• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mahasiswa dan Logika Perlawanan Baru

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mahasiswa dan Logika Perlawanan Baru"

Copied!
3
0
0

Teks penuh

(1)

Mahasiswa dan Logika Perlawanan Baru

Barangkali, menjadi mahasiswa adalah fase paling seksi yang pernah dilewati seseorang dalam hidupnya. Seperti penjelajah yang memburu pulau-pulau tak bertuan, mahasiswa senantiasa mencari sebuah petualangan. Tak kenal lelah menghisap nikotin, menghirup polusi, dan membuang uang. Mungkin karena ini pula mereka lebih nyaman tinggal di indekos atau pulang larut malam. Tapi serius sedikitlah... menjadi mahasiswa adalah pengalaman sekali seumur hidup yang sangat berharga. Tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk masyarakat.

Konon, pada diri mahasiswa dititipkan sebuah kesadaran. Kegelisahan yang menunggu untuk diasah menjadi kearifan. Di dalam tubuh anak muda yang bergelora itu terdapat jiwa yang menggeliat. Itu pula mengapa pemuda selalu diperebutkan penguasa dan pasar. Mahasiswa, juga anak muda dalam arti luas, adalah kendaraan menuju masa depan, baik dalam arti politis maupun ekonomis.

Dalam konteks Indonesia pasca-Reformasi, mahasiswa menjadi individu yang terbelah. Mereka bingung dalam mendefinisikan dirinya. Mahasiswa kini selalu ditakut-takuti oleh ragam hantu. Mulai dari hantu STOVIA, hantu angkatan 1966, hantu mahasiswa Prancis 1968, hantu Malari, hantu NKK/BKK, dan yang paling mutakhir tentu hantu 1998. Maka mahasiswa selalu digugat untuk berjuang, turun ke jalan, dan mendampingi masyarakat. Tetapi ketika mereka beraksi, mereka digugat lagi: sebagai tukang onar dan biang kemacetan. Lantas, ketika mahasiswa gemar mengunjungi konser K-POP sampai bubblegum pop, mereka lagi-lagi dihujat sebagai orang yang hanya “doyan rekreasi tanpa pernah berkreasi”.

Di antara peristiwa-peristiwa tersebut mahasiswa selalu terombang-ambing statusnya antara tetap menjadi si proletar atau mengakui dirinya sebagai kaum borjuasi. Hal ini terkait dengan posisi mahasiswa yang sebetulnya berada pada transisi untuk menemukan sangkar yang nyaman. Coba lihat nama-nama seperti Rama Pratama atau Fahri Hamzah yang kini seperti sudah tidak bisa dikenali lagi. Fenomena ini akan terus berulang.

Ah, padahal mahasiswa bukanlah sosok tunggal yang hidup dalam latar monokrom.

Defisit Perubahan

(2)

“melawan” dan “perlawanan”. Masalahnya, kita masih terjebak dalam paradigma lama meski musuh tidak lagi satu dan semesta.

Dalam era kapitalisme terpimpin, mengharapkan mahasiswa menggunakan satu pendekatan dalam merespon persoalan, akan berujung pada kekecewaan. Menuntut mereka menggunakan cara-cara klasik juga akan berujung pada kekalahan. Setiap generasi memerlukan logika perlawanan yang berbeda dari sebelumnya, sesuai kebutuhan dan kesadarannya sendiri. Namun sebagian besar dari kita tidak memahami perubahan ini. Apalagi mengakuinya.

Indonesia pasca-Reformasi adalah Indonesia yang terfragmentasi. Masing-masing daerah, atau meminjam istilah Bourdieu, ‘arena’, menciptakan permainan mereka sendiri, sehingga aturan main yang disepakati juga berbeda-beda. Kata “wilayah” tak bisa sekadar dipahami sebagai ruang spasial, tapi sebagai ranah di mana mahasiswa bisa turut serta dan menciptakan perannya yang relevan.

Tolok ukur kepahlawanan mahasiswa pun berubah. Kita harus siap mengatakan selamat tinggal pada heroisme mahasiswa yang bangga karena masuk tahanan, menjahit mulut, atau dalam contoh paling ekstrim: membakar diri. Rupanya, hal-hal demikian tidak lagi menarik di mata masyarakat. Alih-alih, aksi seperti itu menjatuhkan martabat mahasiswa: bahwa mereka cenderung mengedepankan otot ketimbang otak, kekerasan ketimbang dialog, dan jalan pendek ketimbang visi yang panjang. Ada hal yang berseberangan, antara hasrat menjadi heroik untuk memperjuangkan sesuatu dan kondisi masyarakat yang sudah demikian pecah dan gaduh. Maka kematian saat demonstrasi kini sangat mungkin dibilang konyol. Spanduk, coretan, dan teriakan perjuangan sangat mungkin tampak basi.

