• Tidak ada hasil yang ditemukan

Profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF dibagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Profil penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF dibagian THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP. H. Adam Malik Medan tahun 2008-2011"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Hidung dan Sinus Paranasal

Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan oleh septum nasi dibagian tengahnya sehingga menjadi kavum nasi kanan dan kiri. Tiap kavum nasi mempunyai 4 buah dinding yaitu dinding medial, lateral, inferior dan superior (Ballenger, 2004; Higler, 1997).

Bagian dari kavum nasi yang letaknya sesuai ala nasi, tepat dibelakang nares anterior, disebut sebagai vestibulum. Dinding medial rongga hidung adalah septum nasi. Dinding lateral dibentuk oleh permukaan dalam prosesus frontalis os maksila, os lakrimalis, konka superior dan konka media yang merupakan bagian dari os etmoid, konka inferior, lamina perpendikularius os palatum, dan lamina pterigoides medial. Pada dinding lateral terdapat empat buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior, kemudian yang lebih kecil adalah konka media, yang lebih kecil lagi konka superior, sedangkan yang terkecil ialah konka suprema dan konka suprema biasanya rudimenter. Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior, dan suprema merupakan bagian dari labirin etmoid. Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang dinamakan dengan meatus. Tergantung dari letak meatus, ada tiga meatus yaitu meatus inferior, media dan superior. Dinding inferior merupakan dasar hidung yang dibentuk oleh prosesus palatina os maksila dan prosesus horizontal os palatum (Ballenger 2004; Hilger,1997).

(2)

dari permukaan bawah bulbus olfaktorius berjalan menuju bagian teratas septum nasi dan permukaan kranial konka superior (Ballenger 2004; Hilger, 1997).

Gambar 1. Penampang Koronal Hidung ( McCormick, 2007)

Kompleks osteomeatal (KOM)

(3)

Gambar 2. Kompleks osteomeatal (See et al, 2007)

Prosesus unsinatus berbentuk bumerang memanjang dari anterosuperior ke posteroinferior sepanjang dinding lateral hidung, melekat di anterosuperior pada pinggir tulang lakrimal dan di posteroinferior pada ujung superior konka inferior. Prosesus unsinatus membentuk dinding medial dari infundibulum (Kennedy et al, 2003; Nizar, 2000; Stammberger et al, 1993).

Bula etmoid terletak di posterior prosesus unsinatus dan merupakan sel udara etmoid yang terbesar dan terletak paling anterior. Bula etmoid dapat membengkak sangat besar sehingga menekan infundibulum etmoid dan menghambat drainase sinus maksila (Kennedy et

al, 2003; Kamel, 2002; Stammberger et al, 1993).

Infundibulum etmoid berbentuk seperti terowongan dengan dinding anteromedial dibatasi oleh prosesus unsinatus, dinding posterosuperior dibatasi oleh bula etmoid, dan pada bagian posteroinferolateralnya terdapat ostium alami sinus maksila sedangkan proyeksi dari tepi terowongan yang membuka kearah kavum nasi membentuk hiatus semilunaris anterior (Nizar, 2000; Stammberger et al, 1993).

(4)

membuka sel ini akan memberi jalan menuju resesus frontal (Shankar et

al, 2001; Mangunkusumo, 2000).

Resesus frontal dapat ditemukan pada bagian anterosuperior dari meatus media dan merupakan drainase dari sinus frontal, dapat langsung ke meatus media atau melalui infundibulum etmoid menuju kavum nasi (Browning, 2007; Mangunkusumo, 2000; Stammberger et al, 1993).

Sinus paranasal adalah rongga-rongga di dalam tulang kepala yang terletak di sekitar hidung dan mempunyai hubungan dengan rongga hidung melalui ostiumnya. Ada 3 pasang sinus yang besar yaitu sinus maksila, sinus frontal dan sinus sfenoid kanan dan kiri, dan beberapa sel-sel kecil yang merupakan sinus etmoid anterior dan posterior. Sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior termasuk kelompok sinus anterior dan bermuara di meatus media, sedangkan sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid merupakan kelompok sinus posterior dan bermuara di meatus superior (Walsh et al, 2006).

