• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wan"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita:

Wacana Kesetaraan Gender dalam Keluarga di Indonesia tahun 1950-an1

Oleh:

Siti Utami Dewi Ningrum2

Latar Belakang

Tutur perempuan merupakan hal yang menarik untuk terus diperbincangkan. Hal ini karena dalam diri perempuan terdapat pemikiran yang belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat. Perjuangan perempuan dalam mendapatkan hak – haknya sering disebut dengan pemikiran feminis. Pemikiran tersebut tidak dapat diuniversalkan dalam satu bentuk kebenaran dan tidak dapat pula ditentukan akhir ceritanya. Hal ini terjadi karena masing – masing perempuan memiliki bentuk ideal tersediri mengenai kesetaraan yang mereka idamkan. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Rosemarie Putnam Tong dalam bukunya

Feminist Thought, bahwa dalam pemikiran perempuan, bukanlah sebuah kebenaran yang dijadikan tujuan, namun kebenaran itu sendiri yang akan membebaskan perempuan.3

Makalah ini mencoba untuk menuturkan kembali apa yang dipikirkan dan dituturkan oleh perempuan pada tahun 1950-an mengenai kesetaraan yang mereka impikan untuk kemajuan sesama perempuan. Tutur tersebut termuat dalam sebuah majalah perempuan

Dunia Wanita, sebuah majalah perempuan yang populer pada masanya. Di tengah pergolakan dan penyusunan kekuatan bangsa pasca kemerdekaan, apa yang dipikirkan perempuan Indonesia mengenai dirinya, terutama pada ranah yang “dikodratkan” oleh masyarakat padanya sebagai seorang ibu dan istri di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat.

Kata kunci: wacana kesetaraan, perempuan, majalah Dunia Wanita, 1950

Gendering4 dalam Keluarga dan Masyarakat

1 Makalah ini dipresentasikan pada “The Second Graduate Seminar on Urban History of Indonesia 2014, Kota dan Permasalahan Sosial: Dari Masa Kolonial Hingga Pasca Kolonial”, Prodi Sejarah, Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tanggal 18-19 Juni 2013.

2Mahasiswi S2 Ilmu Sejarah 2013, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Email: utamydewi08@gmail.com, Hp. 085724920870.

(2)

Gender merupakan sebuah terminologi yang digunakan untuk menyebutkan sebuah sifat manusia, yaitu maskulin (kuat, perkasa, rasional dan jantan) dan feminin (lemah lembut, emosional, keibuan, cantik). Sifat tersebut dapat melekat pada laki – laki maupun perempuan, karena bersifat universal. Berbeda dengan itu, seks merupakan kodrat Tuhan yang membedakan manusia berdasarkan jenis kelamin yang memiliki perbedaan pada fungsi sistem reproduksinya, yaitu laki – laki berpenis dan menghasilkan sperma sedangkan perempuan bervagina, berkelenjar susu untuk menyusui dan memiliki rahim untuk mengandung dan melahirkan.5 Gender dan seks kemudian mengalami peleburan dan

pergeseran makna menjadi sebuah kodrat6 yang dikonstruksikan dan disosialisasikan oleh masyarakat, baik melalui budaya, agama maupun negara, bahwa dalam seks termaktub sifat yang terpisah antara feminin dan maskulin, sehingga dibedakan apa yang harus diajarkan dan perannya. Laki – laki diajarkan dan dituntut untuk menjadi maskulin dan ditempatkan pada ranah publik, sedangkan perempuan diajarkan dan dituntut untuk menjadi feminin dan ditempatkan di dalam ranah domestik.7

Gendering kemudian diterapkan di dalam keluarga. Keluarga merupakan unit kekerabatan dan sosial masyarakat terkecil.8 Keluarga dapat diartikan sebagai hubungan yang

lebih bersifat biologis yang ditandai dengan adanya perkawinan dan adanya hubungan darah antara individu yang satu dengan yang lainnya.9 Keluarga inti terdiri dari ayah, ibu dan anak

yang masing – masing telah ditentukan perannya, di mana ayah menjadi kepala rumah tangga yang berarti ia bertanggung jawab dalam menjamin perekonomian dan keamanan dalam rumah tangga yang berarti berhubungan dengan dunia luar dan ibu sebagai ibu rumah tangga bertugas mengurus anak, suami dan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga.

4Gendering dapat diartikan sebagai pembagian tugas berdasarkan konstruksi gender, yaitu laki – laki dalam rnah publik dan perempuan dalam ranah domestik. Mary Hancock, “Gendering the Modern: Women and Home Science in British India”, dalam Antoinette Burton, Gender, Sexuality and Colonial Modernities”, (New York: Routledge, 2005), hlm. 149.

5Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 8.

6Kodrat adalah sifat asli, sifat bawaan yang diberikan oleh Tuhan dan tidak dapat ditentang oleh manusia. Dalam kbbi.web.id/kodrat, diakses pada 20 September 2014 pukul 03.56 WIB.

7Saparinah Sadli, Berbeda tapi Setara: Pemikiran Tentang Kajian Perempuan, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm. 172.

8Pudjiwati Sajogyo, Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa, (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), hlm. 27.

(3)

Konsep gendering kemudian diterapkan pula dalam masyarakat. Hal ini seperti yang dilakukan pada masa pergerakan nasional dalam melawan kolonialisme. Laki – laki memainkan peranannya dalam dalam ranah publik, terutama bidang politik sebagai tonggak utama perjuangan bangsa, sedangkan perempuan diarahkan untuk aktif dalam ranah domestik, mendukung laki – laki dengan menjadi istri dan ibu yang baik untuk menciptakan generasi penerus yang berkualitas. Peran perempuan tersebut dianggap sebagai bagian dari peranan politik mereka dalam menciptakan nasionalisme yaitu contoh ibu yang baik bagi masyarakat dan istri yang baik sebagai pembantu laki – laki.10 Hal ini ditandai dengan

banyaknya organisasi pada masa pergerakan nasional yang memiliki sayap perempuan, seperti Muhamadiyah dengan Aisyiyah-nya, Budi Utomo dengan Wanita Utomo dan Taman Siswa dengan Wanita Taman Siwa-nya.

Pembagian peran dalam perjuangan pun tidak terlepas dari jenis pendidikan yang diberikan. Laki – laki diberikan pendidikan yang memang mengarahkannya untuk terjun aktif dalam kegiatan publik. Perempuan memang diberi kesempatan yang sama, namun karena terbentur dengan kultur hanya sedikit saja perempuan yang terus bersekolah hingga tingkatan yang tinggi. Para orang tua lebih memilih untuk memasukkan anaknya pada sekolah khusus perempuan yang dirasa lebih “aman dan sesuai” untuk anaknya. 11 Perempuan dipersiapkan

agar dapat menjadi mitra laki – laki yang berpendidikan dan modern melalui sekolah khusus perempuan dengan pendidikan yang mempersiapkan mereka untuk menjadi ibu dan istri yang baik dengan keterampilan – keterampilan keperempuanan, seperti menjahit, mengurus anak dan rumah tangga dan sebagainya.12

Setelah Indonesia memroklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, pemerintah mulai bebenah diri. Salah satunya ialah dengan menetapkan kesamaan warga negara dalam berpolitik dan hukum. Hak warga negara dijamin oleh negara dalam UUD 1945 pasal 27 yang berbunyi:

“(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak

10Saskia E. Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia, (Jakarta: Garba Budaya dan Kalyanamitra, 1999), hlm. 222.

