BAB II
KATEINAI BORYOUKU DALAM RUMAH TANGGA
DI JEPANG
2.1 Pengertian Kateinai Boryouku
Secara harfiah kateinai boryouku merupakan berbagai bentuk kekerasan
yang terjadi di dalam sebuah rumah tangga. Jika di lihat dari frase kanji yang
membentuk kateinai boryouku mengandung makna di dalam frase tersebut.
Kateinai boryouku mengandung dua frase kanji yaitu kateinai ( 家 庭 内 ) yang
bermakna di dalam rumah tangga, dan boryouku ( 暴 力 ) yang bermakna
kekerasan.
Di dalam the great japans dictionary terbitan kondansha juga terdapat pengertian kateinai boryouku yaitu kekerasan yang di lakukan anak remaja atau
anak di bawah umur terhadap orang tuanya. Pada umumnya kasus kateinai
boryouku ini merupakan kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga, namun
khususnya sejak tahun 1997 kateinai boryouku merujuk pada kasus kekerasan
yang di lakukan anak terhadap orang tua, mulai menonjol di dalam kalangan
masyarakat dan kemudian pada awal tahun 1980-an istilah kateinai boryouku di
pergunakan secara umum. Sebelumnya konsep dan sebutan seperti ini tidak ada
karna kasus ini relative baru di dalam masyarakat jepang. Kemungkinan istilah ini
dulunya di gunakan kepada kasus kekerasan antara suami-istri atau orang tua-anak
ataupun yang berkuasa terhadap orang yang lemah atau pun di bawah taraf.
Pengertian seperti ini jelas sangat berbeda dengan pengertian kateinai boryouku
yang sekarang di gunakan, di mana fenomena yang muncul sekarang adalah
kateinai boryouku di mana pelaku kekerasan tersebut adalah seorang anak terhadap orang tua, si lemah ( anak) terhadap orang tua (kuat). Pengertian kateinai
boryouku yang di gunakan di jepang saat ini adalah seorang anak yang melakukan kekerasan terhadap orang tua ataupun terhadap anggota keluarga yang lain. Dan
pengertian yang seperti ini lah yang di gunakan saat ini di jepang.
Kekerasan ini juga bermacam-macam bentuknya bisa berupa bentuk
kekersan terhadap fisik ataupun penghancuran terhadap barang-barang bahkan
pengucapan kata-kata kasar dan tidak etis kepada anggota keluarga, terutama
kepada orang yang seharusnya di hargai di dalm sebuah rumah tangga yaitu,
ayah-ibu ataupun kakek nenek dan kakak-abang. Di berbagai kasus tertentu bentuk
kekerasan ini sangat kejam dimana sang korban bisa saja mengaalami luka fisik
maupun psikologis yang parah, adakalanya kasus ini berlangsung dalam jangka
waktu yang panjang umumnya kepada anggota keluarga yang seharusnya di
hormati namun lemah dalam fisik, yaitu seorang ibu yang lemah ataupun seorang
ibu yang telah lanjut usia, sedangkan kasus kekerasan terhadap ayah jarang sekali
terjadi. Namun tetap saja kasus ini merambat terhadap anggota keluarga yang lain
yang ingin membela atau menyelamatkan sang korban kekersan dan biasanya
kepada kakak perempuan ataupun sang ayah yang rela menerima kekerasan fisik
2.2 Jenis-Jenis Kateinai Boryouku
Jenis-jenis kateinai boryouku juga di bagi menjadi dua tipe yakni:
2.3.1 Tipe Kekerasan Berdasarkan Aksi
Menurut Inamura di dalam kateinai boryouku terdapat berbagai tipe. Salah satunya tipe yang di lihat dari aksi apa saja yang telah di lakukan si pelaku
pada saat kekerasan itu terjadi.
a. Kateinai boryoku nomi (kateinai boryouku saja)
Perlakuan kekerasan terjadi di dalam rumah, si pelaku melempar dan
menghancurkan benda ataupun barang-barang yang ada di dalam rumah, dan hal
ini sangat berbanding terbalik dengan sifat pelaku di luar rumah, sehingga sulit
menyadari bahwasanya telah melakukan kekerasan di dalam rumah.
b. Kateinai boryouku dan toko kyohi
Koto kyohi merupakan penolakan seorang anak untuk pergi ke sekolah
dan latar belakang penolakan ini adalah penyakit kejiwaan yang di derita sang
anak. Umunya kateinai boryouku di barengi dengan toko kyohi yang telah ada
sebelum kateinai boryouku. Dapat di katakan toko kyohi ini merupakan gejala awal kateinai boryouku ini. Mereka memberontak karna di paksa melakukan
sesuatu oleh orang tuadan pemberontakan ini di wujudkan dengan melakukan
c. Kateinai boryouku dan toko kyohi dan hiko
Hiko merupakan pelanggaran hukum yang di lakukan anak di bawah
umur 20 tahun atau kenakalan remaja. Selain kateinai boryouku dan toko kyohi, pelaku juga melakukan hiko atau kenakalan-kenakalan remaja seperti menguntit,
mencuri uang, menginap tanpa seijin orang tua dan sebagainya.
d. Kateinai boryouku dan hiko
Pelaku terlebih dahulu melakukan kenakalan, mengabaikan pelajaran
dan bolos sekolah, dan ketika orang tua atau anggota keluarga yang lain
mengingatkan agar menasehati, dia langsung marah tidak terima dengan nasihat
dan melakukan kateinai boryouku terhadap orang yang mengingatkan dan biasanya korban adalah seorang ibu.
