• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUSUT UMUR DINI BALOK BETON BERKINERJA TINGGI DENGAN UKURAN LABORATORIUM DAN SKALA PENUH ABSTRAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SUSUT UMUR DINI BALOK BETON BERKINERJA TINGGI DENGAN UKURAN LABORATORIUM DAN SKALA PENUH ABSTRAK"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

24 Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo

SUSUT UMUR DINI BALOK BETON BERKINERJA TINGGI

DENGAN

UKURAN LABORATORIUM DAN SKALA PENUH

Chatarina Niken

Jurusan Teknik Sipil, Fakultas Teknik Universitas Lampung chatarinaniken@yahoo.com

ABSTRAK

Balok adalah elemen struktur utama pada jembatan dan bangunan bertingkat. Tujuan darai penelitian ini adalah memperoleh perbedaan susut umur dini antara balok pada skala laboratorium dan skala penuh. Pada penelitian ini digunakan kuat tekan 60MPa. Penelitian ini dilakukan di Indonesia selama 24 jam. Penelitian ini menggunakan tiga specimen skala laboratorium berukuran 150 mm × 150 mm × 600 mm, dan satu specimen skala penuh berukuran 200 mm × 600 mm × 3000 mm. Semua specimen ditutup dengan Styrofoam untuk menghindari perubahan kelembaban. Susut umur dini diperoleh melalui pemasangan satu buah embedded vibrating wire strain gauge pada setiap specimen skala laboratorium dan empat buah pada specimen skala penuh. Hasil penelitian ini adalah terdapat kesamaan tipe susut antara specimen skala penuh dan skala laboratorium. Susut umur dini maximum pada skala penuh 0.8E-04 terjadi pada umur 15.8 jam, sedangkan pada skala laboratorium 1.255E-04 terjadi pada umur 22.2 jam. Fluktuasi kembang-susut di dalam specimen skala penuh lebih halus dibandingkan dalam skala laboratorium. Laju deformasi tinggi dari kedua jenis skala specimen terjadi pada umur 5-9 jam. Dengan demikian cukup aman menganggap perilaku balok beton berkinerja tinggi sesungguhnya pada umur dini sama dengan perilaku balok skala laboratorium.

Kata Kunci : balok, beton, dini, susut, ukuran

PENDAHULUAN

Perubahan volume beton karena factor structural dan lingkungan sebagai suatu phenomena telah diterima. Dalam kenyataannya perubahan volume terjadi segera setelah semen bertemu dengan air selama pencampuran beton. Susut beton terbagi menjadi dua tahapan: dini dan umur setelahnya. Susut dini biasanya didefinisikan sebagai hari pertama, ketika beton setting dan mulai mengeras. Umur selanjutnya atau jangka panjang adalah umur 24 jam dan setelahnya (Bažant, 2012).

Perubahan volume umur dini pada umumnya diabaikan dalam mendesain struktur beton sepanjang susutnya lebih kecil daripada susut kering. Tetapi, meskipun kondisi curing beton ideal, susut hari pertama dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap susut ultimit yang kemudian beresiko retak (Bažant, 2012).

Perbedaan susut jangka panjang antara kolom dan balok dipicu oleh perilaku deformasi umur dini (Niken dkk, 2017). Cutting pada perkerasan kaku, harus dilakukan pada umur dini yaitu 5-8 jam pertama. Cutting dilakukan untuk mencegah retak dini yang biasanya berukuran mikro. Retak dini dapat tumbuh atau berakumulasi menjadi

(2)

Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo 25

retak serius yang dapat mengakibatkan kehancuran struktur. Ketidakseragaman pelepasan tegangan residu yang disebabkan oleh rangkak dan retak mikro mempengaruhi susut rata-rata potongan melintang pada balok bentang panjang (Hubler dkk, 2015).

