• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Karakteristik Penderita, Prosedur dan Temuan Operasi pada Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di RSUP H. Adam Malik, Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Gambaran Karakteristik Penderita, Prosedur dan Temuan Operasi pada Penderita Rinosinusitis Kronis yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di RSUP H. Adam Malik, Medan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Rinosinusitis Kronis

2.1.1. Definisi

Berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012 (EPOS 2012), RSK didefinisikan sebagai inflamasi pada hidung dan sinus paranasalis selama lebih dari 12

minggu dengan karakteristik yaitu: a) memiliki 2 gejala atau lebih

yang terdiri dari: hidung tersumbat atau hidung berair (sekret di

anterior maupun berupa post nasal drip), nyeri pada wajah dan gangguan penciuman; b) memiliki salah satu tanda seperti

gambaran endoskopik yang menunjukkan adanya polip, sekret

mukopurulen dari meatus media, edema mukosa maupun obstruksi

pada meatus media atau gambaran tomografi komputer yang

menunjukkan perubahan mukosa pada area kompleks ostiomeatal

maupun pada sinus paranasalis (Fokkens, Lund and Mullol, 2012).

2.1.2. Epidemiologi

Prevalensi rinosinusitis di Indonesia juga cukup tinggi, terbukti

data dari Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2003

menyebutkan bahwa penyakit tersebut berada pada urutan ke-25

dari 50 pola penyakit peringkat utama atau sekitar 102.817

penderita rawat jalan di rumah sakit. Data dari Divisi Rinologi

Departemen THT Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM)

Januari-Agustus 2005 menyebutkan jumlah pasien rinologi pada

kurun waktu tersebut adalah 435 pasien dan 69%-nya adalah

sinusitis (Soetjipto, 2006; Dewi, 2013).

Multazar (2011) dalam penelitiannya mengenai penderita

rinosinusitis kronik di poliklinik THT RSUP H. Adam Malik Medan

(2)

296 penderita RSK dengan tindakan operasi terbanyak adalah

BSEF yaitu sebanyak 54 penderita (80,6%), diikuti dengan tindakan

antrostomi (11,94%), CWL (5,97%) dan trepanasi sinus frontalis sebesar 1,49%.

Penelitian Siddik (2011) di poliklinik THT-KL RSUP. H. Adam

Malik Medan tahun 2009-2010 tentang penderita sinusitis

maksilaris kronik mendapati kelompok umur terbanyak adalah pada

usia 15-24 tahun (34%) dengan gejala terbanyak hidung tersumbat

(43%) dan jenis operasi yang paling sering dilakukan adalah BSEF

(70%).

Dewi (2013) dalam penelitiannya mengenai penderita

rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan BSEF di RSUP H.

Adam Malik Medan tahun 2008-2011 menjumpai 111 penderita

yang terdiri dari 59 penderita rinosinusitis kronik tanpa polip dan 52

penderita rinosinusitis kronik dengan polip.

b. Faktor sistemik, seperti yang disebabkan oleh kelainan

genetik/ kongenital dan defisiensi imun.

c. Faktor lingkungan, seperti polusi udara, merokok, infeksi

virus, jamur dan bakteri.

Fungsi normal sinus paranasalis bergantung pada: sekresi

mukus dimana viskositas, volume, dan komposisinya harus dalam

keadaan normal; aliran mukosilier yang baik untuk mencegah stasis

mukus dan infeksi; dan ostium sinus yang terbuka untuk aliran dan

aerasi yang adekuat. Defek pada salah satu sistem tersebut dapat

menyebabkan sinusitis akut, akut rekuren maupun sinusitis kronik

(3)

Kompleks ostiomeatal merupakan area yang penting untuk

sistem aliran sinus frontalis, etmoidalis dan sinus maksilaris.

Patensi area ini harus terjaga dengan baik supaya mukus dan

debris tersingkir, oksigenasi cukup dan pertumbuhan bakteri tidak

terjadi (Jackman and Kennedy, 2006).

Gambar 2.1. Siklus patologi RSK (Jackman and Kennedy, 2006).

Gangguan pada sinus paranasalis akan menyebabkan

perubahan fisiologis sinus paranasalis. Hal ini dapat

mengakibatkan pertumbuhan mikroba sehingga mencetuskan

proses inflamasi (Gambar 2.1). Patogenesis RSK yang spesifik

masih belum diketahui (Jackman and Kennedy, 2006).

2.1.4. Manifestasi klinis dan diagnosis

Berdasarkan gambaran klinis, diagnosis RSK dapat ditegakkan

apabila dijumpai 2 gejala mayor selama 8-12 minggu atau lebih.

Gejala mayor tersebut terdiri dari: rasa penuh-tertekan-nyeri di

wajah, hidung tersumbat, sekret purulen baik dari anterior maupun

posterior, hiposmia/ anosmia; dan dapat disertai dengan gejala

minor seperti: sakit kepala, halitosis, kelelahan, nyeri pada gigi,

batuk dan nyeri pada telinga (Desrosiers, et al., 2011; Deepthi, Menon and Madhumita, 2012).