11Para orang tua mempertimbangkan pendidikan tersebut karena sekolah campuran terlalu mahal, khawatir jika anak gadisnya bergaul dengan laki – laki dan merasa tidak memerlukan ilmu tersebut untuk dapat menjadi istri dan ibu yang baik di rumah. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia 1900-1940, 1977., hlm. 10-14.

(4)

ada kecualinya, (2) tiap – tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”.13

Jaminan untuk aktif dalam memperjuangkan dan membangun bangsa Indonesia kepada warga negara Indonesia baik laki – laki dan perempuan tidak main – main diberikan oleh pemerintah. Bahkan dalam bukunya yang berjudul Sarinah, Soekarno menanamkan semangat kepada perempuan untuk terlibat dalam perjuangan Republik Indonesia. Soekarno menghimbau bahwa perempuan harus sadar akan haknya. Ia juga mengkritik laki – laki yang menempatkan perempuan sebagai blasteran antara si dewi dan si tolol. Menurutnya laki –

laki harus ikut serta mendorong dan menggandeng perempuan menuju kemajuan bersama.14

Perempuan harus sadar akan dirinya dan apa yang dapat diperbuatnya untuk bangsanya, di antaranya menjadi ibu yang baik untuk menciptakan generasi yang maju dan sebagai istri yang berjuang bersama suami membangun bangsa. Kowani yang merupakan organisasi perempuan terbesar di Indonesia tahun 1950-an banyak terlibat dalam kegiatan sosial, masalah rumah tangga, hak perempuan dan beberapa programnya menuju pada usaha menyadarkan perempuan untuk berpartisipasi dalam dunia politik dan kemajuan negara.15

Pada masa awal pemerintahan Indonesia menggunakan sistem demokrasi liberal. Kebebasan untuk berserikat dan berkumpul serta berpendapat pun telah dijamin dalam pasal 28 UUD 1945.16 Kebebasan pers dibuka lebar. Masyarakat bebas mengutarakan pendapatnya

yang merupakan cerminan dari terjaminnya hak asasi manusia dan kunci dari demokrasi yang asli.17 Dengan kebebasan berpendapat, perempuan turut aktif menyuarakan apa yang mereka

rasakan. Kesempatan teresebut tidak disia-siakan oleh perempuan. Mereka pun menyuarakan pemikirannya dan terus memperjuangkan hak – haknya, baik dalam berpolitik, bermasyarakat

13Undang – undang Dasar Republik Indonesia 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia, 2006.

14Sukarno, Sarinah, Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia

(Djogjakarta: Panitya Penerbit Buku – buku Karangan Presiden Sukarno, 1963).

15Kongres Wanita Indonesia awalnya bernama Kowani (Badan Kongres Wanita Indonesia), gabungan dari Perwari dan PPII, dibentuk di Solo pada tahun 1946. Organisasi ini kemudian berganti nama menjadi Kongres Wanita Indonesia pada kongres Kowani yang kelima di Jakarta 24-26 November 1950. Cora Vreede-De Steurs, Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 176-180. Lihat beberapa keputusan – keputusan yang diambil oleh Kowani pada beberapa rapatnya

pasca Indonesia merdeka hingga tahun 1950-an, dalam Nani Soewondo, Kedudukan Wanita

Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indoneisa, 1984), hlm. 207-222.

16Undang – undang Dasar Republik Indonesia 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat

Republik Indonesia, 2006.

(5)

maupun berumah tangga.18 Hal tersebut dilihat berbeda oleh Saskia E. Wieringa yang

berpendapat bajwa perempuan tetap belum bisa keluar dari sangkar domestiknya akibat pengambilalihan kekuasaan negara oleh laki – laki sebagai miliknya dan menganggap perempuan sebagai pesaing. Laki – laki mendominasi ranah di luar rumah tangga dan perempuan dikonstruksikan sebagai bagian yang tidak bisa lepas dari dunia rumah tangganya sebagai kodrat alami sehingga pengabdiannya untuk bangsa ialah pengabdian dalam keluarga.19 Pernyataan tersebut bukanlah sebuah pendapat yang keliru, namun bukan pula

sebuah hal yang harus dikecewakan, karena dalam opresi yang dialaminya beberapa perempuan terus mengalami negoisasi dengan keadaan. Salah satu usaha yang dilakukan ialah melalui penyuaraan pendapatnya melalui majalah perempuan.

Perkembangan Majalah Perempuan di Indonesia

Majalah merupakan salah satu jenis media massa cetak berbentuk tulisan yang berisikan pikiran dan ide seseorang atau sekelompok orang. Majalah menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah terbitan berkala yang isinya meliputi berbagai liputan jurnalistik, pandangan tentang topik aktual yang patut diketahui pembaca, dan menurut waktu penerbitannya dibedakan atas majalah bulanan, tengah bulanan, mingguan, dan sebagainya, dan menurut pengkhususan isinya dibedakan atas majalah berita, wanita, remaja, olahraga, sastra, ilmu pengetahuan tertentu, dan sebagainya.20 Majalah perempuan berbeda dengan

majalah lainnya, visi dan misi serta konten – konten yang dimasukkan adalah karangan – karangan yang isinya seputar perempuan dan kebutuhannya yang difokuskan lebih kepada pembaca perempuan, seperti mode, resep makanan, kekeluargaan dan sebagainya yang dilengkapi dengan foto.21

De Bataviase Nouvellers merupakan media cetak pertama di Indonesia yang diterbitkan di Batavia pada tahun 1744, disusul oleh de Locomotief di Semarang oada 1852 serta

Bataviaasch Nieuwsblad di Batavia pada 1885.22 Media cetak semakin berkembang pada

18Mengenai penyeruan untuk sadar akan haknya sering dibahas dalam majalah Dunia Wanita, lihat: NN, “Perdana Menteri dan Ibu Hatta beristirahat di Perapat” , dalam Dunia Wanita, 1950, No. 18 Tahun II, 15 Maret 1950, hlm. 8-11. dan Nj. Jusupadi, “Wanita Indonesia dengan Negara”, dalam Dunia Wanita, No 21 Tahun II, 1 Juni 1950, hlm. 10.

19Saskia E. Wieringa, op.cit., hlm. 276.

20kamusbahasaindonesia.org/majalah, diakses pada 13 Juni 2014, pukul 21:13.

21ibid; Elsye Meilani, Majalah Dunia Wanita 1949-1950, Suatu Jembatan Menuju Kemajuan Wanita, skripsi Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indoneisa,

1996, hlm. 3.

(6)

sekitar peralihan abad ke 19 menuju abad ke 2. Hal tersebut didorong oleh beberapa faktor, di antaranya ialah perkembangan perekonomian dan kehidupan modern di perkotaan terus tumbuh dan mempengaruhi gaya hidup masyarakatnya, tata nilai dan kebudayaan mereka secara umum. Masyarakat kota semakin menyadari akan pentingnya informasi untuk mengetahui perkembangan dunia luar yang pada saat itu hanya dapat diperoleh melalui media cetak.23 Media cetak diproduksi tidak hanya oleh orang Eropa, namun juga orang – orang

Tionghoa dan pribumi. Kemunculan media cetak pribumi atau kemudian yang dikenal dengan pers nasional tidak lepas dari pengaruh politik etis. Melalui pendidikan yang merupakan program dari politik etis, muncullah elit – elit pribumi baru. Melalui media cetak mereka dapat berinteraksi dan menuangkan gagasan serta ide – ide baru mengenai nasib

bangsanya.24 Ide – ide baru dan semangat untuk membangun bangsanya muncul melalui

pemikiran – pemikiran para elit baru yang dituangkan dalam bentuk majalah milik organisasi, baik laki – laki maupun perempuan. Contoh majalah yang diterbitkan oleh organisasi perempuan antara lain Soeara Aisjijah milik organisasi Aisyiyah, Sedar milik Isteri Sedar dan

Bale-warti Wanito Oetomo milik Wanito Oetomo.