2.2.2 Tipe Kateinai Boryouku yang Berdasarkan Seishin Igaku
( Ilmu Penyembuhan Mental)
Berdasarkan penelitian psikolog Inamura terhadap para pelaku yang melakukan konsultasi padanya, membagi lagi tipe kateinai boryouku berdasarkan
seishin igaku. Tipe-tipe tersebut adalah sebagai berikut:
a. Shinkeisho gata (tipe neurosis)
Dalam kasus ini sang pelaku mengalami atau memiliki penyakit kejiwaan
seperti kyohaku shinkensho atau memaksa orang lain untuk berbuat sesuatu
untunya, fuan shinkensho ( rasa cemas yang berlebihan), kyufusho (ketakutan)
sendiri yang di lakukannya sebagai salah satu cara yang di lakukannya untuk
melepaskan diri dari penderitaannya.
Isi dari kekerasan bentuk ini beragam, terjadi hampir setiap hari dan
berlangsung dalam waktu yang relative panjang. Misalnya pelaku selalu
menyerang ibu dengan kata-kata kasar, menedang dan memukul, memaksa ibu
untuk berkali kali minta maaf karena cara mengasuh anak dan sikap yang tidak
baik, lekas meledak emosinya apabila ibu melakukan kesalahan sekicil apapun
terhadapnya.dan sebagainya.
b. Seishinbyo gata (tipe penyakit mental)
Meningkatnya impuls-impuls sangat berhubungan dengan ketidak stabilan
emosi yang di sebabkan oleh penyakit mental. Yang di maksud dengan penyakit
mental di sini adalah adalah mengarah kepada skizofrenia yang artinya penyakit
kejiwaan yang di tandai ketidak acuhan, halusinasi, merasa berkuasa untuk
menghukum dan sifat dari tipe kekerasan ini sangat hebat, impulsive dan tak
terduga.
c. Ippan gata (tipe umum)
Sebagian besar pelaku kekerasan ini berada dalam keadaanke jiwaan yang
mendekati gangguan mental. Jadi,buka gangguan mental yang jelas terlihat.
Pelaku memberontak dan merasakan dendam dan benci yang besar kepada urang
tua sehingga pada saat meledak menjadi tindak kekerasan yang hebat. Kekerasan
ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama dan beragam.pada umumnya
kekerasan ini relative lebih ringan bila di bandingkan dengan tipe yang di
d. Ikkasei gata (tipe memendam)
Penderita ini memendam rasa ingin menyerang dan rasa ingin balas
dendam hingga pada suatu saat perasaan dendam ini dikeluarkan. Akhir-akhir ini
banyak anak-anak yang memiliki control diri yang lemah. Apabila mereka
berhadapan dengan suatu konflikatau suatu kenyataan yang tidak sesuai dengan
yang di harapkan, mereka segera melampiaskan amarahnya kepada orang lain
walaupun penyebabnya adalah masalah sepele.
2.3 Karakteristik Kateinai Boryouku
2.3.1 Ibu Sebagai Objek Kateinai Boryouku
Orang tua yang menjadi korban kekerasan anak merupakan bukti bahwa kekerasa anak terhadap orang tua itu ada. Seperti telah di sebutkan
sebelumnya, kateinai boryouku yang terjadi di jepang memiliki dua kesamaan
yaitu objek kekerasannya adalah anggota keluarga dan pelakunya adalah “anak
biasa” berusia remaja yang masi bersekolah yang berasal dari “keluarga biasa”,
yang mementingkan pendidikan dan secara ekonomi mampu. Berdasarkan data
terahir pada tahun 2005 keseluruhan kasus berjumlah 1275 kasus yang dilaporkan,
diantaranya 773 kasus kekerasan terhadap ibu dan 111 kekerasan terhadap ayah
dan yang menjadi sorotan utama adalah kasus kekerasan terhadap ibu yang selalu
jauh lebih besar daripada kekerasan terhadap ayah.
Menurut Futagami, alasan anak melakukan kekerasan terhadap ibu
menghabiskan waktu bersama anak-anak di bandingkan dengan ayah, karena ibu
yang membesarkan dan merawat anak sejak lahir dan ayah lebih banyak bekerja
di luar. Kedua adanya rasa bergantung anak terhadap ibu. Hal ini berhubungan
dengan kondisi minimnya ayah di rumah. Ayah selalu bekerja hingga larut malam
atau bekerja keluar kota, sehingga frekuensi untuk bertemu anak sangat sedikit.
Dengan kondisi rendahnya frekuensi pertemuan dengan ayah, secara
otomatis anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan ibu. Dan ketiga, salah
satu alasan kuat seorang anak melakukan kekerasan terhadap ibu, yaitu
ketidakberdayaan ibu dan kasih sayng ibu yang berlebihan. Hal ini diperkuat oleh
hasil data kuesioner yang di lakukan terhadap anak SD,SMP dan SMU mengenai
ibu yang meributkan masalah belajar dan nilai di sekolah dan ibu yang memahami
mereka.