Sinus Maksila

Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus adalah permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal maksila, dinding medialnya adalah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya adalah dasar orbita dan dinding inferiornya adalah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum etmoid. Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah:

1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C) dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas menyebabkan sinusitis

(5)

3. Ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerakan silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit (Walsh et al, 2006).

Identifikasi endoskopik sinus maksila adalah melalui ostium alami sinus maksila yang terdapat di bagian posterior infundibulum. Ostium sinus maksila biasanya berbentuk celah oblik dan tertutup oleh penonjolan prosesus unsinatus dan bula etmoid. Sisi anterior dan posterior dari ostium sinus maksila adalah fontanel dan terletak di sebelah inferior lamina papirasea. Sinus maksila dapat ditembus dengan relatif aman pada daerah sedikit ke atas konka inferior dan didekat fontanel posterior (Nizar, 2000).

Sinus Etmoid

Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokal infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa, bentuk sinus etmoid seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di bagian lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding medial orbita. Sel-sel ini jumlahnya bervariasi (Kamel, 2002; Stammberger et al, 1993).

Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius dan sinus etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Sel-sel sinus etmoid anterior biasanya kecil-kecil dan banyak, letaknya di depan lempeng yang menghubungkan bagian posterior konka media dengan dinding lateral (lamina basalis), sedangkan sel-sel sinus etmoid posterior biasanya lebih besar dan lebih sedikit jumlahnya dan terletak di posterior dari lamina basalis (Walsh et al, 2006).

(6)

terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuaranya ostium sinus maksila. Peradangan resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Walsh et al, 2006).

Menurut Kennedy, diseksi sel-sel etmoid anterior dan posterior harus dilakukan dengan hati-hati karena terdapat dua daerah rawan tembus. Daerah pertama adalah daerah arteri etmoid anterior dan dan daerah yang kedua adalah daerah sel etmoid posterior yang meluas ke belakang dan di atas rostrum sfenoid (sel Onodi). Kainz dan Stammberger menekankan daerah rawan tembus pada saat melakukan etmoidektomi di bagian medial. Pada daerah medial ini terdapat pertautan yang sangat tipis antara atap etmoid dan lamina kibrosa, yang merupakan tempat masuknya nervus olfaktorius yang langsung berhubungan dengan lobus frontal (Walsh et al, 2006).

Konfigurasi fosa olfaktorius ini diklasifikasikan menjadi 3 tipe oleh Keros yaitu : (Walsh et al, 2006)

1. Fosa olfaktorius datar, atap etmoid hampir vertikal dan lamina lateralis kribriformis dangkal

2. Fosa olfaktorius lebih dalam, atap etmoid lebih dalam dan lamina kribriformis lebih tinggi

3. Atap etmoid lebih tinggi dari lamina kribriformis, lamina lateralis panjang dan tipis serta fosa olfaktorius lebih dalam.

Sinus Frontal

(7)

orang dewasa hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus frontalnya tidak berkembang (Walsh et al, 2006).

Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum dinding sinus pada foto Rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Punagi, 2008; Kennedy et al, 2003; Burton, 2000; Amedee, 1993).

Sinus Sfenoid

Sinus sfenoid berbentuk seperti tonjolan yang terletak di lateral septum nasi. Jika sinus sfenoid telah dibuka dan bagian dinding anterior diangkat maka akan tampak konfigurasi khas dari bagian dalam sinus sfenoid; yang terdiri dari tonjolan sela tursika, kanalis optikus dan indentasi dari arteri karotis. Sinus sfenoid mengalirkan sekretnya ke dalam meatus superior bersama dengan etmoid posterior (Ballenger, 2004; Kamel, 2002; Nizar, 2000).

