• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAJUAN DAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMAJUAN DAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANU"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

PEMAJUAN DAN PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA DALAM KONTEKS HUBUNGAN INTERNASIONAL DAN INDONESIA

Simela Victor Muhamad*)

Abstract

Human rights are one of global issue which until today draws serious attention in international relations study. The issue arises because of the continuing increase of human rights abuses in many parts of the world, which shows that the promotion and protection of human rights was still in poor condition. The writer argued that the promotion and protection of human rights should have a specific area in international relations. At this point, all actors have to play a role in pushing such an effort. This essay discusses how to promote and protect human rights at national, regional and international levels by describing the role of state and non-state actors. The discussion will also include the relationship between human rights and democracy, and the promotion and protection of human rights in Indonesia.

Kata-kata Kunci: Hak Asasi Manusia (HAM), Pemajuan dan Perlindungan HAM, HAM dalam Hubungan Internasional, HAM di Indonesia.

I. Pendahuluan

A. Latar Belakang

Sejak berakhirnya Perang Dingin akhir tahun 1980an,1 isu Hak Asasi

Manusia (HAM) menjadi perdebatan hangat dalam politik global. Sejalan dengan

*) Peneliti Madya Bidang Masalah-masalah Hubungan Internasional pada Pusat Pengkajian,

Pengolahan Data dan Informasi (P3DI) Sekretariat Jenderal DPR RI. E-mail:

victorsimela@yahoo.co.id

1 Secara resmi apa yang dikenal sebagai Perang Dingin berakhir pada 1989-1990 dengan runtuhnya

(2)

kemenangan ideologi liberalisme, perhatian terhadap hak individu dan kelompok semakin meningkat dan kedaulatan negara tidak lagi dilihat sebagai hambatan untuk melakukan pemajuan HAM. Hal ini tidak berarti bahwa dalam periode sebelumnya isu HAM tidak diperhatikan, tetapi isu keamanan nasional dan internasional lebih mendominasi percaturan politik dunia sehingga negara menjadi aktor utama dan unit analisis. Sejak tahun 1948 dunia telah memiliki Universal Declaration of Human Rights sebagai pedoman bagi semua negara untuk menghormati HAM. Dalam periode selanjutnya komunitas internasional menghasilkan berbagai konvensi dan perjanjian internasional sebagai bentuk komitmen terhadap pentingnya hak asasi manusia.

Eksistensi konvensi internasional tentang HAM tidak dengan sendirinya menjamin penghormatan terhadap HAM karena berbagai bentuk dan macam pelanggaran HAM masih saja terjadi di berbagai kawasan dunia. Pelanggaran HAM dalam bentuk pembunuhan massal (mass killings), penyiksaan, pemerkosaan, penculikan dan penahanan tanpa proses pengadilan merupakan gejala yang umum terjadi di negara-negara yang dilanda konflik separatis atau komunal. Praktik ethnic cleansing yang terjadi di Bosnia, Rwanda, Darfur, Kudistan di bawah rezim Saddam Hussein dan tempat-tempat lainnya merupakan contoh nyata kejahatan kemanusiaan yang menimbulkan keprihatinan global. Pembunuhan terhadap pekerja kemanusiaan yang dilakukan oleh kelompok Taliban di Afghanistan juga merupakan pelanggaran HAM karena rakyat yang tidak bersalah tidak harus menanggung akibat dari kebijakan pemerintahnya. Jutaan pengungsi di seluruh dunia yang terpaksa melarikan diri dari tempat tinggalnya karena konflik yang berkepanjangan menunjukkan bahwa pada abad 21 ini human security atau keamanan manusia juga masih sebatas retorika yang sulit diwujudkan dalam kenyataan.2 Sementara itu nasib buruh migran,

khususnya Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia yang bekerja di Timur Tengah, seperti Arab Saudi dan Kuwait, serta negara-negara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura, juga sangat memprihatinkan nasibnya karena perlakuan yang diterima di negara-negara tersebut tidak berbeda dengan perbudakan zaman

2 Dalam konteks ini perlu dibedakan antara pengungsi dan Internally Displaced Persons (IDPs).

(3)

modern.3 Dalam hal ini pelanggaran HAM tidak hanya dilakukan oleh aparat

keamanan di negara-negara tersebut tetapi juga oleh individu-individu yang bertindak sebagai majikan.

Beberapa waktu yang lalu, Maret 2008, masyarakat internasional juga menyaksikan di media bagaimana pemerintah Cina menindas demonstrasi yang dilakukan oleh warga Tibet yang melakukan aksi protes terhadap kebijakan Beijing di wilayah itu.4 Pelanggaran HAM juga dilakukan secara rutin dan

sistematis oleh pemerintah Myanmar terhadap kaum oposisi yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi, namun negara-negara ASEAN seperti tidak berdaya atau kurang berminat melakukan tekanan yang lebih kuat terhadap junta militer Myanmar untuk melakukan perubahan politik menuju demokrasi di negara itu. Indonesia juga tidak terlepas dari sorotan internasional karena berbagai kasus HAM di masa lalu yang belum terselesaikan secara tuntas sehingga kredibilitas Indonesia di mata dunia belum sepenuhnya memuaskan. Kasus pembunuhan aktivis HAM Munir, misalnya, menjadi keprihatinan internasional karena sulitnya mengungkap dalang atau otak di balik tragedi kemanusiaan tersebut.

Pelanggaran HAM juga dilakukan oleh negara-negara maju dalam bentuk yang agak berbeda. Misalnya dalam perang melawan terorisme global, pemerintah Amerika Serikat (AS) di bawah Presiden George W. Bush Jr. dituduh telah melakukan pelanggaran HAM karena menahan para tersangka teroris di Guantanamo tanpa melalui prosedur pengadilan. Meskipun AS menyebut para tahanan di Guantanamo sebagai enemy combatants, NGO dan aktivis HAM internasional tetap menganggap kebijakan militer AS itu sebagai praktik yang melanggar Konvensi Geneva tentang tahanan perang.5 Pelanggaran HAM juga

dilakukan militer AS dengan melakukan penyiksaan terhadap tahanan di penjara Abu Ghraib di Irak. Pelanggaran terhadap kebebasan sipil juga terjadi ketika negara-negara maju mulai memperkenalkan kebijakan keamanan dalam negeri melalui pengaturan tentang intelijen yang dianggap terlalu jauh masuk ke dalam kehidupan privasi seseorang yang dituduh melakukan tindakan kejahatan

3 “Buruh Migran Indonesia di Saudi Alami Kekerasan Kejam,” http://www.gatra.com/2008-07/

artikel.php?id=116406 diakses 8 Agustus 2008. lihat juga Wahyu Susilo, “Masalah Buruh Migran Indonesia Dalam Sidang Dewan HAM,” Laporan Migrant Care, 30 Juli 2007.

4 Jim Yardley, “Monk protests in Tibet draw Chinese security,” International Herald Tribune, 14

Maret 2008.

5 Gabor Rona, “War doesn’t justify Guantanamo,” the Financial Times, 1 March 2004,

(4)

terorisme. Lembaga internasional juga tidak lepas dari tudingan pelanggaran HAM, seperti IMF dan Bank Dunia yang memaksa negara yang menerima bantuannya untuk memotong subsidi kepada penduduk miskin demi tercapainya anggaran negara yang efisien. Sebagai akibat dari kebijakan penyesuaian secara struktural (structural adjustment policies) ini, jutaan rakyat hidup di bawah garis kemiskinan dan bahkan menderita kelaparan.

Masih terjadinya berbagai bentuk pelanggaran HAM di berbagai kawasan dunia sebagaimana dikemukakan di atas menunjukkan bahwa pemajuan dan perlindungan HAM masih menjadi masalah serius dalam hubungan internasional. Oleh karena itu, diperlukan upaya secara sungguh-sungguh dari berbagai pihak terutama aktor-aktor yang memiliki pengaruh dan peran secara internasional untuk memajukan dan melindungi HAM.

