• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Metode Ceramah Dan Diskusi Terhadap Peningkatan Pengetahuan Dan Sikap Siswa Tentang Perilaku Seksual Berisiko Di Sma Negeri 1 Langsa Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Metode Ceramah Dan Diskusi Terhadap Peningkatan Pengetahuan Dan Sikap Siswa Tentang Perilaku Seksual Berisiko Di Sma Negeri 1 Langsa Tahun 2015"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

66 BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perilaku seksual pada remaja akhir-akhir ini telah menjadi topik yang sangat

serius dan memprihatinkan. Banyak kasus mengenai perilaku seksual yang terjadi

dilakukan sebagian besar oleh remaja kita yang masih duduk dibangku sekolah

terutama siswa SMA dan bahkan siswa SMP. Hal ini dapat terjadi karena masa

remaja sering diidentikkan dengan masa berpacaran dan bagi sebagian besar remaja,

makna pacaran telah diartikan juga sebagai masa untuk belajar melakukan perilaku

seksual dengan lawan jenis, mulai dari berpegangan tangan, ciuman ringan, ciuman

hebat, saling masturbasi, melakukan oral sex bahkan sexual intercourse (Pangkahila,

1997 dalam Dien Nursal, 2008). Menurut Deagnova & Rice (2005) bahwa pacaran

yang dilakukanremaja lebih berorientasi seksual dengan adanya peningkatan jumlah

kaum muda yangsemakin tertarik untuk melakukan hubungan seksual.

Perilaku seksual menurut Sarwono (2008) adalah segala tingkah laku yang

didorong oleh hasrat seksual, baik lawan jenisnya maupun dengan sesama jenisnya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, resiko merupakan akibat yang kurang

menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan.

Sehingga perilaku seksual yang beresiko merupakan segala tingkah laku yang

didorong oleh hasrat seksual dan berakibat merugikan bagi individu yang

melakukannya. Perilaku seksual yang berisiko ini dapat mengarahkan pada kehamilan

(2)

yang tidak dikehendaki, aborsi yang tidak aman, dan memperluas penyebaran

penyakit menular seksual (Moeliono, 2004). Meskipun memiliki resiko namun

perilaku tersebut masih dilakukan oleh para remaja, terutama pada masa pacaran.

Survey yang diberi nama 1999 Global Sex Survey, A Youth Perspective,

mengambil 4.200 responden berusia 16-21 tahun dari 14 negara, yakni Amerika,

Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Taiwan, Italia, Yunani, Meksiko, Polandia,

Singapura, Republik Czech, Spanyol, dan Thailand. Hasil diperoleh bahwa remaja di

Kanada dan Amerika menduduki peringkat paling muda dalam melakukan hubungan

seks yakni 15 tahun, diikuti Inggris umur 15,3, Jerman umur 15,6, dan Perancis pada

umur 15,8 tahun. Remaja di Asia Tenggara cenderung melakukan seks lebih telat.

Remaja Thailand mulai melakukan seks pada umur 16,5 tahun, dan Taiwan umur 17

tahun (Munawaroh, 2010).

Perilaku seksualberisiko pada remaja di USA dalam kurunwaktu tahun 1999

sampai dengan tahun2006 menunjukkan hasil bahwa 358gadis remaja usia 14-17

tahun telahmelakukan salah satu dari delapan perilakuseksual yaitu ciuman,

menyentuhpayudara, menyentuh alatkelamin,menyentuh sekitar genital,

melakukanoral seks, anal seks atau vaginal seks(Fortenberry, et al, 2011).Menurut

leonalrd sax (2007) menyatakan bahwa hubungan seksual remaja semakin keluar dari

konteks hubungan romantis, dalam arti murni seksual. Dengan tingkat kehamilan

remaja AS lebih tinggi daripada di banyak negara maju lainnya. Setelah menurun

sejak tahun 1991, tingkat kehamilan remaja naik 3% pada 2006, menjadi 41,9 per

(3)

Survey senada dilakukan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia

(PKBI) pada 2003 di Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta. Hasil survey PKBI

menyimpulkan bahwa sebanyak 85 persen remaja berusia 13-15 tahun mengaku telah

berhubungan seks dengan pacar mereka (Republika, 2007). Penelitian lain dilakukan

diBandung tahun 1991 menunjukkan dari pelajar SMP, 10,53% pernah melakukan

ciuman bibir, 5,6% melakukan ciuman dalam, dan 3,86% pernah berhubungan

seksual (Osholikhin, 2001).

