• Tidak ada hasil yang ditemukan

Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Anak Rawat Inap di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura Periode Januari-Juni 2018

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Anak Rawat Inap di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura Periode Januari-Juni 2018"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 Evaluasi Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Anak Rawat Inap di Rumah

Sakit Universitas Tanjungpura Periode Januari-Juni 2018

Evaluation of Antibiotic Rationality for Pediatric Inpatient at Hospital of Tanjungpura University Period January – June 2018

Angelica Inez, Nurmainah, Ressi Susanti

Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran Universtas Tanjungpura

Jl. Profesor Dokter H. Hadari Nawawi, Bansir Laut, Pontianak Tenggara, Kota Pontianak, Kalimantan Barat 78115, Indonesia

Korespodensi: Nurmainah, Program Studi Farmasi, Fakultas Kedokteran, Universitas Tanjunpura, Pontianak, Indonesia, email: nurmainah@pharm.untan.ac.id

ABSTRAK

Antibiotika merupakan golongan obat yang banyak diresepkan pada pasien anak. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional dapat menyebabkan resistensi. Penelitian ini bertujuan mengevaluasi penggunaan antibiotik menggunakan metode DDD (Definied Daily Dose) dan metode Gyssens. Penelitian ini merupakan penelitian observasional dengan rancangan potong lintang (cross sectional) bersifat deskriptif. Pengumpulan data dilakukan secara retrospektif berdasarkan data rekam medis pasien anak rawat inap di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura periode Januari-Juni 2018. Sampel yang diperoleh sebanyak sebanyak 63 pasien. Hasil penelitan menunjukkan bahwa golongan antibiotik terbanyak adalah sefalosporin generasi ketiga (78,40%). Berdasarkan metode DDD, nilai DDD tertinggi pada seftriakson sebesar 27,18 DDD/100 pasien-hari dan merupakan antibiotika yang paling sering diresepkan (48,86%). Disisi lain berdasarkan metode Gyssens, ditemukan penggunaan antibiotik yang tidak rasional. Jenis ketidakrasional tertinggi pada ketegori V (82,53%). Berdasarkan metode DDD dan metode Gyssens, terdapat ketidaktepatan penggunaan antibiotika di rumah sakit tersebut.

Kata Kunci : antibiotik, anak, DDD, Gyssens. ABSTRACT

Antibiotics are a class of drugs that are widely prescribed in pediatric patients. Irrational use of antibiotics can cause resistance. This study aimed to evaluate the use of antibiotics in inpatient pediatric patients using the DDD method (Definied Daily Dose) and the Gyssens method. This observational study used cross sectional method with descriptive design. Data is conducted retrospectively based on medical records of hospitalized pediatric patients at Tanjungpura University Hospital from January to June 2018. There were 63 patients in this research. The quantity of antibiotic use is calculated using the DDD / 100 day patient formula. The quality of using antibiotics is determined by the Gyssens method. The results of this research found that the most antibiotic group was third generation cephalosporins (78.40%). The highest DDD value on ceftriaxone was 27.18 DDD / 100 days for patients and was the most commonly prescribed antibiotic (48.86%). Based on the Gyssens method, irrational use of antibiotics was found. The highest type of irrationality is in category V (82.53%). Based on DDD method and Gyssens method, there were inappropiate antibiotic usage in the hospital.

(2)

2 Pendahuluan

Antibiotik merupakan golongan obat yang tingkat konsumsi penggunaannya terbanyak di dunia. Peresepan antibiotik di rumah sakit pada negara maju sekitar 13-37% sedangkan peresepan antibiotik di rumah sakit pada negara berkembang sekitar 30-80%. Penggunaannya diketahui tidak tepat berkisar 20-26%.(1,2) Hasil penelitan Antimicrobial Resistance in Indonesia (AMRIN) tahun 2000-2004 diperoleh penggunaan antibiotik tanpa indikasi sebanyak 20-53% dan penggunaan antibiotik profilaksis tanpa indikasi sebanyak 43-81%. Disisi lain, dari hasil penelitian tersebut diperoleh penggunaan tertinggi antibiotik terdapat pada pasien anak-anak sebanyak 76%.(3,4) Menurut penelitian Purwaningsih, dkk penggunaan antibiotik dengan metode Van der Meer dan Gyssens pada pasien pediatri di bangsal rawat inap Rumah Sakit Islam Agung Semarang tidak rasional dengan persentase 76,1%.(5)

