• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemilihan Umum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemilihan Umum"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hampir tak ada sistem pemerintahan yang bersedia menerima cap tidak

demokratis4, maka hampir tidak ada sistem pemerintahan yang tidak menjalankan

pemilu. Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara merupakan wujud pelaksanaan

kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan suatu negara. Negara

demokrasi adalah negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak rakyat.5

Paham negara demokratis ini sudah banyak diikuti karena mengandung nilai-nilai

yang positif dan unsur-unsur moral universal. Bagi sejumlah negara yang

menerapkan atau mengklaim diri sebagai negara demokrasi (berkedaulatan

rakyat), Pemilu memang dianggap sebagai lambang sekaligus tolok ukur utama

dan pertama dari demokrasi6. Artinya, pelaksanaan dan hasil pemilu merupakan

refleksi dari suasana keterbukaan dan aplikasi dari nilai dasar demokrasi, di

      

       4Sodikin, Hukum Pemilu: Pemilu Sebagai Praktek Ketatanegaraan, (Jakarta: Gramata Publishing, 2014), hal. 21-22, mengemukakan bahwa: Suatu negara akan masuk dalam kategori demokratis apabila secara jelas dan nyata tertulis dalam konstitusi yang menentukan peran serta rakyat dalam menentukan arah dan tujuan bangsa, peran serta rakyat dalam mengawasi jalannya roda pemerintahan (eksekutif) lewat wakil-wakilnya di lembaga legislatif, dan peran serta rakyat dalam kontrol terhadap lembaga yudikatif.

      5 Ibid., hal. 20. 

6 Ibid., hal. 19, menyatakan bahwa: Paham demokrasi mengandung dua arti yakni: (a) Demokrasi yang berkaitan dengan sistem pemerintahan atau bagaimana caranya rakyat

diikutsertakan dalam penyelenggaraan pemerintahan (b) Demokrasi sebagai asas yang dipengaruhi keadaan kultural, historis suatu bangsa sehingga muncul istilah demokrasi konstitusional,

(2)

samping perlu adanya kebebasan berpendapat dan berserikat yang dianggap

cerminan pendapat warga negara.7 Melalui Pemilu, demokrasi sebagai sistem

yang menjamin kebebasan warga negara terwujud melalui penyerapan suara

sebagai bentuk partisipasi publik secara luas. Dengan kata lain bahwa Pemilu

merupakan simbol daripada kedaulatan rakyat. Kedaulatan rakyat berarti rakyatlah

yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi, rakyatlah yang menentukan corak dan

cara pemerintahan, dan rakyatlah yang menentukan tujuan apa yang hendak

dicapai.8

Menurut A.S.S. Tambunan, Pemilihan Umum merupakan sarana

pelaksanaan asas kedaulatan rakyat pada hakikatnya merupakan pengakuan dan

perwujudan daripada hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan

pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk

menjalankan pemerintahan.9 Secara teoritis Pemilihan Umum dianggap

merupakan tahap paling awal dari berbagai rangkaian kehidupan ketatanegaraan

yang demokratis, sehingga Pemilu merupakan motor penggerak mekanisme

sistem politik demokrasi. Pemilu merupakan tanda kehendak rakyat dalam suatu

demokrasi, karena tanpa ada Pemilu suatu negara tidak bisa disebut sebagai

negara demokrasi dalam arti yang sebenarnya.10

      

       7 Titik Triwulan Tutik, Kontruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD

1945, (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm 329.

       8 Ibid., hal. 330, menyatakan bahwa kedaulatan rakyat mempunyai prinsip esensial dan prinsip prosedural. Prinsip esensial yaitu kebebasan dan persamaan, sedangkan prinsip proseduralnya adalah kedaulatan suara mayoritas dan pertanggungjawaban (akuntabilitas).

9 Ibid., hal. 331.

(3)

Dari sudut pandang Hukum Tata Negara, Pemilihan Umum merupakan

proses politik dalam kehidupan ketatanegaraan sebagai sarana menunjuk

pembentukan lembaga-lembaga perwakilan yang mengemban amanat rakyat.11

Pemilihan Umum merupakan bagian dari pelaksanaan prinsip demokrasi, istilah

yang memiliki maksud sama dengan kata demokrasi dapat ditemukan dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 194512 Pasal 1 ayat (2)

dalam anak kalimat yang berbunyi “kedaulatan berada ditangan rakyat”, Pasal 2

ayat (1) yang menyatakan “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri dari anggota

Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih

melalui pemilihan umum”, Pasal 18 ayat (4) dalam anak kalimat “dipilih secara

demokratis”, dan Pasal 19 ayat (1) yang menyatakan “Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat dipilih melalui pemilihan umum”.13

Pelaksanaan Pemilihan Umum sangat menarik jika dikaitkan dalam

kehidupan ketatanegaraan Indonesia, sangat erat kaitannya jika ditelusuri dari

pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam sejarah berdirinya negara Republik

Indonesia, dimulai dari zaman orde lama, zaman orde baru, dan era reformasi.

Keinginan untuk melaksanakan pemilihan umum oleh para perumus atau

pembentuk UUD 1945 dapat diketahui dari ayat (1) Aturan Tambahan UUD 1945

sebelum amandemen yang menyatakan: “Dalam enam bulan sesudah berakhirnya

peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan

      

11 Ibid., hal. 3.

12 Untuk selanjutnya Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 akan ditulis dengan UUD NRI 1945, penulisan ini berdasarkan penulisan UUD NRI 1945 setelah amandemen.

