• Tidak ada hasil yang ditemukan

LOGOS DALAM INJIL YOHANES: ALLAH ATAU HAKIKAT ADIKODRATI YANG LEBIH RENDAH DARI ALLAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LOGOS DALAM INJIL YOHANES: ALLAH ATAU HAKIKAT ADIKODRATI YANG LEBIH RENDAH DARI ALLAH"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

41

Jurnal Scripta Teologi dan Pelayanan Kontekstual

ISSN 2086-5368 (Print)

ISSN

Http://ejournal.stte.ac.id

Vol.1, No.1, pp. 41-63, 2016

LOGOS DALAM INJIL YOHANES: ALLAH ATAU

HAKIKAT ADIKODRATI YANG LEBIH RENDAH DARI ALLAH

Fanny Y. M Kasekke

Sekolah Tinggi Theologia Ebenhaezer,

INFO ARTIKEL ___________________ Sejarah Artikel: Diterima : 03 Mei 2016 Direvisi : 12 Mei 2016 Disetujui: 19 Mei 2016 Dipublikasi: 28 Mei 2016 ___________________ Kata Kunci: Logos, Yohanes, Hakikat, Adikodrati _______________________ Keywords:

keyword one, keyword two, keyword three.

_______________________

ABSTRAK

Perdebatan tentang siapakah atau apakah yang dimaksud logos oleh Yohanes dalam Injilnya terus terjadi di antara para theolog. Beberapa theolog menyamakan sang logos dengan Allah, sementara sebagian lainnya keberatan dengan penyamaan itu. Pada masa kini, keberatan yang paling jelas datang dari kelompok yang mengusung ajaran pluralisme. Implikasi dari penyamaan sang logos dengan Allah dalam Injil Yohanes adalah memperkuat premis sebagian theolog bahwa ajaran Allah Tritunggal benar adanya dan bahwa sang logos adalah salah satu dari tiga “pribadi” Allah tritunggal, yakni pribadi kedua (Kristus Yesus). Tulisan ini memaparkan tentang kajian sang logos dalam Injil Yohanes yang dikemukakan oleh tokoh pluralisme, kemudian analisa tentang hal itu dalam bingkai worldview theologia Injili.

ABSTRACT

The debate over who or what logos meant by John in his gospel continued to occur among theologians. Some theologians equate the logos with God, while others object to the equation. At present, the most obvious objection comes from groups that carry the teachings of pluralism. The implication of equating the logos with God in the Gospel of John is to strengthen the premise of some theologians that the teaching of the Triune God is true and that the logos is one of the three "persons" of the triune God, the second person (Christ Jesus). This paper describes the study of the logos in the Gospel of John put forward by pluralism figures, then analyzes it in terms of the worldview of Evangelical theology.

PENDAHULUAN

Ioanes Rakhmat adalah seorang theolog, di mana “semangatnya” adalah mengkaji ajaran-ajaran yang sudah mapan dalam theologia Kristen, sehingga pemikiran-pemikirannya cenderung mengakomodir konsep-konsep theologia pluralisme. Dalam tulisannya yang berjudul: “Kristologi ‘Anak Manusia’ di dalam Injil Yohanes dan Monoteisme Yahudi”, Ioanes Rakhmat mengangkat suatu pertanyaan:

STT Ebenhaezer

Tanjung Enim

(2)

42

Apakah Injil Yohanes mengetengahkan suatu pandangan diteisme bahwa ada Dua Penguasa di sorga, yaitu sang Firman (ho Logos) dan Allah (ho Theos), atau ‘Anak Manusia’ yang datang dari sorga dan Allah. Apakah dengan memakai ungkapan dari Wahyu Yohanes, di sorga memang ada Dua Takhta, yaitu takhta Allah dan takhta Anak Domba (22:1)? Berusaha menjawab pertanyaannya ini, Rakhmat mencoba membandingkan isi Injil Yohanes dengan latar belakang penulisan Injil tersebut, yang menurutnya berasal dari lingkungan Yahudi ortodoks. Menurutnya, mazhab atau aliran pemikiran yang melahirkan Injil ini berusaha tetap mempertahankan monoteisme Yahudi, dengan “Pengakuan Imannya” (Syema, Ulangan 6:4-6). Persoalan muncul karena dalam isi Injil Yohanes, ada “tokoh sorgawi” lain (Logos) yang datang ke dalam dunia dan disamakan dengan Allah sendiri (misalnya dalam Yoh.1:1c; 5:17-18; 10:33). Usaha untuk mengantisipasi Injil Yohanes dengan “Kristologi dari atas,” supaya tidak terjatuh dalam paham diteisme tetapi tetap menempatkannya dalam bingkai monoteisme Yahudi, salah satunya ditempuh Rakhmat dengan konsep subordinasi.

Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Pendekatan ini dipilih oleh karena pendekatan ini sesuai dengan karakterisktik lingkungan alamiah (natural setting) yang mana peneliti langsung berhadapan secara langsung dengan partisipaan untuk memperoleh data lapangan. Teknik pengumpulan data dilakukan melalui observasi-partisipasi, wawancara dan studi pustaka. Observasi-partisipatif dilakukan dengan cara melakukan pengamatan terhadap permasalahan yang terjadi.

Hasil Dan Pembahasan

Pandangan Ioanes Rakhmat Tentang “Logos” Dalam Injil Yohanes Ioanes Rakhmat adalah seorang theolog, di mana “semangatnya” adalah mengkaji ajaran-ajaran yang sudah mapan dalam theologia Kristen, sehingga pemikiran-pemikirannya cenderung mengakomodir konsep-konsep theologia pluralisme. Dalam tulisannya yang berjudul: “Kristologi ‘Anak Manusia’ di dalam Injil Yohanes dan Monoteisme Yahudi”, Ioanes Rakhmat mengangkat suatu pertanyaan:

Apakah Injil Yohanes mengetengahkan suatu pandangan diteisme bahwa ada Dua Penguasa di sorga, yaitu sang Firman (ho Logos) dan Allah (ho Theos), atau ‘Anak Manusia’ yang datang dari sorga dan Allah. Apakah dengan memakai ungkapan dari Wahyu Yohanes, di sorga memang ada Dua Takhta, yaitu takhta Allah dan takhta Anak Domba (22:1)? Berusaha menjawab pertanyaannya ini, Rakhmat mencoba membandingkan isi Injil Yohanes dengan latar belakang penulisan Injil tersebut, yang menurutnya berasal dari lingkungan Yahudi ortodoks. Menurutnya, mazhab atau aliran pemikiran yang melahirkan Injil ini berusaha tetap mempertahankan monoteisme Yahudi, dengan “Pengakuan Imannya” (Syema, Ulangan 6:4-6). Persoalan muncul karena dalam isi Injil Yohanes, ada “tokoh sorgawi” lain (Logos) yang datang ke dalam dunia dan disamakan dengan Allah sendiri (misalnya dalam Yoh.1:1c; 5:17-18; 10:33). Usaha untuk mengantisipasi Injil Yohanes dengan “Kristologi dari atas,” supaya tidak terjatuh dalam paham diteisme tetapi tetap menempatkannya dalam bingkai monoteisme Yahudi, salah satunya ditempuh Rakhmat dengan konsep subordinasi. Konsepnya dimulai dengan melihat hubungan Allah dengan Anak Manusia sebagai suatu hubungan dalam rangka tugas pengutusan. Allah mengutus dan Anak Manusia

(3)

43

diutus. Anak Manusia datang bukan karena kehendak-Nya sendiri, tetapi karena diutus (Yoh.7:28) untuk melakukan kehendak Allah yang mengutusNya. Yang mengutus tentu saja berkedudukan lebih tinggi dari yang diutus, atau yang diutus berkedudukan lebih rendah dari yang mengutus. Selanjutnya Rakhmat berkata, “…di dalam Injil Yohanes, subordinasi Anak Manusia dalam hubungannya dengan Allah digambarkan dengan jelas.” Rakhmat mengambil beberapa bagian Injil Yohanes untuk memperkuat argumennya yaitu: Yohanes 5:19, menyatakan bahwa Anak tidak dapat mengerjakan sesuatu dari diriNya sendiri, jikalau Ia tidak melihat Bapa mengerjakanNya. Yohanes 5:26 mengatakan bahwa Anak, meskipun mempunyai hidup di dalam diri-Nya sendiri, menerima hidup itu dari Allah. Yohanes 5:30, Anak Manusia menghakimi, tetapi kuasa untuk menghakimi diterima-Nya dari Allah (5:27). Dalam 5:30a dan 8:28 dikatakan bahwa Anak Manusia tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Nya sendiri; dan bahwa Ia tidak menuruti kehendak diri-Nya sendiri (5:30d). Anak Manusia tidak bersaksi mengenai diri-Nya sendiri, kesaksian-Nya itu tidak benar (5:31). Kesaksian sebenarnya mengenai diri Anak Manusia justru berasal dari “pekerjaan-pekerjaan” yang dilakukan-Nya yang diterima-dilakukan-Nya dari Allah (5:36). Anak Manusia mengajarkan hal-hal yang Ia terima dari Allah (7:16; 8:26); dan Ia sendiri menerima pengajaran dari Allah (8:28). Ia diperintah oleh Allah untuk mengatakan apa yang Ia harus katakan dan sampaikan (12:49; 14:31; 15:15). Bahkan dikatakan bahwa Anak Manusia bukanlah “objek” kepercayaan; orang yang percaya kepada-Nya bukanlah percaya kepada-Nya tetapi kepada Allah yang mengutus-Nya (12:44). Bahkan, Allah adalah “tujuan hidup dari Yesus sendiri” (13:1; 14:12, 28; 16:10, 27; 17:11, 13; 20:17).

