• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Yuridis Pengesahan Perkawinan Beda Agama dan Akibat Hukumnya (Studi Penetapan No. 156 PDT.P 2010 PN.SKA Tentang Perkawinan Beda Agama)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Yuridis Pengesahan Perkawinan Beda Agama dan Akibat Hukumnya (Studi Penetapan No. 156 PDT.P 2010 PN.SKA Tentang Perkawinan Beda Agama)"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN LARANGAN PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Hukum Perkawinan Di Indonesia

1. Pengertian, Asas dan Tujuan Perkawinan

Perkawinan adalah perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam masyarakat sederhana budaya perkawinannya sederhana, dan tertutup, dalam masyarakat maju (modern) budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka.45

Masyarakat Indonesia yang tergolong heterogen dalam segala aspeknya. Dalam aspek agama jelaslah bahwa terdapat dua kelompok besar agama yang diakui di Indonesia yakni agama samawi dan agama non samawi ; agama Islam, Hindu, Budha, Kristen Protestan dan Khatolik. Keseluruhan agama tersebut memiliki tata aturan sendiri-sendiri baik secara vertikal maupun horisontal ; termasuk di dalamnya tata cara perkawinan.46

Budaya perkawinan dan aturan yang berlaku pada suatu masyarakat atau pada suatu bangsa juga tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berada serta pergaulan masyarakat bersangkutan. Seperti halnya

45Hilman Hadikusuma,Hukum Perkawinan Indonesia Menurut : Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Bandung, Mandar Maju, 2007, hal. 1.

(2)

aturan perkawinan di Indonesia bukan saja dipengaruhi oleh ajaran agama, tetapi juga dipengaruhi oleh adat budaya masyarakat setempat bahkan budaya asing. Dengan demikian hukum perkawinan yang berlaku bagi tiap-tiap agama dan budaya masyarakat tersebut terdapat perbedaan satu dengan yang lain, akan tetapi tidak saling bertentangan.47

Sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan terdapat berbagai macam peraturan tentang perkawinan yang berlaku. Hal ini dikarenakan pada saat itu terjadi penggolongan penduduk di Indonesia berdasarkan Pasal 131 IS dan Pasal 163 IS. Hukum-hukum perkawinan yang berlaku pada saat itu, adalah :48

1. Bagi orang-orang Indonesia asli berlaku hukum adat mereka. Dalam hal ini bagi orang-orang Islam berlaku hukum perkawinan menurut agama Islam. Orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen tunduk pada Staatblad 1933 no. 74 (Huwelijik Ordonantie Christen Indonesia/HOCI)

2. Bagi orang-orang Arab dan lain-lain bangsa Timur Asing yang bukan Tionghoa berlaku Hukum Adat Mereka.

3. Bagi orang-orang Eropa berlakuBurgerlijk Wetboek.

4. Bagi orang-orang Tionghoa berlaku Burgerlijk Wetboek dengan sedikit kekecualian yaitu mengenai hal pencatatan jiwa dan acara sebelum perkawinan dilakukan.

47Ibid.

(3)

5. Dalam hal perkawinan campuran pada umumnya berlaku hukum dari suami. (Peraturan Perkawinan Campuran diatur dalam Regeling op de gemende Huwelijken, Staatblad I898 No. 158).

Peraturan mengenai perkawinan yang berlakunya berdasarkan golongan penduduk, dirasa sudah tidak cocok lagi dengan perkembangan zaman serta politik hukum di Indonesia. Selain itu bag suatu negara seperti Indonesia mutlak adanya Undang-Undang Perkawinan nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat.49

Maka melalui proses yang panjang terciptalah unifikasi Hukum Perkawinan Indonesia dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974, yang untuk selanjutnya disebut sebagai Undan Perkawinan. Sejalan dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku efektif pada tanggal 1 Oktober 1975.

Hal ini bermakna bahwa dengan keluarnya Undang-Undang Perkawinan, keanekaragaman hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan berlaku bagi berbagai golongan warga negara dalam masyarakat dan dalam berbagai daerah

(4)

dapat diakhiri. Namun demikian ketentuan hukum perkawinan sebelumnya, ternyata masih tetap dinyatakan berlaku, selama belum diatur sendiri oleh Undang-Undang Perkawinan dan hal itu tidak bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinantersebut.50

Sesuai dengan Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan yang menyatakan bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan maka peraturan-peraturan sebelum keluarnya Undang-Undang Perkawinan dan sejauh telah diatur oleh Undang-Undang Perkawinan maka dinyatakan tidak berlaku. Namun ketentuan hukum perkawinan yang lama masih tetap berlaku sesuai dengan peruntukan yakni untuk mereka yang melangsungkan perkawinan sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, ditentukan dalam suatu hukum perkawinan :51

a. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan Eropa yang beragama Islam :

1. Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

2. Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan sessuai dengan hukum agama Islam.

3. Hal-hal yang tidak diatur di dalam nomor (1) dan (2), maka bagi orang Indonesia asli diberlakukan hukum agama Islam yang direpisir dalam

50

Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Di Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2006, hal. 230.

(5)

hukum adat, bagi Tionghoa berlaku KUHPerdata dengan sedikit perubahanya, bagi Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum adatnya masing-masing dan bagi Eropa berlaku KUHPerdata.

b. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan Eropa yang beragama Nasrani (Katolik dan Protestan) :

1. Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

2. Sahnya dan syaratnya perkawinan serta larangan perkawinan sesuai dengan hukum agama Nasrari (Katolik dan Protestan).

3. Hal-hal yang tidak diatur dalam Nomor (1) dan (2), maka bagi orang Indonesia asli Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, bagi Tionghoa berlaku KUHPerdata dengan sedikit perubahan, bagi Timur Asing bukan Tionghoa berlaku hukum adatnya masing-masing dan bagi Eropa berlaku KUHPerdata.

c. Bagi orang Indonesia asli, Tionghoa, Timur Asing bukan Tionghoa dan Eropa yang beragama Hindu maupun Budha :

1. Berlaku Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

2. Sahnya dan syarat perkawinan serta larangan perkawinan sesuai dengan agama Hindu maupun Budha.

(6)

Tionghoa berlaku hukum adatnya masing-masing, dan bagi Eropa berlaku KUHPerdata.

