• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Kasus Putusan: No. 5 Pid. Sus 2012 PN. BTG)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Hukum Terhadap Korban Kekerasan Seksual Pada Anak Dalam Perspektif Viktimologi (Studi Kasus Putusan: No. 5 Pid. Sus 2012 PN. BTG)"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR

A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

Pencarian kenikmatan seksual orang dewasa yang berakibat merusak

fisik dan psikologis anak dalam hukum pidana Indonesia (KUHP) adalah

tindakan yang tercela. Artinya, ada “kekuatan normatif” yang diciptakan oleh

KUHP untuk menghambat libido disalurkan pada objek yang semestinya.45

Secara normatif, aturan mengenai kekerasan seksual terhadap anak di

dalam KUHP diatur sebagai berikut dalam Pasal 287 ayat (1) KUHP, yakni:

Barang siapa bersetubuh dengan perempuan yang bukan istrinya, sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya, bahwa umur perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa perempuan itu belum masanya untuk dikawin, dihukum penjara selama-lamanya Sembilan tahun.

Berdasarkan aturan tersebut diperkirakan oleh KUHP menilai

persetubuhan antara orang dewasa dengan anak akan berdampak merusak

secara fisik dan psikologis anak. Karena dampak tersebutlah maka tindak

pidana tersebut dianggap oleh KUHP sebagai tindak pidana kejahatan dan

harus dihukum.

Kemudian dalam pasal 287 ayat (2) KUHP, disebutkan bahwa

kekerasan seksual terhadap anak termasuk kepada delik aduan, sebagai

berikut:

45

(2)

Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan kecuali jika umurnya perempuan itu belum 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada pasal 291 dan 294.

Pada pasal 291 KUHP, ancaman hukuman diperberat menjadi 12 tahun

jika mengakibatkan luka parah dan 15 tahun, jika tindak pidana tersebut

mengakibatkan kematian.

Sedangkan, pada pasal 294 adalah sebagai berikut:

Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum dewasa, anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya, atau dengan seseorang yang belum dewasa yang dipercayakan padanya untuk ditanggung, dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau sebawahannya yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.

Berdasarkan bunyi dari kedua pasal tersebut diatas, dapat dipahami

bahwa delik aduan dapat berubah menjadi delik murni (delik yang tanpa

permintaan menuntut, Negara akan segera bertidak untuk melakukan

pemeriksaan), jika hubungan seksual yang dilakukan orang dewasa dengan

anak-anak masuk kategori anak yang berada dibawah usia 12 Tahun.

Kemudian, berada di atas usia 12 tahun atau 15 tahun dengan syarat hubungan

seksual tersebut menyebabkan luka parah hingga kematian. Dan apabila

hubungan seksual tersebut dilakukan oleh orang tua kepada anak kandungnya

sendiri, anak tirinya, anak angkatnya, anak asuhnya atau anak yang

dipercayakan untul didikan dan dirawat.46

Secara umum larangan pemerkosaan terhadap kaum perempuan (baik

perempuam dewasa dan anak-anak) diatur dalam Pasal 285 KUHP, sebagai

berikut: “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa

46

(3)

perempuan yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena

memperkosa, dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.”

Kemudian, dalam KUHP juga mengatur kekerasan seksual yang

dilakukan dengan cara membujuk atau merayu agar melakukan

sesuatu(berhubungan seksual) tanpa secara paksa atau melalui iming-iming.

Mengenai hal tersebut diatur di dalam:

Pasal 290 Ayat 3e KUHP, yaitu: “Dengan hukuman penjara selama

-lamanya tujuh tahun dihukum: Barang siapa membujuk (menggoda)

seseorang, yaitu diketahui atau patut harus disangkanya, bahwa umur orang itu

belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya, bahwa orang

itu belum masanya belum kawin, akan melakukan atau membiarkan dilakukan

pada dirinya perbuatan cabul, atau akan bersetubuh dengan orang lain dengan

tiada kawin.