Menanggapi pandangan Raymond Brown bahwa Anak Manusia “hanya” lebih rendah dari Allah selama Ia dalam wujud manusia yang hidup di dunia, Rakhmat mengemukakan argumennya: Pertama, dalam Yohanes 7:28 dikatakan bahwa Anak Manusia sorgawi turun ke dunia karena diutus, bukan karena kehendak-Nya sendiri. Jadi, Anak Manusia ketika akan diutus dari kawasan sorgawi, telah menundukkan diri-Nya di hadapan Bapa. Penaklukan diri ini sudah dimulai di kawasan sorgawi; sebab bila tidak demikian tidak akan dinyatakan bahwa Anak Manusia turun dari atas bukan karena kehendak-Nya sendiri. Jadi harus dikatakan bahwa subordinasi pada dataran sejarah kemanusiaan adalah lanjutan dari subordinasi ontologis pada dataran adikodrati, subordinasi yang sudah ada sebelum Anak Manusia sorgawi memasuki kawasan duniawi. Kedua, pendapat Brown mempunyai konsekuensi logis bahwa sebelum Anak Manusia turun ke dalam dunia, di kawasan mana Ia menjadi lebih rendah dari Allah, adalah Allah sendiri atau setingkat dengan Allah. Pada hal, menyangkut Anak Manusia, menurut Rakhmat, tidak satu pun teks yang menyatakan bahwa Anak Manusia itu adalah Allah, baik sebelum Ia turun ke kawasan duniawi ataupun ketika Ia sudah berada di kawasan duniawi. Ketiga, di dalam menuturkan hidup dan karya Yesus di dalam dunia, Injil Yohanes memberikan gambaran baik anti-doketis maupun gambaran doketis , sehingga sama sekali tidak tepat bila dikatakan bahwa Injil Yohanes menggambarkan Anak Manusia lebih rendah dari Allah hanya selama pekerjaan-Nya di dalam dunia. Akhirnya, Ioanes Rakhmat menyimpulkan bahwa dengan adanya subordinasionisme ontologis yang dilanjutkan dengan subordinasionisme fungsional di dalam Injil Yohanes, penulis Injil ini memandang figur “Anak Manusia” sebagai “oknum” atau “hakikat” adikodrati yang lebih rendah kedudukannya dari Allah, yang dalam ketaklukan-Nya kepada Allah menerima tugas pengutusan untuk turun ke dalam

(4)

44

dunia. Kedudukan Anak Manusia yang lebih rendah ini menyiratkan bahwa oknum Anak Manusia itu adalah oknum atau suatu hakikat adikodrati yang terpisah dari Allah. Sekalipun menyatakan adanya subordinasi antara Anak Manusia dan Allah, akan tetapi Rakhmat juga tidak mengesampingkan adanya bagian-bagian dalam Injil Yohanes yang dengan kuat menyatakan kesatuan Yesus dengan Allah. Rakhmat menafsirkan, bagaimana Injil Yohanes memahami gagasan tentang “kesatuan” ini. Beberapa nats seperti Yohanes 10:30, “Aku dan Bapa adalah satu”, Yohanes 10:38d “Bapa di dalam Aku dan Aku di dalam Bapa”, dijelaskan Rakhmat dengan cara melihat konteks ayat-ayat tersebut. Yohanes 10:30 adalah jawaban Yesus terhadap pertanyaan atas kemesiasan-Nya (“Jikalau Engkau Mesias, katakanlah kepada kami”, 10:24), demikian juga Yohanes 10:38 diajukan sebagai jawaban atas pertanyaan mengenai hubungan-Nya dengan Allah (10:33). Sebelum Ia sampai pada perkataan di dalam 10:30 itu, Yesus menunjuk pada “pekerjaan-pekerjaan” yang dilakukan-Nya dalam nama Bapa (ay.21&25); lalu kepada diri-Nya sebagai gembala (ay.26-27; 10:1-21). Pekerjaan-pekerjaan dan peranan-Nya selaku gembala dikuatkan melalui penekanan-penekanan yang terdapat di dalam ayat 28 dan 29. Dengan menyebut diriNya “Gembala” yang memberikan “hidup kekal” (ayat 28), Yesus menyatakan bahwa kehadiran-Nya adalah kehadiran kuasa Allah yang mendatangkan keselamatan dan pemeliharaan, dan itulah pekerjaan-pekerjaan-Nya. Ayat 28 & 29 memuat pernyataan yang sama: tidak seorang pun dapat merebut domba baik dari tangan Yesus maupun dari tangan Bapa. Dari acuan kepada Yesus dan Bapa pada ayat 28 & 29, dapat disimpulkan bahwa Yesus memiliki kuasa yang sama dengan kuasa Bapa; dan karena itu tidak mengejutkan bahwa apabila dalam Yohanes 10:30, Yesus menyatakan bahwa Dia dan Bapa satu adanya. Ini berarti bahwa kesatuan Yesus dengan Bapa adalah kesatuan dalam kuasa yang tampak di dalam pekerjaan-pekerjaan-Nya untuk memelihara dan menjaga domba-dombaNya. Selain penjelasan dalam ayat-ayat tersebut, Rakhmat juga mengangkat Yohanes 10:29, yang berisikan perkataan Yesus bahwa Bapa yang memberikan domba-domba kepada Yesus, dan bahwa Bapa “lebih besar dari siapa pun” (14:28). Karena kuasa Bapa melebihi segalanya, maka seorang pun tidak dapat merebut domba-domba dari tangan Bapa. Yesus bekerja untuk dan dalam kuasa Bapa, karena itu kuasa Bapa juga berada di dalam pekerjaan-pekerjaan Yesus dan menyertai-Nya (5:27; 8:16, 29; 17:2). Kuasa Bapa yang ada di dalam pekerjaan-pekerjaan Yesus inilah yang menyebabkan Yesus memiliki kuasa untuk memberikan hidup kekal kepada domba-domba-Nya serta memelihara mereka. Dengan kata lain, meskipun Yesus memiliki kuasa yang sama dengan kuasa Bapa, tetap dinyatakan bahwa hubungan Yesus sebagai Anak Manusia dengan Bapa adalah hubungan ketergantungan: tanpa Ia bergantung kepada dan menerima kuasa dari Bapa, Yesus tidak memiliki kuasa apa pun. Rakhmat menyimpulkan bagian ini dengan berkata bahwa kesatuan Yesus dengan kuasa Allah, bukanlah kesatuan hakikat sepenuh-penuhnya dan dengan demikian tidak bermaksud untuk menyatakan bahwa Anak Manusia adalah Allah; tetapi menegaskan bahwa di dalam ketergantungan-Nya kepada sang Bapa, Anak Manusia menerima kuasa ilahi atau mendapat bagian di dalam kuasa Bapa yang membuat Ia berkiprah seturut dengan kehendak dan di dalam kuasa Bapa yang mengutus-Nya yang lebih besar dari pada-Nya.

(5)

45 Pandangan Tom Jacobs Bahwa Yesus Kristus Adalah Ciptaan Allah

Tom Jacobs, seorang theolog pluralis Katolik Indonesia berusaha “merumuskan” kembali ajaran tentang Yesus Kristus yang dianut oleh Kekristenan Ortodoks yang meyakini bahwa Yesus Kristus, sebagai Pribadi Kedua Allah Tritunggal yang berinkarnasi itu adalah Allah. Dalam bukunya yang berjudul: “Imanuel, Perubahan Dalam Perumusan Iman Akan Yesus Kristus,” dia menyimpulkan bahwa Yesus tidak sama dengan Bapa, Dia tidak setara dengan Bapa dan Bapa saja satu-satunya Allah yang benar. Untuk sampai pada kesimpulan itu, Jacobs merumuskan pokok pikirannya dalam sub bab “Imanuel II”, suatu intisari ajaran yang dia tegaskan dalam buku ini. Jacobs mengemukakan lima misteri penyingkapan ilahi Allah bagi manusia. Tiga dari lima misteri tersebut berbicara mengenai Allah Bapa dan Yesus Kristus, sementara dua yang terakhir tentang Roh Kudus dan iman dalam manusia. Yang akan dibahas adalah tiga misteri yang pertama.

Misteri pertama: Tanpa ikatan Allah beserta kita. Jacobs mengemukakan perbedaan antara Allah dan makhluk ciptaan yang bertolak dari tradisi Yahudi-Kristiani. Dia mengutip Keluaran 33:20 yang menegaskan perbedaan itu dalam peristiwa Musa di gunung Sinai yang tidak boleh memandang wajah Allah. Selanjutnya penegasannya datang dari Konsili Lateran IV (1215) yang mengajarkan: “Betapa besar kesamaan yang dilihat antara Pencipta dan ciptaanNya, perbedaannya selalu lebih besar.” Selanjutnya dogma Kalsedon menguatkan hal itu dengan pernyataan bahwa “Tuhan, Anak Tunggal, diakui dalam dua kodrat tak tercampur, tak berubah, tak terbagi.” Selanjutnya Jacobs mengemukakan: Juga dalam Kristus ditolak segala identitas antara keallahan dan kemanusiaan. Kedua ini dibedakan secara total. Allah tetap Allah, dan manusia tetap makhluk-ciptaan, juga dalam Kristus. Kristus bukan Allah-manusia dalam arti setengah Allah, setengah manusia. Bahkan kemanusiaan Kristus juga tidak punya ciri ilahi. … Kristus sungguh manusia dengan segala pengalaman dan penderitaan sebagai manusia. Maka kemanusiaan-Nya juga tidak boleh dipandang sebagai suatu “bagian” saja. Seluruhnya dan seutuhnya manusia seperti kita.