Berdasarkan pertanyaan yang di ajukan kepada anak-anak mengenai
ibu yang meributkan masalah belajar dan nilai, jawaban yang di dapatkan yaitu
pada anak SD yang menjawab “iya” hanya sebesar 39,8 persen, sedangkan yang
menjawab “tidak” 55,8 persen. Lain halnya pada anak SMP dan SMU, yang
menjawab “iya” yaitu sebesar 53 dan 49,8 persen, sedangkan yang menjawab
“tidak” hanya 42,8 dan 46<8 persen (soumuchou 1993). Pada anak SMP dan
SMU, mereka menyadari ibu mereka meributkan masalah belajar dan nilai
sekolah lebih besar daripada yang tidak, karena berhubungan dengan adanya
pesaing ketat dalam ujian masuk sekolah menengah maupun perguruan tinggi,
yang menuntut ibu untuk memperhatikan pelajaran dan nilai anak di sekolah
karena sang ibu mengharapkan anaknya dapat lulus masuk sekolah menengah
2.3.2 “Anak Biasa” sebagai Pelaku Kateinai boryouku
Seperti yang telah di jelaskan di atas mayoritas objek kateinai
boryouku adalah orang tua, terutama ibu. Dan anak-anak yang melakukan
kekersan terhadap orang tua adala mereka yang di kenal sebagai murid baik
ataupun di kenal sebagai “anak biasa” di sekolah dan sangat perhatian terhadap
yang lain. Maksud dari “anak biasa” adalah anak yang baik, pandai, pendiam, dan
tak pernah berulah tidak baik di sekolah maupun di depan public. Menurut
Japanese journal of sociological criminology terdapat dua image “anak biasa”,
seperti di kutip berikut:
1. Biasanya, anak yang pendiam, anak yang rajin, dan anak yang tidak
bermasalah dengan nilai.
2. Setidaknya, kebutuhan hidup dan pendidikan anak dalam keluarga terpenuhi
Selain anak yang pendiam, rajin dan tak berulah, image “anak biasa”
juga termasuk dalam keluarga menengah ke atas. Menurut Saitou Tamaki, “anak
biasa” yang melakukan kateinai boryouku diikuti pula dengan kondisi keluraga
yang tidak memiliki figure ayahdan kasih saying ibu yang berlebihan. Memang
cukup mengagetkan, anak yang sehari-hari mendapat julukan “biasa” tiba-tiba
melakukan hal yang tak terduga.
Dalam masyarakat Jepang, pada jenjang usia 15-16 di perkirakan
sebagai masa kritis karena tiga alasan. Pertama kedewasaan adalah masa yang
penuh dengan tekanan untuk lulus tes masuk, dan merupakan masa bagi generasi
muda mengalami ketidakstabilan emosional. Kedua, kenyataan bahwa hamper 90
perguruan tinggi membuat generasi muda semakin cemas. Ujian masuk sekolah
menengah dan perguruan tinggi merupakan hal yang sangat diperhatiakn dalam
pendidikan jepang, karena keberhasilan dalam ujian masuk adalah tahap yang
sangat penting agar dapat masuk ke dalam kelompok elit masyarakat jepang, dan
dianggap memiliki kemampuan. Hal ini sesuai dengan yang di katakana kiefer dan
di kutip oleh lebra, mengen ai system ujian masuk masyarakat jepang berikut ini:
Kiefer saw the Japanese examination system as a
series of crisis rites through which the child passes from family-centered to peer-group-centered values rather than as a mechanism for minimazing
competition within group.
kiefer menilai bahwa system ujian masuk di jepang cenderung sebagai
kegiatan penting yang dengan melalui ujian tersebut, seorang anak beralih dari
nilai-nilai yang berpusat pada keluarga dari pada sebagai suatu mekanisme untuk
mempersempit persaingan dalam sebuah kelompok.
Jadi menurut kiefer, ujian masuk sekolah menengah dan perguruan
tinggi dipandang sebagai tahap untuk memasuki kelompok baru setelah keluarga,
bukan dinilai sebagai ajang untuk saling menjatuhkan para pesaing lain. Dan yang
ketiga, anak usia 15-16 tahun memiliki kekuatan yang cukup untuk melakukan
kekerasan secara langsung pada orang tu, terutama terhadap ibu, karena secara
biologis, ibu yang melahirkan, merawat, dan membesarkan anak; ibu lebih banyak
menghabiskan waktu bersamak anak dibanding ayah, ketika ayah bekerja di luar,
terdekat bagi anak, sehingga memudahkan anak untuk melampiaskan rasa kesal
pada orang terdekat, yaitu ibu.
Disamping itu, anak-anak yang melakukan kekerasan terhadap orang
tua dapat juga dilihat dari faktor kejiwaan seperti yang telah di diskripsikan di atas.
2.3.2 Kateinai Boryouku yang Terjadi dalam “keluarga biasa”( futsu no katei )
“Anak biasa” yang melakukan kekerasan terhadap orang tua, di
besarkan dalam lingkungan “keluarga biasa”. Maksud dari “keluarga biasa” (futsu
no katei) disini adalah keluarga berlatar belakang ekonomi menengah ke atas,
mementingkan pendidikan dan tidak terjadi masalah di dalamnya, sebagaimana
diungkap oleh futagami berikut.
Yang di sebut “ keluarga biasa” adalah kedua orang tua yang
berhubungan baik (dengan anak), orang tua yang memperhatikan pendidikan anak
dan secara ekonomi mampu.
“keluarga biasa” yang berlatar belakanng ekonomi mampu (menengah
ke atas) dan memperhatikan anak, didalmnya terjadi kateinai boryouku. Pada
tahun 1977, terjadi kateinai boryouku dalam “keluarga biasa” sebesar 61,4 persen.
Jumlah ini meningkat pada tahun 1988 dan 1995, yaitu 72,6 persen dan 79,2
persen. Persentase munculnya kateinai boryouku “keluarga biasa” tahun 2001,
malah terjadi pada keluarga miskin sebesar 72,8 persen, tetapi jumlah ini menurun
menjadi 68,2 persen pada tahun 1960.