B. Permasalahan

Hal yang tidak dapat dielakkan bahwa HAM kini telah menjadi salah satu isu penting dalam kehidupan masyarakat suatu negara dan juga dalam kehidupan masyarakat internasional. Hal ini terlihat dari paparan kenyataan di atas di mana isu HAM ternyata telah mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat baik secara politik dan ekonomi maupun sosial dan budaya, baik dalam konteks nasional maupun global. Sementara itu, sebagaimana juga diketahui, setiap negara saat ini sangat hirau dengan masalah image atau citra tentang perlindungan HAM karena ikut menentukan martabat bangsa tersebut dalam pergaulan internasional. Ini artinya adalah bahwa HAM memang telah menjadi isu penting dalam hubungan internasional dan tidak dapat diabaikan begitu saja oleh setiap negara di dunia. Di sisi lain, sejalan dengan gelombang demokratisasi yang melanda banyak negara di dunia, tuntutan perbaikan dalam soal HAM juga datang dari lingkungan internal, yaitu rakyat yang semakin sadar akan hak-hak dasarnya sebagai warga negara.

(5)

6 Paul R. Viotti dan Mark Kauppi. International Relations and World Politics: Security, Economy

and Identity. Upper Saddle River: Prentice Hall, 1997, hal. 18. Lihat juga Aleksius Jemadu. Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008, hal. 13-15.

hal tersebut relatif saling terkait satu sama lain. Hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang sampai sejauh ini masih mengalami hambatan dan terabaikan perwujudannya dibanding hak-hak sipil dan politik juga dibahas secara singkat dalam tulisan ini mengingat pemajuan dan perlindungan HAM dalam konteks hubungan internasional juga tidak boleh mengabaikan hal tersebut. Sementara itu pada bagian akhir, dalam konteks Indonesia, tulisan membahas mengenai pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia.

C. Kerangka Pemikiran

Dalam studi hubungan internasional dikenal ada sejumlah pendekatan yang dapat digunakan sebagai kerangka berpikir untuk memahami isu-isu hubungan internasional. Salah satu pendekatan dalam studi hubungan internasional adalah pendekatan pluralis, yang menurut hemat penulis relevan digunakan sebagai keranga pemikiran untuk membahas topik tulisan kajian ini. Dalam perspektif pluralisme isu-isu hubungan internasional memiliki dimensi yang sangat luas dan beragam. Tidak seperti kaum realis, yang lebih menekankan perhatiannya pada isu keamanan negara dan kekuatan militer (power), kaum pluralis lebih melihat isu hubungan internasional dalam konteks yang lebih luas dan cenderung menaruh concern pada isu-isu yang menyentuh kepentingan masyarakat.6 Mengacu pada pandangan kaum pluralis, tidak diragukan lagi

bahwa hak asasi manusia dapat dikategorikan sebagai isu hubungan internasional yang langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat, baik dalam pengertian individu-individu maupun kelompok masyarakat yang lebih luas.

(6)

berakhirnya Perang Dingin.7 Masih banyak isu lain tentunya yang juga menjadi

sorotan masyarakat internasional, tetapi setidaknya hak asasi manusia telah menjadi isu yang cukup menyita perhatian mengingat dimensi yang terkandung di dalamnya telah menggugah solidaritas umat manusia secara global. Jack Donelly mengemukakan bahwa “human rights are the rights one has simply by virtue of being a human rights.”8 HAM bukan pemberian dari lembaga eksternal

apapun tetapi melekat pada seorang individu karena status dan martabatnya sebagai manusia. Ini artinya, solidaritas umat manusia secara global harus diberikan ruang yang cukup untuk mempermasalahkan setiap bentuk pelanggaran HAM di manapun hal itu terjadi, dan ini berarti pula bahwa HAM telah menjadi isu global.

Dalam perspektif pluralisme, setiap isu dilihat dalam konteks yang lebih proporsional dan diberi makna yang sama penting. Terkait dengan pembahasan isu HAM, mengacu pada pendekatan pluralis, pemajuan dan perlindungan HAM juga harus dilihat dalam konteks yang proporsional. Artinya, berbagai macam HAM harus dilihat secara seimbang karena memiliki nilai yang sama penting. Pemajuan dan perlindungan HAM harus dilakukan secara seimbang antara HAM ekonomi, sosial dan budaya dan HAM sipil dan politik. Harus diakui, dalam pelaksanaannya hal itu tidak mudah, karena ada berbagai hambatan dan kepentingan.

Kaum pluralis berpandangan bahwa sistem hubungan internasional tidak semata-mata ditentukan oleh aktor negara (state actor), tetapi juga aktor-aktor non-negara (non-state actors). Dalam perspektif pluralisme, semua aktor, baik negara maupun non-negara, memiliki peran yang sama penting dalam sistem hubungan internasional. Aktor negara, melalui pemerintah, tidak diragukan sampai sejauh ini memiliki peran penting dalam pembuatan suatu kebijakan atau pengambilan langkah-langkah strategis atas isu-isu tertentu baik dalam konteks nasional maupun internasional. Aktor non-negara pun memiliki peran penting dan dapat berbuat banyak untuk merespon berbagai isu yang berkembang dalam kehidupan masyarakat nasional maupun internasional. Seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi dan dengan menggunakan jaringan yang dimilikinya, aktor non-negara dapat melakukan sesuatu yang signifikan bagi

7 Juwono Sudarsono, op.cit., hal. 13-14.

(7)

9 Pembahasan lebih jauh mengenai aktor-aktor dalam hubungan internasional lihat Charles W.

Kegley dan Eugene R. Wittkopf. World Politics: Trend and Transformation. Belmont: Wadsworth, 2003. Lihat juga dalam Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi. International Relations Theory: Real-ism, PluralReal-ism, Globalism. New York: Mcmillan Publishing Company, 1990.

10 David P. Forsythe, Human Rights in International Relations, Cambridge University Press,

2000, hal. 9-15.

terjadinya suatu perubahan kondisi ke arah yang lebih baik.9 Berdasarkan

kerangka pemikiran ini kiranya dapat dipahami bagaimana upaya pemajuan dan perlindungan HAM dilakukan baik dalam konteks hubungan internasional maupun nasional.

Secara singkat dengan demikian dapat dipahami bahwa di era globalisasi dan demokratisasi yang kini tengah melanda dunia, isu HAM dengan berbagai aspeknya tidak dapat dielakkan lagi telah berkembang sedemikian rupa sejalan dengan dinamika demokrasi yang mewarnai kehidupan masyarakat di tingkat nasional, regional dan global. HAM tidak lagi semata-mata menjadi hirauan masyarakat suatu negara tetapi juga telah menjadi hirauan masyarakat internasional, bahkan telah menjadi isu penting dalam hubungan antarnegara. Demikian pentingya isu HAM, David P. Forsythe dalam bukunya Human Rights in International Relations menyebutkan bahwa berbagai kepentingan pun senantiasa mewarnai pelaksanaan HAM baik dalam lingkup nasional, regional maupun global.10 Dalam realita hal itu terlihat dalam pelaksanaan HAM di suatu

negara dan juga dalam konteks hubungan internasional.

II. HAM: Sejarah dan Perkembangan

(8)

didasarkan pada pemikiran sekuler (human reasoning) dan bukan pada ajaran agama. Immanuel Kant memperkenalkan konsep categorical imperatives yang pada dasarnya mengandung prinsip-prinsip yang diterima secara universal untuk memperlakukan manusia lain sebagai tujuan dalam dirinya sendiri dan bukan sekadar alat. Menurut John Locke, HAM melekat pada setiap orang dan karena itu hak tidak bisa diambil atau diserahkan kepada orang atau lembaga lain tanpa persetujuan yang bersangkutan. Oleh karena itu eksistensi negara modern dengan kekuasaan koersif yang dimilikinya harus didasarkan pada asumsi bahwa warga negara telah menyerahkan hak-hak mereka dalam suatu hubungan kontraktual dengan negara.