Selanjutnya Jacobs membedakan antara soteriologi yaitu theologi mengenai karya penyelamatan Allah, dan kyriologi yaitu theologi mengenai pribadi Kristus. Menurut Jacobs, tradisi theologi Yunani sampai kini yang menjadi pemahaman theologi Kristen ortodoks, mencampurkan antara soteriologi dengan kyriologi. Maksudnya bahwa karya keselamatan Allah sekarang ini dilihat dari sudut kyriologi yaitu keselamatan diletakkan dalam pribadi Kristus, sedangkan jika dilihat dari sudut Allah gambarannya menjadi lain, dimana tetap ada perbedaan antara pribadi Allah dan pribadi manusia. Hubungan antara soteriologi dan kyriologi menurut Jacobs adalah: “tindakan penyelamatan Allah, yang darinya sendiri bersifat kreatif: Tuhan menciptakan manusia dalam relasi dengan diriNya. … Allah menghubungi manusia, dan menyatakan diri dalam manusia Yesus Kristus.” Beranjak dari misteri pertama tersebut, Jacobs mengemukakan misteri kedua: Karya penciptaan dan karya penyelamatan. Jacobs menegaskan bahwa: “penciptaan adalah tindakan bebas Allah… dari dirinya sendiri ciptaan tidak punya apa-apa.” Selanjutnya Jacobs menambahkan bahwa: “Tuhan menciptakan yang bukan Allah, supaya dapat memberikan diri. Bahkan kedua ini tidak boleh dipisahkan: Tuhan menciptakan yang bukan Allah, dengan memberikan diri. Tujuan karya penciptaan adalah karya penyelamatan.” Pernyataan Jacobs tersebut penting untuk datang pada satu

(6)

46

penegasan bahwa Yesus Kristus adalah salah satu ciptaan supaya Allah bisa memberikan diri-Nya kepada manusia, seperti pernyataannya:

Kristus diciptakan bertujuan pertemuan dengan Allah. Bahkan Kristus adalah “yang sulung dari segala yang diciptakan … .” Maka Kristus diciptakan Allah tertuju kepada diri-Nya, sebagai dasar bagi kesatuan semua orang dengan Allah. Kristus diciptakan dalam penyerahan total kepada Allah. … Sebagai Anak Allah Ia tidak lepas dari manusia yang lain, melainkan adalah “yang sulung”, karena Allah menghendaki-Nya sebagai dasar karya penyelamatan-menghendaki-Nya. … Penciptaan Kristus tidak hanya sama dengan pemberian diri Allah, tetapi merupakan dasar dan awal pemberian diri Allah kepada manusia semua. Tetapi justru sebagai Pencipta, berarti sebagai Allah, Allah tetap terbedakan dari ciptaan-Nya, juga dari Kristus. Kristus seluruhnya terarah kepada Allah, tetapi tidak identik dengan Allah. Jacobs menyangkal keallahan Yesus Kristus juga dengan permainan bahasa yang melihat dari sudut pandang manusia. Kata “Tuhan” menurut Jacobs berbeda dengan kata “Allah”. Tuhan dipakai untuk Yesus dan Allah untuk Bapa dengan merujuk pada 1 Kor.8:6 dan 2 Kor.11:31. Jacobs menambahkan beberapa ayat yang mendukung argumennya antara lain dalam Yohanes 1:1 dan 18 tidak ditemukan bahwa Yesus disebut Allah tetapi Firman. Yoh.20:28 yang adalah ungkapan pengakuan Tomas, “Ya Tuhanku dan Allahku” hanya mau menonjolkan kesatuan Yesus dengan Allah.

Yang terakhir, Jacobs mengakhiri pembahasan misteri kedua ini menegaskan lagi: “Harus membedakan antara karya keselamatan Allah, mulai dengan karya penciptaan, dan manusia Yesus. Yesus adalah seorang manusia yang dari semula secara total terarahkan kepada Allah.” Misteri ketiga: Allah Tritunggal. Pada bagian ini, Jacobs berusaha menjelaskan konsep Allah Tritunggal menurut versinya. Dia memulai dengan mengangkat Kisah Para Rasul pasal 7 tentang khotbah Stefanus. Menurutnya ayat 55 dalam pasal 7 ini merupakan theologi Trinitas yang paling singkat. Jacobs menegaskan: “Allah sendiri tidak kelihatan, dan memang tidak dapat dilihat, hanya disadari kehadiran-Nya. Roh Kudus pun tidak kelihatan, merupakan daya kekuatan dalam Stephanus sendiri. Tetapi Yesus kelihatan, “di sebelah kanan Allah”. Allah tetap “bersemayam dalam terang yang tak terhampiri” (1 Tim.6:16). … Yesus sebagai Firman Allah.” Bagaimana theologi Trinitas yang dirumuskan oleh Bapa-bapa Gereja di abad permulaan yang sampai kini menjadi ajaran Kristen Ortodoks? Menurut Jacobs, theologi tentang Trinitas yang ada adalah hasil pertemuan Kristen dengan ajaran-ajaran sesat. Bahwa “pengertian mengenai Allah dikembangkan berkonfrontasi dengan ajaran-ajaran yang sesat, maka theologi tentang Trinitas lama-kelamaan dirumuskan dalam kategori pemikiran yang bukan lagi berasal dari kitab suci.”

Menurut Jacobs, hubungan Yesus Kristus dengan Bapa bukan seperti yang dirumuskan oleh Bapa-bapa Gereja mula-mula, yang perumusannya dipengaruhi oleh situasi berkembangnya ajaran-ajaran sesat. Jacobs menyatakan bahwa hubungan Allah (Bapa) dengan Yesus Kristus adalah sebagai berikut: Allah masuk ke dalam dunia manusia dengan mengadakan manusia Yesus sebagai anakNya, yang seluruhnya terarah kepada Allah sebagai BapaNya. Namun semua ini adalah tindakan Allah dan rencana Allah, yang dari awal mula sudah ada dalam diri Allah. Dalam arti itulah Yesus sebagai Firman sudah ada pada Allah sebelum segala abad. Maka karena kedudukanNya yang unik dalam karya penyelamatan Allah, Kristus juga bukan hanya seorang nabi, tetapi disebut Almasih. Dengan sebutan itu ditunjuk bahwa Ia bukan hanya pewarta karya Allah, tetapi pelaksananya. Allah sungguh bertindak dalam Yesus,

(7)

47

dan membuat Yesus menjadi alatNya, menciptakanNya sebagai penyelamat. Dalam arti itu Ia Anak Allah. Kitab suci memberikan julukan ini kepadaNya sebagai gelar kehormatan untuk mengungkapkan kasih Allah yang istimewa kepadaNya.

Yesus Kristus bukan salah satu dari tiga pribadi Allah dalam Trinitas yang setara dengan Allah Bapa, tetapi Ia hanya suatu pribadi dimana Allah Bapa bertindak di dalamnya. Yesus Kristus hanyalah ciptaan Allah untuk tugas penyelamatan yang dirancangkan Allah Bapa.

Eksposisi Tentang Sang Firman Dalam Injil Yohanes

Berikut ini akan diulas, siapakah sang Firman dalam Injil Yohanes melalui eksposisi ayat-ayat dalam Injil Yohanes.

Firman Ada Sejak Kekal.

Injil Yohanes dimulai dengan ayat-ayat Kristologi yang sangat jelas di dalam Alkitab. Yohanes memulai Injilnya dengan sang Firman, yaitu Kristus: “Pada mulanya adalah Firman” (Yoh.1:1). Hanya Yohanes yang mengatakan Yesus sebagai Firman (logos). Dalam prolog Injil Yohanes istilah “Firman” (logos) muncul dua kali yaitu: “Pada mulanya adalah Firman, Firman itu bersama-sama dengan Allah, dan Firman itu adalah Allah” (1:1). “Firman itu telah menjadi manusia (sarks) dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaanNya” (1:14). Untuk mengerti keberadaan “Firman” (logos) dalam ayat 1 ini, sangat penting untuk mengerti kata Ἐν ἀρχῇ (en arche, “Pada mulanya”) yang mendahuluinya. Murray J. Harris menegaskan: Since the Greek Bible begins with the expression Ἐν ἀρχῇ (“in the beginning”), rendering תי ִׁ֖ שא ֵר ְּב, it seems likely that John is alluding to Genesis 1:1. But whereas the first verse of the Torah continues “God created,” John follows with “the Word (already) exist.” In Genesis the creation of the world is contemporaneous with or marks “the beginning”; in John the existence of the Word is anterior to “the beginning.”

Di sini Harris menjelaskan tentang penggunaan kata Ἐν ἀρχῇ (en arche, “Pada mulanya”) oleh Yohanes yang nampaknya mengulangi kata pertama dari kitab Kejadian, תי ִׁ֖ שא ֵר ְּב (beresyit, “Pada mulanya”). Mengenai hubungan Kejadian 1 dengan prolog injil Yohanes ini, lebih lanjut Herman Ridderbos mengemukakan sebagai berikut:

The words “In the beginning,” with which the prologue begin, also form the beginning of the book of Genesis and hence of the entire Torah. From this earlier occurrence they derive a solemn, perhaps even sacred, sound. Further more, the words that follow in John, the pronouncements concerning the Word, echo what in Genesis 1 constitutes the foundation of God’s revelation in the Old Testament and of Israelite religion: God’s creation of heaven and earth. All that now follows in the Gospel has to be understood from the perspective of that “beginning”: It arises from that beginning, and that beginning is its deepest and most essential Sitz im Leben.

Perbedaan antara kata “pada mulanya” dalam Kejadian dan dalam Injil Yohanes adalah, jika kata pertama dalam Kejadian mengacu kepada penciptaan dunia atau menandai adanya permulaan dunia dan ciptaan, kata pertama dalam injil Yohanes mengacu pada keberadaan sang Firman yang lebih dahulu ada sebelum “pada mulanya” terjadi. Hal ini terlihat dalam penggunaan kata penghubung Ἐν ἀρχῇ dan ἦν (en) yang menyatakan pra-eksistensi kekal dari sang Firman. Harris menegaskan:

(8)

48

In itself John 1:1a speaks only of the pretemporality or supratemporality of the Logos, but in his conjunction of Ἐν ἀρχῇ and ἦν… John implies the eternal preexistence of the Word. He who existed “in the beginning” before creation was himself without a beginning and therefore uncreated. There was no time when he did not exist. John is hinting that all speculation about the origin of the Logos is pointless. Menurut Ridderbos, prolog Injil Yohanes, secara khusus ayat 1-5 yang merupakan eksposisi dari Kejadian 1:1-5, memberi dasar pada peristiwa kedatangan Kristus ke dunia, dan bahwa kata “pada mulanya” dalam Yohanes 1 memiliki arti yang lebih luas dari pada kata “pada mulanya” dalam Kejadian 1. Ridderbos menjelaskannya demikian: “…the words “in the beginning” in John 1 have a broader meaning than they do in Genesis 1 and that they refer to something behind Genesis…. They refer to the Word and to the Word’s existence with God “before the world was made” as a being distinct from God.”