Undang-Undang Perkawinan menampung prinsip-prinsip yang memberikan landasan hukum perkawinan bagi warga negara Indonesia. Undang-Undang Perkawinan juga telah meresipier di dalamnya unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan agama dan kepercayaan. Selain itu, Undang-Undang Perkawinan mengandung prinsip-prinsip atau asas-asas mengenai perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang telah disesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Adapun asas-asas yang tercantum dalam Undang-Undang Perkawinanadalah sebagai berikut :

1. Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi, agar masing-masingn dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spiritual dan materiil.

2. Dalam undang-undang ini dinyatakan bahwa suatu perkawinan adalah sah, bilamana dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, dan di samping itu tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan

(7)

yang bersangkutan, hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan tertentu dan diputuskan oleh Pengadilan.

4. Prinsip calon suami istri harus telah matang jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat. Untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di bawah umur.

5. Karena tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal dan sejahtera, maka undang-undang ini menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian. Untuk memungkinkan perceraian, harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukakn di depan sidang pengadilan

6. Hak dan kedudukan suami dan istri adalah seimbang baik dalam kehidupan rumah tangga maupu dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan demikian segala sesuatunya dalam keluarga dapat dirundingkan dan diputuskan oleh suami istri.

Undang-Undang Perkawinan memberikan defenisi perkawinan yang berbeda dengan KUHPerdata yang hanya memandang dari sudut hukum perdata saja. Definisi perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan didasarkan pada unsur agama atau religius, hal itu sebagaimana di aitur dalam Pasal 1Undang-Undang Perkawinan, yang menyatakan bahwa :

(8)

tersebut mengandung makna bahwa suatu perkawinan adalah suatu perikatan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini berarti dalam suatu perkawinan terdapat unsur keagamaan yang kuat, bahwa tiada perkawinan tanpa didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.”

Terdapat beberapa hal dari rumusan perkawinan tersebut di atas yang perlu diperhatikan :52

1. Digunakannya kata: “seorang pria dengan seorang wanita mengandung arti bahwa perkawinan itu hanyalah antara jenis kelamin yang berbeda. Hal ini menolak perkawinan sesama jenis yang waktu ini telah dilegalkan oleh beberapa negara Barat.

2. Digunakannya ungkapan “sebagai suami isteri” mengandung arti bahwa perkawinan itu adalah bertemunya dua jenis kelamin yang berbeda dalam satu rumah tangga, bukan hanya dalam istilah “hidup bersama”.

3. Dalam defenisi tersebut disebutkan pula tujuan perkawinan yaitu membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal, yang menafikan sekaligus perkawinan temporal sebagaimana yang berlaku dalam perkawinan mut’ah dan perkawinantahlil.

4. Disebutkannya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan bahwa perkawinan itu bagi Islam adalah peristiwa agama dan dilakukan untuk memenuhi perintah agama.

(9)

Sejalan dnegan itu pengertian Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada Pasal 2 KHI dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah:

“pernikahan yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”

Akad dalam pernikahan bermakna yaitu adanya proses ijab sebagai pernyataan penyerahan dari pihak perempuan dan kabul sebagai pernyataan dari pihak laki-laki.53

Sayuti Thalib berpandangan bahwa Undang-Undang Perkawinanmelihat perkawinan dari tiga segi pandangan yaitu :54

1. Perkawinan dilihat dari segi hukum

Perkawinan ini merupakan suatu perjanjian, juga dapat dikemukakan sebagai alasan untuk mengatakan perkawinan itu merupakan suatu pernjanjian ialah karena adanya cara mengadakan ikatan perkawinan terlah diatur terlebih dahulu yaitu dengan akad nikah dengan sukun dan syarat tertentu dan adanya cara menguraikan atau memutuskan ikatan perkawinan juga telah diatur sebelumnya.

2. Perkawinan dilihat dari segi sosial

53Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat : Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta, Rajawali Pers, 2009, hal. 7.

(10)

Dalam masyarakat setiap bangda, ditemui suatu penilaian umum bahwa orang yang berkeluarga atau pernah berkeluarga mempunyai kedudukan yang lebih dihargai dari mereka yang tidak kawin.

3. Perkawinan dilihat dari segi agama

Pandangan suatu perkawinan dari segi agama adalah suatu segi yang sangat penting. Dalam agama perkawinan itu dianggap suatu lembaga yang suci. Upacara perkawinan adalah upacara yang suci, yang kedua pihak dihubungkan menjadi pasangan suami istri atau saling minta menjadi pasangan hidupnya dengan mempergunakan nama Allah.

Tujuan dari perkawinan yang diatur pada Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.55 Dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama dan kerohanian, dalam hal perkawinan disetiap agama pasti mempunyai suatu tujuan yang jelas, tujuan perkawinan tersebut diharapkan dapat membuat suatu ketenangan dalam hubungan rumah tangga dengan dasar agama.

Sedangkan Tujuan perkawinan dalam hukum Islam tidak terlepas dari penryataan Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam yang pertama. Tujuan perkawinan ini dapat dilihat dalam QS Ar-Rum ayat 21 yang berbunyi :

(11)

“diantara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT ialah bahwa Dia menciptakan isteri-isteri bagi laki-laki dari jenis mereka sendiri agara mereka merasa tentram. Kemudian Allah menjadikan/menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang di antara mereka.”