(4)

menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan Undang-Undang Dasar ini”.14

Maksudnya adalah “Pemilihan Umum, tetapi karena keadaan ketatanegaraan yang

belum memungkinkan, selama berlakunya UUD 1945 yang pertama, Pemilihan

Umum tidak dapat dilaksanakan”.15

Pemilihan Umum baru dapat dilaksanakan pada tahun 1955 berdasarkan

UUDS 1950 dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan

Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Selama

pemerintahan orde baru yang dipimpin Presiden Soeharto, Pemilihan Umum

terlaksana setiap lima tahun sekali yang didasarkan pada UUD 1945. Selanjutnya

melalui amandemen ketiga UUD 1945, Pemilihan Umum secara tegas ditentukan

dalam UUD 1945 yang dilaksanakan dalam setiap lima tahun sekali.16 UUD 1945

setelah amandemen menempatkan Pemilu sebagai praktik ketatanegaraan yang

demokratis, karena dalam penyelenggaraan pemilu harus menempatkan rakyat

sebagai pemegang kekuasaan yang sebenarnya.17

Pemilihan Umum juga merupakan upaya mewujudkan cita-cita Proklamasi

Kemerdekaan Republik Indonesia untuk tetap terus dalam penyelenggaraan

pemerintahan sebagaimana ditetapkan dalam UUD NRI Tahun 1945.

Penyelenggaraaan Pemilihan Umum dimaksudkan sebagai suatu pemilihan yang

dilakukan oleh seluruh warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dan

hak untuk dipilih. Pada hakikatnya Pemilihan Umum, di negara manapun

      

14 Undang Undang Dasar 1945 Sebelum Amandemen Aturan Tambahan ayat (1) 15 Sodikin, Op. Cit., hal. 91. 

(5)

mempunyai esensi yang sama. Pemilihan Umum berarti rakyat melakukan

kegiatan memilih orang atau kelompok orang menjadi pemimpin rakyat atau

pemimpin negara, pemimpin yang dipilih itu akan menjalankan kehendak

rakyat.18 Kenyataannya, apa pun alasannya hanya pemerintahan yang

representatiflah yang dianggap memiliki legitimasi dari rakyat untuk memimpin

dan mengatur pemerintahan (menjadi pengelola kekuasaan). Sehingga dengan

melalui pemilu juga, klaim jajaran elite pemerintahan bekerja untuk dan atas nama

kepentingan rakyat menjadi dapat diakui.19

Pemilihan Umum dianggap penting dalam proses kenegaraan,

setidak-tidaknya ada dua manfaat sekaligus sebagai tujuan atau sasaran langsung yang

hendak dicapai dengan pelaksanaan pemilu, yaitu pembentukan atau pemupukan

kekuasaan yang absah (otoritas) dan mencapai tingkat keterwakilan politik

(political representativeness).20 Dari sudut pandang tujuan kedua manfaat (tujuan)

tersebut merupakan tujuan langsung yang berada dalam skala waktu relatif

pendek. Hal ini mengisyaratkan bahwa manfaatnya dirasakan segera setelah

proses pemilu berlangsung. Adapun tujuan tidak langsung dihasilkan dari

keseluruhan aktivitas dari semua pihak yang terlibat dalam proses pemilu, baik

kontestan, maupun para pelaksana dan pengawas dalam kurun waktu relatif lama,

yaitu pembudayaan politik dan pelembagaan politik.21

      

18 Ibid., hal. 6-7.

19 Titik Triwulan Tutik, Op. Cit., hal. 332.   20 Sodikin, Op. Cit., hal. 7.

(6)

Arbi Sanit menyimpulkan bahwa Pemilu pada dasarnya memiliki empat

fungsi utama yakni:

1) Pembentukan legitimasi penguasa dan pemerintah;

2) Pembentukan perwakilan politik rakyat;

3) Sirkulasi elite penguasa;

4) Pendidikan politik;22

Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim sebagaimana dikutip oleh

Titik Triwulan Tutik, bahwa sebagai sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat

berdasarkan Pancasila dalam Negara Republik Indonesia, maka Pemilu bertujuan

antara lain:

1. Memungkinan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan

tertib;

2. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat;

3. Dalam rangka melakukan hak-hak asasi warga negara;23

Tujuan pertama, yaitu memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan

secara aman dan tertib. Dengan demikian, peralihan pemerintah diharapkan tidak

terjadi dengan kekerasan seperti kudeta, tetapi haruslah dengan cara yang teratur

yang menjamin keamanan dan ketertiban demi stabilitas nasional. Hal inilah

alasan pemilihan umum sangat penting bagi kehidupan demokrasi, karena salah

      

22 Sodikin, Op. Cit., hal. 8.

(7)

satu alasannya melalui pemilihan umum dapat diartikan sebagai satu-satunya cara

mengganti pemerintah secara teratur, damai, dan tenteram.24

Tujuan kedua, yaitu untuk melaksanakan kedaulatan rakyat, seperti telah

dikatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, maka rakyat mewakilkan

kepada wakil-wakilnya yang duduk dalam badan perwakilan rakyat untuk

melaksanakan kedaulatan yang dipunyai oleh rakyat. Rakyat yang telah

memenuhi persyaratan untuk memilih secara bebas dan rahasia menjatuhkan

pilihan pada figur yang dinilai sesuai dengan aspirasinya. Hal ini tentu saja tidak

mungkin seluruh aspirasi akan dapat ditampung semuanya, sehingga dari sekian

aspirasi itu hanyalah suara terbanyak pemilih yang dinyatakan sebagai pemenang

karena mewakili kehendak rakyat terbanyak. Pemilihan Umum harus dilakukan

secara berkala, karena mempunyai fungsi sebagai sarana pengawasan bagi rakyat

terhadap wakilnya. Wakil tidak akan terpilih lagi dalam Pemilihan Umum yang

akan datang apabila dianggap tidak sejalan dengan aspirasi para pemilihnya,

dalam melaksanakan fungsinya. Begitu juga, penunjukan wakil-wakil rakyat yang

diselenggarakan melalui suatu Pemilihan Umum, harus memberikan jaminan

sebesar-besarnya, bahwa wakil-wakil yang terpilih itu memang sungguh-sungguh

memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu mereka dipercayai oleh pemilih sebagai

orang jujur dan sanggup memperjuangkan kepentingan mereka.25

      