Jean Jacques Rousseau lebih menekankan kenyataan bahwa individu merupakan bagian dari masyarakat dan karena itu kehendak umum (general will) harus lebih diutamakan daripada kehendak individu. John Rawls mengembangkan teori tentang keadilan sosial yang didasarkan pada prinsip reasonableness atau fairness dalam interaksi sosial antara manusia yang satu dengan manusia lain. Menurut Rawls interaksi sosial yang dilakukan berdasarkan sikap fairness atau cooperativeness secara timbal balik (reciprocity) dapat menjamin keadilan sosial dalam masyarakat. Warisan tradisi pemikiran kaum liberal ini jelas terlihat dalam pasal 1 Universal Declaration of Human Rights yang berbunyi: All human beings are born free and equal in dignity and rights. They are endowed with reason and conscience and should act towards one another in a spirit of brotherhood. Prinsip ini sesungguhnya sejalan dengan ajaran semua agama bahwa manusia harus saling menghargai dan menyayangi tanpa membedakan ras, agama, suku dan status sosial ekonomi.

Oleh karena itu tidak mengherankan kalau kemudian negara-negara Barat memiliki kodifikasi HAM dan mekanisme perlindungan HAM yang paling efektif dibandingkan dengan bangsa lainnya. Mungkin saja orang mengatakan bahwa negara-negara maju memiliki keistimewaan dalam hal mereka telah menjalani sejarah bernegara selama ratusan tahun sehingga negaranya mampu untuk bersikap responsif terhadap tuntutan masyarakatnya dibandingkan dengan negara-negara berkembang yang relatif baru. Tetapi perlu dicatat bahwa komitmen untuk melindungi HAM warga negara juga merupakan masalah pilihan atau kemauan dari pihak pemerintah tanpa harus menunggu ratusan tahun mengingat semakin pentingnya HAM dalam peradaban manusia modern.

(9)

pemerintahan yang kemudian ditiru oleh negara-negara jajahannya. Pada tahun 1215 Inggris telah memiliki Magna Charta yang isinya antara lain memuat prinsip-prinsip untuk membatasi kekuasaan pemerintah demi kepentingan hak dan kebebasan warga negara. Pada tahun 1689 Inggris menghasilkan English Bill of Rights yang menjadi landasan untuk monarkhi konstitusionalnya. Pengalaman Inggris serta pemikiran tentang HAM yang berkembang di sana pada abad 16 dan 17 memberikan inspirasi bagi AS baik melalui Declaration of Independence tahun 1776 maupun amandemen Konstitusi AS atau The US Bill of Rights tahun 1791.11

Para founding fathers AS yang menulis The Federalist Papers seperti Alexander Hamilton, James Madison dan John Jay mendapatkan inspirasi dari John Locke dalam memberikan jaminan konstitusional bahwa tata pemerintahan yang akan dibentuk tidak akan melanggar hak-hak yang tidak dapat dipisahkan dari setiap individu warga negara AS. Selanjutnya untuk membatasi kekuasaan pemerintah dibangunlah sistem pemerintahan AS yang didasarkan pada tiga pilar utama, yaitu pemisahan dan pembagian kekuasaan, bikameralisme legislatif dan federalisme. Sistem Checks and balances yang diterapkan oleh AS mencegah pemusatan kekuasaan pada satu badan pemerintahan serta penyalahgunaan kekuasaan yang melanggar hak-hak konstitusional warga negara.12 Selain Inggris dan AS, sejarah politik Perancis juga merupakan sumber

inspirasi untuk promosi HAM yang secara inheren tercakup dalam penataan kekuasaan politik. Revolusi Perancis yang terkenal dengan prinsip-prinsip egaliterianismenya membawa pengaruh yang kuat terhadap penyebaran ide demokrasi ke seluruh dunia. Pada tahun 1789 Perancis memproklamasikan Declaration of the Rights of Man and of Citizens yang merupakan cikal bakal tradisi demokrasi dan HAM negara itu sampai sekarang.13

Apa yang dilakukan oleh negara-negara Barat tersebut menjadi inspirasi dan contoh bagi negara-negara lain untuk memasukkan perlindungan HAM dalam konstitusinya serta mengupayakan terciptanya mekanisme penegakan HAM pada level regional. Ini artinya, tradisi pemikiran Barat dalam soal HAM telah turut memengaruhi perkembangan HAM secara global karena banyak negara di

11 Stephen Macedo. “Transitions to What?: The Social Foundations of the Democratic Citizenship”

dalam James H. Holifield and Calvin Jilson (eds.), Pathway to Democracy: The Political Economy of Democratic Transitions. London: Routledge, 2001, hal. 55-56.

12 Melvin I. Urofsky (ed.). Basic Readings in U.S. Democracy. United States Information Agency,

Washington, D.C., 1998, hal. 1-60.

13 Lyn Avery Hunt. The French Revolution and Human Rights: a Brief Documentary History,

(10)

14 May Rudy. Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-masalah Global,

Bandung: PT. Refika Aditama, 2003, hal. 46-47.

dunia menjadikan pemikiran-pemikiran HAM yang berkembang di Barat, terutama dalam kaitannya dengan pengembangan demokrasi, sebagai acuan dalam pemajuan dan perlindungan HAM di negaranya. Bahkan Deklarasi HAM Sedunia (Universal Declaration of Human Rights) yang dicetuskan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948 dan sejumlah konvensi internasional tentang HAM lainnya juga banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Barat mengenai HAM.

Deklarasi HAM, berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan, mengandung makna ganda baik keluar (antarnegara-bangsa) maupun ke dalam (intranegara-bangsa). Makna keluar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antarnegara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi ke dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Makna ke dalam mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM Sedunia itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif bagi rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahnya.

Dalam perkembangannya kemudian, isu HAM juga menjadi concern banyak negara di berbagai kawasan dunia. Pada tahun 1950, Eropa mengeluarkan The European Convention on Human Rights dan tahun 1975 Helsinki Accord, tahun 1969 negara-negara Amerika menghasilkan American Convention on Human Rights, tahun 1981 Afrika mencetuskan African Charter on Human and People’s Rights, tahun 1990 Organisasi Konferensi Islam (OKI) mengeluarkan Cairo Declaration on Human Rights in Islam, tahun 1993 Vienna Declaration, dan di kalangan parlemen negara-negara anggota ASEAN dihasilkan Human Rights Declaration of AIPO.14 ASEAN juga mencatat kemajuan cukup berarti

pada tahun 2008 ini dengan telah diratifikasinya Piagam ASEAN oleh semua negara anggota yang diharapkan akan membuka jalan menuju mekanisme HAM regional.

III. HAM dan Demokrasi

(11)

atau sistem multi partai yang dianut. Lebih luas dari itu, demokrasi melingkupi pula gagasan desentralisasi dari proses pengambilan keputusan dan melibatkan juga kelompok-kelompok di pinggiran yang selama ini tertinggal dan hampir tidak pernah dilibatkan dalam proses politik. Demokrasi bukan hanya merupakan proses legal-formal. Lebih dari itu, demokrasi harus direalisasikan dalam bentuk people’s empowerment dan partisipasi dalam tingkatan paling rendah sekalipun, sehingga setiap tingkatan dapat responsif dan diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan di tingkat lokal maupun nasional. Untuk mencapai sasaran ini tuntutan bagi pemerintahan yang bersih adalah prasyarat yang harus dipenuhi. Jaminan perlindungan bagi kelompok minoritas dan kelompok yang disempowered harus pula dijamin. Ini berarti proses tersebut terkait juga dengan masalah keadilan sosial dan hak asasi manusia.

Secara teoritis dapat dikemukakan bahwa semakin demokratis suatu bangsa, semakin tinggi pula jaminan untuk perlindungan HAM warga negaranya. Tidak semua orang dapat menerima pernyataan ini karena banyak juga negara demokrasi yang dengan mudah mengabaikan HAM ketika kepentingan strategis mereka terancam. Pada saat yang sama kita tidak dapat mengabaikan kemampuan yang dimiliki oleh negara untuk mempromosikan baik hak sipil dan politik maupun hak ekonomi, sosial dan budaya melalui berbagai kebijakan publik yang dilakukannya. Oleh karena itu, pilihan yang paling realistis adalah bukan mengabaikan peranan negara tetapi bagaimana membuat negara berfungsi sedemikian rupa sehingga HAM setiap individu anggota masyarakat dapat dijamin perwujudannya.

