• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Program Wajib Belajar Pendidika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Evaluasi Program Wajib Belajar Pendidika"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Evaluasi Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) Sebagai Upaya Pencapaian Millennium Development Goals (MDGs)

Oleh : Atika Saraswati

Abstraksi

MDGs merupakan deklarasi pembangunan PBB yang mengemukakan 8 Tujuan Pembangunan Millennium yang harus dicapai tahun 2015 oleh 189 negara termasuk

Indonesia. Salah satu tujuan MDGs adalah mencapai pendidikan dasar untuk semua yang diwujudkan melalui Program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun.

Hasil evaluasi menunjukkan Wajar Dikdas dari segi pemerataan belum merata

dan memenuhi target yang ditetapkan, pembangunan hanya ditujukan untuk mencapai

angka kuantitatif dan menyebabkan kesenjangan kualitas dan arah kebijakan menjadi

tidak jelas. Pendidikan dasar dimaknai masyarakat dalam 2 pandangan: penting dan

tidak penting. Penting karena peran sekolah sebagai human capital, sharing knowledge

dan sosialisasi diri. Tidak penting karena sekolah tidak mampu membuat anak mandiri.

Faktor penyebab anak tidak sekolah, ditinjau dari individu anak: ekonomi keluarga,

lingkungan, psikologis, keadaan fisik, prestasi akademik. Dari segi sekolah: biaya

pendidikan, kualitas tenaga pendidik.

Langkah strategis yang disarankan guna mencapai MDGs tahun 2015, formulasi kebijakan, menggunakan gabungan model Teori Pilihan Publik, Teori Sistem dan Teori

Deliberatif, sosialisasi kebijakan, meningkatkan efisiensi kelembagaan, rehabilitasi

sarana dan prasarana pendidikan, meningkatkan kesejahteraan dan kemampuan guru.

Strategi dalam menjangkau kelompok tertentu: sekolah alam anak jalanan, sekolah

murah anak cacat, beasiswa dan pemberdayaan orang tua anak yang tidak mampu

dengan kerjasama antar dinas terkait.

Kata Kunci:

(2)

Latar Belakang

MDGs (Millenium Development Goals) atau yang lebih dikenal sebagai Tujuan Pembangunan Millenium merupakan salah satu Deklarasi Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) yang telah disetujui oleh 189 negara anggota termasuk oleh negara Indonesia

yang mengemukakan mengenai 8 tujuan pembangunan yang harus dicapai pada tahun

2015. Salah satu tujuan MDGs yang merupakan tujuan keduanya adalah mencapai pendidikan dasar untuk semua (achieve universal primary education) dengan memastikan bahwa pada tahun 2015 semua anak dimanapun, laki-laki dan perempuan

dapat mencapai pendidikan dasarnya (Jeroen Smits and Hyunjoon Park, 2009: 227-235)

Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan

menengah, berbentuk Sekolah Dasar (SD) dan Madrasah Ibtidaiyah (MI) atau bentuk

lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah

(MTs), atau bentuk lain yang sederajat.1

Dengan telah diratifikasinya MDGs oleh pemerintah Indonesia maka pemerintah telah mengemban amanat untuk menuntaskan pendidikan dasar bagi seluruh

masyarakat Indonesia pada tahun 2015. Pencapaian education for all di tahun 2015 dan aplikasi dari peraturan perundangan yang berlaku tentu saja tidaklah mudah dan

memerlukan berbagai upaya dan aksi nyata dari berbagai pihak termasuk masyarakat

dan pemerintah daerah (pemda), maupun pemerintah pusat, hal ini mengingat

tingginya kompleksitas problematika di bidang pendidikan. Secara umum, terdapat

empat problem pendidikan di Indonesia: efektivitas, pemerataan pendidikan, relevansi,

problem manajemen pendidikan 2

Terkait dengan Tujuan Pembangunan Milenium atau MDGs mengenai pemerataan pendidikan dasar bagi semua di tahun 2015, problematika yang perlu dikaji

lebih mendalam adalah problem kedua mengenai pencapaian dan pemerataan

pendidikan. Upaya pencapaian dan pemerataan pendidikan dasar bagi semua dilakukan

oleh pemerintah melalui Program Wajib Belajar. Program nasional Wajib Belajar secara

implisit merupakan program yang dicanangkan pemerintah guna mengatasi

problematika pemerataan pendidikan. Pengaturan mengenai Wajib belajar diatur dalam