24 Sodikin, Op. Cit., hal. 8. Dalam pembahasan mengenai pemilihan dan kedaulatan rakyat, mengemukakan bahwa pengertian aman ialah suatu keadaan pribadi dengan perasaan bebas dari ketakutan akan kemungkinan adanya suatu bahaya atau berbagai hal yang tidak diinginkan. Tertib mengandung arti bahwa suatu keadaan antarpribadi yang serba teratur dengan segala hal terjadi atau berlangsung menurut ukuran yang seharusnya. 

(8)

Tujuan ketiga yaitu dalam rangka melaksanakan hak-hak asasi warga

negara, dalam arti seluruh warga negara Indonesia mempunyai hak yang sama

dengan tidak membeda-bedakan suku bangsa, agama, usia, jenis kelamin, status

sosial, dan lain sebagainya. Hal ini karena kedaulatan rakyat berisi pengakuan

akan harkat dan martabat manusia, sedangkan pengakuan martabat manusia

berarti pula menghormati dan menjunjung tinggi segala hak-hak asasi yang

melekat padanya. 26

Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, kehadiran pemilu yang bebas

dan adil merupakan suatu keniscayaan. Secara konseptual, terdapat dua

mekanisme yang dapat dilakukan untuk menciptakan pemilu yang bebas dan adil,

yaitu:

1. Menciptakan seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih

ke dalam suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil (electoral

system);

2. Menjalankan pemilu sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip

demokrasi (electoral process).27

Agar dapat menjalankan Pemilu yang demokratis28, maka harus didukung

pula dengan sistem pemilihan umum29 yang baik dan sesuai dengan keadaan

      

26 Ibid., hal. 10.

27 Titik Triwulan Tutik, Op. Cit., hal. 335.

(9)

sosial budaya dari warga masyarakat yang akan memilih. Sistem pemilihan umum

yang memudahkan warga masyarakat memilih pilihannya adalah pemilu yang

dilaksanakan oleh lembaga netral. Penyelenggara pemilu memiliki posisi yang

penting dalam penyelenggaraan pemilu. Akan tetapi, karena keberadaan lembaga

penyelenggara pemilihan umum disebut tegas dalam Pasal 22E UUD NRI Tahun

1945, kedudukannya sebagai penyelenggara pemilu yang bersifat nasional, tetap

dan mandiri, mau tidak mau menjadi sangat penting artinya, dan keberadaannya

dijamin dan dilindungi secara konstutisional dalam UUD NRI Tahun 1945.30

Pasal 22E ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa pemilihan umum

diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap,

dan mandiri. Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberi landasan hukum yang

lebih kuat bagi pemilu sebagai salah satu wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat.31

Perlunya suatu lembaga yang netral dalam penyelenggaraan pemilu akan

menyangkut kepada kualitas penyelenggaraan pemilu serta terlindunginya setiap

suara pemilih sebagai indikator kualitas demokratisasi pada saat pelaksanaan

pemilu.

Klausula “suatu komisi pemilihan umum” dalam UUD NRI Tahun 1945

tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi

penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.32

       

hak pilih, administrasi pemilihan dan perilaku pemilih”. Sedangkan pengertian dalam arti sempit adalah “...cara dengan mana pemilih dapat mengekspresikan pilihan politiknya melalui pemberian suara, dimana suara tersebut ditransformasikan menjadi kursi di parlemen atau pejabat publik”. 30 Jimly Asshidiqie, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,”

www.jimly.com/pemikiran/getbuku/6 (akses 19 November 2015). 31 Ibid., hal. 51.

(10)

Artinya adalah bahwa penamaan kelembagaan pemilu dimandatkan kepada

undang-undang untuk mengaturnya sebagaimana yang telah disebutkan dalam

Pasal 22E ayat (6) UUD NRI Tahun 1945. Maka dapat dikatakan bahwa secara

tidak langsung, undang-undang dapat memberikan nama lain terhadap

penyelenggara pemilu, bukan komisi pemilihan umum. Di samping itu

kewenangan KPU juga berjenjang dimulai dari tingkat pusat sampai daerah. Pada

tingkat pusat disebut Komisi Pemilihan Umum (KPU), di tingkat provinsi

dinamakan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Provinsi, dan pada tingkat

kabupaten/ kota disebut Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Kabupaten/

Kota.