Penggunaan antibiotik yang tidak rasional pada anak sangatlah berisiko untuk terjadinya resistensi pada bakteri tertentu.(4,6,7) Resistensi merupakan masalah serius karena bakteri yang pernah sensitif terhadap obat menjadi resisten.(7) Dampak lain dari penggunaan antibiotik yang tidak rasional adalah risiko toksisitas dan efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan antibiotik sehingga dapat memperparah kondisi pasien dan meningkatkan biaya pengobatan selama dirawat di rumah sakit.(8,9) Melihat kondisi yang ada perlu dilakukan evaluasi penggunaan antibiotik.

Evaluasi penggunaan antibiotik secara kuantitatif dengan menggunakan metode

Defined Daily Dose (DDD) dan kualitatif dengan menggunakan metode Gyssens. Metode DDD umumnya digunakan untuk memprediksikan secara kuantitatif pemakaian obat yang rasional. (10) Hasil evaluasi penggunaan antibiotik dengan metode DDD dapat dengan mudah dibandingkan. Perbandingan tersebut bermanfaat untuk mendeteksi adanya perbedaan substansial yang akan menuntun untuk dilakukan evaluasi lebih lanjut jika ditemukan adanya

(3)

3 perbedaan yang bermakna.(11,12) Metode Gyssens digunakan untuk mengevaluasi kualitas dari antibiotik yang diresepkan klinisi di rumah sakit.(10) Evaluasi penggunaan antibiotik dengan metode Gyssens lebih teliti dan terperinci / jelas. Selain itu, evaluasi penggunaannya lebih tepat sehingga dapat mencegah perkembangan antibiotika resisten.(11)

Kedua metode tersebut perlu untuk dilakukan oleh semua rumah sakit yang ada di Indonesia. Hal ini dalam rangka mendukung program pemerintah untuk pengendalian resistensi penggunaan antibiotik sesuai yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan nomor 8 (delapan) tahun 2015. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk melakukan kajian rasional penggunaan antibiotik secara kuantitas dan kualitas di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura. Sejauh ini belum pernah dilakukan evaluasi rasionalitas penggunaan antibiotik di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi rasionalitas penggunaan antibiotik pada pasien anak rawat inap di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura dengan metode DDD dan Gyssens.

Metode

Penelitian dilakukan menggunakan metode observasional dengan rancangan penelitan studi potong lintang (cross-sectional) yang bersifat deskriptif. Data yang diambil merupakan data retrospektif berupa data rekam medik pada pasien anak rawat inap di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura periode Januari-Juni 2018 yang menggunakan antibiotik. Jumlah subyek terdiri dari 63 subyek yang memenuhi kriteria inklusi.

Penelitian ini telah mendapatkan kelaikan etik dari Komisi Etik Penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Tanjungpura dengan nomor 1051/UN22.9/DL/2018. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik purposive sampling. Kriteria inklusi antara lain pasien anak rawat inap, pasien anak dengan usia 2-12 tahun, dan pasien yang diresepkan antibiotik. Kriteria eksklusi adalah pasien anak dengan data rekam medik yang tidak lengkap atau rusak. Data dianalisis secara deskriptif dan diolah dengan Microsoft Excel.

(4)

4 Hasil

Populasi pasien anak rawat inap di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura periode Januari-Juni tahun 2018 sebanyak 208 pasien. Jumlah pasien anak rawat inap di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura selama periode Januari-Juni tahun 2018 yang memenuhi kriteria inklusi diikutseratakan sebagai sampel penelitian sebanyak 63 pasien.

Tabel 1. Karakteristik Pasien Anak Rawat Inap yang diresepkan Antibiotik

Karakteristik N = 63 Jumlah (n) Persentase (%) Jenis Kelamin Laki-laki 35 55,56 Perempuan 28 44,44 Usia 2-4 tahun 29 46,03 5-11 tahun 31 49,20 12 tahun 3 4,76 Rata-rata (tahun) 5,15