Gambar. 3. Sinus Paranasal

(Dikutip dari :

(8)

2.2 Rinosinusitis Kronik 2.2.1 Definisi

Rinosinusitis Task Force mendefinisikan rinosinusitis kronik sebagai adanya dua gejala mayor atau lebih atau satu gejala mayor disertai dua gejala minor yang berlangsung lebih dari 12 minggu. Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri pada daerah muka (pipi, dahi, hidung), hidung buntu, ingus purulen, gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala, demam, halitosis, nyeri gigi dan batuk (Busquets et al, 2006).

Menurut European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal

Polyps (2012), rinosinusitis kronik adalah suatu inflamasi hidung dan sinus

paranasal yang ditandai dengan adanya dua atau lebih gejala, salah satunya termasuk hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek ( sekret hidung anterior atau posterior ), nyeri wajah/ rasa tertekan di wajah, penurunan/ hilangnya penghidu, dan salah satu dari temuan nasoendoskopi berupa polip dan atau sekret mukopurulen dari meatus medius dan atau edema atau obstruksi mukosa di meatus medius dan atau gambaran tomografi komputer berupa penebalan mukosa di kompleks osteomeatal dan atau sinus, yang berlangsung lebih dari 12 minggu (Fokkens et al, 2012).

The European Academy of Allergylogy and Clinical Immunology (EAACI) mendefenisikan rinosinusitis kronik sebagai kongesti hidung

berlangsung selama lebih dari 12 minggu disertai satu atau salah satu dari 3 gejala : nyeri wajah / tekanan, post nasal drip, dan hiposmia (Schlosser

et al, 2009).

2.2.2 Patofisiologi Rinosinusitis Kronik

(9)

mukus dan menurunnya ventilasi sinus merupakan faktor utama berkembangnya rinosinusitis kronik (Pinheiro, 2001).

Patofisiologi rinosinusitis kronik dimulai dari blokade akibat edema hasil proses radang di area kompleks osteomeatal (Gambar 4). Blokade daerah kompleks osteomeatal menyebabkan gangguan drainase dan ventilasi sinus-sinus anterior. Sumbatan yang berlangsung terus menerus akan mengakibatkan terjadinya hipoksia dan retensi sekret serta perubahan pH sekret yang merupakan media yang baik bagi bakteri anaerob untuk berkembang biak. Bakteri juga memproduksi toksin yang akan merusak silia. Selanjutnya dapat terjadi hipertrofi mukosa yang memperberat blokade kompleks osteomeatal. Siklus ini dapat dihentikan dengan membuka blokade kompleks osteomeatal untuk memperbaiki drainase dan aerasi sinus (Kennedy et al, 1995).

Faktor predisposisi rinosinusitis kronik antara lain adanya : obstruksi mekanik seperti septum deviasi, hipertrofi konka media, hipertrofi konka inferior, benda asing di hidung, polip serta tumor di dalam rongga hidung. Faktor sistemik yang mempengaruhi seperti malnutrisi, terapi steroid jangka panjang, diabetes, kemoterapi dan defisiensi imun. Faktor lingkungan seperti polusi udara, debu, udara dingin dan kering dapat mengakibatkan perubahan pada mukosa dan kerusakan silia (Busquets et

(10)

Gambar 4. Siklus rinosinusitis (Kennedy et al,1995)

2.2.3 Etiologi Rinosinusitis Kronik

Etiologi dari Rinosinusitis dapat disebabkan oleh alergi, infeksi dan dapat disebabkan oleh kelainan struktur anatomi (variasi KOM, deviasi septum, hipertrofi konka) atau penyebab lain seperti idiopatik, faktor hidung, hormonal, obat-obatan, zat iritan, jamur, emosi, atrofi (Fokkens et

al, 2012; Higler,1997 ; Weir et al, 1997).

Beberapa bakteri patogen yang sering dihubungkan dengan etiologi rinosinusitis kronik adalah Stafilokokus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Hemofilus influenza dan Moraxella kataralis (Fokkens et al, 2012).

2.2.4 Kekerapan

Penelitian Azis et al (2006) di Arab Saudi mendapatkan 172 penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopik fungsional dari tahun 1998-2004 (Azis et al, 2006).

