• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERNIKAHAN DINI MENURUT PERSPEKTIF MADZHAB IMAM SYAFI I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERNIKAHAN DINI MENURUT PERSPEKTIF MADZHAB IMAM SYAFI I"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

62 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

PERNIKAHAN DINI MENURUT PERSPEKTIF

MADZHAB IMAM SYAFI’I

Alifia Wahyuni1, Fifit T.2, Firatih W.3, Pinna Nur4, Ravina W.5

Email: alifcho641@gmail.com

Sekolah Tinggi Agama Islam Muhammadiyah Probolinggo

Abstrak

Pernikahan merupakan proses awal pembentukan sebuah keluarga yang harmonis. Namun, pernikahan juga memerlukan persiapan dan syarat agar kelak tidak terjadi permasalahan yang muncul. Salah satunya menyangkut masalah umur atau disebut pernikahan dini. Pernikahan dini menjadi kontroversi di kalangan masyarakat karena setiap perspektif memiliki pandangan yang berbeda. Dampak yang ditimbulkan dari pernikahan dini tidak hanya angka perceraian yang tinggi karena ketidakcocokan antarpasangan, melainkan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), perselingkuhan, dan komplikasi yang terjadi saat kehamilan menyebabkan resiko tingginya angka kematian ibu dan anak. Dalam pandangan Islam, pernikahan dini bisa menjadi dampak positif yaitu menghindari dari perzinahan. Menurut pandangan madzhab Syafi’i, suatu pernikahan dapat dilaksanakan jika mempelai perempuan telah berusia baligh dan orang tua sepatutnya menanyakan persetujuan kepada putrinya agar tidak ada perasaan terpaksa saat dilangsungkan pernikahan. Hal ini dapat dijadikan acuan bagi orang tua yang ingin segera menikahkan anak-anaknya walaupun masih berusia dini. Tidak hanya orang tua, tetapi para remaja yang ingin melaksanakan pernikahan di usia muda juga perlu memikirkan dan mempersiapkan segala kemungkinan agar tidak terjadi permasalahan yang menimbulkan retaknya sebuah rumah tangga.

Kata kunci: pernikahan dini, imam syafi’i, madzhab, dampak

Abtract

Marriage is the initial process of forming a harmonious family. However, marriage also requires preparation and conditions so that problems will not arise later. One of them concerns the issue of age or called early marriage. Early marriage is a controversy among the people because each perspective has a different view. The impact of early marriage is not only high divorce rates due to mismatch between partners, but domestic violence, infidelity, and

(2)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

63 complications that occur during pregnancy lead to a high risk of maternal and child mortality. In the Islamic view, early marriage can be a positive impact, which is to avoid adultery. In the view of madzhab Syafi’i, a marriage can be carried out if the bride has reached the age of baligh and the parents should ask for approval from their daughter so that there is no feeling of being forced when the marriage takes place. This is can be a reference for parents who want to immediately marry off their children even they are at an early age. Not only parents, but teenagers who want to have marriages at a young age also need to think and prepare all possibilities so that problems do not occur that cause a breakdown in a household.

Keywords: early marriage, imam syafi’i, madzhab, impact

PENDAHULUAN

Agar mampu memperbanyak keturunan serta mempertahankan kehidupannya, Allah SWT memiliki cara paling baik bagi hamba-Nya (manusia) melalui sebuah pernikahan. Pernikahan berlaku bukan hanya bagi manusia semata, tetapi berlaku pula bagi seluruh mahluk ciptaan-Nya yang berada di muka bumi ini, termasuk juga di dalamnya hewan dan tumbuh-tumbuhan (Sahri dan Arif, 2013).

Bagi kehidupan manusia baik kelompok maupun individu, pernikahan begitu sangat berharga. Sebagai makhluk yang memiliki status tinggi, hubungan manusia yang berlawan jenis akan menjadi terhormat melalui sebuah pernikahan yang sah. Dalam hubungan berumah tangga diperlukan adanya keadaan damai, tenteram, dan rasa kasih sayang antar pasangan. Buah hati yang lahir dari sebuah pernikahan sah akan mewarnai kehidupan keluarga serta meneruskan kehidupan manusia yang bersih dan berkehormatan. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara sepasang suami dan istri yang bertujuan membangun keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Ikhsanudin dan Nurjanah, 2018).

Pengertian pernikahan sebagaimana didefinisikan oleh Muhammad Abu Ishrah yang juga dikutip oleh Zakiah Daradjat (Daradjat, 1995), ialah: Akad yang memberikan manfaat hukum memperbolehkan ikatan keluarga (suami istri) antara perempuan dan laki-laki serta saling membantu dan memberi batas hak bagi pemiliknya dan melakukan kewajiban bagi masing-masing (Ghazali, 2012).

Nikah, menurut bahasa juga disebut al-jam’u yang berarti kumpul. Makna nikah (zawaj) bisa diartikan dengan aqdu al-tazwij yang artinya akad nikah. Zawaj bisa diartikan (wath’u al-zauja) yang bermakna menyetubuhi istri. Kata nikah berasal dari bahasa Arab nikahun yang merupakan masdar atau asal kata dari kata kerja (fi’il madhi) nakaha, sinonimnya yakni

(3)

64 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 tazawwaja yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia sebagai perkawinan (Tihani dan Sahrani, 2010).

Adanya calon pengantin pria, calon pengantin wanita, wali nikah, saksi pernikahan, dan ijab qabul merupakan rukun yang harus dipenuhi dalam sebuah pernikahan (Nuruddin dan Tarigan, 2004). Tujuan pernikahan adalah ingin mendapat rumah tangga bahagia dan sejahtera dengan mewujudkan suasana rukun dan damai dan selalu mendapat taufik dan hidayah dari Tuhan Yang Maha Esa. Kematangan calon mempelai sangat diperlukan supaya hal ini dapat dijalankan. Tujuan pernikahan sebagaimana di atas dapat dilaksanakan dengan baik jika memiliki kematangan usia dalam pernikahan serta kematangan berpikir dan tingkah laku. (Manan, 2006).

Adapun pernikahan anak-anak atau lebih dikenal dengan pernikahan dini di kalangan masyarakat merupakan pernikahan yang berlangsung antara pasangan laki-laki dan perempuan yang mana salah satu dari mereka masih berusia di bawah umur. Pernikahan dini adalah pernikahan yang dilakukan sebelum atau mendahului waktunya. Inilah makna yang terkandung di dalam kata mubakkir dalam Lisanul Arab, Ibnu Jinni mengatakan bahwa makna kata dasar ba-ka-ra adalah lebih dulu di waktu kapan saja, baik siang maupun malam. Kata bakara dapat memiliki makna melakukan sesuatu di awal waktu bukan sebelum waktunya, sebagaimana orang mengatakan “Kita shalat Subuh di awal waktu, bukan sebelum tiba waktu Subuh”.

Seseorang dianggap anak-anak dan dewasa dalam Islam secara tidak mutlak ditentukan oleh batas usia, sebagaimana yang dikemukakan oleh prinsip perundangan Barat. Mengikuti undang-undang Islam, istilah anak-anak merujuk kepada seseorang yang belum baligh. Terdapat dua cara untuk menentukan anak- anak itu sudah baligh atau sebaliknya, yaitu baligh secara tabi’i (alami), dan baligh karena umur. Penentuan baligh secara tabi’i yakni penentuan berdasarkan tanda-tanda fisik. Anak-anak perempuan dianggap telah mencapai baligh apabila mengalami mensturasi atau haid, dan bagi anak-anak laki-laki apabila keluar air mani. Penentuan baligh secara umur pula ditentukan apabila tanda-tanda fisikalnya tidak berlaku pada tubuh anak-anak tersebut (Noor, 2013). Oleh karena itu, para fuqaha meletakkan batas umur sebagai penentu usia baligh dengan mengikuti madzhab Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali yakni seorang anak-anak dianggap baligh apabila berusia lima belas tahun.

