FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SERANGAN BERULANG (RELAPS) PADA PASIEN TUBERKULOSIS PARU DI RSUD LABUANG BAJI MAKASSAR
Rahmawati11), Nurlina2), A. Nur Anna AS3)
1 Diploma III Keperawatan, Akademi Keperawatan Muhammadiyah Makassar (Rahmawati 1)
email: amma75@rocketmail.com
2 Diploma III Keperawatan, Akademi Keperawatan Muhammadiyah Makassar (Nurlina 2)
email: nurlinajamal@gmail.com
3 Diploma III Keperawatan, Akademi Keperawatan Muhammadiyah Makassar (A. Nur Anna AS 3)
email: nurlinajamal@gmail.com
Abstract
World Health Organization (WHO) has declared TB a "Global Emergency" since 1992. In 2009 there were 9.4 million new cases with 1.7 million deaths globally. Most of the deaths are in developing countries. The prevalence of TB in Indonesia was ranked fourth highest in the world which have an impact on reducing the productivity and quality of patients life .Pulmonary TB patients who had been treated will heal with treatment and regular treatment, but the risk of relapse after receiving Anti-TB Drugs (ATD).
The aim of research to determine the factors that influence recurrent attacks (relapses) in patients with pulmonary tuberculosis in Makassar Labuang Baji hospital.
The study design was a qualitative sampling using purposive sampling on six (6) participants. Data collection using in-depth interviews were taped, then transcribed verbatim and analyzed with phenomenological method. The study was in May-June 2015.
The results showed factors that influence the recurrent attacks (relapses) in patients with pulmonary tuberculosis is knowledge, smoking and exposure, nutritional, environmental, economic, and other diseases. Recommended the need to increase patients' knowledge about the care, treatment and prevention of diseases, nutritional improvement and preservation of the environment by involving families and health workers
Keywords: Factors, recurrent attacks, relapses, pulmonary tuberculosis.
1. PENDAHULUAN
World Health Organization (WHO) telah mencanangkan tuberkulosis sebagai “ Global Emergency” sejak tahun 1992 (Lewis, et al, 2011). Pada tahun 2009 ada 9,4 juta kasus baru dengan 1,7 juta kematian secara global. Sebagian besar kematian terdapat pada negara berkembang yang memiliki keterbatasan sumber daya (Belay et al, 2011). Prevalensinya penderita TB di Indonesia menempati peringkat empat terbanyak di seluruh dunia yang berdampak terhadap penurunan produktivitas dan kualitas hidup pasien. Jumlah penderita TB paru di Indonesia adalah kasus menular 236.954 jiwa, semua kasus 321.308 jiwa, BTA positif 197.797 jiwa dan
riwayat minum obat (p=0,001; OR = 9,450). Peningkatan prevalensi TB paru berdampak terhadap produktivitas. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15-50 tahun). Diperkirakan seorang pasien TB dewasa, akan kehilangan rata-rata waktu kerjanya 3 sampai 4 bulan. Hal tersebut berakibat pada kehilangan pendapatan tahunan rumah tangganya sekitar 20-30%. Jika ia meninggal akibat TB, maka akan kehilangan pendapatannya sekitar 15 tahun. Selain merugikan secara ekonomis, TB juga memberikan dampak buruk lainnya secara sosial stigma bahkan dikucilkan oleh masyarakat.
Pasien TB paru yang mendapat penanganan yang baik akan sembuh dengan perawatan dan pengobatan teratur, namun beresiko untuk kambuh kembali atau relaps setelah mendapat Obat Anti TB (OAT). Oleh karena itu, perlu diketahui secara mendalam faktor-faktor yang mempengaruhi serangan berulang (relaps) pada pasien Tuberkulosis paru di RSUD Labung Baji Makassar, sehingga dapat menjadi bahan informasi bagi Pimpinan dalam membuat kebijakan terkait dengan penanganan tuberkulosis paru, sehingga seluruh tenaga kesehatan RS khususnya tenaga perawat dapat melakukan upaya-upaya dalam mencegah serangan berulang pada pasien TB paru melalui pemberian asuhan keperawatan.
mencakup latar belakang atas isu atau permasalahan serta urgensi dan rasionalisasi kegiatan (penelitian atau pengabdian). Tujuan kegiatan dan rencana pemecahan masalah disajikan dalam bagian ini. Tinjauan pustaka yang relevan dan pengembangan hipotesis (jika ada) dimasukkan dalam bagian ini. [Times New Roman, 11, normal].