(11)

Munir ( 2006 ) pada penelitiannya terhadap 35 penderita rinosinusitis kronik yang menjalani operasi tahun 2002-2003 di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan kelompok umur terbanyak adalah 35-44 tahun sebanyak 34,3%, sedangkan jumlah penderita perempuan sebanyak 20 penderita ( 57% ) dan laki-laki sebanyak 15 penderita ( 43%).

Penelitian Firman (2011) di RSUP H Adam Malik Medan mendapatkan penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan bedah sinus endoskopik tahun 2009-2010 sebanyak 47 penderita, yang terdiri dari 60% perempuan dan 40% laki-laki.

Multazar (2011) pada penelitiannya terhadap 296 penderita rinosinusitis kronik tahun 2008 di RSUP H. Adam Malik , Medan mendapatkan jenis kelamin terbanyak yang menderita rinosinusitis kronik adalah perempuan sebanyak 169 penderita (57,09%) diikuti laki-laki sebanyak 127 penderita (42,91%).

2.2.5. Diagnosis Rinosinusitis Kronik

Diagnosis rinosinusitik kronik ditegakkan melalui anamnesis, rinoskopi anterior, pemeriksaan nasoendoskopi dan pemeriksaan penunjang (Fokkens et al, 2012; Busquets, 2006).

Anamnesis

Riwayat gejala yang diderita lebih dari 12 minggu, dan sesuai dengan 2 gejala mayor atau 1 gejala mayor ditambah 2 gejala minor dari kumpulan gejala dan tanda menurut Rhinosinusitis Task Force, 2006. Yang termasuk gejala mayor adalah : nyeri atau rasa tertekan pada daerah wajah, hidung tersumbat, ingus purulen, gangguan penghidu. Gejala-gejala minor antara lain: sakit kepala, demam, halitosis, nyeri gigi dan batuk (Busquets et al, 2006).

(12)

adanya kongesti dan edema di ostium sinus dan sekitarnya. Sakit kepala yang bersumber dari sinus akan meningkat jika membungkukkan badan dan jika badan tiba-tiba digerakkan. Sakit kepala ini akan menetap saat menutup mata, saat istirahat atau saat berada di kamar gelap. Hal ini berbeda dengan sakit kepala yang disebabkan oleh mata (Fokkens et al, 2012; Ballenger, 2004).

Nyeri yang sesuai dengan daerah sinus yang terkena dapat ada atau mungkin tidak. Pada peradangan aktif sinus maksila atau frontal, nyeri biasanya sesuai dengan daerah yang terkena. Pada sinus yang letaknya lebih dalam, nyeri terasa jauh di dalam kepala dan tak jelas lokasinya. Pada kenyataannya peradangan pada satu atau semua sinus sering kali menyebabkan nyeri di daerah frontal (Ballenger, 2004).

Gangguan penghidu (hiposmia) terjadi akibat sumbatan pada fisura olfaktorius di daerah konka media. Pada kasus-kasus kronis, hal ini dapat terjadi akibat degenerasi filamen terminal nervus olfaktorius, meskipun pada kebanyakan kasus, indera penghidu dapat kembali normal setelah proses infeksi hilang (Fokkens et al, 2012; Ballenger, 2004).

Rinoskopi anterior

Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat ditemukan tanda-tanda inflamasi yaitu mukosa hiperemis, edema dan sekret mukopurulen yang terdapat pada meatus media. Mungkin terlihat adanya polip menyertai rinosinusitis kronik (Pinheiro, 2001).

Pemeriksaan nasoendoskopi

(13)

Pemeriksaan foto polos sinus

Foto polos sinus paranasal tidak sensitif dan mempunyai nilai yang terbatas pada evaluasi rinosinusitis kronik. Foto polos yang biasa dilakukan adalah foto polos hidung dan sinus paranasal posisi Water’s. Pada foto ini hanya tampak jelas sinus-sinus yang besar saja, sedangkan daerah kompleks osteomeatal tidak jelas tampak. Air fluid level pada rinosinusitis kronik tidak selalu dijumpai (Busquets et al, 2006).