Tampak pada Tabel 1 bahwa pasien anak rawat inap yang diresepkan antibiotik di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura periode Januari sampai dengan Juni 2018 paling tinggi terjadi pada pasien berjenis kelamin laki-laki (55,56%). Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian pada pasien pediatri rawat inap di RSI Sultan Agung Semarang dan penelitian pada pasien anak di bangsal anak RS Dr. R. Soetrisno Bambang paling tinggi dialami oleh pasien berjenis kelamin laki-laki.(5)(13) Berdasarkan usia, paling tinggi dialami oleh pasien dengan usia 5-11 tahun (49,20%) dari total 63 subyek. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian lain pada pasien pediatri rawat inap di RSI Sultan Agung Semarang didapatkan bahwa usia tertinggi dialami oleh pasien dengan usia 1-4 tahun (46,9%).(5)

(5)

5 Tabel 2. Indikasi Pasien Anak Rawat Inap

Indikasi N = 63 Jumlah (n) Persentase (%) Tifoid 19 30 Bacteria infectis 8 13 ISK 6 10 Pneunomia 5 8 GEA 3 5 DCA 3 5 Febris 2 3 Bronkopneunomia 2 3 Dehidrasi sedang 2 3 Rhinitis akut 1 2 Psoriasis 1 2 Ensefalopati 1 2 Status konvulsivus 1 2

Diare dehidrasi tak berat 1 2

TFA 1 2 KDK 1 2 RFA 1 2 Sepsis 1 2 OMA 1 2 KDS 1 2 Katarak kongenital 1 2 Plebitis 1 2

Keterangan: ISK = Infeksi Saluran Kemih; GEA = Gastroenteritis Akut; DCA = Diare Cair Akut; TFA = Tonsilofaringitis Akut; KDK = Kejang Demam Komplek; RFA = Rhinofaringitis Akut; OMA = Otitis Media Akut; KDS = Kejang Demam Sementara.

Sebanyak 22 diagnosis penyakit dan gejala yang ditetapkan sebagai indikasi pemberian antibiotika pada pasien berdasarkan penelitian ini. Tampak pada Tabel 2 bahwa diagnosis pasien anak rawat inap yang diresepkan antibiotik di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura periode Januari–Juni 2018 tertinggi adalah tifoid (30%). Pada penelitian ini terdapat tiga jenis penyakit dan gejala dengan frekuensi tertinggi yaitu tifoid, bacteria infectis, dan ISK. Penelitian ini serupa dengan penelitian yang dilakukan pada pasien pediatri rawat inap di RSI Sultan Agung Semarang periode November 2014 sampai Februari 2015. Demam tifoid merupakan penyebab paling banyak pada pasien anak rawat inap. Urutan tiga teratas ditempati oleh tifoid (57,2%), diare (24,8%), dan ISPA (7,6%).(5)

(6)

6 Tabel 3. Karakteristik Antibiotik

Karakteristik N = 88

Jumlah (n) Persentase (%) Golongan dan Jenis Antibiotik

1. (β laktam) Penisilin

a. Amoksisilin po 1 1,13

b. Ampisillin iv 2 2,27

2. Sefalosporin Generasi Pertama

a. Sefadroksil po 1 1,13

3. Sefalosporin Generasi Ketiga

a. Sefiksim po 8 9,09 b. Sefotaksim iv 18 20,45 c. Seftriakson iv 43 48,86 4. Karbapenem a. Meropenem iv 1 1,13 5. Kombinasi TMP - SMX a. Kotrimoksasol po 4 4,54 6. Makrolida a. Azitromisin po 1 1,13 7. Aminoglikosida a. Amikasin iv 2 2,27 b. Gentamisin iv 4 4,54 c. Gentamisin transdermal 1 1,13 8. Imidazol a. Metronidazol iv 1 1,13 9. Antibiotika Lain a. Rifampisin po 1 1,13 Total 88 100 Rute 1. Intravena 71 80,68 2. Pemberian oral 16 18,18 3. Transdermal 1 1,13 Lama Pemakaian 1. 1-5 hari 84 95,45 2. > 5 hari 4 4,54 Rata-rata (hari) 3,17

Keterangan: iv = intravena; po = pemberian oral; TMP-SMX= trimetroprim-sulfamethoksasol

Tampak pada tabel 3 bahwa karakteristik antibiotik berdasarkan golongan dan jenis pada pasien anak rawat inap di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura periode Januari – Juni 2018 terdapat 9 golongan antibiotik dan 14 jenis antibitoik yang digunakan. Dari 63 subyek yang diteliti, terdapat 88 kali pemakaian antibiotik diberikan. Golongan antibiotik yang paling banyak digunakan adalah sefalosporin generasi ketiga (78,40%). Jenis antibiotik yang paling tinggi diresepkan adalah seftriakson iv (48,86%). Penelitian ini serupa dengan penelitian pada pasien anak rawat inap di sebuah rumah sakit pemerintahan di Yogyakarta