(4)

Pada pemeriksaan klinis terhadap penderita RSK dapat

dijumpai sekret purulen pada rongga hidung baik melalui

pemeriksaan rinoskopi anterior maupun endoskopi; edema atau

eritema pada meatus media atau bula etmoidalis melalui

pemeriksaan endoskopi; atau polip hidung (Deepthi, Menon and

Madhumita, 2012; Fokkens, Lund and Mullol, 2012).

Selain itu, pemeriksaan penunjang yang dapat mendukung

diagnosis adalah foto sinus paranasalis baik dengan posisi

Caldwell maupun Water. Pemeriksaan ini dapat menunjukkan

penebalan membran mukosa > 5 mm; perselubungan pada salah

satu atau beberapa sinus; atau air-fluid level. Tomografi komputer juga dapat menunjukkan penebalan mukosa yang difus atau

perubahan pada tulang maupun adanya air-fluid level (Deepthi, Menon and Madhumita, 2012).

Pemeriksaan penting lainnya yang dilakukan untuk

mengevaluasi penyakit sinonasal berdasarkan kualitas hidup

penderita terdiri dari pemeriksaan seperti: 20 Item Sinonasal Outcome Test (SNOT-20), Chronic Sinusitis Survey (CSS), Rhinosinusitis Symptom Inventory (RSI) dan Visual Analogue Score (VAS) (Deepthi, Menon and Madhumita, 2012).

2.1.4.1. Sinonasal Outcomes Test (SNOT)-20

Sinonasal Outcome Test (SNOT)-20 merupakan salah satu instrumen yang digunakan untuk berbagai penyakit sinonasal

tetapi lebih cenderung pada populasi rinosinusitis. SNOT-20

terdiri dari 20 pertanyaan pilihan yang dapat dijawab oleh

penderita sendiri (Tabel 2.1). Pertanyaan-pertanyaan pada

SNOT-20 dapat diberi skor dengan skor ringkasan 0-5.

Instrumen ini mengukur berbagai gejala rinosinusitis yang

berhubungan dengan kesehatan penderita secara umum,

kesehatan penderita yang berhubungan dengan kualitas

hidupnya yaitu termasuk masalah fisik, aktivitas yang terbatas

(5)

Keluhan 14 Lelah saat bangun tidur 15 Badan terasa lelah 16 Tidak bisa bekerja

17 Tidak bisa memusatkan perhatian 18 Perasaan putus asa

19 Perasaan sedih,susah 20 Perasaan malu,rendah diri

Tabel 2.1. Sinonasal Outcome Test (SNOT) -20 (Harowi, Soekardono dan Christanto, 2011)

Browne, et al. (2007) dalam penelitiannya mengenai SNOT-20 membagi pertanyaan-pertanyaan dalam SNOT-SNOT-20 dalam 4

kategori yaitu: masalah hidung, masalah telinga dan wajah

serta masalah tidur dan psikologi. Kategori masalah hidung

terdiri dari pertanyaan: usaha mengeluarkan ingus,

bersin-bersin, ingus encer di hidung, lendir di tenggorokan, ingus

kental di hidung. Masalah telinga dan wajah terdiri dari telinga tersumbat, pusing, “nggliyer”, nyeri daerah telinga, nyeri daerah wajah. Masalah tidur terdiri dari susah tidur, terbangun malam

hari dan tidur tidak nyenyak. Masalah psikologi terdiri dari

badan terasa lelah, tidak bisa bekerja, tidak bisa memusatkan

perhatian, perasaan putus asa, perasaan sedih, susah,

perasaan malu dan rendah diri. Batuk-batuk dan lelah saat

(6)

Beberapa sentra THT menggunakan skala di bawah ini

untuk mengevaluasi skor SNOT-20 sebagai acuan tingkat

keparahan penyakit, namun bukan untuk menentukan

penatalaksanaannya (Leeman and Nason 2014):

a. 0-10 : tidak bermasalah atau ringan

b. 11-40 : sedang

c. 41-69 : sedang-berat

d. 70-100 : berat

2.1.5. Penatalaksanaan RSK

Penangananan RSK bertujuan untuk mengurangi inflamasi

mukosa, mengatasi infeksi, dan mengembalikan fungsi normal

mukosilier klirens di dalam sinus (Suh and Kennedy 2011).

Apabila diagnosis sudah ditegakkan, penanganan dimulai

dengan pemberian medikamentosa (Gambar 2.2 dan 2.3) yaitu

pemberian kortikosteroid oral maupun topikal dan antibiotik oral

(Desrosiers, et al. 2011).

Antibiotik merupakan salah satu pengobatan yang sering

diberikan untuk RSK. Secara umum, antibiotik lini pertama untuk

RSK eksaserbasi akut adalah amoksisilin-klavulanat dan

sefalosporin generasi ke-II dan ke-III (Gambar 2.4). Kuinolon dapat

diberikan sebagai antibiotik lini ke-2 khususnya bagi kasus-kasus

RSK yang sukar disembuhkan (Cain and Lal, 2013).

