• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA SKRIPSI"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATA CARA

PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata 1

Dalam Ilmu Syari’ah

Oleh

:

FUAD HASAN

(2105055/052211055)

JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARI’AH

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG

(2)
(3)
(4)
(5)

MOTTO

ﹶﻥﻮﻌﺴﻳﻭ ﻪﹶﻟﻮﺳﺭﻭ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﹶﻥﻮﺑِﺭﺎﺤﻳ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ُﺀﺍﺰﺟ ﺎﻤﻧِﺇ

ﻲِﻓ

ﻭﹶﺃ ﺍﻮﹸﻠﺘﹶﻘﻳ ﹾﻥﹶﺃ ﹰﺍﺩﺎﺴﹶﻓ ِﺽﺭﹶﺄﹾﻟﺍ

ِﺽﺭﹶﺄﹾﻟﺍ ﻦِﻣ ﺍﻮﹶﻔﻨﻳ ﻭﹶﺃ ٍﻑﻼِﺧ ﻦِﻣ ﻢﻬﹸﻠﺟﺭﹶﺃﻭ ﻢِﻬﻳِﺪﻳﹶﺃ ﻊﱠﻄﹶﻘﺗ ﻭﹶﺃ ﺍﻮﺒﱠﻠﺼﻳ

ﺓﺪﺋﺎﳌﺍ ﴿

:

٣٣

Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik , atau dibuang dari negeri .

...

ﻖﺤﹾﻟﺎِﺑ ﺎﱠﻟِﺇ ﻪﱠﻠﻟﺍ ﻡﺮﺣ ﻲِﺘﱠﻟﺍ ﺲﹾﻔﻨﻟﺍ ﺍﻮﹸﻠﺘﹾﻘﺗ ﻻﻭ

...

﴿

ﻡﺎﻌﻧﻻﺍ

:

١٥١

“ Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharankan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.”

(6)

PERSEMBAHAN

• Bapak dan Ibunda tercinta, atas air mata, untaian do’a, peluh darah, tetesan keringat, bimbingan serta arahan dan pemberi semangat tanpa henti yang senantiasa engkau curahkan untuk anakmu yang nakal ini, semoga menjadi anak yang sholih, bermanfaat dan bisa berbakti.

• Nenek dan kakek yang senantiasa mendo’akanku agar bisa menyelesaikan penulisan skripsi ini.

• Adik-adikku yang ikut serta mendo’akanku, menjadi pendorong, pelipur lara, dan selalu menjadi teman dikala kesepianku.

• Seluruh keluarga besar Bani H. Muhammad Ishaq Brumbung.

• Seluruh keluarga besar Bani H. Yahya bin Harun Tambakan.

• Seluruh keluarga besar Bani Abdul Jalal Brumbung.

• Teman-temanku seperjuangan, sepermainan, yang turut memberikan dorongan semangat dalam menyelesaikan skripsi dan semua yang ku kenal yang selalu memberi masukan serta tambahan pengalaman hidup.

(7)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kepada Allah penguasa semesta atas segala limpahan rahmad dan anugerah kepada kita semua, akhirnya penulis mampu menyelesaikan skripsi ini, shalawat dan salam senantiasa penulis sanjungkan kepada beliau Nabi Agung junjungan kami, Muhammad SAW, beserta segenap keluarga dan para sahabatnya hingga akhir nanti.

Dalam penyelesaian skripsi yang berjudul “TINJAUAN HUKUM ISLAM

TERHADAP TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA”

tentu tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, oleh kerena itu penulis sampaikan terima kasih yang tak terhingga :

1. Bapak Drs. H. Muhyiddin., M.Ag. selaku dekan Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang.

2. Bapak Ahmad Arif Junaidi, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Siyasah Jinayah dan yang telah mengarahkan serta meng-Acc judulku.

3. Bapak Rupi’i, M.Ag. yang meng-Acc proposalku.

4. Bapak Drs. H. Musahadi, M.Ag. selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu untuk membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 5. Ibu Brillian Ernawati, S.H., M.H. selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu

untuk membantu, mengarahkan secara menyeluruh sampai selesainya penulisan skripsi ini.

6. Ibu Nur Rosyida, Dra., Hj. selaku wali studi yang selalu mengarahkan dan memberi masukan selama menjadi mahasiswa di IAIN Walisongo Semarang.

7. Bapak, Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Syari’ah atas jasa-jasanya serta ilmu yang disampaikan dalam perkuliahan sehari-hari, semoga berkah dan bermanfaat.

8. Seluruh staf Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin layanan kepustakaan yang sangat diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

9. Ibu dan Bapakku tersayang yang telah membiayaiku sampai saat ini, terima kasih atas do’a, peluh keringat, tetes air mata dan darah yang selalu tercurah demi anakmu yang nakal ini.

10. Semua Ustadz-Ustadzah yang telah bayak memberikan arahan agar menjadi orang yang benar, bermanfaat bagi semua.

(8)

mewujudkan impian menjadi sarjana, semoga bisa menjadi kakak yang bisa membimbing kalian.

12. Mas Lutfi Ansory yang telah banyak membantu dalam proses akhir penulisan untuk dapat segera diajukan.

13. Teman-teman yang selalu ku ajak tukar pikiran dan bersendau gurau untuk menghilangka rasa jenuh, zainal bimbim, gus kholil, ron, fadholin, dan semuanya yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

14. My spirit, yang selalu memberikan semangat dan inspirasi disetiap pagi ku membuka mata, semoga Allah memberikan jalan buat mempertemukan kita.

15. Semua saudara-saudaraku, teman-temanku, yang telah banyak memberikan semangat dan do’a dalam hidupku.

Akhirnya, penulis sampaikan, semoga tulisan sederhana ini dapat berguna bagi kita semua, Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thariq, Wassalam.

