• Tidak ada hasil yang ditemukan

Poligami Lebih Dari Empat Dalam Perspektif Fiqih Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Poligami Lebih Dari Empat Dalam Perspektif Fiqih Islam Dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENGATURAN POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF FIQIH ISLAM DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA

A. Tinjauan Umum tentang Perkawinan dalam Islam

1. Pengertian Pernikahan

Istilah “nikah” berasal dari bahasa Arab atau disebut dengan alnikah yang bermakna al-wathi’ dan al-dammu wa al-tadakhul. Terkadang juga disebut dengan

al-dammu wa al-jam’u, atau ‘ibarat ‘an al-wath wa al-‘ aqd yang bermakna bersetubuh, berkumpul dan akad.32 Sedangkan menurut bahasa Indonesia adalah “perkawinan”. Namun bila dicermati, istilah tersebut mempunyai makna yang sama, dan dalam karya tulis ini digunakan istilah perkawinan. Masalah perkawinan dalam Al-Qur’an ditegaskan tidak hanya dalam bentuk garis-garis besar saja, seperti halnya perintah agama melainkan diterangkan secara tafsili/terperinci.33 Pokok-pokok hukum perkawinan dalam Al Qur’an diterangkan dalam lebih dari 8 surat, adapun inti hukum perkawinan dicantumkan dalam Al-Qur’an surat Al- Baqarah: 221-237 mengenai perkawinan, perceraian dan hubungan kerabat karena susuan.

Mengenai perintah Allah kepada manusia untuk menikah dalam Al-Qur’an disebutkan dalam surat An Nuur: 32 yang artinya : ” Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu dan orang-orang yang layak (kawin) dari hamba sahayamu yang lelaki dan perempuan”.

32Wahbah al-Zuhaily,al-Figh al-Islami Wa Adillatuhu, Terjemahan oleh Mahmuddin Syukri. Juz VII, Damsyiq: Dar al-Fikr, 1989, hal. 29

33Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam Suatu Analisis Dari Undang-undang

(2)

Nabi Muhammad SAW memperkuat Firman Allah di atas dengan bersabda “Nikah adalah sunnahku, barang siapa yang mengikuti sunnahku berarti termasuk golonganku dan barang siapa yang benci sunnahku berarti bukan termasuk golonganku’. (HR.Bukhori-Muslim). Terdapat beberapa pengertian terkait dengan istilah perkawinan.

Bermacam-macam pendapat dikemukakan oleh ahli di bidang hukum perkawinan. Perbedaan diantara pendapat-pendapat itu tidaklah memperlihatkan adanya pertentangan yang sungguh-sungguh antara satu pendapat dengan pendapat yang lain, tetapi lebih memperlihatkan keinginan setiap pihak perumus mengenai banyak jumlah unsur-unsur yang hendak dimasukkan dalam perumusan pengertian perkawinan itu disatu pihak, sedang di pihak lain dibatasi pemasukan unsur-unsur itu dalam perumusan pengertian perkawinan itu. Pada bagian ini, akan mengemukakan pengertian perkawinan sebagai acuan teori penelitian yang akan dilaksanakan:

a. Sayuti Thalib, perkawinan adalah perjanjian suci membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan.34

b. Hanabilah, nikah adalah akad yang menggunakan lafaz nikah yang bermakna

tajwizdengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-senang.35

c. Al-Malibari mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang mengandung kebolehan (ibahat) melakukan persetubuhan yang menggunakan kata nikah atautazwij.

34Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia, 2010, Jakarta hal. 47

(3)

d. Muhammad Abu Zahrah didalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah, mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan, saling tolong menolong serta menimbulkan hak dan kewajiban.36

e. Imam Taqiyuddin didalam Kifarat al-Akhyar mendefinisikan nikah sebagai, ibarat tentang akad yang masyhur yang terdiri dari rukun dan syarat, dan yang dimaksud dengan akad adalahalwat’(bersetubuh).37

f. Tahir Mahmood mendefinisikan perkawinan sebagai sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan wanita masing-masing menjadi suami dan istri dalam rangka memperoleh kebahagiaan hidup dan membangun keluarga dalam sinaran Ilahi.38

g. R. Abdul Djamali, berpendapat bahwa istilah perkawinan menurut hukum Islam adalah nikah atauziwaj. Kedua istilah ini dilihat dari arti katanya dalam Bahasa Indonesia ada perbedaan, sebab kata “nikah” berarti hubungan seks antara suami isteri, sedangkan “ziwaj” berarti kesepakatan antara seorang pria dan seorang wanita yang mengikatkan diri dalam hubungan suami istri untuk mencapai tujuan hidup dalam melaksanakan ibadat kebaktian kepada Allah.39

36Muhammad Abu Zahrah,al-ahwal al- Syakhsiyyah, Terjemahan oleh Daud Hanafi Saleh. Qahirah; Dar al-Fikr al-‘Arabi, 1957 hal. 19

37Imam Taqiyuddin, Kifarat al-Akhyar fi Hal ghayat al-Ikhtiyar, Terjemahan oleh Mahmud Al-Munawar. Bandung; Al-Ma’arif,t.t, Juz II hal. 36

38Amir Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan,Hukum Perdata Islam di Indonesia; Studi Kritis

(4)

h. Wirjono Prodjodikoro berpendapat perkawinan adalah hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan.40

i. Ahmad Azhar Basyir, berpendapat bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga, yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi Allah SWT.41

j. Hilman Hadikusuma menyebutkan perkawinan merupakan perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa yang membawa akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban dalam rangka melanjutkan keturunan.42

k. Imam Syafi’i, menyebutkan nikah ialah suatu akad yang dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita sedangkan menurut arti majazi(mathaporic)nikah itu artinya hubungan seksual.

l. Perkawinan menurut Kompilasi Hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat ataumiitsaaqon goliidhanuntuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.43

40Soedharyo Soimin,Hukum Orang dan Keluarga, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hal. 3 41Ahmad Azhar Basyir,Hukum Perkawinan Islam,UII Press, Yogyakarta, 2000, hal. 14 42Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Menurut Perundang-undangan, Hukum Adat,

Hukum Agama, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal. 10

(5)

m. Mahmud Yunus menyebutkan nikah itu artinya hubungan seksual (setubuh) beliau mendasarkan pendapatnya itu kepada Hadis Rasul yang berbunyi dikutuki Allah yang menikah (setubuh) dengan tangannya (onani). (Abu Daud).

Sedangkan perkawinan menurut Hukum Perkawinan Islam adalah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan hidup keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah.44

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat ditarik suatu pengertian bahwa pernikahan/perkawinan adalah “ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri”. Dalam perkataan ikatan lahir batin itu dimaksudkan bahwa hubungan suami istri tidak boleh semata-mata hanya berupa ikatan lahiriah saja dalam makna seorang pria dan wanita hidup bersama sebagai suami istri dalam ikatan formal, tetapi kedua-duanya harus membina ikatan batin. Tanpa ikatan batin, ikatan lahir mudah sekali terlepas.

2. Hukum Menikah

Meskipun pada dasarnya Islam menganjurkan untuk kawin, namun apabila ditinjau dari keadaan melaksanakannya, perkawinan dapat berlaku hukum wajib, sunah, haram, makruh dan mubah. Menurut Imam Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan Malik bin Anaas, meskipun menikah pada mulanya mungkin dianggap sebagai

(6)

kebolehan/hal yang dianjurkan, namun bagi beberapa pribadi tertentu ia dapat menjadi kewajiban.45

Secara personal hukum nikah berbeda disebabkan perbedaan kondisi

mukallaf, baik dari segi karakteristik kemanusiaannya maupun dari segi kemampuan hartanya. Hukum nikah tidak hanya satu yang berlaku bagi seluruhmukallaf. Masing-masing mukallaf mempunyai hukum tersendiri yang spesifik sesuai dengan kondisinya pula, baik persyaratan harta, fisik atau akhlak. Hukum nikah terbagi menjadi 5 (lima) yaitu:

a. Fardu (wajib), Hukum nikah fardu, pada kondisi seseorang yang mampu biaya wajib nikah, yakni biaya nafkah dan mahar dan adanya percaya diri bahwa ia mampu menegakkan keadilan dalam pergaulan dengan istri yakni pergaulan yang baik. Demikian juga, ia yakin bahwa jika tidak menikah pasti akan terjadi perbuatan zina, sedangkan puasa yang dianjurkan Nabi tidak akan mampu menghindarkan dari perbuatan tersebut.

b. Haram, Hukum menikah haram bagi seseorang yang tidak memiliki kemampuan nafkah nikah dan yakin akan terjadi penganiayaan jika menikah. Keharaman nikah ini karena nikah dijadikan alat mencapai yang haram. Jika seorang wanita pasti akan terjadi penganiayaan dan menyakiti sebab kenakalan laki-laki itu, seperti melarang hak-hak istri, berkelahi dan menahannya untuk disakiti, maka menikahinya menjadi haram.46

(7)

c. Makruh, nikah makruh bagi seseorang yang dalam kondisi campuran, seseorang mempunyai kemampuan harta biaya nikah dan tidak dikhawatirkan terjadi maksiat zina, tetapi dikhawatirkan terjadi penganiayaan istri yang tidak sampai ke tingkat yakin terkadang orang tersebut mempunyai dua kondisi yang kontradiktif, yakni antara tuntutan dan larangan.47

d. Mandub dan mubah jika seseorang dalam kondisi normal, maksudnya memiliki harta, tidak khawatir dirinya melakukan maksiat zina sekalipun membujang lama dan tidak dikhawatirkan berbuat jahat terhadap istri.48

3. Rukun dan Syarat Menikah

a. Rukun-rukun Perkawinan

Rukun ialah segala sesuatu yang ditentukan menurut hukum Islam dan harus dipenuhi pada saat perkawinan dilangsungkan. Maksudnya bahwa kalau syarat-syarat perkawinannya telah dipenuhi, maka sebelum melangsungkan perkawinan saat-saat untuk sahnya harus ada rukun-rukun yang perlu dipenuhi. Adapun rukun perkawinan diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Di dalam Pasal 14 disebutkan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus ada :

1) Calon Suami dan Calon Istri

Calon suami dan calon istri atau dapat juga disebut dengan calon mempelai adalah seorang pria dan seorang wanita yang merupakan para pihak yang akan melangsungkan perkawinan.