Steroid oral telah banyak digunakan pada penderita RSK

dengan polip oleh karena efeknya yang dapat mengurangi ukuran

polip dan gejala. Sebaliknya, penelitian-penelitian pemakaian

steroid oral terhadap RSK tanpa polip masih terbatas. Berbeda

dengan obat sistemik, steroid topikal bermanfaat baik untuk RSK

dengan polip maupun tanpa polip. Steroid topikal intranasal

digunakan untuk memperoleh efek antiinflamasi secara lokal dan

(7)
(8)
(9)

Gambar 2.4. Efektifitas antibiotik pada RSK (Cain and Lal, 2013)

Penanganan medikamentosa maksimal untuk RSK belum ada

standar, tetapi biasanya merupakan pengobatan dengan antibiotik

oral spektrum luas selama 4-6 minggu yang disertai dengan

pemberian obat tambahan seperti dekongestan dan mukolitik.

Namun untuk penderita RSK yang disertai polip, pengobatan

medikamentosa jarang sekali memberikan hasil yang memuaskan

sehingga seringkali menjadi indikasi pembedahan (Lewis and

Busaba, 2006). Pembedahan sinus pada umumnya dilakukan untuk

pasien yang masih mengalami gejala meskipun sudah diberikan

penanganan terapi medikamentosa secara maksimal (Simmen and

Jones, 2005; Suh and Kennedy, 2011).

2.2. Bedah Sinus Endoskopik Fungsional

2.2.1. Sejarah

Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF) atau Functional Endoscopic Sinus Surgery (FESS) pertama kali diperkenalkan oleh Messerklinger pada tahun 1978 di Eropa. Teknik ini ditemukan

berdasarkan observasi endoskopik terhadap anatomi, patologi

daerah meatus media dan klirens mukosiliar pada mukosa sinus

yang normal dan yang mengalami inflamasi. Pada tahun 1980,

Stammberger mempublikasikan beberapa tulisan mengenai BSEF. Lebih efektif

(10)

Selanjutnya BSEF diperkenalkan oleh David Kennedy di Amerika

Serikat pada tahun 1985 (Aziz, Hassan and Shama, 2006; Deepthi,

Menon and Madhumita, 2012). Kennedy menunjukkan melalui

tindakan BSEF, lebih dari 98% penderita RSK menunjukkan

perbaikan. Hasil dari tindakan BSEF ini dinyatakan dapat bertahan

sampai dengan sekitar 8 tahun setelah operasi (Reddy, 2013).

Bedah sinus endoskopik fungsional pada penderita RSK telah

terbukti mengurangi gejala, meningkatkan kualitas hidup dan

memperbaiki gambaran endoskopik intranasal. Bedah sinus

endoskopik fungsional merupakan pilihan penatalaksanaan terhadap

RSK yang tidak respon terhadap pengobatan medikamentosa (Al

Badaai and Samaha, 2010).

Selama 20 tahun terakhir, seiring perkembangan berbagai

instrumen bedah dan diagnostik, BSEF sebagai suatu prosedur yang

bersifat minimal invasif, tidak hanya menjadi pilihan dalam

penanganan RSK tetapi juga dalam penanganan berbagai penyakit

di orbita dan tengkorak (Aziz, Hassan and Shama, 2006).

2.2.2. Definisi

Bedah sinus endoskopik fungsional merupakan suatu teknik

operasi invasif minimal yang memerlukan 3 hal, yaitu: 1)

nasoendoskopi, 2) tomografi komputer sinus paranasalis dan 3)

pemahaman mengenai kompleks ostiomeatal. Teleskop dengan optik

resolusi tinggi memungkinkan para ahli bedah Telinga, Hidung

Tenggorok (THT) melihat bagian dalam hidung dengan visualisasi

yang baik, dengan mengandalkan tomografi komputer sebagai

panduan untuk menilai anatomi dan mengidentifikasi daerah yang

mengalami obstruksi (Metson and Mardon, 2005).

Prinsip dasar dari tindakan BSEF ini adalah: a) pengenalan yang

akurat secara endoskopik terhadap lokasi yang mengalami inflamasi

persisten dan mengalami obstruksi, b) membuang jaringan mukosa

yang patologis untuk memperbaiki ventilasi pada penderita yang

(11)

jaringan tulang yang sakit dengan tetap mempertahankan mukosa

normal seoptimal mungkin dan melebarkan ostium alami sehingga

aliran klirens mukosiliar kembali normal (Lee and Kennedy, 2006).

2.2.3. Anatomi endoskopi hidung dan sinus paranasalis

Anatomi hidung dan sinus paranasalis berdasarkan pemeriksaan

endoskopi meliputi: dinding lateral hidung, kompleks ostiomeatal dan

bagian dasar tengkorak anterior (Kamel, 2002).

2.2.3.1. Dinding lateral hidung

Dinding lateral hidung (Gambar 2.5) memiliki 3 konka, yaitu

konka inferior, media dan superior. Tiap-tiap konka memiliki

meatus (inferior, media dan superior) yang terletak di bawah

struktur konka-konka tersebut. Resesus sfeno-etmoidalis

terletak di atas, tepat di bagian postero-medial dari konka

superior (Kamel, 2002).