Semarang, 1 Juni 2010

Penulis

(9)

DEKLARASI

Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan bahwa skripsi ini tidak beisi materi yang telah pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satu pun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.

Semarang, 01 Juni 2010

Deklarator,

(10)

ABSTRAK

Maksud dari penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Bagaimana pelaksanaan (tata cara) pidana mati di Indonesia, dan apa yang menjadi dasar hukumnya; (2) Bagaimana pelaksanaan (tata cara) pidana mati dalam perspektif hukum Islam.

Adapun metode penelitian untuk menyelesaikan skripsi ini meliputi penelitian kepustakaan (library research), metode pokok yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data adalah dokumentasi. Sedangkan data primernya yaitu berupa sumber Hukum Pidana Indonesia yang berupa KUHP dan khususnya Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Indonesia maupun perundang-undangan hukum pidana diluar KUHP yang berlaku di Indonesia dan sumber Hukum Pidana Islam berupa al-Qur’an dan al-Hadits. Adapun data sekunder adalah bahan yang diperoleh dari artikel, jurnal, dan internet yang relevan dengan permasalahan ini.

Setelah data terkumpul maka analisa data menggunakan metode deskriptif yaitu untuk menjelaskan persamaan atau hubungan antara hukum positif yang ada di Indonesia khususnya tentang tata cara pelaksanaan pidana mati. Metode komparatif yaitu untuk menganalisis data yang berbeda dengan jalan membandingkan agar dapat menghasilkan deskripsi yang lebih obyektif dan sistematis untuk memperoleh kesimpulan yang kuat tentang tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia dengan hukum Islam.

Tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia ada dua versi yaitu yang pertama dengan digantung sesuai dengan pasal 11 KUHP, tata cara ini merupakan peninggalan Belanda dengan berlakunya WvSI di tahun 1815. Sedangkan yang kedua pada masa pendudukan jepang diberlakukan pula peraturan hukum pidana dalam pasal 6 Osamu Gunrei No. 01 ditetapkan bahwa hukuman mati harus dilaksanakan dengan ditembak yang dikeluarkan pada tanggal 1 juni 1944, hingga kemudian dikeluarkannya Penetapan Presiden No. 02 tahun 1964, menurut penetapan tersebut pelaksanaan hukuman dilaksanakan dengan di tembak sampai mati, cara inilah yang berlaku sampai sekarang. Pergantian ini juga dikarenakan untuk menghindarkan proses kematian yang terlalu lama sehingga tidak menimbulkan derita atau siksaan bagi terpidana dan dianggap lebih manusiawi. Menurut hukum Islam, pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara yang paling baik, yang tidak memberikan sesuatu madharat berupa derita atau siksaan dan menurut ketentuan hukum Islam pelaksanaan pidana mati juga harus dilakukan di depan umum (on public) demi memberikan efek jera (zawair/detterent effect) yang sejak tahun1872 hingga sekarang tidak pernah dilakukan lagi di Indonesia.

(11)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... v HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi DEKLARASI ... vii ABSTRAK ... viii KATA PENGANTAR ... ix DAFTAR ISI ... xi BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Balakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Telaah Pustaka ... 11

E. Metode Penelitian ... 15

F. Sistematika Penulisan ... 19

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUMAN DALAM ISLAM ... 21

A. Pengertian, Dasar Hukum Pidana Islam dan Tujuan Hukuman ... 21

1. Pengertian Hukuman ... 21

2. Dasar Hukum Pidana Islam ... 25

3. Tujuan Hukuman ... 26

B. Jarimah yang Dikenai Hukuman Mati ... 30

1. Murtad (Al-Riddah) ... 31

2. Zina ... 33

3. Pembunuhan disengaja ... 34

4. Hukum Gangguan Keamanan (Hirobah) ... 38

C. Pelaksanaan Hukuman Mati menurut Islam ... 38

1. Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati dalam Islam ... 39

BAB III TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA ... 46

(12)

2. Dasar Pidana Mati ... 48

3. Tujuan Pemidanaan ... 48

B. Pidana Mati dalam Perundang-undangan di Indonesia ... 56

1. Pidana Mati di dalam KUHP ... 57

2. Pidana Mati dalam Perundang-undangan di luar KUHP ... 58

C. Sekilas Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia ... 61

1. Macam-macam Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati ... 61

2. Pembentukan Undang-undang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia ... 67 D. Unsur-unsur Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia ... 75

1. Pilihan Ditembak Sampai Mati di antara Cara Pelaksanaan Pidana Mati Lainnya ... 75 2. Pencapaian Tujuan Pemidanaan ... 79

3. Prosedur Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia ... 82

BAB IV TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATA CARA PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA ... 86

A. Analisis Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia ... 86

B. Analisis Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia dalam Perspektif Hukum Islam ... 94 BAB V PENUTUP ... 102 A. Kesimpulan ... 102 B. Saran-saran ... 103 C. Penutup ... 105 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(13)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia sebagai mahluk yang paling sempurna diciptakan Tuhan, dengan diberikan akal, dibandingkan dengan mahluk lain yang tidak diberi, dan dengan akal inilah manusia mengadakan hubungan dengan manusia lainnya untuk bermasyarakat (muamalat) dan di dalam masyarakat itu manusia saling tolong menolong, saling butuh membutuhkan dan saling berbuat baik. Manusia mempunyai naluri untuk hidup secara damai, saling membantu dan saling melindungi. Untuk itu semua diperlukan suatu peraturan, penanaman suatu petunjuk hidup bermasyarakat yang dinamakan hukum.1

Hukum merupakan bagian dari perangkat kerja sistem sosial. Fungsi sistem sosial ini adalah untuk mengintegrasikan kepentingan anggota masyarakat, sehingga tercipta suatu keadaan yang tertib. Hal ini mengakibatkan bahwa tugas hukum adalah mencapai keadilan, yaitu keserasian antara nilai kepentingan hukum (rechtszekerheid).2

Peraturan-peraturan itu dibuat oleh masyarakat itu sendiri dan berlaku bagi mereka sendiri. Kadang-kadang secara sadar dan sengaja bahwa suatu aturan

1

R. Soeroso, Pengantar Hukum Islam, cet. Ke-9 Jakarta : Sinar Grafika, 2007, hlm. 297. 2

Saut P. Panjaitan, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, (Asas, Pengertian, dan Sistematika), Palembang: Universitas Sriwijaya, 1998), hlm. 57.

