• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Karakteristik Individu dan Dukungan Sosial Komunitas terhadap Perilaku Pencegahan HIV-AIDS pada Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Kota Medan Tahun 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Karakteristik Individu dan Dukungan Sosial Komunitas terhadap Perilaku Pencegahan HIV-AIDS pada Lelaki Seks Lelaki (LSL) di Kota Medan Tahun 2016"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Individu

2.1.1 Defenisi Karakteristik Individu

Karakteristik individu adalah orang yang memandang berbagai hal secara berbeda akan berperilaku secara berbeda, orang yang memiliki sikap yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda terhadap perintah, orang yang memiliki kepribadian yang berbeda berinteraksi dengan cara yang berbeda dengan atasan, rekan kerja dan bawahan. Setiap individu memiliki ciri dan sifat atau karakteristik bawaan (heredity) dan karakteristik yang memperoleh dari pengaruh lingkungan. Karakteristik bawaan merupakan karakteristik keturunan yang dimiliki sejak lahir, baik yang menyangkut faktor biologis maupun faktor sosial psikologis (Ivancevich, 2006).

(2)

.1.2 Dimensi Karakteristik Individu

Menurut Robbins (2009), dimensi karakteristik individu secara biografis terdiri dari: umur, jenis kelamin, suku bangsa, agama, status perkawinan, status sosial ekonomi, dan pendidikan yang merupakan sesuatu yang objektif dan mudah diperoleh dari catatan pribadi. Semua dimensi ini dapat menimbulkan perbedaan perilaku terhadap tindakan individu dalam menghadapi sesuatu hal (Badeni 2013). Penjelasan dari masing-masing karakteristik individu dipandang dari segi biografis yaitu :

1. Umur/usia

Umur/usia menentukan kemampuan seseorang untuk bertindak, termasuk bagaimana dia merespon stimulus yang dilancarkan individu/pihak lain. Semakin tinggi usia seseorang semakin rendah kemampuan fisik tetapi sebaliknya pengalaman dan kestabilan emosi dapat semakin tinggi. Artinya semakin tinggi usia seseorang akan semakin tinggi kesediaan untuk menerima kenyataan semakin sikap positif terhadap pekerjaandan semakin memiliki kepuasan kerja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk memimpin suatu kelompok kerja, usia yang lebih tua akan dapat lebih produktif karena memiliki kepuasan kerja

2. Jenis kelamin

(3)

3. Suku Bangsa

Suku bangsa seseorang akan mempengaruhi pribadinya dalam beryindak dan bertingkah laku. Suku bangsa erat kaitannya dengan kebudayaan, dalam kebduayaan terdapat norma adat yang tidak tertulis yang menjadi pembatas perilaku individu yang terikat dengan norma adat tersebut untuk memilah mana perilaku yang boleh dilakukan dan mana yang tidak.

4. Agama

Menurut Az-Zamawi (2004) agama memang mengandung ajaran-ajaran yang menjadi tuntutan hidup bagi penganutnya. Agama akan membatasi perilaku seseorang dalam bertindak, karena dalam ajaran agama ada pembatasan antara tindakan yang boleh dilakukan dan tindakan yang tidak boleh dilakukan.

5. Status perkawinan

Status perkawinan akan mempengaruhi perilaku individu dalam bertindak dan perilaku. Proses perkawinan merupakan proses pengikatan individu yang sakral secara fisik, sosial, dan emosional. Individu yang telah menikah akan terbatas dalam berperilaku dikarenakan adanya pasangan perkawinan yang menjadi pembatas dalam bertindak dan bertingkah laku dibandingkan dengan individu yang belum menikah.

6. Status sosial ekonomi

(4)

7. Pendidikan

Koentjaraningrat (2009) mengatakan pendidikan adalah kemahiran menyerap pengetahuan atau meningkatkan sesuai dengan pendidikan seseorang dan kemampuan ini berhubungan erat dengan sikap seseorang terhadap pengetahuan seseorang yang diserapnya, semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mudah untuk menyerap pengetahuan. Pendidikan akan mempengaruhi perilaku seseorang, karena seseorang yang telah memiliki pendidikan yang tinggi bertanggung jawab untuk memiliki sikap dan tindakan yang lebih baik.

2.2Komunitas

2.2.1 Defenisi dan Klasifikasi Komunitas

Komunitas adalah pemegang kendali utama tanggung jawab atas proses pembentukan karakter anggota. Peran komunitas sangat penting untuk memberikan pemahaman kepada anggota sebagai bekal atau acuan anggota komunitas sebelum berinteraksi dengan lingkungan sosial dan untuk perkembangan sosial yang lebih luas. Menurut Nurmini Mappahijah (2010), berikut ini adalah beberapa sikap dan perilaku komunitas yang dapat mempengaruhi perilaku anggota dalam membiasakan perilaku tertentu kepada anggotanya yaitu :

1. Komunitas yang otoriter

(5)

2. Komunitas yang terlalu sabar

Komunitas seperti ini menunjukkan perhatian yang berlebihan terhadap anggotanya. Segala permintaan dan kebutuhan anggota selalu dipenuhi sehingga membuatnya tidak mengalami perkembangan dalam reaksinya. Anggota akan menjadi pemarah, tidak memiliki kontrol diri, mempunyai keinginan yang berlebihan, menjadi lengah dan tidak penurut, bersikap manja dan tidak mau diatur

3. Komunitas yang terlalu melindungi

Komunitas selalu menunjukkan rasa cemas yang berlebihan. Anggota akan mengalami keterlambatan dalam kematangan dan aturan-aturan sosial dan norma dalam komunitas. Anggota merasa tidak berdaya, malu, cemas, dan memiliki perasaan sebagai seorang yang selalu berada di bawah.

4. Komunitas yang lalai

Komunitas yang lalai akan menunjukkan perhatian yang kurang terhadap perilaku anggotanya. Hal ini mungkin dikarenakan adanya kesibukan dan kurangnya informasi antara sesama anggota komunitas sehingga mengakibatkan kurangnya perhatian sesama anggota.

5. Komunitas yang suka mencurigai

Sikap ini ditunjukkan oleh komunitas dengan sikap kecurigaan yang tinggi terhadap anggotanya, dan tidak memberikan anggotanya untuk mengeksplorasi kemampuan yang dimiliki oleh anggotanya.

(6)

Komunitas seperti ini sering bertanya secara berlebihan dalam hal perilaku dan tindakan anggotanya. Keingintahuan komunitas ini justru membuat anggota semakin cemas. Anggota komunitas harus mengatur situasi yang baik untuk berdiskusi dengan baik agar mereka dapat mengerti dan mengenal mengenai hal yang terjadi dalam dinamika kehidupan komunitas.

2.2.2 Dukungan Sosial Komunitas

Komunitas mencerminkan pengaruh norma yang terdapat dalam lingkungan sosiokultural yang lebih luas. Norma itu menjadi kebiasaan dari tiap individu belajar sesuai dengan cara-cara dan norma lingkungan seperti melalui proses meniru dan sistem ganjaran dan hukuman. Kebiasaan muncul didasarkan pada norma-norma yang ada didalam masyarakat. Norma sosial dan norma kebersamaan dalam komunitasmerupakan kebiasaan yang lazim dipergunakan oleh setiap anggotakelompok untuk berperilaku.

Dukungan yang dirasakan oleh individu dalam kehidupannya membuat individu tersebut merasa dicintai, dihargai, dan diakui serta membuat dirinya menjadi lebih berarti dan dapat mengoptimalkan potensi yang ada dalam individu tersebut. Orang yang mendapat dukungan akan merasa menjadi bagian dari pemberi dukungan (Bobak, 2005).

(7)

membina pengertian dan damai dalam kehidupan berkomunitas (Soetjiningsih, 2005).

Dukungan komunitas mengacu kepada dukungan sosial yang dipandang oleh anggota komunitas sebagai sesuatu yang dapat diakses atau diadakan untuk anggota yang dipandang oleh anggota komunitas bahwa orang yang bersifat mendukung selalu siap memberikan pertolongan dan bantuan jika diperlukan. (Friedman, 1998).