Pada umur dini, proses hidrasi adalah memegang peran utama. Hal tersebut hanya suatu hasil reaksi kimia internal dan reaksi structural dari komponen beton. Kecukupan air untuk proses hidrasi sangat penting; sehingga adanya transfer kelembaban dari dalam beton ke sekitarnya dan sebaliknya harus dihindari. Perubahan volume pada ketiadaan transfer kelembaban tersebut disebut susut autogenous. Pergerakan kelembaban disebabkan oleh kondensasi kapiler yang dianggap menjadi penyebab reduksi kekuatan lentur pada spesimen terbungkus (Tazawa dan Mujazawa, 1995). Pengaruh rasio air-semen pada susut autogenous telah dipelajari ( Zhang dkk, 2015). Susut autogenous perlu diperhatikan pada beton kekuatan tinggi atau beton berkinerja tinggi (> 40 MPa atau 6000 psi) dimana digunakan rasio air-semen (w/c) rendah. Susut berhubungan erat dengan kemistri semen dan pengembangan tegangan kapiler internal dalam pasta semen (Holt, 2001).

Susut autogenous memiliki mekanisme phisikal berbeda dengan susut yang lain. Hal ini penting untuk beton berkinerja tinggi modern, beton berkinerja sangat tinggi dan beton berkinerja ultra tinggi yang biasanya menggunakan admixture, bahan tambahan dan w/c rendah. Ditemukan beberapa admixture mampu mengurangi susut autogenous (Tazawa & Miyazawa 1, 1995). Paillere dkk, 1989 menyatakan bahwa silica fume dengan kandungan tinggi dalam beton dapat menimbulkan retak dini jika deformasi dicegah. Phenomena ini dikaitkan dengan intensitas susut autogenous dalam beton kecuali pada w/c rendah (0.26).

Pada umumnya admixture dan bahan tambahan digunakan dalam pembuatan self-consolidating concrete (SCC). Susut autogenous dini pada SCC telah dipublikasikan (Li dan Li, 2014). Long dkk, 2011 mempelajari susut autogenous dari prestressed SCC. Soliman, 2011 telah mempelajari susut dini pada ultra beton berkinerja tinggi. Jun dkk, 2011, telah mengembangkan model susut autogenous berdasarkan susut kimiawi dan reduksi kelembaban interior. Model tersebut sesuai dengan pengukuran eksperimental susut autogenous umur dini pada beton normal dan beton berkekuatan tinggi.

Beton adalah struktur yang agak getas (quasi-brittle). Kehancuran dapat dipicu retak-makro yang dapat muncul dari pertumbuhan retak mikro. Sifat tersebut adalah sangat non-statistical terhadap pengaruh ukuran baik untuk kekuatan structural, laju rangkak maupun laju susut (disebabkan oleh ketergantungan susut kering pada dimensi

(3)

26 Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo Saat ini secara universal pengaruh ukuran ini telah diterima oleh IA-FRAMCOS dan oleh Engineering Mechanics Institute dari ASCE, dan juga oleh ACI Committees 446 (Fracture Mechanics) dan 447 (Finite Element Analysis), sayangnya formulasi ACI

design code belum menyatakannya. Sekarang ini pengaruh ukuran secara luas diakui sebagai suatu isu yang serius bahkan dalam komite pembuatan peraturan ACI, ACI 318 dan 445 (Hubler dkk, 2015). Ketergantungan ukuran energi fraktur dan Panjang efektif daerah proses fraktur beton ditentukan sebagai metode efek ukuran Bažant dan metode fraktur – kerja RILEM (Rao, 2013). Factor keamanan untuk struktur quasi-brittle

meningkatkan ukuran struktur secara signifikan (Bažant, 2012).