(8)

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh keduanya adalah : a) Telah baligh dan memenuhi kecakapan yang sempurna.

Pasal 15 KHI memberikan ketentuan mengenai hal ini :

(1) Untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan hanya boleh dilakukan oleh mempelai yang telah mencapai umur yang ditetapkan dalam Pasal 7 UUP No.l Tahun 1974 yaitu calon suami sekurang-kurangnya berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-sekurang-kurangnya berumur 16 tahun.

(2) Bagi calon mempelai yang belum berumur 21 harus mendapat ijin sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2), (4) dan (5) UU No. l Tahun 1974.

b) Berakal sehat dan tidak mengalami gangguan, baik jasmani maupun rohani. c) Tidak karena paksaan, artinya harus didasarkan pada kerelaan kedua belah

pihak.

Pasal 16 KHI menyebutkan bahwa :

(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai.

(2) Bentuk persetujuan calon mempelai wanita, dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan-tulisan, lisan atau isyarat tetapi dapat juga berupa diam dalam arti tidak ada penolakan yang tegas.

Pasal 17 KHI menyebutkan bahwa :

(9)

(2) Bila ternyata perkawinan tidak disetujui oleh salah satu calon mempelai maka perkawinan tidak dapat dilaksanakan.

(3) Bagi calon mempelai yang menderita tuna wicara atau tuna rungu persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau isyarat yang dapat dimengerti.

d) Bagi calon suami dan calon istri yang akan melangsungkan perkawinan, tidak terdapat halangan perkawinan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Bab IV KHI.

2) Wali Nikah

Secara umum kata wali mempunyai arti yaitu orang yang terdekat dengan seseorang perempuan tetapi kalau menurut Muhammad dan Islam dalam kitabnya yang artinya:49

Saudara yang akrab dari si perempuan tentang ashabahnya, bukan zawil arham atau juga orang yang berhak menikahkannya, karena suatu pernikahan tak bisa dilaksanakan tanpa ada walinya.

Dan wali-wali ini apabila dipandang dari kekuasaannya dapat dibagi kepada dua yaitu:

a) Wali Mujbir yaitu wali yang terdiri dari ayah atok hingga ke atas.

b) Wali ghairu mujbir yaitu wali yang terdiri selain yang disebutkan di atas yaitu: (1) Saudara laki-laki seibu sebapak

(2) Anak laki-laki seibu

(10)

(3)Saudara laki-laki seibu

(4)Anak laki-laki dari saudara lak-laki sebapa (5)Anak laki-laki dari saudara laki-laki seibu.50

c) Wali hakim yaitu kepala Negara Islam atau pejabat yang ditunjukkan olehnya dan yang ketiganya ini (hakim) apabila betul-betul tidak ada wali yang kedua tadi, ataupun ashabah-ashabah tidak ada maka terjadi perpindahan wali itu kepada Hakim (qadhi) sesuai menurut Hadits Rasulullah SAW yang artinya:

Tidak nikah seseorang kecuali dengan adanya wali dan hakim menjadi wali apabila tidak ada wali untuknya, dikeluarkan oleh Tabrani.51

Menurut pendapat Zakariya Al-Basri dalam Kitabnya yang artinya:

Apabila tidak terdapat wali yang akrab semata-mata juga ada dari ashabahnya dan tidak dari pihak lainnya maka perpindahan wali untuk mengawinkannya ialah Hakim, sesuai dengan menurut kata Rasulullah SAW Hakim menjadi wali bagi orang yang tidak punya wali dan berpindahlah wali tersebut kepada hakim(qadhi) dan juga menurut Hadits Rasulullah SAW mengatakan bahwa setiap orang yang mau menikah dengan seseorang perempuan yang tidak ada wali baginya berarti tidak sah.52

Tetapi ada juga ikhtiaf-ikhtiaf Ulama tentang syarat-syarat adanya wali pernikahan atau juga dengan seizinnya juga si perempuan itu mau nikah dengan seorang laki-laki, mereka ini mengikuti sesuai dengan hadits Rasulullah SAW yang maksudnya, tidak sah seseorang perempuan mengawinkan dirinya sendiri dan dibantu

50Ibid., hal 63 51Ibid.

(11)

pula oleh Ibnu Muzir. Dia tidak pernah melihat seorang sahabatpun yang menentang, pendapat ini juga diambilnya dari hadits Rasulullah SAW untuk memahaminya.53

Beberapa dalil atau nash yang ada pertaliannya dengan wali nikah, mengenai pentingnya soal wali tersebut dan kutipan ini diambil dari Firman Allah SWT, yang artinya:

Dan janganlah kamu nikahi dengan orang-orang (mereka) musyrik sebelum mereka beriman.54

Kemudian ada juga hadits untuk menguatkannya, artinya:

Dari Abi Musa bahwasanya Rasulullah SAW ia tidak nikah kecuali dengan adanya wali. Diriwayatkan oleh Ahmad dan Abi Daud, Tarmizi Ibnu Hibban dan Hakim.55

3) Saksi

Adanya saksi dalam akad nikah menurut Imam Syafi`I adalah suatu keharusan dalam perkawinan, karena saksi dalam perkawinan sangat diperlukan. Saksi terdiri atas dua orang atau lebih yang melihat dan mendengarkan ijab kabul. Tugasnya dalam perkawinan hanya memberikan kesaksian bahwa perkawinan itu benar-benar dilakukan oleh pihak-pihak yang berkeinginan dan menyatakan tegas tidaknya ijab kabul diucapkan.

Dasar hukum yang dipergunakan oleh para ahli hukum Islam mengenai persaksian dalam perkawinan adalah Hadits Nabi sebagai berikut : “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”.

53Muhammad Daud Ali,Hukum Islam dan Peradilan Agama,Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hal. 21

(12)

Dengan Hadits Nabi selain wali diperlukan juga kehadiran dua orang saksi untuk sahnya perkawinan. Dan kedua orang saksi dibawa oleh masing-masing pihak asalkan memenuhi syarat-syarat seperti yang diwajibkan kepada wali. Dua orang saksi hendaknya laki-laki; tetapi kalau tidak ada, wanitapun diperkenankan hanya jumlahnya harus 4 (empat) orang. Dasar hukum perbandingan jumlah itu kalau dilihat dari makna anak kalimat terakhir dari surat (2) Al-Baqarah ayat 228 yang menyatakan :

“Perempuan itu mempunyai hak yang sama dengan laki-laki, tetapi laki-laki mempunyai derajat yang lebih tinggi dari perempuan. Melalui pernyataan inilah ditetapkan perbandingan saksi laki-laki dan perempuan, adalah 2:4 kalau perempuan dimintakan menjadi saksi dalam suatu perkawinan.”

Imam Abu Hanifah mengqiaskan persaksian dalam akad nikah pada persaksian dalam akad muamalah. Tetapi karena akad nikah dipandang lebih utama daripada akad muamalah, maka secara otomatis saksi dalam nikah menjadi lebih utama dan sangat diperlukan daripada saksi-saksi lainnya dalam akad muamalah. Ketentuan mengenai saksi ini termuat dalam Pasal 24 KHI, yaitu :

(1)Saksi dalam perkawinan merupakan rukun dari pelaksanaan akad nikah. (2)Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi.

Selanjutnya Pasal 25 KHI menemukan syarat-syarat seorang saksi : a) Mukhalaf.

b) Muslim.

(13)

menjadi saksi asal dapat memahami dan mengerti apa yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berakad.

d) Adil, yaitu orang yang taat beragama atau orang yang menjalankan perintah Allah dan meninggalkan hal-hal yang dilarang oleh agama. Menurut Imam Syafi`i, syarat adil bagi seorang saksi adalah merupakan keharusan, sedangkan menurut Imam Hanafi, saksi tidak harus adil. Beliau membolehkan orang fasiq menjadi saksi, asal dengan kehadirannya dapat tercapai tujuan adanya saksi dalam akad nikah.

e) Saksi minimal dua orang laki-laki, jika ternyata tidak ada dua orang saksi laki-laki, maka boleh dihadiri satu orang saksi laki-laki dan dua orang saksi wanita. Ketentuan ini didasarkan firman Allah SWT dalam surat Al Baqarah ayat (228) yang artinya berbunyi : “Dan persaksikanlah dengan luar orang saksi dari orang laki-laki, maka (boleh) seorang laki-laki dengan dua orang wanita dan saksi-saksi yang kamu ridhoi, jika yang seorang lupa maka yang seorang lagi mengingatkannya.”