Pemeriksaan CT Scan

CT Scan yang biasa dilakukan adalah CT Scan sinus paranasal

potongan koronal, dimana dapat terlihat perluasaan penyakit di dalam rongga sinus dan kelainan di kompleks osteomeatal. CT Scan dari rongga sinus dapat berguna untuk melakukan evaluasi pada kasus rinosinusitis berulang, atau rinosinusitis dengan komplikasi dan pada pasien dengan rinosinusitis kronik dan dipersiapkan untuk operasi. CT Scan memiliki spesifitas dan sensitifitas yang tinggi. Sebaiknya pemeriksaan CT Scan dilakukan setelah pemberian terapi antibiotik yang adekuat, agar proses inflamasi pada mukosa dieliminasi sehingga kelainan anatomi dapat terlihat dengan jelas (Fokkens et al, 2012; Busquets et al, 2006).

2.2.6 Komplikasi Rinosinusitis Kronik

Komplikasi ini biasanya terjadi pada kasus rinosinusitis akut atau rinosinusitis kronis dengan eksaserbasi akut (Giannoni et al, 2006).

Komplikasi rinosinusitis sudah semakin jarang setelah pengobatan antibiotik. Tetapi pada masyarakat dengan tingkat sosio-ekonomi rendah yang kurang gizi dan tidak terjangkau oleh fasilitas kesehatan, komplikasi rinosinusitis lebih sering terjadi dan dapat berakibat buruk misalnya sampai menjadi buta atau bahkan kematian (Giannoni et al, 2006).

Komplikasi yang terjadi dapat berupa (Giannoni et al, 2006): 1. Kelainan orbita

(14)

orbita ini dapat berupa selulitis orbita dan abses orbita. Gejalanya dapat dilihat sebagai pembengkakan kelopak mata, atau edema merata di seluruh orbita, atau gangguan gerakan bola mata dan gangguan visus sampai jelas adanya abses yang mengeluarkan pus. Pasien harus dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi intravena dan dirujuk ke dokter spesialis THT. Bila keadaan tidak membaik dalam 48 jam atau ada tanda-tanda komplikasi ke intrakranial, perlu dilakukan tindakan bedah.

2. Kelainan intrakranial

Dapat berupa meningitis, abses subdural, abses otak, trombosis sinus kavernosus. Rongga sinus frontal, etmoid dan sfenoid hanya dipisahkan dengan fosa kranii anterior oleh dinding tulang yang tipis sehingga infeksi dapat meluas secara langsung melalui erosi pada tulang. Penyebaran infeksi dapat juga melalui sistem vena. Sinusitis maksila karena infeksi gigi sering menyebabkan abses intrakranial. Bila ada komplikasi intrakranial gejalanya dapat terlihat sebagai kesadaran yang menurun atau kejang-kejang. Pasien perlu dirawat dan diberikan antibiotik dosis tinggi secara intravena dan hal ini merupakan indikasi untuk tindakan operasi.

3. Mukokel (kista)

(15)

2.2.7 Penatalaksanaan

Terapi rinosinusitis kronik terdiri dari terapi medikamentosa dan non medikamentosa. Yang termasuk terapi medikamentosa adalah pemberian antibiotik, kortikosteroid, anti jamur, anti bakteri, anti histamin, dekongestan dan mukolitik (Ferguson et al, 2006).

Jika pada pemeriksaan ditemukan adanya faktor predisposisi seperti deviasi septum, konka bulosa, hipertrofi adenoid pada anak, polip, kista, jamur, gigi penyebab sinusitis, dianjurkan untuk melakukan penatalaksanaan yang sesuai dengan kelainan yang ditemukan (Soetjipto, 2000).