David Beetham mencoba menguraikan keterkaitan antara HAM dan demokrasi serta pelajaran apa yang dapat diperoleh dari uraian tersebut untuk memajukan HAM di dalam sebuah negara demokrasi.15 Beetham membahas

keterkaitan dengan pertama-tama membedakan tiga kategori HAM, yaitu hak-hak sipil dan politik, hak-hak-hak-hak ekonomi dan sosial, dan hak-hak-hak-hak kultural. Ketiga kategori HAM ini memiliki keterkaitan yang berbeda dengan demokrasi. Beetham pada akhirnya menyimpulkan bahwa hak-hak sipil dan politik merupakan bagian yang integral dari demokrasi karena tanpa hak-hak tersebut orang tidak mungkin dapat menyatakan aspirasinya untuk memengaruhi proses pembuatan kebijakan publik dan proses pemerintahan yang berkaitan dengan kepentingannya. Hanya dengan adanya jaminan untuk kebebasan berpendapat, berkumpul atau membentuk organisasi, dan kedudukan yang sama di depan hukum, orang dapat

(12)

mewujudkan kontrol publik atas penyelenggaraan kekuasaan. Pemilihan umum dengan demikian dipandang sebagai prosedural politik semata karena tidak ada pengaruhnya dalam peningkatan kualitas penyelenggaraan negara. Hubungan antara hak-hak ekonomi dan sosial di satu pihak dengan demokrasi di pihak lain digambarkan sebagai mutual dependency. Jika hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat tidak terpenuhi maka kemampuan mereka untuk berpartisipasi dalam proses penyelenggaraan negara juga terbatas sehingga dengan mudah dieksploitasi oleh elit politik yang memiliki kekuasaan. Sebaliknya, demokrasi diperlukan sebagai kerangka pengorganisasian kekuasaan untuk melindungi hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat. Selanjutnya demokrasi hanya dapat bertahan dalam konteks masyarakat multikultural bila hak-hak kultural setiap kelompok dalam masyarakat diakui dan dihormati.

IV. Pemajuan dan Perlindungan HAM dalam Hubungan Internasional

Pemajuan dan perlindungan HAM kini telah menjadi isu penting dalam hubungan internasional, karena soal HAM tidak lagi semata-mata menjadi urusan satu negara tetapi telah menjadi isu internasional. Dengan adanya arus globalisasi dan penyebaran informasi secara terbuka saat ini pemerintah tidak bisa lagi menyembunyikan pelanggaran HAM yang dilakukannya karena akan segera diketahui melalui pemberitaan media massa. Dalam politik global kontemporer, negara-negara maju dapat melakukan tekanan terhadap pemerintah yang melanggar HAM warga negaranya dan tindakan ini akan merugikan kepentingan diplomatik negara yang bersangkutan akibat isolasi dalam pergaulan internasional.16 Oleh karena itu upaya pemajuan dan perlindungan HAM menjadi

penting artinya.

Pemajuan dan perlindungan HAM dapat dilakukan melalui berbagai aktor dan tingkatan dalam hubungan internasional. Sekurang-kurangnya ada lima aktor yang dapat diidentifikasi dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM, yaitu: individu, kelompok civil society, nasional, regional dan global.17 Pada aktor individu

16 Indonesia sudah pernah mengalami nasib seperti itu ketika AS melakukan embargo militer

terhadap Indonesia karena dipandang telah melakukan pelanggaran HAM di Timor Timur. Saat ini Myanmar juga sedang diembargo oleh AS dan Uni Eropa karena junta militer yang berkuasa tidak bersedia membebaskan pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi yang hingga kini masih menjalani tahanan rumah. Pada saat yang sama negara-negara ASEAN hanya bisa menyatakan keprihatinannya terhadap rezim junta militer di Myanmar tanpa bisa berbuat sesuatu yang berarti untuk mengubah politik yang represif di negara itu.

17 Bertrand Fort, Human Rights and International Relations, Cambridge: Polity Press, 2002, hal.

(13)

dapat ditemukan melalui tokoh-tokoh perjuangan HAM yang karena aktivitas dan kampanye yang dilakukannya dapat memengaruhi kebijakan atau diplomasi HAM dari aktor-aktor internasional baik negara maupun non-negara. Para tokoh HAM internasional berusaha untuk mengungkapkan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aktor negara maupun non-negara untuk menarik perhatian dunia internasional sehingga bisa melakukan tekanan atau bahkan menjatuhkan sanksi terhadap pelaku pelanggaran tersebut. Nelson Mandela, Jimmy Carter, Dalai Lama, Aung San Suu Kyi, Munir adalah beberapa contoh tokoh pejuang HAM internasional yang dengan tajam mengeritik kebijakan pemerintah mereka masing-masing atau negara lainnya karena melakukan pelanggaran HAM terhadap warga negaranya.

Sebagian besar dari mereka mendapatkan penghargaan dan pengakuan internasional seperti Hadiah Nobel Perdamaian yang tentu saja meningkatkan pengaruh mereka dalam diplomasi HAM internasional. Di beberapa negara telah muncul tokoh-tokoh pejuang HAM dan demokrasi yang harus menghadapi risiko hukuman penjara dan bahkan nyawa mereka tetapi kegiatan mereka kurang dipublikasikan secara internasional karena ketertutupan pemerintahnya. Peranan para individu pejuang HAM ini tidak dapat diabaikan begitu saja karena biasanya merekalah yang menyebarkan benih-benih perubahan politik di negaranya masing-masing menuju rezim politik yang lebih demokratis. Lobi yang mereka lakukan terhadap pemerintah negara maju (AS) atau organisasi internasional (PBB dan Uni Eropa) sering menyulitkan posisi pemerintahnya karena harus mempertanggung jawabkan pelanggaran HAM yang dilakukan.

(14)

dan Human Rights Watch (HRW) memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kebijakan dan diplomasi HAM baik negara maju maupun berkembang. Kelebihan NGO dibandingkan dengan aktor lain adalah kekuatan jaringan global mereka dalam mengungkapkan laporan pelanggaran HAM di seluruh dunia melalui publikasi atau kampanye yang mereka lakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi. Semakin banyaknya NGO, baik pada tingkat nasional maupun global yang memperjuangkan HAM melalui jaringan kerja yang dibangun secara independen, merupakan gejala yang positif karena kalangan civil society diharapkan dapat menjadi kekuatan penyeimbang terhadap kekuatan negara atau lembaga internasional yang cenderung bertindak sebagai pelanggar HAM daripada sebagai pelindung HAM.

Melihat kembali pada peran yang dilakukan oleh individu dan juga kelompok civil society di atas, mereka sesungguhnya merupakan aktor-aktor non-negara (non-state actors) yang secara individual maupun kelompok bertindak untuk memajukan dan melindungi HAM. Mereka juga dikenal sebagai pembela HAM (human rights defender). Istilah para pembela HAM hanya dapat diperuntukkan bagi mereka yang melakukan kegiatannya melalui upaya-upaya damai sesuai Deklarasi tentang Hak dan Tanggung Jawab Individu, Kelompok dan Organ Masyarakat untuk Memajukan dan Melindungi HAM dan Kebebasan Dasar yang Diakui secara Universal (the Declaration on the Rights and Responsibility of Individuals, Groups and Organs of Society to Promote and Protect Universally Recocnized Human Rights and Fundamental Freedoms) atau lebih dikenal sebagai Deklarasi Pembela HAM yang diadopsi oleh seluruh anggota PBB secara konsensus pada tanggal 9 Desember 1998.

(15)

Dengan meratifikasi berbagai konvensi internasional tentang HAM suatu negara telah menyatakan komitmennya untuk tunduk kepada berbagai ketentuan yang ada dalam konvensi tersebut. Meskipun demikian hal ini bukan berarti bahwa suatu negara yang telah meratifikasi konvensi internasional secara otomatis meningkat juga kinerjanya dalam pemajuan dan perlindungan HAM.