Tujuan perkawinan di atas tercermin dalam ketentuan Pasal 3 KHI yaitu perkawinan bertujuan utuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,

mawaddah dan warahmah.

2. Sahnya Perkawinan dan Syarat Perkawinan

Konsep perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinanmemandang perkawinan bukan hanya sekedar hubungan keperdataan saja melainkan juga ikatan suci yang didasarkan oleh agama. hal ini sesuai dengan falsafah Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa di atas segala-galanya.56

Undang-Undang Perkawinan menempatkan agama sebagai unsur yang sangat penting dalam perkawinan. Sebuah perkawinan adalah sah apabila syarat-syarat ataupun ketentuan ketentuan dalam hukum agama dan kepercayaannya masing-masing terpenuhi. Hal tersebut terdapat pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinanyang berbunyi :

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu.”

Dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi

(12)

golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.57

Dari rumusan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinandapat juga disimpulkan apabila suatu perkawinan dilakukan tidak menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing atau ada salah satu larangan perkawinan yang dilanggar maka perkawinan tersebut adalah tidak sah.

Bagi pasangan yang hendak melangsungkan perkawinan harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu perkawinan yang telah ditentukan oleh Undang-undang. Agar perkawinan dapat dilangsungkan, maka calon mempelai harus memennuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat perkawinan ini diatur dalam Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 11 Undang-Undang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.

Berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, ada 2 (dua) macam syarat-syarat perkawinan yaitu syarat materiil adalah syarat yang melekat pada diri masing-masing pihak yang disebut juga dengan syarat-syarat subjektif. Dan syarat formal yaitu mengenai tatacara atau prosedur melangsungkan perkawinan menurut agama dan undang-undang yang disebut juga sebagai syarat objektif.58

Syarat materill atau syarat subjektif yang harus dipenuhi bagi calon suami istri adalah sebagai berikut :

57

Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan),Yogyakarta, Liberty, 1986, hal. 63.

(13)

1. Persetujuan kedua calon mempelai

Menurut Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, perkawinan harus didasari atas persetujuan kedua mempelai, artinya kedua calon mempelai telah sepakat untuk melaksanakan suatu perkawinan tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Persetujuan calon mempelai ini tidak berarti mengurangi syarat-syarat perkawinan yang diatur dalam undang-undang dan ketentuan yang berlaku menurut agama masing-masing.

2. Ijin Orang tua/pengadilan jika belum berumur 21 tahun

Menurut Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, untuk melangsungkan suatu perkawinan seseorang yang belum berumur mencapai 21 tahun harus mendapatkan ijin dari kedua orangtua, namun dalam Pasal 6 ayat (3) UUO menyebutkan bahwa jika kedua orangtuanya meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka ijin dimaksud dalam ayat (2) cukup diperoleh dari orangtua yang masih hidup atau yang mampu menyatakan kehendaknya. 3. Pria sudah berumur 19 dan wanita berumur 16 tahun

(14)

4. Tidak terikat dalam suatu perkawinan

Pada Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan, seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan. Dalam Pasal 9 ini menganut asas monogami dimana suatu pekawinan tidak diperbolehkan untuk kawin lagi, tetapi apabila dalam perkawinan yang terdahulu terdapat masalah sessuai dengan yang dijelaskan pada Pasl 4 maka laki-laki tersebut dapat kawin lagi namun sesuai dengan peraturan agama masing-masing.

5. Tidak melakukan perkawinan atau perceraian untuk kedua kalinya dengan suami/istri yang sama.

(15)

6. Bagi janda

(16)

Sedangkan syarat formil ini berkaitan dengan tata cara pelangsungan perkawinan. Syarat formil suatu perkawinan dapat merupakan atau meliputi syarat yang mendahului pelangsungan perkawinan. Syarat-syarat formal tersebut terdiri daro 3 (tiga) tahap, yaitu :

a. Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan b. Penelitian syarat-syarat perkawinan

Penelitian syarat-syarat perkawinan dilakukan setelah ada pemberitahuan akan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Penelitian syarat-syarat perkawinan memeriksa apakah syarat-syarat perkawinan sudah terpenuhi atau belum dan apakah ada halangan perkawinan menurut Undang-undang.

c. Pengumuman tentang pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan Tujuan diadakannya pengumuman ini yaitu untuk memberi kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan terhadap dilangsungkannya perkawinan. Pengumuman tersebut ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan dan memuat hal ihwal orang yang akan melangsungkan perkawinan, yang memuat kapan dan di mana perkawinan itu akan dilangsungkan.59

KHI dalam Bab IV juga mengatur tentang rukun dan syarat-syarat perkawinan. Dalam Pasal 14 KHI menyebutkan apa yang biasa dalam kitab fiqih disebut dengan rukun nikah, bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada :60

1. Calon suami

59Hilman Hadikusuma,Op.Cit.,hal. 83.

(17)

2. Calon istri 3. Wali nikah 4. Dua orang saksi 5. Ijab dan qabul

Syarat dan ketentuan mengenai calon suami dan istri hampir sama dengan apa yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu batas usia calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 Tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun, dan bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan izin sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (3), (4) dan (5) Undang-Undang Perkawinan. Selain itu berdasarkan Pasal 16 ayat (1) dan (2) KHI perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas. Selain itu syarat bagi kedua mempelai berdasarkan Pasal 18 KHI adalah tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana di atur dalam Bab VI.