Gambar 2.5. Dinding lateral hidung (Hansen and Lambert, 2005)

2.2.3.2. Sinus paranasalis

Sinus frontalis, maksilaris dan etmoidalis anterior

merupakan kelompok sinus paranasalis bagian anterior. Ketiga

sinus ini bermuara pada meatus media. Sedangkan sel-sel

etmoidalis posterior dan sinus sfenoidalis merupakan kelompok

(12)

bermuara ke meatus superior dan sinus sfenoidalis bermuara ke

resesus sfeno-etmoidalis (Kamel, 2002).

a. Sinus maksilaris

Sinus maksilaris merupakan sinus yang paling besar di

antara sinus paranasalis. Bagian anterior berbatasan dengan

permukaan dinding maksila. Bagian posterior berbatasan

dengan fosa pterigopalatina. Bagian dasar sinus berbatasan

dengan prosesus alveolaris dan bagian superior berbatasan

dengan dasar orbita. Ostium sinus maksilaris bermuara ke

infundibulum etmoidalis (Leung, Walsh and Kern, 2012). Ostium

sinus maksilaris biasanya terletak pada bagian posterior dan

inferior dari sudut yang dibentuk oleh bula etmoidalis dan

prosesus unsinatus. Area fontanela pada dinding medial sinus

maksilaris dipisahkan oleh prosesus unsinatus menjadi

fontanela anterior dan posterior. Ostium sinus maksilaris alami

dapat ditemukan di fontanela bagian posterior (Kamel, 2002).

b. Sinus etmoidalis

Salah satu struktur yang penting dalam tindakan BSEF

meliputi sinus etmoidalis dan struktur-struktur etmoidalis lainnya. Sinus etmoidalis dikenal dengan sebutan „labirin‟ karena strukturnya yang kompleks dan variasinya pada tiap-tiap

individu. Beberapa ahli membagi sinus etmoidalis ini dalam

beberapa lamela berdasarkan prekursor embriologisnya.

Lamela pertama adalah prosesus unsinatus. Lamela kedua

adalah bula etmoidalis, lamela ketiga adalah lamela basalis dari

konka media dan lamela keempat adalah lamela pada konka

superior, dan terakhir adalah lamela kelima, yaitu konka

suprema. Lamela basalis pada konka media membagi sinus

etmoidalis menjadi etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior

(Bolger, 2001; Leung, Walsh and Kern, 2012).

Apabila pneumatisasi terproyeksi ke bagian anterior dari

(13)

pneumatisasi itu disebut dengan sel ager nasi (Leung, Walsh

and Kern, 2012). Prosesus unsinatus, sel ager nasi, bula

etmoidalis dan lamela basalis dapat dilihat melalui endoskopi

dengan menggeser konka media ke medial (Kamel, 2002).

Hiatus semilunaris merupakan suatu celah berbentuk bulan

sabit yang berada diantara prosesus unsinatus bagian posterior

dan dinding anterior bula etmoidalis (Bolger, 2001).

Prosesus unsinatus berbatasan dengan prosesus etmoidalis

konka inferior di bagian inferior sampai ke posterior. Di bagian

anterior dan superior berbatasan dengan lamina papirasea,

dasar tengkorak atau konka media, sedangkan di lateral

berbatasan dengan lamina papirasea dan area fontanela

(Kamel, 2002).

Bula etmoidalis merupakan bagian anterior dan merupakan

sel yang paling besar dari sel-sel etmoidalis. Bula etmoidalis ini

melekat pada lamina papirasea di bagian lateral. Di bagian

posterior berbatasan dengan sinus lateralis (Kamel, 2002;

Leung, Walsh and Kern, 2012).

Infundibulum etmoidalis merupakan suatu ruang 3 dimensi

di daerah etmoidalis anterior yang dibatasi oleh prosesus

unsinatus di medial. Bagian lateral dibatasi oleh lamina

papirasea dan bagian anterior dan superior dibatasi oleh

prosesus frontalis dari osteo maksilaris dan lakrimalis (Bolger,

2001).

Sinus lateralis dibagi atas resesus suprabularis dan

retrobularis. Resesus suprabularis merupakan suatu ruang yang

dibatasi oleh bula etmoidalis (di bagian inferior) dan fovea

etmoidalis (di bagian superior). Sebaliknya, resesus retrobularis

dibatasi oleh bula etmoidalis (di bagian anterior) dan lamela

(14)

c. Sinus frontalis

Ukuran sinus frontalis bervariasi tergantung pneumatisasi

yang terjadi dan terkadang pada beberapa orang sinus frontalis

tidak dijumpai. Sinus ini biasanya dibagi oleh septum intersinus.