(14)

memang diciptakan dan dikehendaki oleh para anggota masyarakat, namun ada kalanya bahwa terjadinya peraturan tingkah laku tersebut disebabkan oleh kebiasaan beberapa orang yang bertingkah laku demikian secara berulang-ulang dan anggota masyarakat lainnya mengikutinya, karena mereka yakin bahwa memang seharusnya demikian. Kelompok lain belum tentu mempunyai perilaku atau pedoman tingkah laku yang sama, sehingga timbul perbedaan aturan di antara sesama masyarakat.3 Jadi, setiap orang yang melakukan kesalahan atau

melanggar peraturan, sanksinya dapat saja bervariasi antara satu dengan yang lainnya.

Selanjutnya, jika hukum dipandang secara fungsional, ia terpanggil untuk melayani kebutuhan elementer bagi kelangsungan hidup sosial, misalnya mempertahankan kedamaian, menyelesaikan sengketa, meniadakan penyimpangan. Singkatnya hukum mempertahankan ketertiban dan melakukan kontrol, menciptakan tata tertib di dalam masyarakat.4

Di Indonesia fungsi hukum di dalam pembangunan sebagai sarana pembangunan masyarakat. Hal ini didasarkan pada anggapan bahwa ketertiban dalam pembangunan merupakan suatu yang dianggap penting dan sangat diperlukan. Di samping itu hukum sebagai tata kaidah dapat berfungsi untuk menyalurkan arah kegiatan warga masyarakat ke tujuan yang dikehendaki oleh

3

R. Soeroso. op. cit. hlm. 298 4

(15)

perubahan tersebut. Sudah tentu bahwa fungsi hukum di atas seyogyanya dilakukan, di samping fungsi hukum sebagai sistem pengendalian sosial.5

Di dalam pembentukan suatu hidup bersama yang baik, dituntut pertimbangan asas atau dasar dalam membentuk hukum supaya sesuai dengan cita-cita dan kebutuhan hidup bersama. Dengan demikian, asas hukum adalah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum. Asas-asas itu dapat juga disebut titik tolak dalam pembentukan undang-undang dan interprestasi undang-undang tersebut. Dapat dikatakan bahwa asas hukum ini merupakan jantungnya peraturan hukum. Menyebutnya demikian karena, pertama, ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum.6

Adanya suatu hukuman yang diancamkan kepada seorang pelaku jarimah bertujuan agar orang lain tidak meniru untuk berbuat jarimah, sebab larangan atau perintah semata-mata tidak akan cukup. Meskipun hukuman itu sendiri bukan satu kebaikan, bahkan suatu perusakan bagi si pembuat itu sendiri, namun hukuman itu diperlukan, sebab bisa membawa keuntungan yang nyata bagi masyarakat.7 Ketika terdapat seseorang yang berbuat jahat kemudian ia dihukum,

maka ini merupakan pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan kejahatan.

5

Soerjono Sekanto, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan hukum, Jakarta: rajawali, 1982, hlm. 9.

6

Stjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Alumni, 1986, hlm. 85. 7

(16)

Dalam hukum Islam sanksi itu sendiri pada intinya adalah bukan supaya pelaku jarimah dapat derita karena balasan, akan tetapi bersifat prefentif terhadap pelaku jarimah dan pengajaran serta pendidikan.8

Seorang ahli hukum memandang sumber hukum ada dua macam, yaitu (1) sumber hukum formal dan (2) sumber hukum materiil. Sumber hukum formal adalah sumber hukum yang dirumuskan peraturannya dalam suatu bentuk. Karena bentuknya itu menyebabkan hukum berlaku umum, mengikat, dan ditaati. Sumber hukum materiil adalah sumber hukum yang menentukan isi hukum itu.9

Perundang-undangan merupakan salah satu sumber hukum formal.

Indonesia merupakan salah satu Negara dari sekian banyak negara yang masih konsisten memberlakukan pidana mati dalam hukum nasionalnya. Dalam hukum positif Indonesia, kita mengenal adanya hukuman mati atau pidana mati. KUHP Bab II mengenai Pidana, pasal 10 dinyatakan mengenai macam-macam pidana, yaitu terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana mati termasuk jenis pidana pokok yang menempati urutan yang pertama.10

Baik berdasarkan pada KUHP pasal 69 tentang perbarengan mengenai perbandingan beratnya pidana pokok maupun berdasarkan hak yang tertinggi bagi manusia, pidana mati adalah pidana yang terberat. Karena pidana ini berupa

8

Abdul Al-Qadir Audah, Al Tasri’ al-Jinaiy al-Islamy, Jilid I, Kairo: Dar al Urubah, 1963, hlm. 442.

9

Ishaq, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 92. 10

(17)

pidana yang berat, yang pelaksanaannya berupa penyerangan terhadap hak hidup bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini hanya berada di tangan Tuhan, maka tidak heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pro dan kontra, tergantung dari kepentingan dan cara memandang pidana mati itu sendiri.11

Pro dan kontra ini berlanjut mengenai tata cara pelaksanaan eksekusi terpidana mati. Tembak mati menjadi salah satu upaya yang dipilih untuk mengeksekusi terpidana berdasarkan UU No.2/Pnps/1964 tentang Tata cara Pelaksanaan Pidana Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di lingkungan Peradilan Umum dan Militer (Lembaran Negara Tahun 1964 Nomor 38) yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 1969 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pendapat lain mengatakan tata cara pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak sampai mati sangat melanggar hak asasi manusia seperti diatur dalam UUD 1945. Selain itu produk hukum UU No. 2/Pnps/1964 dianggap sangat tidak konstitusional mengingat proses pembentukannya yang tidak berdasarkan UUD 1945. 12

Undang-Undang Nomor 02/PNPS/Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati merupakan salah satu tata cara pelaksanaan eksekusi

11

Ibid, hlm. 29 12

Hwian Cristianto, “Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati bagi Terpidana Mati dalam Hukum Pidana”. Jurnal Konstitusi, Mahkamah Konstitusi. Vol. VI. No. I. Jakarta. 2009. hlm. 26.