Tidak kalah pentingnya tidak hanya komisi pemilihan umum sebagai

penyelenggara pemilu, tetapi juga pengawas penyelenggara pemilu dalam hal ini

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Eksistensi Bawaslu yang juga penyelenggara

pemilu selain KPU merupakan terjemahan dari ketentuan Pasal 22E ayat (5) UUD

NRI Tahun 1945 tentang istilah “suatu komisi pemlihan umum”.33 Dalam

pelaksanaan pemilu meskipun telah ada undang-undang serta peraturan yang

khusus mengatur tentang pelaksanaan pemilu supaya dapat berjalan dengan baik

namun masih juga terjadi pelanggaran dan kecurangan. Pelanggaran dan

kecurangan ada yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu, oleh peserta pemilu

dan bahkan oleh masyarakat. Oleh karena itu diperlukan adanya suatu

pengawasan supaya pemilu benar-benar dapat dilaksanakan berdasarkan asas

        http://www.academia.edu/5301019/EBook_Memperkuat_Kemandirian_Penyelenggara_Pemilu

(akses 4 Oktober 2015)

(11)

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.34 Sama halnya dengan KPU,

Bawaslu juga bertingkat dari pusat hingga ke daerah. Pada tingkat pusat disebut

Bawaslu, di tingkat provinsi disebut Bawaslu Provinsi, di tingkat kabupaten/ kota

disebut Panwaslu Kabupaten/ kota, dan di tingkat kecamatan disebut Panwaslu

Kecamatan. Dalam menjalankan fungsi pengawasan, Bawaslu dan Pengawas

Pemilu lainnya mempunyai tugas dan wewenang tertentu. Tugas dan wewenang

yang dimaksud mengawasi penyelenggaraan dan penyelenggara pemilu.35

Dalam proses pelaksanaan pemilu yang demokratis tentunya juga harus

menyediakan mekanisme hukum untuk menyelesaikan kemungkinan adanya

pelanggaran-pelanggaran pemilu. Hal tersebut menggambarkan bahwa

pelaksanaan pemilu juga tidak lepas dari permasalahan. Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, Undang-Undang Nomor

42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (pemilukada) mengatur

tentang penyelesaian sengketa pemilu, baik karena pelanggaran kode etik,

pelanggaran administrasi, sengketa tata usaha negara, tindak pidana pemilu,

maupun sengketa hasil pemilu.36 Penyelesaian sengketa dan pelanggaran pemilu

      

34www.repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31378/4/Chapter%20I.pdf (akses 19 November 2015)

35 Putusan MK, Loc. Cit., hal.6, Tugas dan wewenang yang dimaksud yaitu mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu, menerima laporan dugaan pelanggaran, menyampaikan temuan dan laporan serta meneruskannya kepada instansi yang berwenang hingga mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi pengenaan sanksi kepada kepada anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota hingga sekretaris Jenderal dan pegawainya, hingga Sekretaris KPU

Kabupaten/Kota dan pegawai sekretariatnya yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung.  

       36 Sodikin, Op. Cit., hal. 218.

(12)

tersebut diberikan wewenang kepada Bawaslu untuk menyelesaikan sengketa,

serta adanya tiga peradilan dalam penyelesaian sengketa dan pelanggaran pemilu

yaitu Pengadilan Negeri, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah

Konstitusi.

Dalam hal ini yang sangat disoroti ialah pelanggaran administrasi pemilu,

yang sesungguhnya hanya meliputi pelanggaran yang meliputi tata cara, prosedur,

dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan pemilu dalam

setiap tahapan penyelenggaraan pemilu. Pelanggaran tersebut dapat menimbulkan

kerugian bagi peserta pemilu berupa pembatalan hak sebagai peserta pemilu.

Mengkaji bagaimana proses penyelesaian pelanggaran administrasi tersebut

sehingga menghasilkan suatu keputusan yang mengikat bagi pihak yang terkait

jika dibandingkan dengan proses penyelesaian sengketa dan pelanggaran pemilu

lainnya serta menyoroti bagaimana proses penyelesaian pelanggaran administrasi

pemilu dari kasus yang sudah pernah terjadi di Indonesia yaitu mengenai

pembatalan Partai Keadilan Persatuan Indonesia sebagai calon peserta pemilu.

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengangkat judul:

PENYELESAIAN SENGKETA ADMINISTRASI PEMILIHAN UMUM.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan, penulis memilih

beberapa hal yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini. Adapun

(13)

1. Bagaimana pengaturan penyelesaian sengketa administrasi

pemilihan umum dibandingkan dengan sengketa pemilihan umum

lainnya menurut menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2012

tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD?

2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa administrasi pemilihan

umum (Menurut Keputusan KPU Nomor: 05/Kpts/KPU/Tahun 2013

tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun

2014)?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah yang telah diuraikan

dalam skripsi ini, maka sudah sepatutnya juga memberikan uraian cermat dan

jelas mengenai tujuan dan manfaat pembahasan yang terdapat dalam skripsi ini.

Secara rinci maka tujuan dari pembahasan skripsi ini sebagai berikut:

1. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa administrasi pemilu

dibandingkan dengan penyelesaian sengketa pemilihan umum lainnya

menurut menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan

Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

b. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa administrasi pemilihan umum

menurut Keputusan KPU Nomor: 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 tentang

Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun 2014.

(14)

a. Secara Teoritis

1) Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

pengetahuan dan menambah wawasan dalam bidang hukum tata

negara, khususnya yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa

admnistrasi pemilihan umum.

2) Bagi penulis sendiri, penulisan skripsi ini bermanfaat dalam

memenuhi syarat untuk menyelesaikan studi dan meraih gelar sarjana

program strata satu (S-1) di Departemen Hukum Tata Negara Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

b. Secara Praktis

Dapat dijadikan rujukan dan sebagai pedoman bagi rekan-rekan mahasiswa

dan masyarakat luas untuk memperoleh informasi hukum dan pengetahuan

yang lebih dalam mengenai penyelesaian sengketa administrasi pemilihan

umum.