Drainase sinus frontalis biasanya sangat kompleks dengan alur

membentuk jam gelas, dimana bagian superior berhubungan

dengan sinus frontalis dan bagian inferior menuju resesus

fontalis (Leung, Walsh and Kern, 2012). Resesus frontalis

dibatasi oleh prosesus unsinatus dan sel ager nasi di bagian

anterior, lamina papirasea di bagian lateral, hiatus semilunaris di

bagian medial, infundibulum etmoidalis di bagian inferior dan

fovea etmoidalis, sel-sel udara supraorbita, arteri etmoidalis

anterior dan ostium frontalis di bagian superior (Kamel, 2002).

d. Sinus sfenoidalis

Ostium sinus sfenoidalis bermuara ke resesus

sfeno-etmoidalis. Sinus sfenoidalis berbatasan dengan fosa kranialis

anterior di bagian superior; resesus sfeno-etmoidalis, konka

superior dan etmoidalis posterior di bagian anterior; nasofaring

di bagian inferior; sella turcica, fosa kranialis posterior dan basis sfenoidalis di bagian posterior; serta fosa kranialis media dan

sinus kavernosus di bagian lateral (Kamel, 2002).

2.2.3.3. Kompleks ostiomeatal

Kompleks ostiomeatal (Gambar 2.6) merupakan suatu area

yang dibatasi oleh konka media di medial, lamina papirasea di

lateral, lamela basalis di posterior dan atap etmoid di superior.

Stuktur-struktur yang terdapat pada area ini adalah meatus

media, yaitu: prosesus unsinatus, infundibulum etmoidalis,

sel-sel etmoidalis anterior, ostium etmoidalis anterior, sinus

maksilaris dan frontalis (Bolger, 2001; Leung, Walsh and Kern,

2012). Unit kompleks ostiomeatal ini dibagi atas 2 yaitu anterior

dan posterior. Kompleks ostiomeatal anterior terdiri dari ostium

(15)

resesus frontalis, infundibulum etmoidalis dan meatus media.

Sedangkan kompleks ostiometal posterior terdiri dari resesus

sfeno-etmoidalis dan meatus superior (Dua, et al., 2005). Sedikit saja obstruksi terjadi pada area ini akan menyebabkan penyakit

yang bermakna pada sinus frontalis dan maksilaris (Bolger,

2001).

Gambar 2.6. Kompleks ostiomeatal (Kennedy, 2001)

2.2.4. Indikasi

Bedah sinus endoskopik fungsional merupakan pilihan pertama

dalam penatalaksanaan bedah terhadap penderita RSK (Kennedy,

2001; Lee and Kennedy, 2006). Selain pada penderita RSK, BSEF

juga dapat dilakukan untuk mengatasi penyakit-penyakit orbita dan

dasar tengkorak (Tabel 2.2 ).

2.2.5. Kontraindikasi

Hampir tidak dijumpai kontraindikasi absolut untuk tindakan ini.

Kontraindikasi relatif dapat berupa: tidak dijumpai kelainan pada

kompleks ostiomeatal, penyakit pada sinus frontalis lateral,

osteomielitis yang melibatkan sinus, komplikasi intrakranial yang

disebabkan oleh sinusitis frontalis maupun keganasan. Tindakan

(16)

karena beresiko tinggi terbentuk jaringan parut, granulasi dan

terjadi rekurensi (Lee and Kennedy, 2006).

Indikasi Bedah Sinus Endoskopik 1. Bedah Hidung

Sinusitis kronis yang sukar disembuhkan dengan pengobatan medikamentosa

Tabel 2.2. Indikasi BSEF (Skinner, 2014)

2.2.6. Instrumen

Bedah sinus endoskopik fungsional membutuhkan peralatan

yang dapat memperlihatkan lapangan pandang yang baik dan

dapat membuang jaringan yang tepat. Tindakan ini sebaiknya

dapat mempertahankan jaringan yang normal sebanyak mungkin.

Peralatan ini termasuk teleskop 0 dan 30 derajat 4 mm (Gambar

2.7) dan instrumen untuk memotong (Gambar 2.8). Terkadang diperlukan pula teleskop 45 derajat. Kamera, monitor dan sumber

cahaya juga dipakai. Peralatan ini sangat membantu terutama

dalam proses pembelajaran dan dokumentasi (Lee and Kennedy,

2006).

2.2.7. Evaluasi pasien pre-operatif

Pasien yang hendak dilakukan tindakan BSEF sebaiknya

dievaluasi dengan baik. Penangananan medikamentosa maksimal

pada penderita rinosinusitis akut dan kronis harus sudah dilakukan

terlebih dahulu. Tujuan utama terapi tersebut adalah untuk

(17)

sehingga mengurangi pula obstruksi ostium dan mengembalikan

klirens mukosilier (Lee and Kennedy, 2006).

Gambar 2.7. Beberapa jenis teleskop (Stammberger, 2004)

(18)

Pemeriksaan endoskopik juga penting dalam evaluasi

pasien-pasien yang akan dilakukan tindakan ini. Secara sistematis

pemeriksaan endoskopik harus dilakukan berdasarkan 3 langkah

berikut ini (Gambar 2.9):

1. Pemeriksaan jalur inferior, yaitu melewati dasar hidung,

meatus inferior, konka inferior sampai ke nasofaring.

2. Pemeriksaan jalur tengah, yaitu konka media dan meatus

media.

3. Pemeriksaan jalur superior, yaitu konka superior, resesus

sfeno-etmoidalis rongga hidung (Soetjipto et al., 2004).