Sarafino (2006), menyatakan bahwa dukungan pada diri individu mengacu pada kenyamanan, perhatian, penghargaan, atau bantuan yang diberikan orang lain atau kelompok/komunitas kepada individu. Sarafino menambahkan bahwa orang- orang memiliki keyakinan bahwa mereka dicintai, bernilai, dan merupakan bagian darikelompok yang dapat menolong mereka ketika membutuhkan bantuan.

Sarafino (2006) menjelaskan bahwa komunitas sebagai bentuk kelompok sosial memiliki beberapa jenis bentuk dukungan yang dapat dilakukan terhadap anggotanya, yaitu :

1. Dukungan Emosional(Emotional / Esteem Support)

Dukungan emosional mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dukungan emosionalmerupakan ekspresi dari afeksi, kepercayaan, perhatian, dan perasaandidengarkan. Kesediaan untuk mendengar keluhan seseorang akanmemberikan dampak positif sebagai sarana pelepasan emosi, mengurangikecemasan, membuat individu merasa nyaman, tenteram, diperhatikan,serta dicintai saat menghadapi berbagai tekanan dalam hidup mereka.

(8)

Dukungan instrumental mencakup bantuan langsung, dapat berupa jasa,waktu, atau uang.Komunitas merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan konkret, yang mengusahakan untuk menyediakan fasilitas dan perlengkapan yang dibutuhkan masing-masing anggota komunitasnya.

3. Dukungan Informasional (Informational Support)

Dukungan informasional mencakup pemberian nasehat, petunjuk-petunjuk,saran-saran, informasi atau umpan balik. Dukungan ini membantu individumengatasi masalah dengan cara memperluas wawasan dan pemahamanindividu terhadap masalah yang dihadapi. Informasi tersebut diperlukanuntuk mengambil keputusan dan memecahkan masalah secara praktis.Dukungan informatif ini juga membantu individu mengambil keputusankarena mencakup mekanisme penyediaan informasi, pemberian nasihat,dan petunjuk.

4. Dukungan Penilaian/Penghargaan (Appraisal Support)

Dukungan penghargaan adalah dukungan yang terjadi bila ada ekspresi penilaian yang positif terhadap individu. Dukungan jenis ini ditunjukkan dengan cara menghargai, mendorong, dan menyetujui terhadap suatu ide, gagasan, kemampuan atau tindakan yang dimiliki oleh seseorang, dukungan yang diberikan dapat berupa pemberian apresiasi kepada individu bahwa ia dihargai dan diterima. 5. Dukungan Persahabatan/Integrasi Sosial (Companionship Support)

(9)

2.2.3 Manfaat Dukungan Sosial Komunitas

Dukungan komunitas adalah sebuah proses yang terjadi dalam suatu masa kehidupan, sifat dan jenis dukungannya bisa jadi berbeda-beda dalam berbagai tahap-tahap siklus kehidupan individu sebagai anggota komunitas. Namun demikian, dalam semua tahap siklus kehidupan dukungan komunitas mampu membuat anggota komunitas berfungsi dan bertindak dengan potensi masing-masing (Friedman, 1998).

Sarafino (2006) mengemukakan dua teori model untuk menjelaskan bagaimana dukungan sosial pada kelompok sosial (komunitas) berperan dalam mempengaruhi pembentukan perilaku individu, yaitu :

1) Buffering Hypothesis

Dukungan sosial mempengaruhi kesehatan dan well-being denganmelindungi individu dari efek negatif tekanan tinggi yang dialami individu. Proses buffering

(penyanggaan) terjadi dalam dua cara, yaitu: pertama, ketika individu menahan tekanan yang kuat, maka dengan tingkat dukungan sosial yang tinggi individu tersebut akan mampu mengatasi situasi tersebut dibandingkan dengan individu yang memiliki tingkat dukungan sosial yang rendah. Kedua, dukungan sosial mampu untuk memodifikasi respon individu terhadap stresor setelah proses apraisal (penilaian) pertama.

2) Direct Effect Hypothesis

(10)

tersebut, sehinggu hal ini dapat mengarahkan individu kepada perilaku yang lebih baik.

Wills (2005) dalam Friedman (1998) menyimpulkan bahwa baik itu efek-efek penyangga yaitu dukungan komunitas menahan dan meminimalisir efek-efek-efek-efek negatif dari stress terhadap kesehatan dan efek utama bahwa dukungan komunitas yang baik akan menurunkan stress dan tekanan secara langsung dapat meningkatkan kondisi kesehatan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan komunitas yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya angka kejadian penyakit, lebih mudah sembuh dari sakit, meningkatnya kemampuan kognitif, psikomotorik, dan afektif, dan kestabilan emosi (Bobak, 2005).

Menurut Feiring dan Lewis (2004), ada bukti kuat dari hasil penelitian yang menyatakan bahwa komunitas secara kualitatif memiliki hubungan akan intensitas adanya dukungan komunitas terhadap kesehatan anggota. Anggota-anggota yang berasal dari komunitas kecil dalam artian komunitasnya tidak banyak memiliki anggota akan menerima lebih banyak perhatian daripada anggota-anggota dari komunitas besar (komunitas yang memiliki banyak anggota) terlebih komunitas yang berada dalam isu-isu yang sensitif termasuk komunitas LSL.

2.3 Perilaku

2.3.1 Defenisi Perilaku

(11)

menangis, tertawa, membaca dan sebagainya, sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku manusia adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia baik yang dapat diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2010)

Setiap manusia akan bertindak dan bertingkah laku untuk berinteraksi dengan makhluk lain, hakikat manusia sebagai makhluk sosial akan selalu membutuhkan orang lain dalam kehidupannya. Perilaku manusia ditujukan sebagai tanda pengenal dirinya sebagai makhluk sosial yang senantiasa ingin berhubungan dengan orang lain. Perilaku manusia yang satu dengan yang lainnya tidak bisa disamakan, karena pribadi manusia merupakan hal yang sangat unik dan berkembang sesuai dengan bakat dan potensinya masing-masing.

Karakteristik perilaku menurut Purwanto (2009) dibedakan menjadi 2 yaitu perilaku tertutup (covert behavior) dan perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku tertutup (covert behavior)adalah perilaku yang hanya dapat dimengerti dengan menggunakan alat atau metode tertentu misalnya berpikir, berkhayal, sedih, bermimipi, dan takut. Sedangkan perilaku terbuka (overt behavior) adalah perilaku yang dapat diketahui oleh orang lain tanpa menggunakan alat bantu misalnya seorang ibu memeriksakan kehamilannya atau membawa anggotanya ke puskesmas untuk diimunisasi, atau seseorang yang melakukan tes VCT-HIV ke fasilitas kesehatan yang tersedia.

2.3.2 Determinan Perilaku

(12)

faktor-faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dapat dibedakan menjadi 2 macam yakni:

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yangbersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkatkecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor eksternal yakni lingkungan, baiklingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik dan sebagainya.

Dari uraian di atas dapat dirumuskan bahwa perilaku adalahmerupakan totalitas penghayatan dan aktifitas seseorang, yang merupakan hasil bersama atau

resultante antara berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal.

Bloom (1998) sebagaimana dikut ip oleh Notoatmodjo (2010) seorang ahli psikologi pendidikan membagi perilaku manusia itu kedalam 3 karakteristik, ranah atau kawasan yakni kognitif, afektif, dan psikomotor.

Perilaku manusia menurut Purwanto (2009) terdapat banyakmacamnya yaitu: 1) Perilaku refleks

Perilaku refleks merupakan perilaku yang dilakukan manusia secara otomatik. Contohnya : mengecilkan kelopak mata, menaikkan bahu ketika bernafas, mengangguka n kepala ketika menandakan persetujuan, dan menggelengkan kepala ketika menunjukkan penolakan.

