• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Kebijakan Perlindungan Terhadap Produsen Melaui Provenue Gula

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Efektivitas Kebijakan Perlindungan Terhadap Produsen Melaui Provenue Gula"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIFITAS KEBIJAKAN PERLINDUNGAN

TERHADAP PRODUSEN MELALUI PROVENUE GULA

Wayan Sudana1

ABSTRACT

Sugar is the main national staple food, and the respective industry received a lot of government's protection. One of the said protections was price policy for sugar price provenue dedicated for farmers and sugar factory. For the last two decade this policy was not beneficial for sugarcane farmers. The real price provenue received by the farmers doesn't improve the real income of sugarcane farming. Sugar farmer term of trade indicated decreasing purchasing power of sugarcane farmer. In the future, in addition to price and tariff policy, the key instrument to improve farmer income is agricultural technology for enhancing yield and farm efficiency. Key word : sugar industry, price policy, sugarcane farmer income

ABSTRAK

Gula merupakan salah satu bahan pangan pokok dan industri ini mendapatkan banyak perlindungan dari pemerintah. Salah satu bentuk perlindungan yang diberikan adalah melalui kebijakan harga provenue gula bagi petani produsen dan pabrik gula. Selama dua dasa warsa, kebijakan tersebut dirasakan tidak menguntungkan petani produsen. Harga provenue riil yang diterima petani tidak mampu mendorong peningkatan pendapatan riil usahatani tebu. Hasil analisis nilai tukar gula juga menunjukkan hal yang sama. Kebijaksanaan harga provenue tidak dapat meningkatkan daya bell petani. Kedepan, disamping kebijakan harga dan tarif, faktor kunci

peningkatan pendapatan petani adalah teknologi peningkatan produktifitas dan efisiensi usahatani. Kata kunci : industri gula, kebijaksanaan harga, pendapatan petani tebu

PENDAHULUAN

Sejak perang dunia kedua yang kemu-dian dilanjutkan dengan nasionalisasi perusa-haan milik Belanda pada akhir tahun 1950-an, industri gula di Indonesia mengalami kemun-duran balk dalam hal kapasitas produksi maupun efisiensi dan daya saing usaha. Sebagai akibatnya posisi Indonesia telah berubah dari negara eksportir gula utama menjadi importir utama di pasar dunia. Efisiensi produksi sudah sedemikian parah sehingga sebagian pabrik gula terpaksa harus di tutup karena terus menerus mengalami kerugian berkelanjutan (Pangabean, 1995). Secara umum, industri gula nasional hanya dapat bertahan berkat bantuan subsidi dan perlindungan pasar dari pemerintah. Namun sesuai dengan kesepakatan GATT/INTO in-

dustri gula harus sudah mulai di deregulasi secara bertahap, yang berarti segala subsidi dan perlindungan pasar serta pengaturan pemerintah Iainnya harus dihapuskan secara bertahap.

Selama dua dekade terakhir (1983-1999), pemerintah telah mengeluarkan bebe-rapa perlindungan terhadap industri gula di Indonesia melalui kebijakan harga, dengan menetapkan provenue gula sebagai harga yang diterima produsen balk petani maupun pihak pabrik gula. Kebijakan perlindungan terhadap suatu industri, terutama dengan menggunakan instrumen harga, umumnya bias ke arah produsen karena kebijakan yang demikian itu ditujukan untuk melindungi kepen-tingan produsen. (Rusastra et al., 1998). Kebi-jakan tersebut dimaksudkan untuk merang-sang agar petani tetap bersedia menanam tebu, mengingat di lahan sawah tebu mempu-

(2)

nyai kompetitor kuat yaitu padi (Amang et al., 1989). Hasil penelitian Malian dan Syam (1996) menunjukkan bahwa daya saing usahatani tebu di Jawa Timur lebih rendah dibandingkan dengan komoditas kompetitor-nya yaitu padi dan kedelai.

Sejauh mana kebijakan perlindungan terhadap industri gula melalui penetapan harga provenue telah menghasilkan efek akhir yang menguntungkan produsen masih perlu dianalisis. Salah satu cara yang dapat ditem-puh untuk melihat sejauh mana produsen gula diuntungkan dengan kebijakan yang bersifat protektif tersebut, yaitu dengan menganalisis perkembangan provenue riil dan nilai tukar gula yang keduanya merupakan faktor penen-tu pendapatan riil produsen gula. Disamping itu nilai tukar suatu komoditas dapat digunakan sebagai indikator kesejahteraan petani (Simatupang, 1992).

Makalah ini bertujuan untuk menganali-sis efektivitas kebijakan provenue gula selama kurun waktu 1983-1999, serta efeknya terha-dap produsen gula, khususnya terhaterha-dap petani tebu, dan implikasi kedepan yang bisa ditarik dari pengalaman dua dekade tersebut.

PERKEMBANGAN PROVENUE GULA RIIL

Dalam kurun waktu 17 tahun (1983-1999), pemerintah telah melakukan 12 kali penyesuaian harga provenue, dengan tujuan agar unsur insentif ekonomi yang terkandung didalamnya dapat meningkatkan, atau seku-rang-kurangnya mempertahankan produksi gula. Setelah dilakukan dua betas kali penye-suaian, provenue gula nominal meningkat 7,1

kali, yaitu dari Rp 35.000/kuintal pada tahun 1983 menjadi Rp 250.000/kuintal pada tahun 1999. Peningkatan sebagai akibat kebijakan harga provenue tersebut sangat signifikan se-telah krisis ekonomi yang melanda Indonesia, yaitu terjadi lonjakan hampir tiga kali lipat selama tahun 1997-1999 yaitu dari Rp 96.080 per kuintal menjadi Rp 250.000 per kuintal (Tabel 1).