(16)

PANDUAN BAKU PENATALAKSANAAN SINUSITIS(Soetjipto et al, dan atau topikal, Mukolitik Antihistamin (pasien atopi)

Konka bulosa, Hipertrofi Adenoid (pada anak)

Polip, Kista, Jamur, Dentogenik

TIDAK TIDAK

ANAMNESIS Rinore purulen > 7 hari

(sumbatan hidung, nyeri muka, sakit kepala, gangguan penghidu, demam dll)

RINOSKOPI ANTERIOR Polip? Tumor? Komplikasi sinusitis?

YA Lakukan

penatalaksanaan yang sesuai SINUSITIS AKUT / KRONIK ?

Lama gejala > 12 minggu ? Episode serangan akut >4 x / tahun? (Konsensus Internasional Sinusitis 2004)

SINUSITIS AKUT

Rinoskopi Anterior (RA) SINUSITIS KRONIK

RA/Naso-endoskopi Ro polos / CT Scan Pungsi & irigasi sinus Sinuskopi

YA Faktor Predisposisi?

Tata laksana yang sesuai

Terapi sesuai pada

TIDAK Teruskan AB mencukupi

7-14 hari Perbaikan ?

Ro.polos/CT scan dan / Naso-endoskopi (NE)

Kelainan ?

YA Kemungkinan Sinusitis Akut

Berulang

Lakukan terapi sinusitis kronik

TIDAK

Evaluasi diagnosis kembali

1. Evaluasi komprehensif` alergi, LPR (refluks)

(17)

2.3. Bedah Sinus Endoskopi Fungsional 2.3.1 Definisi

Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) adalah teknik operasi pada sinus paranasal dengan menggunakan endoskop yang bertujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan “mucociliary clearance” dalam sinus. Prinsipnya ialah membuka dan membersihkan daerah kompleks osteomeatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi sehingga ventilasi dan drainase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami (Lund, 2007; Mangunkusumo, 2003).

2.3.2 Indikasi

Operasi bedah sinus endoskopik fungsional pada umumnya dilakukan untuk penatalaksanaan rinosinusitis kronik atau rinosinusitis akut berulang, yang seringkali disertai adanya poliposis di daerah meatus media atau adanya polip yang sudah meluas ke rongga hidung. Indikasi lain BSEF termasuk didalamnya adalah rinosinusitis dengan komplikasi, mukokel, sinusitis alergi yang berkomplikasi atau sinusitis jamur yang invasif dan neoplasia (Xu et al, 2008; Mangunkusumo, 2000; Stammberger et al, 1993).

Bedah sinus endoskopi sudah meluas indikasinya antara lain untuk mengangkat tumor hidung dan sinus paranasal, menambal kebocoran liquor serebrospinal, tumor hipofisa, dekompresi orbita, kelainan kongenital (atresia koana) dan lainnya (Lund, 2007).

(18)

2.3.3 Persiapan Pra-operasi

Persiapan kondisi pasien.

Pra-operasi kondisi pasien perlu dipersiapkan dengan sebaik-baiknya. Jika ada inflamasi atau edema, harus dihilangkan dahulu, demikian pula jika ada polip, sebaiknya diterapi dengan steroid dahulu (polipektomi medikamentosa). Kondisi pasien yang hipertensi, memakai obat-obat antikoagulansia juga harus diperhatikan (Stankiewicz, 2009; Metson 2006).

Naso-endoskopi prabedah untuk menilai anatomi dinding lateral

hidung dan variasinya.

Pada pemeriksaan ini operator dapat menilai kelainan rongga hidung, anatomi dan variasi dinding lateral misalnya meatus media sempit karena deviasi septum, konka media bulosa, polip meatus media, dan lainnya. Sehingga operator bisa memprediksi dan mengantisipasi kesulitan dan kemungkinan timbulnya komplikasi saat operasi (Stankiewicz, 2009; Kennedy, 2001).

CT Scan

Gambar CT Scan sinus paranasal diperlukan untuk mengidentifikasi penyakit dan perluasannya serta mengetahui landmark dan variasi anatomi organ sinus paranasal dan hubungannya dengan dasar otak dan orbita serta mempelajari daerah-daerah rawan tembus ke dalam orbita dan intrakranial (Lund, 2007).