(7)

7 periode Januari-Juni 2013 dan penelitian lain di RSI Sultan Agung Semarang didapatkan bahwa golongan antibiotika yang paling banyak digunakan adalah sefalosporin generasi ketiga. Sedangkan menurut jenis antibiotika terdapat perbedaan dengan penelitian ini, pada pasien anak rawat inap di sebuah rumah sakit pemerintahan di Yogyakarta periode Januari-Juni 2013 yang paling banyak digunakan adalah ampisilin (13,9%) dan penelitian lain di RSI Sultan Agung Semarang jenis antibiotik yang paling banyak digunakan adalah sefotaksim (27,3%).(14,5)

Tampak pada Tabel 3 bahwa karakteristrik antibiotik berdasarkan rute pada pasien anak rawat inap yang diresepkan antibiotik di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura periode Januari – Juni 2018 tertinggi adalah intravena (80,68%). Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian di sebuah rumah sakit pemerintah di Yogyakarya periode Januari – Juni 2013 yang mengemukakan bahwa rute pemakaian paling banyak adalah intravena dengan persentase 76,4%.(14)

Tampak pada Tabel 3 bahwa karakteristrik antibiotik berdasarkan lama pemakaian pada pasien anak rawat inap yang diresepkan antibiotik di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura periode Januari–Juni 2018 tertinggi pada pemakaian 1-5 hari (95,45%) dan > 5 hari (4,54%). Hasil penelitian ini serupa dengan penelitian di sebuah rumah sakit pemerintah di Yogyakarya periode Januari – Juni 2013 yang mengemukakan bahwa lama pemakaian antibiotika yang tertinggi adalah satu sampai lima hari yaitu sebesar 55,0%.(14)

(8)

8 Tabel 4. Kuantitas Penggunaan Antibiotik Menggunakan Metode DDD

Jenis Antibiotik Kode ATC Total Penggunaan (mg) Nilai Standar DDD WHO (mg/pasien) DDD Penggunaan (pasien ) DDD / 100 pasien -hari Seftriakson iv J01DD04 202760 2000 101,38 27,18 Sefotaksim iv J01DD01 106400 4000 26,6 6,53 Amikasin iv JO1GB06 1220 1000 1,22 1,94 Ampisillin iv J01CA01 10400 2000 5,2 1,24 Gentamisin iv JO1GB03 588 240 2,45 0,94 Rifampisin po J04AB02 1440 600 2,4 0,57 Meropenem iv J01DH02 4200 2000 2,10 0,50 Kotrimoksasol po J01EE03 2904 1920 2,1 0,46 Sefiksim po J01DD08 53 400 0,13 0,03 Amoksisilin po J01CA04 27 1000 0,027 0,01 Azitromisin po J01FA10 9 500 0,018 0,01 Metronidazol iv J01XD01 27 1500 0,027 0,00 Sefadroksil po J01DB05 24 2000 0,012 0,00

Keterangan: iv = intravena; po = pemberian oral; ATC= Anatomical Therapeutic Chemical; WHO= World Health Organization

Tampak pada Tabel 4 bahwa kategori rasionalitas antibiotik menurut metode DDD (Definied Daily Dose) pada pasien anak rawat inap tertinggi adalah seftriakson iv dari total 14 jenis atibiotika yang digunakan. Total DDD dari yang tertinggi adalah sefriakson iv (113,88). Disisi lain DDD/100 pasien-hari dari yang tertinggi adalah seftriakson iv (27,18). Hasil penelitian ini tidak serupa dengan penelitian pada pasien anak rawat inap di salah satu rumah sakit pemerintah di Yogyakarta periode Januari – Juni 2013 yang memiliki nilai DDD paling besar adalah ampisilin dengan nilai DDD /100 pasien-hari sebesar 10,33.(14)

Tabel 6. Kualitas Penggunaan Antibiotik Menggunakan Metode Gyssens

Rasionalitas N=63 Jumlah (n) Persentase (%) Rasional (Kategori 0) 0 0 Tidak Rasional 63 100

