

mana niat dan tujuan para inisiator pembuat kebijakan itu, baik ditataran

Kepolisian, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, LSM dan Pers yang memiliki

persepsi yang sama sewaktu kebijakan tersebut diundangkan, melalui pengujian

37

Taufik Makaro., op.cit., hlm. 41.

38

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hlm.50.

39

(22)

konsep-konsep tertulis yang telah dianggap sebagai wacana doctrinal terhadap

hukum.40

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang berupa bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya

mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.41

b. Bahan Hukum Sekunder

Seperti peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan narkotika dan rehabilitasi

terhadap pengguna narkotika, yakni Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009

tentang Narkotika yang telah disempurnakan yang sebelumnya adalah

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Surat Edaran

Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2010.

Bahan Hukum Sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi

buku-buku teks yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal

hukum, pendapat para sarjana, komentar-komentar atas putusan hakim,

40

Ibid, hlm. 53.

41

(23)

kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium mutakhir yang

berkaitan dengan topik penelitian.42

Dalam hal penelitian ini, bahan hukum sekunder yang digunakan adalah

buku-buku teks tentang narkoba, kebijakan atau politik hukum pidana, dan

sistem pemidanaan.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan hukum tertier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.43

Bahan hukum tertier yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa

kamus hukum dan situs-situs dalam internet. Kemudian, penelitian ini

didukung oleh bahan non hukum, berupa hasil wawancara dengan para

pelaksana tindakan rehabilitasi di Panti Sosial Pamardi Putra Insyaf Medan

dan beberapa pegawai pendukung pelaksana tersebut.

3. Teknik Pengumpulan Data

Seluruh data dikumpulkan dengan menggunakan teknik studi kepustakaan

(library research) dan studi dokumen dari berbagai sumber yang dianggap

relavan. Selanjutnya pengumpulan data juga dilakukan dengan wawancara

melalui studi lapangan (field research) terhadap pihak yang terkait dalam

kebijakan pelaksanaan rehabilitasi pecandu tindak pidana narkotika.

42

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,( Surabaya: Bayumedia, 2008), hlm. 296.

43

(24)

4. Analisis Data

Keseluruhan data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif. Lalu

dilakukan studi lapangan untuk melakukan identifikasi dan analisis tentang

bagaimana hukum dan kebijakan penanggulangan itu bekerja dan diupayakan.

Analisis kualitatif ini akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis

dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data dan menjelaskan data

informasi dari responden. Selanjutnya semua data diseleksi dan diolah,

kemudian dianalisis secara deskriptif. Sehingga selain menggambarkan dan

mengungkapkan, diharapkan akan memberikan keterangan dan solusi atas

Gambar

Table 1. Rekapitulasi Pengguna atau Penyalahguna Narkotika

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pembentukan Tim Penyusun Profil

Kemudian setelah peneliti telah uraikan, dapat dilihat dari latar belakang diatas, hal tersebut menarik untuk diteliti, adapun yaitu meneliti bagaimana Dinas Kepemudaan Olahraga

LAPORAN PENELITIAN PEMAKAIAN SARANA MULTIMEDIA SEBAGAI ..... ADLN Perpustakaan

7 Bagi saya super star menyediakan tempat yang luas untuk dikunjungi 8 Saya merasasuper star memiliki lokasi. yang baik untuk perluasan usaha

Tujuan dari penelitian adalah (1) Untuk medeskripsikan metode budidaya padi sawah metode SRI di Kecamatan Gerih Kabupaten Ngawi, (2) Membandingkan struktur biaya

APABILA PABRIK BRAY YANG DIGUNAKAN UNTUK PENJUALAN TIDAK BERLOKASI DI NEGARA BAGIAN, WILAYAH, ATAU DISTRIK DI AMERIKA SERIKAT, MAKA MASING-MASING PIHAK SETUJU

Onwubiko adalah seorang Direktur dan Pendiri dari Grace Evangelistic Ministries, yang didirikan pada tahun 1997 sebagai organisasi misionaris pengajaran Alkitab dengan fokus utama

Form laporan piutang menghasilkan laporan daftar piutang berdasarkan data tanggal jatuh tempo pada saat proses transaksi penjualan dapat dilihat pada gambar 18, dan