• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENJADI KADER IMP DI ERA OTONOMI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENJADI KADER IMP DI ERA OTONOMI"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

Artikel

MENJADI KADER IMP DI ERA OTONOMI

Oleh: Drs. Mardiya

Sebuah realita yang tidak dapat dibantah oleh siapapun, Indonesia pernah tercatat sebagai negara paling berhasil dalam pengendalian pertumbuhan penduduk melalui program KK. Jika diawal tahun tujuh puluhan pada saat KB baru digalakkan angka fertilitas total di Indonesia berkisar 5,6 per perempuan, saat ini menurut Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) Tahun 2007 telah turun menjadi 2,3 anak. Artinya, bila diawal program setiap perempuan melahirkan rata-rata 5,6 anak selama masa suburnya, sekarang ini tinggal 2,3 anak. Sejalan dengan meningkatnya pemakaian alat kontrasepsi dan menurunnya angka fertilitas, laju pertumbuhan penduduk telah dapat ditekan dari 2,34 persen per tahun pada kurun 1970 – 1980 menjadi 1,49 persen per tahun kurun 2000 – 2010 (SP 2010). Berkat keberhasilan itu Indonesia memperoleh Population Award dari PBB dan menjadi kiblat dunia internasional dalam program KB.

Namun demikian, seiring dengan pemberlakuan otonomi daerah, Program Keluarga Berencana (KB) Nasional yang sebelumnya begitu populer di masyarakat, telah menjadi redup bahkan cenderung mati suri. Dunia internasionalpun seakan berpaling ke negara lain yang dianggap lebih berhasil menangani program KB. Bila kita cermati penyebabnya paling tidak mencakup dua hal.

Pertama, komitmen yang lemah pada sebagian besar Kepala Daerah (Bupati/Walikota)

terhadap program KB. Akibat dari kondisi itu, selain menjatuhkan “mental” personil eks BKKBN Kabupaten/Kota, anggaran yang diterima untuk mempertahankan/mengembangkan pelaksanaan program KB menjadi tersendat. Disatu sisi pemerintah pusat sudah mengurangi porsi untuk kabupaten/kota, sementara Pemkab /Pemkot hanya mengucurkan sedikit sekali anggaran untuk program KB. Sekedar sebagai bentuk “pengakuan” bahwa program KB masih ada di wilayahnya, tanpa mempertimbangkan efek lebih jauh akibat melemahnya program KB di daerah.

Kedua, dengan alasan pemberdayaan potensi, peningkatan karir atau menempatkan PNS

(2)

(PKB) potensial yang dipindah/dialihtugaskan ke dinas/instansi/SKPD lain tanpa ada penggantian tenaga penyuluh yang layak dengan kemampuan sebanding dengan sebelumnya. Akibat pergeseran tugas/alih fungsi PKB ditambah yang pensiun atau meninggal, petugas lapangan yang memiliki tugas pokok menyosialisasikan program KB tersebut berkurang cukup besar. Bila di tingkat nasional berkurang hingga 35%, dari sekitar 36 ribu pada tahun 2003 menjadi hanya 17 ribuan pada saat ini. Di Kabupaten Kulon Progo juga mengalami pengurangan yang cukup besar, yakni dari sekitar 70 an PKB sebelum era otonomi menjadi hanya 48 PKB pada saat ini dengan jumlah binaan 88 desa.

Dampak langsung yang dapat dilihat dari kedua faktor penyebab tersebut, selain intensitas pembinaan program KB di lapangan oleh PKB menjadi jauh menurun, kreativitas untuk mengembangkan program KB agar semakin dinamis dan diterima masyarakatpun seakan terhenti. Sementara kreativitas dan inovasi kegiatan serta cara-cara KIE Konseling yang efektif dan mengena di awal tahun 1980 – 1990 an menjadi semacam “ikon” BKKBN yang banyak ditiru oleh instansi lain karena terbukti efektif untuk menggugah kepedulian dan peran serta masyarakat terhadap program KB. Akibatnya sekarang ini sudah cukup terasa. Selain seperti kehilangan roh, program KB tidak lagi banyak bergema di masyarakat atau nyaris tak terdengar. Sehingga bila kondisi ini tetap dibiarkan tanpa ada upaya penanganan serius dari pemerintah kabupaten atau kota mulai saat ini, Program KB Nasional lambat laun akan “ambruk” dan menjadi bahan cemoohan lebih dari 40 negara di dunia yang pernah belajar KB di Indonesia melalui paket International Trainning Programme (ITP).