2. KAJIAN LITERATUR DAN
PEGEMBANGAN HIPOTESIS (JIKA ADA)
Defenisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar kuman TB menyerang paru (80%), tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. (Depkes RI, 2012)
Klasifikasi
Berdasarkan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya yaitu :
1. Kasus baru
Pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. 2. Kasus kambuh (relaps)
Pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
3. Kasus defaulted atau drop out berkompeten Pasien yang telah menjalani pengobatan > 1 bulan dan tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai
4. Kasus gagal
Pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) atau akhir pengobatan. 5. Kasus kronik
Pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang dengan pengobatan kategori 2 dengan pengawasan yang baik.
6. Kasus Bekas TB:
-Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB yang tidak aktif, atau foto serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung
-Pada kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah mendapat pengobatan OAT 2 bulan serta pada foto toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi
Etiologi
bersifat dormant artinya tertidur selama bertahun-tahun, sehingga dapat menjadi aktif kembali dan bersifat aerob yaitu menyenangi jaringan yang tinggi kadar oksigennya seperti apikal paru-paru. (Sudoyo W. Aru, et all,
2009)
A. Faktor Resiko Penularan Tuberkulosis Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemungkinan seorang yang terpajan dengan kuman TB menjadi terinfeksi, yaitu:
a. Konsentrasi droplet-infeksius di udara. Ini dipengaruhi oleh jumlah droplet-infeksius yang dikeluarkan oleh pasien TB maupun keadaan ventilasi di area pajanan dan
b. Lamanya pajanan tersebut terjadi. Jika seorang hidup atau tidur sekamar dengan pasien TB maka mereka mempunyai risiko besar untuk menghirup droplet yang infeksius. Hanya droplet halus yang dapat mencapai alveoli paru. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan sehubungan dengan meningkatnya risiko penularan pasien TB:
a. Lokasi penyakitnya (di paru, saluran napas atau laring)
b. Terdapatnya batuk atau tenaga yang mendorong kuman tersebut keluar c. Dahak BTA positif
d. Terdapatnya kavitas paru
e. Pasien tidak menutup mulut dan hidung pada waktu batuk atau bersin.
Biasanya setelah pengobatan TB dimulai, maka dalam waktu singkat pasien TB menjadi tidak menular (sekitar 2 minggu). Jadi, seorang petugas kesehatan dapat dikatakan turut berkontribusi pada penularan TB, bila: a. Terlambat memulai pengobatan pada
pasien TB
b. Tidak memberi pengobatan TB dengan paduan obat yang memadai c. Melakukan prosedur yang dapat
merangsang batuk (misalnya bronkoskopi atau induksi sputum) tanpa memperhatikan pengamanan perorangan.
Faktor-faktor lingkungan yang dapat meningkatkan penularan, adalah:
a. Pajanan terjadi di ruangan yang relatif kecil dan tertutup.
b. Kurangnya ventilasi untuk mengalirkan udara, sehingga terjadi pengenceran dan pembuangan droplet infeksius.
Jadi, makin dekat dan makin lama seorang kontak dengan pasien TB yang menular (Pasien TB paru BTA positif yang belum diobati), maka makin besar risiko yang bersangkutan terinfeksi TB. (Kemenkes RI, 2012)
B. Risiko Berkembangnya Penyakit Setelah Infeksi
Menurut Kemenkes RI (2012), tidak semua orang yang terinfeksi Mycobacterium tuberculosis akan jadi sakit TB. Hanya sekitar 10% saja yang akan berkembang menjadi sakit TB aktif. Biasanya risiko menjadi sakit TB ini terjadi sebelum 1 tahun setelah terjadinya infeksi.
Ada beberapa faktor yang dapat menurunkan daya tahan tubuh, sehingga yang bersangkutan mudah berkembang menjadi sakit TB aktif, misalnya: malnutrisi, kondisi yang menurunkan sistem imunitas (infeksi HIV, diabetes, penggunaan kortikosteroid atau obat-obat imunosupresif lain dalam jangka- panjang). Sekitar 60% ODHA yang terinfeksi dengan kuman TB akan menjadi sakit TB selama hidupnya. Seperti telah dijelaskan di atas, maka pada orang dengan HIV negatif, risiko ini jauh lebih rendah yaitu hanya sekitar 10%. Faktor risiko kejadian TB secara ringkas digambarkan pada gambar berikut ini.