Gambar 2.9. Gambaran skematis pemeriksaan endoskopik (Stammberger, 2004)

2.2.8. Evaluasi tomografi komputer pre-operatif

Gambaran tomografi komputer pada bidang koronal menjadi

pilihan untuk menunjukkan kompleks ostiomeatal secara lebih rinci.

Protokol tomografi komputer sinus paranasalis menganjurkan

potongan dengan ketebalan < 3 mm (idealnya 1 mm).

Melalui pemeriksaan tomografi komputer potongan koronal

dapat dinilai: deviasi septum, keadaan kompleks ostiomeatal, tipe

(19)

papirasea, anatomi dasar tengkorak atau panjang lamela lateralis,

anatomi arteri etmoidalis anterior, anatomi sinus sfenoidalis

maupun adanya sel sfeno-etmoidalis (Onodi) serta identifikasi

nervus optikus dan dehisensi arteri karotis (Rudmik and Smith,

2014).

Berbagai sistem evaluasi temuan tomografi komputer sinus

paranasalis telah banyak ditemukan, namun tidak semua dapat

digunakan dalam praktek klinis sehari-hari. The American Academy of Otolaryngology telah merekomendasikan sistem Lund Mackay untuk menentukan stadium RSK. Sistem Lund Mackay

menggunakan sistem skoring numerik untuk masing-asing sinus

yaitu: 0 = tidak dijumpai kelainan; 1 = perselubungan parsial; 2 =

perselubungan total. Sinus-sinus yang dimaksud adalah sinus

maksilaris, sinus etmoidalis anterior dan posterior, sinus frontalis

dan sinus sfenoidalis. Untuk kondisi kompleks ostiomeatal cukup

diberi skoring 0 (bila tidak ada obstruksi) dan 2 (bila obstruksi).

Skor total yang diperoleh secara keseluruhan adalah 0-24 (Lund

and Kennedy 1997; Moghaddasi et al., 2009).

Selain Lund Mackay, Glicklich and Metson (1994) dalam

penelitiannya mengenai perbandingan stadium rinosinusitis

berdasarkan temuan tomografi komputer sinus paranasalis,

menyebutkan bahwa sistem Harvard juga memiliki keunggulan

dalam kesepakatan interpretasi terutama bagi non-radiologis.

Sistem Harvard terdiri dari:

Stadium 0 : normal (< 2 mm penebalan mukosa pada dinding

sinus)

Stadium I : semua penyakit atau kelainan anatomis unilateral

Stadium II : penyakit bilateral terbatas pada sinus etmoidalis

atau maksilaris

Stadium III : penyakit bilateral dengan keterlibatan > 1 sinus

sfenoidalis atau frontalis

(20)

Variasi anatomi biasanya ditemukan pada evaluasi

pemeriksaan tomografi komputer sinus paranasalis. Beberapa

variasi anatomi berpotensi menyebabkan gangguan ventilasi dan

klirens mukosilier sinus paranasalis sehingga menjadi faktor

predisposisi terjadinya sinusitis (Bolger, 2001).

Beberapa variasi anatomi yang sering menjadi faktor

predisposisi terjadinya sinusitis akut dan rekuren atau bahkan

menyebabkan gangguan pernafasan hidung adalah (Stammberger,

2004):

1. Septum deviasi

Adanya titik temu septum dengan dinding lateral hidung

menyebabkan penyempitan pada area meatus hidung, dapat

menimbulkan rasa nyeri.

2. Sel ager nasi

Tergantung derajat pneumatisasi, penyempitan pada

resesus frontalis dan apakah menyebabkan gangguan pada

sistem lakrimalis.

3. Prosesus unsinatus

Prosesus unsinatus yang bengkok ke lateral, bersinggungan

dengan lamina papirasea dapat menyebabkan atelektasis

pada infundibulum. Prosesus unsinatus yang bengkok ke

medial dapat menimbulkan kesan konka media ganda.

Selain itu prosesus unsinatus juga dapat mengalami

pneumatisasi.

4. Konka media

Dapat terjadi pneumatisasi (konka bulosa), bengkok secara

paradoksal, bersinggungan dengan prosesus unsinatus

ataupun septum.

5. Bula etmoidalis

Ukuran yang sangat besar dapat disebabkan oleh adanya

pneumatisasi sehingga dapat terkesan mengisi hampir

(21)

menutupi hiatus semilunaris, mempersempit area resesus

frontalis, menekan konka media ke septum bahkan dapat

muncul sampai keluar area meatus media.

6. Sel Haller

Dapat menyebabkan penyempitan pada infundibulum

etmoidalis maupun ostium sinus maksilaris.

2.2.9. Teknik operasi

Tindakan BSEF dapat dilakukan dengan sedasi intravena dan

umum merupakan pilihan yang paling sering dilakukan (Patel,

2012).

Prosedur BSEF dimulai dengan dekongesti hidung agar terjadi

vasokonstriksi yang baik pada mukosa hidung. Untuk tindakan

BSEF dengan anestesi lokal biasanya dilakukan dengan kapas

yang sudah dibasahi dengan Pantocain 2% 1:4-5 dan adrenalin

(1:1000). Kapas ini dimasukkan ke dalam meatus media dan di

sepanjang mukosa yang patologis dengan bantuan endoskopi.