Dalam Pasal 26 KHI disebutkan bahwa saksi harus hadir dan menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani akta nikah pada waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.

3) Akad Nikah (Ijab dan Qabul)

Akad nikah adalah pernyataan sepakat dari pihak calon suami dan pihak calon istri untuk mengikatkan diri mereka ke dalam tali perkawinan dengan menggunakan

(14)

suami dan calon istri yang terdiri atas ijab dan qabulIjabialah pernyataan penyerahan dari pihak wanita yang biasanya dilakukan oleh wali calon mempelai wanita atau wakilnya dengan maksud bahwa calon mempelai wanita bersedia dinikahkan dengan calon mempelai pria, sedangkan qabul ialah pernyataan penerimaan yang sah atau jawaban pihak calon mempelai pria atas ijab calon mempelai wanita, yang intinya bahwa calon mempelai pria menerima kesediaan calon mempelai wanita menjadi istrinya yang sah.

Ijab Qabul itu sifatnya langsung (tidak ditunda) dan tidak meragukan para saksi. Sedangkan jarak waktu antara ijab ke qabul sekitar 1-2 detik. Kalau jarak waktu itu tidak dipenuhi atau calon pengantin pria diam, merenung atau masih memikir-mikir, akibatnya akad nikah itu harus diulang. Pengulangan dapat juga terjadi kalau kabul tidak sama bunyinya dengan ijab, pengantin pria gemetar, gugup atau berdebar sebelum mengucapkan qabul. Dan untuk pengulangannya calon pengantin pria harus ditenangkan dahulu supaya qabulnya diucapkan dengan mantap dan meyakinkan.

Mengenai pelaksanaan ijab qabul, Kompilasi Hukum Islam tetap menjatuhkan pilihan :

a) Tetap bersifat “majelis” secara berhadapan langsung.

b) Apabila berhalangan dapat dikuasakan berdasarkan surat kuasa tanpa mengurangi hak wanita untuk menolak.56

56M. Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama UU Nomor 7

(15)

Memperhatikan ketentuan Pasal 29 KHI, tidak membenarkan pelaksanaan ijab kabul jarak jauh melalui sarana telekomunikasi. Dalam hal calon mempelai berhalangan, KHI memilih alternatif dengan seorang kuasa. Lafaz nikahnya sebagai berikut : Wali akan menyatakan :Saya nikahkan A bin R kepadamu dengan maskawin Rp.12.500,00 tunai. Calon suami (A) segera mengucapkan kabul begitu selesainya kata terakhir dari ijab wali dengan :Saya terima nikahnya A binti R dengan maskawin Rp.12.500,00 tunai.

Lafaz nikah ini tidak perlu diulang lagi kalau benar-benar diucapkan dengan tepat, tegas, dan jelas yang kesemuanya dinyatakan oleh para saksi setelah selesai ijab kabul diucapkan. Berarti bahwa para saksi tidak meragukan ijab kabul itu. Dari lafaz nikah ini terdapat kata-kata mengenai maskawin, ialah pemberian mutlak pengantin pria kepada pengantin wanita. Pemberian itu dilakukan sesaat sebelum upacara ijab kabul. Di dalam perkawinan Islam tidak ditetapkan batas pemberian mutlak yang harus dilakukan baik mengenai jumlah, nilai, maupun bentuknya. Tetapi walaupun demikian maskawin itu selalu merupakan benda yang mempunyai nilai sebagai tanda kasih dan menjadi hak milik mutlak pengantin wanita setelah diserahkan.

Selain itu dilarang pemberian maskawin yang ditentukan jumlahnya dan tidak terjangkau oleh pada umumnya anggota masyarakat misalnya maskawin 30 ekor kerbau atau 10 kg emas. Agar sighat akad nikah tersebut sah, maka harus dipenuhi syarat-syarat sebagai : Pasal 28 KHI menyebutkan bahwa akad nikah dilaksanakan sendiri secara pribadi oleh wali nikah yang bersangkutan.

(16)

(1)Yang berhak mengucapkan qabul ialah calon mempelai secara pribadi.

(2)Dalam hal-hal tertentu ucapan qabul nikah dapat diwakilkan kepada pria lain dengan ketentuan calon mempelai pria memberi kuasa yang tegas secara tertulis bahwa penerimaan wakil atas akad nikah itu adalah untuk mempelai pria.

(3)Dalam hal calon mempelai wanita atau wali keberatan calon mempelai pria diwakili, maka akad nikah tidak boleh dilangsungkan.

Kalau syarat-syarat dan rukun-rukun perkawinan itu telah dipenuhi, maka sahlah perkawinannya dan para pihak saat itu berubah status sebagai suami-istri. Mereka hidup dalam satu kesatuan yang dinamakan keluarga. Dan sejak saat itulah timbul hak dan kewajiban sebagai suami-istri.

b. Syarat-syarat Menikah

Syarat ialah segala sesuatu yang telah ditentukan dalam hukum Islam sebagai norma untuk menetapkan sahnya perkawinan sebelum dilangsungkan. Syarat-syarat yang perlu dipenuhi seseorang sebelum melangsungkan perkawinan menurut R. Abdul Djamali yang dikutip dalam bukunya Hukum Islam, ada enam yaitu :57

1) Persetujuan kedua belah pihak tanpa paksaan

Calon suami-istri mempunyai dorongan (motivasi) yang sama untuk membentuk suatu kehidupan keluarga. Motivasi mereka itu sebagai persetujuan masing-masing yang diperoleh dengan adanya saling mengerti dan berkeinginan 57 R. Abdul Djamali, Hukum Islam (Asas-Asas, Hukum Islam I, Hukum Islam II)

(17)

lanjut berpartisipasi dalam membentuk satu keluarga. Dan keinginan itu sebagai persetujuan kedua belah pihak yang tidak dapat dipaksakan oleh pihak lain baik orang tua maupun orang yang dituakan dalam keluarga masing-masing.

2) Dewasa

Ukuran kedewasaan seseorang tidak dilihat dari usia melainkan dari kedewasaan fisik dan psikis yang sekurang-kurangnya ada tanda-tanda kematangan diri. Hal ini ditentukan dari mulai bekerjanya kelenjar kelamin seseorang. Dan tanda-tanda itu bagi seorang pria sejak pertama kali menghasilkan sperma (baliqh) dan bagi seorang wanita sejak menstruasi pertama. Tetapi ukuran itu tidak mutlak, karena yang dimaksud dengan kedewasaan fisik yang ditempuh oleh hukum Islam sesuai ilmu kesehatan bagi setiap bangsa yang mungkin ada perbedaannya. Sedangkan kedewasaan psikis dimaksudkan bahwa bagi para pihak telah memiliki kesehatan mental yang baik, mempunyai rasa tanggung jawab sebagai suami-istri terutama dalam mendidik anak-anaknya dengan wajar dan terhormat.

3) Kesamaan agama Islam

Kedua belah pihak pemeluk agama Islam yang sama. Hal ini dimaksudkan bahwa dalam memelihara keturunan yang sah tidak ada pertentangan memperebutkan atau mengalahnya salah satu pihak untuk terwujudnya keagamaan keturunan mereka itu.

(18)

memelihara keturunan yang sah sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan bagi seorang pria Islam yang kuat imannya diperkenankan melakukan perkawinan dengan seorang wanita lain agama, asalkan bukan wanita penyembah berhala kecuali bertobat dan bersedia memeluk agama Islam.

4) Tidak dalam hubungannasab

Hubungan nasab, ialah hubungan keluarga dekat baik dari pihak ibu maupun bapak. Syarat ini diperlukan karena hubungan darah yang dekat baik secara vertikal maupun horisontal tidak dikehendaki, sebab perkawinan dalam keturunan satu darah masih merupakan satu keluarga besar. Dan kalau dilihat dari dunia kedokteran banyak terjadi kemungkinan-kemungkinan kelainan perkembangan kesehatan dari keturunan itu, sedangkan dari segi psikologi banyak terlihat adanya kelainan psikis dan mental kalau sampai dilangsungkan perkawinan dalam satu hubungan darah. 5) Tidak ada hubunganrodhoah

Rodhoah ialah sepersusuan, maksudnya bahwa antara pria dan wanita yang akan melangsungkan perkawinan itu pernah mendapat air susu satu ibu ketika masih bayi walaupun keduanya orang lain. Antara pria dan wanita itu haram hukumnya kalau melangsungkan perkawinan. Dalam hubungan rodhoab ini haram juga hukumnya kalau yang menikah saudara-saudara suami, paman, bibi dan keponakan dari ibu, yang akan menikah dengan anak sepersusuannya.

(19)

Kedua calon suami-istri tidak mempunyai hubungan perkawinan seperti antara bapak/ibu dan menantu, anak dan bapak/ibu tiri, anak bawaan dalam perkawinan ibu/bapak.