Pernikahan yang dibatasi oleh usia merupakan istilah pernikahan dini menurut negara. Selain itu, menurut agama merupakan pernikahan yang dilakukan oleh orang yang belum baligh. Adapun istilah pernikahan dini adalah istilah kontemporer. Kata ‘dini’ dihubung-hubungkan dengan waktu, yaitu sangat di awal waktu tertentu. Kebalikannya merupakan pernikahan

(4)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

65 expired. Pada masa awal-awal abad ke-20 atau sebelumnya, pernikahan seorang perempuan pada usia 13-14 tahun, atau lelaki pada usia 17-18 tahun adalah lumrah, tidak special dan berbeda dengan sekarang yang merupakan tabu. Perempuan yang menikah sebelum usia 20 tahun atau lelaki sebelum 25 tahun dianggap aneh, “terlalu dini” istilahnya.

Menurut Cholil Nafis dalam bukunya Fiqih Keluarga, yang dimaksud pernikahan di bawah umur adalah pernikahan orang yang belum mencapai baligh bagi pria dan belum mencapai menstruasi (haid) bagi wanita (Nafis, 2009).

Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa batas perkawinan itu adalah usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Syarat-syarat perkawinan dalam UU. No. 1 Tahun 1974 tercantum dalam pasal 6 yang berbunyi:

1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. 2) Untuk melangsungkan perkawinan, seseorang yang belum mencapai umur

21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua.

3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin yang dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.

4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara, atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3), dan (4) pasal ini. 6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku

sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Indonesia, no date).

Sedangkan dalam pasal 7 dalam UU. No. 1 Tahun 1974 tercantum pasal yang berbunyi:

1) Perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun.

(5)

66 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 dispensasi kepada Pengadilan atau Pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.

3) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan salah seorang atau kedua orang tua tersebut dalam pasal 6 ayat (3) dan (4) undang-undang ini, berlaku juga dalam hal permintaan dispensasi tersebut ayat (2) pasal ini dengan tidak mengurangi yang dimaksud dalam pasal 6 ayat (6).

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), ketentuan batas usia dalam perkawinan disebutkan dalam pasal 15 ayat (1) yang didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan, yakni suami dan istri harus telah masak jiwa dan raganya, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik tanpa berakhir pada perceraian dan mendapat keturunan yang baik dan sehat, untuk itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami dan istri yang masih di bawah umur. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 288 dinyatakan “Barangsiapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang wanita yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan”.

Dari segi kesehatan, dipahami bahwa perkawinan di bawah umur sangat berisiko tinggi dan rawan terjangkit gangguan pada alat reproduksi di kemudian hari (misalnya: risiko terkena penyakit kanker leher rahim). Perspektif lain, dalam Undang-undang Perlindungan Anak, bahwa gadis yang menikah di bawah batas usia yang ditetapkan rentan menjadi korban dari “perdagangan anak” (trafiking) dan eksploitasi ekonomi, sehingga pernikahan di usia dini dapat merugikan anak yang pada waktunya hanya menutut ilmu dan bermain (Ariany, 2017).

Pada dasarnya dalam hukum Islam tidak ditetapkan kaidah-kaidah yang menentukan batas usia pernikahan, sehingga berapapun usia seseorang jika dia telah dianggap mampu untuk menikah, maka hal itu dibolehkan. (Hadikusuma, 2003). Akan tetapi, hukum Islam telah menetapkan syarat pernikahan yakni seseorang itu harus telah mencapai ‘aqil dan baligh. Sebagaimana hadits dari ‘Aisyah RA, beliau berkata:

Artinya: “Bahwa Nabi SAW telah menikahi ‘Aisyah RA sedang ‘Aisyah berumur 6 tahun, dan berumah tangga dengannya pada saat ‘Aisyah berumur 9 tahun, dan ‘Aisyah tinggal bersama Nabi SAW selama 9 tahun.” (HR. Bukhari No. 4738, Maktabah Syamilah).

(6)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

67 Hadits di atas menjelaskan bahwa apabila seorang laki-laki menikahi anak perempuan kecil yang belum haid maka pernikahannya dihukumi mubah, tetap sah, dan tidak haram. Namun hukum tersebut hanya sebatas mubah (boleh), tidak menjadikannya sebagai sesuatu anjuran atau keutamaan (sunnah/mandub), apalagi sesuatu keharusan (wajib) (Rofig, 2000).

Menurut Imam Syafi’i batasan usia menikah sebenarnya tidak ada dalam hukum Islam, namun untuk diperbolehkannya seseorang menikah adalah dilihat dari kedewasaannya, dan kedewasaan seseorang dilihat pada saat dia telah baligh. Dari baligh seseorang itulah yang menjadi batasan seseorang boleh menikah. Adapun menurut Imam Syafi’i, batasan baligh adalah telah mengalami haid (menstruasi) bagi wanita atau usianya telah cukup 15 tahun, dan keridhaan laki-laki yang akan menikah dan saat itu telah baligh pula.

Dalam kitab Al-Umm, Imam Syafi’i menjelaskan bahwa adapun masalah anak kecil dan perempuan yang masih perawan, boleh bagi bapaknya untuk menikahkan anak laki-laki yang belum baligh, dan tidak ada pilihan bagi si anak setelah dewasa untuk membatalkan pernikahan. Apabila anak kecil itu terpotong alat kelaminnya atau rusak, lalu si bapak menikahkannya, maka pernikahannya tertolak, karena ia tidak membutuhkan pernikahan. Apabila orang yang tidak waras dinikahkan, maka tidak ada hak bagi bapaknya dan sultan memisahkan antara dia dengan istrinya atas dasar thalaq khulu’ (cerai dari pihak istri). Begitu pula apabila salah satu dari keduanya dinikahkan, kecuali setelah baligh dan tampak tanda-tanda bahwa ia butuh kepada pernikahan. Apabila laki-laki yang tidak waras menceraikan istrinya maka thalaqnya tidak sah. Demikian juga apabila ia melakukan ila’ atau zhihar, maka semuanya dianggap tidak sah, karena hukum diangkat darinya. Demikian pula hukumnya apabila ia menuduh istrinya berzina atau tidak mengakui anaknya, tidak diterapkan kepadanya syariat mula’anah (saling melaknat), bahkan ia diharuskan untuk mengakui anak yang dilahirkan oleh istrinya (Syafi’i, 2004).

Dengan ini untuk lebih memahami persoalan di atas, penulis ingin meneliti lebih dalam mengenai “PERNIKAHAN DINI MENURUT PERSPEKTIF MADZHAB IMAM SYAFI’I”.

BIOGRAFI IMAM SYAFI’I

Imam Syafi’i adalah seorang ulama yang sangat terkenal. Setiap orang yang memperhatikannya akan tertarik untuk mencari tahu lebih dalam integritas, karakter, serta peninggalannya yang telah membuat orang menjadi menghormati, memuliakan, dan mengagungkannya (Asy-Syak’ah, 1994). Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad Ibn Idris Ibn Al-Abbas Ibn Syafi’i Ibn Sa’ib Ibn Ubaid Ibn Abd Yazid Ibn Hasyim Ibn Abd

(7)

Al-68 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 Muthalib Ibn Abd Manaf (Mubarok, 2000). Beliau lahir di Gaza (daerah dekat Palestina) pada tahun 150 H, kemudian dibawa oleh ibunya ke Makkah. Beliau lahir pada zaman Dinasti Bani Abbas, tepatnya pada zaman kekuasaan Abu Ja’far Al-Manshur (137-159 H / 754-774 M), dan ia meninggal di Mesir pada tahun 204 H (Mubarok, 2002).

Kata Syafi’i dinisbatkan kepada nama kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi’i Ibn Al-Saib. Ayahnya bernama Idris Ibn Abbas Ibn Usman Ibn Syafi’i Ibn Al-Saib Ibn Abdul Manaf. Sedangkan ibunya bernama Fatimah Ibnt Abdullah Ibn Al-Hasan Ibn Husain Ibn Ali Ibn Abi Thalib. Dari garis keturunan ayahnya, Imam Syafi’i satu garis dengan keturunan Nabi Muhammad SAW. Pada Abdul Manaf, kakek Nabi SAW yang ketiga. Sedangkan dari pihak ibunya, beliau adalah cicit dari Ali Ibn Abi Thalib. Dengan demikian, kedua orang tuanya berasal dari bangsawan Arab Quraisy (Islam, 1993). Keluarga Imam Syafi’i adalah dari keluarga Palestina yang miskin yang dihalau dari negerinya, mereka hidup dalam pedesaan yang nyaman (Asy-Syurbasi, 1993). Imam Syafi’i dibesarkan dalam keadaan yatim dengan kondisi keluarga yang miskin, meskipun berada dalam keterbatasan tidak menjadikan beliau merasa rendah diri atau malas. Sebaliknya, beliau semakin giat mendalami hadits dan belajar dari ulama-ulama hadits yang banyak terdapat di Makkah (Mughniyah, 2000). Beliau terpaksa mengumpulkan batu-batu yang baik, tulang-belulang, pelepah kurma, dan tulang unta untuk ditulis di atasnya, kadang kala beliau pergi ke tempat-tempat perkumpulan orang banyak untuk meminta kertas agar dapat menulis pelajarannya (Asy-Syurbasi, 1993).