Undang-Undang No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pada pasal 34

1 PP No.47 Tahun 2008 Tentang Wajib Belajar

2

(3)

ayat 2 bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya Wajib

Belajar minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya (Nicola Jones with Bekele Tefera and Tassew Woldehanna, 2008: 380-384)

Evaluasi Program Wajar Dikdas dengan teknik CIPP (Context Input Proses Product)3

No. Fenomena Penelitian Hasil Penelitian

1. Pemerataan

 Adanya eksklusi pendidikan yang dirasakan oleh anak

-anak tertentu (seperti: -anak jalanan, -anak dari kalangan

orang tidak mampu, dan anak dengan tingkat prestasi

akademis rendah).

 Penolakan untuk sekolah dari target sasaran Wajar Dikdas yaitu anak-anak usia 7-15 tahun yang sebagian

besar muncul dari kalangan masyarakat dengan tingkat

ekonomi dibawah rata-rata

 Persebaran sekolah yang tidak merata. Kecenderungan masyarakat untuk mendaftar di sekolah yang dekat

dengan tempat tingalnya membuat persebaran letak

sekolah yang tidak merata antar kecamatan menjadi

sebuah ancaman yang perlu diperhatikan.

 Masih lemahnya silang koordinasi dan komunikasi dari pemerintah ke masyarakat dengan tidak berfungsinya

Dewan Pendidikan, dan fungsi Komite Sekolah yang

hanya sebagai formalitas saja karena keaktifan anggota

komite sendiri yang kurang, selain itu tidak didapati

upaya yang dilakukan sekolah apabila terjadi kasus putus

3

(4)

2) Pemerataan

Pendidikan

Tingkat SMP/

MTS

sekolah.

b. Input (Masukan)

1)Ketersediaan dan Daya Tampung Sekolah

 Jumlah Sekolah dan Ruang Kelas secara keseluruhan mencukupi untuk menampung anak-anak usia sekolah

7-15 tahun baik tingkat SD/MI maupun SMP/MTS.

 Permasalahan daya tampung muncul disekolah-sekolah favorit terutama ditingkat SMP karena di tingkat SMP

masyarakat mulai memperrhatikan masalah kualitas.  Permasalahan juga muncul pada gedung-gedung sekolah

yang rusak seperti eternit jebol dan jika hujan bocor,

minimnya fasilitas: seperti perpustakaan yang koleksi

bukunya tidak lengkap dan alat-alat olahraga.

2)Karakteristik Tenaga Pendidik

Jumlah guru sudah mencukupi untuk mengajar di SD dan

SMP tetapi permasalahan muncul karena rendahnya

kesejahteraan guru, membuat guru hanya menjalankan

kewajibannya menyampaikan materi-materi pokok dan

kapasitas dalam mengajar dikeluhkan oleh orangtua murid.

Upaya peningkatan dilakukan melalui pelatihan dan

sertifikasi tetapi karena masih harus membayr sendiri dan

faktor usia beberapa guru tidak melaksanakannya.

3)Alokasi dan Sumber Dana

 Dana yang digunakan dalam pelaksnaan Wajar Dikdas 9 tahun bersumber dari APBN dan APBD dan jumlahnya

semakin meningkat sejak tahun 2006-2008

 Dana tersebut digunakan untuk kegiatan operasional sekolah, pembiayaan buku dan pemenuhan

kebutuhan-kebutuhan sekolah.

 Dana yang diberikan pemerintah dirasakan beberapa kalangan sekolah sangat minim atau kurang mencukupi

(5)

beberapa Sekolah terpaksa meminta pungutan sukarela

dari orang tua.

4)Kesadaran Akan Sekolah (Gregory J. Marchant, 2011: 80)

Kesadaran masyarakat akan pendidikan dalam hal ini

sekolah sudah cukup tinggi, bahkan seluruh jawaban dari

masyarakat yang tidak sekolah pun menganggap bahwa

sekolah penting dengan berbagai alasan dan argumen dan

alasan yang paling banyak dikemukakan adalah sekolah

membuat anak menjadi pintar dan bisa melakukan banyak

hal, bisa membagi pengetahuan kepada

saudara-saudaranya, mendapatkan ilmu, mendapatkan teman,

mencari uang dengan pekerjaan yang lebih baik.

c.Process (Proses)

 Dalam penyelenggaraan BOS buku yang seharusnya sekolah tidak lagi menarik uang buku dari siswa-siswanya,

dilapangan ditemui bahwa masih ada siswa yang ditarik

uang buku dan untuk pembayaran LKS, antara

Rp.6.000-Rp.200.000.