Wali nikah diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 23 KHI dimana dalam Pasal 20 KHI, yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yaitu muslim, aqil dan baliq. Wali terdiri dari :

1. Wali Nasab

(18)

laki-lakinya sendiri.61Wali nasab terdiri dari empat kelompok yang lain sesuai dengan erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita. Keempat kelompok tersebut berdasarkan Pasal 21 ayat (1) KHI yaitu : a. Kelompok pertama, meliputi kerabat laki-laki garis lurus ke atas yaitu

ayah, kakek dari pihak ayah dan seterusnya;

b. Kelompok kedua, meliputi kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah dan keturunan laki-laki mereka;

c. Kelompok ketiga, meliputi kerabat paman yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka;

d. Kelompok keempat, meliputi saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali nikah, maka sesuai dengan Pasal 21 ayat (2) KHI yang paling berhak menjadi wali ialah yang lebih dekat serajat kekerabatannya dengan calon mempelai wanita. Dan apabila dalam satu kelompok dalam satu kelompok sama derajat kekerabatannya maka sesuai dengan Pasal 21 ayat (3) KHIyang paling berhak menjadi wali nikah ialah kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

2. Wali hakim

(19)

Wali hakim adalah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang dalam bidang perkawinan, biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen Agama.62Menurut Pasal 23 ayat (1) KHI, wali hakim baru dapat bertindak sebagai wali nikah apabila wali nasab tidak ada lagi atau tidak mungkin menghadirkannya atau tidak diketahui tempat tinggalnya

Selain ada calon suami, calon istri dan wali nikah rukun nikah menurut KHI juga mengharuskan adanya saksi nikah. Yang dapat ditunjuk menjadi saki ialah seorang laki-laki muslim, adil, akil baligh, tidak terganggu ingatan dan tidak tunarungu atau tuli.63Saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akad nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.

Rukun nikah yang terakhir menurut KHI yaitu ijab dan kabul. Ijab yaitu penegasan kehendak mengikatkan diri dalam bentuk perkawinan dan dilakukan oleh pihak perempuan ditujukan kepada laki-laki calon suami. Sedangkan kabul yaitu penegasan penerimaan mengikatkan diri sebagai suami istri yang dilakukan oleh pihak laki-laki.64 Dalam Pasal 29 ayat (2) KHI pengucapan kabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah mempelai pria.

62Ibid.

63Mohd Idris Ramulyo ,Op.Cit., hal. 75.

(20)

Mengenai tata cara perkawinan Undang-Undang Perkawinanjuga memiliki Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Tata cara perkawinan diatur dalam Pasal 10 sampai dengan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dimana tata cara pelaksanaan perkawinan ini dibedakan menjadi tata cara sebelum perkawinan berlangsung dan tata cara pada saat perkawinan berlangsung.

Sebelum perkawinan berlangsung mereka yang hendak melakukan perkawinan harus :65

1. Membawa surat keterangan dari kepala kampung atau kepala desa atau kepala daerah masing-masing.

2. Mereka harus lebih dahulu mennyampaikan kehendaknya selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum akad nikah dilangsungkan.

3. Kemudian pencatat perkawinan harus memeriksa calon suami istri dan orangtua/wali yang bersangkutan tentang kemungkinan adanya halangan atau larangan kawin.

4. Dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan dan oara pihak yakni calon suami dan calon istri serta wali wajib hadir sendiri menghadap pegawai pencatat perkawinan. Jika dalam keadaan terpaksa maka akad nikah dapat diwakili orang lain, akan tetapi wakil tersebut harus dikuatkan dengan surat kuasa otentik.

(21)

5. Dilakukan ijab kabul dihadapan pegawai pencatat perkawinan. Ijab dilakukan oleh wali calon istri dengan qabul yang spontan dan fasih dari calon suami. Ijab qabul harus disaksikan sekurang-kurangnya 2 (dua) saksi muslim sudah dewasa serta waras dan diutamakan mereka yang terkenal baik tingkah laku kesopanan dan keraatannya.

6. Diadakan penelitian oleh pejabat pencatat perkawinan tentang pembayaran mahar, membaca atau memeriksa persetujuan tentang taklik talak kemudian pegawai pencatat perkawinan mencatat perkawinan tersebut.

Bagi mereka yang non muslim, dengan berlakuna Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 praktis semua peraturan yang ada di sana berlaku pula bagi mereka termasuk tata cara pelaksanaan perkawinan yang diatur dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 12 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Tata cara yang dilakukan sebelum perkawinan berlangsung bagi pasangan non muslim yaitu :66

1. Pernikahan harus didahului oleh suatu pemberitahuan oleh kedua calon mempelai kepada pegawai Kantor Catatan Sipil atau kepada pendeta agama Kristen, dan pastur bagi Agama Katolik.

2. Pemberitahuan harus dilengkapi dengan surat-surat pembuktian yang diperlukan sesuai dengn syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang untuk pelaksanaan perkawinan.

(22)

Setelah tata cara yang harus dilakukan sebelum perkawinan berlangsung dipenuhi maka perkawinan dapat dilangsungkan. Tata cara pada saat perkawinan berlangsung adalah :67

1. Perkawinan baru dapat dilangsungkan setelah 10 (sepuluh) hari sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat. Pengumuman ini diberitahukan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut cara formulir yang ditetapkan dan mudah dibaca oleh umum.

2. Tata cara perkawinan dilakukan oleh mereka menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing.

3. Karena itu maka setiap perkawinan dilakukan dihadapan pegawai pencatat perkawinan. Untuk yang beragama Islam adalah pegawai yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 jo Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1955.

4. Kedua mempelai menandatangi akta perkawinan setelah perkawinan dilangsungkan setelah itu akta tersebut ditandatangani oleh kedua saksi yang menghadiri perkawinan khusus dan khusus untuk mereka yang beragama Islam akta perkawinan harus ditandatangi oleh wali nikah atau mereka yang mewakilinya. Dengan demikian maka secara resmi perkawinan mereka telah tercatat.