2) Perilaku refleks bersyarat

Merupakan perilaku yang muncul karena adanya rangsangan tertentu. 3) Perilaku yang mempunyai tujuan

(13)

Usaha yang dapat dilakukan untuk menanggulangi perilaku negatif seseorang dapat dilakukan dengan :

1. Peningkatan peranan keluarga terhadap perkembangan dari kecilhingga dewasa.

2. Peningkatan status sosial ekonomi keluarga. 3. Menjaga keutuhan keluarga.

4. Mempertahankan sikap dan kebiasaan sesuai dengannorma yang disepakati. 5. Pendidikan keluarga yang disesuaikan dengan status anggota keluarga baik

itu anggota tunggal, anggota tiri, dan lain-lain.

Menurut Skinner seorang ahli psikologi yang dikutip Notoatmodjo (2010) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsang dari luar). Dalam teori Skinner ada 2 (dua) respon, yaitu:

1. Respondent respon atau flexive, yakni respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus tertentu). Stimulus semacam ini disebut

eleciting stimulation karena menimbulkan respon-respon yang relatif tetap. 2. Operant respons atau instrumental respons, yakni respon yang timbul dan

berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsangtertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer karena memperkuat respon.

2.3.3 Domain Perilaku

Lawrence Green dalam Mandy (2010) menganalisis bahwa perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama, yaitu:

(14)

Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya perilaku seseorang, antara lain sikap, pengetahuan, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai tradisi, persepsi berkenaan dengan motivasi seseorang untuk bertindak.

b. Faktor Pemungkin (Enabling Factors)

Faktor pemungkin mencakup berbagai keterampilan dan sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan perilaku kesehatan. Sumber daya itu meliputi fasilitas pelayanan kesehatan, personalia atau petugas yang tersedia, klinik atau sumber daya yang hampir sama. Faktor pemungkin ini juga menyangkut keterjangkauan berbagai sumber daya, biaya, jarak, ketersediaan transportasi, jam buka dan sebagainya.

c. Faktor Penguat/Pendorong (Reinforcing Factors)

(15)

Seorang LSL yang tidak mau melaksanakan VCT HIV di fasilitas kesehatan disebabkan karena orang tersebut tidak atau belum mengetahui manfaat dari pemeriksaan VCT HIV (Predisposing Factors). Tetapi barangkali juga karena rumahnya jauh dari fasilitas kesehatan tempat pelayanan VCT HIV atau peralatan yang tidak lengkap (Enabling Factors). Sebab lain mungkin karena para petugas kesehatan ataustakeholderlain disekitarnya tidak pernah memberikan contoh ataupunpenyuluhan tentang pentingnya pemeriksaan VCT HIV (Reinforcing Factors).

Cara mengukur perilaku ada 2 cara (Notoatmodjo, 2010) yaitu:

1. Perilaku dapat diukur secara langsung yakni wawancara terhadap kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan beberapa jam, hari, atau bulan yang lalu (recall).

2. Perilaku yang diukur secara tidak langsung, yakni dengan mengobservasi tindakan atau kegiatan responden.

2.3.4 Pembentukan Perilaku

Pembentukan perilaku menurut Ircham (2005) ada beberapa cara, diantaranya:

1. Kebiasaan (Conditioning)

Salah satu cara pembentukan perilaku dapat ditempuh dengan conditioning

atau kebiasaan. Dengan cara membiasakan diri untuk berperilaku seperti yang diharapkan akhirnya akan terbentuklah perilaku.

(16)

Pembentukan perilaku yang didasarkan atas teori belajar kognitif yaitu belajar disertai dengan adanya pengertian.

3. Menggunakan Model

Cara ini menjelaskan bahwa domain pembentukan perilaku pemimpin dijadikan model atau contoh oleh yang dipimpinnya. Cara ini didasarkan atas teori belajar sosial (social learning theory)atau observational learning theory oleh Bandura (1977).

Secara lebih operasional perilaku dapat diartikan suatu respons organisme atau seseorang terhadap rangsangan (stimulus) dari luar subjek tersebut. Respon ini berbentuk 2 macam (Dewi, 2010) yakni:

1. Bentuk Pasif

Respons internal yaitu yang terjadi di dalam diri manusia dan tidak secara langsung dapat terlihat oleh orang lain, misalnya berpikir, tanggapan atau sikap batin dan pengetahuan.

2. Bentuk Aktif

Perilaku itu jelas dapat diobservasi secara langsung, oleh karena perilaku mereka ini sudah tampak dalam bentuk tindakan nyata disebut overt behavior. 2.3.5 Teori Terjadinya Perilaku

Perilaku manusia tidak dapat lepas dari keadaan individu itu sendiri dan lingkungan dimana individu itu berada. Perilaku manusia didorong oleh motif tertentu sehingga manusia berperilaku (Ircham, 2005).

(17)

Menurut Mc Dougal (2008) perilaku itu disebabkan karena insting. Insting

merupakan perilaku yang innate atau perilaku bawaan dan akan mengalami perubahan karena pengalaman.

2. Teori Dorongan (Drive Theory)

Teori ini bertitik tolak pada pada pandangan bahwa organisme itu mempunyai dorongan-dorongan atau drive tertentu. Dorongan-dorongan itu berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan organisme yang mendorong organisme berperilaku.

3. Teori Insentif (Incentive Theory)

Teori ini bertitik tolak pada pendapat bahwa perilaku organisme itu disebabkan karena adanya insentif, dengan insentif akan mendorong organisme berperilaku. Insentif atau reinforcement ada yang positif dan ada yang negatif. Reinforcementyang positif adalah berkaitan dengan hadiah dan akan mendorong organisme berbuat atau berperilaku.

4. Teori Atribusi

Teori ini menjelaskan tentang sebab-sebab perilaku seseorang. Apakah itu disebabkan oleh disposisi internal (misal motif, sikap) atau oleh keadaan eksternal.

2.4 Perilaku Kesehatan

(18)

kesehatan, dan perilaku kesehatan lingkungan. Perilaku pemeliharaan kesehatan adalah perilaku atau usaha-usaha seseorang untuk memelihara atau menjaga kesehatan agar tidak sakit dan usaha untuk mendapatkan penyembuhan bilamana sakit. Oleh karena sebab itu perilaku pemeliharaan kesehataan ini terdiri dari 3 (tiga) aspek yaitu perilaku pencegahan penyakit dan penyembuhan penyakit bila sakit, pemulihan kesehatan bilamana telah sembuh dari penyakit, serta perilaku peningkatan kesehatan apabila seseorang dalam keadaan sehat, dan perilaku gizi (makanan) dan minuman (Notoatmodjo, 2010).

Becker (1979) dalam Dewi (2010) mengklasifikasikan perilaku yang berhubungan dengan kesehatan sebagai berikut :

1. Perilaku Kesehatan (Health Behavior)

Hal-hal yang berkaitan dengan tindakan atau kegiatan seseorang dalam memelihara dan meningkatkan kesehatannya. Termasuk tindakan mencegah penyakit, kebersihan perorangan dan sebagainya.

2. Perilaku Sakit (Illness Behavior)

Tindakan atau kegiatan yang dilakukan seseorang individu yang merasa sakit untuk merasakan dan mengenal keadaan kesehatannya atau rasa sakit, termasuk kemampuan individu untuk mengidentifikasi penyakit, penyebab sakit, serta usaha mencegah penyakit tersebut.

(19)

Tindakan atau kegiatan yang dilakukan individu yang sedang sakit untuk memperoleh kesembuhan.

Perilaku yang mempengaruhi kesehatan dapat digolongkan dalam dua kategori (Dewi, 2010), yaitu:

1) Perilaku yang terwujud secara sengaja dan sadar.

2) Perilaku yang terwujud secara tidak sengaja atau tidak sadar.