Imam Syafi’i adalah seseorang yang rajin dalam menuntut ilmu. Dengan semangat yang bersungguh-sungguh itulah dalam usia yang sangat muda yaitu 9 tahun ia sudah mampu menghafal Al-Qur’an, disisi lain juga menghafal sejumlah hadits. Diriwayatkan bahwa karena kondisi kemiskinannya, Imam Syafi’i hampir tidak mampu menyiapkan seluruh perlengkapan belajar yang dibutuhkan, sehingga beliau terpaksa mencari-cari kertas bekas atau yang telah dibuang, tetapi masih bisa dipakai untuk menulis (Ibrahim, 1989). Setelah selesai mempelajari Al-Qur’an dan hadits, Imam Syafi’i menambah pengetahuannya dengan mempelajari bahasa dan sastra Arab. Untuk itu ia pergi belajar ke pedesaan dan bergabung dengan Bani Huzail, suku bangsa Arab yang ahli dalam menguasai bahasanya. Imam Syafi’i mempelajari bahasa dan syair-syair Arab dari suku tersebut sehingga ia benar-benar menguasainya dengan baik (Nasution, 2001).

Berikut ini beberapa kepandaian Imam Syafi’i berdasarkan riwayat singkat beliau yang tertulis dalam buku Biografi Imam Hanafi dan Imam Syafi’i: (Biografi Imam Hanafi dan Imam Syafi’i, n.d.)

(8)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

69 1) Dalam bidang bahasa, Imam Syafi’i merupakan seseorang yang ahli dalam Bahasa Arab, kesusastraan, syair, dan sajak. Sejak beliau berusia lima belas tahun, sudah diakui sebagai ahli syair oleh para ulama. Kepandaiannya dalam mengarang dan menulis kata-kata yang indah membuat karya-karyanya memiliki nilai seni yang tinggi sehingga menggugah hati para ahli kesusastraan bahasa Arab. Oleh karena itu, banyak ahli syair yang berguru kepada beliau.

2) Dalam bidang fiqih, kepandaian Imam Syafi’i dibuktikan dengan catatan sejarah beliau yang ketika beliau berusia 15 tahun sudah diakui sebagai seorang ‘alim ahli fiqih di Makkah yang juga diikutsertakan dalam majelis fatwa dan saat itu juga beliau menduduki kursi mufti.

3) Dalam bidang hadits dan ilmu tafsir, kepandaian Imam Syafi’i didapat dari hasil belajarnya kepada Imam Sofyan Ibn Uyainah, seorang guru besar ilmu tafsir di kota Makkah. Hal ini dibuktikan berdasarkan catatan pengalaman guru besar tersebut pada waktu mengajar tafsir Al-Qur’an. Apabila guru besar tersebut mendapat pertanyaan-pertanyaan tentang tafsir yang agak sulit dari anak didiknya, guru besar tersebut berpaling dan melihat kepada Imam Syafi’i, lalu berkata kepada orang yang bertanya, “Hendaklah engkau bertanya kepada pemuda ini” sambil menunjuk Imam Syafi’i.

Adapun kitab-kitab hasil pemikiran Imam Syafi’i pada umumnya dibedakan menjadi dua macam. Pertama, yang diajarkan kepada murid-murid beliau selama beliau berada di Makkah dan di Baghdad. Kumpulan kitab-kitab ini disebut Qaul Al-Qadim, yaitu pendapat Imam Syafi’i sebelum beliau pergi ke Mesir. Kedua, yang diajarkan kepada murid-murid beliau selama beliau mengajar di Mesir, kitab ini disebut Qaul Al-Jadid (Ibrahim, 1991). Kitab-kitab karya Imam Syafi’i dibagi oleh ahli sejarah menjadi dua bagian, yakni: a) Ditulis oleh Imam Syafi’i sendiri, seperti: Al-Umm dan Al-Risalah (Riwayat

Al-Buwaiti yang kemudian dilanjutkan oleh Rabi Ibn Sulaiman)

b) Ditulis oleh murid-muridnya, seperti: Mukhtasyar oleh Al-Muzanni dan Mukhtasyar oleh Al-Buwaiti. Keduanya merupakan ikhtisar dari kitab Imam Syafi’i, Al-Imla dan Al-‘Amaly (Shiddieqy, 1997).

METODE ISTINBATH HUKUM IMAM SYAFI’I 1) Dalil Muttafaq (Disepakati)

Dalam mengeluarkan dan menetapkan suatu hukum (istinbath hukum), Imam Syafi’i menggunakan empat macam sumber, yakni: wahyu Allah SWT (Al-Qur’an), perkataan dan ketetapan Rasulullah SAW dan para sahabat (As-Sunnah), serta ijma’ dan qiyas para alim ulama. Sebagaimana yang dituliskan Imam Syafi’i dalam kitabnya yang berjudul Al-Risalah, bahwa:

(9)

70 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 Artinya: “Tidaklah seseorang mengatakan dalam hukum selamanya ini halal, ini haram kecuali kalau ada pengetahuan tentang itu. Pengetahuan itu adalah kitab suci Al-Qur’an, Al-Sunnah, Al-Ijma’, dan Al-Qiyas.” (N. Alolas, F. Ah, 2015)

a. Al-Qur'an

Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam dan salah satu mukjizat terbesar dari Allah SWT yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW dan menjadi pedoman serta panduan hidup umat Islam, sehingga dengan demikian ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur'an merupakan rujukan pertama dan utama dalam menetapkan suatu hukum Islam.

b. As-Sunnah

As-Sunnah merupakan sumber kedua setelah Al-Qur'an yang digunakan dalam mengistinbathkan hukum Islam. As-Sunnah adalah segala sesuatu mulai dari ucapan, perbuatan, dan ketetapan yang berasal dari Nabi Muhammad SAW dan para sahabat.

c. Ijma'

Imam Syafi'i menggunakan ijma' sebagai sumber hukum ketiga dalam menetapkan suatu hukum Islam. Ijma' merupakan hasil kesepakatan yang diperoleh dari proses ijtihad yang dilakukan oleh tokoh-tokoh pemikir muslim dan para ulama besar dalam mengambil dan mengesahkan suatu hukum, yang kemudian hukum tersebut disahkan dan ditetapkan sebagai hujjah syar’i. d. Qiyas

Qiyas merupakan penetapan suatu hukum dengan cara menghubungkan dan menyeimbangkan suatu kasus baru yang belum terjadi atau belum ditemukan ketetapan hukumnya, dengan kasus lama yang pernah terjadi di masa sebelumnya. Akan tetapi, dua hal ini memiliki analogi (persamaan dan kesepadanan) dalam berbagai segi yang kemudian dijadikan sebagai dasar perbandingan.

2) Dalil Mukhtalaffih (Tidak Disepakati)

Sedangkan untuk dalil-dalil yang mukhtalaffih yang dipegang oleh Imam Syafi’i dalam istinbath hukum antara lain adalah:

(10)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

71 Artinya: “Pendapat para sahabat lebih baik daripada pendapat kita sendiri untuk kita amalkan.” (N. Alolas, F. Ah, 2015)

Berdasarkan kutipan di atas, dalam mengistinbathkan hukum yang bersumber dari pendapat para sahabat, Imam Syafi’i membaginya menjadi tiga poin, yaitu:

1. Segala sesuatu yang sudah disetujui seperti ijma’ para sahabat. Misalnya, ketika lahan pertanian yang diperoleh dari hasil jarahan perang tetap diperbolehkan untuk dikelola oleh pemiliknya. Hal ini merupakan hujjah dan tergolong dalam ketetapan secara umum yang tidak bisa dihapus. 2. Imam Syafi'i akan tetap mengambil pendapat sahabat seperti pertimbangan

yang hanya dihasilkan oleh seorang sahabat dalam suatu persoalan, walaupun pendapat itu bersifat setuju atau tidak setuju.