Balok adalah elemen struktur utama pada portal dan jembatan. Kehancuran balok dapat menimbulkan kehancuran jembatan. Berdasarkan uraian tersebut di atas, perbedaan perilaku umur dini antara specimen ukuran laboratorium dan ukuran sesungguhnya perlu diteliti khususnya untuk beton berkinerja tinggi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Jakarta yang beriklim tropis lembab. Penelitian ini dilakukan secara eksperimental menggunakan 3 spesimen berukuran 150 mm × 150 mm × 600 mm sesuai pengujian lentur dengan mengacu ASTM C78-08, dengan satu buah embedded vibrating wire strain gauge (EVWSG) setiap spesimen dan satu buah balok skala penuh berukuran 200 mm × 600 mm × 3000 mm. Susut pada tengah bentang dipengaruhi oleh defleksi. Berdasarkan studi tersebut posisi EVWSG pada ujung balok, 5 cm dari ujung untuk spesimen ukuran laboratorium (Gambar 1a) dan 70 cm dari ujung untuk spesimen skala penuh (Gambar 1b). Penelitian ini menggunakan beton berkinerja tinggi dengan kuat tekan 60 MPa dan slump 35 ± 2 cm.

(a) (b)

Gambar 1: (a) Spesimen ukuran Laboratorium sesuai ASTM C78-08; (b) Spesimen skala penuh

!

-80oC and 60oC with about .5% accuracy.

(a) (b) Figure 1. Scheme of the specimens: a) HS, b) VS

The process of producing specimens is displayed in Fig. 2 below.

(a) (b)

(c) (d) (e)

Fig. 2. Specimen production: a). VWESG installed in horizontal specimen, b) Wet curing for horizontal specimens, c) Producing vertical specimens, d) Wet curing for vertical specimens, e) Specimens in conditioned room

A B

Embedded vibrating wire strain gauge

(a) (b)

!

3D. Specimen with styrofoam covering; 3E. Wet curing; 3F. Specimen in conditioned room

Read out

Temperature and humidity monitor

15 cm

60 cm

60 cm

(4)

Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo 27

A. Material

Desain campuran sesuai ACI 211.4R (1993) dengan pembatasan jumlah semen 500 kg/m3 agar factor susut mendekati 1 (ACI 209R, 1992). Digunakan semen jenis

Ordinary Portland Cement (OPC) yang diproduksi oleh Indocement. Kondisi agregat adalah saturated surface dry (SSD). Agregat halus yang digunakan adalah pasir sungai dari Sungai Liat (Bangka, Sumatra, Indonesia), specific gravity (SSD) 2.605; dan penyerapan 0.4%. Pasir tersebut disaring dan dibersihkan dan dipilih campuran ukuran yang berada tengah gradasi dari grafik standar. Agregat halus harus bebas dari material organic sesuai American Society for Testing and Materials International, 2002. Agregat kasar dari pecahan batu gunung di daerah Banten, Jawa Barat, Indonesia. Komposisi agregat kasar yang digunakan adalah 70% berukuran 13 - 19mm, specific gravity (SSD) 2.563, penyerapan 1.543%, dan 30% berukuran 6 - 12mm, specific gravity 2.636, dan penyerapan 2.26%.

Material tambahan yang digunakan adalah silicafume yang diproduksi oleh PT Sika Indonesia.Untuk mencapai kekuatan tinggi dengan rasio air terhadap material cementitious rendah, mudah dikerjakan digunakan polycarboxylic superplasticizer dengan nama komersial Visco Crete 10 dari PT Sika Indonesia ditambahkan pada campuran beton sebagai pengurang air atau high range water reducer (HRWR). Dosis HRWR adalah 1.4% dari berat semen sesuai dengan penggunaan umum di Indonesia. Air yang digunakan diambil dari Laboratorium Struktur dan Material Universitas Indonesia. Timbangan elektronik digunakan untuk material cementitious dan air agar diperoleh rasio air terhadap cementitious secara akurat.

Proporsi campuran adalah 500 kg/m3 OPC, 40 kg/m3 silica fume, 142.6 kg/m3 air,

800 kg/m3pasir, 935 kg/m3 agregat kasar, dan 7.6 kg/m3 HRWR. Dalam mendesain

campuran semua agregat dianggap dalam kondisi SSD. Pencampuran dilakukan dalam mesin pengaduk beton dengan kapasitas 0.3 m3. Semua material cementitious dicampur

pada kondisi kering, kemudian dimasukkan agregat halus 50%. Selanjutnya dimasukkan 50% air secara perlahan, kemudian dimasukkan sebagian air yang telah dicampur HRWR secara homogen. Material diaduk selama 1,5 menit. Selanjutnya sisa air dimasukkan secara perlahan. Langkah terakhir adalah memasukkan 100% agregat kasar dan agregat halus. Setelah semua material dimasukkan, mesin pengaduk beton diputar selama kira-kira 3 menit. Slump flow diukur dengan menggunakan cetakan Abrams secara terbalik.