Perilaku-perilaku disengaja atau tidak disengaja yang membawa manfaat bagi kesehatan individu dan sebaliknyaperilaku yang disengaja atau tidak disengaja berdampak merugikan kesehatan antara lain:

a.) Perilaku sadar yang menguntungkan kesehatan

Mencakup perilaku yang secara sadar oleh seseorang yang berdampak menguntungkan kesehatan. Golongan perilaku ini langsung berhubungan dengan kegiatan-kegiatan pencegahan penyakit serta penyembuhan penyakit yang dijalankan secara sadar atas dasar pengetahuan bagi diri seseorang.

b.) Perilaku sadar yang merugikan kesehatan

Perilaku sadar yang dijalankan secara sadar diketahui bila perilaku tersebut tidak menguntungkan kesehatan terdapat pula dikalangan orang berpendidikan atau professional, atau secara umum pada masyarakat yang sudah maju.

c.) Perilaku tidak sadar yang merugikan kesehatan

Golongan masalah ini paling banyak dipelajari, terutama karena penanggulangannya merupakan salah satu tujuan utama berbagai program pembangunan kesehatan masyarakat.

(20)

Golongan perilaku ini menunjukkan bahwa tanpa sadar pengetahuan seseorang dapat menjalankan kegiatan-kegiatan tertentu yang secara langsung atau tidak langsung memberi dampak positif terhadap derajat kesehatan mereka. 2.5 Identitas Seksual

2.5.1 Defenisi Identitas Seksual

Identitas seksual merupakan bagaimana seseorang secara sadar memberi label pada seksualitas dirinya, mendeskripsikan perasaannya atas gender dan ketertarikan seksualnya (Telingator and Woyewodzic, 2011). Identitas seksual terdiri atas unsur-unsur sifat makhluk seksual (mencakup hasrat erotis, orientasi seksual, pilihan objek seksual, dan dorongan seksual) dan aktivitas seksual (mencakup praktek dan selera erotis, perilaku seksual dan gaya hidup seksual). Identitas seksual dibentuk oleh empat komponen, yaitu seks biologis, identitas gender, peran seks sosial, dan orientasi seksual (Krisanty, 2007).

Seksualitas merupakan bagian penting dari diri dan identitas, namun merupakan salah satu aspek diri yang paling sulit diekspresikan, dieksplor, dan divalidasikan oleh individu (McKenna, Green, and Smith, 2011). Identitas seksual terbentuk seiring waktu dan dipengaruhi oleh aspek-aspek biologis, keluarga, dan lingkungan (Telingator and Woyewodzic, 2011). Menurut Lorber (2009), identitas seksual merupakan respon yang bukan hanya terjadi terhadap konstruksi psikis, melainkan juga terhadap aturan dan tekanan sosial serta kultural dari keluarga dan teman-teman.

(21)

menjalankan identitas seksual merupakan hal yang memberdayakan, namun seringkali memiliki dampak-dampak negatif seperti dilekatkannya sterotipe dalam masyarakat (Telingator and Woyewodzic, 2011). Permasalahan individu dalam memahami dan menerima identitas seksualnya terletak dalam konteks latar belakang budaya dan kelompok sosial dimana ia berada (Gallor and Fassinger, 2010).

Individu dapat bekerjasama dalam menciptakan sistem makna alternatif yang memungkinkan penciptaan dan performa identitas seksual yang berbeda. Kelompok-kelompok yang termarginalkan telah menciptakan sistem-sistem budaya dan simbolik tandingan, yang menjadi sumber-sumber informasi, sosialisasi, dan penyebaran pengetahuan (Arthur, 2009). Narasi identitas seksual berperan penting dalam menciptakan dan mempertahankan seksualitas dan identitas seksual baru (Chaline, 2010).

Demonstrasi dan penulisan pengalaman sehari-hari individu dengan identitas seksual minoritas berpotensi menandingi kecenderungan hegemonis pengetahuan sosial. Untuk itu, teks yang subversif perlu dibentuk melalui

standpoint yang didasari oleh pengalaman keseharian minoritas seksual. Kelompok atau komunitas berperan penting dalam artikulasi dan pertunjukan identitas seksual yang termarginalkan, karena kelompok atau komunitas membuka kesempatan untuk membentuk dan membangun suatu interaksi yang memiliki tata aturan sosial alternatif khusus yang tidak ditemukan dalam masyarakat

mainstream (Arthur 2009).

(22)

Pembentukan identitas seksual merupakan salah satu tema utama dalam penelitian mengenai minoritas seksual. Pembentukan identitas seksual merupakan elemen penting dalam kehidupan minoritas seksual, sebuah proses perkembangan diri yang tidak dialami oleh individu heteroseksual. Minoritas sosial secara persisten dilekatkan dengan stigma dan dimarginalisasikan oleh tekanan masyarakat. Teori mengenal pembentukan dan pengembangan identitas seksual biasanya mengidentifikasi 3 (tiga) tahap utama : Kesadaran atas ketertarikan seksual terhadap individu yang berjenis kelamin sama ; Eksplorasi dan pengujian perasaan homoseksual ; dan Integrasi identitas homoseksual (Coming Out) (Shapiro, Rios, and Stewart, 2010).

Menurut Horowitz dan Newcomb (2002) serta Kaufman dan Johnson (2004) sebagian besar model tahapan pembentuk identitas seksual memiliki 4 (empat) tahapan umum, yaitu :

1. Kesadaran atau Sensitisasi

Disebut tahap pre-coming out atau kebingungan identitas, dimana individu sadar memiliki perasaan berbeda atau sadar akan perasaan yang berpotensi homoseksual.

2. Internalisasi atau Penerimaan

Individu mengembangkan kesadaran diri dan pemaknaan yang lebih tinggi mengenai homoseksualitas, menjalani pengalaman homoseksual, mencoba mengelola berbagai permasalahan termasuk mencari pasangan potensial, mengelola perasaan bersalah/keraguan/kecemasan, dan mengembangkan identitas serta konsep diri yang diaktualisasikan sebagai seorang homoseksual.

(23)

Eksplorasi, toleransi identitas, dan penerimaan identitas. Tahapan ini mencakup suatu bentuk pengungkapan identitas.

4. Sintesis atau Integrasi

Dalam tahap ini, individu mengalami stabilitas identitas, mengembangkan komitmen besar untuk menjadi gay (LSL), menjalani pengalaman lebih jauh dengan hubungan romantis, dan mengembangkan suatu kebanggaan atas identitasnya.

Model-model ini dapat menggambarkan kompleksitas dalam kehidupan sosial pengungkapan identitas seksual seorang individu. Menurut Horowitz dan Newcomb (2002) tahap-tahap yang ada dapat memberikan sebuah gambaran umum dan memperhitungkan perbedaan-perbedaan dalam pengalaman individu seorang homoseksual. Selain itu, model-model ini biasanya memiliki tahapan pengungkapan (coming out) yang merupakan suatu tahapan terbesar yang dilewati oleh individu homoseksual.

Menurut Carrion dan Lock (2007), terdapat berbagai faktor yang mempengaruhi proses pembentukan identitas homoseksual, antara lain :

1. Pengalaman sosial individu;

2. Pengalaman individu dengan keluarganya;

3. Dukungan yang diterima individu dari kedua kelompok tersebut.

(24)

mengenai identias seksual mencakup interaksi dengan individu lain dan sumber-sumber informasi antara individu dengan individu lain. Bentuk-bentuk

information seeking ini antara lain mencari informasi mengenai identitas seksual melalui media dan menjalani interaksi interpersonal dengan individu minoritas seksual lain baik secara langsung melalui interaksi komunitas maupun melaui media internet atau media sosial.