Secara relatif, gerakan mahasiswa memang tampak melembek. Harus diakui bahwa mereka jadi begitu manja dan ‘wangi’. Hal ini terlihat ketika gerakan occupy atau pendudukan mewabah di berbagai pelosok dunia, mahasiswa Indonesia tampak adem ayem

dan terisolir dari pusaran wacana pergerakan di sekitarnya. Tak pelak, kini mahasiswa Indonesia digiring pada banalitas budaya konsumsi ala bonoism1 dan clicktivism2 yang mewarnai rupa dan

1 Istilah yang dipopulerkan oleh Naomi Klein penulis buku buku The Shock

Doctrine (2007) dan No Logo (1999). Bonoism adalah tindakan kepedulian terhadap persoalan kemanusiaan melalui kehadiran dalam konser musik yang mengusung tema kemanusiaan, namun setelah konser usai, semua kepedulian tersebut menguap. Bonoism merujuk kepada Bono, vokalis U2, band yang sering mengangkat tema kemanusian, baik dalam album rekamannya maupun dalam setiap aksi panggungnya.

2 Aktivisme berbasis online di era sosial media. Gerakan 1.000.000 Facebookers

(3)

logika gerakan sosial pasca-Reformasi. Dan kita memang tidak seharusnya menghindari debat ini. Pelajaran justru harus dipetik darinya: apa metode perlawanan yang paling efektif saat ini? Menurut ukuran siapa?

Kita lupa mengingat seorang teman bernama Sondang Hutagalung yang mengakhiri hidupnya karena mendambakan hidup yang lebih layak bagi jutaan orang yang tidak ia kenal. Ia telah menjadi martir yang tidak diakui oleh banyak orang. Karena perlawanan selalu merupakan sebuah usaha kolektif, Sondang seharusnya menjadi momentum untuk meredefinisi motif perlawanan tersebut. Sayangnya, teman-teman seusianya justru lebih asik dengan dirinya sendiri, mengejar target kelulusan, mencari pekerjaan yang mapan dan bersikeras hidup nyaman. Namun apa yang salah dari itu semua? Mungkin tidak ada. Sebab, seperti yang telah dikatakan, mahasiswa kini adalah entitas yang tidak tunggal. Atau jangan-jangan memang tidak pernah tunggal. Dengan demikian akhirnya, keberadaan Sondang menjadi penting sebagai manusia, tapi tidak melulu karena statusnya sebagai mahasiswa.

Mahasiswa adalah individu yang (tidak) akan selesai, cepat atau lambat. Mereka mesti menanggalkan statusnya ketika toga dan baju wisuda telah ada pada tubuhnya. Setelah itu mereka berhadapan dengan kemungkinan baru, tegangan, perubahan, dan negosiasi. Di situlah identitas mereka terbentuk. Dalam ragam ruang dan rupa. Namun satu hal yang perlu diingat: bahwa sebelum berkarya untuk orang lain, mahasiswa bukanlah siapa-siapa.

Referensi

Dokumen terkait

Suasana dialogis diatas menuntun analisis Ahmad Amin menggambarkan telah adanya soal tidak mau melibatkan diri dalam pertikaian dan perselisihan diantara sesame kaum

Laut Sulawesi Kabupaten Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara Samudra Pasifik Kabupaten Sorong, Irian Jaya Barat. Selat Singapura Kota Batam,

institusi hukum dan profesi hukum, Pembangunan yang komprehensif harus memperhatikan hak-hak azasi manusia, keduanya tidak dalam posisi yang berlawanan, dan dengan

: Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang:

Berdasarkan hasil uji beda rataan penerapan beberapa jarak tanam dan sistem tanam berpengaruh nyata terhadap jumlah biji hampa per plot tanaman padi, dimana jumlah biji

Maka dari itu untuk menjaga kelestarian lingkungan akan lebih baik jika suatu peraturan juga dikombinasikan dengan pendidikan, dalam hal ini pendidikan

Untuk beberapa jenis bahan, seperti termoplastik, bahan memo bahwa hasil dari pemangkasan dapat didaur ulang dengan ditempatkan ke dalam penggiling plastik, juga disebut regrind

Hasil dari penelitian ini diperoleh bahwa empat peran entrepreneurial leadership yaitu framing the challenge, absorbing uncertainty, building commitment dan