(5)

28 Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo

B. Metode

Susut dalam penelitian ini diukur sebagai perubahan regangan terhadap waktu dengan memasang satu buah EVWSG pada setiap specimen ukuran laboratorium dan empat buah EVWSG pada specimen skala penuh sesuai Gambar 1. EVWSG tersebut dapat mendeteksi regangan sampai 3000 με dengan keakuratan .025% dan temperature beton antara -80oC dan 60oC dengan keakuratan berkisar .5%. Segera sesudah pengecoran

specimen ditutup dengan styrofoam untuk mencegah penguapan (Gambar 2).

(a) (b)

Gambar 2. Spesimen yang ditutup Styrofoam: (a) Spesimen ukuran laboratorium, (b) Spesimen skala penuh

Pengamatan dilakukan segera setelah penuangan setiap 15 menit sampai 24 jam dengan menggunakan read out. Data dari ketiga specimen ukuran laboratorium dianalisa dengan menggunakan kriteria Dixon’s sebagai pengamatan standard practice for dealing with outlying. ASTM E 178-02 menyatakan bahwa kriteria Dixon, sepenuhnya didasarkan pada rasio perbedaan antara pengamatan-pengamatan dapat digunakan dalam kasus-kasus dimana hal tersebut diinginkan untuk menghindari standar deviasi atau diperlukan penilaian cepat.

Untuk pengujian Dixon, kriteria spesimen atau perubahan statistik berhubungan dengan jumlah spesimen. Persamaan kriteria Dixon untuk 3 – 7 spesimen dengan x1 ≤ x2

≤ … ≤ xn adalah sebagai berikut..

Jika nilai terkecil dicurigai: r10 = (x2-x1)/(xn-x1) (1)

Jika nilai terbesar dicurigai: r10 = (xn-xn-1)/(xn-x1) (2)

Penggunaan Persamaan 1 dan 2 pada umur tertentu yang memiliki perbedaan data susut besar dari ketiga spesimen dihitung. Susut spesimen ukuran laboratorium ditentukan dengan menggunakan rerata dari data yang diterima. Susut pada spesimen skala penuh ditentukan dengan menggunakan nilai rerata keempat VWESG ujung. Perilaku susut dari

(6)

Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo 29

kedua jenis spesimen dibandingkan, dan dengan menggunakan studi literatur dapat diambil kesimpulan.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Susut dalam Spesimen Ukuran Laboratorium

Dari ketiga specimen, perbedaan nilai susut yang besar terjadi pada rentang umur 7-17 jam (Gambar 3a). Dengan menggunakan tingkat signifikan 5%, diantisipasi kedua jenis kecurigaan yaitu: nilai terbesar dan nilai terkecil. Dengan mengantisipasi kedua jenis kecurigaan, nilai r10 dapat dimunculkan dalam sebuah grafik yang berfluktuasi dan

berbentuk oposisi (Gambar 3b).

Gambar 3. (a) Susut specimen berukuran laboratorium, (b) Grafik outlying

Terdapat satu data dari 94 data atau 1 persen yang memiliki nilai di atas tingkat signifikan 5% (Gambar 3b), hal ini dapat ditoleransi; oleh karenanya semua data dapat diterima dan diambil nilai reratanya untuk menentukan susut spesimen berukuran laboratorium.

B. Susut Spesimen Berukuran Laboratorium dan Spesimen Skala Penuh

Perbandingan perilaku umur dini dalam spesimen berukuran laboratorium dan skala penuh dapat dilihat pada Gambar 4.