Menurut Adriane Huijzer masing – masing majalah tersebut memiliki fokus informasi yang berbeda yang dipengaruhi oleh ideologi organisasinya. Soeara Aisjijah milik organisasi Aisyiyah, sayap perempuan dari Muhammadiyah lebih mengarahkan perempuan untuk menjadi perempuan modern yang sesuai dengan Islam dan budaya Jawa, seperti yang ditunjukkan dalam gambaran perempuan yang sedang mengajari membaca, mengenakan sepatu dengan hak namun tetap menggunakan kebaya dan kain serta berhijab.25 Istri Sedar

dengan ideologi yang lebih radikal dari Aisyiyah menghendaki perempuan untuk dapat mencapai hak yang sama dengan laki – laki. Perempuan yang ideal ialah perempuan yang aktif dalam dunia politik selain mengurusi rumah tangganya.26 Wanito Oetomo merupakan

organisasi sayap perempuan dari Budi Utomo, di mana anggotanya adalah istri pegawai dalam pemerintahan Hindia Belanda yang merupakan para priyayi. Perempuan ideal yang digambarkan dalam majalah Bale-warti Wanito Oetomo tersebut ialah perempuan Jawa yang

1992), hlm.112.

23Widya Fitria Ningsih, “Perempuan dalam Iklan Media Cetak di Jawa pada Masa Kolonial (1900-1942), skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 2008, hlm. 22.

24Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870-1915), (Yogyakarta: Tarawang Press, 2000), hlm. 3.

25Lihat gambar 1 pada lampiran Adriane Huijzer, “Indonesian Women as Agents in a

Changing Colonial Society, 1900-1942” tesis S2, Vrije Universiteit, Amsterdam, hlm. 69.

(7)

modern, di mana menjadi seorang istri dan ibu yang baik yaitu mengurus dan mendidik anak dengan baik, menjaga kebersihan serta mengatur keuangan dan menjadi teman yang baik untuk pasangannya. Mereka juga harus mampu menjunjung martabatnya.27

Melalui apa yang dijelaskan oleh Adriane dapat disimpulkan bahwa majalah yang diterbitkan oleh organisasi perempuan pribumi pada masa pergerakan merepresentasikan sebuah wacana di mana perempuan ideal ialah perempuan modern yang dapat berperan sebagai ibu, istri dan pengatur rumah tangga. Selain itu, isu – isu yang diangkat ialah isu seputar perkawinan dan rumah tangga. Menurut Jakob Sumardjo apa yang dipikirkan perempuan pada masa kolonial tersebut terus dibawa pasca kemerdekaan dan mempengaruhi isi bacaan, baik novel maupun majalah perempuan masih berisi seputar perempuan dalam rumah tangga sebagai istri dan ibu yang mengidamkan kedamaian rumah tangga.28 Hal

tersebut dikarenakan perempuan yang aktif pada masa pasca kemerdekaan merupakan perempuan Indonesia yang mendapatkan pendidikan pada masa kolonial, di mana ada wacana

nuclear household model Barat mengupayakan perempuan mengembangkan kemampuanya untuk menjadi perempuan modern dan aktif dalam kegiatan rumah tangganya.29 Melihat hal

tersebut, maka wacana mengenai “ibu dan istri yang baik” terus langgeng dipertahankan dan dosisialisasikan terlebih dengan adanya pelegitimasian pembagian peran dalam keluarga dan masyarakat yang dilakukan oleh negara, baik melalui hukum, sosok personal seperti Soekarno maupun organisasi seperti Kowani.

Pada masa kemerdekaan, majalah perempuan terus mengalami perkembangan, tidak hanya majalah organisasi perempuan, namun juga majalah perempuan yang independen. Majalah - majalah tersebut antara lain Soeloeh Wanita di Malang tahun 1945, Karja yang diterbitkan oleh Perkumpulan Pekerja Perempuan Indoneisa tahun 1947 dan tahun 1948

27Ibid., hlm. 81.

28Jakob Sumardjo, “Perempuan Indonesia dan Kesustraannya”, dalam Mayling Oey-Gardiner, dkk (ed.s) Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996), hlm. 35.

29Nuclear household adalah konsep rumah tangga inti di mana ada suami dan istri yang berbagi peran. Pada masa kolonial, laki – laki aktif dalam kegiatan pergerakan untuk kemerdekaan dalam bidang politik dan sosial, sedangkan perempuan ditempatkan untuk dapat mendukung usaha para laki – laki dan suaminya melalui kegiatan dalam rumah tangganya dengan menjadi istri dan ibu yang baik. Ini juga merupakan ciri organisasi perempuan yang muncul sebagai sayap perempuan dari organisasi laki – laki, seperti Aisiyah

(8)

majalah Wanita terbit di Solo.30 Majalah Dunia Wanita baru muncul pada 15 Juni 1949 di

Medan di bawah pimpinan Ani Idrus.31

Menjamurnya majalah perempuan pasca kemerdekaan menunjukkan bahwa antusias dan semangat perempuan untuk menyuarakan pendapatnya dan memberikan informasi kepada sesama perempuan Indonesia mengalami perkembangan. Hal tersebut juga menunjukkan tingkat minat untuk membaca mulai tertanam dalam masyarakat. meskipun perkembangan tersebut masih terbatas pada perempuan kalangan menengah ke atas dan perkotaan, namun dapat dikatakan sebagai kemajuan yang berarti bagi perempuan di Indonesia.

Tutur Perempuan32 dalam Majalah Dunia Wanita

Majalah Dunia Wanita merupakan sebuah majalah perempuan yang didirikan oleh Ani Idrus33 di Medan. Berbekal dengan pengalaman hidupnya, Ani Idrus mencoba menyuarakan

pemikirannya tentang posisi perempuan, seperti yang pernah ia jelaskan dalam sebuah siaran radio R.N.I. di Medan. Menurutnya emansipasi bukan berarti mengharuskan perempuan untuk menggantikan laki – laki dalam segala urusan, bukan pula terus menerus mengejar karirnya dan melawan laki – laki. Emansipasi yang Ani Idrus maksudkan ialah mengenai kesadaran perempuan untuk berpartisipasi dalam memutuskan dan menyelesaikan perkara dalam masyarakat. Hal tersebut tidak selalu berupa partisipasi perempuan dalam politik,

30Elyse Meilani, op.cit., hlm. 23.

31Ibid.

32Tutur perempuan berarti kisah perempuan yang diceritakan atas apa yang mereka alami yang berkaitan dengan kegiatan reproduksi sosial, produksi di sekitar rumah dan relasinya dengan anggota keluarga, tetangga, harga dan penyediaan bahan makanan. Ruth Indiah Rahayu, “Konstruksi Historiografi Feminisme Indonesia dari Tutur Perempuan”, makalah

dalam Workshop Historiografi Indonesia: di antara Historiografi Nasional dan Alternatif,

Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM dan Australia Research Council, Hotel Yogya Plaza, Yogyakarta, 2-4 Juli 2007, hlm. 13.