Kategori VI (Data tidak lengkap) 3 4,76

Kategori V(Tidak ada indikasi penggunaan

antibiotik) 52 82,53

Kategori IV A (Ada antibiotik lain yang lebih

efektif) 7 11,11

Kategori III B (Pemberian antibiotik terlalu

singkat) 1 1,58

Tampak pada Tabel 6 bahwa kualitas penggunaan antibiotik menurut metode Gyssens

pada pasien anak rawat inap di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura periode Januari – Juni 2018 tidak rasional. Kategori ketidakrasionalan antibiotik tersebut dari yang tertinggi adalah

(9)

9 pada kategori V (82,53%). Hasil penelitian ini serupa dengan penelitan pada sebanyak 385 pasien pediatri rawat inap di RSI Sultan Agung Semarang yang diketahui tidak rasional yaitu sebanyak 76,1%.(5) Selain itu, ditemukan penelitian tentang penggunaan antibiotik yang tidak rasional pada pasien anak rawat inap di Puskesmas Halmahera Semarang yaitu sebesar 78%.(15) Penggunaan antibiotik yang tidak rasional juga ditemukan pada pasien anak penderita demam tifoid di Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam Bengkayang. Jenis ketidakrasionalan pada kategori IIA (41,1%) dan I (58,8%)(13) Terdapat pula penggunaan antibiotik yang tidak rasional pada 18 pasien balita penderita pneumonia di RSUD Sultan Syarif Mohhammad Alkadrie Pontianak periode Juni-Juli 2015. Adapun jenis ketidakrasionalan adalah kategori IV A (5,56%), kategori IV C (2,78%), kategori II A (50,01%), dan kategori II B (41,67%).(16)

Pembahasan

Laki-laki merupakan penderita tertinggi pada pasien anak rawat inap. Pada penelitian ini indikasi tertinggi adalah tifoid dengan laki-laki sebagai penderita terbanyak. Kondisi ini disebabkan aktivitas bermain anak laki-laki diluar rumah lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan sehingga akan meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Anak berjenis kelamin laki-laki memiliki perbedaan sistem hormonal dengan anak perempuan. Oleh karena itu, sistem hormonal pada anak yang berjenis kelamin laki-laki kemungkinan mempengaruhi daya tahan tubuh anak berjenis kelamin laki-laki menjadi rentan terhadap bakteri ataupun virus. (41)(13) Kasus infeksi banyak ditemukan pada anak usia 5-11 tahun pada penelitian ini. Hal ini dikarenakan karena pada rentang umur tersebut anak lebih aktif beraktifitas diluar rumah sehingga dapat menyebabkan anak terinfeksi bakteri.

Indikasi merupakan salah satu syarat yang dapat digunakannya metode DDD (Definied Daily Dose) dan metode Gyssens. Antibiotik merupakan pengobatan untuk mengobati penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Indikasi tertinggi pada penelitian

(10)

10 ini adalah demam tifoid. Tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella tyohi yang merupakan bakteri gram negatif.(17) Hygiene dan sanitasi lingkungan erat kaitannya dengan penyakit demam tifoid seperti hygiene makanan yang tidak sehat, lingkungan kumuh, kurangnya kebersihan di tempat-tempat umum serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup sehat.

Antibiotika golongan sefalosporin banyak digunakan dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan oleh tujuan penggunaannya sebagai terapi empiris untuk penyakit infeksi yang belum diketahui penyebabnya. Golongan antibiotik yang paling banyak digunakan pada penelitian ini adalah sefalosporin generasi ketiga. Sefalosporin generasi ketiga aktivitasnya kurang aktif terhadap kokus pada Gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, akan tetapi lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae, termasuk strain yang memproduksi beta laktamase.(18) Jenis antibiotika seftriakson yang paling banyak digunakan dalam penelitian ini. Sefriakson menghambat sintesis dinding sel, dimana dinding sel berfungsi untuk mempertahankan bentuk mikroorganisme dan menahan sel bakteri yang memiliki tekanan osmotik yang tinggi di dalam selmya.(19)

Identifikasi terhadap rute pemberian antibiotika penting dilakukan karena beberapa antibiotika memiliki nilai standar DDD WHO yang berbeda untuk tiap-tiap rute pemberian.