Bukan hanya itu, akibat yang lebih besar dan membahayakan telah menunggu, yakni ancaman ledakan bayi (baby boom) kedua. Menurut Kepala BKKBN Pusat, Dr. Sugiri Syarief, MPA, ancaman ini tidak mengada-ada. Karena sinyalemen ke arah sana mulai terasa, bila pertambahan penduduk per tahun periode 2000 hingga 2005 diprediksi hanya sekitar 3 juta, sekarang ini telah meningkat menjadi 4,3 juta jiwa per tahun dengan karakteristik TFR yang cenderung stagnan. Yang lebih menyedihkan lagi, dalam lima tahun terakhir, kesertaan masyarakat dalam ber-KB hanya meningkat rata-rata 0,5%. Dalam kondisi yang demikian, bila program KB tidak segera digalakkan dan digiatkan kembali, di tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia telah menjadi 255,5 juta jiwa.

Akibat lebih jauh, penduduk miskinpun dipastikan bertambah. Bila kita cermati, jumlah penduduk miskin sekarang ini telah mencapai 41,7 juta jiwa atau 21,92% dari total penduduk,

(3)

jauh lebih tinggi daripada perkiraan pemerintah sebesar 14,8-15%. Bisa dibayangkan pertambahannya bila pertumbuhan penduduk negeri ini bila makin tak terkendali. Bukan tidak mungkin sebagian besar dari penduduk dan keluarga di Indonesia akan jatuh miskin. Sementara kemiskinan selalu identik dengan ketertinggalan, keterpurukan dan kebodohan. Suatu kondisi yang sedapat mungkin harus kita hindari disaat era globalisasi telah bergulir ke segenap sendi-sendi kehidupan individu, keluarga, masyarakat dan bangsa.

Satu-satunya harapan yang tersisa untuk menyelamatkan Program KB sekaligus menyelamatkan bangsa Indonesia dari berbagai persoalan di atas adalah kader IMP. Mengapa kader IMP? Ada tiga alasan logis yang dapat dikemukakan:

Pertama, kader IMP yang terdiri dari Koordinator PPKBD, PPKBD, Sub PPKBD dan

Kelompok KB-KS selama ini diakui memiliki peran yang sangat besar dalam mendukung suksesnya Program KB Nasional. Selain jumlah personilnya begitu banyak (untuk seluruh Indonesia mencapai tidak kurang dari 1,23 juta kader IMP), keberadaannya telah mencakup seluruh desa, dusun hingga tingkat RT yang ada di 33 provinsi, 440 kabupaten/kota dan 5.278 kecamatan. Ini dapat dijadikan motor penggerak program KB yang cukup efektif karena setiap kader IMP telah memiliki wilayah binaan masing-masing secara berjenjang seperti Koordinator PPKBD memiliki wilayah binaan satu desa, PPKBD satu dusun, Sub PPKBD dan Kelompok KB-KS satu RT. Jadi tidak ada satu wilayah pun di Indonesia yang tidak terjangkau oleh pembinaan kader IMP.

Kedua, kader IMP adalah pekerja sosial yang tangguh. Keberadaannnya pun juga sudah

diakui oleh pemerintah dan masyarakat seiring dengan terbitnya SK Kepala Desa atau Camat tentang keberadaan institusi ini di semua wilayah. Bukti bahwa mereka merupakan pekerja sosial yang tangguh, mereka tetap bekerja dengan tekun dan penuh keikhlasan walaupun tidak digaji. Karena mereka sadar, menjadi kader IMP tidak dapat dijadikan media atau jalan pintas untuk mencari uang/materi, tetapi lebih cenderung ke arah mencari “amal” untuk kebaikan masyarakat dan kehidupan pribadinya kelak di zaman yang lebih abadi (akhirat).