(9)

sosial maupun ekonomi, namun bisa dilakukan dari hal terkecil, yaitu dari rumah tangga dan keluarganya dengan berpendapat dan turut serta dalam menyelesaikan permasalahan.34

Pandangan Ani Idrus tersebut sedikit banyak menjadi landasan ideologi majalah Dunia Wanita, di mana perempuan diarahkan untuk mengetahui keberadaan dirinya akan hak – haknya dan mengisi kemerdekaan dengan kemampuan dalam dirinya. Ani Idrus menyebarkan wacana kesetaraan yang ia pahami dalam majalah Dunia Wanita. Dari apa yang ia alami dan pahami tersebut ia coba tanamkan kepada perempuan di Indonesia. Seperti yang dijelaskan oleh Michel Foucault bahwa wacana adalah apa yang dipahami seseorang sebagai sebuah kebenaran dan mempengaruhi tindakan orang tersebut. Wacana dapat menjadi cara untuk mendominasi suatu waktu dan tempat karena dapat mempengaruhi cara berfikir dan pandangan dunia tertentu.35

Majalah Dunia Wanita diterbitkan pada tahun 1949 hingga 1993 di Medan. Tujuan dari

Dunia Wanita dengan jelas dipaparkan dalam kata pengantar majalah Dunia Wanita yang diterbitkan pertama kali pada 15 Juni 1949, yaitu:

“[...] Oleh sebab itulah kami menerbitkan madjallah ini karena kami merasa insaf dengan djalan memberikan penerangan – penerangan dalam madjallah ini kami dapat menjumbangkan bakti untuk kemadjuan wanita. [...]”36

Meskipun majalah perempuan, Gadis Rasid memperkenalkan pada edisi perdananya bahwa majalah Dunia Wanita dapat pula dibaca oleh laki – laki. Tidak ada pemisahan antara laki – laki dan perempuan dalam masyarakat, meskipun ada beberapa kepentingannya yang berbeda seperti apa yang dituliskan dalam Dunia Wanita. Keduanya harus aktif bersama untuk mencapai kebahagiaan dalam masyarakat dan memperjuangkan cita – cita bangsa.37

Majalah Dunia Wanita terbit satu bulan dua kali dan merupakan salah satu majalah yang poluler pada masanya. Kualitas cetak yang bagus dengan harga f. 1.50 majalah ini berhasil dijual sebanyak 1000 eksemplar.38 Agen pemasarannya menyebar di kota – kota

Indonesia seperti Toko E Abd. Gani di Bangkalan-Madura, Maxim di Surabaya, Eveline Tio di Pekalongan, Nj. Dr. S. Djojopoespito di Yogyakarta, Nj. D. Sudarma di Bogor, toko buku

34Siaran tersebut kemudian dituliskan dalam majalah Dunia Wanita. Ani Idrus, “Emansipasi Wanita dalam Arti jang Lebih Tepat”, dalam Dunia Wanita, No. 26. Tahun II, 1 September 1950, hlm. 8.

35Pip Jones, Pengantar Teori – teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post-modernisme, (Jakarta: Obor, 2010), hlm. 173-174.

36Dunia Wanita, No. 1 Tahun 1, 15 Juni 1949, hlm. 5.

37 Gadis Rasid, “Dunia Wanita”, dalam Dunia Wanita, No. 1 Tahun 1, 15 Juni 1949, hlm. 6.

(10)

“Obor” di Martapura, An Lok di Makasar, A.S. Riduan Wahidin di Alabio-Banjarmasin, toko buku “Hamda” di Amuntai, “Perdis” di Tanjung Karang, Sitti Roesdijah di Baturaja, Kwee Tiang Mo di Muara Enim-Palembang, pustakan “d’Orient” dan Lie Kheng Ho di Padang, J. Sihombing di Tarutung, Go Tie Tiong di Samarinda, bahkan hingga ke Singapura oleh agen Marjam Saman.39 Hal tersebut menunjukkan masyarakat sangat antusias dalam membaca

majalah Dunia Wanita, termasuk ibu negara Fatmawati dan Rahmi Hatta.40

Seluruh staff yang ada dalam Dunia Wanita merupakan perempuan, baik yang ada di Medan maupun pembantu tetap yang ada di Jawa, seperti Gadis Rasid di Jakarta, Nj. Dr. S. Djojopoespito di Yogyakarta dan Nona Chen Hsiang-Niang di Banjaran.41 Dalam Dunia

Wanita edisi no. 12-13 tahun ke 4,15 Juni 1952 pun dijelaskan mengenai staff yang ada dalam Dunia Wanita di Medan, seperti Ani Idrus sebagai ketua, Asminah Hasibuan dibantu Anna dalam bagian tata usaha dan keuangan, Sabariah dan Effa bagian redaksi, dan Nurmia bagian tatausaha dan redaksi.42 Laki – laki memang diberi kesempatan untuk menulis di Dunia

Wanita, namun harus menulis mengenai perempuan dan hanya sebatas bagaimana pandangannya mengenai perempuan. Hal ini tidak berlaku bagi perempuan, di mana perempuan menjadi penulis utama dalam Dunia Wanita dan dibebaskan dalam menuliskan temanya mulai dari politik, ekonomi hingga masalah rumah tangga.43 Pembaca juga dihimbau

untuk menuangkan pemikirannya dan mengirimkan hasil karangannya tersebut ke redaksi

Dunia Wanita.44

Suara – suara perempuan dalam majalah Dunia Wanita disajikan dalam berbagai rubik Pada awal terbit, Dunia Wanita menampilkan beberapa rubik, seperti kata pengantar, profil perempuan, artikel dan opini tentang perempuan, “Tanah Air” mengenai keadaan dalam negeri, “Surat Menyurat”, “Djahit Mendjahit”, “Kesehatan”, “Halaman Bergambar” yang berisi foto kegiatan perempuan di dalam dan di luar negeri, “Pendidikan”, “Dalam Rumah Tangga”, “Masak-masakan”, “Untuk Wanita Sadja”, “Tjerita Pendek”, “Rudjak Petis” yang berisi humor, juga karikatur dan beberapa catatan tambahan serta iklan.45 Beberapa dari rubik

tersebut beberapa kali mengalami perubahan, seperti rubik “Untuk Wanita Sadja”. Dalam

39Dunia Wanita, No.1 Tahun 1, 15 Juni 1949, hlm. 6.

40Fatmawati dan Rahmi Hatta bertemu dengan suami Ani Idrus, Mohammad Said di

Yogyakarta dan menanyakan majalah Dunia Wanita dan menyatakan antusiasnya terhadap majalah tersebut. Elyse Meilani, op.cit., hlm. 37.

41ibid.

42Dunia Wanita , No.12-13 Tahun IV,15 Juni 1952, hlm. 24-24 dan 39.

43Elyse Meilani, op.cit., hlm. 36.

44Dunia Wanita, No.1 Tahun I, 15 Juni 1949, hlm. 10.

(11)

rubik tersebut berisi opini dan juga sebuah himbauan mengenai bagaimana perempuan harus bertindak dalam hidupnya, juga beberapa strategi dalam rumah tangga dan menghadapi suaminya. Rubik – rubik tersebut sifatnya tidak tetap, di mana beberapa kali terjadi perubahan. Hal ini diperkirakan sebagai salah satu bentuk strategi dari redaksi majalah Dunia Wanita untuk tetap eksis, mengikuti perkembangan zaman sehingga para pembaca mendapatkan berita yang aktual mengenai.

“Keluarga Ideal” versi Majalah Dunia Wanita

Memiliki keluarga yang harmonis merupakan dambaan setiap manusia. Untuk dapat mewujudkannya, masing – masing orang biasanya memiliki kriteria tersendri yang dipengaruhi oleh pengalaman pribadi masing – masing. Sebagai majalah perempuan yang memuat ide – ide yang dimiliki oleh perempuan, peempuan – perempuan dalam majalah

Dunia Wanita pun memiliki idealisasi keluarga sehingga dapat tercipta keharmonisan di dalamnya.