Selain syarat yang dikemukakan di atas, maka ada syarat-syarat khusus bagi seorang wanita yang nantinya akan menjadi ibu rumah tangga sesaat setelah melangsungkan perkawinan. Syarat-syarat khusus itu ialah :

a) Pihak pria tidak boleh mempunyai istri lebih dari empat orang ketika akan melangsungkan perkawinan. Kalau pria itu telah beristri 4 orang, maka perkawinan yang ke 5 tidak sah.

b) Perkawinan poligami tidak boleh dirangkap antara istri yang masih ada hubungan darah dengan calon istri berikutnya, seperti kakak beradik dalam bersamaan menjadi istri-istri seorang pria.

c) Tidak ada perceraian “li`an”, artinya antara suami-istri terdahulu tidak bercerai karena sumpah sebagai akibat suami menuduh istri berbuat serong atau tuduhan istri bahwa suami berbuat serong. Kalau tuduhan tidak terbukti dan tidak mempunyai saksi lengkap, maka penyelesaian tuduhan terhadap para pihak harus bersumpah sebanyak empat kali dan sumpah yang kelima dilakukan dengan memohon kutukan bagi yang berbohong. Setelah sumpah itu selesai diucapkan di hadapan sidang Pengadilan Agama maka hakim akan memutuskan cerai li`an

(20)

d) Calon pengantin wanita tidak dalam ikatan perkawinan. Artinya kalau ia masih dalam hubungan perkawinan walaupun tidak seatap atau tidak diketahui domisili suaminya, maka tidak boleh melangsungkan perkawinan dengan seorang pria lain. Dan dalam keadaan pisah meja dan ranjang (scheiding van tafel en bed)pun harus ada perceraian dahulu karena statusnya masih seorang istri.

e) Calon istri tidak dalam masa iddah, artinya ia tidak dalam jangka waktu tunggu. Dan dalam jangka waktu tunggu itu terdiri atas :

(1) Ditinggal suami karena meninggal dunia selama 4 bulan 10 hari tidak dalam keadaan hamil. Kalau ada tanda kehamilan sejak ditinggal suami, maka harus menunggu kelahiran bayinya.

(2) Cerai biasa, iddahnya tiga kali suci bagi wanita yang masih menstruasi. Kalau wanita itu hamil, maka iddahnya sesudah melahirkan.

(3) Iddah tiga bulan lamanya bagi seorang wanita yang telah berhenti menstruasi. Sedangkan bagi wanita yang belum pernah melakukan hubungan seksual dalam perkawinannya, maka tidak ada iddah.

Hikmah dari iddah ini sebenarnya untuk menentukan kebersihan wanita selama menjadi ibu rumah tangga, sehingga kalau melahirkan anak setelah putusnya perkawinan akan menjadi keyakinannya bahwa anak itu sebagai keturunannya.

4. Halangan (Mahram) Menikah

a. PengertianMahram

(21)

wanita yang haram dinikahi oleh pria.58 Sedangkan mahram dimasyarakat lebih dikenal dengan istilah khusus yaitu haram dinikahi karena masih termasuk keluarga dan dalam mazhab Syafi’i dengan tambahan tidak membatalkan wudhu bila disentuh. Dan selanjutnya sebagai penunjang penjelasan pengertian mahram lebih banyak lagi maka dibawah ini akan dijelaskan beberapa pendapat paramujtahidsebagai berikut:

1) Imam Ibnu Atsir rahimahullah berkata, ”Mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman, dan lain-lain” (definisi diatas adalah mahram dalam pengertian umum).

2) Menurut Imam Ibnu Qudamah rahimahullah, “Mahram adalah semua orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab, persusuan dan pernikahan.”

3) Menurtut Syaikh Sholeh Al-Fauzan, “Mahram wanita adalah suaminya dan semua orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab nasab seperti bapak, anak, dan saudaranya, atau dari sebab-sebab mubah yang lain seperti saudara sepersusuannya, ayah atau pun anak tirinya”.59

Dari pengertian-pengertian di atas, bahwa mahram adalah orang-orang yang haram untuk dinikahi selama-lamanya seperti bapak, anak, saudara, paman (sebab nasab), sepersusuan, dan pernikahan. Masalah tentang Mahram disinggung didalam Al-Qur’an seperti dalam surat An-Nisa ayat (23), yang artinya:

Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu 58Abdurrahman,Ghazali.Fiqh Munakahat, Prenada Media, Bogor, 2003, hal. 124

(22)

yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.60

Dari ayat ini dapat dirinci ada beberapa kriteria orang yang haram dinikahi. Dan sekaligus juga menjadi orang yang boleh melihat bagian aurat tertentu dari wanita. Mereka adalah :61

1) Ibu kandung

2) Anak-anakmu yang perempuan 3) Saudara-saudaramu yang perempuan 4) Saudara-saudara bapakmu yang perempuan 5) Saudara-saudara ibumu yang perempuan

6) Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki 7) Anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan 8) Ibu-ibumu yang menyusui kamu

9) Saudara perempuan sepersusuan 10) Ibu-ibu isterimu

(23)

11) Anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri

12) Isteri-isteri anak kandungmu

b. Macam-macamMahram

Secara garis besar larangan-larangan perkawinan dalam Syara’ itu dibagi dua, yaitu; Keharaman yang bersifat Abadi (Tahrim Mu’abbad), dan keharaman yang bersifat sementara(Tahrim Mu’aqqat).62

Di antara halangan-halangan abadi ada yang telah disepakati dan ada pula yang masih diperselisihkan, yang telah disepakati ada tiga yaitu:

1) hubungan keturunan ataunasab

2) hubungan kekeluargaan karena tali pernikahan atau besanan 3) hubungan persusuan

Sedangkan yang diperselisihkan ada dua yaitu: 1) Zina

2) Li’an

Imam Syafi’I dan Imam Malik bependapat bahwa zina dengan seorang wanita tidak menyebabkan haramnya menikahi ibu wanita tersebut atau anak wanitanya. Sedangkan menurut Abu Hanifah, Tsauri, dan Auza’I berpendapat bahwa zina menyebabkan keharaman.

(24)

Keharaman yang bersifat sementara yaitu karena bilangan, mengumpulkan, kafir, ihram, sakit, iddah, perceraian tiga kali bagi suami yang menceraikan, dan halangan peristrian.63

1) Tahrim Mu’abbad(Keharaman yang Bersifat Abadi) (a) Larangan menikah karenanasab64

Mahramkarena nasab adalah mahram yang berasal dari hubungan darah atau hubungan keluarga. Allah Ta’ala berfirman dalam surat An-Nur ayat (31), yang artinya:

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.65

Para ulama’ tafsir menjelaskan, “Sesungguhnya lelaki yang merupakan

mahrambagi wanita adalah yang disebutkan dalam ayat di atas, adalah:66

1) Ayah Termasuk dalam kategori bapak yang merupakan mahram bagi wanita adalah kakek, baik kakek dari bapak maupun dari ibu. Juga bapak-bapak 63Abdurrahman,Ghazali.Fiqh Munakahat, Prenada Media, Bogor, 2003,hal. 124

64Slamet, Abidin,Fiqih Munakahat,Pustaka Setia, Bandung, 1999, hal. 98 65Al-Qur’an dan Hadits Digital:Hadits&Qur’anWeb3

(25)

mereka ke atas. Adapun bapak angkat, maka dia tak termasuk mahram bagi wanita. Hal ini berdasarkan pada firman Allah SWT, yang artinya, “Dan Allah tak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu.” (Qs. Al-Ahzab: 4)

2) Anak laki-laki termasuk dalam kategori anak laki-laki bagi wanita adalah cucu, baik cucu dari anak laki-laki maupun anak perempuan dan keturunan mereka. Adapun anak angkat, maka dia tak termasuk mahram berdasarkan pada keterangan di atas.

3) Saudara laki-laki, baik saudara laki-laki kandung maupun saudara sebapak ataupun seibu saja. Saudara laki-laki tiri yang merupakan anak kandung dari bapak saja atau dari ibu saja termasuk dalam kategori mahram bagi wanita. 4) Keponakan, baik keponakan dari saudara laki-laki maupun perempuan & anak

keturunan mereka. Kedudukan keponakan dari saudara kandung maupun saudara tiri sama halnya dengan kedudukan anak dari keturunan sendiri. 5) Paman, baik paman dari bapak ataupun paman dari ibu. Syaikh Abdul Karim

(26)

“Kami akan menyembah Tuhanmu & Tuhan bapak-bapakmu Ibrahim, Ismail & Ishaq.” Sedangkan Isma’il adalah paman dari putra-putra Ya’qub. Dan bahwasanya paman termasukmahramadalah pendapat jumhur ulama’.

Berdasarkan ayat di atas wanita yang haram dinikahi karena nasab adalah: 1) Ibu dan garis keturunannya keatas

2) Anak dan urutannya kebawah, seperti cucu perempuan. Adapun anak wanita dari hasil berzina, menurut pendapat yang shahih boleh dinikahi ayahnya, namun hukumnya makruh.

3) Saudara perempuan seibu seayah, atau seayah saja, atau seibu saja. 4) Bibi (saudara perempuan ayah)

5) Bibi (saudara perempuan ibu) 6) Keponakan dari saudara perempuan 7) Keponakan dari saudara laki-laki.

Mereka adalah tujuh orang wanita yang haram dinikahi oleh laki-laki yang memiliki hubungan dengannya secara abadi.

(b) Larangan Menikah karena Hubungan Sepersusuan67

Ar-radha’ah atau sepersusuan adalah masuknya air susu seorang wanita kepada anak kecil dengan syarat-syarat tertentu. Larangan menikah karena hubungan sepersusuan berdasarkan pada lanjutan surat An-Nisa: 23

“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan….”