Waaler menjelaskan dalam bentuk gambar mengenai frase “Pada mulanya adalah Firman” (Ἐν ἀρχῇἦν ὁ λόγος, en arche en ho logos) (dalam bentuk imperfek) sebagai berikut: Mulanya Dunia Firman Ada “Pada mulanya,” itu berarti waktu yang lampau. Tetapi pada waktu lampau itu, Yesus sudah ada, secara duratif (terus menerus). Pra-eksistensi Firman ditekankan oleh Yohanes. Pra-Pra-eksistensi ini memang sesuai dengan pengajaran Yesus mengenai diriNya sendiri: “sebelum Abraham jadi, Aku telah ada” (Yoh. 8:58, 7:5). Pengakuan dari Tuhan Yesus ini mengacu pada PL yakni dalam Keluaran 3:14, dimana Allah mengatakan tentang diri-Nya sendiri: “Aku adalah Aku.”

Hubungan Antara Firman Dengan Bapa

Hubungan antara Firman dengan Bapa dapat dilihat pada penggunaan kata πρὸς (pros), “bersama-sama,” dalam Yohanes 1:1. Henry Alford menyatakan: “the usage of πρὸς here, as with, is sufficiently borne out by the refference. Basil remarks that John says πρὸς τὸν θεόν… Both the inner substansial union, and the distinct personality of the λόγος are here asserted.” Di sini Alford menyatakan bahwa kata pros (“bersama-sama”) memberikan pengertian bahwa ada satu pribadi yang berbeda yaitu sang Firman (logos), tetapi sang Firman tersebut satu substansi-Nya dengan Allah (Bapa). Lebih lanjut Alford menegaskan: “The former is distinctly repeated in the next words. καὶ ὁ λόγος ἦν πρὸς τὸν θεόν, … he had distinguished God from the Word.” Sang Firman bersama dengan Allah (Bapa) karena mereka memiliki satu substansi tetapi merupakan pribadi yang dapat dibedakan. Sementara itu Jey J. Kanagaraj dan Ian Kemp menjelaskan tentang pengertian pros ini sebagai berikut:

The Greek word pros literally means towards, giving rise to interpretations of the Logos as facing towards God or talking to God, that is as a person distinct from God. To press such a literal use of this word seems unjustified in view of other interpersonal uses of pros in the New Testament where it indicates little more than a fairly intimate personal relationship. Kanagaraj dan Kemp memberi penjelasan di sini bahwa secara literal pros berarti berhadapan muka dengan Allah atau berbicara dengan Allah. Hal itu menunjukkan adanya hubungan pribadi yang intim atau sangat dekat dengan Allah. Maka hubungan yang ditunjukkan oleh kata pros ini menandakan secara langsung bahwa Logos adalah pribadi yang berbeda. Dengan demikian Yohanes menolak pengajaran Gnostik di abad pertama bahwa Logos adalah sebuah emanasi Allah, juga menolak pengajaran Panteisme bahwa segala sesuatu adalah Allah, dan pengajaran Unitarianisme yang meneruskan ajaran Arianisme bahwa Allah hanya memiliki satu

(9)

49

pribadi. Mengenai kata θεὸς (tanpa kata sandang) dalam ayat 1c dibedakan dengan kata τὸν θεόν (dengan kata sandang) dalam ayat 1b. Alford menyatakan bahwa ini digunakan Yohanes untuk membedakan Allah dengan sang Firman sebagaimana yang ia kemukakan: θεὸς must then be taken as implying God, in substance and essence, not ὁ θεὸς, the Father, in person. It does not ὁ θεὸς, nor is it to be rendered a God- but, as in τὸν θεόν, τὸν expresses that state into which the Divine Word entered by a definite act, so in θεὸς ἦν, θεὸς expresses that essence which was His Ἐν ἀρχῇ: that He was very God. So that this first verse might be connected thus: the Logos was from eternity, -was with God (the Father), -and was Himself God.

Donald Guthrie menyatakan bahwa dalam prolog Injil Yohanes, “Firman” diberi sifat-sifat Allah, yang menunjukkan keberadaan pra-eksistensi-Nya. Tetapi dalam bagian berikut dikatakan secara langsung bahwa “Firman itu adalah Allah” καὶ θεὸς ἦν ὁ λόγος, (kai theos en ho logos). Artinya bukan ‘seorang Allah’ (atau ilahi), tetapi bahwa Firman memiliki sifat Allah. Jika yang dimaksudkan oleh Yohanes di sini bahwa Firman adalah ‘ilahi’ maka dia pasti akan menggunakan istilah θεὶὸς (theios). Juga bila yang Yohanes maksudkan bahwa Allah dan Firman adalah satu dan tidak ada bedanya sama sekali, maka dia akan memakai kata sandang sebelum istilah Allah (ὁ θεὸς, ho theos). Tetapi dengan demikian pengajarannya menjadi serupa dengan pengajaran Sabellius yang tidak mau mengakui bahwa Bapa, Anak dan Roh Kudus adalah tiga pribadi dalam Allah. Hal ini tidak benar karena dalam kalimat sebelumnya Yohanes mengatakan bahwa Firman bisa menghadapi Allah: “Firman itu bersama-sama dengan Allah” (ὁ λόγος ἦν πρὸς τὸν θεόν, ho logos en pros ton theon). Lebih lanjut, Guthrie menyatakan bahwa: “Seharusnya pernyataan ini berarti bahwa walaupun Firman itu adalah Allah, namun pengertian tentang Allah mencakup lebih dari pada Firman “. Sang Firman adalah Allah sama halnya dengan sang Bapa adalah Allah. Dia ada dalam persekutuan yang sangat dekat dengan Allah dan hidup dengan Allah. Kanagaraj dan Kemp menegaskan: “The Logos is theos, because he is exist in the closest union of being and life with ho theos. As Bruce puts it, “The Word shared the nature and being of God, or … was an extension of the personality of God.” Maka apabila membicarakan Logos, yang Yohanes maksudkan bukanlah suatu pribadi yang lebih rendah dari Allah, sebagaimana yang Kanagaraj dan Kemp tegaskan: “In speaking of personal distinctions John does not wish to suggest that the Logos is any less than God.” Kesatuan antara sang Firman dengan Bapa dengan tegas dikemukakan Yesus dalam Yohanes 10:30, “Aku dan Bapa adalah satu.” Kata “satu” dalam bahasa Yunani adalah dalam bentuk neuter, bukan bentuk maskulin. Menurut Morris hal ini menunjukkan bahwa Yesus ingin menegaskan suatu kesatuan dasar yang mendalam, sekalipun yang dimaksudkan Yesus bukanlah dua pribadi yang identik. Kesatuan antara Bapa dan Yesus diikat dengan ikatan kasih seperti yang nampak dalam Yohanes 17:23. C. K. Barrett, sebagaimana yang dikutip Morris bahkan menegaskan bahwa kesatuan itu nampak dari adanya kasih, ketaatan dan bahkan kesatuan esensi antara Bapa dan Anak: “…the oneness of Father and Son is a oneness of love and obedience even while is it a oneness of essence.” Lebih lanjut Morris menegaskan:

It is true that there is a unity of love. … there is a unity that proceeds from Jesus’ constant obedience to the Father. A further aspect of unity consists in the fact that Jesus is the perfect revelation of the Father (1:18), and there is a unity between the Son who reveals the Father and the Father he reveals. … But as Barrett says, there is also

(10)

50

“oneness of essence.” … we can know that there is such a unity of being between these two as exists nowhere in all creation.

Ketaatan Yesus kepada Bapa menunjukkan adanya kesatuan kasih antara Yesus dan Bapa, dan sebaliknya, kesatuan kasih-Nya dengan Bapa terwujud dalam tindakan ketaatan-Nya akan perintah Bapa. Kesatuan Yesus dan Bapa juga terlihat dalam fungsi Yesus dalam menyatakan Bapa kepada manusia. Hal tersebut makin ditegaskan oleh adanya kesatuan keberadaan kedua pribadi tersebut dalam semua tindakan penciptaan dan pemeliharaan ciptaan-Nya.

Berhubungan dengan kesatuan yang menunjukkan keberadaan Trinitas, lebih lanjut Kanagaraj dan Kemp menegaskan bahwa: “There is in fact, more to God than Father alone or than Son alone, not that the Father and the Son are together more God than the Father alone, or than the Son alone, but that together (with the Spirit) there is one Godhead, each person being equally God.”

Di sini Kanagaraj dan Kemp menegaskan suatu hubungan keallahan bahwa Allah yang memiliki tiga pribadi, ketiganya seimbang ke-Allahan-Nya. Bapa sendiri tidak lebih Allah dari Anak sendiri, atau Bapa bersama-sama dengan Anak menjadi lebih Allah dari Bapa sendiri atau Anak sendiri, tetapi ketiganya (dengan Roh Kudus) secara bersama-sama adalah satu Allah.