Sekitar 1 milyar manusia atau 1 dari 6 manusia di bumi ini adalah berusia

remaja dan 85% diantaranya hidup di negara berkembang (UNFPA, 2000). Banyak

sekali remaja yang sudah aktif secara seksual meski bukan atas pilihannya sendiri.

Berdasarkan survey kesehatan reproduksi yang dilakukan Badan Kesehatan

KeluargaBerencana Nasional (BKKBN) 2010, sekitar 92% remaja yang berpacaran,

salingberpegangan tangan, ada 82% yang saling berciuman, dan 63% remaja yang

berpacaran tidakmalu untuk saling meraba (petting) bagian tubuh kekasih mereka

yang seharusnya tabu untukdilakukan. Sedangkan tempat favorit untuk melakukan

hubunganseksual adalah di rumah sebanyak 40%, di tempat kost 30% dan di hotel

30%.

Penelitian yang dilakukan oleh Sekarrini (dalam Banun dkk, 2012) bahwa

sebanyak 39,3% murid SMK Kesehatandaerah Kabupaten Bogor Tahun 2011

berperilaku seksualdalam kategori ringan seperti mengobrol, menonton filmberdua,

jalan berdua, berpegangan tangan dan berpelukan.Sedangkan sebanyak 60,7%

(4)

merabadaerah erogen, bersentuhan alat kelamin dan melakukanhubungan seks.

Penelitian senada dilakukan pula oleh Sari,dkk (2010) yang menemukan bahwa 26%

remaja SMK di Kota Baturaja telah melakukan perilaku seksual berisiko tinggi

dengan melibatkan alat kelamin baik berupamelakukan perabaan bagian

sensitifpasangan, saling menempelkan alatkelamin ataupun melakukan hubungan

seksselama pacaran. Dan 74% remaja melakukan perilaku seksual berisiko rendah

dengan kategori pernah berduaan, memeluk atau berciuman selama pacaran.

Penelitian Puslit Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan,Depkes R.I

tahun 1990 terhadap siswa-siswa di Yogyakarta menyebutkanbahwa faktor utama

yang mempengaruhi remaja untuk melakukan perilaku seksual berisiko adalah

membaca buku porno dan menonton film pornoadalah 49,2%. Motivasi utama

melakukan senggama adalah saling tertarik75,6%, kebutuhan biologis 14–18% dan

merasa kurang taat padanilai agama 20–26%. Pusat studi kriminologi Universitas

Islam Indonesia diYogyakarta menemukan 26,35 % dari 846 peristiwa pernikahan

telahmelakukan hubungan seksual sebelum menikah yang mana 50 %diantaranya

menyebabkan kehamilan. Dari berbagai penelitianmenunjukkan perilaku seksual pada

remaja ini mempunyai korelasi dengansikap remaja terhadap seksualitas

(Soetjiningsih, 2004).

Ditambahkan pula oleh Hakim (2012), umumnya remaja mengaku tertarik dan

ingin mencoba perilaku seksual, melalui dikusi dengan teman sebaya dan setelah

melihat gambar-gambar vulgar di majalah, televisi dan internet, serta kurangnya

(5)

memperbesar kemungkinan terjadinya perilaku seks berisiko. Berbagai hasil

penelitian menyebutkan bahwa remaja mendapatkan informasi seks terutama dari

media massa dan teman sebaya. Tekanan media dan kelompok sebaya mendorong

aktivitas seksual yang lebih permisif. Remaja dipengaruhi oleh model perilaku teman

sebaya mereka dan norma sosial mereka. Tekanan dari teman sebaya seringkali

membuat perilaku remaja ke hal-hal yang negatif (Yusuf, 2002).

Soetjiningsih dalam penelitian disertasinya pada tahun 2008 juga

menambahkan bahwa hubungan seksual yang pertama kali dilakukan oleh mayoritas

remaja adalah saat duduk di bangku SMA atau pada usia 15-18 tahun. Pada penelitian

tersebut diperoleh data bahwa dari 398 responden, sebanyak 239 remaja (60%)

menyatakan bahwa tingkat perilaku seksual yang diperbolehkan adalah ciuman

sambil berpelukan. Ciuman menjadi aktivitas seksual yang dianggap wajar oleh para

remaja.