C. Faktor-Faktor Yang Berhubungan dengan Kejadian TB Paru
mengharuskan bertemu dengan banyak orang sehingga kemungkinan tertular dari penderita lain juga lebih besar. Pada usia produktif tersebut, biasanya juga banyak yang memiliki kebiasaan merokok yang merupakan salah satu faktor resiko kejadian penyakit Tuberkulosis
b. Jenis kelamin : jumlah penderita laki-laki lebih besar dari pada penderita perempuan hal ini dimungkinkan karena kebiasaan merokok pada laki-laki dan istirahat yang tidak teratur. c. Pendidikan : Pendidikan yang rendah
sangat mempengaruhi dalam mendeteksi penyakit hal ini merupakan salah satu hambatan yang menyebabkan kegagalan dalam pengobatan dan pemberantasan tuberkulosis.
d. Pekerjaan : Jenis pekerjaan dapat berperan didalam timbulnya penyakit melalui beberapa jalan, misalnya : Adanya faktor lingkungan yang langsung menimbulkan kesakitan misal bahan kimia, gas beracun, radiasi, situasi pekerjaan yang penuh dengan stress, ada tidaknya gerak badan didalam pekerjaan, berada dalam suatu tempat yang sempit. e. Ekonomi keluarga : Secara ekonomi,
penyebab utama berkembangnya kuman-kuman tuberculosis di Indonesia disebabkan masih rendahnya pendapatan per kepala, kurang terpeliharanya gizi dan nutrisi serta hal-hal lain yang menyangkut buruknya lingkungan.
f. Ventilasi : lubang penghawaan pada ruangan agar sirkulasi udara dalam ruangan menjadi baik, luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai
g. Pencahayaan matahari : Pencahayaan matahari yang baik adalah pencahayaan yang memberikan kesempatan cahaya matahari untuk masuk ± 60 lux ke dalam dan tidak menyilaukan sehingga cahaya matahari mampu membunuh kuman-kuman patogen
h. Kebiasaan merokok : Kebiasaan merokok menjadi faktor resiko karena kebiasaan merokok akan merusak
mekanisme pertahanan paru yang disebut muccociliary clearance.
Bagian ini berisi kajian literatur yang dijadikan sebagai penunjang konsep penelitian. Kajian literatur tidak terbatas pada teori saja, tetapi juga bukti-bukti empiris. Hipotesis peneltiian (jika ada) harus dibangun dari konsep teori dan didukung oleh kajian empiris (penelitian sebelumnya). [Times New Roman, 11, normal].
7. METODE PENELITIAN
Desain penelitian adalah kualitatif dengan pengambilan sampel menggunakan purposive sampling pada 6 (enam) partisipan. Pengumpulan data menggunakan wawancara mendalam yang direkam, kemudian ditranskrip verbatim dan dianalisis metode fenomenologi yang dikembangkan Colaizzi (1978). Penelitian dilakukan di RSUD Labuang Baji Makassar, pada bulan Mei-Juni 2015.
8. HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis transkrip hasil wawancara dengan pendekatan analisis collaizi’s, tema yang teridentifikasi ada enam yaitu :
Gambar 1. Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Serangan Berulang (Relaps)TB Paru
1. Pengetahuan Faktor mempengaruhi serangan ulang
Pengetahuan
Merokok, dan terpapar
Gizi
Lingkungan Ekonomi
Pengetahuan partisipan tentang penyakit tuberkulosis paru adalah :
a. Tn. Y : awalnya muntah darah, batuk 4 minggu kayaknya, penyakit menular. b. Tn. P : penyakit menular, menularnya
melalui udara saat batuk harus menutup mulut, alat makan juga harus dipisah, meriang, panas, berkeringat malam, batuk-batuk, nafsu makan berkurang, lemas, berat badan turun. Pencegahannya makan makanan bergizi, istrahat cukup, berobat teratur. Penyakit mematikan
c. Ny. He : sakit kepala, sakit badan-badan, batuk, sesak nafas, ngilu kalau berdiri. Setelah sembuh tidak boleh kerja, makan makanan bergizi, istirahat yang cukup
d. Ny. Ha : penyakit menular, menurunkan berat badan, nafsu makan, sakit dada, nyeri dada, nyeri pada tenggorokan, sakit kepala, ngilu tulang-tulang, ituji yang kurasakan, keringat dingin pada malam hari. Pencegahan pake masker. Setelah sembuh minum vitamin, makan yang teratur, istirahat yang cukup
e. Ny. K : penyakit menular, membuat daya tahan tubuh menurun, berat badan menurun, penyakit mematikan, bisa dikucilkan dari masyarakat, seharusnya minum vitamin dan susu tapi saya tidak mampu beli, olahraga kalau pagi. f. Tn. J : banyak sebenarnya cuma
penyakit tidak mau sembuh.