Dampak dari kebijakan provenue terse-but adalah terjadi peningkatan harga gula ditingkat eceran. Seperti dilaporkan oleh Malian (1999), harga eceran gula di Jawa

(Jakarta, Semarang dan Surabaya) naik dua kali lipat, dari rata-rata Rp 1.523 per kg pada tahun 1997 menjadi Rp 3.137 per kg pada kwartal pertama tahun 1999. Sedangkan di luar Jawa (Bandar Lampung, Dili dan Jayapura) dilaporkan terjadi kenaikan harga eceran 2,24 kali lipat, yaitu dari Rp 1.640 per kg pada tahun 1997 menjadi Rp 3.671 per kg pada kwartal pertama tahun 1999.

Untuk mengetahui seberapa jauh kebija-kan provenue gula mempengaruhi keuntungan yang diterima produsen, dalam hal ini petani tebu, dapat ditelusuri melalui provenue gula riil. Provenue gula riil dihitung dengan mela-kukan deflasi terhadap provenue gula nominal, dengan menggunakan deflator Indeks Harga yang dibayar petani (IHB) yang dilaporkan dalam Indikator Ekonomi (Biro Pusat Statistik, 1993, 1999 dan 2001) dengan menggunakan tahun dasar 1983 (1983 = 100). IHB adalah Indeks Harga gabungan dari barang dan jasa yang dibayar petani, baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk biaya produksi dan penambahan barang modal yang dihitung dengan menggunakan metode Laspeyres. Formulasi perhitungan provenue gula riil dengan metode Laspeyres ini, dapat dilihat pada keterangan nomer dua dari Tabel 1. Perkembangan provenue gula nominal, IHB, dan provenue gula riil disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 1.

Provenue gula riil yang disajikan pada Tabel 1, menunjukkan bahwa peningkatan nilainya tidak konsisten sejak Tahun 1983 sebagaimana harga nominalnya. Sebelum terjadinya krisis ekonomi,yaitu sampai tahun 1997, provenue riil yang nilainya diatas tahun dasar (1983) hanya terjadi sebanyak lima kali, yaitu tahun 1994, 1995, 1989, 1990 dan 1992, lainnya dibawah tahun dasar. Menjelang ter-jadinya krisis ekonomi nilainya terus menurun, dan tahun 1997 merupakan titik terendah dari provenue riil yang pernah dicapai, yaitu Rp 27.226 per kuintal, atau menurun 22 persen dari tahun dasar. Pada tahun 1998 dan 1999 terjadi peningkatan menjadi Rp 33.385 per kuintal dan Rp 34.495, namun nilainya masih lebih rendah dari tahun dasar.

Berdasarkan kenyataan di atas terlihat kebijakan perlindungan terhadap industri gula bias ke arah produsen, yaitu menguntungkan produsen. Apabila dilihat dari perkembangan

(3)

Tabel 1. Harga Nominal, Indek Harga yang Dibayar Petani dan Harga Prevenue Gula Riil di Jawa 1983-1999. (1983 = 100)

Tahun

Provenue gula nominal

(Rp/Ku) IHB 1) ( % ) 1) Provenue gula riil (Rp/Ku) 1983 35.000 100,00 35.000 1984 40.000 110,13 36.321 1985 42.500 112,03 37.936 1986 42.500 122,65 34.651 1987 46.750 137,40 34.029 1988 51.425 153,88 33.419 1989 60.000 166,65 36.004 1990 65.000 181,08 35.896 1991 70.800 203,28 34.289 1992 79.200 218,23 36.292 1993 79.200 233,58 33.907 1994 79.200 256,66 30.858 1995 91.080 294,08 30.971 1996 91.080 324,80 28.042 1997 96.080 352,90 27.226 1998 210.000 629,02 33.385 1999 250.000 724,75 34.495

1. Bersumber dari Indikator Ekonomi (Biro Pusat Statistik 1993, 1999 dan (2001)

2. Harga provenue riil adalah harga provenue nominal dideflasi dengan IHB (1983 = 100) dengan rumus ; PRt = 100/IHB x PNt. Dimana PRt adalah provenue gula riil pada tahun t ; IHBt adalah IHB pada tahun t, dan PNt adalah provenue gula nominal P ada tahun t.

No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Keterangan :

Gambar 1. Perkembangan Provenue Gula Riil Tahun 1983-1999 provenue gula riil selama kurun waktu

1983-1999, asumsi di atas tidak selalu benar. Per-nyataan ini didukung oleh hasil penelitian Rusastra et.aL (1999), yang menunjukkan bahwa gula mendapat lebih banyak proteksi harga dibandingkan komoditas beras, sehing-ga secara keseluruhan lebih menguntungkan

konsumen dibandingkan terhadap petani tebu sebagai produsen.