 Penggratisan sekolah ternyata tidak cukup untuk membuat anak-anak tersebut kembali ke sekolah, tidak cukup untuk

membuat anak-anak mau mengakses pendidikan dasarnya

hal ini dikarenakan penggratisan sekolah hanya mencukupi

biaya operasional sekolah saja sementara masyarakat masih

harus menanggung biaya sendiri pula untuk memenuhi

kebutuhan sekolahnya (living cost seperti : uang saku, uang

transport ke sekolah, uang seragam dan peralatan sekolah)

dan bagi masyarakat yang tidak mampu penggratisan

sekolah saja tidak cukup karena mereka pun tidak mampu

memenuhi living cost mereka untuk sekolah sehingga

penggratisan sekolah tidak membuat anak-anak tersebut

sekolah. Konsep mengenai sekolah gratispun menjadi salah

(6)

masyarakat.

 Ditemukan kendala-kendala antara lain : kendala yang dihadapi sekolah dalam menyediakan fasilitas menyeluruh,

hal ini dikarenakan ketiadaan sumberdaya untuk

meningkatkan daya tampung dan memperbaiki kondisi fisik

sekolah, karena jumlah dana yang digunakan harus

digunakan untuk menyelenggarakan sekolah gratis dan

karena adanya sekolah gratis dana dari orangtua semakin

bekurang, sedangkan dari pemerintah hanya cukup untuk

memenuhi biaya operasional sekolah. Kendala lain yang

ditemukan yaitu dihadapi guru dalam memberikan

pelayanan yang memadai: pergantian kurikkulum yang

terus terjadi memerlukan proses adaptasi oleh guru, dan

saat guru mulai adaptasi, kurikulum sudah berganti lagi,

rendahnya perhatian orangtua pada anak baik dari segi

pelajaran maupun gizi anak sehingga hal ini membuat anak

mengalami keterlambatan dalam proses belajar. Kendala

lain yang dihadapi adalah dalam menjangkau kelompok

tertentu : seperti anak jalanan, karena kerasnya dunia

jalanan membuat mereka menganggap sekolah bukanlah

kebutuhan pokok bagi mereka, anak cacat fisik : karena

kondisi fisiknya menyulitkan untu sekolah di sekolah umum

dan akses di SLB masih terbatas, anak dari keluarga miskin:

karena kemiskinan keluarga menyebabkan mereka harus

bekerja dan menjadi tulangpunggung keluarga, anak dengan

prestasi akademik rendah, kemudian membuat anak putus

sekolah karena nilai-nilainya yang jelek.

d. Product (Product)

1) Pemerataan di tingkat SD/MI belum mencapai target yang

ditetapkan yaitu 100%, masih banyak anak usia 7-12

tahun tidak sekolah hal ini ditujukan dengan temuan

(7)

SD/MI yang masih dibawah 100% yaitu 92,46%.

Meskipun sudah ada BOS dan sekolah gratis tetapi hal

tersebut belum menyentuh sasaran yang ingin dicapai

yaitu anak-anak usia 7-15 tahun yang rentan tidak

sekolah/ putus sekolah. Meskipun begitu Partisipasi di

tingkat SD/MI lebih tinggi daripada di tingkat SMP/MTS.

2) Pemerataan di tingkat SMP/MTS belum mencapai target

yang ditetapkan yaitu 95%, masih banyak anak usia 13-15

tahun tidak sekolah dan data dilapangan yang diperoleh

masyarakat dan kalangan stakeholderpun menilai bahwa

Wajar 9 tahun belum merata. Hal ini juga didukung dari

data yang diperoleh mengenai APM tingkat SMP/MTS

yang masih mencapai angka 67,26%. Meskipun sudah ada

BOS dan sekolah gratis tetapi hal tersebut belum

menyentuh sasaran yang ingin dicapai yaitu anak-anak

usia 7-15 tahun yang rentan tidak sekolah/ putus sekolah.

3) Didapati pula bahwa pencapaian Wajar Dikdas hanya

ditujukan untuk mencapai angka indikator pemerataan

secara kuantitatif dan membuat kesenjangan dalam hal

pemerataan kualitas dengan munculnya SBI maupun RSBI

dibeberapa sekolah.

