• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepastian Hukum Dalam Eksekusi Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 14 PDT.PLW 2014 PN.STB)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kepastian Hukum Dalam Eksekusi Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 14 PDT.PLW 2014 PN.STB)"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERAN JAKSA DALAM EKSEKUSI PUTUSAN PIDANA

A. Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana

1. Pengertian dan Fungsi Barang Bukti dalam Proses Peradilan Pidana

Menurut istilah barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana

delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang

diapakai untuk melakukan delik. Termasuk juga barang bukti ialah hasil dari delik,

misalnya uang negara yang dipakai (korupsi) untuk membeli rumah pribadi maka rumah

pribadi itu merupakan barang bukti atau hasil delik.38

Disamping itu ada pula barang yang bukan termasuk obyek, alat atau hasil delik,

tetapi dapat pula dijadikan barang bukti sepanjang barang tersebut mempunyai hubungan

langsung dengan tindak pidana misalnya pakaian yang dipakai oleh korban saat ia

dianiaya atau dibunuh.

Pada Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, menyebutkan bahwa tiadak

seorang pun dapat dijatuhi pidana kecuali apabila kerena alat pembuktian yang sah

menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim

mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dapat dianggap bertanggung jawab, telah

bersalah atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya.

Ketentuan tersebut diatas ditegaskan lagi dalam Pasal 183 KUHAP yang

menyatakan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali seseorang

kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh

keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah

38

(2)

melakukannya. Dalam penjelasan Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa ketentuan ini

adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi

seseorang. Adanya ketentuan sebagaimana tersebut dalam Pasal 183 KUHAP

menujukkan bahwa Negara kita menganut sistem atau teori pembuktian secara negatif,

dimana hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman apabila sedikit-dikitnya dua alat bukti

yang telah ditentukan dalam kesalahan terdakwa terhadap peristiwa pidana yang

dituduhkan kepadanya. Walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika Hakim tidak

yakin tentang kesalahan terdakwa maka harus diputus bebas.

Untuk mendukung dan menguatkan alat bukti yang sah sebagaimana tercantum

dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP dan untuk memperoleh keyakinan hakim atas

kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa, maka disinilah

letak pentingnya barang bukti tersebut. Meskipun barang bukti mempunyai peranan

penting dalam perkara pidana bukan berarti bahwa kehadiran barang bukti itu mutlak

harus ada dalam perkara pidana, sebab adapula tindak pidana tanpa adanya barang bukti

misalnya penghinaan secara lisan (Pasal 310 ayat (1) KUHP). Dalam hal demikian hakim

melakukan pemeriksaan tanpa barang bukti.

2. Hubungan Barang Bukti dengan Alat Bukti

Sebagaimana telah disebut bahwa alat bukti yang sah sebagaimana disebutkan

dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah Keterangan saksi, Keterangan ahli, Surat,

Petunjuk dan Keterangan terdakwa. Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut

(3)

Bila memperhatikan ketentuan-ketentuan tersebut diatas, tidak tampak adanya

hubungan antara barang bukti dengan alat bukti. Pasal 183 KUHAP mengatur bahwa

untuk menentukan pidana kepada terdakwa, harus:

a. Kesalahanya terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah;

b. Dan atas dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh

keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah

melakukanya.

Pasal 181 KUHAP mengatur mengenai pemeriksaan barang bukti di persidangan, yaitu sebagai

berikut:

a. Hakim ketua sidang memperlihatkan kepada terdakwa segala barang bukti dan

menanyakan kepadanya apakah ia mengenal benda itu dengan memperhatikan ketentuan sebagai mana yang dimaksud dalam Pasal 45 KUHAP.

b. Jika perlu benda itu diperlihatkan juga oleh hakim ketua sidang kepada saksi.

c. Apabila dianggap perlu untuk pembuktian, hakim ketua sidang membacakan atau

memperlihatkan surat atau berita acara kepada terdakwa atau saksi dan selanjutnya minta

keterangan seperlunya tentang hal itu.39

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas tampak bahwa dalam proses pidana,

kehadiran barang bukti itu sangat penting bagi hakim untuk mencari dan menetukan

kebenaran materiil atas perkara yang sedang ia tangani/ periksa. Barang bukti dan alat

bukti mempunyai hubungan yang erat dan merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat

dipisahkan.

Perbedaan alat bukti yang sah menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Pidana dengan barang bukti. Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu:

a. Keterangan saksi

b. Keterangan ahli

c. Surat

39

(4)

d. Petunjuk

e. Keterangan terdakwa

Hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk

alat pembuktian.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memang tidak

menyebutkan secara jelas tentang apa yang dimaksud dengan barang bukti. Namun dalam

pasal 39 ayat (1) KUHAP disebutkan apa-apa yang disita. Untuk kepentingan pembuktian

tersebut maka kehadiran benda-benda yang tersangkut dalam suatu tindak pidana, sangat

diperlukan. Benda-benda dimaksud dengan istilah “barang bukti”.Barang bukti atau

corpus delicti adalah barang bukti kejahatan, meskipun barang bukti itu mempunyai

peranan yang sangat penting dalam proses pidana.