-6,0E-05 -4,0E-05 -2,0E-05 0,0E+00 2,0E-05 4,0E-05 6,0E-05 8,0E-05 1,0E-04 1,2E-04 0 5 10 15 20 25 S u su t, m /m

Umur spesimen, jam

Spesimen 1 Spesimen 2 Spesimen 3 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 5 10 15 20 r1 0

Umur spesimen, jam

Terbesar Terkecil Tingkat signifikansi 5%

1,6E-04

(7)

30 Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo Gambar 4. Perilaku umur dini dalam specimen berukuran laboratorium dan skala penuh

C. Pembahasan

Susut dini dalam spesimen skala penuh lebih kecil daripada spesimen ukuran laboratorium tetapi dengan bentuk lebih halus atau sedikit berfluktuasi (Gambar 4). Fluktuasi terjadi karena dalam beton terjadi ekspansi dan susut yang secara bergantian mendominir. Fluktuasi ini lebih banyak terjadi dalam specimen berukuran laboratorium (Gambar 4).

Pada umumnya dua puluh empat jam pertama terjadi pengurangan jumlah dan ukuran pori dan pertumbuhan produk hidrasi seperti CH, ettringite dan CSH seperti Gambar 5 (Kurtis, 2015).

Pada jam pertama, terjadi ekspansi cukup besar dalam beton yang nyata terlihat pada specimen berukuran laboratorium (Gambar 4). Perilaku ini disusul dengan peningkatan susut secara linier namun dengan fluktuasi ekspansi yang cukup besar (Gambar 4). Jam pertama ini disebut periode Dormant (Gambar 5), dimana ekspansi menjadi perilaku utama. Ekspansi disebabkan oleh hidrasi alite (C3S) dengan puncak

terjadi pada satu jam pertama (Gambar 6). Kandungan alite dalam semen beton sekitar 65%, dengan demikian perilakunya mempengaruhi perilaku beton sehingga perlu mendapat perhatian. Terdapat kesesuaian antara periode Dormant dan periode puncak ekspansi dari Paulini, 1990.

-4,0E-05 1,0E-05 6,0E-05 1,1E-04 1,6E-04 Su su t, m m /m m -4,0E-05 -2,0E-05 0,0E+00 2,0E-05 4,0E-05 6,0E-05 8,0E-05 1,0E-04 1,2E-04 1,4E-04 1,6E-04 0 5 10 15 20 25 Su su t, m m /m m

Umur spesimen, jam

Skala penuh Berukuran laboratorium 1000

(8)

Prosiding Seminar Nasional Teknik Sipil 2019 Keandalan Infrastruktur Pekerjaan Umum Perumahan Rakyat Bagi Kemajuan Bangsa

Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo 31

Menit jam hari Periode Dormant setting pengerasan

Gambar 5. Pengurangan pori, pertumbuhan produk hidrasi, proses pembentukan beton (Kurtis, 2015)

Gambar 6. Hidrasi alite /C3S (Paulini, 1990)

Dalam spesimen skala penuh, periode Dormant terjadi sampai 5 jam dengan curva yang halus sejak awal. Hal ini dapat terjadi apabila laju ekspansi tinggi dari Ca2+

(Gambar 6) dapat diimbangi oleh susut yang disebabkan oleh CH dan ettringite dalam volume yang cukup seperti dalam spesimen skala penuh (Gambar 5).

Universitas Indonesia

terbentuk dalam C

3

S atau pasta alite sendiri (Kjellsen, Lagerblad, 2007). Di dalam

butir-butir Hadley atau

hollow shell

mengandung volume pori ± 34% volume total

pori (Holzer, Gasser, Muench, 2006).

3.1.1.2. Pertumbuhan produk hidrasi

Semua

produk

hidrasi

berbentuk

kristal

berukuran

relatif

besar.

Kurtis,

menggambarkan pertumbuhan produk hidrasi dan tahapan sifat beton seperti proses

setting, pengerasan dan kekakuan dalam Gambar 3.2. Terdapat hubungan antara

pertumbuhan produk hidrasi, bentuk struktur mikro dan tahapan sifat seperti di atas.