D. Keaslian Penulisan

Untuk mengetahui keaslian penulisan, sebelum melakukan penulisan skripsi

berjudul “Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemilihan Umum”, penulis

melakukan penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat di arsip

Perpustakaan dan informasi hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

melalui surat tertanggal 16 September 2015 (terlampir) menyatakan bahwa tidak

ada judul yang sama. Skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan

(15)

berbagai referensi seperti buku-buku, media cetak dan elektronik serta bantuan

dari berbagai pihak yang dapat menunjang kelengkapan dari skripsi ini. Oleh

kerena itu, dapat dinyatakan bahwa skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan

secara ilmiah.

E. Tinjauan Kepustakaan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalah yang akan dikaji

guna menghindari meluasnya pembahasan yang dapat mengakibatkan kaburnya

pokok bahasan. Pokok permasalahan yang akan dibahas terbatas pada

penyelesaian sengketa admnistrasi pemilihan umum. Pembahasan mengenai

penyelesaian sengketa administrasi pemilihan umum in berlandaskan pada konsep

Kedaulatan Rakyat sebagai teori utama (grand theory). Penggunaan konsep ini

didasari pemikiran bahwa pelaksanaan pemilihan umum merupakan cerminan

daripada demokrasi dan demokrasi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat.

1. Kedaulatan Rakyat

Kata kedaulatan rakyat berasal dari rakyat sovereignty (bahasa Inggris),

souverainete (bahasa Prancis), sovranus (bahasa Italia). Kata-kata asing tersebut

diturunkan dari kata Latin superanus yang berarti “yang tertinggi” (supreme).

Sarjana-sarjana dari abad menengah lazim menggunakan pengertian-pengertian

yang serupa maknanya dengan istilah superanus itu, yaitu summa potestas atau

(16)

politik. Banyak sekali definisi untuk kata itu, tetapi “istilah ini selalu berarti

otoritas pemerintahan dan hukum”.37

Konsep kedaulatan tradisional itu memiliki beberapa ciri tertentu. Ciri itu

ialah kelanggengan (permanence), sifat tidak dapat dipisah-pisahkan (indisible),

sifatnya sebagai kekuasaan tertinggi (supreme), tidak terbatas dan lengkap

(complete).38 Kedaulatan sebagai suatu konsep yang abstrak dapat dibedakan

menjadi beberapa macam yaitu: Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulatan

Negara, Kedaulatan Hukum, dan Kedaulatan Rakyat.

Berkaitan dengan kedaulatan rakyat hal ini berarti kekuasaan tertinggi ada

pada rakyat. Pelopor utama ajaran kedaulatan rakyat adalah Jean Jacques

Rousseau (1712-1778) yang mengemukakan suatu teori perjanjian dan kekuasaan

dalam karyanya The Social Contract yakni:

Manusia itu berdaulat penuh atas dirinya, ia memiliki hak-hak yang lahir dari dan atas dirinya sendiri. Kedaulatan orang yang satu tidak kurang tetapi juga tidak lebih dari yang lain. Dalam situasi yang seperti itu tidak akan mungkin ada kemajuan. Maka manusia itu serentak bersama-sama menyerahkan kedaulatan masing-masing kepada masyarakat, lalu pelaksana perintah-perintah ialah negara dan pemerintahan.

Penyerahan itu disertai dengan satu syarat: ia berhak turut serta untuk menyusun kemauan umum, volonte generale39, yang akan dijadikan

kemauan negara.40

      

       37 Ni’matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), hal. 169.

38 Ibid, hal. 171, Bahwa kelanggengan dimaksudkan sifat kedaulatan yang abadi yang dimiliki negara selama negara itu masih ada. Sifat tidak dapat dipisah-pisahkan menunjukkan keadaan kedaulatan sebagai pengertian yang bulat dan tunggal. Kedaulatan tidak dapat dibagi-bagi. Kedaulatan adalah kekuasaan yang tertinggi dalam setiap negara. Kedaulatan tidak mengenal batas, karena membatasi kedaulatan berarti adanya kedaulatan yang lebih tinggi.  

39 Ni’matul Huda, Op. Cit., hal. 190, “Volonte Generale” berarti kehendak sebagian dari rakyat. Menurut Rosseau bahwa kedaulatan rakyat itu sama dengan keputusan suara terbanyak. Oleh karena suara terbanyak itu harus ditaati, maka keputusan terbanyak itu sama halnya dengan diktator dari suara terbanyak.

(17)

Kedaulatan rakyat menurut Rosseau hanya merupakan fiksi saja karena

rakyat dapat mewakilkan kekuasaannya dengan berbagai cara, yaitu dapat kepada

seorang saja atau beberapa orang, kepada suatu korps pemilih, bahkan dapat juga

turun-temurun.41 Ada pandangan ahli hukum bahwa istilah kedaulatan rakyat

(people souvereignty) diidentikkan dengan istilah demokrasi (democracy) dengan

suatu argumen kedua istilah itu sama-sama populer pada dua belahan dunia yang

berbeda. Pandangan ahli hukum tersebut menyatakan:

Gagasan kedaulatan rakyat (people souvereignty) yang sejalan dengan pengertian kata democracy yang berasal dari perkataan demos yang berarti rakyat dan cratos atau cratein yang berarti kekuasaan. Perkataan “kedaulatan rakyat” sangat populer dan biasa digunakan dalam

konstitusi negara-negara Eropa Timur, sedangkan negara-negara Eropa Barat dan negara-negara Anglo Amerika, perkataan yang lebih populer adalah demokrasi. Namun kedua istilah ini sebenarnya menunjuk kepada pengertian yang serupa, yaitu bahwa kekuasaan yang tertinggi ada pada dan berasal dari rakyat.42