Selain itu didalam Hetterzine in landcsh regerment (HIR) juga terdapat perihal

barang bukti. Dalam Pasal 42 HIR disebutkan bahwa para pegawai, pejabat ataupun

orang-orang berwenang diharuskan mencari kejahatan dan pelanggaran kemudian

selanjutnya mencari dan merampas barang-barang yang dipakai untuk melakukan suatu

kejahatan serta barang-barang yang didapatkan dari sebuah kejahatan.

Penjelasan Pasal 133 ayat (2) KUHAP menyebutkan : “Keterangan yang

diberikan oleh ahli kedokteran Kehakiman disebut keterangan ahli, sedangkan keterangan

yang diberikan oleh dokter bukan ahli kedokteran kehakiman disebut keterangan”.

Memperhatikan Pasal 133 KUHAP beserta penjelasannya maka dapat disimpulkan

bahwa: Keterangan mengenai barang bukti (tubuh manusia yang masih hidup atau pun

mati) yang diberikan oleh ahli kedokteran kehakiman, adalah menjadi alat bukti yang sah

(5)

Terkait dengan Pasal 120, Pasal 184 serta Pasal 186 KUHAP, terlihat bahwa hasil

pemeriksaan oleh ahlinya disebut Expertise adalah hasil pemeriksaan sesuatu yang

dilakukan oleh seseorang ahli (expert) yang disampaikan kepada hakim untuk menjadi

bahan pertimbangan pemutusan suatu perkara.40 Misalnya hasil pemeriksaan terhadap

bagian-bagian tertentu dari tubuh manusia (darah, air mani, rambut, dsb) atau hasil

pemeriksaan benda-benda tertentu (serbuk, senjata api, uang palsu, dsb) apabila diberikan

secara lisan disidang pengadilan, maka akan menjadi keterangan ahli sebagaimana

tersebut dalam Pasal 184 KUHAP. Sedangkan keterangan yang diberikan oleh seorang

ahli (bukan ahli kedokteran kehakiman) jika diberikan secara tertulis, maka akan menjadi

surat keterangan dari seorang ahli (Pasal 184 ayat (1) c jo Pasal 187 c KUHAP).

Dengan demikian barang bukti itu sangat penting arti dan perananya dalam

mendukung upaya bukti dalam persidangan, sekaligus memperkuat dakwaan Jaksa

Penuntut Umum terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh terdakwa, serta dapat

membentuk dan menguatkan keyakinan hakim atas kesalahan terdakwa. Itulah sebabnya

Jaksa Penuntut Umum semaksimal mungkin harus mengupayakan/ menghadapkan

barang bukti selengkap-lengkapnya disidang pengadilan.

3. Putusan yang Berkenaan dengan Barang Bukti

Selain mencantumkan tindakan yang dijatuhkan terhadap terdakwa dan ongkos perkara

putusan hakim harus memuat pula tentang status benda sitaan yang dijadikan barang bukti dalam

perkara tersebut, kecuali dalam perkara tersebut tidak ada barang buktinya. Mengenai

macam-macam putusan yang berkenaan dengan barang bukti dapat kita ketahui dari Pasal 46 ayat (2)

KUHAP dan Pasal 194 ayat (1) KUHAP.

40

(6)

Pasal 46 ayat (2) KUHAP adalah sebagai berikut: Apabila perkara sudah diputus maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau kepada mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut putusan hakim benda itu dirampas untuk negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda dirusakkan sampai tidak dapat dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti dalam perkara lain.

Pasal 194 ayat (1) KUHAP menentukan bahwa : Dalam hal putusan pemidanaan, atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut, kecuali jika menurut ketentuan Undang-Undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau

dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.41

Berdasarkan ketentuan tersebut diatas dapat diketahui bahwa putusan hakim yang

berkenaan dengan barang bukti adalah sebagai berikut:

1. Dikembalikan kepada pihak yang paling berhak.

Pada hakekatnya, apabila perkara sudah diputus maka benda yang disita untuk dijadikan

barang bukti dalam persidangan dikembalikan kepada orang atau mereka yang berhak

sebagaimana dimaksud dalam putusan hakim. Undang-undang tidak menyebutkan siapa

yang dimaksud dengan yang berhak tersebut. Dengan demikian kepada siapa barang bukti

tersebut dikembalikan diserahkan kepada hakim yang bersangkutan setelah mendengar

keterangan para saksi dan terdakwa, baik mengenai perkaranya maupun yang menyangkut

barang bukti dalam pemeriksaan sidang di pengadilan.42

Adapun yang disebut orang yang berhak menerima barang bukti antara lain :43

a. Orang atau mereka dari siapa barang tersebut disita, yaitu orang atau mereka yang

memegang atau menguasai barang itu pada waktu penyidik melakukan penyitaan dimana barang itu pada waktu penyidik melakukan penyitaan dimana dalam pemeriksaan di persidangan memang dialah yang berhak atas barang tersebut.

b. Pemilik yang sebenarnya, sewaktu disita benda yang dijadikan barang bukti tidak dalam

kekuasaan orang tersebut. Namun, dalam pemeriksaan ternyata benda tersebut adalah

(7)

miliknya yang dalam perkara itu bertindak sebagai saksi korban. Hal ini sering terjadi dalam perkara kejahatan terhadap harta benda.

c. Ahli waris, dalam hal yang berhak atas barang bukti tersebut sudah meninggal dunia

sebelum putusan dijatuhkan, maka berkenaan dengan barang bukti tersebut putusan hakim menetapkan bahwa barang bukti dikembalikan kepada ahli waris atau keluarganya.

d. Pemegang hak terakhir, barang bukti dapat pula dikembalikan kepada pemegang hak

terakhir atas benda tersebut asalkan dapat dibuktikan bahwa ia secara sah benar-benar mempunyai hak atas benda tersebut.

2. Dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak.

Putusan hakim yang berbunyi bahwa barang bukti dirampas untuk kepentingan negara

biasanya ditemui dalam perkara tindak pidana ekonomi, penyelundupan senjata api, bahan

peledak, narkotika. Barang tesebut dijual lelang kemudian hasil lelang menjadi milik negara.

Akan tetapi ada pula barang rampasan negara yang tidak dapat dijual lelang yaitu barang

yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, karena benda tersebut tidak boleh

dimiliki oleh umum.

Menurut Pasal 45 ayat (4) KUHAP dan penjelasannya, “benda tersebut harus

diserahkan kepada departemen yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”.

Misalnya bahan peledak amunisi atau senjata api diserahkan kepada Departemen Pertahanan

dan Keamanan. Barang yang dapat dirampas untuk dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak

dapat dipergunakan lagi biasanya benda tersebut merupakan alat untuk melakukan kejahatan

misalnya golok untuk menganiaya korban atau linggis yang dipakai untuk membongkar

rumah orang lain.

3. Barang bukti masih diperlukan dalam perkara lain

Ada tiga kemungkinan yang bisa menimbulkan putusan seperti tersebut diatas :44

a. Ada dua delik dimana pelakunya hanya satu orang, perkara pertama sudah diputus oleh

hakim sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk pembuktian perkara yang kedua.

44

(8)

b. Ada suatu delik pelakunya lebih dari seorang, para terdakwa diperiksa secara terpisah atau perkaranya displitsing. Terdakwa pertama sudah diputus sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk pembuktian terdakwa yang lain.

c. Perkara koneksitas, dalam hal ini satu delik dilakukan lebih dari satu orang (sipil dan

ABRI). Terdakwa Sipil sudah diputus oleh pengadilan, sedangkan barang buktinya masih diperlukan untuk perkara yang terdakwanya ABRI.

4. Pihak yang Bertanggungjawab Atas Barang Bukti dalam Upaya Hukum Biasa Dan Luar Biasa.

Afiah, dalam bukunya Barang Bukti Dalam Proses Pidana menjelaskan bahwa

KUHAP membagi upaya hukum menjadi 2 bagian yaitu:45

1. Upaya hukum biasa terdiri dari:

a. Banding;

b. Kasasi.

2. Upaya hukum luar biasa terdiri dari:

a. Kasasi demi kepentingan hukum;

b. Peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum

tetap.

Dengan adanya permintaan pemeriksaan perkara ke pengadilan yang lebih tinggi, sesuai

dengan kewenangan masing-masing yang telah ditentukan oleh Undang-undang, maka

tanggungjawab yuridis atas segala sesuatu yang berkenaan dengan perkara tersebut akan beralih

yaitu, dari Pengadilan Negeri kepada Pengadilan Tinggi, atau Mahkamah Agung yang

memeriksa perkara tersebut.

Demikian pula halnya dengan barang bukti, berdasarkan Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) jo

Pasal 30 ayat (2) dan ayat (3) PP Nomor 27 Tahun 1983 tanggung jawab yuridis ada pada

pejabat yang memeriksa perkara tersebut. Jadi dalam tingkat pemeriksaan banding tangungjawab

45

(9)

yuridis atas benda sitaan ada pada Hakim Pengadilan Tinggi. Sedangkan tanggung jawab yuridis

atas barang bukti apabila perkara tersebut dalam tingkat kasasi ada pada hakim Mahkamah

Agung yang memeriksa perkara tersebut.

Demikian halnya dengan pemeriksaan kasasi demi kepentingan hukum dan peninjauan

kembali putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tangung jawab yuridis atas

benda sitaan tersebut ada pada hakim Mahkamah Agung yang memeriksa perkaranya, sedangkan

tanggung jawab administrasi dan fisik atas benda tersebut terletak pada Kepala RUPBASAN (

Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara). Surat Keputusan Jaksa Agung RI yang berlaku di

Indonesia adalah Surat Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: KEP-132/J.A/l

1/1994 tanggal 7 November 1994 tentang Perubahan Keputusan Jaksa Agung R.I Nomor:

KEP.120/J.A/12/1992 tanggal 31 Desember 1992 tentang Adminstrasi Perkara Tindak Pidana.46

Menurut Keputusan Jaksa Agung Republik Indonesia bahwa yang dimaksud dengan

administrasi perkara tindak Pidana adalah:

Bagian dari administrasi umum Kejaksaan yang meliputi segala kegiatan administrasi yang mengelola perkara tindak pidana umum dan perkara tindak pidana khusus mengenai: perkara, tahan, benda sitaan, barang bukti, barang rampasan, barang temuan dan hasil dirias, baik secara teknis yuridis merupakan bagian tak terpisahkan dari berkas perkara maupun hanya merupakan pencatatan proses penanganan berbentuk surat-surat, register dan laporan sesuai dengan bentuk dan kode yang ditentukan.