Dari uraian mengenai perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan di atas dapat dilihat bahwa Undang-Undang Perkawinan memberikan tempat yang

(23)

sangat penting bagi unsur keagamaan di dalam suatu perkawinan. Keabsahan suatu perkawinan tidak hanya didasarkan kepada hukum negara, dalam hal ini undang-undang tetapi juga harus didasarkan pada hukum agama dan kepercayaan masing-masing pihak. Maka dengan berlakunya Undang-Undang Perkawinan seharusnya tidak ada lagi perkawinan di luar hukum agama dan kepercayaan masing-masing. Undang-Undang Perkawinan tidak mengenal bentuk perkawinan sipil seperti yang terdapat dalam KUPertdata. Hal ini merupakan perbedaan paling mendasar antara konsep perkawinan menurut KUHPerdata dan konsep perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan.

Meskipun demikian, Undang-Undang Perkawinan juga menekankan pentingnya pencatatan perkawinan melalui ketentuan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Perintah pencatatan perkawinan terdapat pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan yang berbunyi :

“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”

(24)

Pencatatan perkawinan merupakan tindakan administratif sebagai bukti adanya perkawinan dan penting bagi akibat hhukum dari perkawinan misalnya mengenai status anak dan harta bersama. Pencatatan perkawinan juga bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas, baik bagi yang bersangkutan maupun bagi pihak lain, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu, sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan bilamana diperlukan dann dapat dipakai sebagai alat bukti yang otentik, dan dengan surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah sutau perbuatan yang lain.68

Pencatatan perkawinan terdapat dalam Pasal 5 KHI bertujuan agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, maka perkawinan harus dicatat hal tersebut tercantum pada Pasal 5 ayat (1) KHI. Berdasarkan Pasal 5 ayat (2) pencatatan perkawinan tersebut dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo Undnag-Undang Nomor 32 Tahun 1954.

B. Perkawinan Beda Agama Menurut Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

1. Perkawinan Beda Agama

Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda atara satu dengan yang lainnya. Perkawinan beda agama terjadi apabila seorang pria dengan seorang wanita

(25)

yang berbeda agama yang dianutnya melakukan perkawinan dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing misalnya seorang pria beragama Islam dan seorang wanita beragama kristen atau sebaliknya. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 menyatakan perkawinan menurut hukum Islam yaitu akad yang sangat kuat ataumiitsaaqon gholiizhanuntuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.69

Menurut Pasal 4 KHI perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum Islam. Artinya perkawinan yang sah adalah perkawinan yang sesuai dengan kaidah hukum Islam yang berlaku. Dalam Ordinansi Perkawinan Kristen Pasal 75 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan seorang laki-laki bukan Kristen dengan seorang wanita Kristen atas permohonan kedua suami-isteri dapat dilaksanakan dengan memperlakukan ketentuan-ketentuan ordonansi ini dan ketentuan-ketentuan peraturan penyelenggaraan Reglemen catatan sipil untuk orang-orang Indonesia-Kristen.70

Apabila perkawinan tidak dilaksanakan menurut hukum agamanya masing-masing berarti perkawinan itu tidak sah. Penrkawinan yang dilakukan di Pengadilan atau di Kantor Catatan Sipil tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut hukum agama tertentu berarti tidak sah. Perkawinan yang dilakukan oleh Hukum Adat atau oleh aliran kepercayaan yang bukan agama dan tidak dilakukan menurut tata cara agama yang diakui pemerintah berarti tidak sah. Dengan demikian, perkawinan yang sah

69Djaja S Meliala, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan, Bandung, Nuansa Aulia, 2008, hal. 82.

(26)

menurut agama yaitu perkawinan yang dilakukan menurut tata cara yang berlaku dalam agama masing-masing

Menurut agama Islam yang berlaku di Indonesia, perkawinan yang sah apabila perkawinan tersebut dilaksanakan di tempat kediaman mempelai, masjid, ataupun di kantor agama dengan ijab kabul dalam bentuk akad nikah. Sedangkan untuk yang beragama kristen, perkawinan yang sah apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dipenuhi dan perkawinannya dilaksanakan di depan pendeta yang dihadiri dua orang saksi selain itu kedua mempelai harus sudah di babtis.

Walaupun terdapat perbedaan dalam pengaturan menurut hukum agama masing-masing, akan tetapi semuanya memuat materi yang sama dalam suatu pengertian perkawinan. Materi muatan yang mengandung kesamaan tersebut adalah dalam hal :

1. subyeknya antara pria dan wanita; 2. timbulnya suatu ikatan; serta

3. dalam proses pengikatannya dilakukan sesuai dengan ketentuan atau peraturan yang berlaku dalam setiap sistem hukum tersebut, sehingga terdapat suautu pengakuan atas ikatan yang timbul

Dengan demikian terlihat secara jelas bahwa kesaman yang terdapat dalam memberikan pengertian perkawinan itu telah pula diserepsi oleh Undang-Undang Perkawinanyang diberlakukan bagi seluruh rakyat Indonesia.

(27)

campuran. Peraturan yang dimaksud adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda yang bernama Regeling op de Gemengde

Huwelijken (GHR) atau Peraturan tentang Perkawinan Campuran sebagaimana

dimuat dalam Staatsblad 1898 No. 158.Regeling Of de Gemengde Huwelijken(GHR) adalah suatu peraturan perkawinan yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda tentang perkawinan campuran yang termuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda Stb. 1898 No. 158.