Hubungan Antara Firman Dan Dunia

Yohanes 1:3 mengajarkan hubungan antara Firman dan dunia melalui frase “segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan.” “Segala sesuatu” (πάντα, panta) menunjukkan pengertian yang luas, menunjuk pada dunia, yaitu alam semesta dari hal-hal yang diciptakan (the universe of created things). Segala sesuatu yang diluar Allah telah jadi; dan segala hal yang telah dijadikan tersebut, dijadikan oleh Logos. Frasa “segala sesuatu” dalam ayat 3a yang ditambahkan dengan frase “tidak ada suatu pun” dalam ayat 3b menunjukkan penekanan bahwa “tidak ada suatupun” merupakan pengecualian dari yang diciptakan sang Firman, sebagaimana ditegaskan Ridderbos: “The emphatic position that ‘all things’ has in vs.3 and the addition that ‘nothing’ is excepted from what has been made by the Word.” Dalam konteks ini, πάντα (“segala sesuatu”) lebih kuat kedudukannya dari οὐδὲ ἕν (“tidak ada suatupun”), hal ini tidak hanya menunjukkan totalitas “segala sesuatu” tetapi juga keragaman dari “segala sesuatu” yang diciptakan itu. Selanjutnya Yohanes menyatakan “segala sesuatu dijadikan oleh Dia.” Kata depan “oleh” (dari kata Yunani διά, dia) mengimplikasikan pengantara dan mengacu pada beberapa teks seperti 1 Korintus 8:6; Kolose 1:16 dan Ibrani 1:2 yang menggambarkan Kristus sebagai perantara dari ciptaan. Tetapi bukan hanya kata depan “oleh” tersebut yang menunjukkan pengantara, tetapi sang agen (Firman) juga adalah pengantara. Sekalipun demikian, sang Firman bukanlah sekedar alat atau instrumen saja, tetapi hal itu menggambarkan tindakan opera ad extra dari Trinitas dalam tindakan penciptaan sebagaimana ditegaskan Lenski:

While the preposition διά denotes the medium, Rom.11:36 and Heb.2:10 show that the agent himself may be viewed as the medium; hence “through him,” i.e., the Logos, must not be read as though the Logos was a mere tool or instrument. The act of creation, like all the opera ad extra, is ascribed to the three persons of the Godhead and thus to the Son as well as to the Father … Alford, mengutip Olshausen menegaskan juga bahwa hubungan antara Firman dan Bapalah yang menghasilkan

(11)

51

penciptaan. Sang Bapa tidak menciptakan dari diri-Nya sendiri, tetapi melalui sang Anak (Firman) dan sang Anak tidak menciptakan melainkan sang Bapa melalui diri-Nya. Hal ini menyangkal pengajaran semi-Arianisme bahwa sang Anak diperanakkan melalui kehendak sang Bapa: We never read in Scripture that “Christ made the world;” but “the Father made the world διά the Son,” or “the world was made by the Father, and διά the Son:” because the Son never works of Himself, but always as the revelation of the Father; His work of the Father’s will, and the Father has no Will, except the Son, who is all His will …therefore rejected the semi-Arian formula, “the Son was begotten by an act of the Father’s will; “for He is that Will Himself.

Kanagaraj dan Kemp menyebut sang Firman sebagai “the originator and sustainer of the creation (pemula dan penopang ciptaan). Dia menyatakan bahwa sang Firmanlah yang memulai dan menopang ciptaan. Selanjutnya Kanagaraj dan Kemp menegaskan beberapa implikasi yang dapat dilihat dari hal ini yaitu:

The Word was God’s personal agent in the creation of everything. Whether the original act of creation is in mind (were made … was made) or the state of the created order (has been made), it all came into existence through him…. ii. The Word existed before creation. Paul puts it even more specifically and in direct reference to Christ, for by him all things were created…by him and for him. He is before all things, and in him all things hold together. (Col.1:16,17). iii. The Word created out of nothing. There were no pre-existing materials out of which God the Logos created the world, no primeval dualism whereby some other being or material eternally existed alongside of God … The Word is the agent of the self existent God…

Sang Firman adalah agen pribadi Allah dalam menciptakan segala sesuatu. Apakah tindakan tersebut masih dalam rancangan atau telah dilaksanakan semuanya jadi melalui sang Firman. Sang Firman telah ada sebelum ciptaan ada dan Dia menciptakan segala sesuatu dari sama sekali tidak ada. Tidak ada material apapun yang telah ada sebelum Allah menciptakannya, atau tidak ada suatupun yang telah ada pada mulanya di samping Allah. John Calvin menegaskan: “All things were made by him, having declared that the Word is God and proclaimed His divine essence, he goes on to prove His divinity from His works.” Bahwa frase “segala sesuatu dijadikan oleh Dia” menunjukkan bahwa sang Firman adalah Allah dan telah menyatakan esensi keilahian-Nya, dan sang Firman membuktikan keilahianNya itu melalui karya-Nya.

Inkarnasi Sang Firman

Pokok yang paling bertentangan baik dengan pengajaran Yahudi maupun dengan filsafat Yunani ialah inkarnasi. Doktrin inkarnasi merupakan doktrin keyakinan yang menjadikan Kekristenan unik di antara agama-agama lain di dunia. Doktrin ini mengekspresikan keyakinan Kristen bahwa: “Allah membuat diri-Nya diketahui secara utuh, secara spesifik, dan secara pribadi, dengan mengambil natur manusia untuk diri-Nya, dengan datang di antara kita sebagai manusia biasa, namun tanpa berhenti menjadi Allah yang kekal dan tidak terbatas.”

Dalam teks Injil Yohanes ini, inkarnasi dikalimatkan dengan frase: “Firman itu telah menjadi manusia” (Yoh. 1:14). Sekarang Yohanes mengajarkan natur datangnya Yesus Kristus yang menurutnya mengenakan tubuh (daging) manusia, dan menampilkan diri-Nya bagi dunia. “Firman itu telah menjadi manusia,” (ὁ λόγος σὰρξ ἐγένετο, ho logos sarks egeneto). Kata Firman (logos) diulangi Yohanes dalam pengertian: “sesuatu yang sama yang sebelumnya adalah Firman, adalah Hidup dan

(12)

52

Terang, sekarang telah menjadi daging.” Kanagaraj dan Kemp menegaskan: “Became flesh is incarnation, which means quite literally en-fleshment (menjadi daging adalah inkarnasi, yang secara literal berarti “pendagingan”).” “Daging” (sarks) menunjukkan tubuh manusia atau dalam pengertian pembahasan ini adalah manusia Yesus sebagaimana ditegaskan Bengel: “Flesh … denotes the human body, or as here, the man himself, named from his visible part. (and viewed especially on the side of his weakness and mortality.” Selanjutnya Bengel mengutip Luther menjelaskan bahwa dengan menjadi daging maka (sang Firman): “he has assumed our pitiable mature, as it now is; and hence, with it, all human infirmities and accidents, and even the necessity of death.” Jadi pengertian “daging” menunjuk pada semua keberadaan manusiawi dengan segala kelemahan-kelemahan yang ada pada manusia dan tubuh yang pasti binasa (mati). Tubuh Kristus adalah tubuh yang nyata, lahir dari perawan Maria, bukan sekedar kenampakan daging sebagaimana yang diajarkan Doketisme. Meskipun demikian, tubuh-Nya tersebut merupakan tubuh yang tidak berdosa, karena pengertian “daging” tersebut hanya menggambarkan natur manusia, tidak termasuk dosa. Lenski menegaskan: “…while the Word became flesh, he did not become sinful flesh; for the word flesh itself, as describing our nature, does not include sin.”

Sementara itu, kata “menjadi” (ἐγένετο, egeneto) secara literal dapat diartikan dengan: “a person or thing changes its property and enters into a new condition, becomes something that it was not before (suatu pribadi atau hal merubah sifatnya dan memasuki sebuah kondisi yang baru, menjadi sesuatu yang belum pernah dialami sebelumnya).” Pemakaian bentuk aorist pada kata Yunani ini menunjukkan bahwa ini menjadi satu-satunya peristiwa yang menentukan dalam sejarah, tetapi juga mengandung arti: “a temporary sojourn” (berdiam sementara). Lenski menegaskan bahwa: “the Logos remained σὰρξ only until his redemptive work was finished, then not to discard the tent of his flesh but to transfer his human nature into the Holy of Holies above by the miracle of his glorification and ascension (sang Firman tinggal di antara kita hanya sampai pekerjaan penebusannya selesai, kemudian tanpa membuang tenda dagingnya tersebut tetapi merubah sifat manusianya menjadi yang Kudus melalui mujizat pemuliaan dan kenaikanNya).”

Bentuk yang sama (aorist) juga digunakan pada frase berikutnya: “dan diam di antara kita” (καὶἐσκήνωσεν ἐν ἡμῖν, kai eskenosen en humin). Kata σκηνόω berarti sojourned (telah berdiam) atau tabernacled (telah berkemah). Orang-orang Yahudi berbahasa Yunani pikirannya mengacu pada tabernakel dalam Perjanjian Lama, sebuah kemah (skene) dimana Allah berkata bahwa Dia akan berdiam di antara mereka pada tempat yang paling pusat dari perkemahan orang Israel (Kel.25:8). Kemp menegaskan: “John says that this is what has happened now in the incarnation, but instead of coming to dwell in any tent or temple, God has now taken up his dwelling in human being; he has become just like one of us.” Sebagaimana konsep Perjanjian Lama bahwa Allah berdiam ditengah-tengah orang Israel, maka dengan mengatakan “diam di antara kita”, Yohanes menyatakan apa yang kini terjadi dengan inkarnasi, Allah tidak hanya diam dalam kemah atau bait Allah tetapi Dia berdiam di antara manusia, menjadi manusia. Menjadi daging bukan berarti sang Firman secara total dan seterusnya berubah/berganti menjadi daging, tetapi yang dimaksud di sini bahwa sang Firman tanpa berhenti menjadi apa adanya Dia sebelumnya, sekarang menjadi daging yaitu apa yang sebelumnya belum pernah Dia alami, hal ini ditegaskan Lenski: “From the start the thought must be rejected that σὰρξ here means a transformation of the

(13)

53

Logos into flesh. The Word did not cease to be what it was before; but it became what it was not before-flesh.” Untuk menegaskan kenyataan sejarah dari inkarnasi, Yohanes memberikan kesaksiannya bahwa dia dan orang-orang percaya lainnya benar-benar telah melihat keberadaan inkarnasi tersebut dengan mata mereka sendiri, sebagaimana yang Yohanes nyatakan dalam 1 Yohanes 1:1, “Apa yang telah ada sejak semula, yang telah kami dengar, yang telah kami lihat dengan mata kami, yang telah kami saksikan dan yang telah kami raba dengan tangan kami tentang Firman hidup – itulah yang kami tuliskan kepada kamu.” Apa yang telah mereka saksikan adalah kemuliaan-Nya, sebuah kata yang dekat hubungannya dengan berdiamnya Allah dalam tabernakel atau kemah dalam Perjanjian Lama, dimana padanan kata skene (Yunani) dalam bahasa Ibrani adalah shekinah yang juga berarti berdiam. Dalam konteks tabernakel di padang gurun, kata shekinah adalah kemuliaan Allah yang membuat diri-Nya hadir di sana. Awan yang menunjukkan kehadiran Allah, dan kemuliaan Tuhan, tinggal baik pada tabernakel dan rumah Tuhan (Kel.24:16; 40:34; 1 Raj.8:10,11). Di zaman Perjanjian Baru kemuliaan shekinah (shekinah glory) menjadi istilah yang menunjukkan manifestasi yang kelihatan dari Allah, sebagaimana yang dinyatakan Yohanes mengenai Logos. Dengan demikian, orang Kristen menggunakan kata inkarnasi untuk mengekspresikan keyakinannya bahwa lahirnya Yesus Kristus menandai masuknya Anak Allah yang kekal dan ilahi kedalam kehidupan umat manusia. Yesus bukan manusia biasa. Juga tidak benar bila mengatakan bahwa Yesus itu mirip Allah. Pendirian Kristen secara menyejarah adalah Yesus Kristus sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia. John Stott menyatakan bahwa Yesus Kristus memiliki relasi esensial dan kekal dengan Allah. Tetapi Dia bukanlah Allah yang menyamar, juga bukan manusia yang mempunyai kualitas ilahi, tetapi sebagai Allah-manusia.