Pada saat ettringite terbentuk, beton mengalami

setting

dan pengerasan yang diikuti

peningkatan kekakuan. Pengerasan bertambah seiring meningkatnya produk hidrasi

seperti C-S-H, CH, C-(AF)-H dan monosulfoaluminat (Gambar 3.2). Konversi

ettringite ke monosulphoaluminate hanya terjadi pada abu terbang dengan kandungan

SO

3

rendah (Wesche, 1991).

Menit

jam

hari

Periode Dormant

setting

pengerasan

Gambar 3.2. Pertumbuhan produk hidrasi

Retak dini dapat muncul dalam proses hidrasi. Jika semua ettringit terbentuk selama

beton masih plastis (Gambar 3.2), tidak akan timbul retak karena ekspansi ettringite,

dan walaupun berlebihan, akan membuat ruang bagi dirinya sendiri sebelum beton

menjadi getas.

Namun apabila ettringite terbentuk setelah phase plastis atau

mengalami

delayed ettrigite formation

(DEF) yang dapat menyebabkan penurunan

0 5 30 1 2 6 1 2 7 28 90 Minutes Hours Days

Am ou nt Porosity CH Ettringite C-S-H C-(A,F)-H Monosulfate

Cement Hydration

•Is the chemical combination of cement and water to form hydration products

•Takes time

•May not proceed to 100% completion

Formation of hydration products over time leads to: •Stiffening (loss of workability)

•Setting (solidification) •Hardening (strength gain)

Let’s look at the hydration reactions in more detail

19

Universitas Indonesia

terbentuk dalam C

3

S atau pasta alite sendiri (Kjellsen, Lagerblad, 2007). Di dalam

butir-butir Hadley atau

hollow shell

mengandung volume pori ± 34% volume total

pori (Holzer, Gasser, Muench, 2006).

3.1.1.2. Pertumbuhan produk hidrasi

Semua

produk

hidrasi

berbentuk

kristal

berukuran

relatif

besar.

Kurtis,

menggambarkan pertumbuhan produk hidrasi dan tahapan sifat beton seperti proses

setting, pengerasan dan kekakuan dalam Gambar 3.2. Terdapat hubungan antara

pertumbuhan produk hidrasi, bentuk struktur mikro dan tahapan sifat seperti di atas.

Pada saat ettringite terbentuk, beton mengalami

setting

dan pengerasan yang diikuti

peningkatan kekakuan. Pengerasan bertambah seiring meningkatnya produk hidrasi

seperti C-S-H, CH, C-(AF)-H dan monosulfoaluminat (Gambar 3.2). Konversi

ettringite ke monosulphoaluminate hanya terjadi pada abu terbang dengan kandungan

SO

3

rendah (Wesche, 1991).

Menit

jam

hari

Periode Dormant

setting

pengerasan

Gambar 3.2. Pertumbuhan produk hidrasi

Retak dini dapat muncul dalam proses hidrasi. Jika semua ettringit terbentuk selama

beton masih plastis (Gambar 3.2), tidak akan timbul retak karena ekspansi ettringite,

dan walaupun berlebihan, akan membuat ruang bagi dirinya sendiri sebelum beton

menjadi getas.

Namun apabila ettringite terbentuk setelah phase plastis atau

mengalami

delayed ettrigite formation

(DEF) yang dapat menyebabkan penurunan

0 5 30 1 2 6 1 2 7 28 90

Minutes Hours Days

Am ou nt Porosity CH Ettringite C-S-H C-(A,F)-H Monosulfate Cement Hydration

•Is the chemical combination of cement and water to form hydration products

•Takes time

•May not proceed to 100% completion

Formation of hydration products over time leads to: •Stiffening (loss of workability)

•Setting (solidification) •Hardening (strength gain)

(9)

32 Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo Setelah 5 jam, laju ekspansi Ca2+ turun secara bertahap lalu menjadi hampir

konstan (Gambar 6). Pada umur yang sama CSH mulai tumbuh dengan laju yang tinggi. Konsekuensi dari keadaan ini adalah dalam kedua jenis spesimen susut menjadi dominan dengan laju tinggi sesuai laju pertumbuhan CSH (Gambar 4) pada rentang umur 5-9 jam. Setelah itu deformasi tipe ekspansi terjadi dengan laju lamban sampai umur 18 jam pada spesimen berukuran laboratorium. Hal ini terjadi karena peningkatan ettringite dan keberadaan Ca2+. Setelah phenomena ini, specimen berukuran laboratorium menyusut

kembali dengan laju tinggi karena laju pertumbuhan CH juga tinggi (Gambar 5). Perilaku ekspansi terjadi sesudahnya sampai umur 24 jam dengan laju rendah.