Berdasarkan data tersebut di atas, mayoritas partisipan memiliki pengetahuan tentang tanda dan gejala penyakit TB paru, penularan, pencegahan dan dampak yang ditimbulkan. Namun partisipan tidak mengaplikasikan pengetahuannya dalam bentuk perilaku. Sesuai hasil pengamatan dan wawancara menunjukkan partisipan belum mampu melakukan upaya perawatan dan pencegahan secara kontinyu. Misalnya dalam penggunaan masker, tidak semua penderita menggunakan secara kontinyu dengan alasan tidak nyaman dan sesak, sehingga beresiko menularkan kepada oang lain.
Penelitian di Bangladesh ditemukan sebagian besar (99%) dari peserta telah mendengar tentang TB, dan hampir semua tahu bahwa TB adalah penyakit menular
yang belum dapat disembuhkan. Lebih dari setengah (53%) dari Key Community Members (KCMs) memiliki pengetahuan yang baik mengenai TB, tetapi pekerja Bangladesh Rural Advancement Committee (BRAC) yang ditemukan lebih luas dibandingkan dengan KCMs lainnya. Namun, kesenjangan pengetahuan yang cukup diamati antara BRAC petugas kesehatan masyarakat. Hasil kualitatif mengungkapkan bahwa sebagian besar KCMs menyadari tentang tanda-tanda, gejala dan jalur transmisi TB dan percaya bahwa merokok dan kecanduan adalah penyebab utama penularan TB. Pengetahuan tentang TB anak miskin bahkan di antara petugas kesehatan BRAC. Stigma yang terkait dengan TB tidak jarang. Hampir semua responden menyatakan bahwa gadis-gadis muda yang didiagnosis dengan TB. Temuan studi ini telah mengungkapkan berbagai tingkat pengetahuan dan sikap tentang TB di antara KCMs. Hal ini juga memberikan wawasan tentang pengetahuan mengenai TB anak miskin dan menunjukkan bahwa meskipun signifikan stigma keberhasilan program TB belum lazim di masyarakat. Kegiatan Advocacy Communication Social Mobilization (ACSM) masa depan harus melibatkan anggota masyarakat terhadap stigma dan mempromosikan informasi yang terkait TB anak untuk perbaikan lebih lanjut Pengendalian Program TB dari BRAC (Paul et al., 2015).
Hasil penelitian Raynes (2013) tentang perbedaan budaya pada penyedia pelayanan kesehatan terkait pengetahuan, sikap dan praktek untuk mengobati tuberkulosis. Bahwa budaya kesadaran secara bermakna dikaitkan dengan kemungkinan peningkatan mengenali manifestasi dari tuberkulosis, manajemen penyakit tidak terkait dengan budaya kesadaran dan budaya kesadaran antara penyedia pelayanan akan menjadi faktor sangat penting untuk pengenalan diagnosis dan manajemen TBC.
2. Merokok dan terpapar
Partisipan mengungkapkan bahwa : a. Tn. Y : selalu kontak dengan perokok b. Tn. P : saya merokok, 2 bungkus sehari,
c. Ny. He : di rumah ada yang merokok, mahasiswa. Kalau bapak merokok tapi di luar
d. Ny. Ha : terpapar asap rokok dari lingkungan kerja dan suamiku perokok berat. terpapar dengan asap rokok 3 Tahun
e. Ny. K : dari muda memang saya merokok, satu bungkusji, saya lama, dari umur 18 tahun mulai merokok, tidak ada yang merokok di rumah, paling tetangga-tetangga, tapi kalau ada yang merokok pakai masker aja
Berdasarkan data tersebut di atas, sebagian partisipan memiliki kebiasaan merokok dan sebagian terpapar dengan asap rokok dari lingkungannya. Padahal perilaku merokok dapat merusak makrofag paru-paru, sehingga kuman TB Paru resisten terhadap pengobatan yang dilakukan oleh pasien.