Langkah Strategis yang Dapat Dilakukan Pemerintah untuk mencapai MDGs tahun 2015

Achieve universal primary education yang menjadi tujuan kedua MDGs mentargetkan bahwa di tahun 2015 semua anak dimanapun berada mampu mengakses

pendidikan dasarnya. Tujuan ditetapkannya semua anak mampu mengakses pendidikan

dasarnya diasumsikan bahwa dengan semua anak mampu mencapai pendidikan

dasarnya maka semua anak tersebut telah memiliki bekal dasar untuk mencapai

kehidupan mandiri bagi dirinya. Pendidikan dasar yang secara nasional ditetapkan

sampai jenjang 9 tahun, seharusnya memperhatikan hal ini karena pendidikan dasar

yang ada selama ini ternyata belum mampu membekali anak untuk mampu hidup

(8)

Dari peneletian ditemukan bahwa terjadinya ketidak jelasan arah pembangunan

pendidikan antara pemerataan pendidikan yang bermutu dengan pemerataan dan

peningkatan kualitas pendidikan menimbulkan ketidakjelasan arah dari pembangunan

dan pencapain tujuan dari Wajar Dikdas itu sendiri yaitu untuk mewujudkan

pemerataan pendidikan yang bermutu ( Antonia Kupfer, 2008: 290). Kebijakan pertama

menunjukkan pengertian untuk mewujudkan pendidikan bermutu, setelah itu

dilakukan pemerataan yang sesuai dengan tujuan Wajar Dikdas itu sendiri dan yang

kedua adalah adanya plot-plot indikator yang memisahkan antara kebijakan

pemerataan dan peningkatan mutu menimbulkan ketidakjelalasan dalam kebijakan. Hal

ini mengakibatkan adanya ketidakjelasan pula dalam arah pembangunan pendidikan,

sehingga untuk mencapai MDGs pemerataan pendidikan dasar dengan memastikan

semua anak usia 7-15 tahun, kebijakan yang ada perlu dikaji kembali karena ternyata

pada masyarakat mutu pendidikan juga menjadi salah-satu penyebab kendala mencapai

pemerataan itu sendiri seperti yang telah diungkapkan pada bagian sebelumnya.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan stakeholder untuk mencapai tujuan MDGs tahun

2015 yaitu :

1. Pada Tingkat Formulasi Kebijakan

Kebijakan yang ada selama ini ternyata ditemukan adanya ketidakjelasan dalam

pemaknaan antara konsep dalam hal ini tujuan dengan pemahaman dilapangan atau

dalam implementasinya (Marcus B. Weaver-Hightower, 2008: 157) Hal ini terlihat

dengan adanya indikator pengukur yang berbeda, kebijakan lain yang kontradiktif satu

sama lain (kebijakan Wajar Dikdas dan Standarisasi Sekolah), selain itu ternyata dalam

praktisnya juga didapati terjadinya bias makna dikalangan stakeholder dan target

sasaran, hal ini terlihat pada penetapan Sekolah Gratis, yang pada stakeholder dimaknai

bahwa sekolah gratis hanya gratis untuk biaya operasional sekolah dan untuk biaya lain

masyarakat harus mengusahakan sendiri, tetapi menurut masyarakat sekolah gratis

diartikan sebagai sekolah yang benar-benar gratis sehingga terjadi kesalahan tafsir

dimasyarakat.

Dari permasalahan yang ditemukan dan diungkapkan dalam penelitian ini dapat

disarankan dalam hal formulasi kebijakan dapat dilakukan dengan menggunakan

gabungan model Teori Pilihan Publik, Teori Sistem dan Teori Deliberatif. Teori Pilihan

publik dipilih karena dengan melihat bahwa kebijakan pendidikan dalam hal ini untuk

(9)

yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat untuk mendapatkan pendidikan dan

pendidikan seperti apa yang diinginkan masyarakat (Douglas S. Reeds, 2009: 750),

dalam Teori Pilihan Publik yang berakar dari teori ekonomi pilihan publik (economic of public choice) yang mengandaikan bahwa manusia adalah adalah homo economicus yang memiliki kepentingan-kepentingan yang harus dipuaskan, prinsipnya adalah buyer meet seller; supply meet demand (Marvin A. Titus, 2009: 450-475).