Pasal 293 Ayat (1) KUHP, yaitu: “Barang siapa dengan

mempergunakan hadiah atau perjanjian akan memberi uang atau barang,

dengan salah mempergunakan pengaruh yang berkelebih-lebihan yang ada

disebabkan oleh perhubungan yang sesungguhnya ada atau dengan tipu,

sengaja membujuk orang yang belum dewasa yang tidak bercacat

kelakuannya, yang diketahuinya atau patut harus disangkanya, belum dewasa,

akan melakukan perbuatan cabul dengan dia atau membiarkan dilakukan

perbuatan yang demikian pada dirinya, dihukum penjara selama-lamanya lima

(4)

Pasal 290 Ayat (2e) KUHP, yaitu: “Dengan hukuman penjara selama

-lamanya tujuh tahun dihukum: barang siapa melakukan perbuatan cabul

dengan seseorang sedang diketahuinya atau patut harus disangkanya bahwa

umur orang itu belum cukup 15 tahun atau kalau tidak nyata berapa umurnya,

bahwa orang itu belum masanya untuk dikawin.”

Kemudian, adanya kekerasan seksual terhadap anak didalam

lingkungan rumah tangga, terbagi menjadi dua kategori yakni pemerkosaan

suami terhadap istrinya yang masih anak-anak dan pemerkosaan orang tua

terhadap anak asuhnya.47 Yang dilarang dalam KUHP hanyalah

menyetubuhinya bukan tentang menikahinya, sebagaimana hal tersebut diatur

dalam Pasal 288 Ayat (1), sebagai berikut, “Barang siapa bersetubuh dengan

isterinya yang diketahuinya atau patut disangkanya, bahwa perempuan itu

belum masanya dikawinkan, dihukum penjara selama-lamanya empat tahun,

kalau perbuatan itu berakibat badan perempuan itu mendapat luka.”

Perbuatan cabul dalam kategori terhadap anak asuhnya diatur dalam

Pasal 294 Ayat (1) KUHP, yaitu, “Barang siapa melakukan perbuatan cabul

dengan anaknya yang belum dewasa, anak tiri atau anak pungutnya, anak

peliharaannya, atau dengan seseorang yang belum dewasa yang dipercayakan

padanya untuk ditanggung, dididik, atau dijaga, atau dengan bujang atau orang

sebawahnya yang belum dewasa, dihukum dengan penjara selama-lamanya

tujuh tahun.”

47

(5)

Kejahatan yang menyebabkan atau mempermudah anak untuk berbuat

cabul diatur di dalam Pasal 295 Ayat (1) sub-ayat 1e dan 2e, yaitu: “Dihukum:

dengan hukuman penjara selama-lamanya lima tahun, barang siapa yang

dengan sengaja menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul yang

dikerjakan oleh anaknya, anak tirinya, atau anak angkatnya yang belum

dewasa, oleh anak yang dibawah pengawasannya, orang yang belum dewasa

yang diserahkan kepadanya, supaya dipelharanya, dididiknya, atau dijaganya

atau bujangnya dibawah umur orang yang dibawahnya dengan orang lain” ;

“Dihukum: dengan hukuman penjara selama-lamanya menjadi empat tahun,

barang siapa yang dengan sengaja diluar hal-hal yang tersebut pada 1e,

menyebabkan atau memudahkan perbuatan cabul dengan orang lain yang

dikerjakan oleh orang belum dewasa yang diketahuinya atau patut

disangkanya, bahwa ia ada belum dewasa.”

B. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Perbuatan cabul adalah suatu perbuatan yang mutlak melanggar

kesusilaan. Perilaku seksual terhadap anak (seksual abuse) merupakan salah

satu masalah dalam ruang lingkup penelantaraan anak. Apabila penelantaraan

anak dengan segala ekses-eksesnya tidak segera ditangani, maka tidak dapat

disangkal lagi akan masa depan bangsa yang suram. Alasan apapun yang

menjadikan penyebab anak-anak dalam perilaku seksual adalah perilaku

penyimpangan. Perilaku seksual yang melibatkan anak-anak baik untuk tujuan

objek seksual maupun untuk komersial, memberikan pengaruh negatif bagi

(6)

Dalam Pasal 1 ayat 2 disebutkan bahwa Perlindungan anak adalah

segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar

dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasan dan diskriminasi.