3. Masalah dalam bertentangan di suatu pendapat. Ketika menetapkan suatu hukum, Imam Syafi'i mengambil salah satu pendapat yang lebih mengarah kepada Al-Qur'an, As-Sunnah, ijma’, atau ditingkatkan lagi dengan mengambil qiyas yang lebih kuat. Imam Syafi'i tidak akan membuat gagasan baru yang beroposisi terhadap gagasan yang sudah ada sebelumnya. Apabila suatu permasalahan tidak ditemukan sumber hukumnya, maka Imam Syafi’i melakukan ijtihad. Dalam kitabnya Al-Risalah beliau berkata, “Allah mewajibkan kepada hambanya untuk berijtihad dalam upaya menemukan suatu hukum yang terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.” (Asy-Syafi’i, 1312).

b. Maslahah Mursalah

Para ahli ilmu ushul fiqih berpandangan bahwa istilah maslahah mursalah adalah sesuatu yang menyangkut tentang persoalan yang bermanfaat. Persoalan yang tidak bertentangan terhadap hukum syar'i. Akan tetapi, persoalan itu tidak di syari'atkan dalam hukum dan tidak ada dalil yang menyatakan untuk mengakui atau membatalkan hal tersebut (Khalaf, 1978). c. Qaul Qadim dan Qaul Jadid

Dalam menentukan hujjah syar’i, Imam Syafi’i memiliki dua pemikiran yang berbeda yang dikenal dengan sebutan qaul al-qadim dan qaul al-jadid. Qaul al-qadim dibukukan dalam kitabnya yang diberi nama Al-Hujjah yang beliau cetuskan semasa di Irak. Sedangkan qaul al-jadid termuat dalam kitabnya yang diberi nama Al-Umm yang beliau cetuskan selama di Mesir. Pemikiran qaul al-qadim, beliau dedikasikan kepada murid-muridnya

(11)

72 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 yang berada di Irak seperti Ahmad Ibn Hambal, Al-Husaen Al-Karabsisiy, dan Al-Za’faraniy. Sedangkan pemikiran qaul al-jadid beliau dedikasikan kepada murid-muridnya yang terkenal di Mesir seperti Rabi’, Murady, Al-Buwaiti, dan Al-Muzaniy. Qaul al-jadid Imam Syafi’i ini dicetuskannya setelah bertemu dengan para ulama Mesir dan mempelajari ilmu fiqih dan hadits dari mereka serta adat istiadat, situasi dan kondisi di Mesir pada waktu itu, sehingga Imam Syafi’i merubah sebagian hasil ijtihadnya yang telah difatwakannya di Irak. Dengan demikian, kandungan qaul al-jadid Imam Syafi’i ini merupakan hasil ijtihadnya setelah pindah ke Mesir (Yanggo, 1997).

ANALISIS

Menurut etimologi, kata pernikahan berasal dari Bahasa Arab yakni nakaha (حاكن) dan memiliki sinonim yakni zawaj (جاوز). Kedua kata tersebut banyak ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW yang juga banyak digunakan oleh bangsa Arab dalam berkomunikasi di kehidupan sehari-hari (Syarifuddin, 2005). Di dalam Al-Qur'an kata nakaha banyak ditemukan dengan makna kawin, misalnya QS. An-Nisa’ ayat 3:

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bila mana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga. atau empat kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An-Nisa’ [4]: 3)

Di Indonesia, fenomena pernikahan dini dianggap sebagai fenomena sosial yang sering dilakukan. Namun dalam pemberitaan secara publik, kasus pernikahan dini kurang menjadi perhatian media meskipun di tengah masyarakat hal ini banyak dilakukan oleh anak-anak dan remaja khususnya remaja pedesaan. Tetapi, zaman sekarang tidak hanya remaja pedesaan saja, melainkan remaja perkotaan pun banyak melakukan praktik pernikahan dini.

Pada zaman dahulu, pernikahan dini merupakan hal biasa. Banyak orang tua yang menikahkan anaknya di usia muda dengan alasan takut anaknya

(12)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

73 menjadi perawan tua atau tidak laku menikah di usia dua puluh tahun ke atas. Terlepas dari hal itu, pernikahan dini pada zaman sekarang sudah banyak ditentang karena berbagai alasan seperti usia yang terlalu muda, secara kesehatan belum mencapai tingkat kematangan, serta kondisi psikologi remaja yang dominan labil. Selain itu, remaja zaman sekarang lebih banyak memilih melakukan pernikahan dini atas keinginannya sendiri tanpa ada paksaan dari orang tua.

Aspek yang Mempengaruhi Terjadinya Pernikahan Dini

Soerjono dalam bukunya yang berjudul Sosiologi Keluarga, mengutip pendapat Hollean yang mengungkapkan beberapa aspek yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini adalah sebagai berikut:

1) Adanya permasalahan ekonomi/finansial dalam keluarga.

2) Orang tua calon mempelai perempuan mengajukan prasyarat yang harus dipenuhi oleh keluarga calon mempelai laki-laki ketika hendak menikahi anak perempuannya.

3) Adanya perspektif dalam keluarga mempelai perempuan bahwa jika mereka menikahkan anak perempuannya, maka akan berkurang pula beban tanggung jawab dalam keluarga (meliputi sandang, pangan, papan, dan sebagainya) terhadap anggota keluarga yang dinikahkan tersebut (Soerjono, 2004).

Selain pendapat yang diungkapkan oleh Hollean, aspek lain yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini juga dapat kita temukan dalam Jurnal Sosioatri-Sosiologi yang ditulis oleh Sardi, yakni sebagai berikut: 1. Beban Ekonomi Keluarga

Beban ekonomi dalam keluarga tak jarang menjadi aspek utama yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini. Hal ini yang memotivasi orang tua untuk segera menikahkan anak-anaknya dengan harapan beban ekonomi dalam keluarga akan berkurang, karena anak yang dinikahan tersebut terlepas dari tanggung jawab keluarga dan memiliki tangung jawabnya sendiri. (BKKBN, 1993). Fenomena ini banyak kita jumpai di daerah pedesaan, di mana banyak orang tua yang menikahkan anak-anak mereka yang masih berusia dini untuk meminimalisasi beban ekonomi dalam keluarga, terlebih apabila pihak pelamar berasal dari keluarga berada, maka pihak yang dilamar akan semakin berambisi untuk meningkatkan derajat kehidupan melalui jalan pernikahan. 2. Rendahnya Tingkat Pendidikan

Indonesia memiliki standar nasional pendidikan (SNP) dengan program wajib belajar dua belas tahun. Namun, tidak semua warga negaranya mengenyam pendidikan sesuai program dalam standar tersebut. Hal ini yang menyebabkan rendahnya tingkat pendidikan dalam masyarakat sehingga

(13)

74 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 mereka memiliki kecenderungan untuk menikahan anak-anak yang masih berusia dini tanpa memperhitungkan risiko dan dampak yang akan terjadi. 3. Pola Pikir Orang Tua

Pola pikir orang tua juga menjadi aspek yang mempengaruhi terjadinya pernikahan dini. Hal ini merupakan dampak dari rendahnya tingkat pendidikan. Semakin rendah tingkat pendidikan seseorang, maka semakin rendah pula kualitas pola berpikirnya. Dengan demikian, pendidikan adalah solusi terbaik untuk membentuk pola pikir yang unggul. Orang tua yang memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan pola pikir pasrah dengan keadaan akan cenderung untuk menikahkan anaknya yang masih berusia dini dengan berbagai alasan seperti ekonomi, sosial, dan anggapan bahwa pedidikan tidak penting bagi anak perempuan, sehingga anak tersebut tidak memiliki kesempatan untuk memperbaiki tingkat pendidikan dalam keluarganya.