Gambar CT Scan penting sebagai pemetaan yang akurat untuk panduan operator saat melakukan operasi. Berdasarkan gambar CT

scan tersebut, operator dapat mengetahui daerah-daerah rawan

(19)

2.3.4 Tahapan Operasi

Tujuan BSEF adalah membersihkan penyakit dengan panduan endoskop dan memulihkan kembali drainase dan ventilasi sinus besar yang sakit secara alami. Prinsip BSEF adalah bahwa hanya jaringan patologik yang diangkat, sedangkan jaringan sehat dipertahankan agar tetap berfungsi. Jika dibandingkan dengan bedah sinus terdahulu yang secara radikal mengangkat jaringan patologik dan jaringan normal, maka BSEF jauh lebih konservatif dan morbiditasnya dengan sendirinya menjadi lebih rendah (Lund, 2007; Soetjipto,2000).

Teknik operasi BSEF adalah secara bertahap, mulai dari yang paling ringan yaitu unsinektomi/infundibulektomi sampai frontosfenoidektomi total. Tahap operasi disesuaikan dengan luas penyakit, sehingga tiap individu berbeda jenis atau tahap operasi (Soetjipto, 2000).

Munir ( 2006 ) pada penelitiannya terhadap 35 penderita rinosinusitis kronik di RSUP H. Adam Malik, Medan mendapatkan tindakan BSEF yang terbanyak dilakukan adalah unsinektomi (77,1%) dan yang paling sedikit adalah sfenoidektomi (7,1%).

Infundibulektomi dan pembesaran ostium sinus maksila

Membuka akses ke meatus media

Pertama-tama perhatikan akses ke meatus media, jika sempit akibat deviasi septum, konka bulosa atau polip, koreksi atau angkat polip terlebih dahulu. Tidak setiap deviasi septum harus dikoreksi, kecuali diduga sebagai penyebab penyakit atau dianggap akan mengganggu prosedur endoskopik. Sekali-kali jangan melakukan koreksi septum hanya agar instrumen besar bisa masuk (Soetjipto,2000).

Membuka infundibulum

(20)

sinus maksila maka drainase dan ventilasi sinus maksila pulih kembali dan penyakit di sinus maksila akan sembuh tanpa melakukan manipulasi di dalamnya. Jika kelainan hanya di sinus maksila, tahap awal operasi ini sudah cukup (Soetjipto, 2000; Stammberger et al, 1993).

Etmoidektomi retrograd

Jika ada sinusitis etmoid, operasi dilanjutkan dengan etmoidektomi, sel-sel sinus dibersihkan termasuk daerah resesus frontal jika disertai sinusitis frontal. Caranya adalah sebagai berikut, setelah tahap awal tadi, sebaiknya mempergunakan teleskop 0°, dinding anterior bula etmoid ditembus dan diangkat sampai tampak dinding belakangnya yaitu lamina basalis yang membatasi sel-sel etmoid anterior dan posterior (Kennedy, 2001; Soetjipto, 2000; Stammberger et al, 1993).

Lamina basalis berada tepat di depan endoskop 0° dan tampak tipis keabu-abuan, lamina ditembus di bagian infero-medialnya untuk membuka sinus etmoid posterior. Selanjutnya sel-sel etmoid posterior (umumnya selnya besar-besar) di observasi dan jika ada kelainan, sel-sel dibersihkan dan atap sinus etmoid posterior yang merupakan dasar otak diidentifikasi. Selanjutnya diseksi dilanjutkan ke depan secara retrograde membersihkan sel-sel etmoid anterior sambil memperhatikan batas superior diseksi adalah tulang keras dasar otak (fosa kranii anterior), batas lateral adalah lamina papirasea dan batas medial konka media. Disini mempergunakan teleskop 0° atau 30°. Cara membersihkan sel etmoid anterior secara retrograd ini lebih aman dibandingkan cara lama yaitu dari anterior ke posterior dengan kemungkinan penetrasi intrakranial lebih besar (Stankiewicz, 2009; Soetjipto, 2000).