2.6 Homoseksualitas

2.6.1 Defenisi Homoseksualitas

Istilah homo diambil dari bahasa Yunani yang artinya sama. Istilah ini pertama kali diperkenalkan di Eropa menjelang akhir abad 19. Untuk lebih tepatnya, jika penderita homoseksual tersebut laki-laki, sebutannya gay, dan ketika penderita homoseksual tersebut seorang perempuan, sebutannya

lesbian.Homoseksual merupakan istilah yang diciptakan pada tahun 1869 oleh bidang ilmu psikiatri di Eropa, untuk mengacu pada suatu fenomena yang berkonotasi klinis. Pengertian homoseks tersebut pada awalnya dapat dikategorikan sebagai perilaku menyimpang. Pengertian homoseks kemudian terbagi dalam dua istilah yaitu Gay dan Lesbi. Hawkin pada tahun 1997 menuliskan bahwa istilah Gay atau Lesbi dimaksudkan sebagai kombinasi antara identitas diri sendiri dan identitas sosial yang mencerminkan kenyataan bahwa orang memiliki perasaan khusus dari kelompok sosial yang memiliki label yang sama. Istilah gay biasanya mengacu pada jenis kelamin laki-laki dan, istilah lesbian mengacu pada jenis kelamin perempuan (Hartanto, 2006).

(25)

menerjemahkan buku Psychopathia Sexualis karya R. Von Krafft-Ebing. Saat itu, istilah homoseksual digunakan untuk mendeskripsikan seksualitas antara dua orang yang memiliki jenis kelamin sama (Spencer, 2004).

Pada tahun 1973 homoseksualitas dihilangkan sebagai suatu kategori diagnostik oleh American Psychiatric Association dan dikeluarkan dari

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders. Hal ini disebabkan karena pandangan bahwa homoseksualitas adalah suatu gaya hidup alternatif, bukannya suatu gangguan patologis dan homoseksualitas terjadi dengan keteraturan sebagai suatu variasi seksualitas manusia (Davison GC, 2005).

Penelitian dilakukan oleh Alfred C. Kinsey pada tahun 1948 menemukan bahwa 10% laki-laki dibelahan dunia adalah homoseksual, sedangkan wanita sebesar 5%. Kinsey juga menemukan bahwa 37% dari semua orang yang melaporkan suatu pengalaman homoseksual pada suatu saat dalam kehidupannya, termasuk aktivitas seksual yang dilakukan pertama kali pada masa pubertas atau remaja (Kaplan, 2007).

Jumlah homoseksual di Kanada sekitar 1% dari keseluruhan penduduknya, dengan usia 18-59 tahun. Berdasarkan hasil penelitian dari National Center for Health Research, di Amerika tahun 2002 sekitar 4,4% masyarakat melakukan hubungan homoseksual, dengan rentang usia 15-44 tahun. Berdasarkan hasil statistik di Indonesia, menunjukkan bahwa sekitar 8-10 juta pria pernah terlibat dalam hubungan homoseksual (Fauzi, 2008).

(26)

pandangan. Pandangan yang pertama mengatakan bahwa homoseksual merupakan bagian hakiki atau esensial dari struktur kepribadian manusia yang merupakan bawaan dari lahir atau innate. Pandangan yang kedua mengatakan bahwa kategori homoseksual dikonseptualisasikan oleh pakar kebudayaan Barat abad ke-19. Pandangan kedua melihat homoseksualitas sebagai konstruksi sosial yang dibentuk oleh masyarakat dan merupakan produk sejarah peradaban Barat. Dari kedua pandangan tersebut, pandangan pertama didukung oleh kebanyakan gay karena menganggap bahwa keadaan pribadi seorang homoseksual merupakan suatu pemberian atau given. Sementara, pandangan yang kedua lebih banyak dianut oleh kalangan ilmu sosial (Oetemo, 2008).

Persoalan mengenai homoseksualitas merupakan hal yang sudah lama mengundang perdebatan. Pada tanggal 9 Mei 2012, Presiden Barack Obama menjadi presiden Amerika Serikat pertama yang menyatakan dukungannya atas pernikahan sesama jenis dalam masa jabatannya (Obama Says, 2012). Hal ini dilakukan menyusul dilegalisasikannya pernikahan sesama jenis di beberapa negara bagian Amerika Serikat, termasuk New York (Confessore and Barbaro, 2011).

Walaupun ini merupakan langkah positif bagi kelompok gay, khususnya di Amerika Serikat, usaha kelompok gay untuk mencapai kesetaraan masih belum sepenuhnya tercapai. Terlepas dari persoalan pernikahan sesama jenis, kelompok gay dalam sebagian besar masyarakat dunia masih termarginalkan. Kelompok homoseksual masih banyak menerima perlakuan diskriminatif dan kekerasan yang didasarkan atas orientasi seksual yang mereka miliki.

(27)

Menurut Kartono (2009), homoseksualitas adalah relasi seks denganjenis kelamin yang sama atau rasa tertarik dan mencintai jenis seks yangsama.Homoseksualitas muncul akibat adanya interaksi terus menerus antara manusia (baik sebagai individu ataupun sebagai kelompok) dengan masyarakatnya yang diungkapkan secara sosial melalui berbagai tindakan-tindakan sosial. Proses terbentuknya homoseksualitas atau LSL sebagai suatu realitas sosial menjadi sangat menarik untuk dikaji, karena melibatkan aspek-aspek sosial yang berhubungan secara dialektis dalam interaksi sosial antara individu dengan masyarakat.

Homoseksual sebenarnya bukan tergolong penyakit pada umumnya, melainkan lebih cenderung kepada pilihan identitas seseorang. Karenanya, cara apapun yang digunakan untuk penyembuhannya, tidak selamanya akan berhasil (Dianawati, 2006). Menurutnya, ekspresi homoseksual ada tiga macam, yaitu:

1.) Aktif, bertindak sebagai pria yang agresif.

2.) Pasif, bertingkah laku dan berperan pasif-feminin seperti wanita

3.) Bergantian peranan, kadang memerankan fungsi wanita, kadang-kadang jadi laki-laki.

Banyak teori yang menjelaskan sebab-sebab homoseksual antara lain:

1. Faktor herediter berupa ketidakseimbangan hormon-hormon seks.

(28)

3. Seseorang selalu mencari kepuasan relasi homoseks, karena ia pernah mengalami pengalaman homoseksual yang menggairahkan pada masa remaja. 4. Seorang anak laki-laki pernah mengalami traumatis dengan ibunya sehingga

timbul kebencian atau antipati terhadap ibunya dan semua wanita. Lalu muncul dorongan homoseks yang jadi menetap (Fitriyah, 2013).

Homoseksualitas mengacu pada orientasi seseorang akan rasa ketertarikan secara perasaan (kasih sayang, hubungan emosional) dan erotik, baik predominan (lebih menonjol) maupun ekslusif (semata-mata) terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama, dengan atau tanpa hubungan fisik. Istilah homoseksual dalam kaitannya dengan perilaku manusia telah diaplikasikan terhadap hubungan seksual, baik secara fisik maupun psikis antara individu yang memiliki jenis kelamin yang sama. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa :

1. Seseorang disebut homoseksual walaupun belum pernah melakukan hubungan seksual yang nyata dengan sesama jenis (kontak fisik).

2. Ada rasa ketertarikan secara seksual yang kuat (psychic) dengan sesama jenis. Menurut Coleman (2010) menggolongkan homoseksualitas ke dalam beberapa jenis yaitu :

1. Homoseksual tulen yaitu gambaran streotiptik popular tentang laki-laki yang keperempuan-perempuanan atau sebaliknya perempuan yangkelelaki-lakian. 2. Homoseksual malu-malu yaitu kaum lelaki yang masih merasa malu dengan

identitas dirinya sebagai seorang homoseksual, namun sangat tertarik melihat laki-laki yang potensial menjadi pasangan seksualnya.

(29)

denganmenyembunyikan homoseksualitas mereka dan tidak mau mngekatualisasikannya dalam dunia yang umum.

4. Homoseksual situasional yaitu kelompok yang dapat mendorong orangmempraktikkan homoseksualitasnya tanpa disertai komitmen yangmendalam, atau menjadi seorang homoseksual jika lingkungannya potensial untuk mengaktualisasikan diri sebagai seorang homoseksual.