Menurut majalah Dunia Wanita, keharmonisan dalam rumah tangga dapat terwujud jika terdapat kesetaraan antara suami dan istri di dalamnya. Menurut Ani Idrus, kesetaraan tersebut bukan melulu masalah antara suami dan istri menempatkan dirinya dalam “peran domestik-publik”. Kesetaraan dalam rumah tangga lebih daripada itu, yaitu kesetaraan dalam relasi antara suami dan istri. Kendatipun terdapat pembagian peran domestik-publik antara suami dan istri, namun keduanya harus menjalankan perannya tersebut dengan lebih demokratis. Dengan tujuan tersebut, maka majalah Dunia Wanita mencoba berbagi informasi informasi kepada para pembaca yang notabennya perempuan mengenai apa yang seharusnya mereka sadari sebagai haknya dalam rumah tangga sehingga tercipta keharmonisan.

Sebagai ibu rumah tangga, pekerjaan domestik, seperti mengurusi anak dan kebutuhan rumah tangga dan sebagainya tidak boleh dipandang sebagai pekerjaan yang rendah oleh perempuan. Mereka harus bangga atas perannya tersebut karena peran yang ia lakukan tidaklah mudah. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ida dalam tulisannya “Beratkah Pekerdjaan Seorang Ibu?” sebagai berikut:

(12)

menganggap bahwa pekerdjaan itu rendah, karena anggapan seperti ini salah besar. [...]”46

Melihat hal tersebut, maka seharusnya laki – laki menghargai juga pekerjaan perempuan dalam ranah domestik. Apalagi saat perempuan juga aktif dalam ranah publik, ia harus tetap profesional dalam tugas – tugasnya. Menurut S. Diah dalam tulisannya, laki – laki tidak diperkenannkan untuk menganggap perempuan sebagai alat dapur:

“[...] Untuk dapat memenuhi teriakan orang banjak ini, kita harus mempunjai sjarat2 jang tjukup dan sempurna. Dan sokongan dari kaum laki2, guna ikut serta membimbing dan mengadjak kaum wanita ke arah kemadjuan. Sebab kerdja sama antara laki2 dan wanita akan tampak pula pada kemadjuan masjarakat. Djanganlah kaum laki2 menjerahkan kewadjiban dapur sadja kepada para wanita, karena wanita bukan alat daput semata2. Tahukah, bahwa wanita lebih berat bebannja daripada laki2. Kenjataan, kewajiban wanita itu bermatjam2, seperti memomong putera2nja, mengurus rumah tangga, kadang2 bekerdja di kantor atau mengurus rumah tangga organisasi. Tetapi kaum laki2 hindar dari memasak dan memomong puteranja. Inilah maka wanita tak dapat diabaikan begitu sadja. Dan mengertilah kaum laki2 akan kewadjiban wanita, bahwa wanita bukan alat dapur semata. [...]”47

Penghargaan atas peran domestik perempuan bukan merupakan satu – satunya hal yang perlu dilakukan oleh laki – laki, namun penghargaan tersebut dapat pula diwujudkan dalam sebuah bentuk tindakan. Hal ini sebagai bentuk adanya kesetaraan relasi, bahwa saat relasi itu setara, maka kendatipun terdpat pembagian peran antara suami dan istri dalam rumah tangga, penyelesaian tugas peran tersebut akan dilakukan dengan lebih cair.

Idealisasi keluarga dalam menyelesaikan tugas untuk mengurus anak dituangkan dalam artikel yang diambil dari The Parent Magazine diterbitkan oleh Dunia Wanita dengan judul “Untuk Mendjadi Ajah Sedjati”. Artikel tersebut merupakan bentuk idealisasi seorang suami bagi seorang istri untuk bekerjasama dalam mengurus anak. Hal ini agar saat anak tumbuh, ia tidak hanya mendapat kasih sayang dan dekat dengan ibunya, namun juga dengan ayahnya. Upaya tersebut dilakukan agar terjadi kedekatan emosional di dalam keluarga tersebut.

“Seorang ajah angkatan sekarang mudah mendjadi seorang ajah jang ditjintai oleh dan bertanggung djawab terhadap anak2nja. Ia lebih banjak mengurus baji2nja daripada apa jang telah dikerdjakan orang tuanja terhadap dirinja; bahkan ia tak segan2 menukar lampin bajinja. Banjak pula ajah sekarang jang bersedia memandikan bajinya.[...] Si ajah harus pandai mengetahui, menjesuaikan diri dan mempunjai pandangan kedepan, supaja dapat mengikuti perobahan2 itu. Bila ia ta’ dapat mengikuti perobahan ini, maka

46Ida, “Beratkah Pekerdjaan Seorang Ibu?”, dalam Dunia Wanita, No 18 Tahun II, 15 Maret 1950, hlm. 14-15.

(13)

ada kemungkinan, bahwa anaknja akan mengalami masa2 jang tidak tjotjok dengan perawakannja sementara ia balig.[...]”48

Mengenai kesetaraan relasi sebagai seorang individu, baik istri dan suami harus saling menghargai, termasuk dalam memberikan waktu untuk beristirahat. Hal ini tertuang dalam sebuah artikel yang berjudul “Seorang Ibupun Memerlukan Istirahat”, di mana suami sepatutnya memperhatikan dan menghargai diri seorang istri sebagai individu untuk dapat memiliki waktu dalam “menikmati dan merasakan” dirinya sendiri, sementara itu suami dapat menyelesaikan tugas – tugas dari istrinya tersebut sebagai bentuk kasih sayang dan membahagiakan istrinya.

“[...] Manakala si ibu dapat berdjalan2 dengan anak2, maka kepala keluarga menjiapkan makanan. [...] Kegembiraan dan terimakasih akan bertjermin pada mukanja [...]49

Cara lain untuk dapat untuk saling menghargai satu sama lain sebagai seorang individu ialah dengan mengetahui apa yang harus ia lakukan untuk menyenangkan pasangannya. Untuk dapat “menghegemoni” suaminya, Ida menyarankan agar istri harus bisa memahami suami dengan baik, seperti berbicara pada saat yang tepat dan dengan bahasa yang halus tanpa ada nada memerintah.50 Ukuran suami yang patut dibanggakan oleh istri ialah yang

dapat menghormati keluarga istri, tidak tempramen, tidak banyak omong, menjaga kebersihan dan kesehatannya serta pekerja keras.51 Sebuah karikatur menggambarkan istri yang mencoba

memahami keinginan suaminya dengan memasak masakan yang disukainya, namun suami tidak dapat mengontrol dirinya dengan baik sehingga tampil beratakan dan tidak memikirkan makanan untuk anak dan istrinya.52

Demi menciptakan keluarga yang harmonis, majalah Dunia Wanita pun memberikan kesempatan kepada para pembacanya untuk menuliskan apa yang menjadi persoalan dalam rumah tangga dan harapannya dalam rubik “Suara Seorang Suami dan Harapan Istri”. Pemberian ruang tersebut merupakan sebuah bentuk pemberian demokrasi kepada para pembaca untuk mengungkapkan apa yang mereka pikirkan. Selain itu tulisan tersebut dapat pula menjadi sebuah pembelajaran bagi para pembaca lainnya.

48Lihat gambar 4 pada lampiran. NN, “Untuk Mendjadi Ajah Sedjati”, dalam Dunia

Wanita, No.30 Tahun II, 15 Desember 1950, hlm. 14 dan 18.

49Nj. J.C. Kimball, “Seorang Ibupun Memerlukan Istirahat”, Dunia Wanita No. 9 Tahun IV, 1 Mei 1952, hlm. 5 dan 18.