2.3.4 Kateinai Boryouku yang Terjadi dalam Keluarga Tanpa Ayah atau Ibu
kateinai boryouku yang terjadi tanpa ayah ataupun ibu sudah jelas
terjadi di karenakan kurangnya perhatian ataupun kasih sayang orang tua
(ayah,ibu) terhadap anak. Yang seharusnya tugas seorang ayah adalah
menyatukan keluarga, memberikan saran dan ide, mengajarkan kebudayaan
norma-norma dalam masyarakat. Namun, tugas ayah yang seperti ini semakin
menghilang. Akibatnya keluarga berantakan, muncul istilah hoteru no kazoku
(keluarga hotel), tumbuh orang-orang yang tak punya kesadaran yang dalam akan
makna yang baik dan buruk, makin bertambah orang-orang yang tak punya
semangat dan egosentris.
Tugas seorang ayah takbisa terlaksanakan bila si ayah bukan ayah
yang berwibawa atau rippana chichioya. Walaupun ia bersusah payah
melaksanakan fungsinya, ia hanya akan di anggap remeh oleh keluarganya. Upaya
untuk menciptakan ayah yang terhormat ini di pandang penting, tetapi dalam
masyarakat sekarang hal ini bukanlah pekerjaan yang susah sehingga tidak
menjadi permasalahan yang perlu di perhatikan sehingga menimbulkan
kemungkinan kemungkina terjadinya kateinai boryouku di dalam rumah tangga
yang memiliki ayah yang tidak berwibawa ataupun di remehkan, kemudian rumah
di sini adalah ibu yang melaksanakan tugasnya sebagai seorang ibu rumah tangga
yang menjaga dan memperhatikan anak-anak, namun sekarang kebanyakan
seorang ibu rumah tangga dalah seorang ibu karir, dimana si ibu lebih banyak
ataupun lebih mementingkan pekerjaannya dari pada anak-anaknya, sehingga hal
ini menjadi pemicu besar akan terjadinya kateinai boryouku di dalam rumah
tangga. Seperti yang telah di jelaskan sebelumnya pemicu utama kateinai
boryouku adalah tidak adanya keharmonisan ataupun ikatan batin (emosional)
terhadap sesama anggota keluarga. Dalam posisi ini seorang anak juga tidak akan
perduli dengan apa yang terjadi di dalam rumah tangga yang demikian, hal yang
sering terjadi pada seorang anak pada posisi keadaan keluarga seperti ini adalah
menjadi anak yang tak tau aturan , semena-mena dan tak ada peduli terhadap
sesama anggota keluarga(serizawa, op. cit, hal 23).
Seperti yang telah di uraikan di atas hubungan dalam keluarga sangat
mempengaruhi keadaan keluarga, untuk lebih jelasnya lagi, ada dua faktor utama
dan esensial dari kateinai boryouku ini, yaitu faktor fusei ketsujo (kurangnya
figure ayah) dan kakansho (campur tangan orang tua, khusunya , ibu yang berlebihan. Tidak hanya itu, ada pula faktor-faktor lain yang berhubungan dengan
orang tua-anak. D sini bisa di simpulkan empat tipe utama yang menyangkut
hubungan orang tua dan anak yang memungkinkan timbulnya tindakan
menyimpang dari seorang anak.
1. Hubungan yang tidak harnonis di antara kedua orang tua
2. Kurangnya figure ayah. Biasanya untuk menutupi hal tersebut, peran ibu
anak, serta memiliki harapan berlebihan. Hal ini merupakan faktor tipikal mun
culnya penyimpangan pada anak.
3. Orang tua yang overreaksi. Yang dimaksud overreaksi adalah orang tua yang
telalu campur tangan, menaruh harapan berlebihan tau mencintai secara
berlebihan, sehingga justru menyebabkan mereka terlalu ketat dalam peraturan
dan control terhadap anak.
4. Orang tua yang apatis dalam pengasuhan anak. Baik ayah maupun ibu tidak
peduli terhadap perkembangan anak.
Keempat tipe di atas merupakan penyebab dominan dan kerap di
temui dalam masalah kekeluargaan di jepang.
2.4 Faktor-faktor Penyebab Munculnya Kekerasan
Agar dapat memahami penyebab mengapa seorang anak tega sampai
mampu melakukan kekerasan kepada orang tuanya sendiri, berikut ini merupakan
beberapa hal yang dapat menjelaskan hal tersebut.
(1) Harapan berlebihan
Fenomena harapan berlebihan kepada anak dapat di
karenakan cara mengasuh ayah dan ibu terhadap anaknya.
Orang tua manapun juga, khususnya ibu jepang, memiliki
harapan besar terhadap anak-anaknya.harapan ini
memang sudah selayaknya dimiliki oleh setiap orang tua.
Akan tetapi yang menjadi masalah disini adalah, apabila
terkotak pada masalah sistem sekolah dan keberhasilan si
anak dalam sistem ujian. Di mana antara para pengamat
masalah masyarakat jepang di kenal dengan istilah kyoiku mama atau ibu pendidikan dan shaken jigoku yang bila di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia menjadi neraka
ujian. Hal ini menggambarkan betapa kerasnya tekanan
maupun persaingan di antara anak-anak jepang untuk bisa
mendapatkan pendidikan unggul dan terbaik dalam
hidupnya.
Setiap orang tua menginginkan pendidikan yang
terbaik untuk anak-anaknya dan peran orang tua dalam
hal pendidikan anak sangat penting . hal ini berdasarkan
asumsi yang menyatakan bahwa dengan memberikan
pendidikan yang baik, berarti orang tua telah
mempersiapkan kehidupan anak yang lebih baik.hal itu
sulit di sangkal.