5. Biseksual yaitu orang yang mempraktikkan baik homoseksualitasmaupun heteroseksualitas sekaligus.

6. Homosepksual mapan yaitu kaum homoseksual yang

menerimahomoseksualitas mereka, memenuhi aneka peran kemasyarakatan secarabertanggung jawab dan mengikatkan diri dengan komunitas homoseksualsetempat.

2.7 Lelaki Seks Lelaki (LSL)

2.7.1 Defenisi Lelaki Seks Lelaki (LSL)

(30)

memainkan peran sebagai pihak yang penetratif dalam anal seks, dan/atau berhubungan seks dengan laki-laki demi uang atau kesenangan. LSL termasuk juga berbagai kategori dari laki-laki yang dapat dibedakan menurut pengaruh dari variabel seperti:

1.) Identitas seksual mereka, tanpa memandang perilaku seksual (gay, homoseksual, heteroseksual, biseksual, dan transgender, atau persamaannya, dan identitas lain).

2.) Penerimaan dan keterbukaan mereka akan identitas seksual mereka yang bukan

mainstream dan khusus.

3.) Partner seksual mereka (laki-laki, perempuan, dan/atau transgender).

4.) Alasan mereka memilih pasangan seksual tersebut (alami, pemaksaan atau tekanan, motivasi komersial, kesenangan atau rekreasi, dan/atau karena keberadaan di lingkungan yang semuanya laki-laki).

5.) Peran mereka dalam praktik khusus (penetratif, reseptif, atau keduanya)

6.) Identitas terkait gender mereka, peranan dan perilaku (laki-laki atau perempuan, maskulin atau feminim/effeminate, berseberangan pakaian (cross-dressing) atau berpakaian sesuai gender (Demartoto, 2010).

Menurutnya juga Lelaki Seks Lelaki (LSL)dapat termasuk berikut ini:

1.) Laki-laki yang secara eksklusif berhubungan seks dengan laki-laki lain.

2.) Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain tapi sebagian besarnyaberhubungan seks dengan perempuan.

(31)

4.) Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki lain untuk uang atau karenamereka tidak mempunyai akses untuk seks dengan perempuan, misalnya di penjara, ketentaraan dan sebagainya.

Laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki menjadi terminologi yang populer dalam konteks HIV dan AIDS dimana ia digunakan karena menggambarkan perilaku yang menempatkan mereka dalam risiko terinfeksi. Telah menjadi perdebatan bahwa terminologi tersebut terlalu terfokus pada perilaku seksual dan tidak mencukupi pada aspek lain seperti emosi, hubungan, dan identitas seksual diantara mereka yang juga merupakan determinan dari infeksi. Beberapa organisasi dan individu lebih suka memakai terminologi laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki-laki-laki, karena ia menunjukkan kelompok yang lebih luas dari sejumlah individu yang berhubungan seks dengan pasangan lain dari kelamin yang sama. Khususnya, ia tidak mempunyai batasan pada umur yang ditunjukkan dengan kata ”laki-laki”, dan karenanya termasuk juga anak-anak lelaki yang saling berhubungan seks dan juga hubungan seks antara laki-laki dewasa dengan anak lelaki (Demartoto, 2010)

Banyak pekerja seks laki-laki di Asia sering mengidentifikasi diri mereka sebagai heteroseksual dan berhubungan seks dengan laki-laki terutama untuk mendukung mereka serta keluarganya. Mereka seringkali menikah atau mempunyai pacar perempuan atau pasangan seks perempuan. Namun ada juga sejumlah pekerja seks laki-laki yang benar mengindentifikasi diri sebagai gay atau homoseksual dan berhubungan seks hanya dengan laki-laki.

(32)

berhubungan seks dengan perempuan. Sebagian lebih dengan laki-laki tetapi tidak menolak perempuan dan sebaliknya. Yang lain lebih senang berhubungan seks hanya dengan perempuan tetapi harus berhubungan seks denga laki-laki karena uang atau karena mereka tidak bisa mendapat akses ke perempuan. Posisi yang ambivalen dari individu transgender laki-laki perempuan menambah dimensi lain dari skenario ini

Beberapa laki-laki yang mengidentifikasi diri sebagai heteroseksual atau biseksual kadang-kadang berhubungan seks dengan laki-laki untuk kesenangan, biasanya karena sulit mengakses perempuan. Sebagian laki-laki dapat berhubungan seks terutama dengan LSL transgender tanpa mengidentifikasi diri sebagai gay atau homoseksual, terutama karena LSL transgender tidak dianggap sebagai laki-laki dalam kontek budaya mereka.

Ada sejumlah laki-laki yang lebih suka pada perempuan tapi berhubungan seks dengan laki-laki karena akses yang sangat terbatas kepada perempuan. Ini bisa disebabkan karena masyarakat yang konservatif yang dengan ketat membatasi segregasi antara laki-laki dan perempuan, atau berada pada lingkungan yang seluruhnya laki-laki dalam waktu yang lama, seperti di penjara, lingkungan militer, lingkungan buruh migran laki, dan institusi pendidikan khusus laki-laki. Karena sulit mengakses perempuan, laki-laki harus menyalurkan kebutuhan seksual mereka dengan laki-laki lain, tanpa membuat mereka mengidentifikasi diri sebagai gay atau homoseksual.

2.7.2 Self-Disclosure pada Komunitas LSL (Lelaki Seks Lelaki)

(33)

interpersonal (Qian dan Scott, 2007). Self-disclosure merupakan proses komunikasi untuk membuat diri diketahui oleh orang lain dengan cara mengungkapkan perasaan , pikiran, refleksi, atau kebutuhan pribadi. Pengungkapan informasi pribadi memiliki konsekuensi psikologis dan sosial yang signifikan. Self-disclosure merupakan aspek penting dalam membentuk dan mempertahankan hubungan antar individu. Selain itu self-disclosure dianggap memfasilitasi pengembangan diri, penerimaan dalam kelompok, dan integrasi sosial. Self-disclosure beresiko menyebabkan perasaan malu, ketidaksetujuan, penolakan, dan diskriminasi. Resiko-resiko ini dapat mencegah individu untuk mengungkapkan informasi mengenai dirinya. Individu secara sadar memiliki pihak yang menerima pengungkapan dirinya, apa yang diungkapkan, dan seberapa intim pengungkapan yang dilakukan (Jang and Stefanone, 2011).

Self-disclosure memiliki resiko besar karena dapat mengundang ejekan atau penolakan, menempatkan pihak yang mengungkapkan informasi pada posisi yang tidak nyaman secara sosial. Akibatnya, LSL cenderung mengungkapkan diri kepada orang yang tidak dikenal, karena merasa bahwa apa yang diungkapkan tidak akan diketahui pihak-pihak yang dapat memberikan dampak negatif terhadap kehidupan seorang LSL. Komunikasi melalui komunitas memungkinkan

(34)

melakukan self-disclosure dan menyalurkan perasaan dan identitas seksualnya secara aman. (Qian and Scott, 2007).

2.7.3 Coming Out Sebagai Bentuk Self-Disclosure LSL di Komunitas

Self-disclosure didefenisikan sebagai tindakan pengungkapan informasi pribadi mengenai diri seseorang kepada orang lain. Pengungkapan ini dapat melibatkan informasi yang mengejutkan dan menimbulkan stigma, seperti sejarah tindak kriminal yang pernah dilakukan, ketidaksetiaan dalam pernikahan (perselingkuhan), atau orientasi seskual nondominan (homoseksual) (Grifith and Hebl, 2012).

Coming out merupakan proses pengungkapan diri yang unik terjadi pada individu homoseksual (Harada, 2012). Coming out merupakan proses melalui mana individu yang mengidentifikasi diri sebagai homoseksual menjalankan dan mengadopsi identitas homoseksualnya (Van Laer, 2011).