Menurut Setiarni., Sutomo., Hariyono (2013) ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok dengan kejadian tuberkulosis paru pada orang dewasa (p=0,011) dengan nilai RR=2,407 artinya responden yang memiliki kebiasaan merokok berisiko untuk terkena penyakit TB paru sebesar 2,407 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang tidak merokok. Sejalan dengan hasil penelitian Maksalmina (2013) bahwa sebagian besar penderita TB paru mempunyai kebiasaan merokok. Sedangkan hasil penelitian Haris., Thaha., Abdullah (2014) menunjukkan umur merokok di usia muda dan lama merokok 10 tahun merupakan faktor risiko yang tidak bermakna terhadap kejadian tidak konversi. Jumlah batang rokok yang dihisap merupakan faktor risiko yang bermakna terhadap kejadian konversi. Direkomendasikan agar menghindari dan tidak melakukan aktivitas merokok, khususnya pada pasien yang menjalani pengobatan. Hal yang berbeda diungkapkan oleh Sejati dan Sofiana (2015) bahwa tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan tuberkulosis (p=1,000).
3. Gizi
Penghasilan yang didapatkan partisipan dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari :
a. Tn. Y : seperti nasi, sayur, ikan. b. Tn. P : untuk kebutuhan keluarga,
perbaiki gizi.
c. Ny. He : jenis makanan bergizi yang ibu makan? sayur bayam, sayur bening, telur rebus
d. Ny. Ha mengatakan malas makan, faktor menunya yang kurang karena ekonomi
e. Menurut Ny. K makanan yang sayur, sayur bening, tempe, ikan, telur, tapi sekarang jarang dapatkan yang begitu. seharusnya minum vitamin dan susu tapi saya tidak mampu beli
f. Tn. J mengatakan bahwa itu makan yang tidak enak sejak awal minum obat. Saya minum itu obat makanku tidak enak, tidak ada saya rasa, yang enak saja cuma indomie
Mayoritas partisipan dapat memberikan penjelasan tentang zat-zat gizi yang diperlukan tubuh, namun mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan zat gizi tersebut setiap hari karena keterbatasan ekonomi. Selain itu, penyakit lain yang diderita pasien dapat mempengaruhi daya tahan tubuh, sehingga beresiko mengalami kekambuhan.
Hasil penelitian Maksalmina (2013) menunjukkan sebagian besar laki-laki dengan TB paru mempunyai status gizi rendah. Setelah terpapar dengan M.Tuberculosis, sekitar 5% orang yang terinfeksi akan berlanjut menjadi TB aktif dalam 1 tahun, sisanya infeksi laten selama beberapa tahun dan kemudian aktif kembali dan menyebar. (Robinson, J. M, et all, 2014).
4. Lingkungan
a. Tn. Y beresiko menularkan ke keluarga, anak dan isteri, tinggal di perkampungan.
tidak terlalu, mungkin polusi karena tengah kota. Pernahki konsumsi obat terlarang? Pernah sabu, cimen, ganja. c. Ny. He mengatakan tempat tinggalnya
padat. ada orang yang sakit juga disitu? ada anak kos, kuliah. Tinggal bersama? anak dan suaminya.
d. Ny. Ha tinggal serumah berapa orang? 7 orang. Tertular dari kakak ada tapi sudah meninggal terkena TBC kelenjar, waktu itu saya yang rawat, tidak pakai masker. Beresiko menularkan ke anak dan keluarga yang lain.