50Ida, “Isteri”, dalam Dunia Wanita, 1 Juli 1949 tahun ke I, no. 2, hlm. 19.

51Ida, “Banggakah Njonja Melihat Suami Njonja?”, dalam Dunia Wanita, 1 Juli 1949 tahun ke I, no. 2.

(14)

Beberapa curahan hati tersebut berasal dari pembaca berinisial M. R. dan ST. R menceritakan pengalaman rumah tangganya yang kacau akibat tidak dipahaminya emansipasi dan kebebasan baik untuk suami maupun istri dengan benar. Untuk itu mereka berharap agar suami maupun istri dapat menggunakan hak kesetaraan dengan baik dan saling menjaga kepercayaan satu sama lain karena jika tidak dipahami justru akan menimbulkan percecokan dan bahkan perceraian.53 Berbeda dengan itu, O.R.M. menginginkan agar istrinya dapat

menjaga penampilan meskipun sudah memiliki anak dan sibuk dengan pekerjaannya, sedangkan M.S. menginginkan suaminya agar mengerti dengan tidak sering membawa banyak temannya bertamu di rumah, karena selain ia harus terus mengurusi tamu tersebut, pengeluaran untuk suguhan pun mengurangi keuangan rumah tangga di saat sedang krisis.54

Suharti di Medan mengeluh karena suaminya sangat rewel dan galak terhadap anak – anaknya, sedangkan Suami X mengeluhkan istrinya yang kurang berpendidikan.55

Ketimpangan antara hak suami-istri masing sering terjadi dalam rumah tangga. Yanti, Seorang pembaca Dunia Wanita mempertanyakan kedudukan suami istri dalam rumah tangga yang menurutnya tidak seimbang. Istri dituntut untuk memahami suami, namun tidak sebaliknya. Istri yang meninggalkan suami dianggap tidak bersusila rendah, namun tidak sebaliknya.56 Pelimpahan masalah rumah tangga sebagai perempuan yang tidak dapat

mengurus rumah tangganya juga diungkapkan oleh seorang ustadz bahwa perceraian ialah akibat kelalaian istri sehingga perempuan harus diingatkan dan diajari moral dengan baik. Hal tersebut menurut Ida merupakan sebuah kemunduran, di mana hak dan kewajiban istri ialah hanya untuk memuaskan suaminya. Permasalahan – permasalahan yang ada bukanlah semata – mata tanggung jawab perempuan, namun tanggung jawab masyarakat, yang di dalamnya ada perempuan juga laki – laki. Caranya ialah dengan bersama – sama memperbaiki moral masyarakat melalui agama, suami memberi kesempatan kepada istri berorganisasi untuk menambah wawasannya dan bermasyarakat.57

Lagipula perceraian dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang salah. Menurut Sukeni jika suami istri memang sudah tidak memiliki kecocokan, maka perceraian dapat

53 M.R. dan ST. R. Dunia Wanita, No. 1 Tahun IX, 1 Januari 1957, hlm. 13 dan 17.

54 O.R.M. dan M.S., Dunia Wanita, No. 3 Tahun IX, 1 1957, 1 Februari 1957, hlm. 9 dan 21.

55 Ny. Suharti dan Suami X, Dunia Wanita, No. 4 Tahun IX, 15 Februari 1957, hlm. 18 dan 19.

56 Sukeni, “Suami-Istri”, dalam Dunia Wanita, tahun ke 2 no. 26, 1 September 1950, hlm. 17.

(15)

dilakukan daripada memberatkan kedua belah pihak. Bahkan menurutnya, istri boleh meminta cerai pada suaminya jika memang suaminya tidak berlaku baik padanya karena itu adalah bagian dari hak perempuan.58 Perempuan harus sadar akan haknya, karena meskipun

ia dilindungi oleh hukum negara dan agama jika ia tidak memahaminya dan menerapkan pada dirinya, maka ia akan selamanya ditindas. Pada gambar 3 dalam lampiran digambarkan bahwa laki – laki yang sudah sadar emansipasi sekalipun seringkali membatasi kebebasan istrinya untuk mengaktualisasikan dirinya. Akhirnya si istri berinisiatif untuk mengabaikan apa yang diinginkan suaminya tersebut karena ia merasa memiliki hak untuk berpendapat.59

Mengenai persamaan hak asasi, sesama perempuan pun harus saling dapat menghargai, terutama dalam kasus poligini. Jika poligini terlanjur terjadi, maka hal itu harus berjalan dengan cara yang damai, di mana sesama istri harus saling menghormati satu sama lain.60

Laki – laki yang melakukan poligini harus izin pada istri yang sebelumnya.61 Pro dan kontra

poligini pun dibahas kembali, bahwa poligini boleh saja dilakukan selama itu tidak merugikan perempuan, namun yang kontra menganggap bagaimanapun juga poligini merupakan bentuk perbudakan terhadap perempuan. S.K. Trimurti sebagai pihak yang pro mengungkapkan bahwa poligini harus memenuhi syarat, yaitu istri kedua harus berpendidikan dan keibuan. Hal tersebut sebagai indikator bahwa istri baru itu dapat menjalin hubungan baik dengan istri sebelumnya serta anak – anaknya. Namun pihak yang kontra tetap saja menilai poligini sebagai perbudakan terhadap perempuan dan bukan ciri perempuan yang maju.62 Poligini dianggap akan mengacaukan keharmonisan rumah tangga.63

Dalam sebuah artikel yang sangat panjang ditulis oleh Dharmawati dengan judul “Rumah Tangga Saja?” terdapat sepuluh anjuran yang perlu diperhatikan untuk mencapai rumah tangga yang harmonis. Artikel ini dapat dikatakan bentuk lengkap atas beberapa

58Sukeni, “Soal Pertjeraian, Perlukah Mendjadi Perhatian Wanita?”, dalam Dunia Wanita, No. 18 Tahun II, 15 Maret 1950, hlm. 11.

59Lihat gambar 5 pada lampiran. “Masjarakat Mengharapkan Tenaga Wanita Djuga”, dalam Dunia Wanita, , No.12-13 Tahun IV, 15 Juli 1952, hlm. 9.

60 Siti Danilah St. M, “Penderitaan Wanita”, dalam Dunia Wanita, No. 18 Tahun II, 15 Maret 1950, hlm. 3 dan 20.

61 NN, “Dilarang Beristeri Dua dengan Tidak Seizin Isteri Tua, Perkawinan Mesti Merupakan Persetujuan Kedua Belah Pihak”, Dunia Wanita, No. ? Tahun III, 15 Mei 1951, hlm. 9.

62NN, “Pro dan Contra Poligami, Poligami Menjamin Wanita? Prakteknya Poligami Berakibat Wanita Diperbudak”, dalam Dunia Wanita no. 1 tahun ke III, 1 Januari 1951, hlm.6 dan 21.