Teori ini mengemukakan, pada intinya setiap kebijakan publik yang dibuat oleh

pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi pengguna (beneficiars). Proses formulasi kebijakan publik dengan demikian melibatkan publik melalui

kelompok-kelompok kepentingan. Secara umum, ini adalah konsep formulasi kebijakan

publik yang paling demokratis karena memberi ruang yang luas kepada publik untuk

mengontribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan.

Teori Sistem ini digunakan untuk melengkapi kekurangan dari Teori Pilihan Publik

yang memungkinkan adanya keterbatasan dalam realitas interaksi publik itu sendiri

(Zhu Xufeng, 2009: 145-350)

Sehingga perlu digabungkan bersama Teori Sistem yang memiliki keunggulan

dalam komprehensifitasnya mengungkapkan tuntutan dan dukungan dari lingkungan

kebijakan itu yang nantinya akan dijalankan.

Teori ini dipilih juga karena melihat bahwa kecenderungan kebijakan pendidikan

yang ada di masih berupa kebijakan pendidikan sebagai bagian kebijakan publik dan

belum merupakan kebijakan publik itu sendiri. Hal ini sesuai dengan teori sistem yang

mengemukakan bahwa dalam proses formulasi kebijakan publik berada dalam sistem

(10)

Teori Deliberatif dipilih dengan mempertimbangkan keterbatasan pemerintah

dalam memantau kebijakan pemerataan pendidikan yang berkualitas yang diinginkan masyarakat, teori deliberatif atau musyawarah disarankan untuk digunakan pula karena peran pemerintah disini lebih sebagai legalisator dari kehendak publik .

Sementara peran analis kebijakan adalah sebagai prosesor proses dialog publik agar

menghasilkan keputusan publik untuk dijadikan sebagai kebijakan publik.

Teori Deliberatif Maarten Hajer dan Hendrik Wagenaar

2. Pada Tingkat Implementasi Kebijakan

Langkah yang dapat disarankan dalam implementasi kebijakan terkait untuk

mengatasi kendala yang ditemukan dilapangan dalam mewujudakan tujuan pemerataan

MDGs seperti yang telah diungkapkan diatas, antara lain :

a. Sosialisasi Kebijakan (Brad Olsen and Dena Sexton, 2009: 15-30)

Adanya pemahaman yang berbeda antara masyarakat dan pemerintah, seperti

dalam contoh pemahaman tentang sekolah gratis menunjukkan lemahnya

komunikasi yang dilakukan terkait dengan kebijakan yang akan dijalankan. Dengan

melihat peluang yang dimiliki , pemerintah seharusnya memaksimalkan komunikasi

kepada masyarakat dalam hal sosialiasasi kebijakan yang dijalankan, mekanisme

komunikasi yang ada pun tidak hanya top-down tetapi juga harus dibuat bottum-up

sehingga dalam tataran praktispun kebijakan dapat dijalankan pada koridor yang

sesuai dengan tujuannya.

Mekanisme komunikasi ini dapat dilakukan dengan memanfaatkan media yang

ada dengan kunci bahwa sosialiasasi kebijakan dilaksanakan secara meluruh dan

Isu Kebijakan

Dialog Publik

Keputusan

Musyawara h

Kebijakan

Publik

Analisis

Kebijakan

Pemerintah

(11)

mengemukakan apa yang dituju dari kebijakan itu sendiri, misalnya dalam contoh

sosialisasi Sekolah gratis, seharusnya tidak hanya kata gratis yang

digembar-gemborkan, tapi gratis biaya operasional saja juga diungkapkan, sehingga hal ini

tidak terlalu melambungkan masyarakat dan menimbulkan kesalahan pemaknaan

dari masyarakat sebagai target sasaran itu sendiri.