Pemerintah juga dapat membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) yang bertugas sebagai lembaga independen untuk memonitor dan merekomendasikan kasus pelanggaran HAM untuk ditindaklanjuti oleh lembaga peradilan. Pelaksanaan tugas Komnas HAM sering terbentur dengan praktik bureaucratic bargaining di dalam tubuh pemerintah yang secara sengaja menghambat proses penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM demi melindungi kepentingan politik tertentu. Pemerintah dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap upaya pemajuan dan perlindungan HAM melalui pemberdayaan lembaga peradilan yang independen baik untuk peradilan sipil maupun militer sehingga prinsip supremasi hukum secara efektif dapat dilaksanakan tanpa memandang status atau kedudukan seseorang. Pemerintah juga dapat memajukan HAM melalui pengintegrasian prinsip-prinsip HAM ke dalam kurikulum pendidikan agar sejak dini setiap anggota masyarakat dididik untuk menghargai HAM orang lain. Pendidikan multikulturalisme, yang mengutamakan penghormatan pada budaya yang majemuk, sangat cocok dan relevan untuk Indonesia mengingat masih rentannya masyarakat terhadap berbagai bentuk konflik primordial yang mengarah pada pelanggaran HAM dalam skala besar, seperti yang telah terjadi di berbagai daerah terutama setelah kejatuhan rezim Orde Baru.

(16)

18 Paul Sciarone, The Protection of Human Rights in Europe, London: Mcmillan, 1998, hal. 33-34. 19 David Beetham, op.cit., hal. 146.

pelaksanaan prinsip-prinsip HAM dibentuk The European Commission on Human Rights dan The European Court of Human Rights sebagai lembaga peradilan tingkat regional yang mengeluarkan keputusan pengadilan kasus pelanggaran HAM. Pada tingkat Uni Eropa ada juga The European Court of Justice yang cakupannya lebih terbatas tetapi memiliki efektivitas yang diakui oleh negara anggota.18 Dalam konteks yang lebih luas Eropa juga memiliki proses

perlindungan HAM melalui mekanisme di bawah payung Organization of Security and Cooperation in Europe (OSCE) yang keanggotannya mencakup juga AS dan negara-negara di Eropa Timur. Di kawasan Amerika Latin dan Afrika kesepakatan dan mekanisme yang kurang lebih sama juga ada tetapi efektivitasnya masih jauh di bawah kinerja dan mekanisme regional yang terdapat di Eropa. Menurut David Beetham apa yang sudah dipraktikan di Eropa merupakan contoh perwujudan cosmopolitan democracy yang seharusnya diperluas ke bagian dunia yang lainnya.19

(17)

negara-negara anggota ASEAN, kalangan pejuang HAM masih meragukan apakah ASEAN memiliki keberanian politik untuk meninggalkan pola pikir tradisional para pemimpin ASEAN yang menempatkan kedaulatan negara dan kelanggengan rezim politik di atas HAM individu warga negaranya.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa Piagam ASEAN justru mencerminkan langkah mundur bagi ASEAN karena isinya justru melanggengkan nilai-nilai lama dan sikap para pemimpin ASEAN yang konservatif. Negara anggota yang sudah menganut demokrasi justru terhambat oleh karena pengambilan keputusan di tingkat ASEAN masih berdasarkan konsensus.20 Contoh yang paling nyata adalah kegagalan negara-negara ASEAN

dalam memengaruhi rezim militer di Myanmar untuk menghormati HAM pejuang demokrasi Aung San Suu Kyi serta para pengikutnya. Kalaupun ASEAN berhasil memasukkan prinsip HAM ke dalam Piagam ASEAN, maka dalam pelaksanaannya hanya terbatas pada seruan normatif tanpa ada mekanisme kelembagaan yang efektif untuk menghasilkan keputusan yang mengikat negara anggota.

Sebagai negara yang sudah menganut demokrasi seharusnya Indonesia lebih percaya diri lagi dalam berperan sebagai aktor dalam pemajuan dan perlindungan HAM dan memainkan peranan kepemimpinannya di Asia Tenggara untuk memperjuangkan HAM individu maupun kelompok sesuai dengan nilai-nilai yang terdapat dalam konstitusi dan ideologi negara. Sebagian kalangan menilai bahwa sampai saat ini ASEAN lebih merupakan lembaga solidaritas antarpemerintah daripada antarrakyat ASEAN. Kritik yang mengecilkan arti pencapaian melalui ASEAN Charter ini dibantah oleh kalangan yang mewakili pemerintah Indonesia. Dalam wawancara dengan Kompas, Direktur Jenderal Kerja Sama ASEAN, Dian Triansyah Djani mengatakan bahwa adanya Piagam ASEAN akan mempermudah hubungan ASEAN dengan aktor-aktor eksternal baik di wilayah Asia maupun secara global.21 Kita berharap bahwa ASEAN dapat

lebih berperan sebagai aktor di kawasan Asia Tenggara dalam pemajuan dan perlindungan HAM, karena Pasal 14 Piagam ASEAN menegaskan bahwa ada kewajiban ASEAN untuk membentuk Badan HAM ASEAN (ASEAN Human Rights Body) yang diharapkan akan membuka jalan menuju mekanisme HAM regional. Indonesia harus menjadi pionir terwujudnya mekanisme HAM ASEAN.

(18)

Pada tingkat global, PBB merupakan aktor yang paling kuat pengaruhnya dalam pemajuan dan perlindungan HAM yang melibatkan negara-negara anggota. Sejak awal 1990-an Dewan Keamanan PBB menafsirkan tugasnya sebagai penjaga perdamaian internasional secara lebih luas dengan memasukkan praktik pelanggaran HAM dalam skala besar (gross violations of human rights) sebagai pintu masuk untuk melakukan humanitarian intervention. Tetapi perlu dicatat bahwa prinsip humanitarian intervention di bawah payung PBB ini tidak terlepas dari perdebatan tentang persoalan legitimasi moral dan politik. Nicholas J. Wheeler menyebutkan ada lima keberatan (objections) terhadap prinsip ini.22

Pertama, kaum realis ragu bahwa suatu negara atau sekumpulan negara melakukan intervensi semata-mata karena alasan kemanusiaan. Di balik tindakannya pasti ada kepentingan nasional yang tersembunyi, baik itu diakui secara eksplisit maupun tidak dinyatakan kepada publik. Kedua, setiap negara hanya bertanggung jawab untuk warga negaranya sendiri dan tidak punya wewenang untuk mencampuri urusan warga negara lainnya. Ketiga, ada kekhawatiran bahwa humanitarian intervention akan mengarah pada penggunaan kekuatan militer secara berlebihan dan tanpa kendali. Keempat, negara-negara besar sering bertindak selektif dalam menerapkan humanitarian intervention agar tidak mengganggu kepentingan nasional mereka. Kelima, negara-negara belum sepenuhnya sepakat tentang prinsip-prinsip yang menjadi pedoman penerapan prinsip ini sehingga memberi peluang kepada negara-negara besar untuk menafsirkannya secara sepihak sesuai dengan preferensi mereka sendiri. Jika terjadi pelanggaran HAM secara besar-besaran, Dewan Keamanan PBB memiliki otoritas untuk membentuk pengadilan internasional guna menjatuhkan hukuman terhadap pelaku kejahatan kemanusiaan sesuai dengan ketentuan hukum internasional yang berlaku. Ada dua contoh pengadilan internasional yang dibentuk dalam dua dekade terakhir, yaitu the International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dan the International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY).23 Peran PBB sebagai aktor global dalam pemajuan dan

perlindungan HAM juga terlihat dengan pembentukan the United Nations Human Rights Council, melalui Resolusi Majelis Umum PBB yang disahkan pada 15 Maret 2006, yang menggantikan badan yang lama, the United Nations

22 Nicholas J. Wheeler, “Humanitarian Intervention in World Politics” dalam John Baylis and Steve

Smith (eds.) The Globalization of World Politics: An Introduction to World Politics, Oxford: Oxford University Press, 2001, hal. 394-395.

23 Amy Burchfield. “International Criminal Courts for the Former Yugoslavia, Rwanda and Sierra

(19)

Commission on Human Rights, demi menjamin efektivitas perlindungan HAM di seluruh dunia.

V. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya: Masih Terabaikan

Pemajuan dan perlindungan HAM dalam hubungan internasional tidak boleh juga mengabaikan isu HAM yang berkaitan dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Sejalan dengan maraknya globalisasi ekonomi dan liberalisasi perdagangan global, urgensi untuk memberi perhatian yang lebih besar terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya masyarakat juga semakin meningkat. Secara tak terhindarkan kelompok masyarakat yang termarjinalisasikan akibat pembangunan ekonomi yang berorientasi pasar mengalami proses alienasi dan tidak memiliki akses terhadap sumber daya pembangunan. Salah satu contoh masyarakat yang teralienasi dari proses pembangunan adalah masyarakat adat di Kalimantan dan Papua yang kurang diberi akses untuk memanfaatkan hasil hutan karena pemerintah telah menyerahkan tanah adat mereka kepada pengusaha nasional maupun asing. Akibatnya, selama pemerintahan Orde Baru banyak muncul kantong kemiskinan di wilayah-wilayah yang sesungguhnya kaya akan sumber daya alam seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur dan Papua.

Di negara-negara maju khususnya Eropa Barat ada mekanisme welfare state untuk meringankan beban anggota masyarakat yang tersisihkan akibat persaingan dalam ekonomi pasar. Dikarenakan kurangnya anggaran, maka di negara-negara berkembang pemerintah tidak dapat menerapkan prinsip welfare state secara luas sehingga hak-hak ekonomi, sosial dan budaya kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat agak terabaikan. Setelah krisis ekonomi melanda negara-negara Asia pada akhir dekade 1990an, dengan dukungan lembaga-lembaga keuangan internasional, diperkenalkan program Jaring Pengaman Sosial atau Social Safety Net tetapi hasilnya tidak optimal antara lain karena korupsi dalam birokrasi pemerintah dan program pembangunan yang tidak direncanakan dengan baik. Program seperti ini tidak dapat dilakukan secara terus-menerus, begitu juga dengan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, karena sangat ditentukan oleh ketersediaan dana dari pemerintah.

(20)

tidak ingin membebani dirinya dengan kewajiban untuk memenuhi HAM ekonomi, sosial dan budaya rakyatnya karena sumber daya keuangan yang diperlukan sangat besar. Bahkan negara-negara Eropa Barat yang terkenal dengan kebijakan welfare state mulai menyadari bahwa kebijakan yang sangat positif ini menimbulkan beban utang publik yang semakin berat bagi mereka.24 Selain itu

negara-negara Barat khususnya AS belum memberikan komitmen secara terbuka terhadap hak-hak ekonomi dan sosial karena hal itu dapat mengurangi legitimasi lembaga-lembaga keuangan dan pembangunan internasional yang didominasi oleh kepentingan komersial Barat (IMF dan Bank Dunia). Meskipun negara-negara berkembang sangat bersemangat untuk mencapai cita-cita Millenium Development Goals (MDGs), yang tentu saja sangat positif dari sudut pandang pemenuhan hak-hak ekonomi dan sosial masyarakat, banyak pihak yang meragukan apakah tujuan ini dapat tercapai pada tahun 2015. Apalagi di tengah ancaman resesi ekonomi dunia saat ini, sebagai akibat dari krisis keuangan global, banyak negara berkembang termasuk Indonesia yang harus memikirkan kembali target pencapaian MDGs.

Dalam bukunya yang berjudul The End of Poverty, Jeffrey Sachs menyerukan kepada negara-negara maju khususnya AS untuk menyisihkan porsi yang lebih besar dari pendapatan nasionalnya guna menghapus kemiskinan ekstrim di seluruh dunia pada tahun 2025.25 Argumen yang mendasari seruan

moral Jeffrey Sachs ini sangat meyakinkan, tetapi sebagaimana seruan moral lainnya dalam politik global kontemporer, dalam mengatasi masalah seperti itu tidak akan efektif mengubah perilaku negara tanpa ada kesepakatan internasional yang sifatnya mengikat dengan jadwal waktu yang jelas. Berdasarkan pengalaman selama ini kita dapat melihat bahwa bantuan keuangan yang diberikan oleh negara maju kepada negara berkembang tidak pernah dimaksudkan untuk mengubah struktur ekonomi politik global yang timpang. Selain itu, jumlah yang mereka berikan ditentukan berdasarkan pertimbangan bahwa bantuan itu tidak akan mengganggu kepentingan nasional mereka sendiri dan bahkan mereka masih mendapatkan keuntungan dari pembayaran bunga utang luar negeri.

David Beetham menyebutkan beberapa alasan mengapa hak-hak ekonomi, sosial dan budaya ini tidak disambut secara antusias baik oleh pemerintah negara maju maupun negara berkembang.26 Alasan yang pertama

(21)

berkaitan dengan persoalan intelektual. Hakekat pengertian hak-hak ekonomi, sosial dan budaya tidak memenuhi syarat-syarat yang perlu untuk memperoleh atribut hak asasi manusia. Misalnya ketika terjadi kasus di mana seorang anak kecil mengalami kematian dikarenakan persoalan sosial ekonomi keluarganya. Apakah ini dapat dianggap sebagai pelanggaran hak sosial ekonomi? Siapa yang dianggap melanggar, orang tuanya atau negara? Bagaimana kalau negara mempunyai alasan bahwa pemerintah sedang mengalami kesulitan keuangan sehingga tidak dapat menyediakan dana untuk mengatasi masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyatnya. Di sini tampak bahwa pelanggaran hak ekonomi dan sosial tidak mudah untuk dibawa ke pengadilan karena ketidakjelasan dalam definisi hakekat hak tersebut maupun pelanggarannya. Proses pelembagaan hak ekonomi dan sosial di lingkungan PBB juga masih bermasalah karena yang dapat dilakukan oleh lembaga internasional hanya sebatas menyerukan secara moral kepada negara-negara anggota untuk memenuhi hak ekonomi dan sosial rakyatnya berdasarkan sumber daya yang dimilikinya. Selain persoalan intelektual dan institusional, ada juga hambatan politik baik pada tingkat domestik maupun internasional untuk secara konsisten memenuhi hak ekonomi dan sosial masyarakat. Hambatan politik di sini adalah terkait dengan kenyataan bahwa pemenuhan hak ekonomi dan sosial sebagai kewajiban hukum akan menyebabkan redistribusi kekayaan dalam masyarakat yang pasti akan ditentang oleh mereka yang posisi ekonominya sudah mapan. Mengacu pada pandangan kaum pluralis, hak-hak sipil dan politik di satu pihak dan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya di pihak lain hendaknya memiliki nilai yang sama, karena sampai sejauh ini emansipasi negara berkembang secara ekonomi dalam percaturan politik global masih terhambat oleh kebijakan ekonomi negara maju serta lembaga keuangan internasional yang cenderung merugikan posisi dan kepentingan negara berkembang.

(22)

mengetahui apa yang diinginkannya dan karena itu pemimpin adalah pihak yang paling mengetahui apa yang terbaik untuk rakyat. Dalam sistem seperti itu tidak ada jaminan bahwa pemimpin tidak akan menggunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi atau kelompoknya. Selama Orde Baru Soeharto menggunakan asumsi ini dalam pembangunan ekonominya di mana pemerintah tidak terbuka pada kritik yang disampaikan oleh berbagai kelompok dalam masyarakat. Tanpa diduga pada tahun 1997 Indonesia dilanda krisis ekonomi yang meruntuhkan semua pencapaian yang telah diraih selama sekitar tiga dekade. Sistem politik yang otoriter tidak menghargai kebebasan warga negara untuk menentukan sendiri apa yang terbaik bagi dirinya karena pemerintah memonopoli semua jalur informasi demi kepentingan kekuasaannya.