Dengan demikian kebijakan provenue gula tidak selalu berdampak positif terhadap pendapatan riil petani tebu, dan selama 17 ta-hun kebijakan harga yang dilakukan pemerin-tah hanya 5 kali provenue gula rill nilainya di

(4)

atas tahun dasar. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 2. Selama 5 tahun terjadi kenaikan, kurang dari 10 persen diatas tahun dasar. Hal ini membuktikan bahwa kebijakan harga tersebut tidak selalu menguntungkan produsen dalam hal ini petani tebu. Kenyataan ini didukung oleh hasil penelitian Susmiadi (1994), dimana berdasar perkembangan pro-venue gula riil dan nilai tukar gula periode tahun 1983 - 1993 tidak banyak membantu petani tebu untuk mendapatkan pendapatan riil yang lebih tinggi dari usahatani tebu mereka.

PERBANDINGAN PROVENUE GULA DAN HARGA DASAR GABAH

Pada dasarnya pendapatan atau SHU (sisa hasil usaha) petani, ditentukan oleh produksi hablur yang dicapai, kondisi harga gula serta besarnya pengeluaran biaya pro-duksi. Selama lebih dari dua dasawarsa harga gula ditetapkan pemerintah melalui pemasaran yang di monopoli oleh BULOG. Walaupun hampir setiap tahun terjadi kenaikan harga provenue gula, namun lambat laun usahatani tebu semakin kurang diminati petani. Hal itu

disebabkan oleh laju peningkatan harga dasar gula masih lebih rendah dibandingkan dengan laju peningkatan biaya produksi maupun pe-ningkatan harga dasar gabah sebagai komodi-tas pesaingnya di lahan sawah.

Agar pendapatan usahatani tebu lebih kompetitif, Pemerintah mengeluarkan kebija-kan dengan mempertahankebija-kan ratio harga gula terhadap harga dasar gabah pada kisaran 2,4. Menurut Susmiadi (1994), pendekatan kebija-kan pemerintah ini agak bersifat tradisional, karena menggunakan patokan harga dasar gabah yang notabene ditetapkan oleh peme-rintah juga. Dengan berpatokan pada keteta-pan harga dasar gabah, jelas harga provenue gula rill mengalami perubahan karena harga dasar gabah bukan satu-satunya faktor penen-tu tingkat inflasi. Karena kedua komoditas tersebut merupakan komoditas stategis yaitu sebagai makanan pokok (Sawit, 1999) dan Simatupang (1999), dimana dikatakan, dalam kontek global gula dapat dikatakan lebih strataegis dari beras atau terigu, karena beras dan terigu dibeberapa negara bukan

merupa-kan mamerupa-kanan pokok, sedangmerupa-kan gula sebalik-nya. Dengan demikian kebijakan tersebut samping bersifat tradisional juga sangat di-lematis.

Tabel 2. Perbandingan Harga Provenue Gula dan Harga Dasar Gabah 1983-1999

No Tahun

Harga provenue gula (Rp/Ku)

Harga dasar gabah Rp/Ku

Perbandingan harga provenue dan harga

dasar gabah 1. 1983 35.000 14.500 2,40 2. 1984 40.000 16.500 2,42 3. 1985 42.500 17.500 2,43 4. 1986 42.500 17.500 2,43 5. 1987 46.750 19.000 2,46 6. 1988 51.425 21.000 2,45 7. 1989 60.000 25.000 2,40 8. 1990 65.000 27.000 2,41 9. 1991 70.800 29.500 2,40 10. 1992 79.200 33.000 2,40 11. 1993 79.200 34.000 2,33 12. 1994 79.200 36.000 2,20 13. 1995 91.080 40.000 2,18 14. 1996 91.080 45.000 2,02 15. 1997 93.580 52.500 1,78 16. 1998 161.261 94.000 1,74 17. 1999 250.000 140.000 1,79

Sumber : Dewan Gula dan Bulog (1999).

(5)

Gambar 2. Perbandingan Harga Provenue dan Harga Dasar Gula Tahun 1983-1999 Tabel 2 menunjukkan bahwa provenue

gula yang nilainya sekitar 2,4 dari harga dasar gabah hanya bertahan selama kurun waktu 10 tahun (1983-1992). Setelah 1992 angka per-bandingan tersebut tidak dapat dipertahankan lagi, dan mulai tahun 1993 perbandingan provenue gula terus merosot sehingga sejak 1997 (resesi ekonomi melanda Indonesia) nilai tersebut hanya berkisar 1,7. Gambaran ten-tang perkembangan perbandingan harga da-sar gabah dan provenue gula dapat dilihat pada Gambar 2.

Pada era globalisasi perdagangan saat ini kebijakan di atas sulit dipertahankan, sejak adanya kesepakatan GATT/WTO, industri gula harus sudah mulai di deregulasi secara ber-tahap, yang berarti segala subsidi dan perlin-dungan pasar serta pengaturan pemerintah lainnya harus dihapuskan secara bertahap (Ruhnayat, 1994). Dengan provenue Rp 250.000 per kuintal (1,79 dari harga dasar gabah) serta dengan pemberlakuan tarif se-besar 25 persen usahatani tebu disawah tidak kompetitif terhadap usahatani padi. Agar ting-kat keuntungan usahatani tebu dapat bersaing dengan usahatani padi di lahan sawah, maka produktivitas usahatani tebu harus mencapai tingkat produktivitas potensial yaitu sebesar 5,1 ton gula/ha (Sudana et a/. 2000). Rata-rata produksi gula di Jawa yang dicapai saat ini di lahan sawah adalah 3116 kg/ha, sedangkan potensi hasil gula yang dapat dicapai baik yang ditunjukkan oleh hasil-hasil penelitian dari lembaga penelitian maupun dari hasil

yang pernah dicapai oleh beberapa petani, potensi hasil di lahan sawah di Jawa dapat mencapai 5,1 ton gula per hektar (Dinas Hutbun Jatim, 1999).