Ajaran kedaulatan rakyat ini sebenarnya meyakini bahwa sesungguhnya

yang berdaulat dalam setiap negara adalah rakyat, dan ajaran kedaulatan rakyat ini

merupakan dasar dari negara demokrasi. Konsep kedaulatan rakyat adalah sebuah

cara untuk memecahkan masalah yang rumit dalam demokrasi: rakyat berkuasa

tetapi sekaligus diperintah.43 Demokrasi mempunyai unsur ikut sertanya sebagian

besar rakyat yang berpartisipasi dalam pemerintahan dengan dasar persetujuan

dan persamaan politik. Selain itu, demokrasi menunjukkan adanya pengakuan hak

asasi manusia antara lain untuk hal untuk memilih.44

      

41 Abdul Bari Azed, Sistem-Sistem Pemilihan Umum: Suatu Himpunan Pemikiran, (Depok: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hal. 2.

42 Sodikin, Op. Cit., hal. 17.

       43 

Seri Penerbitan Studi Politik, Menimbang Masa Depan Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1998), hal. 14.

(18)

Ajaran kedaulatan rakyat mensyaratkan adanya pemilihan umum yang

menghasilkan dewan-dewan rakyat yang mewakili rakyat dan yang dipilih

langsung atau tidak langsung oleh seluruh warga negara yang dewasa.45

Dewan-dewan inilah yang betul-betul berdaulat.46 Negara Indonesia yang termasuk

menerapkan ajaran kedaulatan rakyat telah menegaskan hal tersebut dalam alinea

keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 selanjutnya dijabarkan dalam

rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menegaskan bahwa: “

Kedaulatan berada di tangan rakyat dan didasarkan menurut Undang Undang

Dasar”.

Dalam konteks Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, maka dalam sistem

ketatanegaraan Indonesia dimaksudkan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang

akan duduk di lembaga pemerintahan baik badan perwakilan rakyat maupun

lembaga eksekutif.47 Badan perwakilan rakyat dibutuhkan sebagai dasar

kekuasaan dalam kehidupan demokrasi modern di negara yang berdasar hukum

untuk menyelenggarakan pemerintahan dan mengawasi jalannya pemerintahan

sebagai bentuk pertanggungjawaban badan perwakilan itu kepada rakyat. Menurut

Jimly Asshiddiqie sebagaimana dikutip oleh Sodikin menyatakan:

Kedaulatan rakyat itu juga tercermin dalam keseluruhan mekanisme dan prosedur yang diatur dalam UUD 1945, seperti prosedur-prosedur politik, mekanisme penyusunan kebijakan atau fungsi legislasi, prosedur pengawasan legislasi terhadap pelaksanaan kekuasaan atau

      

45Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 117; Tambahan Lembar Negara Republik

Indonesia Nomor 5316) Pasal 1 angka 25 menyatakan bahwa warga negara Indonesia yang dewasa dan mempunyai hak pilih ialah yang telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pernah kawin.

(19)

sebagainya. Dalam proses rekrutmen politik ditentukan bahwa semua jabatan pemimpin pemerintahan eksekutif pusat dan daerah harus dilakukan melalui proses pemilihan umum. Demikian pula para pejabat di cabang kekuasaan legislatif, baik di tingkat pusat maupun daerah harus dipilih melalui pemilihan.48

Sejalan dengan pendapat Jimly Asshhiddiqie tersebut, maka untuk

menentukan wakil-wakilnya, rakyat melakukannya melalui mekanisme pemilihan

umum. Mekanisme pemilihan umum ini diatur melalui undang-undang, sebab

tanpa aturan yang jelas pemilihan umum akan menimbulkan tidak demokratisnya

pelaksanaan pemilihan umum itu. 49

2. Sengketa Administrasi Pemilihan Umum

Perwujudan daripada ajaran kedaulatan rakyat itu ialah dengan menerapkan

paham demokrasi. Ide demokrasi yang pada awalnya dimaksudkan sebagai pola

hubungan antar manusia yang manusiawi secara ideal, lalu berproses dan

kemudian lebih populer dalam wujud kehidupan yang lebih luas, yakni kehidupan

bernegara.50 Demokrasi merupakan cerminan dari kedaulatan rakyat, di dalam

Negara Kesatuan Republik Indonesia hal itu diwujudkan melalui pemilihan umum

sebagai wadah untuk menampung suara dan keinginan dari rakyat dalam

melaksanakan pemerintahan yang diinginkan.

      

48 Ibid., hal. 42. 49 Ibid., hal. 42-43.

 

(20)

Elemen penting selama proses ini adalah pembentukan kepercayaan rakyat

menjelang pemilu. Jika rakyat tidak merasa terlibat secara bebas untuk mengelola

pilihan politik, mendapat informasi memadai sesuai keperluan dan tujuannya,

sebagaimana hak pilihnya dihormati proses pemilu menjadi tidak signifikan. Para

kandidat harus mendapat kesempatan yang sama untuk memenangi suara pada

“tingkat berkompetisi yang fair”. Lebih jauh, para kandidat juga harus merasakan

keterlibatan dalam proses dan menghargai hasil pemilu. Dengan demikian, pemilu

menjadi begitu dekat sebagai kegiatan peralihan yang terlaksana sebelum dan

sesudah pemilu.51

Sebuah lembaga yang bertanggung jawab mengatur administrasi

penyelenggaraan pemilu harus independen dan mampu mengadakan proses

pemilu yang adil dan efektif. Jika tidak, masyarakat tidak akan mempercayai hasil

pemilu. Tidak hanya terhadap lembaga penyelenggara pemilu, tetapi juga penegak

hukum seperti kepolisian52 dan kejaksaan53 yang memantau aspek-aspek tersebut

secara memadai dan melaksanakan tindakan efektif guna menghindari

permasalahan dan kecurangan.