VI. Pemajuan dan Perlindungan HAM di Indonesia

Oleh karena soal HAM telah menjadi salah satu isu penting dalam hubungan internasional, sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia pun perlu memberi perhatian besar pada pemajuan dan perlindungan HAM. Ada argumen yang mengatakan bahwa setelah Indonesia melakukan proses demokratisasi pasca kejatuhan rezim otoritarian Orde Baru, Indonesia memiliki peluang yang besar untuk meningkatkan kiprahnya dalam pemajuan dan perlindungan HAM baik di dalam negeri maupun di dunia internasional khususnya di Asia Tenggara. Perkembangan untuk memajukan dan melindungi HAM di Indonesia memang tidak dapat dilepaskan dari adanya dinamika politik baik di dalam negeri maupun internasional. Oleh karena itu selain adanya pengaruh dari faktor-faktor subyektif dan obyektif, seperti kepentingan nasional, sejarah nasional, maka lingkungan eksternal, yang dalam hal ini adalah sikap dan pandangan dunia internasional, juga turut memengaruhi upaya pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia.

(23)

yaitu hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya rakyat terabaikan, dibatasi dan dilanggar. Kebijakan pemerintah lebih mengutamakan penciptaan stabilitas politik yang ditujukan untuk menunjang pembangunan ekonomi. Pemajuan dan perlindungan HAM serta demokrasi berjalan sangat lambat dan bahkan cenderung dikorbankan.

Tidak berkembangnya demokrasi telah menyebabkan mudahnya terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara terhadap hak-hak sipil yang melekat pada setiap individu (non-derogable rights), seperti penahanan semena-mena, pembunuhan singkat, penyiksaan, penghilangan secara paksa dan pembunuhan. Selama masa itu pula Indonesia mendapat kecaman dan menjadi sasaran kritik masyarakat internasional, terutama setelah terjadinya tragedi Santa Cruz, Timor Timur (Timtim), November 1991.

Perhatian terhadap HAM mulai bergeser seiring dengan perubahan di dunia internasional pada akhir tahun 1980-an dan terus bergulir pada era reformasi menuju demokrasi. Isu HAM menjadi isu penting dalam agenda kebijakan dan politik luar negeri negara-negara maju (Barat). Kondisi global tersebut telah memberikan dorongan tumbuhnya kesadaran masyarakat domestik Indonesia akan pentingnya pemajuan dan perlindungan HAM. Hal ini pula yang menjadi pertimbangan penting bagi pemerintah khususnya Departemen Luar Negeri dalam meletakkan isu HAM dalam konteks kepentingan nasional dalam kebijakan hubungan luar negeri. Upaya-upaya yang dilakukan Departemen Luar Negeri, sebagai institusi pemerintah dan didukung para pemangku kepentingan lainnya yang sejak awal tahun 1990-an melakukan kebijakan pro-aktif dalam rangka meningkatkan pemahaman dan kesadaran akan arti penting penghormatan terhadap HAM, mulai menunjukkan hal yang positif seiring dengan perubahan yang terjadi di dalam negeri dari proses era reformasi menuju era demokrasi. Di bawah kepemimpinan Presiden Habibie, Megawati, Abdurrahman Wahid dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia mengalami kemajuan pesat dan luar biasa dan hal ini diakui dunia internasional.

Sejak saat itu terdapat kemajuan di bidang HAM yang monumental di Indonesia, terutama menyangkut aspek legislasi nasional dan kelembagaan dengan meratifikasi berbagai instrumen pokok HAM internasional, termasuk

(24)

Sebelumnya Indonesia juga telah menerbitkan Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Di bidang kelembagaan, Indonesia merupakan salah satu dari sedikit negara yang memiliki Rencana Aksi Nasional HAM (RANHAM ke-1 periode 1998-2003 dan RANHAM ke-2 periode 2004-2009).27 Demikian halnya di bidang

penegakan HAM dari aspek hukum, Indonesia merupakan salah satu dari hanya sedikit negara yang memiliki pengadilan HAM. Indonesia juga melangkah maju, yaitu di samping terbentuknya Komnas HAM, terbentuk pula Komnas Perempuan, Komnas Perlindungan Anak Indonesia serta institusi HAM nasional lainnya, termasuk terbentuknya Direktorat Jenderal HAM di Departemen Hukum dan HAM, adanya Direktorat HAM di Departemen Luar Negeri serta beberapa institusi pemerintah yang mengurusi masalah HAM.

Kemajuan yang dicapai Indonesia di bidang HAM tersebut, terutama di bidang legislasi nasional dan kelembagaan, seharusnya dapat mendorong terwujudnya kondisi HAM yang lebih baik dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini karena secara sederhana saja, Indonesia sudah mempunyai peraturan maupun pengadilan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM. Namun sangat disayangkan bahwa kenyataannya tidak demikian. Harus diakui bahwa hingga saat ini Indonesia masih dihadapkan pada sejumlah isu HAM yang juga menjadi perhatian dunia internasional, seperti situasi HAM di Papua, tuduhan pelanggaran HAM masa lalu di Timtim, penangkapan, penghilangan dan pembunuhan terhadap aktivis HAM Munir, penutupan dan diskriminasi tempat ibadah, dan tindakan kekerasan bernuansa kesukuan dan agama.

Indonesia sebagai negara yang heterogen yang terdiri dari multi etnik, multi agama, dan multi kultur pada satu sisi menjadi kebanggaan tersendiri sebagai sebuah bangsa yang besar, akan tetapi jika tidak dikelola secara baik dengan menegakkan prinsip toleransi, saling menghormati dan saling menghargai, adanya perbedaan justru akan menjadi malapetaka bagi bangsa ini. Indonesia perlu mempunyai komitmen yang kuat untuk melaksanakan isi dari ketiga undang-undang tersebut di atas, terutama isi yang terdapat di dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Komitmen yang kuat tersebut tidak hanya berupa penegakan hukum, tetapi juga pembenahan hukum yang mendukung penegakan hukum atau penegakan kovenan-kovenan tersebut. Jika

27Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 40 Tahun 2004 Tentang Rencana Aksi Nasional

(25)

hanya dengan komitmen secara retorika akan sia-sia belaka. Inilah kenyataan yang sekarang terjadi.

Penegakan hukum dan pembenahan hukum yang mendukung penegakan hukum atau penegakan kovenan-kovenan merupakan arti penting dari ratifikasi dua kovenan HAM tersebut. Pembenahan hukum juga diartikan sebagai menyesuaikan atau mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan yang telah mengatur mengenai HAM, mulai dari tingkat undang-undang hingga peraturan di bawahnya, dengan kovenan-kovenan tersebut. Sebagai contoh, mengharmonisasikan peraturan yang di dalamnya diatur atau bersinggungan dengan beberapa substansi penting yang diatur dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, antara lain hak atas hidup/ kehidupan, hak mendapatkan pengampunan, kebebasan pikiran, keyakinan dan agama, kebebasan menyampaikan pendapat, hak atas perlindungan oleh masyarakat dan negara, hak untuk tidak boleh diingkari haknya terhadap minoritas etnis, agama atau bahasa. Dalam Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya juga terdapat beberapa hal penting antara lain hak untuk menentukan nasib sendiri, kendatipun hal itu dikecualikan, kesamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam penikmatan hak-haknya dalam kovenan

ini, hak atas pendidikan, perlu diresapi dan disadari secara bertanggung jawab.28

Meskipun Indonesia telah menjadi negara pihak pada beberapa instrumen utama HAM internasional, tantangan sebenarnya terletak pada upaya untuk melaksanakannya agar semua hak yang terkandung di dalam instrumen tersebut dapat dipenuhi oleh seluruh warga negara. Untuk itu, diperlukan keseriusan pemerintah untuk mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan nasional dan daerah agar sesuai dengan standar internasional yang ditetapkan, khususnya yang berkaitan dengan HAM. Upaya lain yang dilakukan adalah dengan memastikan agar setiap pejabat pemerintah pusat dan daerah serta para pemangku kepentingan lainnya memiliki pengetahuan dan pemahaman yang memadai tentang HAM. Oleh karena itu pendidikan dan sosialisasi mengenai HAM memiliki arti strategis.