Rendahnya rata-rata produksi petani saat ini disinyalir dapat disebabkan oleh bebe-rapa hal diantaranya : (1) Sistem kelembagaan industri pergulaan yang berubah-ubah (Adisas-minto, 1998), (2) Sejak 10 tahun terakhir tidak ada terobosan teknologi yang berarti (Soen-toro, 1999), hal ini mengakibatkan rendemen menjadi merosot. Pada tahun 1965 rendemen bisa mencapai 10,52 persen, sedangkan pada tahun 1999 tinggal hanya 5,4 persen saja (Anonymous, 1999), (3) Perkembangan inova-si teknologi baru di sektor pertanian khususnya tanaman pangan (padi dan palawija) seperti penemuan bibit unggul, pemupukan, penyedia-an fasilitas perkreditpenyedia-an dll, mengakibatkpenyedia-an produktifitas tanaman pangan menjadi me-ningkat, hal ini mengakibatkan nilai sewa lahan (Land Rent) menjadi meningkat. Kondisi ini mengakibatkan penyediaan lahan untuk tana-man tebu menjadi semakin sulit, dan banyak usahatani tebu beralih dari lahan sawah beririgasi ke lahan sawah tadah hujan maupun ke lahan kering yang produktifitas lahannya lebih rendah, (4) Perubahan mendasar dari industri pergulaan nasional yaitu terjadinya pemisahan sub sistem produksi bahan baku dengan pengolahan, pengusahaan tebu dari skala besar ke skala kecil (petani), banyaknya lembaga yang terlibat mengakibatkan efisiensi industri pergulaan menjadi semakin rendah

(6)

(Soentoro, 1999). Hal ini diakibatkan dari dam-pak kebijakan TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi). Walaupun sekarang kebijakan tersebut telah dicabut, namun dampaknya tetap masih dirasakan.

Untuk meningkatkan kinerja industri per-gulaan, khususnya di Jawa, diperlukan terobo-san teknologi seperti varietas unggul, pemupu-kan sistem keprasan yang produktif, dan efisiensi di tingkat pengolahan (PG). Lebih-lebih dalam era globalisasi ifeisiensi akan memegang peranan penting. Disamping itu liberalisasi perdagangan menciptakan hubu-ngan langsung antara harga gula domestik dengan nilai tukar rupiah. Sebagai contoh akibat nilai tukar rupiah mengalami depresiasi sampai 300 persen sejak Juli 1997, menga-kibatkan selama periode tersebut penurunan nilai tukar rupiah mampu mendongkrak harga paritas impor gula walaupun harga gula di pasar dunia menurun tajam. Hal ini dapat dilihat dari harga eceran gula domestik, yang terjadi di pasar domestik pada bulan Oktober 1998 berkisar antara Rp 3.358 hingga Rp 4.333 per kg (Bulog, 1999), yaitu hampir dua kali lipat dari harga provenue saat itu.

Dengan rejim nilai tukar uang (kurs) fleksibel, seperti yang dianut Indonesia saat ini, fluktuasi nilai kurs rupiah akan berpe-ngaruh langsung terhadap harga gula domes-tik. Apabila nilai rupiah terhadap US$ menurun (meningkat), maka harga gula domestik akan meningkat (menurun). Apabila kurs rupiah fluktuatif maka harga gula domestik akan fluk-tuatif pula, yang berarti risiko usaha perdaga-ngan gula akan meningkat. Sehingga kebija-kan mempertahankebija-kan ratio harga provenue gula terhadap harga dasar gabah pada kisaran 2,4 tidak lagi relevan di era globalisasi.

PERKEMBANGAN INDEK HARGA YANG DITERIMA PETANI (IHT), INDEK HARGA

YANG DIBAYAR PETANI (IHB) DAN NILAI TUKAR GULA (NT)

Perkembangan provenue nil yang diurai-kan diatas menggambardiurai-kan bagaimana per-kembangan penerimaan rill per unit gula yang merupakan salah satu faktor penentu penda-patan nil petani tebu selama 17 tahun terakhir (1983-1999). Berdasarkan atas azas manfaat yang diterima petani tebu sebagai akibat kebi-

jakan perlindungan industri gula, perkemba-ngan provenue nil diatas belum dapat meng-gambarkan secara baik. Azas manfaat dari suatu kebijakan akan tampak lebih jelas jika perubahan penerimaan nil per unit gula dilihat secara relatif terhadap perubahan harga-harga barang dan jasa yang diperlukan petani. Salah satu indikator yang biasa dipakai untuk meng-gambarkan azas manfaat yang dimaksud ada-lah konsep nilai tukar (NT), NT ini merupakan salah satu indikator ekonomi yang banyak dipakai ahli ekonomi pertanian (Scandizza dan Diahoswas 1987, Simatupang 1992).

Nilai tukar didefinisikan sebagai rasio antara Indek Harga yang Diterima (IHT) dan Indeks Harga yang Dibayar (IHB) yang dinya-takan dalam persen. Nilai tukar suatu komodi-tas pertanian merefleksikan pendapatan nil atau daya bell petani. Karena makna dari nilai tukar dapat merefleksikan daya bell petani, seringkali NT ini digunakan sebagai indikator kesejahteraan petani.