Selain itu mekanisme komunikasi juga bisa dijalankan dengan membuat Dewan

Pendidikan dan mengaktifkan kembali fungsi Komite Sekolah sebagai badan yang

mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan

dan efisiensi pengelolan pendidikan di . Dewan pendidikan ini pada dasarnya

merupakan wadah aspirasi dari para konstituen pendidikan , khususnya dalam

menjaga agar kebijakan pendidikan di daerah yang pada awalnya ditujukan untuk

kepentingan pembangunan pendidikan rakyat daerah benar-benar berjalan sesuai

dengan tujuan awal. Posisi dewan pendidikan dan Komisi Sekolah dapat dilihat

dalam gambar berikut :

Mekanisme Komunikasi Kebijakan Pendidikan

b. Meningkatkan Efisiensi Kelembagaan

Mencontoh kebijakan pendidikan Jembrana, yang pada awalnya merupakan

kabupaten termiskin di Provinsi Bali yang selama 5 tahun kemudian sukses

mewujudkan pemerataan pendidikan bermutu bagi rakyatnya, dimana salah satu

kebijakannya yaitu dengan melakukan efisiensi kelembagaan, dengan melakukan

penggabungan antardinas. Saran yang ingin diberikan terkait dengan hal efisiensi

mengenai penggabungan sekolah, hal ini sesuai dengan UU No.23 Tahun 2003

tentang Sisdiknas yang menyebutkan bahwa ”Pengelolaan dana pendidikan

Kebijakan

Pendidikan

)

Dewan

Pendidikan

Konstituen Luas (masyarakat

daerah)

Penyelenggaraan

pendidikan (manajemen

sekolah)

Komite Sekolah Konstituen

(12)

berdasarkan pada pada prinsip keadilan, efisiensi, tranparansi dan akuntabilitas publik.”

Penggabungan sejumlah sekolah yang dirasa tidak efektif, juga untuk mengatasi

persoalan pemerataan pendidikan yang ada, penyebaran sekolah yang terlalu

banyak dikecamatan-kecamatan tertentu dan sekolah yang berjalan tidak efektif

perlu dikaji dan apabila memungkinkan dilakukan penggabungan sekolah,

tujuannya juga untuk mendapatkan dana yang cukup untuk menyelenggarakan pendidikan gratis

Selain itu efisiensi ini juga merupakan salah satu solusi untuk memperluas

pendidikan itu sendiri, dari penggabungan sekolah tersebut dilakukan penataan

sekolah dengan memperhatikan jangkauan sekolah, misalnya untuk SD karena

masyarakat mempertimbangkan jarak sekolah dengan wilayah tempat tinggalnya,

maka penataan juga harus mempertimbangkan hal ini. Kemudian melihat masih

minimnya sekolah khusus bagi anak-anak berkebutuhan khusus, seperti

penyandang cacat fisik maupun mental, penataan sekolah juga harus

mempertimbangkan hal ini(Stephen W. Raudenbush, 2009: 170-174)

Model penataan dengan mengutamakan efisiensi ini pernah dilakukan oleh

Negara bagian Victoria, Australia, pada waktu melakukan reformasi pendidikan.

Karena keterbatasan anggaran, maka menteri pendidikan Victoria melakukan

penggabungan sekolah-sekolah negri bahkan tanpa seijin kabinet.

Efisiensi dengan latar belakang pembenaran dari penggabungan sekolah, secara

keilmuan didukung oleh pemikiran dari Herbert Simon, yang mengemukakan bahwa

alasan dari setiap penyelenggaraan desentralisasi mengacu pada dua alasan yang

sekaligus tujuan, yaitu : efficiency dan adequacy. c. Rehabilitasi Sarana dan Prasarana Pendidikan

Sarana dan prasarana pendidikan merupakan salah satu faktor pendukung guna

pencapaian Wajar Dikdas 9 tahun, setelah dilakukan adanya penataan sekolah maka

langkah yang dapat disarankan adalah melakukan rehabilitasi sekolah-sekolah yang

rusak serta menambah fasilitas-fasilitas pendukung Kegiatan Belajar Mengajar

seperti perpustakaan. Mekanisme cara perbaikan dan mekanisme sekolah dapat

dilakukan dengan menggunakan model alokasi bantuan blok (Block Grant) untuk sekolah yang hal ini telah diterapkan di Kabupaten Jembrana dan terbukti efektif.