(20)

Rute pemakaian intravena sering digunakan dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan karena pada pasien anak cenderung menolak untuk mengkonsumsi sediaan oral karena kesulitan dalam menelan sediaan serta rasa dari tablet yang biasanya pahit sehingga seringkali obat diberikan dalam rute intravena.(21) Selain itu, rute intravena merupakan rute pilihan untuk kasus infeksi sedang sampai berat dikarenakan onsetnya cepat dan bioavaibilitas obat lebih tinggi, sehingga aksi obat menjadi lebih maksimal dalam membunuh mikroba daripada rute pemberian oral.(22,23) Onset yang cepat dan bioavaibilitas yang tinggi

(11)

11 akan menyebabkan efek aksi antibiotika akan lebih maksimal dalam menghambat atau membunuh kuman penyebab infeksi.(23)

Lama penggunaan antibiotika juga dapat mempengaruhi hasil nilai DDD. Semakain lama waktu penggunaan antibiotik pada saat pasien rawat inap, maka makin besar dosis antibiotika yang diterima oleh pasien tersebut. Oleh semakin besarnya dosis antibiotika yang digunakan oleh pasien per harinya akan memiliki kemungkinan untuk menyebabkan nilai DDD dari suatu jenis antibiotika akan semakin besar yang dapat menyebabkan ketidakrasionalan penggunaan antibiotik.(20) Adapun beberapa faktor kemungkinan yang mempengaruhi lama pemakaian antibiotika diantaranya: pertama, antibiotika yang diresepkan bertujuan sebagai terapi empiris. Terapi empiris digunakan antibiotik bersepktrum luas seperti antibiotika golongan sefalosporin atau penisilin dengna lama pemakaian antibiotika selama 2 sampai 3 hari.(22) Kedua, sebagian besar penyakit infeksi seperti pneunomia, cystitis, sepsis, dan ISK lama penggunaan antibiotik selama tiga sampai dengan tujuh hari.(22,24)

Metode DDD (Definied Daily Dose) dipilih karena hasil penelitian penggunaan antibiotika dapat dibandingkan dengan hasil penggunaan antibiotika antar bangsa, rumah sakit, kota, bahkan antar negara.(20) Penentuan tinggi rendahnya nilai DDD dari suatu antibiotika ditentukan oleh perbandingan nilai DDD yang diperoleh dengan nilai DDD standar yang telah ditetapkan oleh WHO. Nilai DDD dikatakan tinggi apabila nilai DDD yang diperoleh lebih besar dari nilai DDD standar yang telah ditetapkan.(20) Tingginya nilai DDD untuk beberapa jenis antibiotika yang melebihi standar WHO dalam penelitian ini menunjukkan kemungkinan masih terdapat ketidakrasionalan penggunaan antibiotika pada pasien anak rawat inap di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura pada periode Januari-Juni 2018 yang dilihat dari segi kuantitasnya.

Kualitas penggunaan antibiotik menurut metode Gyssens pada pasien anak rawat inap di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura periode Januari–Juni 2018 tidak rasional. Terdapat

(12)

12 3 subyek penelitian yang termasuk kategori VI (data tidak lengkap). Data tidak lengkap yang dimaksud adalah data rekam medis yang tidak dilengkapi oleh data laboratorium. Subyek penelitian yang termasuk dalam kategori V (tidak ada indikasi pemberian antibiotika) sebanyak 52 subyek. Banyaknya jumlah ketidakrasionalan pada kategori V dikarenakan tidak terindikasi infeksi bakteri, sehingga tidak melanjutkan evaluasi antibiotik ke kategori selanjutnya. Hal ini disebabkan oleh jumlah leukosit dan temperatur subyek yang dalam rentang normal sehingga dikatakan tidak terindikasi infeksi bakteri sehingga tidak memerlukan antibiotik.

Subyek penelitian yang termasuk kategori IV A (ada antibiotika lain yang lebih efektif) sebanyak 7 orang. Adanya antibiotika lain yang lebih efektif terjadi apabila antibiotika yang diberikan bukan merupakan lini pertama untuk mengatasi infeksi bakteri. Pengobatan lini pertama tidak memberikan outcome terapi yang lebih baik dan terdapat rekomendasi antibiotika lain. Terdapat 1 subyek penelitian yang termasuk kategori III B (pemberian antibiotik terlalu singkat). Adapun subyek penelitian pada kasus ini menderita ISK dan diberikan antibiotik selama 2 hari. Durasi pemberian antibiotik pada penderita ISK adalah selama 7-10 hari.(25) Evaluasi ini hanya dilakukan berdasarkan literatur dan data rekam medis, tanpa melakukan konfirmasi kepada dokter yang meresepkan antibiotika.