(18)

terpidana mati dengan cara ditembak sampai mati. Di sisi lain menunjukkan Negara Indonesia masih tetap memandang pentingnya adanya sanksi pidana mati bagi terpidana kasus kejahatan berat (terorisme, narkotika, dll.).

Tata cara ditembak mati ini dipandang sangat bertentangan dengan KUHP yang tidak pernah mengatur tata cara palaksanaan pidana mati dengan cara ditembak sampai mati. Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang masih berlaku hingga sekarang telah mengatur tata cara hukum mati, sebagaimana dimaksud dalam pasal 11 KUHP, yaitu “Pidana Mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang

gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana

berdiri”. 13

Pidana mati juga dikenal oleh hampir semua suku di Indonesia. Berbagai macam delik yang dilakukan diancam dengan pidana mati. Cara melaksanakan pidana mati juga bermacam-macam; ditusuk dengan keris, ditenggelamkan, dijemur dibawah matahari hingga mati, di tumbuk kepalanya dengan alu dan lain-lain.14

Memang di dalam Hukum Pidana Islam yang dianut oleh mayoritas ulama' akan kita temui beberapa delik pidana yang diancam dengan hukuman mati

13

Moeljatno, KUHP, Jakarta: Bumi Aksara, 2003, hlm. 6 14

Andi Hamzah, Pidana mati di Indonesia di masa lalu, kini dan masa depan, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1984, hlm. 47

(19)

(i’dam), yaitu zina, pembunuhan disengaja, hirabah (pembegalan/perampokan, gangguan keamanan), murtad dan pemberontakkan (al-baghyu).15

Terlepas dari konsep tersebut, bahwa setiap ketentuan agama Islam, termasuk hukum pidananya akan bertumpu pada pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kepentingan manusia. Tujuan utama penjatuhan pidana dalam syari’at Islam adalah untuk pencegahan dan pengajaran serta pendidikan.16

Selain itu syari’at Islam tidak lupa memberikan perhatian kepada diri pelaku, bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri pembuat merupakan tujuan utama, sehingga penjauhan manusia terhadap jinayat bukan karena takut akan pidana, melainkan karena kesadaran diri dan kebencian terhadap jinayat, agar mendapat ridho Allah.

Diajarkan oleh Islam setiap orang disuruh untuk melakukan perbuatan, bahwa bukan hanya perbuatan, mau berbicara, bersikap, berbuat apapun juga termasuk membunuh kalau itu disyariatkan untuk membunuh maka harus dilakukan dengan jalan yang baik.17

Hukum Islam ada tata cara hukuman mati yang telah ditentukan (misal di lempar batu sampai mati atau dirajam, dibalas sesuai dengan cara membunuhnya

15

Ahmad Hanafi, op. cit. hlm. 7 16

Soerjono Soekanto, Identifikasi Hukum Positif tidak Tertulis melalui penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Jakarta: IND HILL CO, 1988, hlm. 87

17

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21/PUU-VI/2008 tentang

(20)

atau di-qishash, yaitu membunuh dengan memukul menggunakan batu dibalas dengan dibunuh menggunakan batu juga. Ada juga tata cara yang dilarang (misalnya, dengan dibakar hidup-hidup, di salib hidup-hidup), ada juga yang tidak ditentukan tata cara hukuman matinya, terserah pemegang otoritas yang menentukan. Oleh karena itu, pemberian pilihan bagi terpidana mati merupakan hal yang wajar diberikan pada terhukum mati, sepanjang tidak berupa bentuk pilihan tata cara yang dilarang (menurut agama islam) dan tetap dilakukan di depan masyarakat luas (on public) demi memberikan efek jera (zawajir/detterent effect).18

Kiranya perlu penulis mengambil jalan tengah antara lain dalam penerapan tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Militer, yang menyatakan “Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang ada tentang perjalanan putusan pengadilan, maka

pelaksanaan pidana mati, yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan

peradilan umum dan peradilan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati,

menurut ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal berikut”.

18

(21)

Ketentuan di atas, dianggap duplikasi dengan ketentuan Pasal 11 KUHP dan dianggap bertentangan dengan ketentuan Pasal 28I ayat (1) tantang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bahwa dalam Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati, tidak secara eksplisit mengatur tentang pencabutan Pasal 11 KUHP (vide Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964), sehingga seolah-olah terdapat dua pilihan cara pelaksanaan pidana mati, yaitu dengan cara digantung berdasarkan Pasal 11 KUHP atau dengan cara ditembak sampai mati berdasarkan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati.19

Permasalahan yang timbul ketika penolakan permintaan Amrozi cs untuk dieksekusi dengan cara dipenggal. Jika kelak hukuman mati benar-benar akan mengakhiri kehidupan Imam Samudra, ia menginginkan dihukum mati sesuai dengan hukum Islam. Yang ia maksud adalah mati dengan cara lehernya dipotong atau dipancung. "Mati dengan cara apapun kami siap asal diridhoi Allah. Kami ingin mati dengan cara (Imam mengilustrasikan tangan kanannya bak sebuah pisau tajam, lalu diangkat dan ditebaskan ke leher), dipenggal," kata Imam. Namun, Mabes Polri menegaskan tiga terpidana mati kasus Bom Bali I akan dieksekusi mati di hadapan regu tembak. Permintaan Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron alias Mukhlas dihukum pancung sesuai syariat Islam tidak akan