(13)

Model Alokasi Bantuan Blok (Block Grant) untuk Sekolah

d. Meningkatkan Kesejahteraan dan Kemampuan Guru

Peningkatan kualitas pendidikan perlu pula memperhatikan aspek tenaga

pendidik yang menjadi faktor kunci dari keberhasilan anak dalam hal akademik dan

pengembangan kemampuannya. Untuk itu hal yang dapat disarankan dalam

peningkatan kualitas dan kemampuan guru adalah juga dengan meningkatkan

kesejahteraan guru. Pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan klasik

dari manajemen sumber daya manusia, yaitu : stick and carrot. Guru merupakan kekuatan utama dalam menggerakkan sekolah, karena merupakan agen pengalih

ilmu kepada peserta didik. Memberikan stick kepada guru akan lebih efektif jika

diimbangi dengan memberikan imbalan yang lebih sebagai carrot-nya. Selain itu perlu pula dilakukan pemberian pelatihan, kursus dan subsidi biaya pendidikan bagi

guru untuk meningkatkan kemampuan dan menambah wawasan yang dimiliki.

e. Strategi dalam Menjangkau Kelompok Tertentu

Pemerataan pendidikan tidak akan mencapai tujuannya jika masih ada

anak-anak yang tidak terjangkau pendidikan, kelompok-kelompok anak-anak-anak-anak tersebut

biasanya berasal dari anak-anak yang memiliki kendala baik akses fisik maupun

keuangan. Dari pengamatan yang dilakukan kelompok-kelompok yang perlu

diperhatikan adalah : anak-anak jalanan, anak-anak dengan cacat fisik maupun

mental, dan anak-anak dari kelompok keluarga miskin (pemulung) dan anak-anak

yang putus sekolah karena rendahnya prestasi akademiknya. Pemkab

Komite

Sekolah

Kepala Desa

BPD SEKOLAH

TIM TEKNIS TIM

BAWASDA

1 2

3

4

(14)

Bagi anak-anak jalanan yang memiliki karakteristik khusus dan berbeda dengan

anak-anak pada umumnya karena kerasnya kehidupan jalanan, ternyata untuk

menjangkau mereka diperlukan adanya pembinaan secara khusus untuk

memberikan pengertian kepada mereka mengenai pentingnya sekolah, pembinaan

dapat dilakukan dengan Dinas lain terkait seperti Dinas Sosial, Pemuda dan

Olahraga, selain itu perlu pula dilakukan pemberdayaan dengan memberikan

pelatihan-pelatihan ketrampilan kepada mereka, mengingat latar belakangnya yang

terbiasa dengan lingkungan terbuka di jalanan, salah satu model sekolah yang dapat

dijangkau untuk mereka adalah sekolah alam (Ian Stronach and Heather Piper,2008:

15-25).

Kepada anak-anak dengan cacat fisik maupun mental, akses kepada sekolah yang

sesuai untuk mereka diperluas dan biaya yang adapun diupayakan agar tidak terlalu

memberatkan masyarakat, karena bagaimanapun mereka tetap merupakan

anak-anak yang menjadi target Wajar Dikdas 9 tahun yang perlu dirangkul dan

dikembalikan ke bangku sekolah dan tidak untuk disingkirkan.

Selanjutnya, bagi anak-anak dengan kondisi keluarganya yang miskin, biasanya

mereka menjadi salah satu tulang punggung keluarga dan harus bekerja daripada

sekolah. Pada anak-anak tersebut upaya untuk menjangkau harus secara

komprehensif, karena faktor kemiskinan keluarganya, maka benar-benar diberikan sekolah gratis bagi mereka termasuk untuk biaya ’living cost’. Hal ini dapat dilakukan dengan pemberian beasiswa kepada anak-anak tersebut. Selain itu

diperlukan pula penyuluhan mengenai pemahaman pentingnya pendidikan bagi

anak-anak. Selain itu diperlukan pula kerjasama dengan berbagai dinas terkait

untuk memberdayakan orangtua dari anak-anak tersebut agar mereka memiliki

pekerjaan dan penghasilan, sehingga anak-anak tidak lagi digunakan sebagai alat

untuk mencari uang (Stephen Machin 2008: 5-19). Laporan pencapaian indikator

MDGs tahun 2008 PBB mengemukakan bahwa MDGs hanya dapat dicapai dengan

komitmen teguh dalam pelaksanaannya untuk mencapai tujuan pembangunan

milennium, The Millennium Development Goals can be achieved if immediate steps are taken to implement existing commitments. Reaching our goals for development around the world is not only vital to building better, healthier and decent lives for millions of people, it is also essential to building enduring global peace and security.