      

51 Surbakti, Ramlan, Didik Supriyanto, Topo Santoso, “Penanganan Pelanggaran Pemilu”,

http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2012_10_11_12_44_25_20120105095215.Buku_15_Pe nanganan%20Pelanggaran%20Pemilu%20web.pdf (akses 20 November 2015)

52 Menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168) Pasal 4 bahwa tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

53 Menurut Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia

(21)

Perundang-undangan pemilu harus melindungi proses politik dari

pelanggaran, rintangan, pengaruh buruk, kepentingan tertentu, penipuan,

kecurangan, intimidasi, dan segala bentuk tindakan ilegal, dan praktik korup.

Sanksi nonpidana maupun pidana harus dijatuhkan terhadap pelanggaran oleh

penyelenggara pemilu maupun penegak hukum.54 Dalam pelaksanaan pemilihan

umum meskipun telah ada peraturan perundang-undangan yang mengatur khusus

tentang pemilihan umum, hal tersebut belum dapat menjamin terlaksananya

pemilihan umum dengan baik tanpa adanya pelanggaran dan kecurangan yang

berasal dari penyelenggara pemilu, peserta pemilu bahkan berasal dari

masyarakat.

Sengketa hukum dan pelanggaran pemilu menurut Undang-Undang No. 8

Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD dapat

dibagi menjadi lima jenis, yakni:

1) Pelanggaran kode etik penyelenggara pemilihan umum

Menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum

Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 251 Pelanggaran kode etik penyelenggara

Pemilu adalah pelanggaran terhadap etika penyelenggara Pemilu yang

berpedomankan sumpah dan/ atau janji sebelum menjalankan tugas sebagai

penyelenggara Pemilu. Maksud kode etik adalah untuk menjaga kemandirian,

integritas, akuntabilitas, dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Sedangkan tujuan

      

(22)

kode etik adalah memastikan terselenggaranya pemilu secara langsung, umum,

bebas, rahasia, jujur, dan adil.55

2) Pelanggaran administrasi pemilihan umum

Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum

Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 254 adalah pelanggaran yang meliputi tata

cara, prosedur, dan mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan

Pemilu dalam setiap tahapan penyelenggaraan Pemilu di luar tindak pidana

Pemilu dan pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu.

3) Sengketa Pemilihan Umum

Definisi dari sengketa pemilu menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012

tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD Pasal 257 adalah

sengketa peserta Pemilu dengan penyelenggara Pemilu sebagai akibat

dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota.

4) Sengketa Tata Usaha Negara Pemilihan Umum

Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012, pengaturan

mengenai sengketa tata usaha negara belum diatur. Ketentuan ini muncul karena

pengalaman Pemilu sebelumnya yang memerlukan penyelesaian hukum yang adil.

Sengketa tata usaha negara Pemilu adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata

usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD

      

(23)

Kabupaten/ Kota, atau partai politik calon peserta Pemilu dengan KPU, KPU

Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota (Pasal 268 ayat [1] Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2012).56

Masing-masing masalah hukum pemilu itu diselesaikan oleh

lembaga-lembaga yang berbeda. Pelanggaran maupun sengketa yang terjadi sangat

berpotensi dalam hal ini merugikan hak peserta Pemilu. Mengacu kepada

pemahaman seperti ini, jika menyoroti khusus kepada pelanggaran administrasi

Pemilu tentu saja jumlah dari pelanggaran administrasi ini sangat banyak. Sebagai

contoh dari ketentuan menurut Undang-Undang Pemilu adalah untuk dapat

menggunakan hak memilih, warga negara Republik Indonesia harus terdaftar

sebagai pemilih. Dengan ketentuan seperti ini, apabila ada orang yang tidak

terdaftar sebagai pemilih ikut memilih pada hari pemungutan suara, artinya telah

terjadi pelanggaran administrasi.57

Pada penyelesaian pelanggaran admnistrasi pemilu ini Undang-Undang

Pemilu hanya menyatakan bahwa laporan yang merupakan pelanggaran

admnistrasi diserahkan kepada KPU. Laporan pelanggaran admnistrasi pemilu

disampaikan secara tertulis kepada Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu

Kabupaten/ Kota, Panwaslu Kecamatan, Pengawa Pemilu Lapangan, dan

Pengawas Pemilu Luar Negeri, dengan memuat nama dan alamat pelapor; pihak

terlapor; waktu dan tempat kejadian perkara; serta uraian kejadian. Penyelesaian

pelanggara administrasi pemilu ini dimaksudkan untuk menjadi kemandirian,

      

56 Ibid., hal 224.

(24)

integritas, akuntabilitas, dan kredibilitas penyelenggara pemilu. Penyelesaian

pelanggaran pemilu ini bertujuan untuk memastikan penyelenggaraan pemilu

secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. 58

F. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Penelitian ini menggunakan pendekatan secara Normatif atau penelitian

hukum kepustakaan, yaitu suatu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka.59 Metode penelitian hukum

secara normatif pada penulisan skripsi ini mencakup beberapa penelitian hukum

yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum yang mungkin bertitik tolak dari

bidang-bidang tata hukum (tertulis) tertentu, dengan cara mengadakan identifikasi

terlebih dahulu terhadap kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan di dalam

perundang-undangan tertentu lalu ditarik asas-asasnya.60 Serta penelitian terhadap

      

58 Ibid., hal. 18.

59 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif-Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 13-14.