Dalam Pasal 3 Undang-undang No 23 Tahun 2002, yaitu:

“Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hakhak anak agar

dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai

dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari

kekerasaan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang

berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”.

Undang-undang No. 23 tahun 2002 menegaskan bahwa

pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara

merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi

terlindunginya hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan

dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik,

mental, spiritual maupun sosial. Tindakan ini dimaksudkan untuk

mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus

bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh

akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan

dan persatuan bangsa dan negara. Upaya perlindungan anak perlu

dilaksanakan sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai

(7)

Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi setiap

anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.48

Berbicara tentang hukum perlindungan anak pada hekekatnya adalah

bersangkut paut dengan dengan perlindungan melalui sarana hukum untuk

mewujudkan kesejahteraaan anak dengan memberikan jaminan terhadap

pemenuhan hak-haknya serta adanya perlakuan tanpa diskriminasi, sehingga

dengann demikian anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik

fisik, mental maupun sosial. Dalam hal ini pengaturannya terdapat didalam

UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-undang yang khusus memberikan perlindungan terhadap anak

adalah UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Undang-undang

Perlindungan Anak ). Perlindungan anak dalam Undang-undang Perlindungan

Anak segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya

agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal

sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi.49

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

lahir sebagai upaya pemerintah dalam menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga

negaranya, termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak

asasi manusia.50

48

Suparman Marzuki, Pengadilan HAM di Indonesia Melanggengkan Impunity, (Yogyakarta: Erlangga, 2012), hlm. 256.

49

Pasal 1 Ayat 2 Undang-Undang Perlindungan Anak

50

(8)

Pada hakikatnya, terlaksananya upaya Negara dalam perlindungan

anak di wajibkan mampu menjamin tercapainya anak-anak di negeri ini agar

mendapatkan perhatian yang besar akan perlindungannya. Dalam

hubungannya anak yang dijadikan sebagai korban atas suatu tindak pidana

dalam bentuk kekerasan tentu haruslah diberikan perlindungan seutuhnya,

secepatnya, dan setepatnya. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002

Tentang Perlindungan Anak dijelaskan bahwa bentuk-bentuk kekerasan

terhadap anak sebagai korbannya beragam jenisnya, mulai dari kekerasan

yang mengakibatkan luka fisik, kekerasan yang mengakibatkan luka secara

psikiologis(pikiran), serta kekerasan seksual. Mengenai perlindungan anak

dalam masalah kekerasan seksual tercantumkan jelas hak anak tersebut agar

dilindungi pada pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Anak No. 23 Tahun

2002 dijelaskan pula bahwa “Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh,

berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan

martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan

diskriminasi.”

Negara atau Pemerintah dan masyarakat berkewajiban untuk

bertanggung jawab memberikan dukungan, sarana, dan prasarana dalam

penyelenggaraan perlindungan anak. Setiap anak selama dalam pengasuhan

orang tuanya, wali, atau siapapun berhak mendapat perlindungan dari

perlakuan dari bentuk diskriminasi, eksploitasi, baik ekonomi maupun

seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan, dan

(9)

perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, penjatuhan hukuman

yang tidak manusiawi, dan lain-lain. Hal tersebut merupakan penjelasan

singkat dari Pasal 1 Ayat 15 mengenai Perlindungan Anak, dijelaskan bahwa

secara singkat, perlindungan anak dari kekerasan seksual merupakan

perlindungan secara khusus dimana tercantum bahwa perlindungan tersebut

mutlak harus diberikan kepada anak sebagai korban kekerasan fisik dan/atau

mental.

Sesuai dengan Pasal 1 Angka 12 bahwa “Hak anak adalah bagian dari

hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang

tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.”

Hal tersebut diatas berarti menegaskan bahwa oknum-oknum

masyarakat hingga aparat penegak hukum beserta dengan Negara itu sendiri

berkewajiban untuk turut serta dalam melakukan upaya perlindungan terhadap

hak-hak anak tersebut mulai dari keluarga, masyarakat, pemerintah, dan

Negara.