Untuk penderita dengan anestesi umum, kapas cukup diberikan

adrenalin (1:1000). Kapas ini dibiarkan selama 10 menit dan

kemudian diangkat. Anestesi lokal tambahan dapat diberikan, yaitu

dengan infiltrasi mukosa prosesus unsinatus dengan 1% Lidokain

(Xylocain) dan Epinefrin 1:200.000 sebanyak 1-1.5 ml

(Stammberger, 2004).

Posisi standar pada saat operasi adalah operator berada di sisi

kanan pasien dan asisten perawat di sisi seberangnya (Gambar

2.10). Monitor diletakkan di sisi kepala pasien, ahli anestesi dapat

mengambil posisi di sisi kiri dekat asisten perawat atau di sisi

kanan di belakang operator (Stammberger, 2004).

2.2.9.1. Unsinektomi

Bedah sinus endoskopik fungsional dimulai dengan tindakan

unsinektomi. Unsinektomi ini dimulai dengan medialisasi konka

(22)

menggunakan ujung yang tajam dari freer tersebut atau bisa juga dengan menggunakan sickle knife. Forsep Blakesley digunakan untuk mengambil dan mengangkat pinggir unsinatus

yang terlepas. Forsep backbiting juga dapat digunakan untuk membuang prosesus unsinatus (Patel, 2012).

Gambar 2.10. Skema pengaturan di ruang operasi pada tindakan BSEF (Stammberger, 2004).

2.2.9.2. Antrostomi meatus media

Setelah unsinektomi dilakukan maka ostium sinus maksilaris

alami dapat diidentifikasi. Ostium ini biasanya terletak pada

pinggir inferior konka media yaitu sepertiga dari belakang.

Instrumen cutting digunakan untuk memperbesar ostium ini. Biasanya diameter + 1 cm sudah cukup untuk menghasilkan

aliran yang adekuat dan memudahkan evaluasi setelah operasi.

Pada saat tindakan ini dilakukan sebaiknya berhati-hati jangan

sampai mengenai lamina papirasea. Mata pasien dapat

dipalpasi pada saat identifikasi ostium sinus maksila alami untuk

memastikan lamina papirasea tidak mengalami dehisensi

ataupun untuk mengkonfirmasi lokasi lamina tersebut (Patel,

(23)

2.2.9.3. Etmoidektomi anterior

Tindakan selanjutnya adalah mengidentifikasi bula

etmoidalis dan membukanya. Tindakan ini dilakukan dengan

menggunakan kuret bentuk-J dengan cara membuka bula

tersebut ke bagian dalam dan medial. Bila sel sudah terbuka

bagian tulang dapat diangkat dengan menggunakan

microdebrider atau forsep cutting. Pada daerah ini, sebaiknya tetap berhati-hati, jangan sampai mengenai bagian lateral yaitu

lamina papirasea. Sel-sel etmoid anterior dibersihkan sampai ke

dasar tengkorak dengan tetap berhati-hati saat mencapai atap

etmoidalis. Etmoidektomi anterior dilakukan sampai mencapai

lamela basal dari konka media (Patel, 2012).

2.2.9.4. Etmoidektomi posterior

Etmoidektomi posterior dimulai dengan memasuki lamela

basal ke arah superior dan lateral yaitu pada pertemuan

segmen vertikal dan horizontal dari konka media. Bagian lateral

dan superior ini dapat dibersihkan dengan menggunakan

microdebrider. Operator harus mengetahui bahwa dasar tengkorak biasanya berbentuk landai ke arah inferior kira-kira

30º dari anterior ke posterior, oleh karena itu harus diingat

bahwa posisi dasar tengkorak letaknya lebih rendah di bagian

posterior dibandingkan di bagian anterior (Patel, 2012).

2.2.9.5. Sfenoidektomi

Bila tidak dijumpai sel Onodi, ostium sfenoidalis terletak di

medial dan posterior dari sel etmoidalis posterior. Sinus

sfenoidalis dibuka dengan menggunakan kuret bentuk-J pada

bagian medial dan inferior ke arah ostium alaminya. Bila sudah

memasuki sinus sfenoidalis, ostium dapat dibuka lebih lebar

menggunakan forsep mushroom punch. Tindakan ini dilakukan dengan berhati-hati karena terkadang dijumpai dehisensi pada

bagian tulang yang menutupi arteri karotis dan saraf optik

(24)

2.2.9.6. Frontal sinusotomi

Apabila dijumpai indikasi untuk melakukan tindakan frontal

sinusotomi, maka sebaiknya menggunakan teleskop 45° atau

70°. Kuret sinus frontalis dapat digunakan untuk membersihkan

ager nasi atau sel frontalis yang menjadi penyebab obstruksi

aliran sinus frontalis. Pada saat bekerja di bagian resesus

frontalis sebaiknya berhati-hati karena posisi lamina dan dasar

tengkorak sangat berdekatan dengan saluran aliran sinus

tersebut (Patel, 2012).