Tabel 3 dan Gambar 3, menunjukkan perkembangan nilai tukar gula di Jawa selama kurun waktu 1983-1999. Dilihat dari nilai tukar yang ditampilkan oleh Tabel 3 terlihat bahwa selama kurun waktu tersebut nilai tukar gula yang nilainya diatas tahun dasar (1983 = 100) terjadi hanya sebanyak enam kali, yaitu pada tahun 1984, 1985, 1989, 1990, 1992 dan 1999, dengan perbedaan berkisar antara 2,55 hingga 15,10 persen saja. Sedangkan sisanya nilai tukar gula umumnya lebih rendah dari pada tahun 1983 dengan perbedaan antara 1,0 hingga 22,21 persen.

Berdasarkan kenyataan di atas, secara umum dapat dikatakan bahwa selama 10 tahun terakhir (1983-1992), pendapatan nil petani tebu relatif stabil. Hal ini ditunjukkan oleh nilai tukar gula yang tidak menunjukkan perubahan cukup besar, sebagaimana terlihat pada Gambar 3. Sehingga kebijakan provenue gula pada saat itu praktis hanya cukup untuk mengimbangi tingkat harga barang dan jasa yang mereka perlukan. Selanjutnya selama tahun 1993 sampai 1998 dimana Indonesia dilanda oleh resesi ekonomi, penurunan nilai tukar gula terlihat cukup signifikan dengan perbedaan berkisar antara 11,83 hingga 22,21 persen. Hanya pada tahun 1999, kesejahtera-an petkesejahtera-ani gula mengalami peningkatkesejahtera-an, hal ini ditunjukkan oleh nilai tukar gula di atas tahun dasar (115,10).

(7)

120.00 -

110.00 H

100.00

90.00

80.00

70.00

60.00

1983 1984 1985 1986 1987 1988 1989 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 Tabel 3 . Perkembangan IHT, IHB dan Nilai Tukar Gula di Jawa 1983 —1998 (1983 = 100)

No Tahun IHT') IHB 1J Nilai Tukar')

1. 1983 100 100 100 2. 1984 114,29 110,13 103,77 3. 1985 121,43 112,03 108,39 4. 1986 121,43 122,65 99,00 5. 1987 133,57 137,40 97,21 6. 1988 146,93 153,88 95,48 7. 1989 171,43 166,65 102,87 8. 1990 185,71 181,08 102,55 9. 1991 202,29 203,28 99,51 10. 1992 226,29 218,23 103,69 11. 1993 226,29 233,58 96,88 12. 1994 226,29 256,66 88,17 13. 1995 260,23 294,08 88,49 14. 1996 260,23 324,80 80,32 15. 1997 274,51 352,90 77,79 16. 1998 600,0 629,02 95,39 17. 1999 830,7 724,75 115,10

Keterangan 1) Dihitung berdasarkan perkembagan provenue gula dengan menggunakan metode Laspeyres

2) Bersumber dari Indikator Ekonomi (BPS. 1993, 2001)

3) Merupakan ratio antara IHT dengan IHB dinyatakan dalam persen.

Gambar 3. Nilai Tukar Gula Tahun 1983-1999 Berdasarkan perkembangan nilai tukar

gula diatas, jelas terlihat bahwa kebijakan penyesuaian harga provenue selama kurun waktu 17 tahun terakhir ternyata tidak selalu membantu petani tebu untuk memperoleh pendapatan riil lebih tinggi dari usahatani tebu mereka. Oleh sebab itu tingkat kesejahteraan petani tebu selama kurun waktu 17 tahun terakhir tidak mengalami peningkatan. Sehing-ga tidak heran selama 10 tahun terakhir ini

sering terjadi desakan pihak produsen tebu (petani maupun pihak pabrik gula) kepada pemerintah untuk lebih berpihak kepada mereka.

Walaupun pada Tahun 1998 telah terjadi kenaikan harga eceran diatas Rp 3000/kg (Malian, 1999), hal ini lebih disebabkan oleh kekurangan stock digudang Bulog dimana pada akhir Mei 1998 stock hanya mencapai

(8)

425.000 ton (Tabor et. al., 1998). Disamping itu kenaikan harga ini juga disebabkan oleh depresiasi nilai tukar rupiah yang mencapai lebih dari 300 persen. Namun demikian ke-naikan harga eceran yang tinggi tersebut tidak dapat dinikmati oleh petani produsen, karena bagian gula sebesar 90 persen yang diterima petani dari pihak PG diberikan dalam bentuk uang tunai, dengan harga sesuai dengan harga provenue yang telah ditetapkan waktu itu sebesar Rp 161.261 per kuintal. Disisi lain petani terbebani oleh kenaikan harga barang konsumsi maupun modal, yang mengakibat-kan nilai tukar gula hanya 95,39 persen yaitu dibawah tahun dasar (1983 — 100). Pada tahun 1999 kondisinya sedikit lebih balk , hal ini ditunjukkan oleh nilai tukar gula diatas tahun dasar.