4. Tradisi Masyarakat (Adat Istiadat)

Berdasarkan data yang dipaparkan oleh Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2008, tercatat lebih dari 30% praktik pernikahan dini yang terjadi di Indonesia. Praktik pernikahan dini tersebut sering dipengaruhi oleh adanya tradisi dari sebagian masyarakat Indonesia yang meyakini bahwa jika seseorang memiliki anak perempuan yang telah dilamar maka harus diterima dan segera dinikahan, apabila menolak maka anak perempuan tersebut dikhawatirkan akan menyandang status sebagai perawan tua. Seperti yang diungkapkan Sardi dalam jurnalnya, orang tua yang memiliki anak perempuan cenderung ingin segera mencarikan jodoh untuk anaknya tersebut karena takut anaknya akan menjadi perawan tua. (Sardi, 2016). Stigma negatif inilah yang mempengaruhi orang tua untuk segera menikahkan anak-anaknya, terlebih apabila kedua pihak keluarga memiliki hubungan kekeluargaan atau hubungan kolega, hal ini semakin mendukung praktik pernikahan dini melalui jalur perjodohan dari orang tua dengan tujuan agar hubungan kekeluargaan tersebut tidak terputus.

PERSPEKTIF MADZHAB IMAM SYAFI’I TERHADAP PERNIKAHAN DINI

Kata madzhab (mazhab) berasal dari Bahasa Arab yang memiliki arti jalan yang ditempuh, dilalui, atau dilewati seseorang untuk memahami suatu hukum kebenaran baik konkrit maupun abstrak. Seseorang dikatakan bermadzhab apabila ia telah meyakini jalan yang dipilihnya dan menjadikannya sebagai ciri khas dalam dirinya. Yuni Sartika menjelaskan bahwa alim ulama mendefinisikan kata madzhab yakni merupakan metode (manhaj) yang diperoleh melalui penelitian dan pemikiran yang dalam, yang

(14)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

75 kemudian diterapkan oleh orang yang meyakininya dan dijadikan sebagai pedoman yang telah ditetapkan dengan jelas bagian-bagian, batas-batas, prinsip-prinsip, dan kaidah-kaidah yang telah dibangun di dalamnya (Sartika, 2015).

Sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surat An-Nur ayat 32 yang menjelaskan tentang pernikahan:

اوُحِكْنَأَو

ُمِهِنْغُي َءاَرَقُف اوُنوُكَي ْنِإ ۚ ْمُكِئاَمِإَو ْمُكِداَبِع ْنِم َنيِحِلاَّصلاَو ْمُكْنِم ٰىَماَيَ ْلْا

ٌميِلَع ٌعِساَو ُ َّاللََّو ۗ ِهِل ْضَف ْنِم ُ َّاللَّ

Artinya: “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. An-Nisa’ [4]: 32)

Berdasarkan ayat di atas, dapat dipahami bahwa Allah SWT sangat menganjurkan kepada umat manusia hendaknya menikahkan anak-anak yang telah memasuki usia baligh (dewasa) agar merasa tenang dan damai dalam mengarungi problematika kehidupan dunia fana ini dan jangan sekali-kali mempunyai pikiran (kekhawatiran) tentang anak-anaknya yang telah berumah tangga nantinya terjerat dalam dunia kemiskinan. Tetapi, sebagai orang tua yang beriman harus tertanam dalam jiwanya sikap semangat optimis bahwa anak-anaknya yang mengarungi kehidupan rumah tangga dengan dilandasi pada Sunnah Rasulullah SAW akan diberi karunia oleh Allah dengan kekayaan yang cukup untuk menggapai sebuah kehidupan yang bisa mendatangkan suatu kebahagiaan dan kesejahteraan (Mustika, 2017).

R. Hakim dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Islam, menjelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i, suatu pernikahan dikatakan sah apabila terdapat lima unsur sebagai berikut: (1) calon suami; (2) calon istri; (3) wali nikah; (4) dua orang saksi; dan (5) ijab dan qobul. Pendapat Imam Syafi’i ini kemudian dijadikan hukum sebagaimana termuat dalam Kompilasi Hukum Islam (HKI) Pasal 14(Hakim, 2007).

Dalam perspektif sebagian masyarakat, praktik pernikahan dini masih menjadi sebuah kontroversi. Hal ini terjadi karena di satu sisi, yakni agama terdapat asumsi bahwa dalam Islam tidak ada hukum yang menentukan ataupun membatasi minimal usia seseorang untuk menikah. Apabila seseorang telah mencapai baligh, maka ia dianggap telah mampu untuk menikah. Dengan demikian, yang dimaksud pernikahan dini ialah suatu pernikahan yang dilakukan oleh seseorang yang belum mencapai baligh baik bagi laki-laki

(15)

76 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 maupun perempuan. Sedangkan di sisi lain, negara telah mengatur suatu hukum pernikahan sebagaimana termuat dalam Pasal 7 UU. No. 1 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa diizinkannya suatu pernikahan hanya apabila pihak laki-laki telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak perempuan telah mencapai usia 16 (enam belas) tahun. Dengan demikian, jika kedua mempelai nikah ataupun salah satunya belum mencapai ketentuan usia tersebut, maka disebut sebagai pernikahan dini.

Para ahli fiqih menyebutkan bahwa tanda-tanda baligh ada lima, yaitu mimpi basah, tumbuhnya bulu-bulu halus, haid, hamil, dan mencapai usia tertentu (Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an Tematik. Jilid 6, 2014). Terkait batasan baligh, para fuqaha berbeda pendapat, dalam hal ini difokuskan kepada pendapat Imam Syafi’i dan Imam Hanbali. Adapun pandangan Imam Syafi’i terkait batasan usia baligh seseorang sebagaimana dijelaskan dalam kitab Al-Umm ialah sebagai berikut:

Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwasanya usia baligh seseorang ialah pada usia 15 tahun, meskipun sampai usia itu tidak mendapatkan mimpi basah bagi laki-laki atau haid bagi perempuan (Asy-Syafi’i, 1990).

Madzhab Syafi’i berpendapat bahwasanya suatu pernikahan harus dilaksanakan jika calon mempelai dalam hal ini calon istri sudah berusia baligh, dan dalam suatu pernikahan peran orang tua sudah sepatutnya menanyakan persetujuan kepada putrinya terkait mau atau tidaknya melaksanakan pernikahan. Hal ini dilakukan dalam bentuk kehati-hatian ulama Madzhab Syafi’i dan menghindari adanya paksaan saat akan dilangsungkannya pernikahan (Mustika, 2017).

Bukan suatu alasan bahwa pernikahan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis yang bersifat seksual saja, tetapi pernikahan adalah salah satu bentuk ibadah yang paling mulia dan diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya. Suatu pernikahan akan berjalan dengan baik apabila di antara keduanya, yakni suami dan istri memiliki tiga kemampuan, yaitu kemampuan biologis, ekonomis, dan psikis. Dari ketiga kemampuan tersebut maka akan tercipta sebuah hubungan di mana keduanya akan saling tolong-menolong dalam hal memenuhi hak dan kewajibannya secara bersama-sama, memberikan nasihat satu sama lain, dan dapat menerima kekurangan masing-masing.

Istilah hak ijbar bagi wali mujbir sangat populer dalam madzhab Imam Syafi’i, Maliki, dan Hanbali. Wali mujbir yaitu orang tua perempuan yang

(16)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

77 dalam madzhab Syafi’i adalah ayah atau apabila tidak ada ayah maka ialah kakek. Ijbar adalah hak seorang ayah atau kakek untuk menikahkan anak perempuannya baik yang sudah dewasa maupun yang masih berusia muda (belia) tanpa adanya persetujuan atau izin dari anak perempuannya yang akan dinikahkan tersebut, asalkan dia tidak bersuami atau berstatus sebagai janda (Wafa, 2017).

Menurut madzhab Imam Syafi’i, untuk mengawinkan anak laki-laki relatif muda disyaratkan adanya kemaslahatan, sedangkan untuk perempuan diperlukan beberapa syarat antara lain: (a) tidak adanya kebencian (permusuhan) antara calon istri dan calon suaminya, (b) tidak adanya permusuhan antara calon istri dan walinya yaitu ayah atau kakeknya, (c) calon suami mampu memberikan maskawin yang pantas, (d) calon suami harus kufu (sesuai/setara), dan (e) tidak dinikahkan dengan laki-laki yang mengecewakan si anak di kemudian hari (Rasyid, 2002).