(27)

Sedangkan sepersusuan yang menjadikan seseorang menjadi mahram adalah sebanyak lima kali persusuan, berdasar pada hadits dari `Aisyah radhiyallahu `anha, beliau berkata, “Termasuk yang di turunkan dalam Al Qur’an bahwa sepuluh kali persusuan dapat mengharamkan (pernikahan) kemudian dihapus dengan lima kali persusuan.” (HR. Muslim)68

Hubungan mahram yang berasal dari persusuan telah disebutkan oleh Allah SWT dalam firman-Nya tentang wanita-wanita yang haram untuk dinikahi, yang artinya, “Juga ibu-ibu yang menyusui kalian serta saudara-saudara kalian dari persusuan.” (Qs. An-Nisa’: 23)

Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwamahrambagi wanita dari sebab persusuan adalah sepertimahramdarinasab, yaitu:

1) Bapak persusuan (suami ibu susu), termasuk mahram juga kakek persusuan yaitu bapak dari bapak atau ibu persusuan, juga bapak-bapak mereka ke atas. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Sesungguhnya Aflah saudara laki-laki Abi Qu’ais meminta izin utk menemuiku setelah turun ayat hijab, maka saya berkata, “Demi Allah, saya tak akan memberi izin kepadamu sebelum saya minta izin kepada Rasulullah, karena yang menyusuiku bukan saudara Abi Qu’ais, akan tetapi yang menyusuiku adalah istri Abi Qu’ais. Maka tatkala Rasulullah datang, saya berkata, ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya lelaki tersebut bukanlah yang menyusuiku, akan tetapi yang

(28)

menyusuiku adalah saudara istrinya. Maka Rasulullah bersabda, “Izinkan baginya, karena dia adalah pamanmu.” (HR. Bukhari)69

2) Anak laki-laki dari ibu susu, termasuk anak susu adalah cucu dari anak susu baik laki-laki maupun perempuan. Juga anak keturunan mereka.

3) Saudara laki-laki sepersusuan, baik dia saudara susu kandung, sebapak maupun cuma seibu.

4) Keponakan persusuan (anak saudara persusuan), baik anak saudara persusuan laki-laki maupun perempuan, juga keturunan mereka.

5) Paman persusuan (saudara laki-laki bapak atau ibu susu)

Beberapa macam pokok masalah tentang mahram sepersusuan.70 1) Mengenai kadar air susu yang menyebabkan keharaman.

Imam Hanafi dan Imam Malik berpendapat, tidak ada ketentuan mengenai kadarnya, berapapun kadarnya menyebabkan keharaman. Sedangkan Imam Syafi’i berpendapat yang menyebabkan keharaman adalah lima kali susuan.71

2) Keadaan orang yang menyusui

Ada beda pendapat dalam hal ini, apabila seorang anak tidak membutuhkan lagi susu sebelum usia dua tahun, lalu disapih, kemudian disusui lagi oleh wanita lain. Imam Malik berpendapat bahwa penyusuan tersebut tidak mengharamkan. Sedangkan Imam Hanafi dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa penyusuan tersebut menyebabkan keharaman.72

69Sidi, Gazalba,Menghadapi Soal-soal Perkawinan, Pustaka Antara, Jakarta, 1995, hal. 57 70Ibid.

(29)

3) Kesaksian atas susuan

Imam Malik berpendapat, bahwa persaksian tersebut hanya bisa diterima dengan kesaksian dua orang wanita. Imam Syafi’i berpendapat, persaksian tersebut hanya bisa diterima dengan kesaksian empat orang wanita. Imam Hanafi berpendapat bahwa boleh kesaksian satu orang wanita.73

4) Sifat wanita yang menyusui

Fuqaha sependapat bahwa air susu semua orang wanita itu menyebabkan keharaman, baik yang masih haid atau tidak haid lagi, baik mempunyai suami atau tidak, hamil atau tidak.74

(c) Larangan Menikahi Wanita Yang Diharamkan karena Hubungan Pernikahan

(Mushaharah)75

Mushaharah berasal dari kata ash-Shihr. Imam Ibnu Atsir rahimahullah berkata, “Shihr adalah mahram karena pernikahan”. Contohnya, mahram yang disebabkan oleh mushaharah bagi ibu tiri adalah anak suaminya dari istri yang lain (anak tirinya) dan mahram mushaharah bagi menantu perempuan adalah bapak suaminya (bapak mertua), sedangkan bagi ibu istri (ibu mertua) adalah suami putrinya (menantu laki-laki).

Hubungan mahram yang berasal dari pernikahan ini disebutkan oleh Allah SWT dalam tiga ayat firman-Nya,yaitu:

72A. Basiq Djalil, Ilmu Ushul Fiqh,Kencana, Jakarta, 2010, hal. 58 73Slamet, Abidin,Op.Cit., hal. 101

74 Muhammad Mas’hum Zainy Al-Hasyimiy, Ilmu Ushul Fiqh, Darul Hikmah, Jombang, 2008, hal. 62

(30)

1) Qs. An-Nur: 31

Artinya, “dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka.

2) Qs. An-Nisa’: 22

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri).”

3) Qs. An-Nisa’: 23

“Diharamkan atas kamu (mengawini) … ibu-ibu istrimu (mertua), anak-anak istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tak berdosa kamu mengawininya, & istri-istri anak kandungmu (menantu).”

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat diketahui bahwa orang-orang yang haram dinikahi selama-lamanya karena sebab mushaharah adalah:

1) Ayah mertua (ayah suami)

Mencakup ayah suami atau bapak dari ayah & ibu suami juga bapak-bapak mereka keatas.

2) Anak tiri (anak suami dari istri lain)

Termasuk anak tiri adalah cucu tiri baik cucu dari anak tiri laki-laki maupun perempuan, begitu juga keturunan mereka.

(31)

Haramnya pernikahan dengan ayah tiri ini berlaku ketika ibunya telah jima’ dengan ayah tirinya sebelum bercerai. Namun, jika belum terjadi jima’, maka diperbolehkan. Abdullah Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata, “Seluruh wanita yang pernah dinikahi oleh bapak maupun anakmu, maka dia haram bagimu.”

4) Menantu laki-laki (suami putri kandung)

Kemahraman ini terjadi sejak putrinya di akadkan kepada suaminya.

2) Tahrim Muaqqat(keharaman yang bersifat sementara)76

Kemahraman ini bersifat sementara, bila terjadi sesuatu laki-laki yang tadinya tidak menikahi seorang wanita, menjadi boleh menikahinya. Diantara para wanita yang termasuk ke dalam kelompok haram dinikahi secara sementara waktu saja adalah :

1) Istri orang lain, tidak boleh dinikahi tapi bila sudah diceraikan oleh suaminya, maka boleh dinikahi.

2) Saudara ipar, atau saudara wanita dari istri. Tidak boleh dinikahi tapi juga tidak boleh khalwat atau melihat sebagian auratnya. Hal yang sama juga berlaku bagi bibi dari istri. Namun bila hubungan suami istri dengan saudara dari ipar itu sudah selesai, baik karena meninggal atau pun karena cerai, maka ipar yang tadinya haram dinikahi menjadi boleh dinikahi. Demikian juga dengan bibi dari istri.

(32)

3) Wanita yang masih dalam masa Iddah, yaitu masa menunggu akibat dicerai suaminya atau ditinggal mati. Begitu selesai masa iddahnya, maka wanita itu halal dinikahi.

4) Istri yang telah ditalak tiga, untuk sementara haram dinikahi kembali. Tetapi seandainya atas kehendak Allah dia menikah lagi dengan laki-laki lain dan kemudian diceraikan suami barunya itu, maka halal dinikahi kembali asalkan telah selesai iddahnya dan posisi suaminya bukan sebagai muhallil belaka. 5) Menikah dalam keadaan Ihram, seorang yang sedang dalam keadaan berihram

baik untuk haji atau umrah, dilarang menikah atau menikahkan orang lain. Begitu ibadah ihramnya selesai, maka boleh dinikahi.

6) Menikahi wanita budak padahal mampu menikahi wanita merdeka. Namun ketika tidak mampu menikahi wanita merdeka, boleh menikahi budak.

7) Menikahi wanita pezina, dalam hal ini selama wanita itu masih aktif melakukan zina. Sebaliknya, ketika wanita itu sudah bertaubat dengan taubat nashuha, umumnya ulama membolehkannya.

8) Menikahi istri yang telah dili`an, yaitu yang telah dicerai dengan cara dilaknat.

9) Menikahi wanita non muslim yang bukan kitabiyah atau wanita musyrikah. Namun begitu wanita itu masuk Islam atau masuk agama ahli kitab, dihalalkan bagi laki-laki muslim untuk menikahinya.

(33)

bersama. Mahram yang bersifat muaqqatatau sementara, yang membolehkan semua itu hanyalah bila wanita itu mahram yang bersifat abadi.

c. Dalil TentangMahramDidalam Al-Qur’an dan Hadits

Terkait dengan dalil mahram baik itu dalam Al-Qur’an atau hadits sebetulnya sudah disinggung dalam penjelasan-penjelasan diatas tadi tapi pemateri akan memaparkannya lagi yaitu sebagai berikut:77

a) Dalam Al-Qur’an

(1) Dalam surat An-Nur ayat (31), yang artinya:

Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita Islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.