Kesetaraan Firman Dengan Bapa

Kesetaraan Firman dengan Bapa nampak dalam perkataan Yesus pada pasal 5 ayat 17 bahwa: ”BapaKu bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga” (ὁ πατήρ μου ἕως ἄρτι ἐργάζεται κἀγὼἐργάζομαι, ho pater mu heos arti ergazetai, kago ergazomai). Ayat ini tidak dapat dipisahkan dari ayat-ayat sebelumnya tentang pekerjaan penyembuhan yang Yesus lakukan terhadap seorang yang sakit lumpuh selama tiga puluh delapan tahun dan terbaring di kolam Betesda. Pada ayat 16 disebutkan bahwa “orang-orang Yahudi berniat menganiaya Yesus, karena Ia melakukan hal-hal itu pada hari Sabat.” Hari Sabat bagi orang Yahudi adalah hari yang khusus yang ditetapkan Allah bagi mereka, dimana setiap orang tidak diperkenankan melakukan pekerjaan apapun, sekalipun itu pekerjaan yang baik. Alford mengemukakan: “The true keeping of the rest of the Sabbath was not that otiose and unprofitable cessation from even good deeds, which they would enforce: the Sabbath was made for man; and, in its Jewish form, for man in a mere state of legal discipline (which truth could not yet be brought out to them,…)”.

Leon Morris menyatakan tentang hari Sabat: “in the Misnah tractate Shabbath, we read of thirty-nine classes of work forbidden on the Sabbath (Shabbath 7:2).” Masalah yang terjadi dalam Yohanes 5:1-15 ini adalah Yesus melakukan penyembuhan dan menyuruh orang lumpuh tersebut mengangkat tilamnya. Walaupun orang-orang Yahudi secara langsung tidak melihat tindakan penyembuhan Yesus tersebut, akan tetapi mereka menyaksikan bahwa orang lumpuh tersebut mengangkat tilamnya, dan dengan demikian mendapat bukti untuk menyalahkan dia atau orang yang menyuruh

(14)

54

dia mengangkat tilamnya. Morris menegaskan: “One of the regulations provided that if a man was carried on a couch, “he is not culpable by reason of the couch, since the couch is secondary” (Shabbath 10:5). But apparently a couch by itself was quite another matter. It was not secondary, and the man was therefore culpable.”

Peraturan Sabat memungkinkan orang dapat melakukan tindakan tertentu (untuk kebaikan orang lain) pada hari Sabat, sebagaimana yang tercantum dalam peraturan Sabat 10:5 tentang orang yang diangkat dengan tilam. Tetapi mengangkat tilam itu sendiri dengan jelas dilarang dilakukan pada hari Sabat. Hal inilah yang dilakukan oleh orang lumpuh itu sesuai dengan perintah Yesus.

Pembelaan diri Yesus terhadap keberatan-keberatan orang Yahudi sangat menarik, karena Yesus tidak menunjuk secara langsung pada hari Sabat itu tetapi pada sang Bapa dalam ayat 17, “BapaKu bekerja sampai sekarang, maka Akupun bekerja juga.” Lenski menyatakan bahwa: “this brief word is like a shot into the center of the target … It absolutely and completely refutes the Jewish authorities.” Yesus tidak berkata “Bapa kita,” yang dengan demikian akan menempatkan diri-Nya sederajat dengan orang-orang Yahudi dan dengan semua orang lainnya, tetapi Dia menyebut: “BapaKu.” Hal ini adalah: “a claim to a special intimacy, and the Jews recognized it as such.”

Dengan berkata: “BapaKu bekerja sampai sekarang, maka Aku pun bekerja juga,” Yesus menegaskan bahwa pekerjaan-Nya adalah refleksi dari pekerjaan Bapa. Sebutan Yesus terhadap Allah dengan “BapaKu,” bagi orang-orang Yahudi mempunyai arti bahwa Yesus menjadikan Allah ikut mengambil bagian dalam “kejahatan” Yesus melanggar hari Sabat. Kenyataan bahwa Yesus adalah Allah dan setara dengan Bapa nampak dalam otoritas-Nya atas hari Sabat. Dia adalah sang Anak tunggal dari Bapa yang melakukan tindakan-tindakan keallahan dalam hubungan dengan hari Sabat: “doing the works of God in the world, stands on higher ground, and hallows, instead of breaking the Sabbath, by thus working on it.” Morris menghubungkan hukum Sabat dengan berhentinya Allah dari tindakan penciptaan pada hari ketujuh dalam Kejadian 2:2-3: “The Sabbath rest thus derives from God’s resting from his creating activity. But that does not mean that God rested from everything. There might be no more creating, but unless there was a sustaining activity from God, creation could not last. He continually upholds everyhing.” Allah memang berhenti mencipta pada hari yang ketujuh, tetapi tidak berarti Allah berhenti melakukan segala sesuatu. Allah berhenti mencipta, tetapi Dia tetap melakukan tindakan aktivitas menopang dan memelihara dunia dan isinya. Peraturan tentang hari Sabat berasal dari tindakan beristirahatnya Allah dari mencipta pada hari ketujuh ini. Sikap Yesus pada hari Sabat itu berdasarkan pada kesadaran-Nya akan keallahan-Nya: “he claims a special closeness to God. In the synoptic Gospels he justifies what he does on the Sabbath with words: ‘so the Son of Man is Lord even of the Sabbath’(Mark.2:28).”

Hal ini menekankan otoritas Yesus atas apa yang ditetapkan Allah. Allah menetapkan Sabat bagi manusia; dan tidak seharusnya Yesus yang adalah Allah tunduk atas ketetapan yang Dia keluarkan. Morris menegaskan: “Jesus has a special relationship to the Father, a relationship that issues in his being “the Son of Man” and having a special position that enables him to do what he does. And that relationship justifies him in doing on the Sabbath what God does.”

Yesus mempunyai hubungan yang khusus dengan Bapa, yaitu sebagai sang Anak Manusia, dan juga mempunyai posisi yang khusus yang memungkinkan Dia melakukan

(15)

55

apa yang telah dilakukan-Nya itu. Hubungan khusus tersebut membenarkan apa yang Dia lakukan. Alford menyatakan bahwa hal ini merupakan sebuah pernyataan yang paling penting dari salah satu ajaran Kristen yang tertinggi dan terkudus.

Analisa Terhadap Konsep Ioanes Rakhmat dan Tom Jacobs Mengenai Logos dan Pribadi Kedua Allah Tritunggal

Berikut ini akan penulis akan menganalisa konsep yang dikemukakan Ioanes Rakhmat dan Tom Jacobs mengenai logos dan pribadi kedua Allah Tritunggal.

Secara jelas, Rakhmat maupun Tom Jacobs mendapat pengaruh dan memiliki salah satu atau lebih presuposisi yang juga dipunyai tokoh pluralis yang lain. Salah satu yang menunjukkan hal ini adalah penolakannya atas ke-Allahan Yesus Kristus. Dengan menyebut Yesus Kristus bukan Allah, berarti juga menolak konsep Trinitas, karena konsep Kristen tentang Trinitas, mensyaratkan adanya tiga pribadi, Bapa, Anak dan Roh Kudus yang setara keberadaan-Nya secara ontologis (satu dalam esensi). Dengan demikian, Ioanes Rakhmat dan Tom Jacobs dapat digolongkan sebagai anti-trinitarianisme. Konsep penganut anti-trinitarianisme selalu mempunyai efek relativisme. Konsep relativisme jelas terlihat dalam pernyataan Jacobs sebagai berikut: “Soal agama lain hanya dapat dipecahkan kalau mengakui agama sendiri sebagai yang relatif, artinya sebagai suatu kenyataan historis terbatas. Dan di dalam itu orang dapat menemukan relasi absolut dengan Allah. Yang dibutuhkan adalah suatu theologi wahyu, sebagai dasar untuk theologi pluralisme agama.”

Jacobs mengemukakan konsep agama yang relatif demi memecahkan masalah kebenaran yang “dimiliki” agama-agama lainnya. Ini menunjukkan suatu konsep filsafat relativisme. Menyangkut relativisme ini, Frame menegaskan:

Hal itu lebih mengarahkan pada Allah yang “berbeda seluruhnya” dari pada Allah yang transenden dalam pengertian Alkitab, secara paradoks, pada waktu yang sama, anti-trinitarianis mengarahkan pada Allah yang relatif terhadap dunia, dari pada Tuhan yang berdaulat dalam Alkitab. Pandangan ini juga membuat perbedaan Pencipta-ciptaan berbeda lebih ke dalam hal derajat dari pada perbedaan keberadaan.