Perilaku seksual berisiko tidak hanya terjadi pada remaja-remaja yang tinggal

di kota besar, namun juga telah merambah ke daerah lain tidak terkecuali Provinsi

Aceh. Hasil penelitian Dinas Kesehatan Provinsi Aceh tahun 2012 menyimpulkan,

pasca tsunami di Aceh, perilaku seksual berisiko di kalangan pelajar semakin

meningkat. Berdasarkan informasi, tercatat kejadian yang paling mengkhawatirkan

terjadi di Kota Lhokseumawe yakni mencapai 70%, sementara Kota Banda Aceh

yang merupakan ibu kota Provinsi Aceh mencapai 50%. Sementara itu data yang

diperoleh dari Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di salah satu

(6)

lebih dari 2000 remaja di Banda Aceh terlibat dalam seks pra nikah. Pada tahun 2007

ditemukan terdapat sekitar 133 kasus, tahun 2008 meningkat menjadi 197 kasus, dan

pada tahun 2011 melonjak mencapai 600 kasus (Musliadi, 2014).

Kekhawatiran terhadap semakin meningkatnya perilaku seksual berisiko di

kalangan remaja khususnya di Aceh sangat beralasan dengan melihat sejarah Aceh

sebagai daerah Serambi Mekkah dan efek buruk yang dihasilkan dari perilaku

tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di sebuah pesantren dan 3 SMU di

Banda Aceh dan Aceh Besar oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia

(PKBI) Aceh, dari 40 siswa ditemukan bahwa 90% diantaranya pernah mengakses

film dan foto porno. Sebanyak 40% pernah melakukan aktivitas seksual seperti

petting atau menyentuh organ intim pasangannya. Selain itu, sebanyak 5 dari 40

siswa tersebut mengaku pernah melakukan hubungan seksual pranikah bersama

pacar.

Perilaku seksual berisiko yang dilakukan remaja juga terjadi di Kota Langsa.

Berdasarkan data BPS Kota Langsa (2013), jumlah penduduk Kota Langsa pada

pertengahan tahun 2013 adalah 157.011 jiwa dan sebesar 41,48% atau 65.140 jiwa

adalah remaja berusia10-24 tahun. Usia remaja dengan segala karakteristik fisik,

sosial dan psikologisnya dihadapkan pada liberalisasi norma, sikap dan perilaku

kesehatan reproduksi remaja yang berkaitan dengan perilaku seksualitas, napza dan

HIV/AIDS atau yang sering disebut dengan Triad KRR, seiring dengan dimasukinya

(7)

Informasi yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Langsa menyebutkan

bahwa pada tahun 2013 penderita Penyakit Menular Seksual (PMS) telah berjumlah

13 orang dan remaja yang hamil pra nikah berjumlah 2 orang. Selain itu, Sekretaris

Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi (KPAP) Aceh, Ormaia Nya Oemar

menyatakan bahwa hingga akhir Desember 2012 jumlah penderita HIV/AIDS di 23

Kabupaten/Kota di Aceh telah mencapai 161 kasus yang pada tahun 2011 hanya ada

131 kasus. Dari 23 Kabupaten/Kota, 10 kasus diantaranya terjadi di Kabupaten Aceh

Timur dan Kota Langsa

terjadinya penyakit Perilaku Menular Seksual dan HIV/AIDS adalah perilaku seksual

yang dilakukan secara bebas tanpa mengetahui resiko dan akibat yang dapat

dimunculkan dari perilaku tersebut.

Sejak diberlakukan hukum Syariat Islam di Aceh dan dikeluarkannya Qanun

Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat yaitu perbuatan mesum dan pergaulan bebas,

Polisi Syariah di Kota Langsa yang dikenal dengan sebutan Wilayatul Hisbah (WH)

telah menangkap sekitar 37 orang yang melanggar aturan di tahun 2014. Diantara 37

kasus, 11 diantaranya melibatkan remaja.Beberapa remaja tersebut ditangkap di

sebuah hotel dan ada juga yang ditangkap di rumah kos ketika sedang melakukan

hubungan seksual.