ALTERNATIF KEBIJAKAN KEDEPAN Perimbangan dan Kendala Penetapan Harga

Masalah penetapan harga gula selalu mengandung benturan kepentingan karena adanya berbagai pihak yang akan menerima keuntungan dan di lain pihak harus memikul beban akibat dari kebijakan tersebut. Secara historis, sejarah penetapan harga gula dituju-kan untuk melindungi produsen, akibat dari kebijakan tersebut konsumen menjadi penang-gung terakhir misalnya terjadinya kenaikan harga eceran di tingkat konsumen. Tujuan penetapan harga adalah untuk memberikan perangsang berproduksi bagi produsen serta dorongan tersebut tidak menimbulkan distorsi bagi perekonomian nasional. Menurut Sutrisno (1992), ada tiga perimbangan harga yang per-lu diperhatikan yaitu :

Perimbangan antara Harga Masukan dan Keluaran

Penetapan harga yang benar-benar da-pat merangsang produksi harus memperhati-kan rasio antara masumemperhati-kan seperti pupuk, tenaga kerja, dan masukan utama dengan harga hasil produksi. Perimbangan harga yang baik akan mampu membawa peningkatan produksi dengan alokasi masukan yang efi-sien, sebaliknya bisa mengakibatkan kerugian akibat ketidak tepatan penggunaan masukan.

Perimbangan antara Harga Gula dengan Harga Produk Pertanian Lainnya

Harga gula yang ditetapkan harus cukup merangsang petani untuk memilih menanam tebu dibanding kan tanaman lain seperti padi maupun palawija. Oleh sebab itu pernah ada kebijakan untuk mempertahankan perimbang-an harga beras dengperimbang-an harga gula pada ki-saran tertentu.

Perimbangan Harga di Dalam Negeri dengan Harga Pasar internasional

Perimbangan ini akan menjamin bahwa produksi gula di dalam negeri dapat dilakukan secara kompetitif, sehingga tidak menimbulkan distrosi ekonomi.

Ketiga perimbangan tersebut harus sela-lu diperhatikan dalam suatu penetapan kebija-kan harga dasar bagi suatu komoditas per-tanian. Tanpa memperhatikan ketiganya dapat menimbulkan masalah dikemudian hari. Akibat kebijaksanaan harga gula yang cendrung me-lindungi petani akan menimbulkan beban bagi perekonomian. Sehingga dalam menetapkan kebijakan harga harus dilihat dalam konteks makro bukan komoditas tertentu saja. Disam-ping itu dengan berlakunya UU No. 12 tahun 1992, tentang budidaya tanaman, kebijakan tersebut harus memperhatikan aspek peman-faatan lahan untuk tujuan lain yang secara nyata dapat dilaksanakan petani.

Lebih lanjut Sutrisno (1992) menunjuk-kan beberapa kendala yang perlu diperhatimenunjuk-kan dalam mengimplementasikan ketiga perimba-ngan diatas didalam menentukan kebijakan harga antara lain :

Pertama, harga internasional tidak selalu mencerminkan biaya produksi yang sebenar-nya, sehingga sangat sulit untuk berpegang pada harga internasional. Namun demikian pasar internasional merupakan sumber penye-dia gula, sehingga keputusan yang rasional harus melihat harga yang terjadi di pasar internasional. Tanpa memperhatikan pasar internasional akan dapat merangsang berba-gai bentuk perdagangan ilegal. Oleh sebab itu harga internasional harus menjadi salah satu pedoman, khususnya dalam jangka panjang.

Kedua, gula pasir adalah bahan pema-nis yang pada saat ini memiliki cukup banyak

(9)

pengganti dengan fleksibilitas tinggi, baik yang alami maupun sintesis. Sehingga hilangnya gula dipasaran mungkin tidak menjadi masalah besar, kehadiran pemanis buatan ini dapat juga menimbulkan kejenuhan pasar.

Ketiga, faktor penting lain yang menja-dikan rasio harga gula/gabah tidak lagi tepat atau efektif bagi petani adalah dengan adanya alternatif tanaman lain yang lebih mengun-tungkan dan dengan likuiditas tinggi. Permin-taan hasil pertanian non beras seperti jagung, kedelai, sayur mayur sedang meningkat pesat sehingga tingkat persaingan tanaman tebu menjadi semakin pesat.

Antisipasi Pemecahan

Di dalam penetapan kebijakan perlu ko-mitmen dari berbagai pihak agar selalu terjadi keseimbangan kepentingan antara produsen dan konsumen serta antara produksi gula dan produksi tanaman lainnya, sehingga pening-katan produksi pertanian dalam anti luas serta peningkatan kinerja PG di Jawa dapat tercapai secara optimal.

Upaya agar usahatani tebu di Jawa da-pat bersaing dengan komoditas padi, meme-rlukan dukungan teknologi budidaya tebu serta dukungan sumberdaya manusia dan sarana pendukung lainnya. Tujuan akhir dari usaha-tani tebu adalah dapat meningkatkan produksi gula per hektar dari rata-rata aktual yang dicapai saat ini (3,1 ton) mendekati produksi potensial (5,1 ton) serta peningkatan efisiensi penyediaan bahan baku hingga ke pengolahan hasil (PG).

Di dalam menentukan harga provenue gula, semestinya ditentukan bersama oleh Menteri terkait minimal Menkeu, Memperindag, dan Menhutbun, lebih-lebih dalam era librali-sasi perdagangan gula, harga gula domestik sangat dipengaruhi oleh harga varietas gula di tingkat pabrik. Agar penetapan provenue gula efektif dalam menjaga kredibilitas dan sekali-gus meningkatkan pendapatan petani tebu, maka tarif pajak minimum atas impor gula ditetapkan minimal 40 persen. Karena sesuai kesepakatan GATT/WTO tahun 2000 pagu ko-mitmen ekivalen tarif impor adalah 95 persen, yang berarti pemerintah Indonesia dapat menerapkan peraturan tarif impor gula hingga maksimum 95 persen tanpa melanggar kese-pakatan GATT/WTO.