(25)

sistematik hukum dapat dilakukan pada perundang-undangan tertentu ataupun

hukum tercatat.61

Permasalahan pokok dalam penelitian ini adalah meneliti bagaimana

proses penyelesaian sengketa administrasi pemilihan umum. Kaitannya dengan

pendekatan normatif ialah dimaksudkan untuk mengkaji dan menggali peraturan

perundang-undangan sebagai dasar dalam meneliti persoalan.

2. Alat pengumpul data

Dalam melakukan penelitian secara normatif atau penelitian hukum

kepustakaan ini menggunakan data sekunder sebagai sumber data utama. Data

sekunder adalah data yang langsung diperoleh tanpa melalui responden atau

informan. Untuk memecahkan apa yang menjadi pokok permasalahan dalam

penelitian ini, peneliti mendapat data sekunder melalui sumber penelitian sebagai

berikut:

a. Bahan-bahan hukum primer

Bahan yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas62, yang terdiri dari:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Undang-Undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota

DPR, DPD, dan DPRD;

      

61 Ibid., hal.15.

(26)

3) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan

Umum;

4) Peraturan Bersama Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu,

dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 13

Tahun 2012, Nomor 11 Tahun 2012, Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode

Etik Penyelenggara Pemilihan Umum;

5) Perbawaslu Nomor 15 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelesaian

Sengketa Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

6) Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010;

7) Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012

tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Pemilu;

8) Peraturan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum Nomor 2

Tahun 2012 tentang Pedoman Beracara Kode Etik Penyelenggara

Pemilihan Umum;

9) Peraturan Bawaslu Nomor 14 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaporan

dan Penanganan Pelanggaran Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan

DPRD;

10)Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 13 Tahun 2014 tentang

Perubahan Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 25 Tahun

2013 tentang Penyelesaian Pelanggaran Administrasi Pemilihan Umum;

11)Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 11 Tahun 2014

(27)

12)Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

b. Bahan-bahan hukum sekunder

Bahan berupa semua publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks,

surat kabar, majalah, situs internet, skripsi, tesis, disertasi hukum, kamus-kamus

hukum, jurnal-jurnal hukum, artikel-artikel dan bacaan lainnya yang berkaitan

dengan judul skripsi.

c. Bahan hukum tertier

Bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan sekunder seperti kamus, ensiklopedia, dan lain-lain.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan Skrispsi ini dilakukan dengan membagi 5 bab, dengan sistematika

sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan mengemukakan mengenai Latar Belakang,

Perumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian

Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan Sistematika

Penulisan.

BAB II PENGATURAN PELANGGARAN PEMILIHAN UMUM DI

(28)

Pada bab ini akan diuraikan mengenai jenis-jenis pelanggaran

pemilihan umum yang akan dikaitkan dengan regulasi/ peraturan

mengenai pemilihan umum di Indonesia.

BAB III BADAN-BADAN YANG BERKOMPETENSI DALAM

MENYELESAIKAN PELANGGARAN PEMILIHAN UMUM

SERTA WEWENANGNYA

Pada bab ini akan diuraikan badan-badan yang berhak serta

masing-masing wewenangnya untuk menyelesaikan setiap pelanggaran

pemilihan umum sesuai dengan kompetensi yang diberikan oleh

Undang-Undang.

BAB IV PENYELESAIAN SENGKETA ADMINISTRASI PEMILIHAN

UMUM

Bab ini terlebih dahulu akan mengemukakan tata cara penyelesaian

sengketa administrasi pemilihan umum secara mendalam sesuai

dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan

Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD, selanjutnya akan

menguraikan hasil analisis dari salah satu kasus administrasi

pemilihan umum (Keputusan KPU Nomor: 05/Kpts/KPU/Tahun 2013

tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum Tahun

(29)

Pemilu yang terdapat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang

Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Pada bab terakhir ini akan ditutup dengan mengemukakan hasil

kesimpulan berupa ringkasan dari seluruh rangkaian pembahasan yang

telah terdapat pada bab-bab sebelumnya serta saran-saran dari penulis

Referensi

Dokumen terkait

Selasa, 2 Juli 2103 Rapat Akhir Tanggap Darurat 09.00 Wita Di Aula Kantor Bupati Selasa, 2 Juli 2103 Peresmian Kelompok Tani Wanita 11.00 Wita.. Santren Jurang Sejelo, Dusun

Tidak boleh melakukan tindakan yang menyangkut risiko pribadi atau tanpa pelatihan yang sesuai.. Evakuasi

Interaksi an- tara konsentrasi asap cair batang tembakau de- ngan lama perendaman tidak berpengaruh pada kekerasan, warna, aroma, dan total bakteri daging ikan gurami

This study aims to determine the benefits of the use of hedges on the exposure of transactions а nd determine the currency to be selected by PT Multibint а ng Indonesi а to

1) Serginho berhasil setelah tendangan pelan ke arah kanan kiper menipu pergerakannya. 2) Seedorf gagal setelah tendanganya ke sebelah kanan dengan pelan kiper

Uji unit dalam kontek OO tidak melakukan uji pada tiap modul secara individual seperti uji unit dari perangkat lunak konvensional, namun unit terkecil yang

bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Banyuwangi Nomor 14 Tahun 2011 tentang Retribusi Perizinan Tertentu, khususnya terhadap tarif retribusi izin usaha perikanan

Data kunjungan neonatal minimal 3 kali, neonatal komplikasi yang ditangani dan kunjungan bayi minimal 4 kali menurut Puskesmas di wilayah Kota Mataram tahun