Akan tetapi, di dalam diri si anak akan mengalami
stress akibat tekanan yang di lancarkan kepada mereka
untuk senantiasa melanjutkan pendidikan ke sekolah
unggulan yang sulit untuk dimasuki. Mereka tentu
merasa takut apabila tidak bisa memenuhi harapan orang
tuanya. Mereka takut gagal. Ketakutan dan kecemasan
yang mereka rasakan hamper tidak bisa di pahami oleh
Dari sinilah biasanya muncul anak-anak yang bermasalah
dengan sekolah, mereka takut untuk pergi ke sekolah
yang di kenal dengan sebutan toko kyohi. Bisa ditebak
kemudian, dan dengan dukungan oelh hasil
penelitian,setelah toko kyohi, biasanya dilanjutkan
dengan kateinai boryouku.
(2) Terlalu ikut campur, perlindungan dan kasih sayang
berlebihan
Perlindungan dan kasih sayang berlebihan di sini bisa di
simpulkan bahwa apa yang di anggap oleh orang tua
sebagai ungkapan kasih sayang diterima oleh si anak
sebagai suatu gangguan karena terlalu berlebihan sifatnya.
Mungkin ada baiknya orang tua memberikan sedikit
kebebasan kepada anak-anaknya dalam memutuskan
suatu masalah. Hal ini penting untuk menumbuhkan sifat
mandiri pada anak.
(3) Kekhawatiran
Mungkin sedikit sulit dibayangkan bahwa adda orang tua
yang tidak yakin dan khawatir dengan kemampuan untuk
mengasuh anak. Tetapi hal inilah yang sebagian besar
dirasakan oleh para orang tua yang anak-anaknya terlibat
(4) Karakteristik ayah yang menonjol
Masalah sikap asuh ayah adalah keapatisan, seorang ayah
seolah-olah menghindar dan melepas begitu saja
tanggung jawab dalam masalah pengasuhan anak.
Mereka cenderung bersikap masa bodoh dan tidak mau
tau. Bisa di katakan bahwa ikatan batin antara anak
dengan ayah tidak kuat. Parahnya sang ayah sangat di
sibukkan dengan masalah kantor/pekerjaan, ketika pulang
ke rumah mereka hanya ingin istirahat dan tidak ingin di
ganggu dengan masalah anak-anak. Mereka menyerahkan
sepenuhnya tugas mengasuh kepada istri. Pendapat Keigo
Okonogi mengenai chichioya fuzai atau fenomena non-eksistensi ayah senada dengan hal ini. Ia mengatakan
bahwa kini dalam keluarga-keluarga jepang, suami dan
ayah telah hilang kedudukannya sebagai kepada keluarga.
Mereka kehilangan kedudukan dan perannya dalam
keluarga. Kebanyakan ayah telah menjadi manusia
kantoran yang super sibuk dan tak ada waktu luang untuk
keluarga. Walaupun secara fisik mereka ada, tetapi secara
psikologis mereka tidak dirasakannya keberadaannya.
.
Menurut hasil penelitian kantor keperdanamentrian, muncul data yang
ini kurang lebih senada dengan sikap mengasuh ayah dan ibu yang sudah di bahas
sebelumnya, menurut psikolog S. Supardi, secara teoritis terdapat tiga jenis pola
asuh, yang pertama dominan otoriter, sikap orang tua dalam hal ini tidak bisa di
bantah, anak harus patuh dan menurut penuh terhadap orang tua.
2.4.1 Kondisi Kejiwaan Anak
Berdasarkan pengamatan inamura, di dalam diri anak-anak yang
melakukan kateinai boryoukuI terdapat beberapa konflik mental. Konflik-konflik tersebut dapat di simpulkan sebagai berikut:
(1) Perasaan hancur dan kesadaran diri sebagai korban
Pelaku merasa canggung dan serba salah. Mereka juga di
penuhi oleh perasaan hancur, rasa cemas dan aseri atau
rasa diburu-buru sehingga mereka tidak tahu apa yang
sebaiknya di lakukan. Selain itu mereka berfikir bahwa
“saya yang sekarang adalah korban” saya berada dalam
kondisi yang menyedihkan dan sangat sengasara” mereka
berfikir bahwa penyebab semua penderitaan ini adalah
orang tua yang salah mengasuh.
(2) Rasa benci terhadap orang tua
Seperi yang telah di jelaskan di atas,pelaku sangat putus
asamemandang diri sendiri, mereka berfikir bahwa semua
dengan sedikit berhalusinasi bahwa sumber dari
malapetaka ini adalah orang tua sehingga mereka merasa
wajar bila mereka benci kepada orang tua
(3) Pembenaran akan kekerasan
Para pelaku menganggap tindak kekerasan yang mereka
lakukan adalah benar, oleh karena hal ini di dukung oleh
peratusan secara psikologis yang menyatakan bahwa rasa
benci kepada orang tua dan kesadaran diri sebagai korban
sperti uraian di atas.
(4) Tiadanya rasa takut akan dosa
Pelaku tidak memiliki rasa takut akan dosa sehingga pada
tahap mengkhawatirkan terhadap apa yang ia lakukan.
Indikasi seperti ini menunjukkan bahwa esensi dari
kateinai boryouku terletak pada usaha si anak untuk
mengikatkan diri pada inosens pribadi yang sampai pada
tahap berorienasi hanya kepada satu prinsipdan tidak mau
mengubahnya sedikit pun.
Dari sudut psikologis si anak, kebanyakan mereka
merasakan frustasi dan kekecewaan dalam dirinya. Rasa
frustasi yang di alami ini penyebab beragam
atau rasa diburu-buru. Atau mungkin juga, mereka tetap
pergi kesekolah, tetapi mereka tidak merasa puas dengan
prestasi di sekolah, tidak percayadengan kemampuannya
bisa mengikuti ujian. Ataupun, di sekolah mereka merasa
dikucilkan oleh teman-temannya, menerima perlakuan
ijime, dan sebagainya. Mereka menghadapi masalah-masalah seperti itu yang menyebabkan frustasi cukup
dalam.pada akhirnya,oleh karena keccemasan dan
keputus asa-an, di dalam diri mereka meningkat sifat
ofensif.