PENUTUP

Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa kebijaksanaan harga gula yang ditetapkan pemerintah selama 17 tahun terakhir tidak selalu berpihak kepada produsen, dalam hal ini petani tebu. Hal itu terlihat walaupun secara nominal provenue gula setiap tahun menga-lami penyesuaian dan selalu meningkat dari tahun ke tahun, namun provenue gula riil yang diterima petani tidak banyak membantu petani tebu untuk memperoleh pendapatan riil yang lebih tinggi dari usahatani tebu mereka. Kebi-jaksanaan harga gula masih lebih menitik beratkan pada pengendalian harga gula diting-kat konsumen dari pada peningditing-katan penda-patan petani tebu. Dengan demikian hal ini jelas tidak kondusif bagi upaya peningkatan pendapatan petani tebu maupun produksi gula dalam negeri.

Kebijakan untuk mempertahankan kisa-ran harga provenue gula pada nilai 2,4 dari harga dasar gabah, disamping bersifat tradi-sional karena sama-sama ditetapkan oleh pemerintah, sehingga sangat dilematis bagi pemerintah akan berpihak kepada siapa (petani tebu atau petani padi). Disamping itu dengan berpatokan pada ketetapan harga dasar gabah, jelas harga provenue gula riil mengalami perubahan karena harga dasar gabah bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan tingkat inflasi. Lebih-lebih pada era globalisasi kebijakan ini tidak relevan lagi, karena disamping faktor internal, faktor ekster-nal turut menentukan terjadinya harga (kurs rupiah maupun kesepakatan tarif).

Bila dilihat secara lebih komprehesif de-ngan melihat secara relatif terhadap peruba-han harga-harga barang dan jasa yang diperlukan petani, yaitu melalui pendekatan nilai tukar gula, perkembangan nilai tukar gula selama kurun waktu 17 tahun terakhir juga tidak memberikan manfaat yang berarti bagi petani tebu. Hal ini ditunjukkan oleh daya beli petani tebu, tidak banyak berubah, pada kurun waktu terebut daya bell petani tebu dapat dikatakan stagnan bahkan menurun. Minya kebijakan harga provenue tersebut hanya cukup untuk mengimbangi tingkat kenaikan harga barang dan jasa yang mereka perlukan, bukan meningkatkan pendapatan riil dari setiap unit gula yang dihasilkan petani tebu.

(10)

Dimasa datang pada era perdagangan bebas, rangsangan produksi dan permintaan sepenuhnya tergantung dari signal harga pa-sar dari suatu sistem papa-sar bebas. Dalam sistem pasar bebas, kepentingan produsen dan konsumen tidak lagi diproteksi. Sehingga pilihan bagi produsen adalah efisiensi agar dapat bersaing dengan gula impor balk untuk pasar domestik maupun international. Untuk mengembalikan kemasa jaya pergulaan Indo-nesia, maka diperlukan komitmen pemerintah untuk menata sistem pergulaan dari hulu hingga hilir serta untuk meningkatkan efisiensi balk ditingkat petani tebu maupun pihak pabrik gula solusinya adalah melalui terobosan tek-nologi.

DAFTAR PUSTAKA

Adi Sasmito, K. 1998. Sistem Kelembagan sebagai Salah Satu Sumber Pokok Permasalahan Program TRI: Suatu Tinjauan Restros-peksi, Buletin, No. 148. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, Pasuruan Amang, B., Sapuan dan U.Wiradisastra. 1989.

Pemasaran dan Mekanisme Penetapan Harga Gula Pasir di Indonesia, dalam Prosiding Seminar Budidaya Tebu Lahan Kering, Pasuruan, 23-25 Nopember 1988. Pusat Penelitian Per-kebunan Gula Indonesia (P3GI), Pasuruan.

Anonymous. 1999. Tinjauan Perkembangan Industri Gula Tebu Nasional dan Kebijakannya. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. Sek-retariat Dewan Gula Indonesia. Direk-torat Jenderal Per-kebunan, Jakarta.

Anonim, 1993. Indikator Ekonomi (Nopember 1993). Biro Pusat Statistik, Jakarta.

Anonim, 1999. Indikator Ekonomi (Juni 1999). Biro Pusat Statistik, Jakarta.

Anonim, 2001. Indikator Ekonomi (Oktober 2001). Biro Pusat Statistik, Jakarta.

Bulog. 1999. Laporan Kepala Bulog pada Raker Bidang Ekuin, April 1999, Bulog Jakarta Dewan Gula Indonesia. 1999. Laporan Bulan

Pebruari 1999. Sekretariat Dewan Gula Indonesia, Jakarta.