2.2.9.7. Pemasangan tampon

Apabila diseksi telah selesai dilakukan dan hemostasis telah

tercapai, tampon yang telah dilumuri antibiotik dimasukkan ke

dalam lubang hidung. Terkadang beberapa ahli juga

memasukkan Gelfilm ke dalam meatus media untuk menjaga

agar meatus media tersebut tetap terbuka, mencegah

lateralisasi dan pembentukan sinekia. Tampon hidung dibuka

pada saat pasien akan pulang. Pasien sebaiknya diberikan

larutan pencuci hidung dan antibiotik. Pasien dianjurkan untuk

kontrol 1 minggu setelah operasi (Patel, 2012).

2.2.10. Perawatan setelah operasi

Perawatan setelah operasi menentukan keberhasilan operasi

itu sendiri. Tampon hidung dapat dilepas pada hari berikutnya dan

bekuan darah dapat disingkirkan. Pasien dengan penyakit berat

dianjurkan untuk kontrol setiap minggu selama 4-6 minggu untuk

memastikan terjadinya proses penyembuhan yang baik. Rongga

hidung dibersihkan secara endoskopik pada masa-masa ini.

Apabila rongga hidung sudah mulai normal dan stabil, terapi

medikamentosa dapat dilanjutkan (Lee and Kennedy, 2006).

Terapi medikamentosa setelah operasi penting diberikan

sampai mukosa hidung sembuh dan klirens mukosilier kembali

normal. Antibiotik, steroid topikal dan antihistamin dapat diberikan

(25)

operasi diberikan steroid oral, maka dapat dilakukan tapering off tergantung keadaan mukosa sinus. Irigasi sinus dianjurkan 2

minggu setelah operasi yaitu pada saat rongga sinus mulai

sembuh. Hal ini disebabkan oleh karena telah terbukti sebelumnya

infeksi gram negatif dapat meningkat melalui irigasi sinus (Lee and

Kennedy, 2006).

Waktu penyembuhan yang diperlukan setelah dilakukan

tindakan BSEF adalah sekitar 3 bulan (Reddy, 2013).

2.2.11. Komplikasi

Bedah sinus endoskopik merupakan prosedur yang aman.

Angka kejadian komplikasi yang pernah dilaporkan adalah kurang

dari 1% (Luong and Marple 2006). Namun bila dijumpai komplikasi

bisa sangat berbahaya. Komplikasi ini dapat berupa cedera orbita

dan isinya, saraf optik, dura pada bagian anterior dasar tengkorak, arteri karotis interna dan pembuluh darah otak (Stammberger,

2004). Hal-hal tersebut dapat menyebabkan: perdarahan, diplopia,

hematoma orbita, kebutaan, kebocoran cairan serebrospinal

bahkan cedera langsung pada otak. Selain itu komplikasi lain yang

juga dapat terjadi adalah terbentuknya sinekia dan cedera duktus

(26)

2.3. Kerangka Konsep

Variabel penelitian

RSK tanpa polip

Tomografi komputer Terapi medikametosa

Unsinektomi, etmoidektomi anterior, etmoidektomi posterior,

sfenoidektomi, frontal sinusotomi

Gagal

Bedah sinus endoskopik fungsional (BSEF)

Temuan operasi

Perbaikan

Perawatan setelah operasi RSK dengan polip

Grade I Grade II Grade III

Anamnesa (kategori penyakit

berdasarkan SNOT-20)

Gambar

Gambar 2.1. Siklus patologi RSK
Tabel 2.1. Sinonasal Outcome Test (SNOT) -20
Gambar 2.2. Panduan Baku Penatalaksanaan Sinusitis  (Soetjipto dan Wardhani, 2007)
Gambar 2.3. Panduan Baku Penatalaksanaan Polip Hidung (Soetjipto dan Wardhani, 2007)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Aplikasi ini akan digunakan sebagai alat bantu pengolahan data yang tepat dan akurat yang mampu memperkecil kesalahan serta mempercepat proses pencatatan dan

Talago Indah Kuriak Kusuik BD 280 9.600 INFORMASI STOK BENIH PADI.. (Minggu ke II Bulan Maret

JADWAL PERKULIAHAN SEMESTER 2 (GENAP) KELAS PAGI TAHUN AJARAN 2014/2015. STMIK

Berdasarkan Penetapan Hasil Kualifikasi Nomor : 07/KSTN/SS-U/PKT-03/UIN/2012 tanggal 01 Mei 2012 Paket Pekerjaan Pengadaan Jasa Konsultansi Pengawasan Renovasi Gedung Kuliah

Kode Mata Kuliah SKS Dosen Hari Waktu Ruang.. 1 KK-203 Algoritma dan Pemrograman 2

Banten Tahun Anggaran 2012 yang telah memasuki tahap Evaluasi Dokumen Kualifikasi dan Pembuktian Kualifikasi untuk pekerjaan dimaksud, untuk itu kami Pokja ULP Pekerjaan

1 KB-408 Analisa dan Perancangan Sistem Informasi 3 Nana Suarna, M.Kom Senin

376.144.560,- (Tiga ratus Tujuh puluh Enam Juta Seratus Empat puluh Empat ribu Lima ratus Enam puluh Rupiah) termasuk PPN 10%. Demikian pengumuman ini