Pada pasal 1 GHR disebutkan perkawinan campuran adalah perkawinan antar orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Kemudian dalam penjelasannya dikemukakan contoh perkawinan antara seorang WNI dengan seorang bangsa Belanda atau Eropa lainnya sekalipun telah menjadi WNI serta memeluk agama Islam. Begitu pula perkawinan antara seorang Indonesia dengan seorang Tionghoa atau bangsa Timur lainnya yang tidak memeluk agama Islam sekalipun telah menjadi WNI. Sementara itu, Pasal 7 ayat (2) disebutkan bahwa “Perbedaan agama, bangsa, atau asal sama sekali bukanlah menjadi halangan untuk

perkawinan”71

Pada pasal 1 GHR dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran adalah “Perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlainan”. Ada 3 pendapat mengenai apakah GHR berlaku pula untuk perkawinan antar agama dan antar tempat yakni, pertama, kelompok yang

(28)

berpendirian “luas” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat termasuk di dalam GHR;kedua, kelompok yang berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR; dan ketiga, kelompok yang berpendirian “setengah luas setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja yang termasuk dalam GHR, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam GHR.72

Sudargo Gautama berpendapat bahwa istilah perkawinan campuran pada pasal 1 GHR berarti perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat disebabkan karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio, golongan rakyat, tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian yang luaslahyang banyak di dukung oleh para sarjana hukum. Namun menurut O.S. Eoh, semenjak dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966, tidak ada lagi penggolongan penduduk kecuali dibedakan antara WNI dan WNA sehingga di Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran antar tempat dan antar golongan.73

Pada Pasal 6 ayat (1) GHR menyatakan perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitra kawin yang selali disyaratkan. Selanjutnya, Pasal 7 ayat (2) menyatakan bahwa perbedaan agama, golongan penduduk atau asal usul tidak dapat merupakan halangan pelangsungan

72Ibid.

(29)

perkawinan. Beberapa pasal ini secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama bahkan disebutkan bahwa perbedaan agama tidak dapat dijadikan alasan mencegah terjadinya perkawinan.

Setelah berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, maka pengaturan perkawinan beda agama menjadi cenderung terhalangi. Hal ini berdasarkan alasan yakni dengan mengingat kembali pada sejarah Undang-Undang Perkawinan 1974, terutama perdebatan yang berkaitan dengan Pasal 11 ayat (2) bahwa “perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asal, tempat asal, agama, kepercayaan dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan” dan kemudian mendapat perubahan, maka perkawinan beda agama tidak dimungkinkan (dilarang) di Indonesia.

(30)

kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Rumusan di atas membatasi diri hanya pada perkawinan antara warga negara Indonesia dengan warga negara asing. Adapun perkawinan antara sesama warga negara Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan, termasuk perkawinan antar agama, tidak termasuk dalam lingkup batasan perkawinan campuran menurut undang-undang ini.

2. Larangan Perkawinan Beda Agama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memuat larangan-larangan untuk melakukan perkawinan. Hal ini termuat dalam Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan, perkawinan dilarang diantara dua orang sebagai berikut :

1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah maupun ke atas. 2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara,

antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

3. Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan bapak/ibu tiri. 4. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susan, anak susan, saudara susuan, dan

bibi/paman susuan.

(31)

6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin.

Selanjutnya ditambah larangan yang terdapat dalam Pasal 9 dan Psal 10 Undang-Undang Perkawinan, yaitu :

1. Seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 9 jo Pasal 3 ayat (2)) dengan mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggal (Pasal 4).

2. Suami istri yang telah bercerai untuk kedua kalinya maka diantara mereka tidak boleh melakukan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agama dan kepercayaannya tidak menentukan lain (Pasal 10). Larangan ini dimaksudkan untuk mencegah perbuatan kawin cerai berulang kali dan agar suami istri saling menghargai dan mengurus rumah tangga yang tertib dan teratur.

3. Larangan kawin bagi wanita yang masih dalam masa tunggu yang diatur dalam Pasal 39 ayat (1) PP Nomor 9 Tahun 1975.

(32)

sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Pelarangan perkawinan beda agama terlihat pula dalam Pasal 8 huruf (f) Undang-Undang Perkawinanyang menegaskan bahwa perkawinan dilarang antara kedua orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 Huruf c dan Pasal 44 secara eksplisit mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non muslim dan wanita muslim dengan laki-laki non muslim. Pasal 40 huruf c KHI menyatakan bahwa :

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu yakni :

a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;

b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam

Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahli Kitab maupun Non Ahli Kitab). Jadi pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non muslim apapun agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam.74 Sedangkan Pasal 44 KHI menyatakan bahwa seorang wanita Islam dilarang

(33)

melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam. Pasal ini secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan pria non muslim baik termasuk kategori Ahli Kitab maupun tidak.

Selanjutnya Pasal 60 KHI menyatakan sebagai berikut :

1. Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan Perundang-undangan.

2. Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon istri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan. Pasal ini secara tegas memberikan penjelasan tentang pencegahan perkawinan terhadap calon mempelai yang tidak memenuhi syarat yang ditetapkan oleh hukum Islam maupun peraturan perundang0undangan. Pasal ini menguatkan pelarangan perkawinan beda agama.

Demikian juga Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Perkawinan Antar Agama berdasarkan keputusan Musyawarah Nasional, Majelis Ulama Indonesia melarang perkawinan antara wanita muslim dengan laki-laki musyrik dan laki laki muslim dilarang kawin dengan wanita yang bukan beragama Islam (larangan mutlak).75

Selain Islam, agama Katholik memandang bahwa perkawinan sebagai sakramen sehingga jika terjadi perkawinan beda agama dan tidak dilakukan menurut

(34)

hukum agama Katholik, maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah. Sedangkan agama Protestan lebih memberikan kelonggaran pada pasangan yang ingin melakukan perkawinan beda agama. Walaupun pada prinsipnya agama Protestan menghendaki agar penganutnya kawin dengan orang yang seagama, tetapi jika terjadi perkawinan beda agama maka gereja Protestan memberikan kebebasan kepada penganutnya untuk memilih apakah hanya menikah di Kantor Catatan Sipil atau diberkati di gereja atau mengikuti agama dari calon suami/istrinya. Sedangkan agama Hindu tidak mengenal perkawinan beda agama dan pedande/pendeta akan menolak perkawinan tersebut. Sedangkan agama Budha tidak melarang umatnya untuk melakukan perkawinan dengan penganut agama lain asal dilakukan menurut tata cara agama Budha.76

Selanjutnyamerujuk kepada Pasal 66 Undang-Undang Perkawinanyang menyatakan bahwa “Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijks Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks

Ordonantie Chisten Indonesiers S. 1933 No 74), Peraturan Perkawinan Campuran

(Regeling op de gemegnde Huwelijken S. 1989 No. 158),dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku”.