(35)

Proses coming out akan menjadi lebih mudah jika dilakukan didalam komunitas yang memiliki identitas seksual yang sama, komunitas akan menerima

coming out yang dilakukan oleh LSL. Dengan coming out yang dilakukan didalam komunitas, maka seorang LSL akan langsung menjadi anggota komunitas tersebut. Dan dengan coming out seorang LSL didalam komunitas, maka komunitas akan memberikan dukungan secara penuh terhadap pembentukan dan perkembangan perilaku LSL tersebut.

2.8 HIV(Human Immunodeficiency Virus)

2.8.1 Defenisi HIV(Human Immunodeficiency Virus)

Kemenkes RI (2010) mendefenisikan HIV (Human Immunodeficiency Virus) sebagai virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. HIV menyerang salah satu jenis sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi.Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, sedangkan Acquired Immunodeficiency Syndrom(AIDS) adalah sindrom kekebalan tubuh oleh infeksi HIV. Perjalanan penyakit ini lambat dan gejala-gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah terjadi infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.

(36)

HIV sangat lemah dan mudah mati diluar tubuh manusia. HIV dapat menyerang salah satu dari jenis sel-sel darah putih yang bertugas menangkal infeksi. Kerja virus setelah masuk ke dalam tubuh manusia yaitu merusak salah satu jenis sel imun tertentu yang dikenal dengan sel T Helper dan sel tubuh lainnya, antara lain sel otak, sel usus, sel paru. Sel T Helper adalah titik pusat pertahanan tubuh, sehingga infeksi HIV menyebabkan daya tahan tubuh menjadi lemah. Virus HIV ditemukan dan diisolasikan dari sel limfosit T4, limfosit B, sel makrofag (di otak dan paru) dan berbagai cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu. Sebagian besar (75%) penularan terjadi melalui hubungan seksual (Noviana, 2013).

2.8.2 Cara Penularan HIV(Human Immunodeficiency Virus)

Nasronudin (2007) menyatakan bahwa masuknya virus HIV ke dalam tubuh manusia atau transmisi HIV yaitu secara vertikal, transeksual dan horizontal. HIV dapat menular kepada siapapun melalui cara-cara tertentu tanpa melihat status, kebangsaan, ras, jenis kelamin, agama, tingkat pendidikan, kelas ekonomi maupun orientasi seksual (Nasution, 2010).

(37)

diketahui, penyebaran virus HIV melalui hubungan seks, jarum suntik yang tercemar, transfusi darah, penularan dari ibu ke anak maupun donor darah atau donor organ tubuh (Noviana, 2013)

Tiga cara penularan HIV yang paling sering terjadi adalah: 1. Hubungan seksual

Ada beberapa cara untuk melakukan hubungan seksual, yaitu vaginal (lewat vagina), anal (menggunakan dubur), oral (menggunakan mulut) dan manogenital (menggunakan tangan). Dari keempat cara tersebut, risiko terbesar untuk dapat tertular HIV adalah apabila melakukan hubungan seksual secara anal dan vaginal. 80% sampai dengan 90% kasus HIV ditemukan pada mereka yang melakukan kegiatan seksual secara anal. Hal ini disebabkan karena lapisan kulit di sekitar dubur (rectum) sangat tipis, sehingga dapat mengakibatkan luka yang mengeluarkan darah dan dapat terjadi kontak antar cairan tubuh yang mempertinggi resiko infeksi virus HIV.

2. Kontak langsung dengan darah/produk darah/ jarum suntik

Transfusi darah/produk darah yang tercemar HIV merupakan risiko tinggi penularan HIV yaitu mencapai lebih dari 90%. Namun demikian, kasus penularan HIV melalui transfusi darah ini hanya dijumpai 3-5% dari total kasus penularan HIV sedunia. Selain itu, pemakaian jarum suntik yang tidak steril ataupun pemakaian jarum suntik secara bersama terutama seperti yang dilakukan oleh para pecandu narkotik. Cara ini mengandung 0,5% - 1% dan telah ditemukan pada 5-10% dari total kasus sedunia.

(38)

Secara vertikal maksudnya yaitu dari ibu hamil kepada bayi yang dikandungnya, dimana penularan bisa saja terjadi pada waktu kehamilan, melahirkan ataupun sesudah melahirkan (ketika menyusui). Risiko penularan lewat cara ini adalah 25-40% dan telah ditemukan pada kurang dari 0,1% dari total kasus sedunia (Nasution, 2010).

Secara umum HIV dapat diisolasi dari darah, semen, cairan serviks, cairan vagina, ASI, air liur, serum, urine, air mata, cairan elveoler, cairan serebrospinal. Meskipun HIV pernah ditemukan pada air liur penderita namun tidak ada bukti secara empiris yang menunjukkan bahwa air liur dapat menularkan HIV. Demikian juga untuk cairan tubuh lain seperti, air mata, urine maupun keringat (Nasronudin, 2007). Sehingga HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet yang dipakai bersama-sama, berpelukan di pipi, berjabat tangan, hidup serumah (KPAN, 2011).

Perlu digaris bawahi transmisi yang terbukti dapat terjadi secara efisien adalah melalui darah, cairan semen, cairan vagina/serviks, dan ASI. Adapun pola penularan HIV di Asia memiliki pola seperti berikut (Susilowati, 2011) :

(39)

2.8.3 Perjalanan Infeksi HIV(Human Immunodeficiency Virus)

Perjalanan infeksi HIV ini dapat dibedakan menurut sistematika perjalanan virus itu sendiri. Menurut Suyono dkk (2006) dan Nasronudin (2007) secara klinik, gambaran yang terlihat dalam perjalanan penyakit HIV/AIDS terbagi dalam 3 (tiga) tahap urutan yaitu tahap infeksi akut atau primer, tahap infeksi asimtomatis atau dini, tahap infeksi simtomatis atau menengah dan tahap sakit HIV berat atau penderita dalam tahap AIDS.

Tahap infeksi akut atau primer (primary infection) keadaan setelah beberapa minggu dari saat infeksi terjadi dan belum muncul gejala secara spesifik. Periode ini terjadi sekitar 6 minggu setelah terpapar virus HIV. Pada tahap ini biasanya akan muncul keluhan berupa demam, rasa letih atau lemah, nyeri otot dan sendi, sakit pada tenggorokan dan adanya pembesaran kelenjar getah bening. Terdapat satu masa transisi virus antigenemia yaitu antigen virus tidak dapat dideteksi di dalam serum darah pengidap sebelum terbentuknya zat anti terhadap virus HIV (Nasronudin, 2007).

Tahap selanjutnya disebut tahap infeksi dini atau asimtomatis dimana pada tahap ini justru penderita tidak merasakan keluhan yang muncul pada tahapan pertama diatas. Tahapan ini berlangsung sekitar 6 minggu sampai dengan beberapa bulan bahkan beberapa tahun setelah infeksi terjadi. Pada tahapan ini sedang terjadi internalisasi HIV ke intraseluler. Pada tahapan ini penderita HIV biasanya masih dapat beraktivitas secara normal (Nasronudin, 2007).

(40)

berulang, mungkin juga akan ditemukan peradangan pada sudut mulut, sering ditemukan infeksi bakteri pada saluran nafas bagian atas. Biasanya penderita masih dapat beraktivitas normal meskipun sudah merasa terganggu dengan keadaan tubuhnya. Dalam tahap ini terjadi reaktivasi virus HIV dengan munculnya kembali antigen HIV dan turunnya jumlah limfosit T4. Ada juga yang menyebut sebagai fase AIDS Related Complex yaitu suatu keadaan yang ditandai dengan tanda-tanda konstitusional yang menetap sekurang-kurangnya tiga bulan dan hasil laboratorium minimal satu macam tanpa gejala infeksi oportunisti. Tanda-tanda lain yang ditemui adalah peningkatan suhu badan 38ºC berlangsung terus-menerus, kelelahan sampaihilangnya aktivitas dan keluarnya keringat pada malam hari (Nasronudin, 2007).