19

(22)

dikabulkan. Kepastian itu disampaikan Kapolri Jenderal Sutanto. "Kita akan lakukan eksekusi sesuai ketentuan yang ada dengan cara ditembak".20 Bahwa tata

cara pelaksanaan pidana mati dengan ditembak atau cara lainnya selain dengan dipancung masih terjadi rasa sakit yang luar biasa, disamping ada unsur menyiksa dan unsur merendahkan manusia, oleh karena itu menurut ahli, berdasarkan pilihan ulama sejak zaman dahulu yang memakai hukum pancung maka ahli tidak melihat sesuatu yang lebih baik dari pelaksanaan hukuman mati kecuali dengan dipancung.21

Menilik hal tersebut diatas, permasalahan diformulasikan ke dalam skripsi

yang berjudul “TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TATA CARA

PELAKSANAAN PIDANA MATI DI INDONESIA”

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang penulis munculkan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan (tata cara) pidana mati di Indonesia, dan apa dasar hukumnya?

2. Bagaimana pelaksanaan (tata cara) pidana mati dalam perspektif hukum Islam? 20 http://www.indogamers.com/f144/imam_samudra_ingin_mati_dipenggal-38144/.20 agustus 2009. 21

(23)

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pelaksanaan (tata cara) pidana mati di Indonesia, dan apa saja dasar hukumnya.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan (tata cara) pidana mati dalam perspektif hukum Islam.

D. Telaah Pustaka

Pembahasan mengenai pidana mati sudah pernah dibahas oleh beberapa mahasiswa Fakultas Syari’ah, baik melalui kajian kitab maupun kajian hukum pidana Islam. Akan tetapi belum ada yang pernah membahas tinjauan hukum Islam terhadap tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia.

Disamping menelaah pendapat para ahli hukum dan Undang-Undang dalam penulisan ini. Penulis juga menelaah beberapa buku, artikel, maupun penelitian yang berkaitan dan memberikan kontribusi yang besar dan sebagai rujukan dalam menjawab permasalahan tentang pidana mati, diantaranya:

1. J.E. Sahetapy, dalam bukunya yang berjudul Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana.

Bukunya yang dicetak tahun 1982. Buku ini membahas alasan dimasukkannya pidana mati di Indonesia disebabkan dengan beberapa aspek, mulai dari pandangan yuridis, kriminologi terhadap pidana mati.

(24)

Buku ini mengfokuskan pada bagaimana sejarah awal pemberlakuan ancaman pidana mati di Belanda dan pandangan dunia tentang hukuman pidana mati ada pelaku pembunuhan.

2. Rachmat Kurniawan, dalam skripsinya yang berjudul Problematika Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia dalam Tinjauan Yuridis –

Kriminologi, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang lulus

tahun 2002. Dalam skripsi ini dijelaskan bahwa : Pertama, di dalam pandangan hukum pidana yang bertujuan melindungi masyarakat terhadap kejahatan dan penjahat, haruslah disertai penentuan tujuan pemidanaan yang tidak hanya semata-mata sebagai pembalasan, melainkan disamping mempertahankan ketertiban masyarakat juga mempunyai tujuan kombinasi untuk menakutkan, memperbaiki, dan untuk kejahatan tertentu harus dibinasakan. Kedua, secara kriminologis pada umumnya mengklarifikasikan kejahatan dengan menggolongkan jenis penjahat yang tidak dapat diperbaiki dalam artian tidak dimungkinkan dengan upaya “treatment”. Sedangkan untuk golongan kejahatan lain masih dapat dikenakan upaya treatment. Ketiga, pidana mati dapat diancamkan pada perbuatan-perbuatan pidana yang menyangkut golongan kejahatan yang berat di dalam KUHP, dan di dalam hukuman khusus (diluar KUHP).

(25)

3. Ach Agus Imam Hariri, dalam skripsinya yang berjudul Hukuman Mati dalam Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Analisis Fatwa Majelis Ulama

Indonesia (MUI) No. 10 tahun 2003 tentang Tindak Pidana Tertentu). Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang lulusan tahun 2003 mengemukakan bahwa hukuman mati menurut Fatwa MUI hanya dikenakan pada tindak pidana tertentu saja. Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa tentang hukuman mati pada acara

Musyawarah Nasionalnya yang ke-7, 28 Juli 2005 di Jakarta. MUI mendukung hukuman mati untuk kejahatan tertentu. Fatwa hukuman mati merupakan satu dari sebelas fatwa MUI lainnya seperti mengharamkan perkawinan beda agama, mengharamkan pluralisme, menyatakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat, dan sebagainya.

4. Syarifudin, dalam skripsinya yang berjudul Studi Hukum Islam tentang Pembunuhan Sengaja oleh Wanita Karena Mempertahankan Diri dari

Pemerkosaan (Studi Analisis Pandangan Madzhab Syafi’i). Fakultas

Syariah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang lulusan tahun 2003 menjelaskan menurut Madzhab Syafi’i bahwa seorang wanita yang kehormatan wanitanya sedang terancam pada saat itu, apabila tidak ada cara lain untuk menyelamatkan kehormatannya kecuali dengan membunuh orang yang berusaha merusak kehormatan itu, maka wanita itu boleh membunuhnya dan wanita tersebut dibebaskan dari segala hukuman baik

(26)

qishas, diyat, dan kafarat karena orang yang berusaha memperkosa adalah perbuatan maksiat dan aniaya dan orang yang menganiaya boleh diperangi dan orang yang diperangi tidak wajib memberikan ganti rugi kepadanya. 5. Imron, dalam skripsinya yang berjudul Qishash Upaya Pencapaian