(35)

Penerapan Undang-Undang Perkawinanmemang tidak ada mengatur secara tegas adanya perkawinan beda agama. Pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan disampaikan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum agama merupakan landasan filosofis dan landasan hukum yang merupakan persyaratan mutlak dalam menentukan keabsahan perkawinan. Oleh karena itu dengan mendasarkan Undang-Undang Perkawinan tidak dimungkinkan perkawinan beda agama, karena pada masing-masing agama telah ada ketentuan hukum yang mengikat kepada mereka dan mengandung perbedaan yang prinsip serta tidak mungkin untuk dipersatukan.

Tidak diaturnya perkawinan beda agama dalam UU mengartikan bahwa undang-undang menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari agama masing-masing. Namun, permasalahannya agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut tidak membolehkan dilakukannya perkawinan beda agama. Misalnya dalam ajaran Islam sesuai dengan QS. Al-Baqarah ayat 221. Selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang sesuai dengan I Korintus ayat 14 sampai dengan ayat 18.

(36)

perbuatan zina.77 Namun di sisi lain larangan ini dianggap sebagai tindakan diskriminatif bagi pasangan yang ingin menikah karena menyangkut hak asasi manusia.78

Namun meskipun sudah sudah dilarang, perkawinan beda agama masih terus dilakukan dilihat dengan adanya penetapan pengadilan yang menjadi obyek penelitian ini. Berbagai cara ditempuh demi mendapatkan pengakuan dari negara. Dalam prakteknya sering terjadi dan untuk memudahkan pasangan tersebut kawin berdasarkan agama salah satu pihak, namun kemudian setelah perkawinan disahkan, mereka kembali kepada keyakinannya masing-masing. Di samping itu terdapat juga pasangan yangmelangsungkan perkawinan di luar negeri, baru kemudian didaftarkan di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, karena larangan kawin beeda agama ini masih terus terjadi sehingga belum adanya kepastian hukum sebaiknya dibuatkan suatu pengaturan mengenai kesahan perkawinan beda agama ini.

Wahyono Darmabrata mencatat ada empat cara yang lazim ditempuh pasangan beda agama yang akan menikah, yaitu :79

1. Meminta penetapan pengadilan terlebih dahulu. Atas dasar penetapan itulah psaangan melangsungkan pernikahan di Kantor Catatan Sipil. Tetapi cara ini tidak bisa lagi dilaksanakan sejak terbitnya Keppres Nomor 12 Tahun 1983.

77Zalzi Munir, Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Agama-Agama, http://zaldyn.worpress.com/2008/07/15/perkawinan-beda-agama-dalam-perspekif-agama-agama/, diakses tanggal 8 Juni 2016.

78“perkawinan Beda Agama dipandang dari Aspek Hak Asasi Manusia”, http://bh4ktl.multiply.com/journal/item/18/PERKAWINAN_BEDA_AGAMA_DARI_ASPEK_HAK_ ASASI_MANUSIA, diakses tanggal 8 Juni 2016

79

(37)

2. Perkawinan dilangsungkan menurut hukum masing-masing agama. Perkawinan terlebih dahulu dilaksanakan menurut hukum agama salah satu mempelai (biasanya suami), kemudian setelah itu disusul pernikahan menurut hukum agama mempelai berikutnya. Permasalahannya perkawinan mana yang dianggap sah. Jika perkawinan menurut hukum kedua (terakhir) menjadi persoalan kembali tentang status perkawinan pertama.

3. Kedua pasangan menentukan pilihan hukum. salah satu pandangan menyatakan tunduk pada hukum pasangannya. Dengan cara ini, salah seorang pasangan berpindah agama sebagai bentuk penundukan hukum. 4. Yang sering dipakai belakangan dalah melangsungkan perkawinan di luar

negeri. Beberapa artis tercatat memilih cara ini sebagai upaya menyiasati susahnya kawin beda agama di Indonesia.

Sedangkan menurut Jarwo Yunu mengatakan bahwa ada dua cara dalam menyikapi perkawinan beda agama yaitu :80

1. Salah satu pihak dapat melakukan perpindahan agama, namun ini dapat berarti penyelndupan hukum, karena sesungguhnya yang terjadi adalah hanya menyiasati secara hukum ketentuan Undang-Undang Perkawinan. Namun setelah perkawinan berlangsung, masing-masing pihak kembali memeluk agamnya masing-masing. Cara ini sangat tidak disarankan.

2. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400.K/Pdt/1986, Kantor Catatan Sipil diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang hendak dicatatkan oleh Ani Vonny Gani P (Perempuan Islam) dengan Petrus Hendrik Nelwan (Laki-laki kristen). Dalam putusannya Mahkamah Agung menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan Sipil, maka Vonny telah tidak menghiraukan peraturan agama Islam tentang perkawinan dan karenanya harus dianggap bahwa ia menginginkan agar perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam. Dengan demikian mereka berstatus tidak beragama Islam, maka Kantor Catatan Sipil harus melangsungkan perkawinan tersebut.