(21)

arteri etmoid anterior sangat penting dan dihindari trauma pada arteri ini. Arteri ini berada di atas perlekatan bula etmoid pada dasar otak. Setelah diseksi, arteri akan tampak dalam kanal di batas belakang atap resesus frontal. Saat diseksi pada etmoid posterior, harus diingat adanya sel Onodi. Jika ada sel etmoid posterior yang sangat berpneumatisasi, berbentuk piramid dengan dasarnya menghadap ke endoskop, ini adalah sel Onodi. Perhatikan apakah ada penonjolan n. optikus an atau arteri karotis interna di sisi lateralnya (Soetjipto,2000).

2.3.5 Perawatan Paska Operasi

Perawatan paska operasi sangat penting, dimana pembersihan paska operasi dilakukan untuk membersihkan sisa perdarahan, sekret, endapan fibrin, krusta, dan devitalisasi tulang yang bila tidak dilakukan dapat menimbulkan infeksi, jaringan fibrotik, sinekia, dan osteitis. Perawatan operasi sebaiknya dilaksanakan oleh operator karena operator yang mengetahui lokasi dan luas jaringan yang diangkat. Manipulasi agresif dihindari untuk mencegah terjadinya penyakit iatrogenik (Stankiewicz,2009; Slack et al, 1998).

Beberapa penulis menyebutkan prosedur pembersihan pasca operasi dilakukan seawal mungkin, tampon hidung dibuka 3 hari setelah operasi. Setelah itu hidung dibersihkan dengan larutan salin (Kennedy, 2003).

Terapi medikamentosa paska operasi berupa antibiotik dapat diberikan 1 minggu atau lebih. Pemberian steroid topikal sangat berguna, diberikan 4-5 kali sehari (Kennedy, 2003; Stammberger et al, 1993).

2.3.6 Komplikasi

(22)
(23)

2.4 KERANGKA KONSEP

: Variabel penelitian - Patensi ostium

-Jumlah silia yang berfungsi -Kualitas sekret

Etiologi : Infeksi Alergi Obat-obatan Zat iritan Jamur

Gejala Nasoendoskop CT Scan

BSEF

Umur

Jenis Kelamin Pekerjaan

Rinosinusitis Kronik Obstruksi Kompleks Osteomeatal

Faktor predisposisi : Deviasi septum

Gambar

Gambar 1. Penampang Koronal Hidung ( McCormick, 2007)
Gambar 2. Kompleks osteomeatal (See et al, 2007)
Gambar. 3. Sinus Paranasal
Gambar 4. Siklus rinosinusitis (Kennedy et al,1995)

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini agar dapat membantu para pengelola bisnis penjualan buku dalam pemrosesan data-data penjualan dapat lebih cepat dan akurat serta memudahkan para pembaca dalam

Talago Indah Kuriak Kusuik BD 280 9.600 INFORMASI STOK BENIH PADI.. (Minggu ke III Bulan Maret

Dalam penulisan ilmiah ini penulis akan menjelaskan cara pembuatan aplikasi Penjualan handphone secara tunai pada STS Cellular menggunakan Microsoft Visual Basic 6.0.

Aplikasi ini akan digunakan sebagai alat bantu pengolahan data yang tepat dan akurat yang mampu memperkecil kesalahan serta mempercepat proses pencatatan dan

Talago Indah Kuriak Kusuik BD 280 9.600 INFORMASI STOK BENIH PADI.. (Minggu ke II Bulan Maret

Website ini dibangun dengan menggunakan perangkat lunak Macromedia Flash MX yang digunakan untuk pembuatan animasi didalam halaman web, sehingga halaman web menjadi lebih

Program dan Jenis Kegiatan Hasil yang diharapkan Waktu Pelaksana an Pelaksa na Sumbe r Dana penyelenggaraan Prakerin 2.3 Pencarian obyek. 2.4   Rapat   pembentukan

Pengembangan Bidang Kajian Pusat Studi Olahraga untuk Penelitian dan Pengabdian M asa