Ketiga, kader IMP telah memiliki format peran terhadap program KB yang begitu jelas

dan benar-benar diresapi oleh setiap kader IMP. Format peran tersebut dikemas dalam bentuk “Enam Peran Bakti Institusi”. Enam peran bakti institusi ini telah menjadi semacam motor penggerak secara jiwani bagi kader IMP untuk mengaktualisasikan jiwa sosial dan empatinya terhadap kesejahteraan keluarga dan masyarakat yang diyakini dapat dicapai melalui program

(4)

KB. Keenam peran bakti yang dimaksud adalah: (1) Pengorganisasian, (2) Pertemuan, (3) KIE dan Konseling, (4) Pencatatan Pendataan, (5) Pelayanan Kegiatan, dan (6) Kemandirian. Melalui pintu enam peran bakti tersebut, kader IMP mengabdikan diri kepada masyarakat dan keluarga sasaran yang dilandasi oleh jiwa kepedulian dan rasa tanggungjawab. Dengan demikian, seseorang yang telah menyatakan diri menjadi kader IMP dan benar-benar konsisten terhadap komitmennya (baik tanpa atau dikuatkan dengan Surat Keputusan Kepala Desa/Camat), mereka adalah kader-kader masyarakat yang tangguh dan tidak takut terhadap tantangan dan hambatan yang ditemui, seberapapun beratnya, walaupun secara pribadi telah menguras waktu, tenaga, biaya dan pemikirannya.

Ini jelas menjadi modal utama sekaligus potensi luar biasa untuk tetap dapat mempertahankan dan mengembangkan program KB di lini lapangan meskipun kelembagaan di tingkat kabupaten/kota kewenangannya telah jauh menyusut dibandingkan era sebelum otonomi daerah diberlakukan. Selain itu, keberadaan kader IMP dengan berbagai perannya akan menjadi modal dasar para penentu kebijakan program KB setelah diterbitkannya peraturan Pemerintah (PP) No 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, serta PP No 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah, dalam rangka menangkap peluang untuk berjuang agar program KB mendapat posisi terbaik dari segi kelembagaan dan kewenangan sesuai dengan cakupan dan makna yang terkandung dalam kedua PP tersebut.

Pertanyaannya, bagaimanakah cara mengoptimalkan peran kader IMP di era otonomi ini? Untuk mengoptimalkan peran kader IMP kuncinya hanya ada dua, yakni PKB harus sering-sering mengunjungi mereka dan melakukan pembinaan serta jangan sekali-kali menyakiti/menyinggung perasaan mereka. Alasan sederhana yang dapat kita kemukakan adalah bahwa kader IMP itu ibarat mesin sepeda motor. Manakala mesin itu dirawat dengan baik dan tidak diutak-utik hingga beberapa bagiannya menjadi rusak, mesin tersebut akan tetap hidup, berjalan dan memberi manfaat yang optimal kepada pemiliknya. Itu artinya, kader IMP tetap dapat dijadikan ujung tombak penggerak/pengelola program dibasis masyarakat manakala para pembinanya yang dalam hal ini adalah penyuluh KB tahun bagaimana cara ‘memperlakukan” kader IMP agar tetap optimal memainkan perannya. Jadi kader IMP adalah potensi yang sangat luar biasa untuk pengembangan program KB di masa depan yang tidak dimiliki oleh Dinas/Instansi /SKPD manapun di tingkat kabupaten/kota.

(5)

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana seharusnya menjadi kader IMP di era otonomi agar Program KB dapat kembali bergema dan berbagai bayangan suram masa depan bangsa ini dapat dihindari?