e. Menurut Ny. K ngak, saya di ruang tamuka bikin untuk tidur, terus saya sama anak saya yang kecil 11 tahun sama 9 tahun di dalem. Iyya anaknya teman kerja tapi yang enam bulan dia sembuh sekarang, dibanding saya, karena saya seorang perokok dulu. f. Tn. J mengatakan bahwa bapaknya
menderita TB dan tinggal serumah, kerja di pabrik gula, pake maskerki? Tidak karena ruang terbuka
Berdasarkan hasil wawancara, beberapa partisipan mengatakan bahwa lingkungan tempat tinggal ataupun tempat kerja mereka ada yang menderita penyakit TB Paru, sehingga penyakit yang diderita karena tertular dari keluarga ataupun orang lain. Selain itu, ada beberapa penderita yang tinggal di rumah kontrakan dengan ukuran kamar yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya, lingkungan rumahnya padat, serta sering terpapar dengan asap rokok dari keluarga dan tetangga yang merokok. Keadaan ini akan memudahkan penularan penyakit TB paru.
Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa PCF (passive case finding) + ACF (Active Case Finding) akan efektif biaya apabila prevalensi batuk kronis disaring oleh ACF. Pelaksanaan investigasi pada rumah tangga sebagai bagian yang direkomendasikan untuk strategi pengendalian TB harus diprioritaskan (Sekandi et al., 2015).
Seratus empat puluh dan 80 kontrol, penggunaan bus 44.9%, pada kelompok TB 25.7% tidak memliki kontak baru TB rumah tangga, 13% dilaporkan memilki kontak dengan penderita TB, dan tidak kontrol 3,8% dan 4,1%. Dalam analisis multivariat didapatkan usia, pendapatan
rumah tangga, kontak rumah tangga, dan menggunakan bus / minibus untuk pulang-pergi ketempat kerja secara independen terikat dengan TB. Penggunaan bus/minibus diduga faktor resiko kejadian TB yang tinggi (Zamudio et al, 2015).
Studi pada insiden HCA-TB di mana kemungkinan pasien dan rekan kerja yang terdeteksi tertular. Pada diagnosis TB aktif 0.05% bayi, 0.57% anak-anak, 0.03% pada dewasa dan petugas kesehatan. Pada kasus TB aktif yang komplikasi antara individu yang terpapar adalah 0.57% bayi, 0.09% pada anak-anak, 4.32% pada dewasa dan 2.62% untuk petugas kesehatan yang beresiko (Schepisi et al., 2015).
5. Ekonomi
a. Tn. Y mengatakan penghasilannya tidak tahu, tidak pasti, biasa dua ratus, biasa juga tiga ratus, pedagang keliling b. Tn. P memperoleh penghasilan 2 juta
sebulan di restoran bagian miuman, sejak sakit nda kerja.
c. Ny. He rata-rata penghasilan satu juta perbulan, tukang sapu di citra land, tapi berhenti kerja karena sakit
d. Ny. Ha mengatakan tidak bekerja dan hanya tinggal bersama saudaranya selama sakit.
e. Ny. K pekerjaan tukang urut, saya tidak bekerja selama saya sakit.
f. Tn. J kerja di pabrik gula
Rata-rata partisipan mengungkapkan penghasilannya kurang mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, karena penghasilan yang diperoleh setiap bulan digunakan untuk kebutuhan makan, kontrakan rumah dan biaya lainnya. Sebagian partisipan memiliki latar belakang pekerjaan sebagai tukang sapu, tukang pijat, pedagang keliling dan restoran. Saat dinyatakan sakit sudah tidak dipekerjakan lagi. Hal ini akan mempengaruhi status gizi yang berdampak pada penurunan daya tahan tubuh sehingga beresiko menimbulkan kekambuhan. Hal yang berbeda diungkapkan oleh Sejati dan Sofiana (2015) dan Setiarni., Sutomo., Hariyono (2013) bahwa tidak ada hubungan antara kejadian TB paru dengan status ekonomi.
prioritas utama bagi kesehatan masyarakat. Tuberkulosis dapat menyebabkan masalah besar pada kehidupan sosial dan ekonomi. Pada tahun 2012 diperkirakan sekitar 8,6 juta kasus TB baru dan 1,3 juta meninggal karena TB. Dari 22 negara yang mempunyai beban tinggi karena TB, yang menyumbang kasus sekitar 80 % dari kasus TB di dunia.