Tahap keempat yang merupakan tahap sakit HIV berat (Severe HIV atau

Fullblown AIDS) atau berarti penderita telah masuk dalam tahap AIDS. Pada tahapan ini terjadi penurunan berat badan lebih dari 10%, diare terjadi lebih dari 1 bulan, panas yang tidak diketahui penyebabnya dan terjadi lebih dari 1 bulan, kandidiasis oral, tuberkolosis paru dan pneumonia bakteri. Beberapa infeksi oportunistik sangat sering terjadi pada tahapan ini (Nasronudin, 2007).

2.8.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penularan HIV

Menurut Susilowati (2011), faktor-faktor yang mempengaruhi penularanHIV adalah sebagai berikut:

1. Faktor Biologis

(41)

c. Tingginya jumlah virus yang ada dalam darah, apakah penderita ada padastadium awal infeksi atau stadium lanjut.

d. Adanya perlukaan (exposure to blood) misalnya trauma pada saat kontakseksual, menstruasi pada saat kontak seksual atau adanya luka karena penyebab lain genital.

e. Menyusui bayi pada ibu yang terinfeksi HIV. f. Kerentanan (suspectibility) dari resipien.

g. Adanya gangguan pada wilayah genital atau area dubur(mucosa rectal). h. Laki-laki yang tidak bersunat (lack of circumcision in heterosexual men). i. Melakukan hubungan seksual pada saat menstruasi akan meningkatkan

risiko pada perempuan karena adanya perlukaan pada endometrium yang memungkinkan menjadi pintu masuk virus HIV.

j. Adanya infeksi menular (IMS). k. Resistensi virus terhadap antivirus. l. Kapasitas virus.

2. Faktor Sosioekonomi

(42)

b. Stigma dan penolakan. Pemikiran negatif mengenai HIV sudah menjadi norma. Banyak orang yang berpendapat kurang tepat HIV adalah penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan berjalan lambat, menyebabkan kondisi sakit dan berakibat kematian. Kebanyakan orang tidak mengetahui bagaimana HIV bisa ditularkan secara tidak rasional dan ketakutan berlebihan tertular dari orang terinfeksi HIV. Penularan HIV sering dihubungkan dengan pelanggaran moral yang berkaitan dengan perilaku seksual, sehingga orang yang terindeksi HIV dicap telah melakukan hal yang buruk.

c. Masa perang. AIDS ditularkan melalui wilayah yang penuh dengan konflik misalnya perang. Anggota militer melakukan hubungan seksual dengan pekerja seks komersial. Mereka melakukan perkosaan sebagai cara untuk mempermalukan dan mengontrol penduduk sipil atau untuk melemahkan musuh melalui perusakan ikatan keluarga atau masyarakat. 3. Faktor Budaya

a. Adat-istiadat, budaya, keyakinan, dan praktik-praktik tertentu dalam masyarakat mempengaruhi pemahaman dan sudut pandang seseorang mengenai kesehatan, penyakit dan penerimaan mereka pada perawatan medis konvesional. Budaya memperlihatkan perilaku-perilaku gender, agama, kelompok etnis, bahasa, masyarakat, dan kelompok umur.

(43)

infeksi HIV. Karena perempuan seringkali mengalami ketidaksetaraan ekonomi sehingga mereka menjadi pekerja seks sebagai upaya untuk dapat bertahan hidup. Hal ini menyebabkan mereka mudah terpapar risiko ketika mereka mencoba menegosiasikan seks yang aman.

c. Penggunaan obat-obatan terlarang dan konsumsi alkohol. Penggunaan obat-obatan terlarang dengan cara menyuntikkan berbagai jarum suntik dan peralatan injeksi akan meningkatkan risiko penularan HIV.

2.8.5 Pencegahan HIV(Human Immunodeficiency Virus)

Pencegahan agar tidak terinfeksi HIV adalah sebagai berikut (UNAIDS, 2000): 1. Pencegahan melalui hubungan seksual:

a. Tidak melakukan hubungan seks pra nikah; b. Tidak berganti-ganti pasangan; dan

c. Apabila salah satu pihak sudah terinfeksi HIV, gunakanlah kondom. 2. Pencegahan melalui resiko pertukaran darah:

a. Transfusi darah dengan yang tidak terinfeksi;

b. Sterilisasi jarum suntik dan alat-alat yang melukai kulit; c. Hindari pengguna narkoba terlebih narkoba jenis suntik;

d. Tidak menggunakan alat suntik, alat, tindik, alat tato, pisau cukur dan sikat gigi berdarah dengan orang lain; dan

e. Steril peralatan medis yang berhubungan dengan cairan manusia. 3. Pencegahan penularan ibu kepada anak:

a. Ibu yang telah terinfeksi HIV agar mempertimbangkan kehamilannya; dan b. Tidak menyusui bayinya.

(44)

a. Perlu komunikasi, informasi dan edukasi masyarakat mengenai HIV AIDS.

b. Hindari gaya hidup bersesiko (seks bebas, narkoba, dan sebagainya). 2.9 Kerangka Teoritis Penelitian

Kerangka teori dalam penelitian ini ialah memakai teori dari Sarafino (2006) mengenai dukungan sosial, temasuk dukungan sosial ialah yang dilakukan oleh komunitas sebagai bentuk kelompok sosial yang memengaruhi pembentukan pola perilaku individu yang menjadi anggota komunitas, yang dapat dilihat pada gambar 2.3 berikut :

Gambar 2.2 Kerangka Teoritis Penelitian

Berdasarkan gambar 2.2 diatas, diketahui bahwa ada 5 (lima) bentuk dukungan sosial komunitas yaitu yang meliputi dukungan emosional (emotional/esteem support), dukungan instrumental (instrumental support), dukungan informasional (informational support), dukungan penilaian/penghargaan (appraisal support) dan dukungan persahabatan/integrasi sosial (companionship support)yang dapat mempengaruhi pembentukan pola

(45)

perilaku individu termasuk didalamnya ialah perilaku pencegahan HIV-AIDS pada LSL (Lelaki Seks Lelaki) di komunitasnya

2.10 Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Perilaku Pencegahan

• Status/Peran Seksual LSL

• Jumlah pasangan seksual yang

dimiliki

• Intensitas hubungan seksual dengan pasangan seksual

• Lama menjadi anggota

(member) di komunitas LSL

(46)

Gambar

Gambar 2.1 Pola Penularan/Infeksi HIV
Gambar 2.2  Kerangka Teoritis  Penelitian
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

ANALISIS HUBUNGAN MEDIA SOSIAL TERHADAP KEPUTUSAN BERKUNJUNG WISATAWAN TAMAN WISATA PANTAI RIA KENJERAN SURABAYA DENGAN METODE AISAS (ATTENTION, INTEREST, SEARCH, ACTION,

Penelitian ini bertujuan menganalisis kualitas laporan keuangan UMKM, kesiapan UMKM dalam mengimplementasikan SAK ETAP pada saat penyusunan laporan keuangan dan

Meskipun demikian terdapat berbagai permasalahan dalam kegiatan penyuluhan pertanian, diantaranya adalah masih kurang memadainya keterampilan dan kredibilitas

Simpulan: Tingkat dismenore sebelum dan sesudah perlakuan dengan uji paired t- test didapatkan nilai asymp.Sig (2- tailed) sebesar 0,000 dengan α = 0,05 artinya hasil

- Saldo piutang yang ada pada perusahaan sema- kin beaar dari tahun ketahun yang diikuti dengan semakin lambatnya turn over piutang, sebagai akibat pemberian kredit

Dari faktor orang tua yang menyebabkan perilaku remaja merokok, berdasarkan tabel 4.2 menunjukkan bahwa penyebab remaja merokok yang tertinggi pertama adalah

Ibu tercinta yang telah merawat amanat dari Sang Khalik yang senantiasa semangat merawat saya sendiri sejak saya berusia 7 tahun, terima kasih atas kasih

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa hasil belajar mahasiswa di Prodi Pendidikan Biologi FPMIPA Universitas PGRI Semarang sudah memenuhi kriteria