Data lain juga diperoleh peneliti dari Kepala Desa di salah satu daerah Kota

Langsa yang dijadikan tempat wisata berupa hutan bakau dan pelabuhan. Beliau

menyatakan bahwa hampir beberapa kali ketika berjalan-jalan dimalam hari untuk

(8)

hutan bakau yang gelap dan sepi tersebut. Bahkan pernah juga beliau menemukan

pasangan remaja yang sedang melakukan aktivitas seksual. Berdasarkan informasi

dari salah seorang ahli pengobatan alternatif di Kota Langsa menyebutkan bahwa

pada tahun 2014beliau telah menanggani pasien remaja yang telah hamil sebelum

menikah sebanyak 9 orang. Selain itu pula, peneliti sendiri pernah berjalan-jalan ke

suatu daerah di Kota Langsa dimana disepanjang jalan tersebut didominasi oleh

pohon kelapa sawit dan kondisinya sepi serta melihat banyak pasangan remaja yang

sedang pacaran sambil berpelukan, bahkan ada beberapa pasangan yang tidak malu

untuk berciuman.

Kota Langsa memiliki 14Sekolah Menengah Atas dan SMA Negeri 1

merupakan sekolah yang paling dikenal, terfavorit serta diunggulkan di Langsa.

Banyak pelajar bersaing untuk dapat masuk ke sekolah tersebut. Berdasarkan

wawancara yang dilakukan pada siswa SMA Negeri 1 Langsa didapatkan dari 32

siswa ternyata ada 15 siswa yang belum mengetahui tentang perilaku seksual

berisiko, kesehatan reproduksi dan penyalahgunaannya serta dampak yang

dimunculkan dari perilaku seksual berisiko. Dari wawancara juga ditemukan adanya

persepsi bahwa jika tidak berpacaran maka dianggap tidak gaul, kuno dan dikatakan

homo. Bahkan ada trend untuk mengganti-ganti pasangan pacaran dalam seminggu.

Beberapa kasus mengenai perilaku seksual berisiko yang dilakukan selama pacaran

juga ditemukan, seperti siswi yang masuk kelas dengan kondisi bibir terluka dan

ketika ditanya lebih lanjut ternyata telah melakukan ciuman bersama sang pacar. Ada

(9)

sedang istirahat dan 1 orang siswa lainnya ditemukan membawa film porno ke

sekolah. Bahkan dampak perilaku seksual berisiko yaitu hamil di luar nikah terjadi

pada 2 orang siswi yang mengakibatkan keduanya tidak dapat melakukan Ujian

Nasional.

Menghadapi fenomena yang terjadi pada remaja di Kota Langsa tersebut,

beberapa upaya telah dilakukan seperti mengundang pihak kepolisian untuk

melakukan penyuluhan ke sekolah-sekolah. Adapun dari tenaga kesehatan telah

melakukan penyuluhan melalui Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja

(PKPR) mengenai kesehatan reproduksi.Hanya saja sampai saat ini, menurut

informasi yang diperoleh, belum ada penyuluhan dengan topik perilaku seksual

berisiko yang dilakukan di SMAN 1 Langsa dan belum pernah ada penelitian

mengenai keefektifan promosi kesehatan yang dilakukan di sekolah tersebut.

Menurut Green dan Kreuter (dalam Lestary, 2011) ada tiga faktor yang

menyebabkan atau mempengaruhi perilaku berisiko pada remaja. Pertama adalah

faktor predisposing atau faktor yang melekat atau memotivasi. Faktor ini berasal dari

dalam diri seorang remaja yang menjadi alasan atau motivasi unruk melakukan suatu

perilaku. Termasuk dalam faktor ini adalah pengetahuan, keyakinan, nilai, sikap,

kepercayaan, kapasitas, umur, jenis kelamin, dan pendidikan. Kedua adalah faktor

enabling atau faktor pemungkin. Faktor ini memungkinkan atau mendorong suatu

perilaku dapat terlaksana. Faktor ini meliputi ketersediaan dan keterjangkauan

sumber daya kesehatan, prioritas dan komitmen masyarakat/pemerintah terhadap

(10)

ekonomi, dan akses terhadap media informasi. Faktor ketiga adalah faktor reinforcing

atau faktor penguat yaitu faktor yang dapat memperkuat perilaku. Faktor ini

ditentukan oleh pihak ketiga atau orang lain yang meliputi keluarga, teman sebaya,

guru, petugas kesehatan, tokoh masyarakat dan pengambil keputusan.