Dengan demikian, maka menikahi atau menikahkan anak pada usia dini ataupun belum baligh diperbolehkan dengan tetap memperhatikan kesiapan calon mempelai perempuan dan ketersediaan walinya serta kemaslahatan yang dibawa oleh calon mempelai laki-laki.

Seorang pemikir muslim yakni Al-Zuhaili dalam bukunya menjelaskan bahwa para ulama Syafi’iyah menetapkan suatu hukum bahwa tidak diperbolehkan selain ayah atau kakeknya untuk menikahkan anak perempuan yang masih belia. Hal ini ditegaskan lagi dalam dalil yang diriwayatkan oleh Ad-Daruquthni yang mengatakan bahwa, ”Seorang janda berhak atas dirinya daripada walinya, seorang perawan dinikahkan oleh ayahnya”. Dalil tersebut semakin diperkuat lagi oleh Imam Muslim yang mengungkapkan bahwa, ”Seorang perawan hendaklah diminta persetujuannya oleh ayahnya”. Dengan demikian, posisi kakek adalah sebagai wali ashobah yang menggantikan ayah apabila tidak ada (Al-Zuhaili, 1989).

Para imam madzhab yang menyampaikan alasannya terhadap kebolehan untuk menikahkan anak yang masih belia oleh ayah atau kakeknya, didasarkan pada hak seorang anak yang terletak pada ayahnya sebagai orang tua, sehingga peran seorang ayah menjadi sangat signifikan untuk menentukan ke mana dan kepada siapa anaknya akan dinikahkan. Sebagaimana dituliskan oleh Azlan dalam bukunya yang berjudul Pernikahan Usia Dini dalam Hukum Islam, bahwa peran orang tua sebagai penjaga untuk anak-anaknya, tidaklah mungkin menjerumuskan anak-anaknya kepada kehancuran (Azlan, 2010).

Demikian pula, para ulama memandang perkawinan usia muda bukanlah sesuatu yang baik (Husein, 2001). Menurut Imam Syafi’i, perkawinan bagi yang sudah dewasa hukumnya adalah makruh, apabila yang bersangkutan belum mampu untuk memenuhi kewajiban yang harus dipikul

(17)

78 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 dalam kehidupan sehari-hari sebagai suami istri, selain itu dia juga masih bisa menahan diri dari berbuat zina. Lebih jelasnya, Imam Syafi’i mengatakan:

Artinya: ”Sebaiknya ayah tidak mengawinkannya (anak perempuan belia) sampai dia baligh, agar dia bisa menyampaikan izinnya, karena perkawinan akan membawa berbagai kewajiban (tanggung jawab).”

Demikian pula, makruh menikah bagi laki-laki yang tidak berkeinginan menikah dan tidak pula mempunyai kemampuan memberikan maskawin dan nafkah. Apabila dia mempunyai kemampuan atas biaya-biaya tersebut, tetapi pada saat yang sama dia tidak mempunyai alasan yang mengharuskannya untuk kawin, bahkan sebenarnya dia telah menyukai ibadah, maka sebaiknya tidak menikah agar ibadahnya tidak terganggu (Husein, 2001).

Pendapat Penulis terhadap Dampak Pernikahan Dini

Pernikahan dini dapat menimbulkan dampak yang positif maupun dampak yang negatif, di antaranya yaitu:

1. Dampak Positif

a) Belajar Kemandirian Sejak Dini

Belajar kemandirian merupakan salah satu pembelajaran yang diterapkan sejak dini untuk bertanggung jawab terhadap keluarga dan diri sendiri. Jika anak sudah memiliki rasa tanggung jawab, maka otomatis ia akan berusaha untuk memenuhinya meski dengan berbagai cara. Situasi ini menyebabkan pola pikir anak akan berjalan seiring dengan kebutuhannya yang ditunjang dengan produktifitas tenaga anak yang sedang mencapai masa puncaknya.

b) Menghindari Perzinahan

Maraknya perzinahan di masyarakat merupakan proses pembelajaran negatif dari alam yang merebak di semua kalangan. Sebagai contoh praktik budaya wekmu wekku yang berarti “milikmu milikku” kerap menjadi trend di beberapa daerah di Indonesia terutama di Pulau Jawa yang mengakibatkan terjadinya bias pada batasan pergaulan antara anak laki-laki dan perempuan, sehingga imbasnya mereka akan memiliki keinginan untuk mencoba dan memanfaatkannya sebagai pengaplikasian eksistensinya di tengah masyarakat. Keberadaan zaman yang sudah sedemikian carut marut menyebabkan adanya kekhawatiran yang berlebih terhadap anak-anak. Kebanyakan orang tua yang tidak mau mengambil risiko yang berlebihan, maka kemudian mempunyai

(18)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

79 inisiasi untuk menikahkan anaknya lebih dini sebagai antisipasi untuk menghindarinya.

2. Dampak Negatif

Dalam konsep tradisional, praktik pernikahan dini telah menjadi budaya atau adat istiadat bagi sebagian masyarakat. Sedangkan dalam konsep modern, praktik pernikahan dini dikhawatirkan dapat menyebabkan adanya gangguan psikologis yang berdampak pada segi fisik maupun biologis di kemudian hari. Beberapa dampak yang dapat terjadi akibat dari praktik pernikahan dini adalah sebagai berikut:

a) Tingkat Perceraian Tinggi

Perceraian akan muncul karena kondisi psikologis sang anak belum berada dalam masa kematangan berpikir sehingga ketika dibenturkan dengan permasalahan, langsung bereaksi dengan emosi yang berlebihan. Win win solution belum berhasil ditemukan dalam pikiran anak tersebut.

b) KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga)

Membangun keluarga dapat bernilai ibadah apabila dilakukan dengan niat, motivasi. dan cara yang sesuai dengan ajaran agama. Kasih sayang, kejujuran, keadilan, kesabaran, saling menghargai, tolong-menolong, dan pengertian antaranggota keluarga merupakan sarana agar pengabdiannya mendapat ridha Allah Yang Maha Bijaksana. Sebaliknya, aktivitas anggota keluarga yang dilakukan dengan niat dan cara yang dilarang agama, maka akan bernilai maksiat (dosa).

Kekerasan dalam rumah tangga, seperti penganiayaan suami terhadap istri, perlakuan kasar orang tua terhadap anak, perkosaan ayah/kakek terhadap anak/cucu, maupun pembantu merupakan kedzoliman dalam keluarga yang saat ini banyak kita temui. Fenomena demikian tidak perlu terjadi andai setiap anggota keluarga berbuat yang terbaik untuk keluarganya. Rumah tangga yang diharapkan menjadi surga (baiti jannati) justru menjadi suasana yang menegangkan karena adanya saling menuntut dan menyalahkan. Jika anggota keluarga merasa tertekan, teraniaya, dikhianati, bahkan disiksa maka kedamaian rumah tangga tidak dapat tercipta.

Menurut Tate Qomaruddin sebagaimana yang dikutip oleh Salam dalam bukunya, pernikahan dalam Islam ditegakkan atas beberapa prinsip besar dan mulia. Pertama, membangun ketaatan dan ibadah kepada Allah SWT secara bersama-sama dalam sebuah rumah tangga. Kedua, demi terwujudnya Sakinah, Mawaddah, dan Rahmah melalui perjodohan laki-laki dan perempuan. Ketiga, pernikahan diiringi pelaksanaan ibadah lainnya sebagai sarana untuk menciptakan kehidupan yang bersih dari perilaku memperturutkan syahwat seksualnya (Salam, 2007).

(19)

80 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 Karena psikologi yang belum mapan, banyak kasus KDRT yang terjadi di beberapa daerah. Pukulan, tendangan, bahkan upaya menciderai pasangannya kerap terjadi. Lebih ironis lagi ketika sudah masuk ke dalam ranah kekerasan seksual. Banyak kasus yang menimpa pasutri khususnya yang dilakukan oleh suami yang memaksakan kehendaknya untuk berhubungan intim tanpa mempertimbangkan psikologi dan kesehatan sang istri. Di sini peran istri hanya diibaratkan sebagai alat pemuas kebutuhan seksual saja.