Komitmen pemerintah terhadap perlindungan anak sesungguhnya telah

ada sejak berdirinya negara ini. Hal ini bisa dilihat dari Pembukaan UUD

1945, disebutkan bahwa tujuan didirikannya negara ini antara lain untuk

memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Secara

(10)

didominasi konotasi anak karena mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya

dilakukan melalui proses pendidikan.51

Lalu perlindungan anak juga mengikutsertakan adanya Komisi

Perlindungan Anak sebagai instansi yang turut wajib melindungi hak asasi

anak-anak tersebut. Hal tersebut tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak pada Bagian XI Mengenai Komisi

Perlindungan Anak pada Pasal 74 sampai dengan Pasal 76.

Dalam Pasal 76 memuat mengenai tugas Komisi Perlindungan Anak,

yaitu:

1. Melakukan sosialisasi seluruh ketentuan peraturan perundang-undangan

yang berkaitan dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan

informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan,

pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan

perlindungan anak;

2. Memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada Presiden

dalam rangka perlindungan anak

Perlindungan hukum bagi anak sebagai korban tindak pidana dalam

UU Nomor 23 Tahun 2002 tercantum dalam berbagai Pasal berikut yaitu:

a. Dalam upaya Perlindungan Anak termasuk sebagai bentuk Perlindungan

secara khusus, maka hal tersebut di atur pada Bagian Kelima dari UU No.

23 Tahun 2002 pada Pasal 59 yang mencantumkan bahwa, Pemerintah

dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk

51

(11)

memberikan perlindungan khusus kepada anak dalam situasi darurat, anak

yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan

terisolasi, anak tereksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang

diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,

alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban

penculikan, penjualan dan perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik

dan/atau mental, anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan

salah dan penelantaran.”

b. Pada Pasal 64 Ayat 3 dicantumkan, bahwa:

“Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui :

1. upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga;

2. upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa

dan untuk menghindari labelisasi;

3. pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli,

baik fisik, mental, maupun sosial; dan

4. pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai

perkembangan perkara.”

c. Pada Pasal 69 mencantumkan bahwa:

(1) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 59 meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual

(12)

1. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan

perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan; dan

2. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.

(2) Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan,

menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

d. Mengenai peran masyarakat dicanntukan dalam Pasal 72, bahwa:

(1) Masyarakat berhak memperoleh kesempatan seluas-luasnya untuk

berperan dalam perlindungan anak.

(2) Peran masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan

oleh orang perseorangan, lembaga perlindungan anak, lembaga sosial

kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan,

lembaga keagamaan, badan usaha, dan media massa.

e. Pasal 77 yang mencantumkan bahwa:

Ayat 2. penelantaran terhadap anak yang mengakibatkan anak mengalami

sakit atau penderitaan, baik fisik, mental, maupun sosial,

Ayat 3. dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).

f. Pasal 78 yang mencantumkan bahwa:

Setiap orang yang mengetahui dan sengaja membiarkan anak dalam situasi

darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, anak yang berhadapan

dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi, anak yang

(13)

diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,

alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban

penculikan, anak korban perdagangan, atau anak korban kekerasan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, padahal anak tersebut memerlukan

pertolongan dan harus dibantu, dipidana dengan pidana penjara paling

lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00

(seratus juta rupiah).

g. Pada Pasal 80 mencantumkan bahwa:

(1) Setiap orang yang melakukan kekejaman, kekerasan atau ancaman

kekerasan, atau penganiayaan terhadap anak, dipidana dengan pidana

penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda

paling banyak Rp 72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).

(2) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat,

maka pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)

tahun dan/atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta

rupiah).

(3) Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) mati, maka

pelaku dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

dan/atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta

rupiah).