Hasil evaluasi dengan alur Gyssens pada penelitian ini, tidak ditemukan subyek penelitian yang termasuk kategori 0 (pemberian antibiotik rasional). Oleh sebab itu, perlu diperhatikan pemberian antibiotik yang rasional pada pasien anak rawat inap di Rumah Sakit Unniversitas Tanjungpura agar terhindar dari resistensi antibiotik.

Kesimpulan

1. Berdasarkan metode DDD, antibiotik yang paling banyak digunakan pada pasien anak rawat inap di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura adalah sefriakson yaitu 27,18 DDD /100 pasien-hari. Antibiotik yang paling banyak digunakan adalah golongan sefalosporin

(13)

13 generasi ketiga (78,40%). Jenis antibiotik yang paling banyak digunakan adalah seftriakson (48,86%).

2. Berdasarkan metode Gyssens, penggunaan antibiotik pada pasien anak rawat inap di Rumah Sakit Universitas Tanjungpura termasuk kategori tidak rasional. Jenis ketidakrasionalan yaitu pada kategori V (82,53%), kategori IV A (11,11%), kategori VI (4,76), dan kategori III B (1,58%).

Pendanaan

Penelitian ini tidak didanai oleh sumber hibah manapun. Konflik Kepentingan

Seluruh penulis menyatakan bahwa tidak terdapat konflik kepentingan dengan penelitian, kepenulisan (authorship), dan atau publikasi artikel ini.

Daftar Pustaka

1. Lestari W., Almahdy A., Zubir N., dkk. Studi Penggunaan Antibiotik Berdasarkan Sistem ATC/DDD dan Kriteria Gyssens di Bangsal Penyakit Dalam RSUP Dr. M. Djamil Padang. [Skripsi]. Padang: Fakultas Farmasi Pascasarjana Universitas Andalas; 2011. 2. Hogerzeil, H.V., et al. Field Test for Rational Drug Use in Twelve Developing Countries.

The Lancet. 1993; Vol.342, Issue 8884: 1408-1410.

3. AMRIN to PPRA / AMRC Program a Self Improvement Program in Indonesia [internet]. 2004 [cited 2018 September 7]. Available from http://www.ino.searo.who.int/ .

4. U. Hadi, DO. Deurink, ES. Lestari, NJ. Negelkerke, S. Werter, M.Keuter, et al. Survey of antibiotic use of individual visiting public healthacare facilities in Indonesia [internet]. 2008 [cited 2018 September 7]. Available from http://openaccess.leidenuniv.nl/bitstream/handle/1887/13821/03.pdf;jsessionid=DBD9A1 D38747EBF2D64A500F2D64A500F2183E37?sequence=8

5. Purwaningsih, A.E.D.A., Fita R., dan Djoko W. Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Pasien Pediatri Rawat Inap. Jurnal Managemen dan Pelayanan Farmasi. September 2015; Vol.5(3): 211-218

6. World Health Organization. Progress In The Rational Use of Medicines. World Health Organization; 2007.

7. Neal, Michael J. Medical Pharmacology At a Glance. Edisi 5. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2006.

(14)

14 8. World Health Organization. Bibliography of Scientific Publication on Antimicrobial Resistance from South-East Asia Region 1990-2010. India: World Health Organization;

2011. [cited 2018 Oktober 2] Available from

http://www.searo.who.int/entity/antimicrobial_resistance/documents/WHD-11_Bibilography.pdf?ua=1

9. Kakkilaya, Srinivas. Rational Medicine: Rational use of antibiotics [internet]. Available from http://healthcare-communications.imedpub.com/the-rational-use-of-antibiotics-medicine.pdf . [cited 2018 Oktober 2].

10. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 8. Program Pengendalian Resitensi Antimikroba di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2015. 11. Bergman, U., Risinggard H., Palcevski V.V., dan Ericson O. Use of Antibiotics at

Hospitals in Stockholm: a Benchmarking Project Using Internet. Pharmacoepidemiology Safety: 2004; 13.

12. Jankgnet, R., Lashof A.O., Gould I.M., dan Van der Meer J.W.M. Antibiotics Use in Dutch Hospital 1991-1996. Journal of Antimicrobial Chemotherapy: 2000; 45.