Pada spesimen skala penuh susut terjadi pada umur 10-15 jam hal ini berarti ekspansi ettringite dan keberadaan Ca2+ mampu menahan lonjakan susut (Gambar 4).

Selanjutnya spesimen berekspansi dengan laju rendah seperti pada spesimen berukuran laboratorium.

KESIMPULAN

Perilaku balok beton berkinerja tinggi skala penuh serupa dengan spesimen berukuran laboratorim. Susut maximum dalam spesimen skala penuh terjadi pada umur 15.8 jam dengan nilai susut 0.86E-04, sedangkan dalam specimen berukuran laboratorium terjadi pada umur 22.2 jam dengan nilai susut 1.255E-04. Dengan demikian susut dalam spesimen skala laboratorium 31.5% lebih tinggi. Pada skala yang lebih besar, ettringite mempunyai tempat yang lebih lapang untuk mengembang sehingga dapat menurunkan laju susut yang tinggi karena pertumbuhan CH dan CSH. Adalah cukup aman menganggap perilaku susut skala sesungguhnya seperti perilaku susut dengan specimen berukuran laboratorium.

TERIMA KASIH

Kami mengucapkan terima kasih kepada Universitas Lampung yang selalu mendukung penelitian kami dengan mengizinkan tidak masuk kantor untuk penelitian di Universitas Indonesia. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Universitas Indonesia yang mendukung penelitian kami dengan prasarana dan sarana yang baik. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada PT Sika Indonesia yang telah mendukung penelitian ini dengan bahan silica fume dan superplasticizer. Terima kasih kepada semua staff Laboratorium struktur dan Material Universitas Indonesia yang selalu membantu kami.

(10)

Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo 33

DAFTAR PUSTAKA

ACI 209R-92, (1992). Prediction of creep, shrinkage, and temperature effects in concrete structure. American Concrete Institute, pp. 1-47.

ACI Committee 211, 1993. ACI 211.4R: Guide for Selecting Proportion for High Strength Concrete with Portland Cement and Fly Ash. International Concrete Abstracts Portal, Volume 90, pp. 272283.

ASTM C78/C78M-18, (2002). Standard Test Method for Flexural Strength of Concrete.

ASTM E178-02, (2002). Standard practice for dealing with outlying observation, American Society for Testing and Materials, pp. 1-18.

Bažant Z.P., (2012). Rational and Safe Design of Concrete Transportation Structures for Size Effect and Multi Decade Sustainability. Technical Report. Safetea-LU Project, Infrastructure Technology Institute, Northwestern University, Illinois. 26 pages.

Erika E. Holt, (2001). Early Age Autogenous Shrinkage of Concrete. UTT Publication, Technical Research Centre of Finland. 184 halaman.

Hubler M.H., Wendner R., Bažant Z.P., (2015). Statistical Justification of Model B4 for Drying and Autogenous Shrinkage of Concrete and Comparison to Other Models. Materials and Structures Journal. Vol. 48 (4), pp. 797-814.

Jun. Z., Dongwei. H., Haoyou. C., (2011). Experimental and Theoretical Studies on Autogenous Shrinkage at Early Ages. Journal of Materials in Civil Engineering, Vol. 23 (3), pp. 312-320.

Kurtis, K., 2015. Portland cement hydration. School of civil engineering, Georgia Institute of Technology, Atlanta, Georgia, 69 slides.