(4) Pidana ditambah sepertiga dari ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) apabila yang melakukan

(14)

h. Pada Pasal 81 mencantumkan bahwa:

(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau

dengan orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15

(lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling

banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit

Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku pula

bagi setiap orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan, atau membujuk anak melakukan

persetubuhan dengannya atau dengan orang lain

i. Pada Pasal 82 mencantumkan bahwa:

Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman

kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,

atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan

perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima

belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp

300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp

60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).

j. Pada Pasal 88 mencantumkan bahwa:

Setiap orang yang mengeksploitasi ekonomi atau seksual anak dengan

(15)

dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda

paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Hak anak merupakan hak yang paling mutlak. Tidak ada satupun

halangan yang dapat ditujukan kepada anak untuk membatasi hak untuk

berkembang walaupun anak tersebut ternyata mesti harus berurusan dengan

perilaku pelanggaran hukum perlindungan terhadap hak-hak anak tidak pernah

habis-habisnya menjadi fenomena biasa dalam kehidupan di Indonesia saat

ini.

C. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak (Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002)

Semakin meluas dan maraknya kasus tindak pidana yang melibatkan

anak sebagai korban maka semakin mendorong tercapainya kewajiban dalam

pemenuhan tugas perlindungan anak beserta perkembangannya. Sebagai

implementasinya, Pemerintah kemudian mengesahkan Undang-Undang

Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian dilakukan

perubahan terhadap beberapa ketentuannya menjadi Undang-Undang Nomor

35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002

tentang Perlindungan Anak. Berdasarkan bukti empiris anak dan perempuan

merupakan posisi rentan menjadi korban kekerasan seksual. Dalam hal ini

efektivitas Undang-Undang Perlindungan Anak dalam memberikan

perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban kekerasan seksual

dikaitkan dengan faktor-faktor terjadinya kekerasan seksual tersebut. Sejauh

(16)

menyangkut perlindungan hukum terhadap anak korban perdagangan orang

sudah memadai. Namun, belum secara menyeluruh atau efektif penerapannya

dilaksanakan dalam masyarakat. Sebagai bagian dari perlindungan dalam

tindak pidana yang extreme, maka sudah jelas perlindungan yang diberikan

berupa perlindungan khusus.

Jaminan perlindungan dan pemenuhan hak anak ini ditandai dalam

UUD 1945 dan beberapa ketentuan peraturan perundangundangan baik yang

bersifat nasional maupun internasional. Jaminan ini dikuatkan melalui

ratifikasi konvensi internasional tentang hak anak, yaitu pengesahan Konvensi

Hak Anak melalui Keputusan Presiden Nomor 36 tahun 1990 tentang

Pengesahan Convention On The Rights Of The Child (Konvensi Tentang

Hak-Hak Anak).52

Dalam perkembangan UUPA No. 23 Tahun 2002 menjadi UUPA No.

35 Tahun 2014, mengalami beberapa perubahan-perubahan. Perihal perubahan

tersebut dalam bentuk pengurangan, penambahan ataupun penyempurnaan

makna. Perubahan-perubahan dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

yang berhubungan dengan anak sebagai korban kekerasan seksual, yaitu:

a. Ketentuan Pasal 1 Angka 12, menjadi:

Hak Anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin,

dilindungi, dan dipenuhi oleh Orang Tua, Keluarga, masyarakat, negara,

pemerintah, dan pemerintah daerah.

b. Ketentuan Pasal 1 Angka 15, menjadi:

52

(17)

Perlindungan Khusus adalah suatu bentuk perlindungan yang diterima oleh

Anak dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mendapatkan jaminan rasa

aman terhadap ancaman yang membahayakan diri dan jiwa dalam tumbuh

kembangnya.

Sebelumnya (pada UU No. 23 Tahun 2002), Perlindungan khusus

adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam situasi darurat, anak

yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,

anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang

diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika,

alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan,

penjualan, perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental,

anak yang menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan

penelantaran.), dapat disimpulkan bahwa pada UUPA yang baru makna dan

tujuan dari perlindungan khusus dipersingkat dan diubah agar dapat mewakili

bentuk dan fungsi perlindungan khusus kepada anak dalam aspek dan jenis

tindak pidana atau kejahatan yang lebih luas. Sehingga kejahatan-kejahatan

atau tindak pidana yang dilakukan terhadap anak diluar dari jenis kejahatan

yang disebutkan dalam pasal 1 angka 15 UUPA lama, kini dapat diupayakan

perlindungan khusus selama tindakan, kondisi tersebut membahayakan

keberadaan anak tersebut.