Sementara itu pada orang tua yang melihatkondisi
anaknya seperti itu, merasa sangat khawatir dan berusaha
keras untuk turun tangan dalam penyelesaian masalah
toko kyohi ini. Mereka berusaha berbagai cara supaya si anak bisa terbebas dari masalah yang di hadapi. Cara-cara
tersebut misalnya dengan mengundang guru walikelas ke
rumah untuk berdiskusi, atau memanggilteman-temanya
kerumah. Dengan kata lain, orang tua melakukan
berbagai langkah yang di anggap memaksa si anak
kembali ke sekolah. Akan tetapi lantas si anak bukannya
meras tertolong dengan tindakan orang tua, melainkan
merasa kesal kerena campur tangan orang tua dan
akibatnya frustasi yang di alami semakin menjadi. Rasa
dengan harapan orang tua mereka. Mereka merasa gagal
untuk memenuhi harapan tersebut. Akibanya, mereka
merasa tidak tenang secara mental hingga pada suatu saat,
kondisi mental yang tidak tenang tersebut meledak
menjadi sebuah tindak kekerasan. Sebenarnya menurut
inamura, langkah yang sebaiknya di ambil orang tua
adalah tidak terlalu memaksakan anaknya untuk kembali
kesekolah. Tindakan yang tergesa-gesa dan tanpa
perhitungan akan semakin menambahburuk keadaan saja.
Sebaiknya mereka membiarkan anak untuk sementara
waktu, biarkan si aank istirahat secara mental, karena
mereka sangat membutuhkannya.
Jadi, dapat di simpulkan disini, dalam diri si anak itu
awalnya mun cul rasa frustasi.hal ini kemudian didukung
dengan sifat mereka yang oversensitive, senantiasa
berkecil hati dan tidak percaya diri. Maka, walaupun
sebenarnya masalahnya tidak besar, mereka memikirkan
hal itu sebagai suatu hal yang besar dan penting sekali.
Mereka menjadicemas yang berlebihan karenanya.
Sementara itu orang tua tidak memahami hal tersebut,
malah mereka memperburuk keadaan dengan usaha
intervensi untuk menyelesaikan masalah yang di hadapi
si anak. Pada umumnya esensi struktur masalah kateinai
Sementara itu, ada faktor yang lain di samping kondisi kejiwaan anak.
Faktor tersebut adalah figure dan kedudukan orang tua dalam keluarga.
2.4.2 Figur dan Kedudukan Orang Tua dalam Keluarga
Sebagai mana telah di jelaskan pada bab I bahwasanya setiap anggota
keluarga memiliki fungsi-fungsi tertentu, dalam hal ini fungsi orang tua sangat di
perhatikan dalam pengembangan dan pembentukan sifat seorang anak dalam
rumah tangga. Banyak yang memandang bahwasanya asuhan orang tua terfokus
kepada seorang ibu saja, sebagai mana yang telah kita ketahui di bab I seorang
ayah juga sangat penting dalam pembentukan sifat seorang anak dalam sebuah
rumah tangga. Berikut merupakan sebuah pendapat dari Inamura sehubungan
dengan figure ayah terhadap permasalahan kateinai boryouku.
Dari sudut lingkungan rumah tangga yang memicumunculnya kateinai boryouku,
ada satu lagi faktor penyebab yang besar. Faktor itu adalah,keberadaan ayah yang
memudar di dalam rumah tangga. Dalam psikologis sejak dahulu,ayah dianggap
sebagai symbol dari otoritas dan kekuatan. Akan tetapi, yang menjadi masalah
adalah bahwa hal tersebut tidak terdapat lagi di dalam rumah tangga. Ayah yang
seperti ini, tidak bisa memenuhi tanggung jawab sebagai orang tua terhadap
anaknya, kebanyakan merekahanya tenang dan baik hati tetapi tidak punya spirit,
atau ada juga kasus seperti mereka jarang berada di rumah karena pergi berdinas
ke tempat lain dalam waktu yang lama. Dengan kata lain, baik psikis maupun
Di dalam sebuah rumah tangga, perceraian dan kematian juga bisa menimbulkan
fusei ketsujo atau kurangnya figure ayah. Dalam rumah tangga yang ada hanya
ada ibu dan anak, atau juga sebaliknya ketika ibu meninggal yang ada hanya ayah
dan anak. Kebanyakan kasus yang telah di jelaskan bahwasanya didalam kelurga
jepang sang ayah biasanya mendapat kasus tidak adanya existensi di dalam rumah
dan biasanya bersifat apatis dalam pengasuhan anak. Begitu juga kasus yang di
hadapi seorang ibu adalah biasanya seorang ibu kebanyakan terlalu memanjakan
taupun memaksakan kehendak terhadap seorang anak, yang memungkinkan
membuat seorang anak merasa stress atau frustasi di mana telah di jelaskan
bahwasanya rasa stress dan frustasi dapat memicu terjadinya kateinai boryouku.
Ketika seorang ayah ataupun ibu tidak lagi memiliki vigur ataupun
kedudukan dalam rumah tangga, sudah dapat di pastikan keadaan rumah tangga
itu tidak lagi memiliki hubungan batin yang kuat antara sesama anggota keluarga
dan ketika sebuah keluarga tidak memiliki itu, keluarga tersebut rentan akan
permasalahan kateinai boryouku.