Upaya-upaya lain yang juga perlu dilakukan agar citra Indonesia di mata internasional semakin kredibel dan juga semakin positif adalah, pertama, pemerintah Indonesia harus secara konsisten menyelesaikan secara adil dan

28 Komisi Hukum Nasional. “Arti Penting Pengesahan Dua Kovenan HAM bagi Penegakan

(26)
(27)

VII. Kesimpulan

Membahas pemajuan dan perlindungan HAM dalam konteks hubungan internasional tidak dapat dilepaskan dari sejarah perkembangan HAM itu sendiri terutama tradisi pemikiran negara-negara Barat. Tradisi pemikiran negara-negara Barat tersebut telah menjadi inspirasi bagi negara-negara lain untuk memasukkan perlindungan HAM dalam konstitusinya serta mengupayakan terciptanya mekanisme penegakan HAM pada level regional. Isu HAM juga tidak dapat dilepaskan dari gagasan tentang demokrasi, karena secara teoritis dapat dikatakan bahwa semakin demokratis suatu bangsa semakin tinggi pula jaminan untuk perlindungan HAM warga negaranya, meskipun tidak semua orang dapat menerima pernyataan ini karena banyak juga negara demokrasi yang dengan mudah mengabaikan HAM ketika kepentingan strategis mereka terancam. Perlu digarisbawahi juga bahwa hak-hak sipil dan politik merupakan bagian yang integral dari demokrasi karena tanpa hak-hak tersebut masyarakat (baik individu maupun kelompok) tidak mungkin dapat menyatakan aspirasinya untuk memengaruhi proses pembuatan kebijakan publik dan proses pemerintahan yang berkaitan dengan kepentingannya.

(28)

sosial dan budaya masih mengalami hambatan dan terabaikan baik di negara maju maupun negara berkembang. Negara-negara maju (Barat) tampaknya masih memberikan prioritas kepada kategori HAM yang pertama (sipil dan politik) sambil menutup mata terhadap promosi HAM sosial ekonomi. Selain dikarenakan persoalan intelektual dan institusional, ada hambatan politik baik pada tingkat domestik maupun internasional untuk secara konsisten memenuhi hak ekonomi dan sosial masyarakat. Padahal sangat penting untuk memberi perhatian yang sama antara HAM sipil dan politik dan HAM sosial, ekonomi dan budaya.

Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia juga perlu mendorong berkembangnya pemajuan dan perlindungan HAM. Pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia di satu sisi mengalami kemajuan cukup berarti, setidaknya dari sisi legislasi nasional dan kelembagaan, namun dalam kenyataannya pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia belum terlalu memuaskan. Meskipun Indonesia telah meratifikasi sejumlah instrumen HAM internasional dan memiliki undang-undang tentang HAM, tantangan sebenarnya terletak pada upaya untuk melaksanakannya. Oleh karena itu perlu keseriusan pemerintah dalam pemajuan dan perlindungan HAM di Indonesia.

(29)

DAFTAR PUSTAKA

Aleksius Jemadu, Politik Global dalam Teori dan Praktik. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2008.

Bertrand Fort, Human Rights and International Relations, Cambridge: Polity Press, 2002.

Charles W. Kegley and Eugene R. Wittkopf, World Politics: Trend and Transformation. Belmont: Wadsworth, 2003.

David Beetham, Democracy and Human Rights, London: Polity Press, 2000. David P. Forsythe, Human Rights in International Relations, Cambridge University

Press, 2000.

Jack Donnelly, “Human Rights and Foreign Policy,” World Politics 34, July, 1999.

Jeffrey Sachs, The End of Poverty, New York: The Penguin Press, 2005. Juwono Sudarsono, “State of the Art Hubungan Internasional: Mengkaji Ulang

Teori Hubungan Internasional,” dalam Perkembangan Studi Hubungan Internasional dan Tantangan Masa Depan, Jakarta: Pustaka Jaya, 1996. Lyn Avery Hunt, The French Revolution and Human Rights: a Brief Documentary History, Bedford series in history and culture. Boston: Bedford Books of St. Martin’s Press, 1996.

May Rudy, Hubungan Internasional Kontemporer dan Masalah-masalah Global, Bandung: PT. Refika Aditama, 2003.

Medina C. Quiroga, The Battles of Human Rights, Dordecht: Nijhoff, 1998. Melvin I. Urofsky, (ed.), Basic Readings in U.S. Democracy, United States

Information Agency, Washington, D.C., 1998.

Nicholas J Wheeler, “Humanitarian Intervention in World Politics” dalam John Baylis and Steve Smith (eds.) The Globalization of World Politics: An Introduction to World Politics, Oxford: Oxford University Press, 2001. Paul R. Viotti and Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalism. New York: Mcmillan Publishing Company, 1990. Paul R. Viotti and Mark Kauppi, International Relations and World Politics: Security, Economy and Identity. Upper Saddle River: Prentice Hall, 1997. Paul Sciarone, The Protection of Human Rights in Europe, London: Mcmillan,

1998.

(30)

Pathway to Democracy: The Political Economy of Democratic Transitions, London: Routledge, 2001.

Sukawarsini Djelantik, “Kasus Dalam Diplomasi Bilateral: Hubungan Indonesia-Australia dalam Masalah Timor Timur,” dalam Diplomasi antara Teori dan Praktik, Graha Ilmu, 2008.

Internet (Karya Individual):

Amy Burchfield, “International Criminal Courts for the Former Yugoslavia, Rwanda and Sierra Lione:” Diperoleh melalui http://www.nyulawglobal.org/ Globalex/International Criminal _Courts1.html. - diakses 2Oktober 2008. Gabor Rona, “War doesn’t justify Guantanamo,” the Financial Times, 1 March 2004, diperoleh melalui http://www.icrc.org/web/ eng/ siteeng.nsf/html/ 5WVFB4 - diakses 2 Oktober 2008.

Internet (Karya Non Individual):

Komisi Hukum Nasional. “Arti Penting Pengesahan Dua Kovenan HAM bagi Penegakan Hukum.” Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 9 Maret 2006, diperoleh melalui http://www.komisihukum.go.id/ - diakses 28 Oktober 2008.

Artikel dalam Suratkabar:

Jim Yardley, “Monk protests in Tibet draw Chinese security,” International Herald Tribune, 14 Maret 2008.

Jusuf Wanandi, “ASEAN Charter, Suatu Langkah Kemunduran,” Kompas 14 Desember 2007.

Marc F. Plattner, “Human Rights in American Foreign Policy,” International Herald Tribune, 16 Juni 2007.

Suratkabar:

(31)

Dokumen:

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2004-2009

The Universal Declaration of Human Rights

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Sipil dan Politik)

Referensi

Dokumen terkait

yang didominasi oleh kelas pendek yang diduga dimanfaatkan spesies tersebut untuk memperoleh mangsa yang berada di tajuk dari permukaan tanah (terestrial) maupun dari

Untuk mendapatkan gambaran mengenai pengaruh antara model pembelajaran kontekstual dengan pendekatan inkuiri terhadap hasil belajar siswa dilakukan pengolahan data

Kadar penambahan anti-stripping yang optimum untuk campuran aspal pada penelitian ini adalah 33,24% dari berat aspal yang digunakan sehingga dapat disimpulkan bahwa

Mahasiswa akan mempelajari banyak hal mengenai cara kerja pikiran dan otak, mengingat psikologi kognitif merupakan ilmu mengenai proses berpikir manusia yang memiliki

41 Kendati demikian, dalam pemaparan ini, penulis tidak membatasi pengulasan menurut kronologis periodisasi tersebut, namun ~sesuai dengan pendekatan fenomenologis

7.1.3 Spesialisasi KAP ternyata memperkuat pengaruh antara ukuran perusahaan, opini auditor, ukuran KAP, solvabilitas, profitabilitas, kompleksitas operasi perusahaan,

kontemporer – misalnya- membagi katagori zakat kedalam sembilan katagori; zakat binatang ternak, zakat emas dan perak yang juga meliputi uang, zakat kekayaan

2011:54).Peneliti memilih jenis penelitian ini karena penelitian yang dilakukan bertujuan untuk mendeskripsikan hasil analisis estimasi kebangkrutan dengan pendekatan