Di negara-negara berkembang, seperempat dari populasi hidup termiskin di dunia. Negara-negara tersebut adalah Afrika Selatan, Bangladesh, Pakistan, Indonesia, China, Republik Demokratik Kongo, Mozambik, Nigeria, Ethiopia, Filipina, dan Myanmar. Asia Tenggara dan wilayah pasifik barat menyumbang sekitar 58% dari kasus TB yang ada di dunia pada tahun 2012, India dan China memiliki jumlah terbesar (masing-masing 26% dan 12% dari total data global) (Cai., Wang., Ma., Wang., Han., dan Li. 2015).
6. Penyakit lain
a. Tn. Y mengatakan menderita penyakit gula
b. Tn. P mengatakan menderita hepatitis c. Ny. He mengatakan menderita penyakit
maag.
d. Ny. K sakit maag
e. Tn. J mengatakan menderita penyakit gula
Semua partisipan memiliki penyakit yang pernah diderita sebelumnya seperti penyakit gula (diabetes mellitus), penyakit kuning (Hepatitis), dan penyakit maag (gastritis). Kondisi ini akan mempengaruhi daya tahan tubuh, akan tetapi berdasarkan hasil wawancara faktor penyakit bukan merupakan hal yang paling berpengaruh terjadinya penyakit TB Paru. Penelitian yang dilakukan oleh Miller, et all (2015) bahwa pasien tuberkulosis yang sudah melakukan pengobatan mempunyai resiko kematian yang cukup besar, diperkirakan sekitar 1000 orang pertahun. Kematian pada pasien yang sudah melakukan pengobatan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti HIV, ras, penyakit lain dan tempat kelahiran. Perawatan pada pasien Tuberkulosis merupakan salah satu yang dilakukan sebagai bentuk modifikasi resiko setelah melakukan pengobatan dan pencegahan.
Wu., Lo., Yang., Chu., dan Chou (2015) melakukan penelitian dengan hasil bahwa lansia (OR 2,68-8,09), tinggal di bagian Timur (OR 2.01), positif dahak bakteriologi (OR 2.54), normal X-ray dada (OR 2.28), dan komorbiditas dengan penyakit ginjal kronis (OR 2.35), stroke (OR 1,74) atau penyakit hati kronis (OR 1,29) yang paling mungkin menjadi penyebab kematian TB tertentu, sedangkan kanker (OR 0,79) kurang mungkin. Untuk kematian non-TB spesifik pada pasien yang lebih muda dari 65 tahun, jenis kelamin laki-laki (OR 2.04) dan komorbiditas dengan HIV (OR 5.92), penyakit ginjal kronis (OR 8.02), stroke (OR 3,75), kanker (OR 9,79), penyakit hati kronis (OR 2.71) atau diabetes mellitus (OR 1,38) merupakan faktor risiko. Faktor yang berbeda berkorelasi dengan kematian-TB spesifik dibandingkan dengan kematian-non-TB tertentu, dan dampak dari komorbiditas secara bertahap menurun pada peningkatan usia. Untuk mengurangi kematian pada pasien TB, pertimbangan khusus untuk pasien TB dengan usia tua, tinggal di wilayah Timur, positif sputum bakteriologi dan komorbiditas dengan penyakit ginjal kronis atau stroke sangat penting. Secara khusus, tinggal diwilayah Timur meningkatkan risiko kematian pada pasien TB di semua kelompok umur. Dalam hal kematian akibat TB di antara pasien yang lebih muda dari 65 tahun, pasien dengan HIV, penyakit ginjal kronis atau kanker memiliki 6-10 kali peningkatan risiko kematian non-TB spesifik.
[Times New Roman, 11, normal].
9. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi serangan berulang (relaps) pada pasien tuberkulosis paru adalah pengetahuan, merokok dan terpapar, gizi, lingkungan, ekonomi, dan penyakit lain.