2.4.3 Pengaruh Norma Agama dan Masyarakat
Norma agama dan masyarakat tidak terlepas pengaruhnya dalam
permasalahan kateinai boryouku ini. Sebagai contohnya dalam pengaruh norma agama adalah, di dalam masyarakat korea dan Taiwan yang pengaruh ajaran
konfusianismenya yang masih sangat kental, masalah kateinai boryouku dan
sejenisnya hamper tidak di temukan, salah satu ajaran yang masi ada sampai
seorang anak untuk berbakti kepada orang tua.yang dapat kita simpulkan
bahwasanya ajaran tersebut dapat menjadi kekuatan untuk menghentikan dan
pengontrol dalam usaha menghindarai segala macam bentuk penganiayaan anak
terhadap orang tua.
Salah satu contoh yang bisa kita ambil dari jepang sendrir adalah, di
daerah Okinawa dimana di daerah ini ajaran konfusianismenya juga kuat dan
hidup sampai sekarang, dan kasus kateinai boryouku nyaris tidak di jumpai. Oleh
karena itu, dapat di simpulkan bahwa masyarakat yang masi menganut ajaran
ataupun norma yang kuat sangat jarang menghadapi permasalahan kateinai
boryouku ini. Namun selain di daerah Okinawa Negara jepang telah banyak yang
tidak mengikuti ajaran-ajaran agama sehingga sangat memungkinkan terjadinya
kateinai boryouku, seorang psikologis Inamura mengemukakan bahwa norma
yang bertindak sebagai pengontrol telah pudar di dalam masyarakat jepang. Ia
mengkritik kondisi keluarga jepang dewasa ini yang sepertinya tidak ketat dalam
pengawasan dan pendidikan moral anak.
Teori empirisme yang di pelopori oleh john lock (1632-1704)
menyatakan bahwa seorang individu semenjak lahir bahkan semenjak dalam
kandungan, telah berinteraksi dengan orang lain. Dan melalui interaksi ini seorang
bayi belajar, dan dengan bersamaan dengan proses tersebut,pada bayi timbul
pengetahuan bahwa orang-orang di sekitar menginginkannya bertingkah dan
berprilaku tertentu dalam keadaan-keadaan tertentu.
Teori ini tidak percaya akan adanya sifat pembawaan pada manusia.
Seluruh perkembangan hidupnya sejak lahir sampai dewasa semata-mata
Berdasarkan curse of study (kurikulum pendidikan) yang di keluarkan oleh departemen pendidikan jepang di dalam kurikulum SD dan SMP
terdapatpendidikan moral sebagai salah satu bidang studi. Tujuan dari pendidikan
moral ini adalah:
- Menghormati martabat manusia dalam kehidupan
- Menciptakan kebuyaaan yang kaya dan
membangun Negara dan masyarakat yang
demokratis.
- Melatih manusia jepang yang mampu
memberikan konstribusi kepada masyarakat
internasional yang damai
- Menumbuhkan moralitas sebagai pondasi
pemikiran hal-hal baru.
Di samping waktu khusus yang di berikan dalam pengajaran
pendidikan moral di kelas, standar moral anak juga diharapkan dapat tumbuh dan
berkembang melalui seluruh kegiatan di sekolah. Di beberapa sekolah swasta,
pendidikan moral ini biasa di gantikan dengan pendidikan Agama.
2.5 Sejarah Kateinai Boryouku
Kataeinai boryouku merupakan fenomena yang muncul pada awal
tahun 1980-an. Pada tahun 1980, ada sebuah peristiwa pembunuhan yang sangat
mengejutkan public jepang dengan menggunakan pemukul bisbol. Kasus ini
saat itu. Yang menjadi tersangka adalah seorang ayah yang berlatar belakang
pendidikan tinggi, sementara yang menjadi korban adalah anak laki-lakinya.
Berdasarkan penyelidikan, latar belakang pembunuhan itu adalah si anak yang
telah lama melakukan kateinai boryouku kepada ayah-ibu. Pada beberapa tahun
sebelumnya ada juga kasus pembunuhan yang dilakukan seorang anak SMU pada
tahun 1977 dan kasus bunuh diri seorang pelajar SMU setelah dia membunuh
neneknya (1980) (shibundo.1981).
Kasus kateinai boryouku kebanyakan disertai dengan masalah took
kyohi. Oleh karena itu, pada awalnya banyak psikiater yang menangani masalah
ini hanya sebagai kasus took kyohi. Dengan kata lain, penanganannyalebih
difokuskan ke masalah took kyohi. Bukan ke masalah kekerasan itu sendiri.
Pada awal tahun muncul fenomena ini, pada banyak kasus kateinai
boryouku dianggap sebagai penyakit jiwa yang di sebut skizofernia.
Di bawah ini ada kutipan yang menarik untuk disimak sehubungan
dengan hal ini.
Hal yang tak bisa dilupakan mengenai kateinai boryouku pada masa
awalnya adalah pada beberapa kasusu kateinai boryouku disalahartikan sebagai
skizofernia. Bila di lihat dari pandangan umum saat itu, kekerasan anak terhadap
orang tua, dalam hal ini melakukakn kekerasa yang mengerikan adalah hal yang
sulit di pikirkan secara lazim (Tokyo. Shonyosha.1985).
Dari kutipan di atas, bila dikatakan bahwa masyarakat mulanya
menganggap kateinai boryouku sebagai suatu hal yang tidak pantas dilakukan
yang melakukan itu maka dapat di pastikan bahwa anak itu mengindap kelainan
mental.