Jawabannya tentu tidak mudah, tetapi sudah bisa ditebak. Paling tidak kader IMP di era otonomi diharapkan mau dan mampu melakukan tujuh hal: (1) Bekerja lebih keras dan tekun, (2) Bekerja lebih sabar dan pantang menyerah, (3) Lebih aktif melakukan advokasi, KIE dan Konseling, (4) Berkoordinasi dengan pihak terkait, (5) Menjadi contoh yang baik bagi keluarga dan masyarakat, (6) Lebih terbuka, jujur, (7) Meningkatkan pengetahuan, wawasan, ketrampilan agar dapat menyesuaikan tuntutan zaman

Disamping ketujuh hal tersebut, kader IMP di era otonomi juga harus mampu menjadi seorang administrator yang baik, memiliki catatan mengenai ketugasan dan perannya secara runtut, akurat dan data selalu terbarukan. Karena itu merupakan modal dasar agar seorang kader dapat membuat perencanaan secara baik, tidak salah sasaran dan tidak salah perkiraan. Kader IMP di era otonomi juga harus mampu menjadi kader yang tidak perlu mengeluh manakala uang operasional kegiatan semakin kecil dan cenderung tidak ada. Semua harus diterima dengan lapang dada karena anggaran pemerintah daerah yang tidak cukup untuk mencukupi kebutuhan operasional mereka. Oleh karena itu, IMP di era otonomi perlu memiliki bekal keimanan dan ketaqwaan yang lebih kuat, karena selain akan membuat pikirannya tentram dan menganggap posisinya sebagai kader adalah sebagai bentuk amalan ibadah, secara langsung maupun tidak langsung peningkatan iman dan taqwa kader akan dipandang positif oleh masyarakat atau keluarga sasaran.

Akhirnya, menjadi kader IMP di era otonomi harus pula memiliki komitmen yang tinggi untuk tetap memajukan program KB di masyarakat dalam kondisi apapun sampai kapanpun. Karena dengan komitmen yang kuat terhadap program KB, secara perlahan namun pasti, program KB akan kembali menjadi program unggulan bagi pemerintah dalam menunjang program-program pembangunan lainnya, karena sudah ada keyakinan bahwa pembangunan tanpa pengendalian jumlah penduduk dan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitasnya, hasil-hasilnya tidak akan dapat dimanfaatkan secara optimal oleh individu, keluarga, masyarakat, bangsa maupun negara.

Drs. Mardiya, Kasubid Advokasi Konseling dan Pembinaan Kelembagaan KB & KR pada BPMPDP Kab. Kulonprogo. HP. 081328819945.

Referensi

Dokumen terkait

Mencermati hasil observasi Kepala Sekolah dan hasil observasi guru dalam kegiatan diskusi kelompok/kerja kelompok menyusun RPP berbasis pendidikan karakter bangsa,

Berdasarkan hasil analisa dan pembahasan yang dilakukan dalam penelitian ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwasanya sampel produk pengecoran aluminium silikon yang diberikan

Komputer akan menampilkan keberadaan kamar kosong (room availability). Receptionist akan mencatat data tamu pada reservation form. Receptionist menginput data dari reservation

Berdasarkan penggunaan tipe habitat, dalam penelitian ini ditemukan 1 (satu) spesies reptilia yang hanya dijumpai dalam kawasan hutan alam jalur... pendakian

Untuk mengetahui kebutuhan aplikasi ini, informasi kami dapatkan melalui salah satu dokter, yang telah bekerja sama dalam melaksanakan riset yang sedang

• Keinginan untuk kembali kepada Al-Quran dan Hadits • Semangat nasionalisme dalam melawan penjajah • Memperkuat basis gerakan sosial, budaya, dan politik •

Terbang Sultan Haji Ahmad Shah, bypass Kuantan, Lebuhraya Pantai Timur 3.. BIL ALAMAT HOMESTAY/HOTEL NO.DIHUBUNGI HARGA KEMUDAHAN CATATAN

Pada saat Peraturan Daerah ini berlaku Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kota Makassar Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pembentukan, Susunan Organisasi dan Tata