Selanjutnya perkawinan beda agama perlu diperhatikan berbeda dengan perkawinan campur yang diatur oleh Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan. Terkait dengan perkawinan beda agama, di Indonesia terdapat yurisprudensi Mahkamah

(38)

Agung Nomor 1400.K/Pdt/1986 tentang perkawinan beda agama. Putusan MA diatas Ani Vonny Gani P (Perempuan Islam) dengan Petrus Hendrik Nelwan (Laki-laki kristen), hakim menentukan bahwa perkawinan tersebut dapat dicatatkan karena keinginan keduanya dan untuk pihak telah sepakat untuk hidup bersama dan menikah dengan salah satu dianggap telah keluar dari agamanya, maka perkawinan beda agama di Indonesia bukanlah merupakan perkawinan campuran karena bukan merupakan perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan.

Sehingga semestinya pengajuan permohonan perkawinan beda agama baik di Kantor Urusan Agama (KUA) dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil ditolak.81Hal ini dikarenakan perkawinan tersebut bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan. Namun Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan dalam pernyataan “menurut hukum masing-masing agama atau kepercayaannya” tidak ada menegaskan mengenai perkawinan beda agama. Artinya jika perkawinan kedua calon suami isteri adalah sama, tidak ada kesulitan. Tapi jika hukum agama atau kepercayaannya berbeda, maka dalam hal adanya perbedaan kedua hukum agama dan kepercayaan itu harus dipenuhi semua. Hal ini berarti satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan calon suami dan satu kali menurut hukum agama atau kepercayaan dari calon istri.82

Dalam praktek perkawinan antar agama dilaksanakan dengan menganut salah satu cara baik dari hukum agama atau kepercayaan si suami atau si calon istri.

81Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta, CV. Haji Mas Agung, 1993.hal. 3.

(39)

Artinya salah satu calon yang lain mengikuti atau menundukkan dari kepada salah satu hukum agama dan kepercayaan pasangannya.83

Dalam mengisi kekosongan hukum ini, Mahkamah Agung sudah pernah memberikan keputusan tentang perkawinan antara agama pada tanggal 20 Januari 1986 Nomor : 1400 K/Pdt/1986, yaitu tentang promohonan Andi Vonny Gani P untuk melakukan perkawinan dengan Adrianus Petrus Nelwan.84

Bentuk lain untuk melakukan perkawinan antar agama dapat dilakukan dengan cara melakukan perkawinan bagi pasangan yang berbeda agama tersebut di luar negeri. Berdasarkan pada Pasal 56 Undang-Undang Perkawinan yang mengatur perkawinan di luar negeri, dapat dilakukan oleh sesama warga negara Indonesia, dan perkawinan antara pasangan yang berbeda agama tersebut adalah sah bila dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu berlangsung. Setelah suami istri itu kembali ke wilayah Indonesia, dalam jangka waktu satu tahun surat bukti perkawinan dapat didaftarkan di kantor pencatatan perkawina tempat tinggal mereka.85

83Ibid.

84Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No. 328/Pdt/P/1986/PN.JKT.PST

- Pasal 63 ayat (1)a Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa apabila diperlukan campur tangan pengadilan, maka hal ini merupakan wewenang Pengadilan Agama menolak melaksanakan perkawinan dengan alasan perbedaan agama. akan tetapi alasan tersebut tidak merupakan larangan untuk melakukan perkawinan sebagaimana dimaksud Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

- Dengan tidak diaturnya perkawinan antar agama di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan di sisi lain merupakan undang-undang produk kolonial yang menagtur hal tersebut, akan tetapi undang-undang ini tidak mungkin dapat dipakai karena perbedaan prinsip dan falsafah.

(40)

Namun ketika ada perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang beragama Islam dan kristen, maka terjadi permasalahan mengenai pencatatan perkawinan. Apakah di Kantor Urusan Agama atau di Dinas Kependudukan Dan Catatan Sipil oleh karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam dan di luar agama Islam berbeda.86 Apabila ternyata pencatatan perkawinan beda agama akan dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, maka akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu apakah perkawinan beda agama yang dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-Undang Perkawinan maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan perkawinan.87

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan memungkinkan pasangan beda agama dicatatkan perkawinannya dengan memperoleh penetapan pengadilan. Pasal 35a menyatakan bahwa perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama.

Untuk melakukan perkawinan, diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh para pihak yang akan melaksanakan perkawinan, begitu juga dengan perkawinan beda agama. dalam perkawinan beda agama, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh

86Sution Usman Adji,Kawin Lari dan Kawin Antar Agama,Yogyakarta, Liberty Yogyakarta, 1989, hal. 166.

(41)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Beberapa inovasi vocal juga ditemukan dalam bahasa Tidung, misalnya saja pada PMP *buruk > TDG busak ‘busuk’, PMP *ma-putiq > TDG pulak ‘putih’, dan PMP * i-kita > TDG

Peternak tidak memberikan konsentrat, karena sulit diperoleh di daerah setempat, padahal berdasarkan Duldjaman (2004) penambahan konsentrat, seperti am- pas tahu, di dalam

7// saben ari aneng sirah mami/ pasthine yen apa apa sira/ tan lunga neng gundhul kene/ sang ywanjana angguyu (51)/ sang Sogelen arsa guyu jrih/ esemi pinekan Mail gya turipun/

Pembayaran yang dilakukan dalam periode tersebut adalah pembayaran cicilan Pinjaman SEK Tranche A, B dan C sebesar USD45,0 juta, cicilan Pinjaman HSBC Coface dan Sinosure

Pada penelitian ini akan dilakukan pengambilan data pada catatan medis untuk mengetahui apakah jenis infeksi oportunistik ( Pneumocystis Jiroveci Pneumonia , Limfoid

Dari beberapa ruang dari kelompok pelayanan yang terdapat interaksi secara visual maka akan diberikan kenyamanan ruang yang dapat memudahkan pengunjung pada saat melihat-lihat proses

Dewan Penguji Skripsi saudari Fatroyah Asr Himsyah, NIM 07210020, Mahasiswa Jurusan Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri Maulana Malik