c. Ketentuan Pasal 15 ditambahin 1(satu) yakni ditambahnya huruf f,

sehingga berbunyi sebagai berikut:

(18)

a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; c. pelibatan dalam kerusuhan sosial;

d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur Kekerasan; e. pelibatan dalam peperangan; dan

f. kejahatan seksual.

d. Ketentuan Pasal 20 diubah sebagai berikut:

Negara, Pemerintah, Pemerintah Daerah, Masyarakat, Keluarga, dan

Orang Tua atau Wali berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap

penyelenggaraan Perlindungan Anak.

Dalam pasal yang mengenai kewajiban siapa yang bertanggung jawab

dalam penyelenggaraan Perlindungan Anak, ditambahkan adanya peran

Pemerintah Daerah yang turut bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan

Perlindungan Anak.

e. Ketentuan Pasal 54 diubah dan ditambah penjelasan ayat (1) sehingga

berbunyi sebagai berikut:

(1) Anak di dalam dan di lingkungan satuan pendidikan wajib

mendapatkan perlindungan dari tindak Kekerasan fisik, psikis,

kejahatan seksual, dan kejahatan lainnya yang dilakukan oleh

pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak

(19)

(2) Perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh

pendidik, tenaga kependidikan, aparat pemerintah, dan/atau

Masyarakat.

f. Ketentuan Pasal 59 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

(1) Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya

berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan Perlindungan

Khusus kepada Anak.

(2) Perlindungan Khusus kepada Anak sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diberikan kepada:

a. Anak dalam situasi darurat;

b. Anak yang berhadapan dengan hukum;

c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;

d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;

e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,

psikotropika, dan zat adiktif lainnya;

f. Anak yang menjadi korban pornografi;

g. Anak dengan HIV/AIDS;

h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;

i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;

j. Anak korban kejahatan seksual;

k. Anak korban jaringan terorisme;

l. Anak Penyandang Disabilitas;

(20)

n. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan

o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait

dengan kondisi Orang Tuanya.

g. Ditambahkannya satu pasal diantara Pasal 59 dan Pasal 60, yakni Pasal

59A, mengenai Perlindungan Khusus bagi anak dalam upaya:

a. penanganan yang cepat, termasuk pengobatan dan/atau

rehabilitasi secara fisik, psikis, dan sosial, serta pencegahan

penyakit dan gangguan kesehatan lainnya;

b. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai

pemulihan;

c. pemberian bantuan sosial bagi Anak yang berasal dari Keluarga

tidak mampu; dan

d. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap proses

peradilan.

h. Ketentuan Pasal 69 diubah sebagai berikut:

Perlindungan Khusus bagi Anak korban Kekerasan fisik

dan/atau psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2)

huruf i dilakukan melalui upaya:

a. penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan

perundang-undangan yang melindungi Anak korban tindak Kekerasan; dan

b. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi.

i. Ditambahkannya dua pasal di antara Pasal 69 dengan Pasal 70, yaitu

(21)

namun diantara keduanya, pasal yang menyangkut Perlindungan Khusus

bagi Anak korban kejahatan seksual ialah Pasal 69A:

Pasal 69A sebagai berikut:

Perlindungan Khusus bagi Anak korban kejahatan seksual sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 59 ayat (2) huruf j dilakukan melalui upaya:

a. edukasi tentang kesehatan reproduksi, nilai agama, dan nilai

kesusilaan;

b. rehabilitasi sosial;

c. pendampingan psikososial pada saat pengobatan sampai pemulihan;

dan

d. pemberian perlindungan dan pendampingan pada setiap tingkat

pemeriksaan mulai dari penyidikan, penuntutan, sampai dengan

pemeriksaan di sidang pengadilan.

e. Mengenai Hak Restitusi diatur dalam Pasal 71D, yaitu:

(1) Setiap Anak yang menjadi korban sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 59 ayat (2) huruf b, huruf d, huruf f, huruf h, huruf i, dan

huruf j berhak mengajukan ke pengadilan berupa hak atas restitusi

yang menjadi tanggung jawab pelaku kejahatan.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan restitusi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah

Yang dimaksud dengan “restitusi” adalah pembayaran ganti kerugian

yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang

(22)

diderita korban atau ahli warisnya. Khusus untuk Anak yang berhadapan

dengan hukum yang berhak mendapatkan restitusi adalah Anak korban.

k. Pasal 74 mengenai Komisi Perlindungan Anak:

(1) Dalam rangka meningkatkan efektivitas pengawasan penyelenggaraan

pemenuhan Hak Anak, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi

Perlindungan Anak Indonesia yang bersifat independen.

(2) Dalam hal diperlukan, Pemerintah Daerah dapat membentuk Komisi

Perlindungan Anak Daerah atau lembaga lainnya yang sejenis untuk

mendukung pengawasan penyelenggaraan Perlindungan Anak di

daerah.

l. Penambahan tugas Komisi Perlindungan Anak Indonesia pada Pasal 76

menjadi:

a. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan perlindungan dan

pemenuhan Hak Anak;

b. memberikan masukan dan usulan dalam perumusan kebijakan tentang

penyelenggaraan Perlindungan Anak.

c. mengumpulkan data dan informasi mengenai Perlindungan Anak;

d. menerima dan melakukan penelaahan atas pengaduan Masyarakat

mengenai pelanggaran Hak Anak;

e. melakukan mediasi atas sengketa pelanggaran Hak Anak;

f. melakukan kerja sama dengan lembaga yang dibentuk Masyarakat di

(23)

g. memberikan laporan kepada pihak berwajib tentang adanya dugaan

pelanggaran terhadap Undang-Undang ini.

m. Ditambahkannya 10 (sepuluh) pasal dari Pasal 76 sehingga adanya Pasal

76A-76J. Kemudian yang merupakan pasal yang berhubungan dengan

kekerasan/kejahatan seksual terhadap anak yaitu:

Pasal 76D, bahwa: “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau

ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya

atau dengan orang lain.”

Pasal 76E, bahwa: “Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau

ancaman Kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan

serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak untuk melakukan atau

membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”

n. Ketentuan Pasal 81 diubah mengenai lama masa tahanan dan lebih

besarnya denda yang dikenakan akibat tindak pidana.

(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)

tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula

bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat,

serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan

(24)

(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau

tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari

ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

o. Ketentuan Pasal 82 diubah menjadi:

Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 76F dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun

dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit

Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan paling banyak

Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang

Perlindungan Anak juga mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi

pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap Anak, untuk memberikan

efek jera, serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan

kembali fisik, psikis dan sosial Anak korban dan/atau Anak pelaku kejahatan.

Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi Anak korban dan/atau

Anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang

sama.53

53

Referensi

Dokumen terkait

Pengaruh tidak langsung dari kualitas pelayanan (X1) terhadap variabel loyalitas konsumen (Y) melalui variabel intervening kepuasan konsumen (Z) sebesar 0,051

Dengan terbuktinya ekstrak daun Terap, Sukun dan Nangka memiliki aktivitas insektisida yang bersifat antifidan terhadap hama Rayap, maka perlu dilakukan tindakan

karena, saat kepergiaan suami banyak orang yang merasa kehilangan suaminya salah satunya anak dan ibunya serta orang tua suami, disaat irtu juga informan berusaha

[r]

This study was based on the theories of language and culture; language function, the choice of words and the language style in relation with the social

Masalah yang terdapat pada siswa kelas IV MI Miftahul Huda Soga Desa Tenajar Kidul Kecamatan Kertasemaya Kabupaten Indramayu adalah rendahnya hasil belajar siswa pada mata

Demikian pengumuman ini kami sampaikan dan bagi peserta pengadaan yang keberatan atas penetapan hasil kualifikasi dapat mengajukan sanggahan secara tertulis kepada

Potensi wisata adalah sumberdaya alam yang beraneka ragam, dari aspek fisik dan hayati, serta kekayaan budaya manusia yang dapat dikembangkan untuk pariwisata. Banyu