Proses pemeriksaan barang bukti pada kejaksaan dilakukan sebagai berikut: Jaksa

Penuntut Umum mencocokkan barang-barang tersebut dengan yang tercantum dalam daftar

barang bukti sebagaimana terlampir dalam berkas perkara dengan disaksikan oleh Penyidik dan

tersangka.

46

(10)

Menurut Instruksi Jaksa Agung Rl. Nomor: 1NS-006/J.A/7/1986 Tentang Petunjuk

Pelaksanaan Administrasi Teknik Yustisial Perkara Pidana Umum, penelitian mengenai barang

bukti tersebut meliputi:

a. Jenis / macamnya

b. Jumlah. Kesatuannya

c. Mutu/kadarnya47

Penelitian dilakukan dengan bantuan tenaga ahli atau laboratorium. Seperti yang

diperlukan untuk mengetahui tentang mutu/kadar logam mulia, narkotika, obat-obatan

dan barang bukti lain yang bersifat khusus. Pelaksanaan penelitian tersangka dan barang

bukti tersebut masing- masing dibuatkan Berita Acara dengan menggunakan formulir

BA-18 dan ditandatangani oleh Penuntut umum dan Penyidik yang menyaksikan acara

itu. Barang sitaan yang dibuka dilakukan pembungkusan dan penyegelan kembali, semua

benda sitaan yang diserahkan kepada Penuntut Umum diberi Label Barang Bukti

Kejaksaan (B-10), yang mencantumkan keterangan sebagai berikut:

a. Nomor register barang bukti

b. Nomor register perkara

c. Nama tersangka

d. Tanggal berita acara penelitian tersebut.

B. Peran Jaksa Dalam Mengeksekusi Putusan Pidana 1. Pengertian Kejaksaan

Keberadaan institusi Kejaksaan Republik Indonesia saat ini adalah

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan (UU Kejaksaan). Menurut ketentuan

47

(11)

dalam Pasal 2 Ayat (1) UU Kejaksaan, disebutkan bahwa Kejaksaan Republik Indonesia

adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan

serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang.48

Kejaksaan adalah suatu lembaga, badan, institusi pemerintah yang menjalankan

kekuasaan negara di bidang penuntutan dan kewenangan lain. Sementara orang yang

melakukan tugas, fungsi, dan kewenangan itu disebut Jaksa. Hal ini ditegaskan dalam

Pasal 1 Ayat (1) UU Kejaksaan yaitu, “Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi

wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan

putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain

berdasarkan undang-undang”. Jadi, perlu digaris bawahi bahwa selain tugasnya di bidang

penuntutan, juga diberi kewenangan lain oleh undang-undang misalnya sebagai Jaksa

Pengacara Negara, Eksekutor putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap, sebagai penyelidik tindak pidana tertentu, dan lain-lain.

Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai

kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat

menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat

bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Kejaksaan selain sebagai penyandang

Dominus Litis, juga merupakan satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive

ambtenaar). Undang-Undang Kejaksaan memperkuat kedudukan dan peran Kejaksaan RI

sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang

penuntutan. Dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh

48

(12)

kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan

melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.

2. Tugas Pokok Kejaksaan

Seorang Jaksa dalam menjalankan tugasnya harus tunduk dan patuh pada tugas,

fungsi, dan wewenang yang telah ditentukan dalam UU Kejaksaan. Tugas adalah amanat

pokok yang wajib dilakukan dalam suatu tindakan jabatan. Sedangkan wewenang adalah

pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan kompetensi yurisdiksi baik kompetensi relatif

maupun kompetensi mutlak. Dengan tugas dan wewenang, suatu badan dapat berfungsi

sesuai dengan maksud dan tujuan badan tersebut.49

Sehubungan dengan itu, maka antara fungsi, tugas dan wewenang merupakan tiga

kata yang selalu berkaitan satu sama lain. Mengenai dua kata yang selalu berkaitan antara

tugas dan wewenang dapat dibuktikan secara tertulis dalam beberapa undang-undang,

dalam hal ini diambil contohnya dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004

tentang Kejaksaaan Republik Indonesia, yaitu:

(1) Dalam bidang pidana, Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang:

a. Melakukan penuntutan

b. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan Pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap;

c. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana

pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

d. Melakukan penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

e. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan

tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dengan penyidik.

(2) Dalam bidang perdata dan tata usaha negara, Kejaksaan dengan kuasa khusus dapat bertindak baik di dalam maupun di luar Pengadilan untuk dan atas nama negara atau pemerintah.

(3) Dalam bidang ketertiban dan ketentraman umum, Kejaksaan turut meyelenggarakan kegiatan:

a. Peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

49

(13)

b. Pengamanan kebijakan penegakan hukum;

c. Pengawasan peredaran barang cetakan;

d. Pengawasan kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan negara;

e. Pencegahan penyalahgunaan dan/atau penodaan agama;

f. Penelitian dan pengembangan hukum serta statik kriminal.