Selanjutnya Inamura menuliskan hal sebagai berikut:
Akan tetapi bukankah suatu hal yang aneh jika sebuak
tindak kekerasan yang dilakukan seorang anak dianggap
sebagai penyakit jiwa, karena bagaimanapun dilihat dari
penampilan luar, tidak tampak adanya masalah di pihak
orang tua yang mengundang timbulnya kekerasan seperti
itu. Terlebih lagi, di dalam diri pelaku tiada rasa berdosa,
menginci diri dalam kamar dan menjalani kehidupan tanpa
banyak kegiatan, membalikkan siang dengan malam,
ekspresinya dan lain-lain amat menyerupai penyakit
puberitas. Hal yang seperti ini di pandang sebagai
skizofernia. Oleh karenanya anak itu dimasukkan kerumah
sakit secara paksa, dan diberikan obat-obatan mentalnya
dalam dosis tinggi.
Pada mulanya , kateinai boryouku dianggap sebagai penyakit jiwa
yang diderita oleh pelaku. Cara penyembuhannya pun difokuskan kepada si
pelaku saja, sehingga mengabaikan orang tua dalam terjadinya kasus ini. Secara
logis, memang tindak kekerasan yang di lakukan seorang anak remaja terlihat
sebagai suatu hal yang janggal. Apalagi, objek kekerasan itu adalah orang tuanya
tidak menyesal dengan perbuatannya. Bahkan tingkah lakunya bertentangan
dengan perilaku seorang normal. Mereka menjadikan malam seperti siang dan
sebaliknya, mereka cenderung menutup diri dan bersikap apatis.
Akan tetapi. Lama kelamaan banyak muncul kasus yang berlawanan dengan
anggapan tersebut dan keadaan yang sebenarnya menjadi jelas. Berdasarkan
penelitian terhadap kaus-kasus, sedikit demi seddikit pemahaman mengenai
fenomena ini dan cara penanganan yang tepat dapat ditemukan. Terutama dengan
semakin meningkatnya kasus kateinai boryouku ini, menyebabkan perhatian
terhadap masalah ini semakin meningkat, tidak hanya dari para dokter, tetapi juga
dari masyarakat umum. Dengan di latar belakangi masalh ini, muncul pula kasus
pembunuhan orang tua oleh anaknya, ataupun sebaliknya sehingga menjadi berita
sensasional di media massa. Fakta mencengangkan seperti ini amat mengejutkan
masyarkat dan menyadarkan mereka bahwa masalah kateinai boryouku bukanlah
suatu hal yang sederhana namun perlu penanganan serius dari berbagai pihak.
Semenjak saat itu kekerasan “kateinai boryouku” dan istilah ini menjadi popular
sampai saat ini. Penetapan konsep dan cara penanggulangan terhadap masalh ini
berkembang pesat saat itu.
Kateinai boryouku bisa di katakan sebagai fenomena yang muncul
dan popular dua dasawarsa terahir. Berdasarkan berbagai referensi dan kenyataan
yang ditemukan di Negara-negara eropa-amerika ini tidak dijumpai dalam
masyarakatnya. Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa fenomena ini adalah
Selain faktor kondisi rumah tangga, terdapat faktor lain yang cukup
penting dalam masalah kateinai boryouku. Faktor tersebut adalah norma
masyarakat. Misalanya di Negara Indonesia yang sangat menghargai aturan dan
norma saling menghargai sesama terutama menghargai orang yang lebih tua dan
kewajiban seorang anak adalah berbakti kepadda orang tua. Maka bisa di
simpulkan norma dalam masyarakat dapat menjadi tenaga pengontrol dan
pengehenti sehingga munculnya gejala dan fenomena ini dapat di tekan, penangan
dan usaha mengatsi kateinai boryouku akan di jelaskan pada BAB III.
2.6 Hal yang Melindungi Kateinai boryouku
Peraturan yang melindungi kateinai boryouku di sesuaikan kepada
setiap kasus yang terjadi, di jepang saat ini pemerintah telah menyediakan system
pengaduan kekerasan yang terjadi di dalam rumah dan bahkan hampir semua
kasus kekerasan dapat di adukan ketempat pengaduan ini, tepat pengaduan ini
berupa kantor yang tersebar di seluruh wilayah jepang, bahkan wilayah plosok
sekalipun. Kantor pengaduan tersebut bekerja sama dengan pihak kepolisian
jepang (khususnya pihak kepolisian di masing-masing wilayah) untuk mendeteksi
sebanyak mungkin kasus kekerasan yang terjadi. Dua institusi tersebut melakukan
rapat network tahunan untuk evaluasi. Menurut hasil surfing yang banyak di lakukan di berbagai situs menyebutkan, bahkan petugas dari kantor tersebut
datang dan melakukan pengamatan secara langsung kerumah atau daerah yang di
curigai terjadi kasus kekerasan di dalam rumah tangga. Bukan hanya penanganan,
kekerasan tersebut dan dari hasil konseling inilah bisa di ketahui motif-motif
kekerasan yang terjadi dan penyebab-penyebab terjadinya kekerasan ini.
Seperti yang kita ketahui jika pelaku adalah seorang anak ataupun
anggota keluarga lain yang melakukan kekerasan yang di akibatkan kejiwaan,
maka pelaku kekerasan ini akan dibawa dan dirawat di rumah sakit. Dan pelaku
yang mengidap penyakit kejiwaan ini akan mendapatkan perawatan yang
sepantasnya di dapatkan. Jepang juga memberlakukan peraturan yang mengatakan
jika anak yang di bawah umur melakukan kekerasa tersebut, anak tersebut
tidaklah mendapatkan hukuman seperti orang dewasa yang biasanya mendapatkan
hukuman penjara sesuai kekerasan yang dilakukakan.
Selain penanganan secara fisik maupun kejiwaan yang dilakukan
terhadap korban ataupun pelaku, biasanya untuk sementara waktu sesuai
ketentuan yang berlaku dan permintaan korban, pelaku dan korban di pisahkan