Li Y., dan Li J., (2014). Capillary Tension Theory for Prediction of Early Autogenous Shrinkage of Self – Consolidating Concrete. Construction and Building Materials Journal. Vol. 53, pp 511-516.

Long. W.J., Khayat. K.H., Xing. F., (2011). Autogenous Shrinkage of Prestressed Self-Consolidation Concrete. The Open Civil Engineering Journal. Vol. 5, pp. 116-123.

Niken C., Elly, T., Supartono, F.X., (2017), Long-term Deformation of Beam and Column of High Performance Concrete. International Journal of Technology, Vol. 8(5)

Paillere A.M., Buil M., dan Serrano J.J., (1989). Effect of Fibre Addition on the Autogenous Shrinkage of Silica fume. Material Journal. Vol. 86 (2), pp. 139-144.

Paulini, P. (1990). Reaction mechanisms of concrete admixture. Cement and concrete research. Vol. 20, pp. 910-918.

Rao T.M., dan Rao T.D.G., (2013). Size Effect of Plane Concrete Beams- an Experimental Study. International Journal of Research in Engineering and Technology. Vol. 02 (06), pp. 1047-1051

(11)

34 Universitas Veteran Bangun Nusantara Sukoharjo Soliman, A.M., (2011). Early-age Shrinkage of Ultra High-Performance Concrete:

Mitigation and Compensating Mechanism, Dessertation Repository, University of Western Ontario.

Tazawa E., dan Mujazawa S., (1995). Influence of Cement and Admixture on Autogenous Shrinkage of Paste. Cement and Concrete Research Journal. Vol. 25 (2), pp. 281-287.

Tazawa E., dan Mujazawa S., (1995). Experimental study on Mechanism of Autogenous Shrinkage of Concrete. Cement and Concrete Research Journal. Vol. 25 (8), pp. 1633-1638.

Zhang J., Han Y.D., Gao Y., (2014). Effect of Water-Binder Ratio and Coarse Aggregate Content on Interior Humidity, Autogenous Shrinkage and Drying Shrinkage of Concrete.Journal of Materials in Civil Engineering. Vol. 26 (1).

Gambar

Gambar 1: (a) Spesimen ukuran Laboratorium sesuai ASTM C78-08;                   (b) Spesimen skala penuh
Gambar  2.  Spesimen  yang  ditutup  Styrofoam:  (a)  Spesimen  ukuran  laboratorium,  (b)  Spesimen skala penuh
Gambar 3. (a) Susut specimen berukuran laboratorium, (b) Grafik outlying
Gambar 5. Pengurangan pori, pertumbuhan produk hidrasi, proses pembentukan beton  (Kurtis, 2015)

Referensi

Dokumen terkait

Dana cadangan adalah dana yang disisihkan guna mendanai kegiatan yang memerlukan dana yang relatif besar yang tidak dapat dipenuhi dalam satu tahun anggaran. Hal-hal yang harus

Berdasarkan percobaan dengan menggunakan Uji Ninhydrin, dapat disimpulkan bahwa sampel F (Kaldu Bubuk), G (Susu UHT) mengandung asam amino bebas dengan

Dari hasil penelitian tersebut dianjurkan ibu bersalin untuk memenuhi kebutuhan kalorinya sebagai upaya untuk mengurangi penggunaan energy cadangan yang diperlukan

Penyusunan buku ini dimaksudkan untuk menambah kaedah pembinaan dan pembimbingan peserta didik pada institusi dengan model Boarding School , sehingga diharapkan

Penelitian tersebut mengelompokkan kabupaten/kota di Jawa Tengah menjadi tiga kelompok berdasarkan variabel indikator kemiskinan yaitu jumlah penduduk, kepala rumah

Tetapi apakah Coutomer Relationship Management (CRM) pada Toko Busana Muslim Rabbani Bandung masih berpengaruh terhadap loyalitas konsumennya, karena jika

Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai adanya korelasi positif yang signifikan antara sikap taat terhadap aturan etika dengan

Desa : Tamanmekar, Tamansari, Kutanegara, Kutalanggeng, Ciptasari, Kutalanggi, Kutamaneuh,