(2) Dalam surat An-Nisa’ ayat (23), yang artinya:

(34)

tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

(3) Dalam surat Al-Ahzab ayat (4), yang artinya:

“Dan Allah tak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu.” (4) Dalam surat An-Nisa’ ayat (22), yang artinya:

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu (ibu tiri).”

b) Dalam Hadits

(1) Tentang Sepersusuan

Maka tatkala Rasulullah datang, saya berkata, ”Wahai Rasulullah, sesungguhnya lelaki tersebut bukanlah yang menyusuiku, akan tetapi yang menyusuiku adalah saudara istrinya. Maka Rasulullah bersabda, “Izinkan baginya, karena dia adalah pamanmu.” (HR. Bukhari)78

B. Pengaturan Poligami

1. Poligami Sebelum Islam

Sebelum Islam, bangsa Yahudi membolehkan poligami. Nabi Musa tidak melarang dan bahkan tidak membatasi jumlah istri seseorang yang berpoligami itu. Kitab Ulangan 25/5 mewajibkan saudara laki-laki mengawini janda saudaranya yang meninggal tanpa anak, meskipun ia telah beristri. Kitab Ulangan 21/10-17 juga

(35)

mengatakan kebolehan poligami, seperti Nabi Daud dan Nabi Sulaiman. Nabi Ibrahim pun beristri dua orang dan Nabi Ya’qub beristri empat orang.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad SAW yang membawa Islam, umat terdahulu telah mempraktikkan sistem poligami.79 Sebagaimana di sebutkan terdahulu, untuk mempertegas kembali bahwa cukup banyak fakta sejarah membuktikan. Hal ini diakui oleh Musthafa al-Sibai seperti dikatakannya : “Poligami itu sudah ada dikalangan bangsa-bangsa yang hidup pada zaman purba,….pada bangsa Yunani, Cina, India, Babylonia, Mesir dan lain-lain. Dan ditambahkannya :Poligami dikalangan mereka tak terbatas, sehingga mencapai 130 istri bagi seorang suami; bahkan seorang raja Cina ada yang mempunyai istri sebanyak 30.000 (tiga puluh ribu) orang”.80 Poligami dilakukan orang-orang perkasa atau memiliki kekuasaan, seperti para raja atau para panglima perang. Tradisi poligami kala itu dijadikan bentuk keperkasaannya seseorang.81

Dikalangan pengikut Yahudi Timur Tengah, bentuk perkawinan poligami lazim dilaksanakan, bahkan menurut mereka, Injil sendiri tidak menyebutkan batas dari jumlah istri yang boleh dikawini oleh seorang laki-laki begitu juga jumlah gundiknya. Dan dikalangan bangsa Persia, Agama memberikan penghargaan kepada orang yang mempunyai istri banyak.82

79Supardi Mursalim,Menolak Poligami,Pustaka Belajar, Yogyakarta, 2007, hal 17

80 Musthafa al-Sibai, Wanita diantara Hukum dan Perundang-undangan, terj. Chadidjah Nasution, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, hal. 100

(36)

Pelaksanaan poligami sesuai fakta sejarah telah terjadi jauh sebelum Islam hadir ditengah-tengah generasi awal Islam hingga generasi sekarang. Maka terasa aneh, apa yang telah ditulis oleh Will Durant dalam bukunya :” The Story of Civilization” di abad pertengahan, para teolog berpendapat melalui propaganda yang dilancarkan terhadap Islam, ialah Muhammad-lah yang pertama kali memperkenalkan poligami di dunia, dan pondasi Islam terletak pada poligami. Ditegaskan bahwa penyebab pesatnya penyebaran agama Islam dikalangan berbagai bangsa dan rakyat dunia ialah dihalalkannya poligami; sementara penyebab utama kemunduran dunia timur adalah juga poligami.83

Dari lontaran pendapat para teolog diatas sungguh tidak mendasar, bahwa sebelum Rasulullah Muhammad SAW melakukan poligami, penduduk disekitar Makkah ataupun Madinah sudah banyak melakukan poligami. Yang kedua Islam menyebar dengan pesat karena dakwah yang disampaikan penuh hikmah (yang berlandaskan pada wahyu) dan mauidhoh hasanah (dengan ungkapan dan penyampaian yang santun)84

Berdasarkan uraian tentang poligami sebelum masuknya Islam pada prinsipnya jauh sebelum kehadiran Islam maka umat manusia terdahulu telah mempraktekkan sistem poligami dalam kehidupan perkawinannya. Poligami yang dilaksanakan sebelum masuknya Islam dikalangan umat terdahulu tersebut tidak terbatas jumlah isteri. Ada yang mencapai 50 (lima puluh) isteri bahkan hingga 100 83 Ali Hosein Hakeem, Membela Perempuan, Menakar Feminisme dengan Nalar Agama, 2010, Alumni, Bandung, hal. 179

(37)

(seratus) orang isteri untuk satu orang suami. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebelum masuknya Nabi Muhammad SAW sebagai pembawa agama Islam ke dunia ini dengan ajaran poligami maka umat terdahulu sudah mempraktekkan poligami dalam kehidupan mereka dengan tanpa pembatasan dan terkesan tidak memiliki aturan yang jelas sehingga kaum perempuan pada saat itu benar-benar seperti terabaikan hak-haknya dalam perkawinan poligami sebelum masuknya ajaran Nabi Muhammad SAW dan agama Islam tentang poligami yang memiliki syarat dan ketentuan serta jumlah isteri yang dibatasi maksimal empat orang dalam melakukan poligami.

2. Poligami Sesudah Islam

Islam membolehkan poligami dengan jumlah yang terbatas dan tidak mengharuskan umatnya melaksanakan monogami mutlak dengan pengertian seorang laki-laki hanya boleh beristri seorang wanita dalam keadaan dan situasi apa pun dan tidak pandang bulu apakah laki-laki itu kaya atau miskin, hiposeks atau hiperseks, adil atau tidak adil secara lahiriyah.85

Islam pada dasarnya menganut sistem monogami dengan memberikan kelonggaran dibolehkannya poligami terbatas. Pada prinsipnya seorang laki-laki hanya memiliki seorang istri dan sebaliknya seorang istri hanya boleh memiliki seorang suami. Tetapi, Islam tidak menutup diri adanya kecenderungan laki-laki beristri banyak sebagaimana yang sudah berjalan dahulu kala. Islam tidak menutup

(38)

rapat kemungkinan adanya laki-laki tertentu berpoligami, tetapi tidak semua laki-laki harus berbuat demikian karena tidak semua mempunyai kemampuan untuk berpoligami. Poligami dalam Islam hanya terbatas dengan syarat-syarat tertentu. Yaitu jumlah istri yang dipoligami hanya terbatas sampai empat wanita dan dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.86

Islam membolehkan laki-laki tertentu melaksanakan poligami sebagai alternatif ataupun jalan keluar untuk mengatasi penyaluran kebutuhan seks laki-laki atau sebab-sebab lain yang mengganggu ketenangan batinnya agar tidak sampai jatuh ke lembah perzinaan maupun pelacuran yang jelas-jelas diharamkan agama. Oleh sebab itu, tujuan poligami adalah menghindari agar suami tidak terjerumus ke jurang maksiat yang dilarang Islam dengan mencari jalan yang halal, yaitu boleh beristri lagi (poligami) dengan syarat bisa berlaku adil.87

Dalam Hukum Islam, bagi orang yang merdeka, boleh menikah sampai empat perempuan yang diperbolehkan.88 Dalam artian poligami hanya dibatasi sampai empat orang istri saja dengan syarat-syarat yang ketat pula seperti keharusan berlaku adil di antara para istri baik dalam urusan pangan, pakaian, tempat tinggal, serta lainnya yang bersifat kebendaan tanpa membedakan antara istri yang kaya dengan istri yang miskin, yang berasal dari keturunan tinggi dengan yang rendah dari golongan bawah.

86Ibid., hal. 358 87Ibid.,hal. 358

88Al-Ghazi, Muhammad Qasim Qarib, Jilid 2, terjemahan Ahmad Sunarto dariKitab Fathul

(39)

Bila suami khawatir berbuat zalim dan tidak mampu memenuhi semua hak-hak mereka, maka ia diharamkan berpoligami. Bila yang sanggup dipenuhinya hanya tiga maka baginya haram menikah dengan empat orang. Jika ia hanya sanggup memenuhi hak dua orang istri maka haram baginya menikahi tiga orang. Begitu juga kalau ia khawatir berbuat zalim dengan mengawini dua orang perempuan, maka haram baginya melakukan poligami.89

Syarat-syarat berlaku adil tersebut, ditemukan di dalam dua ayat poligami yaitu surat An-Nisa: 3 dan surat An-Nisa: 129 yang berbunyi sebagai berikut:

Artinya : jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap hak-hak perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua tiga atau empat, kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah dekat kepada tidak berbuat aniaya (QS. An-Nisa:3)90

Selanjutnya pada surah yang sama ayat 129 Allah berfirman sebagai berikut: Artinya: Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. An-Nisa 129)91

Dalam sebuah hadits Nabi SAW, juga disebutkan:

Artinya : Dan Abu Huraira r.a sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “barang siapa yang mempunyai dua orang istri lalu memberatkan kepada salah satunya, maka ia datang hari kiamat nanti dengan punggung miring.” (HR. Abu Daud Tarmizi, Nasa’i dan Ibnu Hibban)92

89Tihami dan Sohari Sahrani,Op. Cit., hal. 361-362

90Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahannya. 2000, Juz 4.115 91Ibid., hal. 2133

(40)

Suatu hadits lainnya ketika Ghaylan bin Salmah memeluk Islam sedangkan ia memiliki sepuluh orang isteri. Maka Rasulullah SAW bersabda, “Peliharalah empat diantara mereka dan bebaskanlah (ceraikanlah) yang lainnya”