Satu hal yang hanya diatur dalam Pasal 30 Ayat (1) UU Kejaksaan yaitu bahwa

Kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak

pidana tertentu berdasarkan undang-undang. Adapun tindakan pidana tertentu

berdasarkan undang-undang dimaksud adalah sebagaimana dijelaskan dalam penjelasan

Pasal 30 Ayat (1) huruf d ini bahwa kewenangan dalam ketentuan ini adalah kewenangan

sebagaimana diatur misalnya dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2000 tentang

Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagiana telah diubah

menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan

Republik Indonesia, Kejaksaan dapat meminta kepada hakim untuk menetapkan seorang

terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa, atau tempat lain yang layak karena

bersangkutan tidak mampu berdiri sendiri atau disebabkan oleh hal-hal yang dapat

membaahyakan orang lain, lingkungan atau dirinya sendiri. Selanjutnya berdasarkan

Pasal 32 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaaan Republik Indonesia

Kejaksaan dapat diserahi tugas dan wewenang lain berdasarkan undang-undang. Dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya. Pasal 33 menyatakan bahwa Kejaksaan membina

(14)

instansi lainnya. Pasal 34 menyatakan bahwa Kejaksaan dapat memberikan pertimbangan

dalam bidang hukum kepada instalasi pemerintah lainnya.50

3. Kedudukan Kejaksaan

Kejaksaan Negeri merupakan bagian dari lembaga pemerintah dengan

melaksanakan tugas kekuasaan negara di bidang penuntutan dan merupakan instansi

vertikal dari Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Kejaksaan Tinggi. Kedudukan

Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara terutama

di bidang penuntutan di lingkungan peradilan umum, pada saat ini semakin dituntut

kapabilitasnya dalam mewujudkan supremasi hukum, termasuk mewujudkan

pemerintahan yang bersih. Jaksa adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan yang dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya bertindak demi keadilan dan kebenaran

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa dan senantiasa menjunjung tinggi prinsip bahwa

setiap warga negara bersama kedudukan di depan hukum.

Kejaksaan dalam hal ini menjadi salah satu bagian penting dalam sistem peradilan

pidana di Indonesia, yaitu suatu sistem dalam masyarakat untuk menanggulangi

kejahatan, dengan tujuan mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan,

menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan

telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana dan mengusahakan mereka yang pernah

melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatannya.

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang

menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil,

hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun demikian kelembagaan

substansial ini harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu

50

(15)

formal apabila dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa

bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian demi apa yang dikatakan sebagai

precise justice, maka ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata-nyata dilandasi

oleh asas-asas keadilan yang bersifat umum benar-benar harus diperhatikan dalam

penegakan hukum.51

Sistem peradilan pidana pelaksanaan dan penyelenggaan penegakan hukum

pidana melibatkan badan-badan yang masing-masing memiliki fungsi sendiri-sendiri.

Badan-badan tersebut yaitu kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga

pemasyarakatan. Dalam kerangka kerja sitematik ini tindakan badan yang satu akan

berpengaruh pada badan yang lainnya. Instansi-instansi tersebut masing-masing

menetapkan hukum dalam bidang dan wewenangnya.

4. Fungsi Kejaksaaan

Berdasarkan Instruksi Jaksa Agung RI no: INS-002/A/JA/1/2010 tentang Perencanaan

Stratejik dan Rencana Kinerja Kejaksaan RI Tahun 2010-2015, Fungsi Kejaksaan adalah sebagai

berikut:52

(1) Perumusan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis pemberian bimbingan

dan pembinaan serta pemberian perijinan sesuai dengan bidang tugasnya berdasarkan

peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung;

(2) Penyelengaraan dan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana, pembinaan

manajemen, administrasi, organisasi dan tatalaksanaan serta pengelolaan atas milik

negara menjadi tanggung jawabnya;

51

Marwan Effendy, Op.Cit., hal. 135. 52

(16)

(3) Pelaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun yang berintikan keadilan di bidang

pidana;

(4) Pelaksanaan pemberian bantuan di bidang intelijen yustisial, dibidang ketertiban dan

ketentraman mum, pemberian bantuan, pertimbangan, pelayanan dan penegaakan hukum

di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan hukum dan tugas lain, untuk

menjamin kepastian hukum, kewibawaanm pemerintah dan penyelamatan kekayaan

negara, berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan

Jaksa Agung;

(5) Penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan jiwa

atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan Hakim karena tidak mampu berdiri

sendiri atau disebabkan hal-hal yang dapat membahayakan orang lain, lingkungan atau

dirinya sendiri;

(6) Pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah, penyusunan peraturan

perundang-undangan serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat;

(7) Koordinasi, pemberian bimbingan dan petunjuk teknis serta pengawasan, baik di dalam

maupun dengan instansi terkait atas pelaksanaan tugas dan fungsinya berdasarkan

peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.

Kejaksaan merupakan komponen kekuasaan eksekutif dalam urusan penegakan

hukum dan langsung di bawah presiden. Tugas dan fungsi Kejaksaan Tinggi

dilaksanakan oleh pejabat yang ada di lingkungan Kejaksaan Tinggi dan telah ditentukan

(17)

KejaksaanTinggi untuk melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai aparat penegak

hukum dan sebagai Pegawai Negeri Sipil.53

Sebagai bagian dari sistem peradilan pidana sesuai dengan Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, beberapa penyempurnaan

terhadap institusi Kejaksaan adalah sebagai berikut:

(1) Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di

bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut di-laksanakan secara merdeka.

Oleh karena itu, Kejaksaan dalam melak-sanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya

terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya

ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara

independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa

Agung selaku pimpinan Kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan

arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.