13. James M.H., David M.P., Fawziah M., Helen Ng, William R.B., Laurie H., et al. Measurement of antibotic consumption: A practical guide to the use of the Anatomical Therapeutic Chemical classification and Definied Daily Dose system methodology in Canada, Can J Infecct Dis. 2004.

14. Carolina, M., dan Aris W. Evaluasi Penggunaan Antibiotika dengan Metode DDD (Defined Daily Dose) pada Pasien Anak Rawat Inap di Sebuah Rumah Sakit Pemerintah di Yogyakarta Periode Januari-Juni 2013. Media Farmasi. 2014; Vol 11(1): 81-89. 15. Saputra, W.B., Nahwa A., dan Moh. Sarofil A. Perbandingan Antara Rasionalitas

Penggunaan Antibiotik Pasien Anak Rawat Inap dengan Rawat Jalan di Puskesmas Halmahera Semarang. Media Medika Muda. 2015; Vol 4(4); 1597-1610.

16. Yanti, Y.E., Nurmainah, Hariyanto I.H. Rasionalitas Penggunaan Antibiotik pada Pasien Rawat Inap Balita Penderita Pneumonia dengan Pendekatan Metode Gyssens di RSUD Sultan Syarif Mohammad Alkadrie Pontianak. Naskah Publikasi. 2016.

17. Bhutta, Z.A. Current Consepts in the Diagnosis and Treatment of Typhoid Fever. BMJ; 2006

18. Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Pedoman Pelayanan Kefarmasian untuk Terapi Antibiotik. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia; 2011

19. Mycek, M.J., Harvey, R.A., dan Champe, P.C. Farmakologi Ulasan Bergambar. Edisi 2. Jakarta: Widya Medika; 2001

(15)

15 20. World Health Organization. Guidelines for ATC Classification and DDD Assignment. Edisi 16. Oslo: WHO Collaborating Centre for Drug Statistics Methodology Norwegian Institute of Public Health; 2013

21. Shea, K., Florini K., dan Barlam T. When Wonder Drugs Don’t Work: How Resistance Threatens Children, Seniors, and the Medically Vulnerable [internet]. 2001 [cited 2019 Januari 23]. Available from https://www.edf.org/sites/default/files/162_abrreport.pdf 22. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 2406. Pedoman Umum Penggunaan

Antibiotik. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia; 2011. 23. Hakim, L. Farmakokinetik Klinik. Yogyakarta: Bursa Ilmu; 2012

24. Coyle, E.A., dan Prince R.A. Urinary Tract Infection and Prostatitis, in Dipirio

etal.,(Eds.). Pharmacotherapy: A Pathophysicologic Approach. Edisi keenam. USA: McGraw-Hill; 2005

25. Pardede, S.O., dkk. Konsensus Infeksi Saluran Kemih pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011

Gambar

Tabel 6. Kualitas Penggunaan Antibiotik Menggunakan Metode Gyssens   Rasionalitas  N=63 Jumlah  (n)  Persentase (%)  Rasional (Kategori 0)  0  0  Tidak Rasional  63  100

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini secara statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara verifikasi manual dengan metode fusi pada radioterapi pasien kanker nasofaring, namun

Dikmenof lupa terhadap password untuk login ke editing website dan juga tidak mengerti bagaimana cara menggunggah dan menggunakan database yang akan dibuat. Oleh sebab

Dari hasil analisis hubungan bernilai positif dari variabel pengawasan langsung dan pengawasan tidak langsung terhadap efektivitas kerja maka sudah saatnya pimpinan

PENGEMBANGAN MODUL PRAKTIKUM TEKNIK PENGOLAHAN MENGGUNAKAN MEDIA PENGHANTAR PANAS DI SMKN 2 INDRAMAYUA. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

Berdasarkan hasil dan pembahasan pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa para responden telah melakukan prosedur auditing yang wajar dan memenuhi kriteria yang telah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukan di atas, maka rumusan masalah yang akan diungkap pada penelitian ini adalah “Bagaimana bentuk tes piktorialyang digunakan

→ Menjawab pertanyaan tentang materi Pengaruh Islam dalam kehidupan masyarakat Indonesia masa kini yang terdapat pada buku pegangan peserta didik atau lembar kerja yang

4.2.1.3 The Effect of Cooperative Learning in Improving Students Writing Competence .... viii LIST