Relativisme ini menyebabkan Allah menjadi tidak dikenal sama sekali karena Dia secara absolut berbeda dengan manusia, dan berbeda derajat dengan manusia dalam pengertian, manusia tidak berharga sama sekali di hadapan Allah yang “berbeda seluruhnya” itu. Salah satu contoh pernyataan Jacobs tentang perbedaan antara Allah sebagai pencipta dan manusia sebagai ciptaan Allah adalah: “… sebagai Pencipta, berarti sebagai Allah, Allah tetap terbedakan dari ciptaanNya….” Jacobs sungguh menekankan antara Allah dan manusia. Apa yang Jacobs kemukakan ini sebenarnya mengikuti tradisi kaum unitarianis kuno yaitu Gnostik, Arian, dan Neoplatonis. Frame mengemukakan bahwa kaum unitarianis kuno tersebut berusaha untuk menjawab Allah yang Satu. Tetapi Satu yang bagaimana? Menurut Frame, Allah yang Satu dalam konsep mereka tidak bisa digambarkan dalam bahasa manusia karena Allah dalam pengertian itu (dalam ungkapan modern “the wholly other”) berbeda sama sekali dan tidak dapat dipahami oleh pikiran manusia. Jadi kaum unitarianis menjawab pertanyaan tentang Allah yang Satu itu, dengan penekanan pada ciptaan: “Allah adalah suatu kesatuan yang sempurna dari hal-hal tersebut sehingga terpisah dalam ciptaan.” Akan tetapi, jika Allah didefinisikan hanya berkenaan dengan ciptaan, maka Ia adalah relatif terhadap ciptaan, dan hal itu hanya menunjukkan bahwa ciptaan adalah bentuk emanasi Allah. Frame menegaskan: “Para unitarianis awal ini melihat realita sebagai suatu “rantai keberadaan” antara Allah yang tidak dapat diketahui dan

(16)

56

dunia yang dapat diketahui (sebuah dunia yang sebenarnya adalah suatu emanasi Ilahi: Allah dalam pluralitasNya). Allah adalah relatif terhadap dunia, dan dunia adalah relatif terhadap Allah.” Chris Wright menyatakan bahwa dengan pandangan ini, kaum pluralis (termasuk Rakhmat dan Jacobs) mengurangi Allah menjadi hal yang abstrak. Mereka menginginkan orang Kristen mengadopsi bentuk pluralis teosentrisme, yaitu tidak lagi meletakkan Kristus atau Gereja pada pusat kepercayaan, tetapi hanya Allah saja. Hal ini menyebabkan theos (Allah) yang akhirnya berada pada pusat kepercayaan menjadi sama sekali abstrak. Lebih lanjut Wright menegaskan bahwa apa yang dilakukan Pluralisme pada Kekristenan itu juga yang dilakukan pada semua agama; tidak satupun dari agama-agama tersebut mempunyai hubungan pada kebenaran tertinggi tentang Allah sebagaimana Allah itu sesungguhnya. Wright menegaskan: “Whatever those believers may think or claim, the names of their gods are not to be identified with the actual divine reality … Those names or concepts found in the various religions are like humanly constructed “masks” by which the divine is thought to be encountered by devotees of those religions. But none of them is ultimate true in the way their worshippers claim.” Bahasa kaum pluralis cenderung pada bentuk ilahi yang tak berpribadi. Kebanyakan orang menemukan bahwa konsep yang abstrak dari para filsuf lebih sulit dimengerti, bahkan lebih sulit dipercaya bagi keselamatannya.

Bagaimana Allah yang Satu itu dimengerti dari sudut pandang Alkitab? Perjanjian Baru merupakan sumber penjelasan yang terbaik tentang Allah, sebagaimana ditegaskan Frame:

Perjanjian Baru mempunyai sebuah jawaban yang luar biasa bagi pertanyaan Satu bagaimana? Perjanjian Baru menjawab, “satu kesatuan dari Bapa, Anak dan Roh Kudus”! Ini menarik bahwa waktu Perjanjian Baru sangat kuat menekankan kesatuan Allah, Perjanjian Baru nampaknya tidak bisa menolak penyebutan lebih dari satu pribadi Tritunggal. I Korintus 8:4 dst. dan Efesus 4:4-6 adalah contoh dari hal ini. Perhatikan juga pengajaran dalam I Korintus 12:4-6, tentang kesatuan gereja sebagai yang berasal dari satu Tuhan. Yohanes 17:3 dan Matius 28:1-9 dst. juga relevan.

Untuk memahami mengapa Jacobs mengemukakan konsep Allah yang seperti itu, penting ditelusuri latar belakang pendidikan Jacobs. Tom Jacobs, sebagaimana diketahui adalah seorang imam Katolik yang mulai belajar filsafat skolastik sejak masa mudanya. Sekalipun Jacobs mengatakan bahwa kini ia “berubah” ketika ia mulai mengenal kitab suci, dan menjadi sumber pengetahuan sendiri mengenai Allah dan karya keselamatanNya, akan tetapi pemahaman Jacobs akan Allah masih sangat dipengaruhi oleh konsep filsafat ini. Konsep skolastik yang menyatakan bahwa iman dapat diharmonisasikan dengan akal, serta sebuah sistem logika yang ditegakkan dapat menjamin secara rasional kesimpulan-kesimpulan yang didemonstrasikan, masih sangat mempengaruhi Jacobs. Hal demikian menampakkan presuposisi kaum pluralis yang berhubungan dengan paham naturalisme. Salah satu pernyataan Jacobs yang dengan jelas menunjukkan hal itu adalah pernyataannya dalam bukunya berjudul “Paham Allah.” Jacobs berusaha menerangkan arti monoteisme dengan menyatakan bahwa monoteisme terdiri dari dua macam, monoteisme yang filosofis dan religius. Pernyataan Jacobs yang lengkap adalah sebagai berikut: Ternyata ada dua macam monoteisme, yang satu filosofis dan yang lain religius. Yang terakhir jelas dapat ditemukan dalam agama-agama wahyu, Yudaisme, Kristianitas dan Islam. Tetapi sejauh, khususnya dalam Kitab Suci, masih ditemukan gambaran Allah yang antropomorf sifatnya, maka monoteisme tidak terlalu membedakanNya dari

(17)

57

politeisme. Dan paham Allah itu lebih erat hubungannya dengan gambar dari pada dengan paham. Dari lain pihak dalam monoteisme pada umumnya sangat ditekankan transendensi, sampai Allah gagal dipisahkan dari dunia. Hal itu tidak hanya mengoreksi mitologi dan antropomorfisme, tetapi juga memberi arti khusus kepada paham sejarah keselamatan. Dari satu pihak Tuhan terlibat dalam sejarah manusia, dari lain pihak ia bukan satu dari pemainnya…. Ada suatu ketegangan antara transendensi dan ketidakterjangkauan Allah, dan penampilanNya yang konkret dalam sejarah. Dan ketegangan itu tetap dipertahankan dalam ibadat dan agama. Tetapi sejauh mana orang mampu hidup dalam ketegangan itu? Dan di situ monoteisme filosofis dapat merupakan semacam “peringatan”. Paham Allah filsafat kurang konkret, dan juga kurang pribadi. Tetapi lebih bebas dari gambar dan imajinasi. Oleh karena itu, yang terpenting dalam monoteisme filosofis, bukanlah paham Allah itu sendiri, tetapi refleksi atas paham Allah. Dan apapun paham Allah yang dikemukakan oleh filsafat, fungsi “peringatan” selalu ada, supaya manusia tidak hanya mengikuti perasaan dan fantasi, tetapi bertanggungjawab dalam pembicaraannya.

Jacobs berusaha menerangkan Allah yang transenden dari sisi filsafat dari pada melihat Allah yang datang ke dunia (inkarnasi). Ia hendak mempertahankan Allah yang misteri. Maka cukup beralasan kalau Jacobs mengemukakan suatu konsep subordinasi, yang menempatkan Yesus Kristus lebih rendah dari Allah (Bapa), karena dengan demikian Allah yang dikemukakan Jacobs akan tetap menjadi Allah yang tidak dapat dikenal. Jika konsep subordinasi Jacobs lebih dipengaruhi oleh konsep filsafat skolastik, maka Ioanes Rakhmat selain terpengaruh konsep filsafat relativisme, konsep subordinasinya cenderung terbentuk dari sistem hermeneutika yang umumnya digunakan oleh kaum pluralis yang juga mendapatkan pengaruh filsafat relativisme. Mengawali tulisannya tentang “Kristologi ‘Anak Manusia’ di dalam Injil Yohanes dan Monoteisme Yahudi,” yang mana di dalamnya dikemukakan tentang konsep subordinasi, Rakhmat mengemukakan suatu presuposisi untuk mulai menafsirkan Kristologi yang ada di dalam Injil Yohanes. Presuposisi Rakhmat adalah bahwa Injil Yohanes lahir dari suatu mazhab atau aliran pemikiran yang mempertahankan monoteisme Yahudi yang memiliki Syema yaitu semacam pengakuan iman Yahudi. Lebih lanjut Rakhmat menyatakan: “persoalan yang muncul di sini adalah bagaimana mazhab ini tetap mempertahankan monoteisme, sementara, dalam pandangan mazhab ini, ada ‘tokoh sorgawi’ lain yang datang ke dalam dunia dan disamakan dengan Allah sendiri.” Berdasarkan presuposisi inilah Rakhmat mengemukakan konsep subordinasi. Di dalam sistem hermeneutika yang berkembang sekarang ini, pengajuan presuposisi terhadap teks yang akan ditafsirkan sama dengan menggunakan pre-understanding penafsir untuk menafsirkan teks tersebut. Robert L. Thomas mengangkat permasalahan hermeneutika tentang “pre-understanding” ini dengan membahas akar terbentuknya sistem hermeneutika tersebut:

The roots of the new subjectivism and relativism that have become a part of hermeneutics go back to the eighteenth-century philosopher Immanuel Kant, whose system was so persuasive that no intellectual discipline could escape its influence. Many years ago Friedrich Schleiermacher and Rudolf Bultmann, like Kant, proposed the existence of two realms of reality. … The present view of hermeneutics is that the discipline is a matter of self-understanding. Probably the most conspicuous difference in the field of Biblical understanding has been the rise to prominence of preunderstanding, which has been defined as “hermeneutical self-awareness.”