(2) Untuk membentuk jaksa yang profesional harus ditempuh berbagai jenjang pendidikan

dan pengalaman dalam menjalankan fungsi, tugas, dan wewenang. Sesuai dengan

profesionalisme dan fungsi Kejaksaan, di-tentukan bahwa jaksa merupakan jabatan

fungsional. Dengan demikian, usia pensiun jaksa yang semula 58 (lima puluh delapan)

tahun ditetapkan menjadi 62 (enam puluh dua) tahun.

(3) Kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyidikan tindak pidana tertentu

dimaksudkan untuk menampung beberapa ketentuan undang-undang yang memberikan

kewenangan kepada Kejaksaan untuk melakukan penyidikan, misalnya Undang-Undang

Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor

31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah

53

(18)

dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

(4) Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang

penegakkan hukum dengan berpegang pada peraturan perundang-undangan dan

kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian, Jaksa Agung diangkat dan

diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden. Di bidang perdata

dan tata usaha negara, Kejaksaan mempunyai kewenangan untuk dan atas nama negara

atau pemerintah sebagai penggugat atau tergugat yang dalam pelaksanaannya tidak hanya

memberikan pertimbangan atau membela kepentingan negara atau pemerintah, tetapi juga

membela dan melindungi kepentingan rakyat.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada dasarnya adalah seseorang yang diberi

wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penuntutan dan pelaksanaan penetapan

hakim.

Berdasarkan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan,

dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, jaksa membina hubungan kerjasama

dengan badan penegak hukum dan keadilan serta badan negara atau instansi lainnya.

Berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, seorang

Jaksa Penuntut Umum dalam pelaksanaan tugas dan wewenang:54

(1) Bertindak untuk dan atas nama negara, bertanggungjawab sesuai saluran hirarki;

(2) Demi keadilan dan kebenaran berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, melakukan

penuntutan dengan keyakinan berdasar alat bukti yang sah;

(3) Senantiasa bertindak berdasar hukum, mengindahkan norma-norma keagamaan,

kesopanan, dan kesusilaan;

54

(19)

(4) Wajib menggali dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan yang hidup dalam

masyarakat, serta senantiasa menjaga kehormatan dan martabat profesinya.

Kejaksaan dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dilakukan

secara merdeka, di mana dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab itu seorang jaksa

harus terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Hal

ini berdasarkan Pasal 2 UU tersebut. Selanjutnya dalam Pasal 37 Ayat (1) disebutkan

bahwa Jaksa Agung bertanggungjawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara

independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani.

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh

undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan Pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan

undang-undang. Tugas dan kewenangan jaksa dalam bidang pidana diatur dalam Pasal 30 Ayat

(1) UU Kejaksaan antara lain: (1) Melakukan penuntutan;55

(1) Melaksanakan penetapan hakim dan putusan Pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap;

(2) Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersyarat, putusan pidana

pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat;

(3) Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;

(4) Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan

tambahan sebelum dilimpahkan ke Pengadilan yang dalam pelaksanaannya

dikoordinasikan dengan penyidik.

55

(20)

Sesuai dengan penjelasan di atas maka diketahui tugas dan kewenangan jaksa adalah

sebagai penuntut umum dan pelaksana (eksekutor) putusan Pengadilan yang telah

berkekuatan hukum tetap dalam perkara pidana. Untuk perkara perdata, pelaksana

putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap adalah juru sita dan panitera

dipimpin oleh ketua Pengadilan sebagaimana diatur Pasal 54 Ayat (2) UU Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

5. Jaksa Sebagai Eksekutor

Kejaksaan adalah satu-satunya lembaga eksekutor sebagai pelaksana eksekusi

putusan Pengadilan Negeri di negara kita. Eksekutor adalah suatu pihak yang mempunyai

kewenangan untuk merampas, menindak ataupun melaksanakan suatu putusan

berdasarkan ketentuan atau undang-undang yang berlaku.

Eksekutor sendiri berasal dari kata eksekusi yang berarti pelaksanaan putusan

pengadilan yaitu pelaksanaan putusan hakim atau pelaksanaan hukuman pengadilan

(khususnya hukuman mati); penyitaan atau penjualan seseorang atau lainnya karena

berutang. Adapun eksekutor dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya adalah orang

yang melaksanakan eksekusi.

Untuk kewenangan kejaksaan di bidang pidana yang menyangkut tentang

eksekutor adalah merupakan tindakan dari pihak kejaksaan sebagai eksekutor (pelaksana)

yaitu melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap.

Uraian kepastian hukum terhadap peran Jaksa dalam eksekusi putusan pidana, bila

(21)

menunjukkan bahwasanya ketidakpastian hukum dalam eksekusi barang bukti tindak

pidana narkotika yang dilakukan Jaksa.

Arif Kadarman mengatakan bahwasanya mereka mengalami kesulitan dalam hal

eksekusi barang bukti tindak pidana narkotika. Bila putusan pidana menyatakan barang

bukti disita, sementara pihak ketiga melakukan gugatan perdata dan dikabulkan gugatan

tersebut. Tentunya dari kejaksaan mengalami permasalahan dalam hal eksekusi barang

bukti tersebut. Apalagi tidak ada peraturaran tertulis baik peraturan pemerintah maupun

surat keputusan Jaksa Agung mengenai eksekusi barang bukti terkait hal tersebut.56

Bila dianalisis dengan teori kepastian hukum. Gustav Radbruch terdapat dua

macam pengertian kepastian yaitu, kepastian hukum oleh karena hukum dan kepastian

hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang berhasil menjamin banyak kepastian hukum

dalam masyarakat adalah hukum yang berguna.