Dinas Perkebunan dan Kehutan Provinsi Jawa Timur 1999. Evaluasi Pelaksanaan Prog-ram Tebu Rakyat di Jawa Timur (1994-

1998). Tim Pembina Kemitraan Tebu Rakyat di Jawa Timur, Surabaya 1999. Malian, A.H. dan A. Syam. 1966. Daya Saing

Usahatani Tebu di Jawa Timur, dalam Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 14 no. 1. Juli 1996. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Malian, A.H. 1999. Analisis Komparatif Kebijakan Harga Provenue dan Tarif Impor Gula, Dalam Jurnal Agro Eko-nomi. Vol. 18 no. 1. Mei 1999. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Noer Sutrisno. 1992. Beberapa Masalah Sekitar Kebijaksanaan Harga Gula di Indonesia Gula Indonesia Vo. XVII/4 Thn 1992. Panggabean,M.P.H. 1995. Quo Vadis Industri Gula

di Jawa. Makalah Seminar Pergulaan Nasional dalam Rangka Menghadapi Perdagangan Bebas, Jakarta 23 Januari 1995.

Ruhnayat,R. dan Suryana, A. 1994. Arti Kesepa-katan Putaran Uruguay bagi Pergulaan Indonesia, Gula Indonesia, XIX (3). Rusastra, I. W., A. Supanto, dan A.A.N. Amsari

(1998). Keunggulan Komparatif, Struktur Proteksi, dan Perdagangan Internasional Gula Indonesia. Ekonomi Gula di Indonesia (Ed. M.Husein Sawit, et.al., 1998). IPB Press, Bogor.

Rusastra, I.W., Rohayati S., and M. lqbal (1999). The Anticipative Sugar Development Strategi Facing Economic Crisis and Competitive Market. Paper Presented at "International Seminar on Agricultural Sector During The Turbulence of. Economic Crisis Lesson and Future Derection", held by CASER, 17-18 February, Bogor. Scandizzo, P.I.,and Dia, Koswas. 1987. Instability in

Arm of Trade of Primary Commodities 1980 - 1982. FAO. Economic and Social Development Paper No. 64.

Simatupang, P. 1992. Pertumbuhan Ekonomi dan Nilai Tukar Barter Sektor Pertanian, Jurnal Agro Ekonomi, 1 (11). Pusat Penelitian So-sial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Soentoro, 1999. Usahatani Tebu dan Tebu Rakyat Intensifikasi di Jawa dalam Sawit, M. Husein, 1999. Ekonomi Gula di Indonesia. IPB Bogor.

Susmiadi, Ali. Perkembangan Provenue Gula Riil dan Nilai Tukar Gula, Gula Indonesia Vol. XIX/2 Juni 1994.

(11)

Sawit,M.Husein.1994.Ekonomi Gula di Indonesia Sebuah Pengantar, dalam Sawit M. Husein dkk. Penyunting Ekonomi Gula di Indonesia, IPB.1999.

Simatupang,P., Anas Rachman, Lely Pelitasari. 1999. Gula dalam Kebijaksanaan Pangan Nasional. Analisis Historis, dalam Sawit, M. Husein dkk, Penyunting, Ekonomi Gula di Indonesia, IPB. 1999.

Sudana, W., Simatupang,P., Eriyanto, S. Muslim., dan Soelistyo, T. 2000. Dampak Diregulasi Industri Gula Terhadap Realokasi Sumber-daya, Produksi Pa-ngan dan Pendapatan Petani, Laporan Hasil Penelitian, PSE, Bogor.

Tabor,S.R., H.S. Dillon and M.H. Sawit. 1998. Food Security on the Road to Economi Re-covery. Paper Presented at the Indonesian Society of Agriculture Economics (PERHEPI) and Center for Agricultural Policy Studies (CAPS) Meeting, June 26, 1998.

Gambar

Gambar 1. Perkembangan Provenue Gula Riil Tahun 1983-1999  provenue gula riil selama kurun waktu
Tabel 2. Perbandingan Harga Provenue Gula dan Harga Dasar Gabah 1983-1999
Gambar 2. Perbandingan Harga Provenue dan Harga Dasar Gula Tahun 1983-1999  Tabel 2 menunjukkan bahwa provenue
Gambar 3. Nilai Tukar Gula Tahun 1983-1999  Berdasarkan perkembangan nilai tukar

Referensi

Dokumen terkait

Padahal biji alpukat memiliki persentase antioksidan yang tinggi sehingga dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sumber antioksidan alami dan mengandung pati yang

Artikel ini menggunakan Jaringan syaraf bobot tiga (JSBT) dengan sudut pandang pendekatan Pengenalan Pola Biomimetik (PPB) dan ekstrasi ciri Zernike aspect moment invariants

Dalam ruang R3 kedua bidang datum dan proyeksi tersebut dapat dianggap sebagai suatu luasan permukaan, sehingga dalam bentuk fungsi vektor juga dapat dituliskan sebagai fungsi dari

Adapun beberapa motif sebab terjadinya perceraian pada keluarga TKI di Tulungagung yakni karena faktor ekonomi, yang tidak amanah dalam menggunakan uang kiriman, tidak

Pengujian validitas dilakukan terhadap kuesioner yang digunakan untuk mengukur variabel kecerdasan emosional dan kescerdasan spiritual terhadap pemahaman

Secara umum hasil tersebut sangat baik, yaitu dengan menerapkan asimilasi data pada model yang akan diperbaiki dapat mengurangi rms error secara signifikan

Hasil temuan di tujuh negara yang dikaji di dalam studi ini—Kanada, China, Jerman, India, Indonesia, Singapura dan Thailand—menunjukkan bahwa sektor TIK dan

4.3 Penyelesaian Persamaan Linier Simultan dengan Eliminasi Gauss Metoda eliminasi Gauss mempergunakan operasi baris elementer untuk menghapuskan semua elemen-elemen