(18)

58

Thomas menegaskan bahwa akar munculnya sistem hermeneutika ini dipengaruhi oleh filsuf sekaligus theolog abad ke-18 yaitu Immanuel Kant, juga pengajaran Friedrich Schleiermacher dan Rudolf Bultmann tentang eksistensi dari dua dunia realitas. Konsep ini kemudian diadopsi para theolog yang mengemukakan konsep pre-understanding atau hermeneutika self-awareness (mengetahui sendiri). Pre-understanding dapat juga berarti presuposisi, sebagaimana yang dikemukakan Thomas: “McCartney and Clayton use ‘presuppositions’ to speak of the same thing as ‘pre-understanding’ and define them as one’s views regarding life and ultimate realities and about the nature of the text being studied.” Thomas menyatakan bahwa McCartney dan Clayton mengartikan pre-understanding sebagai pandangan seseorang tentang hidup dan realitas-realitas utama dan tentang natur dari teks yang sementara dipelajari. Pengertian lain dari pre-understanding dikemukakan Ferguson yaitu sebagai sebuah tubuh dari asumsi-asumsi dan pendirian-pendirian yang dibawa seseorang pada persepsi dan interpretasinya terhadap sebuah realitas atau banyak aspek lain yang berhubungan dengannya. Penggunaan bentuk hermeneutik ini sangat berbahaya, karena seorang penafsir membawa sejumlah asumsi dan pendirian kepada teks yang ia tafsirkan. Dalam pengertian yang lebih kecil dari pada pengertian hermeneutika pre-understanding, hal ini lazim disebut eisegesis, yaitu metode yang tidak menggunakan teks Alkitab sebagai suatu ukuran kebenaran dalam penafsirannya, tetapi memakai latar belakang pemahaman atau anggapan atau asumsi-asumsi untuk menafsir Alkitab. Thomas memberikan empat pandangannya terhadap theolog-theolog yang menggunakan sistem hermeneutik pre-understanding ini: pertama, para penafsir telah kembali pada kehendak filsafat sekularis yang memperbolehkan budaya menilai (menghakimi) Injil dari pada melihat Injil sebagai penilai budaya. Hal demikian adalah cara lain untuk menyatakan bahwa mereka telah membesarkan elemen manusiawi dalam inspirasi di atas yang ilahi. Mereka telah menggambarkan Alkitab sebagai buku yang merupakan subjek dari keterbatasan-keterbatasan manusia. Kekeliruan yang lainnya yang dilakukan para theolog yang menggunakan sistem hermeneutika ini adalah usaha untuk mengintegrasikan disiplin ilmu sekuler seperti filsafat dan bahasa-bahasa modern, dengan Alkitab. Disiplin ilmu sekuler dengan bujukan-bujukan anti-supernaturalistiknya pasti memberikan efek-efek negatif pada disiplin ilmu Kristen yang dibangun dari asumsi supernaturalistiknya.

Kedua, terdapat pemahaman bahwa penciptaan manusia yang sesuai dengan gambar Allah menyatakan secara tidak langsung kemampuan manusia untuk berkomunikasi dengan Allah dan sebaliknya. Mereka menyatakan bahwa kelemahan manusia tidak akan pernah merintangi tujuan dari sang pencipta. Allah akan selalu berhasil dalam apapun yang Allah lakukan sekalipun dalam keterbatasan-keterbatasan manusia untuk mengkomunikasikan penyataanNya kepada umatNya. Akan tetapi keyakinan bahwa manusia telah menerima komunikasi dari Allah tidaklah berarti bahwa tugas eksegese biblikal berakhir. Eksegese adalah sebuah tugas tanpa akhir bersama dengan pengertian sang penafsir yang secara progresif makin diperbesar. Eksegese mempersilahkan pendekatan-pendekatan inovatif terhadap teks, untuk merangsang penelitian yang berasal dari sudut pandang yang baru. Inilah yang menyebabkan pengetahuan theologi dapat bertumbuh, dan bagaimana tubuh Kristus (jemaat) bertumbuh dalam pengetahuannya akan Allah. Pengetahuannya tentang kebenaran adalah mutlak, bukannya relatif atau bersifat sementara, akan tetapi pengetahuan tersebut dapat menjadi semakin dan semakin pasti.

(19)

59

Ketiga, penyataan ilahi dan inspirasi berada di balik penulisan Alkitab, dan fungsi-fungsi iluminasi ilahi dalam hubungan dengan kemampuan manusia untuk mengerti apa yang telah tertulis. Apabila faktor ilahi dalam proses pengkomunikasian ini berlaku, sang Roh Kudus dapat bertindak sebagai bagian dari pelayanan iluminasiNya untuk menghilangkan kesalahan pre-understanding dalam pikiran pribadi-pribadi yang memiliki natur baru di dalam Kristus. Kejatuhan yang merusakkan gambaran Allah dalam manusia pasti terjadi, tetapi Allah menyediakan iluminasi ilahi untuk memulihkan apapun dari kapasitas akal manusia yang telah hilang. “Manusia rohani menilai segala sesuatu” (1 Kor.2:15) memandang pada “hal-hal yang tersembunyi” (1 Kor.2:10) dari penyataan Allah. Firman Allah ditransmisikan melalui manusia sebagai perantara.

Keempat, para theolog yang menggunakan sistem hermeneutika pre-understanding menolak adanya obyektivitas netral. Mereka menyatakan bahwa komitmen Kristen adalah bahwa di dalam tubuh Kekristenan sendiri terdapat subyektivitas dan parsialitas. Hal ini merupakan sebuah posisi toleransi bahwa Allah Kristen adalah Allah yang non-obyektif. Siapakah yang memutuskan kebenaran yang obyektif, Allah atau kaum sekularis? Siapakah penentu akhir dari kebenaran? Obyektivitas netral berasal dari sang pencipta segala hal dan ditemui melalui iluminasi Roh Kudus. Mengenai penegasan Rakhmat bahwa Injil Yohanes lahir dari suatu mazhab atau aliran pemikiran yang mempertahankan monoteisme Yahudi memang benar, akan tetapi kemudian Rakhmat membangun presuposisinya yang keliru dari kenyataan historis yang tidak lengkap. Jey J. Kanagaraj mengemukakan latar belakang historis yang memberi alasan bagi Yohanes menulis Injil ini sebagai berikut:

John wrote his Gospel at a time when severe efforts were being undertaken to revive the religious life of Jews after the fall of Jerusalem in AD 70. Since the Temple had been destroyed, people thought that God was far away from them. The Jewish rabbis like Yohanan ben Zakkai began to concentrate more on studying and interpreting the Torah in order to bring theophany down to earth. Belief in angels as mediators between the transcendent God and human beings became more important. … That is, rabbis and the common people had great interest in ascending to heaven to see God in his glory seated on the throne and in gaining heavenly knowledge through visions based on Ezekiel 1, Isaiah 6, and Daniel 7. John addresses such interest by showing that God’s kingly glory can be seen here on earth in Jesus, the Son of Man and Son of God (1:18,51; 3:13; 12:41; 14:9-11). … For the Jews considered the religious life and worship of Christians as a threat to the monotheistic faith of Judaism because of the Christians’ claim to the divine revelation in Jesus Christ. Christians were accused of believing in two divine powers in heaven. Now we can understand why John gives evidence for his monotheistic faith in his Gospel. Kanagaraj dan Kemp menyatakan bahwa Yohanes menulis Injilnya pada saat keadaan semangat keagamaan dibangkitkan kembali oleh orang-orang Yahudi setelah peristiwa jatuhnya Yerusalem dan penghancuran Bait Allah. Dalam situasi seperti ini, para rabi Yahudi dan orang-orang Yahudi pada umumnya menganggap Allah sangat jauh dari mereka, sehingga mereka mulai mempelajari Taurat dengan teliti dengan harapan adanya peristiwa-peristiwa theofani sebagaimana yang terjadi pada masa Perjanjian Lama. Mereka menaruh rasa percaya akan malaikat-malaikat sebagai perantara Allah yang transenden dan manusia, atau berdasarkan Yehezkiel 1, Yesaya 6 dan Daniel 7, mereka berharap akan mengalami pengalaman seperti Yehezkiel, Yesaya dan Daniel, dapat menyaksikan Allah dalam kemuliaan-Nya di surga. Ajaran Kristen yang mengklaim keilahian Yesus Kristus, bagi

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian untuk merancang konsep dan membuat sebuah film dokumentasi infografik animasi 2 dimensi yang menjelaskan tentang perdagangan anak yang terjadi di

bahwa untuk menindak lanjuti Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2006 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2004 tentang Kedudukan Protokoler dan

—wfka ysñhfka'''' Wkakdkafia ;uhs yenEu ÈjHrcq' tA ;uhs wfma uyrcq' Wkak- dkafia .ek oeka ukqf,dj ñksiqka okafk ke;s .dkhs' Wkakdkafia ienEu .=Ki- alkaOhla' uyd .=Kl|la' ohd

Analisis risiko garis besar penularan Virus Nipah, pembentukan, dan konsekuensi menunjukkan bahwa virus tersebut kemungkinan dapat ditularkan ke Provinsi Sumatera Utara

Untuk lebih mengenal antara satu dengan yang lainnya , mengikat hubungan marga mereka dan menambah keakraban diantara mereka maka orang Batak akan membentuk suatu perkumpulan

Pada Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD Tahun 2014 tingkat Kabupaten Manggarai, terdapat 12 Partai Politik yang menjadi peserta dengan jumlah Daftar Calon Tetap (DCT) Anggota DPRD

penelitiannya mengenai hubungan peran suami dan orang tua dengan perilaku ibu hamil dalam pelayangan antenatal, didapatkan hasil hubungan yang signifikan antara peran

LUAS WILAYAH, JUMLAH DESA/KELURAHAN, JUMLAH PENDUDUK, JUMLAH RUMAH TANGGA, DAN KEPADATAN PENDUDUK MENURUT KECAMATAN.. KABUPATEN/KOTA KEBUMEN TAHUN