Maslahah dalam Al Qur’an Surat Al-Baqarah Ayat 178. Fakultas Syariah

Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang lulusan tahun 2005 dalam skripsinya menjelaskan bahwa : Pertama, Hukum qishash

sebenarnya sudah berlaku pada masyarakat Arab dari agama Yahudi dan Nasrani, yang membedakan antara Islam dengan keduanya adalah adanya prinsip musawah (persamaan), karena hukum qishash yang berlaku sebelum Islam adalah pembalasan yang tidak seimbang, misalnya budak dibalas dengan orang merdeka, perempuan dibalas laki-laki. Kedua, Dilihat dari awal sejarah peradaban Islam maupun dua sumber Islam tersebut (al-Qur’an dan al-Hadis) benar bahwa Islam telah mensyari’atkan hukum qishash-diyat terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan dengan

melakukan sanksi sepadan dengan perbuatan pelaku atau diserahkan kepada ahli waris untuk memilih diantara dua alteernatif sanksi tersebut. Dan sebenarnya sebab formulasi hukum qishash-diyat dalam fiqih jinayah (hukum pidana Islam) difusi agama Yahudi Nasrani terhadap kontruksi hukum pidana Islam saat itu.

(27)

6. Syahruddin Husein, dalam penelitiannya yang berjudul Pidana Mati Menurut Pidana Indonesia. Penelitian yang dimuat Jurnal Majemuk edisi

17 tahun 2003. Ini membahas metode penerapan hukuman mati yang dilandaskan dengan hukum adat, perundang-undangan di Indonesia dan hukum Islam. Seperti seseorang yang melakukan pembunuhan, maka dalam hukum Islam dikenakan hukum qisas dengan dibunuh. Penelitian ini mengfokuskan pada metode hukum yang dipakai dalam menetapkan hukum menurut pidana Indonesia.

Dari buku-buku, artikel, penelitian maupun skripsi tersebut diatas meskipun banyak yang mengkaji tentang hukuman mati, namun belum ada yang secara spesifik dan utuh mengkaji tentang taraf singkronisasi atau persamaan perundang-undangan yang ada di Indonesia, khususnya tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia. Untuk itu, skripsi ini berusaha menjelaskan tentang tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia, khususnya adakah taraf singkronisasi atau persamaan antar perundang-undangan tata cara pidana mati di Indonesia, kemudian ditinjau dari hukum Islam secara lebih serius dan komprehensif.

E. Metode Penelitian

Penulisan ini berdasarkan pada suatu penelitian melalui studi kepustakaan yang relevan dengan pokok pembahasan dalam proposal ini

(28)

memenuhi kriteria sebagai suatu karya ilmiah dan dapat dipertanggung jawabkan validitasnya, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data

Lazimnya di dalam penelitian, dibedakan antara data yang diperoleh langsung dan dari bahan pustaka.22 Dalam penelitian yang

dilaksanakan ini, penulis menggunakan teknik pengumpulan data litereir atau library research (studi pustaka), metode pokok yang penulis gunakan dalam mengumpulkan data adalah metode dokumentasi, yaitu mengumpulkan dan menelusuri buku-buku dan tulisan yang relefan dengan tema kajian ini. 23

Data primer yaitu berupa sumber Hukum Pidana Indonesia yang berupa KUHP (Kitab undang Hukum Pidana) dan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia maupun perundang-undangan hukum pidana diluar KUHP yang berlaku di Indonesia dan sumber Hukum Pidana Islam yang berupa al-Qur'an dan al-Hadits.

Data-data sekunder berupa bahan yang diperoleh dari artikel, jurnal, dan internet yang memiliki relevansi dengan permasalahan yang menjadi obyek kajian penelitian seperti Ahmad Hanafi dalam karyanya

22

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : UI Press, 2007, hal 11 23

Suharsimi Ariskunto, Prosedur penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta : PT.Rineka Cipta, Cet. ke-12, 2002, hal. 206

(29)

Asas-asas Hukum Pidana Islam, Andi Hamzah dalam karyanya Pidana

Mati di Indonesia di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan, Moh Khoesnoe,

dalam karyanya Hukum Adat Sebagai Suatu Model Hukum, dan masih banyak lagi karya-karya yang lain yang tidak penulis sebutkan. Bahan-bahan tersebut dimaksudkan sebagai pendukung dalam menyusun ketajaman analisis.

2. Metode Analisis Data

Setelah data-data terkumpul maka analisa dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut :

a. Deskriptif, ini digunakan untuk menggambarkan sifat atau keadaan yang dijadikan obyek dalam penelitian. yaitu menggambarkan perundang-undangan di Indonesia, khususnya tentang undang-undang tata cara pelaksanaan pidana mati yang ada di Indonesia. Metode ini sangat berguna untuk menjelaskan tentang persamaan atau hubungan antara hukum positif yang ada di Indonesia, khususnya tentang tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia adakah singkronisasi atau persamaan antara tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia yang diatur dalam perundang-undangan di Indonesia.

b. Komparatif yaitu menganalisis data yang berbeda dengan jalan membandingkan untuk diketahui mana yang lebih benar atau untuk

(30)

mencapai kemungkinan mengkompromikan. Sehingga akan ditemukan persamaan dan perbedaan antara satu sama lain. Dengan analisis semacam ini diharapkan dapat memilah dan memilih data dari berbagai bahan pustaka yang ada dan searah dengan obyek kajian yang dimaksud dan dapat menghasilkan deskripsi yang lebih obyektif dan sistematis untuk memperoleh kesimpulan yang kuat tentang tata cara pelaksanaan pidana mati di Indonesia kemudian ditinjau dari perspektif hukum Islam.