Sesungguhnya Allah berbicara kepada para wali anak-anak yatim, dia berfirman, jika seorang anak wanita yang yatim berada dibawah pemeliharaan dan tanggung jawab kalian dan kalian khawatir tidak bisa memberikan mahar yang sepantasnya sehingga kalian lebih cenderung kepada wanita yang lainnya (tidak adil) sesungguhnya kaum wanita itu jumlahnya banyak sekali dan Allah tidak mempersempit kalian sehingga dia membolehkan kalian menikahi satu wanita hingga empat.93 Tetapi jika dia khawatir tidak bisa berbuat adil, seandainya berpoligami, maka dia wajib menikah dengan satu orang saja atau hamba sahaya perempuan yang dia miliki. Dalil-dalil yang menganjurkan umat Islam untuk menikah demi memperbanyak keturunan Ibnu Abbas berkata pada Sa’id Ibnu Jabir, “Menikahlah karena sebaik-baik umat Muhammad adalah orang yang paling banyak istrinya.” Dalil ini menunjukkan bahwa berpoligami hukumnya sunnah dengan beberapa ketentuan dan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh syariat.94

Menurut Buya Hamka dalam tafsir al-Azhar pemaknaan ayat ketiga dari surat al-Nisa tersebut perlu dikaitkan dengan ayat sebelumnya yang berbicara soal anak yatim. Ayat kedua surat An-Nisa itu berbunyi, sebagai berikut:

(41)

kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang besar (QS. An-Nisa: 2)95

Dalam pangkal ayat ketiga surat An-Nisa, di temukan lanjutan tentang memelihara anak yatim dan bertemu pula keizinan dari Tuhan untuk beristri lebih dari satu hingga empat, merujuk tafsiran Siti Aisyah r.a., isteri Rasulullah SAW, tentang asal mula datangnya ayat ini. Tafsiran Siti Aisyah ini muncul karena beliau menjawab pertanyaan Urwah bin Zubair, anak Asma saudara Aisyah.96

Urwah bin Zubair, sebagai kakak Aisyah, kerap bertanya kepada Aisyah tentang masalah agama yang musykil. Bisa dikatakan Urwah bin Zubair adalah murid Aisyah. Oleh karena itu, Urwah kemudian bertanya tentang asal mula dibolehkannya beristri lebih dari satu hingga empat dengan alasan memelihara harta anak yatim (hadits riwayat dari Bukhari, Muslim, al-Nisa’i, al-Baihagi dan tafsir dari Ibnu Jarir). Aisyah menjawab pertanyaan Urwah demikian, “wahai kemenakanku, ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang di dalam penjagaan walinya harta anak yatim itu telah bercampur dengan harta walinya si wali tertarik kepada harta dan kecantikan anak yatim tersebut, maka si wali bermaksud menikahi anak asuhnya itu, tetapi dengan tidak membawa mas kawinnya secara adil, sebagaimana pembayaran mas kawinnya dengan perempuan lain.97

Apa yang dibacakan kepadamu dalam Al-Quran adalah ayat yang terdapat dalam ayat ketiga Surat al-Nisa, jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka

95Departeman Agama Republik Indonesia,Op.Cit., hal. 114

(42)

(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Firman Allah, sedang kamu enggan mengawini mereka itu adalah keengganan si wali untuk mengawini anak yatim yang sedikit harta dan kecantikannya, maka dilaranglah si wali menikahi anak itu selama yang diharapkan hanya harta dan kecantikan. Dan baru boleh menikahi apabila maskawinnya dibayarkan hanya secara adil.98

Wahbah Zuhaili, Allah SWT menganjurkan agar mereka dengan satu orang saja jika khawatir tidak mampu berbuat adil. Adil dalam membagi jatah giliran siang dan malam dan adil dalam pembagian nafkah. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat al-Nisa ayat (3), yang maksudnya jika kamu tidak dapat berbuat adil dalam penggiliran dan nafkah dalam poligami, maka menikah satu kali saja. Karena menikah sekali itu dapat membuatmu tidak berlaku aniaya.99

Berpoligami harus dengan syarat adil dalam pembagian nafkah. Nafkah adalah uang makanan, pakaian, perumahan, giliran menginap dan lain-lain. Ini adalah pendapat jumhur ulama selain Syafi’i, karena untuk masalah cinta, manusia tidak akan pernah adil. Hal ini telah dijelaskan bahwa cinta manusia yang tidak pernah adil. Seperti Rasulullah SAW, yang lebih mencintai Aisyah r.a dari pada istri-istrinya yang lain. Dari riwayat oleh Abu Daud, bahwa Aisyah r.a berkata: “Rasulullah SAW, membagi nafkah di antara kami dengan adil, lalu beliau berdoa. Ya Allah, inilah pembagian yang kumampu, maka janganlah kau cela aku pada hal-hal yang aku tidak

98Ibid., hal. 23

(43)

mampu”. Berkata Tarmidzi: “yang dimaksud (dengan hal-hal yang aku tidak mampu) adalah cinta(hubb)dan kasih sayang (mawaddah)100

Dalam sebuah hadits Nabi SAW, juga disebutkan:

Artinya : Dari Aisyah r.a. berkata Rasulullah SAW, selalu membagi giliran sesama istrinya dengan adil dan beliau pernah berdoa: Ya Allah, ini bagianku yang dapat aku kerjakan, karena itu, janganlah engkau mencelakanku tentang apa yang engkau kuasai, sedang aku tidak menguasainya. Abu Daud berkata bahwa yang dimaksud dengan “engkau tetapi aku tidak menguasai, yaitu hati,” (H.R. Abu Daud, Tarmidzi, Nasa’I dan Ibnu Majah).

Berbeda dalam pandangan fiqih, poligami yang di dalam kitab-kitab fiqih disebut dengan ta’addud al-zaujat, sebenarnya tidak lagi menjadi persoalan. Tidak terlalu berlebihan jika dikatakan bahwa ulama sepakat tentang kebolehan poligami, kendatipun dengan persyaratan yang bermacam-macam. AS-Surakhsi menyatakan kebolehan poligami dan mensyaratkan pelakunya harus adil. Al-Kasani menyatakan lelaki yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap istri-istrinya.

As-Syafi’i juga mensyaratkan keadilan di antara para istri dan menurutnya keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi istri di malam atau siang hari.101

Jika disederhanakan, pandangan normatif al-Qur’an yang selanjutnya diadopsi oleh ulama-ulama Fiqih setidaknya menjelaskan dua persyaratan yang harus dimiliki suami antara lain :

100Abdul Aziz Ahmad,Fiqih Cinta,Pustaka Hidayah, Bandung, 2009, hal. 259

101 Khoiruddin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara; Studi Terhadap

(44)

1. Seorang lelaki yang akan berpoligami harus memiliki kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri yang dinikahi.

2. Seorang lelaki harus memperlakukan semua istrinya dengan adil, tiap-tiap istri harus dperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain102

Berkenaan dengan alasan-alasan darurat yang membolehkan poligami, menurut Abdurrahman setelah merangkum pendapat fuqaha, setidaknya ada delapan keadaan, yaitu sebagai berikut :

1. Istri mengidap suatu penyakit yang berbahaya dan sulit disembuhkan 2. Istri terbukti mandul dan dipastikan secara medis tak dapat melahirkan 3. Istri sakit ingatan

4. Istri lanjut usia sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban sebagai istri 5. Istri memiliki sifat buruk

6. Istri minggat dari rumah

7. Ketika terjadi ledakan perempuan misalnya dengan sebab perang

8. Kebutuhan suami beristri lebih dari satu dan jika tidak dipenuhi menimbulkan kemudharatan di dalam kehidupan dan pekerjaannya.103

102Abdurrahman I,Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah(Syari’ah), Rajawali, Pers, Jakarta, 2002, hal. 192

(45)

Sedangkan menurut Masjfuk Zuhdi, bagi kelompok yang memperbolehkan dilakukannya poligami bukan tidak memberikan ketentuan-ketentuan yang sangat ketat. Diperbolehkannya poligami haruslah terdapat alasan-alasan yang dapat diterima oleh akal. Alasan diperbolehkannya poligami haruslah memenuhi hal-hal berikut ini:

1. Untuk mendapatkan keturunan. Hal ini berlaku jika ternyata seorang istri diketahui tidak dapat melahirkan keturunan sementara suami masih subur. 2. Untuk menjaga keutuhan tanpa harus menceraikan istri, sekalipun istri tidak

dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri.

3. Untuk menyelamatkan suami yang hipersek dari perbuatan zina dan krisis akhlak.

4. Untuk menyelamatkan kaum wanita dari krisis akhlak bagi mereka yang tinggal di Negara-negara yang jumlah kaum wanitanya lebih banyak dibandingkan jumlah laki-laki yang ada, misalnya diakibatkan oleh peperangan atau lainnya.104

Al-Jarjawi dalam kitabnya, hikmahal-Tasyri’ wa falsafatuhumenjelaskan ada tiga hikmah yang di kandung poligami antara lain:

1. Kebolehan poligami yang dibatasi sampai empat orang menunjukkan bahwa manusia sebenarnya terdiri dari empat campuran di dalam tubuhnya. Jadi menurutnya, sangatlah pantas laki-laki itu beristri empat.