Kurangnya pengetahuan yang benar tentang seksualitas mengakibatkan

hal-hal yang berhubungan dengan perilaku seksual masih sangat tabu di kalangan

masyarakat. Studi akhir menunjukkan bahwa hampir 50% dari responden berusia di

bawah 15 tahun dan 75% berusia di bawah 19 tahun telah melakukan aktivitas

seksual. Namun demikian, masih banyak remaja yang tidak mengetahui dan tidak

menyadari akibat dari aktivitas seksual yang mereka lakukan, seperti hamil diluar

nikah, bahkan gejala penyakit menular seksual (PMS). Akibatnya, terjadi peningkatan

angka kelahiran tidak sah dan penyakit kelamin (Kumalasari dan Andhyantoro,

2012).

Setiap tahun, satu dari dua puluh remaja seusia siswa SMA terinfeksi Penyakit

Menular Seksual (PMS), dengan persentase tertinggi berada pada kelompok usia 15

sampai 19 tahun dengan ketidaktahuan mengenai PMS sebagai penyebabnya. Angka

kejadian PMS dan HIV/AIDS ini cukup meresahkan sehingga menjadi suatu

permasalahan yang sangat penting pada remaja. Oleh karena itu, promosi kesehatan

tentang perilaku seksual berisiko amatlah perlu dan dapat dilakukan lewat berbagai

cara, asal tepat cara pemberiannya karena pada prinsipnya masa remaja merupakan

masa pembelajaran. Promosi kesehatan yang diselenggarakan guna meningkatkan

(11)

tentang perilaku seksual berisiko untuk mengantisipasi maraknya perilaku seks di

kalangan remaja.

Penyuluhan merupakan salah satu upaya promosi kesehatan yang efektif

dalam meningkatkan pengetahuan remaja tentang perilaku seksual berisiko.

Penyuluhan kesehatan merupakan suatu kegiatan yang dapat mempengaruhi

perubahan responden meliputi pengetahuan. Hal ini dibuktikan dalam penelitian

Pasaribu (2005) yang menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan dan sikap

setelah dilakukan penyuluhan kesehatan.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Syahlani (2011) terhadap 37 pelajar di

SMP Negeri 5 Banjarmasin diperoleh hasil tingkat pengetahuan responden tentang

perilaku seks bebas sebelum penyuluhan sebagian besar baik yaitu sebanyak 16 orang

(43,24%), sedangkan tingkat pengetahuan kurang sebanyak 8 orang (21,62%).

Tingkat pengetahuan responden tentang perilaku seks sesudah penyuluhan sebagian

besar responden dengan tingkat pengetahuan baik yaitu sebanyak 28 orang (75,62%),

dan responden dengan tingkat pengetahuan kurang sebanyak 2 orang (5,40%).

Penyuluhan yang diberikan dapat dilakukan dengan berbagai metode

diantaranya adalah metode ceramah dan diskusi kelompok terarah. Metode ceramah

adalah metode penyuluhan yang dilakukan secara lisan kepada pendengar dan

pembicara menjadi pemegang peran yang sangat penting dalam memberikan dan

menjelaskan materi. Menurut LP3I Unair (2009) penyuluhan dengan menggunakan

metode ceramah memiliki beberapa keunggulan antara lain: cepat untuk

(12)

cukup besar, sangat cocok digunakan oleh pengajar yang bukan berasal dari kalangan

kelompok sasaran.Penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh (2010) menemukan

bahwa metode ceramah yang dilakukan terhadap siswa SMA Ngrayun sebanyak 63

siswa efektif dalam meningkatkan pengetahuan remaja tentang perilaku seksual

dengan perbedaan rata-rata sebelum dan sesudah dilakukan metode ceramah adalah

sebesar 2,063.

Metode lain yang dapat dilakukan dalam penyuluhan tentang pendidikan

perilaku seksual berisiko adalah diskusi kelompok terarah. Menurut Irwanto (2006)

diskusi kelompok terarah adalah suatu proses pengumpulan data dan informasi yang

sistematis mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi

kelompok. Penyuluhan melalui diskusi kelompok terarah memiliki kelebihan dalam

memberikan kemudahan dan peluang untuk menjalin keterbukaan, kepercayaan, dan

memahami persepsi, sikap, serta pengalaman yang dimiliki informan. Diskusi

kelompok terarah memungkinkan terjadinya diskusi intensif dan tidak kaku dalam

membahas isu-isu yang sangat spesifik, juga memungkinkan untuk mengumpulkan

informasi secara cepat dan konstruktif dari peserta yang memiliki latar belakang

berbeda-beda. Di samping itu, dinamika kelompok yang terjadi selama

berlangsungnya proses diskusi seringkali memberikan informasi yang penting,

menarik, bahkan kadang tidak terduga.