Kekerasan psikologi juga meliputi keberadaan hubungan rumah tangga pasangan pernikahan dini. Pertengkaran-pertengkaran yang menjurus kepada keretakan rumah tangga kerap terjadi disebabkan karena kurang dewasanya dalam berpikir dan cenderung dominan menggunakan emosinya semata. c) Kesehatan Reproduksi Rendah

Kehamilan di masa remaja akan menjadi sangat berisiko baik bagi sang ibu maupun bagi janin yang dikandungnya. Hal ini terjadi karena kondisi rahim sang ibu yang belum sepenuhnya siap untuk menopang beban yang muncul tiba-tiba. Selain itu, kondisi psikis dan psikologis yang belum sepenuhnya matang juga dapat menyebabkan risiko pada kehamilan di usia muda seperti terjadinya keguguran. Kasus keguguran janin adalah masalah yang sering terjadi di kalangan pasangan muda. Kehamilan di usia dini juga dapat menyebabkan seseorang rentan menderita anemia semasa hamil dan melahirkan sehingga sangat berisiko akan kematian. Hal inilah yang menjadi penyebab angka kematian ibu dan bayi semakin tinggi.

Dengan datangnya perbedaan kebiasaan yang terjadi, maka siklus menstruasi juga akan berubah drastis. Ketidaklancaran siklus ini akan berimbas pada kemungkinan-kemungkinan penyakit lanjutan seperti keputihan, kanker service, ataupun penyakit kelamin lainnya.

Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi juga perlu diberikan kepada anggota keluarga. Kesehatan reproduksi mempunyai arti bukan sekedar memelihara, merawat, dan menjaga alat reproduksi, tetapi arti lebih luasnya mencakup peran seluruh anggota keluarga dalam memelihara kelangsungan kehidupan keluarga (Salam, 2007).

Dalam hal ini, perempuan (sebut saja ibu) sebagai salah satu anggota keluarga mempunyai 3 (tiga) peran penting, yaitu sebagai ibu rumah tangga, anggota masyarakat, dan peran reproduktif. Ketiga peran tersebut perlu dijaga keseimbangannya agar kerukunan dan kesejahteraan hidup keluarga terpelihara dengan baik. Dalam peran reproduktif, perempuan berkewajiban untuk melahirkan anak-anaknya sebagai pewaris keturunannya. Namun ada kalanya tidak semua perempuan dapat melahirkan keturunannya, meskipun secara fisik dan mental sehat. Ketidaksuburan perempuan dapat menjadi

(20)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

81 pemicu ketidakharmonisan keluarga. Demikian pula sebaliknya, ketidaksuburan laki-laki akan mengakibatkan hal yang sama.

Oleh karena itu perlu adanya saling pengertian antara suami dan istri demi menjaga keharmonisan keluarga. Peran reproduktif berarti pula bahwa suami dan istri harus saling menjaga dan memahami permasalahan yang berkaitan dengan anak-anaknya sebagai buah kasih sayang mereka. Melahirkan anak berarti harus siap memelihara, merawat, dan mendidiknya menjadi anak yang berguna di masa yang akan datang.

d) Maraknya Perselingkuhan

Kondisi masih labilnya pikiran dan keinginan anak menjadi pemicu terjadinya perselingkuhan di kalangan pasangan muda. Kejadian seperti ini memang tidak bisa serta merta menjadi kesalahan sang anak, juga orang tua mempunyai andil yang cukup besar sehingga terjadi hal tersebut. Sinergitas visi dan misi hidup berkeluarga sangat diperlukan maka dalam kasus perjodohan anak kadang orang tua tidak memperhatikannya. Alhasil, perselingkuhan kerap terjadi karena sebuah pelampiasan hati.

e) Kualitas Keturunan yang Rendah

Karena pengetahuan dan pengalaman yang masih terbilang minim maka berakibat pada kualitas anak yang dilahirkannya. Sesungguhnya proses pendidikan anak sudah dimulai dari masa perkembangan janin di rahim, namun karena ketidaktahuan sang ibu, maka proses pendidikan ini seakan terlewatkan yang berakibat pada keterputusan pendidikan.

Faktor alam juga menjadi batu sandungan dalam kehidupan. Kemajuan jaman yang penuh dengan campur tangan kecanggihan teknologi menjadi faktor penghambat seseorang mengikuti era tersebut. Lagi-lagi karena orang tua terkesan gagap teknologi dan pola berpikirnya masih berada di zamannya menyebabkan anak tertinggal satu langkah dengan yang lain.

KESIMPULAN

Pernikahan merupakan cara mulia dan terbaik yang dianjurkan oleh Allah SWT bagi setiap manusia sebagai insan kamil untuk melestarikan eksistensinya dan meneruskan keturunannya berdasarkan aturan dan kaidah norma agama. Dengan pernikahan, pergaulan antara laki-laki dan perempuan menjadi lebih terhormat dan bermartabat. Adapun pernikahan dini yaitu pernikahan yang berlangsung antara pasangan laki-laki dan perempuan yang mana salah satu di antara mereka masih berusia di bawah umur. Sebagaimana yang dijelaskan Imam Syafi’i dalam Al-Umm, bahwa dalam hukum Islam tidak ada batasan usia untuk menikah, namun seseorang diperbolehkan menikah apabila ia telah mencapai kedewasaan (baligh). Beliau menetapkan batasan usia baligh yaitu ketika seseorang telah berusia lima belas tahun, meskipun

(21)

82 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 sampai usia itu tidak mendapatkan mimpi basah bagi laki-laki atau haid bagi perempuan.

Imam Syafi’i adalah satu dari sekian ulama yang sangat masyhur. Sedari kanak-kanak, beliau tekun menuntut ilmu. Lahmuddin Nasution dalam bukunya Pembaruan Hukum Islam dalam Madzhab Syafi’fi, menuliskan bahwa Imam Syafi’i selain mempelajari Al-Qur’an dan hadits, beliau juga melengkapi ilmunya dengan mempelajari bahasa dan sastra Arab. Imam Syafi’i dikenal sebagai sosok yang ahli dalam Bahasa Arab, kesusastraan, syair dan sajak, serta dalam bidang tafsir hadits. Oleh karena itu, banyak pemikiran beliau yang dijadikan sebagai hujjah Islam. Salah satu pemikirannya yakni mengenai pernikahan dini.

Menurut madzhab Syafi’i, suatu pernikahan dapat dilaksanakan jika mempelai perempuan telah berusia baligh dan orang tua sepatutnya menanyakan persetujuan kepada putrinya agar tidak ada unsur keterpaksaan saat dilangsungkan pernikahan. Para ulama Syafi’iyah memiliki perspektif bahwa tidak dibolehkan menikahi atau menikahkan anak yang belum berusia baligh kecuali atas seizin ayahnya atau kakeknya. Muhammad Husein dalam bukunya, Fiqh Perempuan menjelaskan bahwa menurut Imam Syafi’i suatu pernikahan dihukumi makruh apabila pihak laki-laki tidak berkeinginan untuk menikah dan tidak memiliki kemampuan untuk memberikan maskawin dan nafkah. Apabila dia mempunyai kemampuan atas biaya tersebut, namun pada saat yang sama dia belum mempunyai alasan yang mengharuskannya untuk menikah, sedang dia telah menyukai ibadah, maka sebaiknya tidak menikah agar ibadahnya tidak terganggu

Ada beberapa alasan yang mendorong seseorang untuk melakukan pernikahan dini, di antaranya:

1) Beban ekonomi keluarga yang tak jarang mempengaruhi orang tua untuk segera menikahkan anak perempuannya walau masih berusia dini dengan tujuan untuk meminimalisasi beban tersebut dan harapan agar dapat meningkatkan taraf kehidupan.

2) Tingkat pendidikan yang rendah dalam masyarakat menyebabkan mereka memiliki kecenderungan untuk menikahan anak-anak yang masih berusia dini tanpa memperhitungkan risiko dan dampak yang akan terjadi.

3) Adanya adat istiadat perjodohan yang dilakukan orang tua terhadap anak dengan tujuan untuk mengikat hubungan kekeluargaan antardua keluarga.

Berdasarkan beberapa alasan di atas, penulis mengungkapkan kemungkinan dampak yang dapat terjadi dari pernikahan dini baik dampak yang positif maupun negatif. Dampak postif dari pernikahan dini, yakni:

(22)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

83 1) Seseorang dapat belajar kemandirian dan bertanggung jawab sejak dini terhadap dirinya sendiri, keluarganya, dan keluarga kecil yang dia bangun melalui pernikahan.