Oleh karena itu, dalam penulisan ini selain mengerjakan inventarisasi terhadap data primer dalam wujud sumber Hukum Pidana Indonesia yang berupa perundang-undangan khususnya Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia, Hukum Pidana di Indonesia yang berupa Hukum Pidana itu sendiri dan Hukum Pidana Adat dan disertai dengan sumber Hukum Pidana Islam yang berupa al-Qur'an dan al-Hadits. Kemudian mengorganisasikannya ke dalam suatu koleksi yang memudahkan penelusurannya kembali dalam mencari hal-hal yang dapat menyingkronkan atau menghubungkan antara tata cara pidana mati yang ada di Indonesia dan hukum Islam.

(31)

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan, maka penulisan karya tulis ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan.

Pada bab ini menguraikan tentang pendahuluan yang berisi latar belakang masalah mengenai pidana mati di Indonesia merupakan pengantar menuju pembahasan pada bab berikutnya, perumusan masalah, tujuan penelitian, telaah pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi. Bab II : Tinjauan Umum Tentang Hukuman dalam Islam

Dalam bab ini berisi mengenai tinjauan umum tentang hukuman dalam Islam yang terdiri dari pengertian, dasar hukum, tujuan hukuman, serta pelaksanaan hukuman mati menurut Islam..

Bab III : Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati di Indonesia.

Dalam bab ini berisi mengenai pengertian, dasar dan tujuan pidana mati di Indonesia, pidana mati dalam perundang-undangan di Indonesia, serta sekilas tentang tata cara pidana mati di Indonesia, macam-macam tata cara pelaksanaan pidana mati, pembentukan undang-undang tata cara

(32)

pelaksanaan pidana mati di Indonesia, serta unsur-unsur pelaksanaan pidana mati di Indonesia.

Bab IV : Tinjauan Hukum Islam terhadap Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Di Indonesia.

Bab ini merupakan inti dari pembahasan yang merupakan analisis pelaksanaan pidana mati di Indonesia yaitu berupa historis dan filosofi pembentukan undang-undang tata cara pelaksanan pidana mati di Indonesia, dan analisis pelaksanaan pidana mati di Indonesia dalam perspektif hukum Islam yang merupakan perbandingan dari pelaksanaan pidana mati di Indonesia terhadap hukum Islam.

Bab V : Penutup

Bab ini berisi tentang kesimpulan dari seluruh pembahasan yang ada dalam skripsi, saran-saran dan penutup.

(33)

21

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUMAN DALAM ISLAM

A. Pengertian, Dasar Hukum Pidana Islam dan Tujuan Hukuman 1. Pengertian Hukuman

Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah.lafadz “uqubah menurut bahasa berasal dari kata : (

) yang sinonimnya: (

ﻟﻔ

ﻘﺑ

), artinya: mengiringnya dan datang di belakangnya.1 Dalam pengertian yang agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafaz tersebut bisa diambil dari lafaz; … (

ﺎﻗ

) yang sinonimnya: (

اﻩ

ز

ا

), artinya : membalas sesuai dengan apa yang dilakukannya.2

Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia mengiringi perbuatan dan dilakukan setelah perbuatan itu dilakukan. Sedangkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karena ia merupakan balasan terhadap perbuatan yang menyimpang yang telah dilakukannya.

Menurut hukum Islam, kejahatan (jarimah/jinayat) didefinisikan

sebagai larangan–larangan hukum yang diberikan Allah, yang pelanggarannya membawa hukuman yang ditentukanNya. Larangan hukum berarti melakukan perbuatan yang dilarang atau tidak melakukan suatu perbuatan yang tidak

1 Ibrahim Anis,

et. Al-Mu’jam Al-Wasith, Jua II, Dar Ihya’ At-turats Al-Araby, tt., hlm 612 2 Ibid, hlm 613.

(34)

22

diperintahkan. Dengan demikian, suatu kejahatan adalah perbuatan yang hanya dilarang oleh syariat.3

Para ahli hukum Islam sering menggunakan istilah jinayat untuk

kejahatan. 4Jinayat adalah suatu kata dalam bahasa Arab yang berarti setiap

kelakuan yang buruk yang dilakukan oleh seseorang. Tetapi dalam istilah hukum berkonotasi suatu perbuatan buruk yang dilarang oleh hukum. Mayoritas ahli hukum menerapkan istilah jinayat ini dalam arti kejahatan

yang menyebabkan hilangnya hidup dan anggota tubuh seperti pembunuhan, melukai orang, kekerasan fisik, atau aborsi dengan sengaja.5

Banyak yang berpendapat mangenai hukuman, menurut Sudarto seperti yang dikutip oleh Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad, pengertian pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu. Sedangkan menurut Rahman Saleh yang juga dikutip oleh Mustafa Abdullah, Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpahkan Negara pada pembuat delik itu.6 Dapat diartikan hukuman atau pidana adalah suatu penderitaan atau nestapa, atau akibat-akibat yang tidak menyenangkan yang diberikan dengan sengaja oleh badan yang berwenang

3 Topo Santoso,

Membumikan Hukum Pidana Islam, Gema Insani, Jakarta, 2003, hlm. 20 4 Di beberapa Negara Arab kata

jinayat ini sering juga menjadi sebutan bagi kejahatan

terhadap nyawa.

5 Topo Santoso,

op.cit, hlm. 21. 6 Mustafa Abdullah dan Ruben Ahmad,

Intisari Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, cet

(35)

23

kepada seseorang yang cakap menurut hukum yang telah melakukan perbuatan atau peristiwa pidana.