10. REFERENSI
http://dx.doi.org/10.4172/2161-1068.1000103.pdf, diakses 25 April 2014
Cai, J., Wang, X., Ma, A., Wang, Q., Han, X., & Li, Y. (2015). Factors associated with patient and provider delays for tuberculosis diagnosis and treatment in asia: A systematic review and meta-analysis. PLoS One, 10(3) doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.po ne.0120088 , diakses 25 Juli 2015 Kemenkes, RI (2012). Profil Kesehatan
Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2012. Makassar, www.depkes.go.id/, diakses 2 April 2014
Haris, D., R., S., Thaha. I., L., M., & Abdullah, A., Z. (2014). Pasien TB Paru di Rumah Sakit Dan Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat Kota Makassar. Retrieved from http://repository.unhas.ac.id.pdf, diakses 25 Juli 2015
Lewis L Sharon., Dirksen SR., Heitkemper, Bucher, Camera. (2011). Medikal Surgical Nursing: Assessment and Management of Clical Problems. Saunders Elsevier : St. Louis, Missouri USA
Maksalmina, Z. (2013). Faktor-Faktor yang Menyebabkan Kejadian TB (Tuberkulosis) Paru Pada Laki-Laki Di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungwuni Kabupaten Pekalongan. www.digilib.stikesmuh-pkj.ac.id/ diakses 30 Juli 2015
Miller, Thaddeus L,DrP.H., M.P.H., Wilson, F. A., PhD., Pang, Jenny W,M.D., M.P.H., Beavers, S., M.D., Hoger, S., DrP.H., Sharnprapai, S., M.P.H., Weis, S. E., D.O. (2015). Mortality Hazard and Survival After Tuberculosis Treatment. American Journal of Public Health, 105(5), 930-937. Retrieved from http://search.proquest.com , diakses 30 Juli 2015
Paul, S., Akter, R., Aftab, A., Khan, A. M., Barua, M., Islam, S., Sarker, M. (2015). Knowledge and Attitude of Key Community Members Towards Tuberculosis: Mixed Method Study From Brac TB Control Areas in Bangladesh. BMC Public Health, 15 doi:http://dx.doi.org/10.1186/s12889-015-1390-5, diakses 30 Juli 2015
Raynes., E. A. (2013). Cultural Differences in Healthcare Providers’ Knowledge, Attitudes, and Practices in Treating Tuberculosis. Walden University.
Retrieved from
http://search.proquest.com/docview/, diakses 30 Juli 2015
Robinson, J. M., Saputra, L. (2014). Buku Ajar Visual Nursing Medikal Bedah. Binarupa Aksara : Pamulang, Tanggerang Selatan
Sianturi R. (2013). Analisis Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kekambuhan Tb Paru. Jurnal diterbitkan. Semarang: Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Ilmu Keolahragaan Universitas
Negeri Semarang,
journal.unnes.ac.id/sju/, diakses tanggal 4 April 2014
Schepisi, M. S., Sotgiu, G., Contini, S., Puro, V., Ippolito, G., & Girardi, E. (2015). Tuberculosis Transmission from Healthcare Workers to Patients and Co-Workers: A Systematic Literature Review and Meta-Analysis. PLoS One, 10(4)
doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.po ne.0121639, diakses 30 Juli 2015 Sejati, A., & Sofiana, L. (2015).
Faktor-Faktor Terjadinya Tuberculosis.
Retrieved from
http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php /kemas, diakses 30 Juli 2015
Sekandi, J. N., Dobbin, K., Oloya, J., Okwera, A., Whalen, C. C., & Corso, P. S. (2015). Cost-effectiveness Analysis of Community Active Case Finding and Household Contact Investigation for Tuberculosis Case Detection in Urban Africa. PLoS One, 10(2) doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.po ne.0117009, diakses 30 Juli 2015 Setiarni, S., M., Sutomo, A., H., & Hariyono,
W. (2013). Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan, Status Ekonomi dan Kebiasaan Merokok gengan Kejadian Tuberculosis Paru pada Orang Dewasa di Wilayah Kerja Puskesmas Tuan-Tuan Kabupaten Ketapang Kalimantan Barat. Retrieved from www.journal.uad.ac.id/index.php/Kes Mas, diakses 30 Juli 2015
Correlated With Tuberculosis-Specific and Non-Tuberculosis-Specific Deaths In Different Age Groups Among Tuberculosis-Related Deaths In Taiwan. PLoS One, 10(3) doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.po ne.0118929, diakses 30 Juli 2015 Zamudio, C., Krapp, F., Choi, H. W., Shah,
L., Ciampi, A., Gotuzzo, E., Brewer, T.
F. (2015). Public Transportation and Tuberculosis Transmission In A High Incidence Setting. PLoS One, 10(2) doi:http://dx.doi.org/10.1371/journal.po ne.0115230, diakses 30 Juli 2015