(16)

artikel yang sidajikan sebelumnya mengenai apa – apa yang harus diperhatikan, yaitu sebagai berikut:

“Sekedar pedoman menudju suasana rumah tangga jang damai, baiklah kami tjatetkan disini beberapa petundjuk, jang tentunya dapat ditambah dan dikurangi. [...] antara suami dan istri sebainja dalam semua soal berterus terang. Kalau ada tindakan masing2 jang buat satu pihak dianggapnja tidak tepat njatakan setjara terus terang. [...] Baik suami maupun isteri harus menundjukan penghargaan dan kedjernihan muka (ramah taman) dalam menerima kedatangan keluarga kedua belah pihak. [...] Buat seorang suami, walaupun bagaimana sekalipun sibuknja harus diambil waktu untuk menghibur isteri diluar rumah, misalnja menonton atau ber-djalan2. [...]. Kalau suami pulang dari perdjalanan, terutama perdjalanan keluar kota haruslah pulangnja membawa oleh2 [...] demikian djuga sebaliknja. [...] Baik isteri maupun suami, djika menerima pemberian misalnja cadeau sewaktu hari ulang tahun salah satu pihak, harus menerimanja dengan gembira. [...] Walaupun isteri dapat membeli dan memilih sesuatu jang dianggapnja perlu, tetapi dia lebih puas kalau dalam membeli itu dapat meminta pertimbangan suaminja [...] demikian pun sebaliknja. [...] Baik suami maupun istri djangan terpengaruh dengan kemewahan orang lain, sehingga dapat mendjadi pikiran salah satu pihak. [...] Kalau suami kembali dari pekerdjaan, sitri harus bersih dan gembira [...] demikian djuga kalau suami akan pergi ke pekerdjaan. Buat suami harus diperlihatkan kegembiraan atas sambutan atau antaran isteri ketika kembali untuk pergi ke pekerdjaan itu. [...] Baik suami maupun isteri djangan mengganggu djika dilihat suami sedang bekerdja, atau ada tamu jang sedang diladeni. Djika untuk mengambil sesuatu uruslah sendiri [...] baik suami maupun isteri djika akan pergi meninggalkan rumah, harus memberitahu kepada jang tinggal. [...] Kalau istri maupun suami sakit, oleh pihak yang sehat harus ditunjukkan rawatan jang bisa memuaskan jang sakit. [...] Demikianlah sekedar pedoman singkat untuk menudju kepada kedamaian dalam rumah tangga. [...]”64

Dari sepuluh hal tersebut dapat disimpulkan bahwa antara suami dan istri yang ideal ialah yang dapat menjadi partner dan orang tua yang baik dengan terlibat langsung mengurus anak dan rumah tangganya, mengerti cara untuk menghargai satu sama lain, baik sebagai suami-istri maupun individu yang merdeka.

Beberapa artikel yang diambil dari majalah Dunia Wanita kurang lebih dapat mencerminkan mengenai ide kesetaraan relasi antara laki – laki dan perempuan di dalam rumah tangga yang merupakan bentuk ideal sebuah keluarga versi majalah Dunia Wanita.

Rumah tangga yang ideal dan dapat menciptakan keharmonisan rumah tangga yang di dalamnya terdapat rasa tanggung jawab bersama antara suami dan istri, sehingga mereka harus bekerjasama dalam menjalankan rumah tangga tersebut. Jadi masalah – masalah dalam rumah tangga, seperti mengurus anak, mengurus rumah, menyelesaikan masalah dan berpendapat merupakan tanggung jawab bersama dalam relasi yang setara. Hal ini seperti

(17)

yang diidamkan oleh feminis Radikal-Kultural, Marilyn French yaitu masyarakat yang androgini, di mana setiap individu laki – laki dan perempuan di dalamnya dapat merangkul nilai feminin, yaitu kemauan untuk saling menjaga setara dalam rasa saling memiliki dan status.65

Timbul dan Tenggelam, Termakan Politik

Wacana kesetaraan relasi dalam keluarga yang diberikan oleh majalah Dunia Wanita

lambat laun mengalami penggeseran isu dari majalah itu sendiri. Hal ini ditandai dengan menghilangnya beberapa rubik dan artikel yang membahas mengenai tema tersebut. Rubik

“Untuk Wanita Sadja” sempat ditiadakan pada terbitan tahun 1950. Redaksi tidak menjelaskan mengenai penghilangan rubik tersebut, namun sepertinya rubik tersebut menuai kesalahpahaman pada pembaca laki – laki seperti yang dijelaskan oleh redaksi sebagai berikut:

“Banjak orang laki – laki tidak mengerti maksud “D.W.” tentang iklan – iklan yang dimuat di surat – surat chabar tentang satu rubiek jang kami harap djangan dibatja oleh laki-laki. Sangka mereka semua isi madjallah itu dilarang dibatja oleh laki – laki. Untuk mendjaga supaya djangan terdapat salah paham, maka perlu kami terangkan di sini bahwa “Dunia Wanita” bukan tidak boleh dibatja laki – laki tetapi di dalam madjallah itu ada satu rubiek jang hanja untuk WANITA sadja, jang mana kalau boleh djangan dibatja oleh laki – laki, karena di dalemnja dibitjarakan soal perempuan sadja yang tidak perlu diketahui laki-laki. [...]66

Rubik “Untuk Wanita Sadja” kembali muncul pada edisi No. 24 Tahun ke IV 15 Desember 1952 dalam isi yang lebih banyak.67 Pada edisi No. 1 tahun ke IX 1 Januari 1957

muncul rubik yang memberikan kolom semacam surat terbuka dari pembaca yang dikategorikan sebagai “Harapan Istri” dan “Suara Seorang Suami” sebagai jalan untuk mengutarakan pendapat dan apa yang ia alami dalam rumah tangganya dan ingin dibagi kepada pembaca Dunia Wanita. Sayangnya rubik tersebut pun tak berlangsung lama, hanya bertahan pada edisi No. 7 tahun ke IX 1 April 1957 dan menghilang tanpa penjelasan dari redaksi majalah Dunia Wanita. Karikatur yang berisi sindiran dan ide – ide kesetaraan pun menghilang dan digantikan dengan karikatur yang bersifat humor. Setelah saat itu, ide mengenai kesetaraan relasi dalam keluarga di majalah Dunia Wanita terus menglami penurunan dan hilang perlahan digantkan dengan isu yang lain, seperti politik dan keterlibatan perempuan dalam masyarakat. Hal ini berkitan dengan sepak terjang perempuan

65Rosemarie Putnam Tong, ibid, hlm. 81

66Dunia Wanita, No. 2 Tahun 1, 1 Juli 1949, hlm. 22.

(18)

dalam dunia politik pada masa demokrasi terpimpin yang ditandai dengan masuknya Gerwani dalam kancah politik yang membuat mereka menjadi terkotak – kotak dan saling bersaing sehingga lupa akan perjuangan kepentingan feminis mengenai ide kesetaraan gender itu sendiri.68

Kesimpulan

Dalam Dunia Wanita, keluarga ideal yang menciptakan suasana harmonis dapat tercapai jika suami dan istri dilibatkan dalam seluruh tugas dan menyelesaikan bersama masalah rumah tangga serta saling menghargai pribadi masing – masing. Di dalam keluarga diciptakan suasana demokratis, di mana pendapat dan pemikiran masing – masing dihargai dan dipertimbangkan. Itulah salah satu bentuk kesetaraan yang terkadang dilupakan saat kesetaraan selalu diartikan sebagai pencapaian posisi dalam ranah publik. Ini pula yang ditekankan oleh feminis kultural, bahwa kesetaraan relasi merupakan hal pokok yang harus dicapai, apapun peran yang dimainkan oleh perempuan maupun laki – laki. Jika kesetaraan relasi telah tercapai, maka tugas akibat pembagian peran akan dapat lebih cair untuk dikerjakan.

Masalah rumah tangga yang menampilkan ide kesetaraan menjadi bagian yang menarik dalam konteks tahun 1950-an dalam tulisan – tulisan yang dimuat dalam majalah

Dunia Wanita. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa demokrasi liberal dan penjaminan hak berpendapat diberikan oleh negara dimanfaatkan betul oleh perempuan melalui majalah Dunia Wanita ini dalam menyuarakan pendapatnya mengenai partisipasi istri dan suami secara setara dalam rumah tangganya untuk mencapai keharmonisan. Inilah bentuk negoisasi perempuan yang tidak dapat dilihat oleh Saskia mengenai kesetaraan relasi antara suami dan istri dalam rumah tangga.