2) Menghindari perzinahan.

Sedangkan dampak negatif dari pernikahan dini, yakni:

1) Rentan akan perceraian karena kondisi psikologi anak yang belum matang sehingga ketika menghadapi suatu masalah langsung bereaksi dengan emosi berlebih.

2) Lebih berpotensi mengalami KDRT (Kekerasan dalam Rumah Tangga). 3) Pernikahan dini lebih berisiko mengakibatkan perselingkuhan karena

kondisi masih labilnya pikiran.

4) Rendahnya tingkat kesehatan reproduksi menyebabkan tingginya resiko keguguran pada kehamilan sang ibu.

5) Pernikahan dini juga menyebabkan rendahnya kualitas keturunan yang dihasilkan karena rendahnya tingkat pendidikan dan kurangnya ilmu pengetahuan dari pasangan pernikahan dini.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Zuhaili, W. (1989) Fiqh Islami Wa Adillatuhu Juz IX. Beirut: Dar Al-Fikr. Ariany, F. (2017) ‘Perkawinan Usia Dini Menurut Hukum Islam dan Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan’, Jurnal SangkareangMataram, 3(1), pp. 17–22.

Asy-Syafi’i, M. bin I. (1312) Al-Risalah, Mesir. Mesir: Al-Ilmiyyah. Asy-Syafi’i, M. bin I. (1990) AL-UMM. Beirut: Daar Al-Fikr.

Asy-Syak’ah, M. M. (1994) Islam bi Laa Madzzib. Jakarta: Gema Insani Press. Asy-Syurbasi, A. (1993a) Al-Aimatul arba’ah. jakarta: Bumi aksara.

Asy-Syurbasi, A. (1993b) Al-Aimatul Arba’ah. jakarta: Bumi aksara. Azlan (2010) ‘Pernikahan Usia Dini Menurut Hukum Islam’, pp. 1–58. Biografi Imam Hanafi dan Imam Syafi’i (no date).

BKKBN (1993) Pendewasaan Usia Perkawinan. Jakarta.

Daradjat, Z. (1995) Ilmu Fiqh. jilid 2. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf. Ghazali, A. R. (2012) Fiqh Munakahat. cet. ke-5. Jakarta: Kencana.

Hadikusuma, H. (2003) Hukum Perkawinan Indonesia; Menurut Perundangan, Hukum Adat Hukum Agama. Bandung: Mandar Maju. Hakim, R. (2007) Hukum Perkawinan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia. Husein, M. (2001) Fiqh Perempuan. Yogyakarta: LKIS.

Ibrahim, H. M. (1989) Pengantar Fiqih Muqaran. Yogyakarta: Erlangga. Ibrahim, M. (1991) Pengantar Fiqh Muqaran. Jakarta: Erlangga.

(23)

84 e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627 Pendidikan Anak Dalam keluarga’, Al I’tibar : Jurnal Pendidikan Islam, V(1), pp. 38–44.

Indonesia (no date) Undang-Undang Tentang Perkawinan. UU No. 1, LN No. 1 tahun 1974, TLN No. 3019.

Islam, D. R. E. (1993) Ensiklopedi Islam. Cet. Ke-1. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Khalaf, A. A.-W. (1978) Ilm Usul Al-Fiqh. Kuwait: Dar Al-Qalam.

Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, Tafsir Al-Qur’an Tematik. Jilid 6 (2014). Jakarta: Kamil Pustaka.

Manan, A. (2006) Aneka Masalah Hukum Perdata Islam di Indonesia. cet. ke-2. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Mubarok, J. (2000) Sejarah dan Perkembangan Hukum Islam. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Mubarok, J. (2002) Modifikasi Hukum Islam Studi tentang Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Mughniyah, M. J. (2000) Al-fiqh ’ala al-Madzahib al-Khamsah. Jakarta: Lentera Basritama.

Mustika, I. T. (2017) ‘Putusan Dispensasi Batas Usia Pernikahan Perspektif Madzhab Syafi’i dan Hanbali’, Skripsi, pp. 1–178.

N. Alolas, F. Ah, U. I. et al. (2015) ‘Studi Pemikiran Imam Syafi’i Tentang Hukum Menikah Dengan Niat Cerai’, 1, pp. 1–118.

Nafis, C. (2009) Fikih Keluarga Menuju Keluarga Sakinah, Mawaddah, Wa Rahmah Keluarga Sehat, Sejahtera, Dan Berkualitas. Jakarta: Mitra Abadi Press.

Nasution, L. (2001) Pembaharuan Hukum Islam dalam Mazhab Syafi’i. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Noor, Z. (2013) ‘“Perkahwinan Kanak-Kanak Dan Tahap Minima Umur Perkahwinan Dalam Undang-Undang Keluarga Islam”’, Jurnal Syariah, 21(2), pp. 165–170.

Nuruddin, A. and Tarigan, A. A. (2004) Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.

Rasyid, S. (2002) Fiqh Islam. Jakarta: Sinar Baru Algesindo.

Rofig, A. (2000) Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Sahri, A. and Arif, S. (2013) ‘Kedudukan Hukum Nikah Siri Menurut Madzhab Syafi’i dan Maliki’, Mizan; Jurnal Ilmu Syariah, 1(1), pp. 93–122. Salam, L. (2007) Menuju Keluarga Sakinah. Surabaya: Terbit Terang.ST. Sardi, B. (2016) ‘Faktor-faktor pendorong pernikahan dini dan dampaknya di

desa mahak baru kecamatan sungai boh kabupaten malinau’, eJournal Sosiatri-Sosiologi, 4(1), pp. 194–207.

(24)

e-ISSN: 2656-9442 p-ISSN: 2550-0627

85 Sartika, Y. (2015) ‘Kadar Mahar Perkawinan terhadap Anak Tunggu Tubang di Kecamatan Semende Darat Kabupaten Muara Enim Ditinjau dari Mazhab Syafi’i dan Mazhab Hanafi’, Skripsi, pp. 1–74.

Shiddieqy, H. A. (1997) Pokok Pegangan Imam Madzhab. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra.

Soerjono, S. (2004) Sosiologi Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.

Syafi’I, I. (2004) Mukhtashar Kitab Al Umm Fi Al Fiqh,Terj.Imron Rosadi Dkk. jilid 3-6. Jakarta: Pustaka Azzam.

Syarifuddin, A. (2005) Garis-garis Besar Fiqh. Cet. Ke-2. Jakarta: Prenada Media.

Tihani, H. M. . and Sahrani, S. (2010) Fikih Munakahat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Wafa, M. A. (2017) ‘Telaah Kritis terhadap Perkawinan Usia Muda Menurut Hukum Islam’, Jurnal Ilmu Syariah, 17(2), pp. 384–413.

Referensi

Dokumen terkait

Beberapa instrumen kebijakan yang diterapkan oleh Pemerintah selama ini adalah adanya (a) rasio impor bahan baku susu yang dikaitkan dengan keharusan serap susu segar domestik,

Sebelum diberikan layanan bimbingan kelompok, diperoleh hasil penelitian tentang interaksi sosial siswa terisolir yaitu lebih dari separuh berada dalam

[0260] Kota Bandung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan..

Hal tersebut diuraikan lebih lanjut dalam RPP tentang guru, bahwa kompetensi sosial merupakan kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat, sekurang-kurangnya memiliki

Berdasarkan gejala- gejala yang timbul dan juga hasil dari pemeriksaan tinja pasien, dapat langsung gejala yang timbul dan juga hasil dari pemeriksaan tinja

Soal ketiga butir ini dijawab sama (18) oleh kelompok atas dan dijawab sama (7) pula oleh kelompok bawah, sehingga indeks yang dihasilkannya pun sama, yakni 0,69. Soal ini

Sedangkan dalam memahami isi Hadith, Imam Hanafi mengartikan kata imro’ah, dalam 2 kategori yaitu kategori merdeka dan kategori budak, Perempuan merdeka (baik

Dalam menganalisis topik tersebut penulis hanya membandingkan pendapat Madzhab Syafi‟I yang direpresentasikan oleh Imam Nawawi dan Madzhab Hambali yang