(15)

Referensi

Antonia Kupfer. 2008. Diminished States? National Power in European Education Policy,

British Journal of Educational Studies, Vol. 56, No. 3, pp. 286-303

Brad Olsen and Dena Sexton, 2009, Threat Rigidity, School Reform, and How Teachers View Their Work Inside CurrentEducation Policy Contexts, American Educational Research Journal, Vol. 46, No. 1, pp. 9-44

Daniel L. Sufflebeam, dan Anthony J. Shinkfield.1986. Systematic Evaluation: A Self Instructional guide to Theory and Practice. Boston: Kluwer-nijhoff Publishing

Douglas S. Reeds, 2009, Is There an Expectations Gap? Educational Federalism and the Demographic Distribution ofProficiency Cut Scores, American Educational Research Journal, Vol. 46, No. 3, pp. 718-742

G.F Madaus, M.S.Scriven, & D.L. Stufflebeam (eds). 1985. Evaluation Model: Veiwpoints on educational and human service evaluation. Boston: Kluwer-nijhoff Publishing

Joint Committee.1981. Standards for Evaluation of Educational Programs, Projects, and Materials. New York: McGraw-Hill

Gregory J. Marchant, 2011, BackTalk: Myth-Based Education Policy, The Phi Delta Kappan, Vol. 92, No. 7 , p. 80

Ian Stronach and Heather Piper, 2008, Can Liberal Education Make a Comeback? The Case of "Relational Touch" at Summerhill School, American Educational Research Journal, Vol. 45, No. 1, pp. 6-37

Jeroen Smits and Hyunjoon Park, 2009, Five Decades of Educational Assortative Mating in 10 East Asian Societies, Social Forces, Vol. 88, No. 1, pp. 227-255

Marcus B. Weaver-Hightower, 2008, An Ecology Metaphor for Educational Policy Analysis: A Call to Complexity Educational Researcher. Vol. 37, No. 3, pp. 153-167

Marvin A. Titus, 2009, The Production of Bachelor's Degrees and Financial Aspects of State Higher Education Policy:A Dynamic Analysis, The Journal of Higher Education, Vol. 80, No. 4, pp. 439-468

(16)

Nicola Jones with Bekele Tefera and Tassew Woldehanna, 2008, Childhood Poverty and Evidence-Based Policy Engagement in Ethiopia, Development in Practice, Vol. 18, No. 3, pp. 371-384

Pam Watson, 2009, Regional Themes and Global Means in Supra-National Higher Education Policy, Higher Education, Vol. 58, No. 3, pp. 419-438

Stephen Machin, 2008, The New Economics of Education: Methods, Evidence and Policy, Journal of Population Economics, Vol. 21, No. 1, pp. 1-19

Stephen W.Rudenbush, 2008, Advancing Educational Policy by Advancing Research on Instruction American Educational Research Journal, Vol. 45, No. 1, pp. 206-230

---, 2009, The Brown Legacy and the O'Connor Challenge: Transforming Schools in the Images ofChildren's Potential, Educational Researcher, Vol. 38, No. 3 (Apr., 2009), pp. 169-180

United Nations. 2003. Indikators for Monitoring the Millennium Development Goals. New York : UNDP.

Referensi

Dokumen terkait

Demonstrasi dapat mendorong pelaku utama dan pelaku usaha mencoba sendiri inovasi baru. Penyebab masalah dapat ditunjukkan disertai kemungkinan pemecahannya tanpa

Penyusunan rencana strategis dan Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) kecamatan; b). Pelaksanaan rencana strategis dan dokumen anggaran kecamatan; c). Pengoordinasian

transaksi sudah ter-update. b) Jika ada yang belum ter-update maka praktikan akan mengecek remark transfer pada Electronic Banking, biasannya remark transfer menyertakan: nama

Maka untuk keperluan analisa, manajemen harus tahu benar mengenai data: harga jual per unit, biaya variabel per unit, jumlahnya biaya tetap yang terdiri dari biaya tetap tunai

(4) Pemindahan kendaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan ketempat lain yang tidak mengganggu pengguna jalan dan/atau pengguna jasa parkir lain ke

Berdasarkan hasil pengamatan dan pengolahan data mengenai pengaruh kadar fly ash terhadap flowability dan workability beton segar, kuat tekan dan modulus

Dari kegiatan yang dilakukan oleh mahasiswa KKN PPM Tematik dalam membuat bak sampah, maka hasil yang didapatkan adalah sebuah bak sampah beton yang saat ini

Pengenceran Larutan Standar M1 = Konsentrasi larutan induk (ppm) V1 = Volume larutan induk (ml).. M2 = Konsentrasi larutan yang diencerkan (ppm) V2 = Volume larutan yang