Kepastian hukum oleh karena hukum, memberi dua tugas hukum yang lain, yaitu

menjamin keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum

dalam hukum, tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya undang-undang.

Maka dapat dikatakan bahwa kepastian hukum dalam eksekusi barang bukti tindak

pidana narkotika belumlah memenuhi unsur dari kepastian hukum itu sendiri.

6. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan.

Hal-hal yang dieksekusi oleh jaksa adalah yang menyangkut terpidana, barang

bukti dan putusan ganti kerugian. Maka yang akan diuraikan hanya mengenai

pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap yang

berkenaan dengan barang bukti.

56

(22)

7. Terhadap Terdakwa yang Dikenakan Pidana.

Hal-hal yang dieksekusi oleh jaksa adalah yang menyangkut terpidana barang

bukti dan putusan ganti kerugian. Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap terhadap terpidana tentunya tergantung pada amar putusannya,

masing- masing sebagai berikut:57

a. Pidana mati: pelaksanaannya tidak dilakukan dimuka umum dan menurut ketentuan

Undang-Undang (Pasal 271 KUHAP) Pidana penjara/kurungan: pelaksanaan pidananya

itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu. Jadi

dilaksanakan secara berkesinambungan diantara pidana yang satu dengan yang lain (Pasal

272 KUHAP)

b. Pidana denda: kepada terpidana diberikan jangka waktu satu bulan untuk membayar

denda tersebut kecuali dalam putusan acara pemeriksaan cepat yang harus seketika

dilunasi (Pasal 273 ayat (1) KUHAP) jika ada alasan kuat, jangka waktu tersebut dapat

diperpanjang paling lama satu bulan (Pasal 273 ayat (2) KUHAP)

c. Pidana bersyarat: pelaksanaanya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang

sungguh-sungguh dan menurut ketentuan Undang-Undang (Pasal 276 KHUAP)

Setelah melaksanakan putusan pengadilan tersebut Jaksa membuat dan

menandatangani berita acara pelaksanaan putusan pengadilan dan menurut Pasal 278

KUHAP tembusanya dikirimkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan terpidana,

serta Pengadilan Negeri yang bersangkutan, dan selanjutnya panitera mencatatnya dalam

register pengawasan dan pengamatan.

Berdasarkan Pasal 277 jo Pasal 280 KUHAP hakim pengawas dan pengamat pada

Pengadilan Negeri yang bersangkutan melakukan pengawasan dan pengamatan terhadap

57

(23)

pelaksanaan putusan Pengadilan yang menjatuhkan pidana perampasan kemerdekaan

guna memperoleh kepastian bahwa putusan Pengadilan dilaksanakan sebagaimana

mestinya.

8. Terhadap Barang Bukti

Mengenai pengembalian barang bukti juga diatur dalam Pasal 46 KUHAP. Hal ini

mengandung arti bahwa barang bukti selain dapat dikembalikan dalam hal perkara

tersebut dihentikan penyidikan atau penuntutannya, akan tetapi dapat juga dikembalikan

kepada yang berhak sebelum perkara itu mempunyai kekuatan hukum tetap, baik perkara

tersebut masih ditingkat penyidikan, penuntutan maupun setelah diperiksa disidang

pengadilan. Dasar pengembalian benda tersebut adalah karena diperlukan untuk mencari

nafkah atau sumber kehidupan. Hanya bedanya Pasal 194 ayat (3) KUHAP dengan tegas

menyebutkan bahwa pengembalian barang bukti tersebut, antara lain barang tersebut

dapat dihadapkan ke pengadilan dalam keadaan utuh.58

Penyerahan barang bukti berdasarkan Pasal 194 ayat (2) KUHAP, khususnya

terhadap barang bukti yang dapat diangkut atau dibawa kepersidangan. Penyerahan

barang bukti tersebut tanpa melalui jaksa karena pengertiannya, penyerahan barang bukti

itu merupakan tindakan hakim. Dengan kata lain karena bertanggung jawab secara

yuridis atas benda sitaan/ barang bukti tersebut, adalah hakim dengan demikian hakim

berwenang menyerahkan barang bukti tersebut kepada dari siapa benda tersebut disita

atau kepada orang yang berhak.

Penyerahan barang bukti tersebut harus dengan berita acara, sebagai bukti otentik

bahwa barang bukti sudah diserahkan, apabila benda tersebut berada atau disimpan di

RUPBASAN. Dalam hal ini, kita berpedoman pada Pasal 10 Peraturan Menteri

58

(24)

Kehakiman Nomor : M.05.UM.01.06 Tahun 1983 tanggal 16 Desember 1983, bahwa

pengeluaran benda tersebut harus berdasarkan putusan pengadilan. Dalam pengeluaran

benda sitaan/ barang bukti tersebut, petugas RUPBASAN harus:

a. Meneliti putusan pengadilan yang bersangkutan.

b. Membuat berita acara yang tembusannya harus disampaikan kepada instansi yang

menyita.

c. Mencatat dan mencoret benda sitaan negara tersebut dari daftar yang tersedia.