Ditambahkan pula oleh Henning dan Cloumbia (1990) diskusi kelompok

terarah adalah wawancara dari sekelompok kecil orang yang dipimpin oleh seorang

(13)

spontan tentang hal yang dianggap penting yang berhubungan dengan topik diskusi

saat itu. Interaksi diantara peserta merupakan dasar untuk memperoleh informasi.

Peserta mempunyai kesempatan yang sama untuk mengajukan dan memberikan

pernyataan, menanggapi, berkomentar maupun mengajukan pertanyaan. Sebuah

penelitian yang dilakukan oleh Sahertian, dkk (2002) menunjukkan adanya

peningkatan pengetahuan pada kelompok yang diberi intervensi dengan metode

diskusi kelompok pada orang tua tentang reproduksi sehat remaja.

Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas maka peneliti tertarik untuk

mengadakan penyuluhan tentang perilaku seksual berisiko di SMAN 1 Langsa.

Penyuluhan dilakukan dengan metode ceramah dan diskusi dan selanjutnya

dibandingkan keefektifan antara kedua metode tersebut terhadap peningkatan

pengetahuan dan sikap siswa tentang perilaku seksual berisiko.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan

dalam penelitian ini adalah bagaimana efektivitas metode ceramah dan diskusi

kelompok terarah dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa tentang perilaku

seksual berisiko di SMAN 1 Langsa.

1.3 TujuanPenelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas metode ceramah

dan metode diskusi dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa tentang

(14)

1.4 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah :

1. Ada perbedaan rata-rata pengetahuan dan sikap siswa sebelum dan sesudah

mendapatperlakuandengan metode ceramah tentangperilakuseksualberisiko di

SMAN-1 Langsatahun 2015.

2. Ada perbedaan rata-rata pengetahuan dan sikap siswa sebelum dan sesudah

mendapatperlakuandengan metode diskusitentangperilakuseksualberisiko di

SMAN-1 Langsatahun 2015.

3. Metode diskusi lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa

tentang perilaku seksualberisiko di SMAN-1 Langsatahun 2015.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Bagi Dinas Kesehatan

Sebagai masukan bagi pengelola program dalam mengetahui metode penyuluhan

dan diskusi kelompok terarah cukup efektif dalam pencegahan perilaku seksual

bagi para remaja khususnya siswa SMAN 1 Langsa.

2. Bagi Masyarakat

Sebagai informasi tambahan dalam mencegah perilaku seksual di kalangan

Referensi

Dokumen terkait

Dari gambar 9 terlihat bahwa ada perubahan kekuatan geser pada masing- masing variasi adhesive dan terlihat bahwa nilai dari Komposit Sandwich Cantula 3D- UPRs dengan adhesive

pemberdayaan Masyarakat (BAPEMAS) dalam melaksnakan program pemberdayaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di Kepenghuluan Bagan Batu Barat perlu

Hambatan dan kendala yang dihadapi ada dalam pencapaian target yang telah ditetapkan : Terbitnya Permentan RI Nomor : 091/Permentan/OT.140/12/2012 tentang Petunjuk

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan dalam Pasal 4 Peraturan Bupati Nomor 44 Tahun 2017 tentang Kepala Perangkat Daerah berkewajiban menjadikan Reviu RPJMD

Adapun hal yang menyebabkan terjadinya perselisihan dan pertengkaran antara suami istri dalam putusan cerai talak terhadap wanita karier dikarenakan seorang istri

Ezyload Nusantara Surabaya dalam 8 bulan terakhir mulai bulan Mei – Desember 2010 menunjukkan telah terjadi kecenderungan penurunan jumlah pelanggan (counter) yang melakukan

(2) pengaruh penggunaan HCS dengan variasi bahan bakar bensin (Premium, Pertalite dan Pertamax) terhadap torsi dan daya sepeda motor Suzuki Satria FU150.. Penelitian ini