(46)

2. Batasan empat juga sesuai dengan jenis mata pencaharian laki-laki, pemerintahan, perdagangan, pertanian dan industri.

3. Ketiga bagi seorang suami yang memiliki empat orang istri berarti ia mempunyai waktu senggang tiga hari dan ini merupakan waktu yang cukup untuk mencurahkan kasih sayang105

Al-Athar dalam bukunya Ta’addud al-Zawijat mencatat dampak negatif poligami antara lain:

a. Poligami dapat menimbulkan kecemburuan di antara para istri.

b. Menimbulkan rasa kekhawatiran istri kalau-kalau suami tidak bisa bersikap bijaksana dan adil.

c. Anak-anak yang dilahirkan dari ibu yang berlainan sangat rawan untuk terjadinya perkelahian, permusuhan dan saling cemburu.

d. Kekacauan dalam bidang ekonomi.106

Namun demikian disamping dampak negatif dari poligami pada prinsipnya poligami juga memiliki dampak positif atau hikmah yang diharapkan dapat muncul dari adanya poligami yaitu antara lain :

a. Bagi suami lebih memungkinkan terhindar dari berbagai bentuk penyelewengan seperti perzinahan, pelacuran (maksiat) maupun perselingkuhan.

105 Ali Ahmad Al-Jarjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu.Terjemahan oleh Akhsanul Rochmad. Bairut: Dar al-Fikr, 2001, Juz II, hal. 10

106 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami: sebuah Studi Atas Pemikiran Muhammad

(47)

b. Bagi sebagian isteri, dengan suami berpoligami beban untuk melayani terutama kebutuhan biologis suami sedikit terkurangi

c. Bagi isteri kedua dan seterusnya, lebih-lebih jika ia janda dengan berpoligami, sebagian masalahnya ikut teringankan khususnya dalam mencari nafkah, membesarkan anak, dan mengurangi timbulnya fitnah di tengah-tengah masyarakat.

d. Bagi sebagian wanita, menjadi isteri kedua, ketiga atau bahkan keempat tidak menjadi masalah sepanjang ia mendapatkan laki-laki yang baik, terhormat dan mampu secara ekonomi yang dapat mengangkat derajat wanita tersebut. e. Bagi anak-anak isteri kedua dan seterusnya yang berstatus janda mendapatkan

ayah tempat mengadu dan berlindung serta penjamin hidup atau nafkah. f. Status yang jelas dari seorang perempuan yang dinikahi secara poligami. g. Melatih kesabaran dan menekan egoisme serta terpacu untuk melakukan yang

terbaik bagi suaminya diantara sesama isteri.107

Ajaran poligami setelah masuknya Nabi Muhammad SAW dan agama Islam menjadi lebih tertib dan memiliki ketentuan-ketentuan dalam pelaksanaanya. Seorang suami hanya dibatasi memiliki isteri maksimal berjumlah empat orang dengan syarat dan ketentuan bila mampu bersikap adil dan mampu memberikan nafkah kepada isteri-isterinya. Apabila seorang suami tidak mampu berlaku adil dan tidak mampu memberikan nafkah lahir kepada isteri-isterinya maka lebih baik seorang suami beristri hanya satu orang saja. Dengan kata lain ajaran Islam dalam poligami memiliki

(48)

syarat dan ketentuan yang cukup ketat dalam melaksanakan poligami hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak kaum perempuan yang melaksanakan perkawinan poligami sehingga hak-hak tersebut tidak terabaikan atau dirugikan karena perkawinan poligami tersebut. Islam memandang seorang perempuan dengan pandangan yang sangat mulia, sehingga dalam perkawinan poligami kedudukan perempuan sebagai isteri yang dipoligami oleh suaminya harus terlindungi sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Perkawinan poligami tidak mengakibatkan hak-hak perempuan terabaikan atau dirugikan oleh suami yang melakukan perkawinan poligami tersebut.

3. Pengaturan Poligami dalam Fiqih Islam

Islam datang pada dasarnya telah berhadapan dengan aturan hukum yang telah ada sebelumnya, seperti Hukum dari Kitab Taurat, Injil dan Zabur. Begitupun dengan pengaturan hukum mengenai poligami. Islam pada dasarnya tidak melarang poligami, tetapi memberikan aturan tersendiri yang berbeda dengan aturan hukum sebelum Islam. Islam hanya melarang poligami tak terbatas yang dipraktekkan oleh orang-orang Jahilliyah Arab maupun bukan Arab. Bagi mereka sudah merupakan kebiasaan para pemimpin (raja atau kaisar) dan kepala suku untuk memelihara harem/gundik (simpanan/selir) yang banyak.

(49)

monogami, adalah perkawinan poligami yaitu perkawinan seorang suami (laki-laki) dengan lebih dari seorang istri. Kebalikan dari perkawinan poligami adalah poliandri yaitu seorang wanita (istri) mempunyai lebih dari seorang laki-laki (suami). Perkawinan ini dilarang oleh hukum Islam berdasarkan surat An-Nisa ayat 24 yang menyebutkan bahwa janganlah kamu kawini seorang wanita yang sedang bersuami. Dilihat dari segi wanita yang bersangkutan, maka ketentuan ayat ini berupa larangan untuk berpoliandri. Sedangkan dilihat dari segi seorang laki-laki yang akan berpoligami, ayat ini berarti melarang berpoligami terhadap wanita yang sedang bersuami.

Firman Allah surat An-Nisa’ ayat (3) yang artinya:

Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan-perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu khawatir tidak dapat berlaku adil, maka kawinilah seorang saja atau budak-budak yang kamu meiliki. Yang demikian itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-Nisa’ : 3)

(50)

hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininya. Ia tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah Ra waktu ditanya oleh Urwah bin al-Zubair Ra mengenai maksud ayat 3 surat An-Nisa’ tersebut. Jika wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka ia (wali) tidak boleh mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu, tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang isteri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya.

Jika ia takut tidak bisa berbuat adil terhadap isteri-isterinya, maka ia hanya beristeri seorang, dan ini pun ia tidak boleh berbuat zalim terhadap isteri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula kalau berbuat zalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya. Ayat (3) surat An-Nisa sebagaimana yang ditulis dimuka secara eksplisit seorang suami boleh beristri lebih dari seorang sampai batas maksimal empat orang dengan syarat mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya itu. Ayat ini melarang menghimpun dalam saat yang sama lebih dari empat orang istri bagi seorang pria. Ketika turun ayat ini, Rasulullah memerintahkan semua pria yang memiliki lebih dari empat istri, agar segera menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal setiap orang hanya memperistrikan empat orang wanita.

(51)

syari’at agama dan adat istiadat sebelum ini.108 Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan. Bukankah kemungkinan mandulnya seorang istri atau terjangkit penyakit parah, merupakan satu kemungkinan yang tidak aneh? Bagaimana jalan keluar bagi seorang suami, apabila menghadapi kemungkinan tersebut? Bagaimana ia menyalurkan nafsu biologis atau memperoleh dambaannya untuk memiliki anak? Poligami ketika itu adalah jalan yang paling ideal. Tetapi sekali lagi harus di ingat bahwa ini bukan berarti anjuran, apalagi kewajiban. Itu diserahkan kepada masing-masing menurut pertimbangannya. Al-Qur’an hanya memberi wadah bagi mereka yang menginginkannya.

Muhammad Asad: Kebolehan Poligami untuk beristri maksimal empat (QS. An-Nisa’: 3) tersebut dibatasi dengan syarat juga yaitu “apabila kamu takut, tidak mampu berbuat adil maka kawinilah satu saja” karena beliau berpendapat untuk membuat perkawinan majemuk/poligami itu hanya sangat mungkin dalam kasus-kasus yang luar biasa dan dalam kondisi yang luar biasa juga.

Musfir al-Jahrani kebolehan poligami di dalam al-qur’an adalah untuk kemaslahatan di dunia dan akherat.109Poligami bertujuan untuk memelihara hak-hak wanita dan memelihara kemuliaannya. Kebolehan poligami terdapat pesan-pesan strategis yang dapat diaktualisasikan untuk kebahagiaan manusia. Poligami memiliki

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini membuktikan bahwa ternyata pepermin lebih banyak menurunkan kejadian mual muntah pada subjek penelitian dibanding dengan ondansetron yang dinilai dari

A number of 1 kg ground roasted Luwak Robusta coffee (Indonesian palm civet coffee) samples were collected directly from coffee farmers at Liwa, Lampung, Indonesia (Hasti

Pada penelitian ini tingkat kepuasan responden dengan teh celup Sosro lebih rendah dibandingkan tingkat kepuasan konsumen Sariwangi, sehingga pada produk teh celup

Ahli hadis menyerahkan semua yang berurusan tentang penulisan hadis kepada hafal- an para sahabat yang lafadznya mere- ka terima dari Nabi, namun ada juga sahabat yang

koningii yang masih dapat bertahan pada media yang diberi fungisida nabati konsentrasi tertinggi (1 isolat dari kunyit, 1 isolat dari kencur, dan 1 isolat dari daun cengkeh)

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa F hitung lebih kecil dari F tabel sehingga pemberian pakan (rumput dan eceng gondok) dengan berbagai perlakuan (fermentasi

Ungkapan di atas merupakan ungkapan yang menggunakan bahasa kasar. Hal ini dapat ditunjukkan melalui kata “dasar”. Penulis meneuliskan ungkapan tersebut dengan tujuan

Pembayaran yang dilakukan dalam periode tersebut adalah pembayaran cicilan Pinjaman SEK Tranche A, B dan C sebesar USD45,0 juta, cicilan Pinjaman HSBC Coface dan Sinosure