Sesudah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap: Berdasarkan

Pasal 194 ayat (3) KUHAP, perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa disertai

dengan syarat apapun. Jaksa penuntut umum yang ditunjuk berdasarkan surat perintah

Kepala Kejaksaan Negeri yang bersangkutan segera melaksanakan pengembalian barang

bukti.

Apabila RUPBASAN belum terbentuk, dalam hal ini maka jaksa yang

bersangkutan melaksanakan pengembalian benda tersebut dengan membuat berita

acaranya, serta ditandatangani oleh Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan, yang

menerima barang bukti dan para saksi yang menyaksikan acara pelaksanaan

pengembalian barang bukti.

Selanjutnya Jaksa Penuntut Umum yang bersangkutan melaporkan pelaksanaan

tugasnya kepada Kepala Kejaksaan Negeri dengan melampirkan berita acaranya biasanya

dalam acara atau perkara singkat, setelah sidang ditutup Jaksa Penuntut Umum langsung

mengembalikan bukti tersebut kepada orang yang berhak yang namanya tercantum dalam

(25)

bukti tersebut dilakukan dengan berita acara. Selanjutnya dalam Pasal 39 KUHP yang

berbunyi sebagai berikut:59

(1) Barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja dipergunakan untuk

melakukan kejahatan dapat dirampas.

(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja, atau karena

pelanggaran, dapat juga dirampas seperti diatas, tetapi hanya dalam hal-hal yang ditentukan dalam undang-undang.

(3) Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh hakim diserahkan

kepada pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang telah disita.

Apabila kita melihat ketentuan Pasal 191 KUHAP maka yaitu:60

(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di siding, kesalahan terdakwa

atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.

(2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa terbukti,

tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan

(3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam

status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan.

Dan bunyi Pasal 193 KUHAP yaitu:61

(1) Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang

didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.

(2) a. Pengadilan dalam menjatuhkan putusan, jika terdakwa tidak ditahan, dalam

memerintahkan supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila dipenuhi ketentuan pasal 21 KUHAP dan terdapat alas an cukup untuk itu.

b.Dalam hal terdakwa ditahan, pengadilan dalam menjatuhkan putusannya, dapat menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat alas an cukup untuk itu.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan - Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman Pasal 33 ayat (4), mengatur juga tentang pelaksanaan putusan

hakim yang didasarkan pada keadilan dan perikemanusiaan. Hal ini mengandung arti,

(26)

bahwa dalam pelaksanaan tersebut tidak boleh merugikan terpidana yang harus menjalani

pidanannya baik yang berupa kerugian materiil maupun moril.

Kerugian materiil dimaksud antara lain pemakaian barang-barang milik terpidana

yang dipergunakan sebagai barang bukti yang kemudian tidak dikembalikan sedangkan

kerugian moril antara lain berupa penyiksaan atau penganiayaan terhadap diri terpidana

selama ia menjalani pidananya.

Berkaitan dengan pelaksanaan putusan hakim bahwa: Pelaksanaan putusan hakim

tersebut panitera mengirimkan salinan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

kepada Kejaksaan Negeri, kemudian Kepala kejaksaan Negeri menunjuk satu atau

beberapa orang Jaksa untuk melaksanakan eksekusi, biasanya pelaksanaan cukup

didiposisikan kepada kepala Seksi (sesuai pembidangannya) kemudian kepala seksi

meneliti amar putusan yang akan dilaksanakan, setelah itu menyiapkan surat perintah

pelaksanaan putusan hakim dilengkapi dengan laporan putusan hakim dan putusannya

ditentukan rentutnya dan bukti pelaksanaan putusan hakim berkenaan dengan pidana,

barang bukti dan biaya perkara.62

62

Referensi

Dokumen terkait

Untuk meningkatkan kepuasan pelanggan, penyedia jasa dapat merancang garansi tertentu. Dalam hal ini, lembaga pendidikan Islam memiliki peluang yang luar biasa amat luas. Para

Persepsi wajib pajak mengenai variabel independen sistem perpajakan berpengaruh negatif terhadap penggelapan pajak, bahwa bahwa semakin bagus, mudah, dan terkendali

Dalam penelitian ini ketika masya rakat atau wajib pajak menganggap bahwa persentase kemungkinan terdeteksinya kecurangan melalui pemeriksaan pajak yang

Tujuan khusus yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kondisi optimum parameter yang diperkirakan mempengaruhi proses adsorpsi ion krom oleh tanah

Sampel dalam penelitian ini sebanyak 43 perusahaan pada sektor properti, real estate, dan konstruksi bangunan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) secara berturut- turut

Bila pada tahun 1961, Yuri Gagarin adalah manusia pertama yang dilucurkan ke luar angkasa oleh Uni Soviet dengan pesawat Vostok I nya, yang kemudian disusul oleh Amerika pada

Menurut analisis penulis dari hasil menyimak dan wawancara dari narasumber Sigit Witjaksono (Njo Tjoen Hian) di Desa Babagan pada 2 Maret 2020, Rifa’i di Desa

Rencana Strategis Komisi Pemilihan Umum Kota Bandung disusun dengan berpedoman pada Rencana Strategis Komisi Pemilihan Umum 2015-2019 dan Rencana Pembangunan Jangka