Demikianlah ide kesetaraan dalam rumah tangga yang disuarakan Dunia Wanita pada tahun 1950-an. Sesuai dengan tujuannya, yaitu memberikan pengetahuan untuk kemajuan perempuan. Kemajuan perempuan tidak harus selalu mengenai kesetaraan perempuan dan laki - laki dalam ranah publik, baik berpolitik dan bersosial, namun juga dari kemajuan pada rumah tangganya sendiri. Perempuan dan laki – laki bersama – sama dalam relasi yang setara membangun keluarga yang harmonis.

(19)

Daftar Pustaka

Peraturan Pemerintah

Undang – undang Dasar Republik Indonesia 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia, 2006.

Buku

Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial (1870 -1915). Yogyakarta: Tarawang Press, 2000.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia 1900-1940, 1977

Gouda, Frances,. Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 1900-1942.

Jakarta: Serambi, 2007.

Jones, Pip., Pengantar Teori – teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Post modernisme. Jakarta: Obor, 2010.

Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012.

Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indoneisa, 1984.

Pudjiwati Sajogyo, Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa. Jakarta: CV. Rajawali, 1985.

Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia. Jakarta: Trinity Press, 1977.

Tong , Rosemarie Putnam., Feminist Thought:Pengantar Paling Komprehensif kepada Arus Utama Pemikiran Feminis, alih bahasa Aruarini Priyatna Prabasmoro. Yogyakarta, Jalasutra.

Saparinah Sadli, Berbeda tapi Setara: Pemikiran Tentang Kajian Perempuan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2010.

Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional, dari Kolonialisme sampai Nasionalisme. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Sukarno, Sarinah: Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia. Djogjakarta: Panitya Penerbit Buku – buku Karangan Presiden Sukarno, 1963.

Vreede-De Steurs, Cora,. Sejarah Perempuan Indonesia: Gerakan dan Pencapaian. Jakarta: Komunitas Bambu, 2008.

(20)

Artikel

Mary Hancock, “Gendering the Modern: Women and Home Science in British India”, dalam Antoinette Burton, Gender, Sexuality and Colonial Modernities”. New York: Routledge, 2005.

Hatley, Barbara dan Susan Blackburn, “Representations of Women’s Roles in Household and Society in Indonesian Women’s Writing of the 1930s”, dalam Juliette Koning, dkk (ed.s), Women and Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices.

NIAS in Asian Topics: Curzon, 2000.

Jakob Sumardjo, “Perempuan Indonesia dan Kesustraannya”, dalam Mayling Oey-Gardiner, dkk (ed.s), Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1996.

Ratna Saptari, “Women, Family and Household: Tensions in Culture and Practice”, dalam Juliette Koning, dkk (ed.s), Women and Households in Indonesia: Cultural Notions and Social Practices. NIAS in Asian Topics: Curzon, 2000.

Ruth Indiah Rahayu, “Konstruksi Historiografi Feminisme Indonesia dari Tutur Perempuan”,makalah dalam Workshop Historiografi Indonesia: di antara Historiografi Nasional dan Alternatif, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM dan Australia Research Council, Hotel Yogya Plaza, Yogyakarta, 2-4 Juli 2007.

Karya Ilmiah

Elsye Meilani, Majalah Dunia Wanita 1949-1950, Suatu Jembatan Menuju Kemajuan Wanita, skripsi Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indoneisa, 1996

Huijzer, Adriane., “Indonesian Women as Agents in a Changing Colonial Society, 1900 1942” tesis S2, Vrije Universiteit, Amsterdam.

Widya Fitria Ningsih, “Perempuan dalam Iklan Media Cetak di Jawa pada Masa Kolonial (1900-1942), skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, 2008.

Majalah

Dunia Wanita, No.1 Tahun I, 15 Juni 1949

Dunia Wanita, No. 2 Tahun 1, 1 Juli 1949

Dunia Wanita, No. 18 Tahun II, 15 Maret 1950

Dunia Wanita, No 21 Tahun II, 1 Juni 1950

Dunia Wanita, No. 26 Tahun II, 1 September 1950

Dunia Wanita, No.30 Tahun II, 15 Desember 1950

Dunia Wanita, No. 1 tahun ke III, 1 Januari 1951

(21)

Dunia Wanita, No. 9 Tahun IV, 1 Mei 1952

Dunia Wanita , No.12-13 Tahun IV,15 Juni 1952

Dunia Wanita, No.12-13 Tahun IV, 15 Juli 1952

Dunia Wanita, No. 24 Tahun IV 15 Desember 1952

Dunia Wanita, No. 3 Tahun VI, Februari 1954

Dunia Wanita, No. 1 Tahun IX, 1 Januari 1957

Dunia Wanita, No. 3 Tahun IX, 1 1957, 1 Februari 1957

Dunia Wanita, No. 4 Tahun IX, 15 Februari 1957

Internet

kamusbahasaindonesia.org/majalah, diakses pada 13 Juni 2014, pukul 21:13 WIB. kbbi.web.id/kodrat, diakses pada 20 September 2014, pukul 03:56 WIB.

Lampiran

Gambar 1. Soeara Aisjijah, vol. 7, no. 12, Agustus 1932, dalam Adriane Huijzer.

(22)

Gambar 3. “Serba Salah”

Gambar 4. Keterlibatan suami dan istri dalam mengurus anaknya.

(23)

Gambar 6. Saat suami poligini, seringkali anak dan istri yang lama ditelantarkan.

Gambar

Gambar 1. Soeara Aisjijah, vol. 7, no. 12, Agustus 1932, dalam Adriane Huijzer.
Gambar 4. Keterlibatan suami dan istri dalam mengurus anaknya.
Gambar 7. Ani Idrus, pendiri majalah Dunia Wanita

Referensi

Dokumen terkait

Majalah Kartini Edisi Khusus 100 Wanita Terinspiratif Tahun 2008 Majalah Kartini Edisi Khusus 100 Wanita Terinspiratif Tahun 2009 Majalah Kartini Edisi Khusus 100

Kesetaraan hak berpolitik antara laki-laki dan perempuan terlihat masih belum sejajar, terbukti dengan sangat minimnya keterwakilan perempuan dalam lembaga

Candra Putra Mantovani, L100090002, Konstruksi Perempuan di Dalam Majalah MALE (Analisis Wacana Terhadap Artikel MALEZONE di Majalah MALE edisi 21 Juni - 16 Agustus 2013),

Melalui analisis semiotika sosial yang dilakukan terhadap empat artikel terpilih pada rubrik CINTA ini, ditemukan bahwa majalah GADIS tidak membuat konstruksi baru gender perempuan

Dalam artikel ini, penulis berusaha menjelaskan bahwa karakter-karakter tokoh perempuan dalam cerita pendek di majalah hiburan itu menyumbang secara signifikan

Pada beberapa iklan, masih memperlihatkan citra perempuan yang dipandang sebagai “obyek” untuk memuaskan kaum laki-laki, meskipun dalam iklan di majalah Femina citra

Puji dan syukur peneliti ucapkan karena peneliti masih diberi kesempatan untuk melakukan penelitian dan tulisan yang berjudul “Konstruksi Gender Perempuan dalam Artikel Majalah

Kelompok perempuan dalam sistem bermasyarakat Sudan Selatan Ketimpangan relasi gender antara laki-laki dan perempuan dalam struktur sosial bermasyarakat di Sudan Selatan membatasi dan