Sedangkan peristiwa pidana atau yang dimaksud dengan jarimah itu

adalah perbuatan yang dilarang oleh syara’, yang diancam dengan hukuman

had atau ta’zir.7

Hukuman had dalam arti umum adalah meliputi semua hukuman yang

telah ditentukan oleh syara’, baik hal itu merupakan hak Allah maupun hak

individu. Sedangkan dalam arti khusus itu adalah hukuman yang telah ditentukan oleh syara’ dan merupakan hak Allah, seperti hukuman potong tangan untuk jarimah pencurian, dera seratus kali untuk jarimah zina, dan dera delapan puluh kali untuk jarimah qodzaf. Sedangkan pengertian ta’zir adalah

hukuman yang belum ditentukan oleh syara’ atau dapat dikatakan tidak

tercantum nash atau ketentuannya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dengan ketentuan yang pasti dan terperinci, untuk penetapan serta pelaksanaannya diserahkan kepada ulil amri (penguasa) sesuai dengan bidangnya.8

Pembagian atau klasifikasi yang paling penting dan paling banyak dibahas yaitu hudud, qishash, dan ta’zir. Kejahatan hudud adalah kejahatan

yang paling serius dan berat dalam hukum pidana Islam yang merupakan kejahatan terhadap publik. Tetapi ini tidak berarti bahwa kejahatan hudud

7 Abi Ya’la Muhammad ibn Al Husain,

As Ahkam Al Sulthaniyah, Maktabah Ahmad ibn

Sa’ad, Surabaya, 1974, cet. III, hlm. 257.

8 Ahmad Wardi Muslich,

Pengantar dan Asas Hukum Pidana Isalam, Sinar Grafika, Jakarta,

(36)

24

tidak mempengaruhi kepentingan pribadi sama sekali, namun, terutama sekali, berkaitan dengan apa yang disebut hak Allah.9

Dengan demikian, kejahatan dalam kategori ini dapat di definisikan sebagai kejahatan yang diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman yang

ditentukan sebagai hak Allah. Menurut Mohammad Ibnu Ibrahim Ibnu Jubair, yang tergolong kejahatan hudud ada tujuh kejahatan yaitu riddah (murtad),

al-baghy (pemberontakan), zina, qadzaf (tuduhan palsu zina), sariqah

(pencurian), hirabah (perampokan), dan shurb al-khamr (meminum khamar).

Kategori berikutnya adalah qishash. Sasaran dari kejahatan ini adalah

integrasi tubuh manusia, sengaja atau tidak sengaja. Terdiri dari apa yang di kenal dalam hukum pidana modern sebagai kejahatan terhadap manusia atau

crimes against persons. Jadi, pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan

menyerupai sengaja, pembunuhan karena kealpaan, penganiayaan, menimbulkan luka atau sakit karena kelalaian, masuk dalam kategori tindak pidana qishash ini.

Kategori yang terahir adalah kejahatan ta’zir. Landasan dan penentuan

hukumannya didasarkan pada ijma’ (konsensus) berkaitan dengan hak negara

muslim untuk melakukan kriminalisasi dan menghukum semua perbuatan yang tidak pantas, yang menyebabkan kerugian atau kerusakan fisik, sosial,

9 Topo Santoso,

(37)

25

politik, finansial, atau moral bagi individu atau masyarakat secara keseluruhan.10

2. Dasar Hukum Pidana Islam

Hukum dianggap mempunyai dasar (syari’iyah) apabila ia didasarkan

kepada sumber-sumber syara’, seperti al-Qur’an, as-Sunnah, ijma’, atau

undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil amri)

seperti dalam hukuman ta’zir. Dalam hal hukuman ditetapkan oleh ulil amri

maka disyaratkan tidak boleh bertentangan dengan ketentuan-ketentuan

syara’. Apabila bertentangan maka hukuman tersebut menjadi batal.11

Dengan adanya persyaratan tersebut maka seorang hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman atas dasar pemikirannya sendiri walaupun ia berkeyakinan bahwa hukuman tersebut lebih baik dan lebih utama dari pada hukuman yang telah ditetapkan.12

Dasar pelarangan sesuatu perbuatan ialah pemeliharaan kepentingan masyarakat itu sendiri. Tuhan yang mengadakan larangan-larangan (hukum-hukum) tidak akan mendapatkan keuntungan karena ketaatan manusia, sebagaimana juga tidak akan menderita kerugian karena pendurhakaan mereka.

10

Ibid, hlm. 23

11 Ahmad Wardi Muslich,

opcit, hlm 141. 12 Abdul Qadir Audah,

At-Tasyri’ Al-Jina’iy Al-Islamiy,Juz I, Dar Al-Kitab Al-‘Araby, Beirut,

(38)

26

Syari’at menganggap akhlak yang tinggi sebagai sendi masyarakat. Oleh karena itu Syari’at sangat memperhatikan masalah akhlak, dimana tiap-tiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak yang tinggi tentu diancam hukuman.13

3. Tujuan Hukuman

Tujuan Allah SWT mensyari’atkan hukumnya adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia, sekaligus untuk menghindari mafsadat,

baik di dunia maupun di akhirat. Tujuan tersebut hendak dicapai melalui

taklif, yang pelaksanaannya tergantung pada pemahaman sumber hukum yang

utama, al-Qur’an dan al-Hadist. Serta dalam rangka mewujudkan kemaslahatan di dunia dan akhirat.14

Tujuan utama dari penetapan dan penerapan hukuman dalam syari’at Islam adalah:

a. Pencegahan.

Pengertian pencegahan adalah menahan orang yang berbuat jarimah agar ia tidak mengulangi perbuatan jarimahnya, atau agar ia tidak

terus-menerus melakukan jarimah tersebut. Disamping mencegah pelaku,

pencegahan juga mengandung arti mencegah orang lain selain pelaku agar ia tidak ikut-ikutan melakukan jarimah, sebab ia bisa mengetahui bahwa hukuman yang dikenakan kepada pelaku juga akan dikenakan terhadap orang

13

Ibid, hlm. 4

14 Fathhurrahman Djamil,

Filsafat Hukum Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997, hlm.

(39)

27

lain yang juga melakukan perbuatan yang sama.15 Dengan demikian, kegunaan pencegahan adalah rangkap, yaitu menahan orang yang berbuat itu sendiri untuk tidak mengulangi perbuatannya, dan menahan orang lain untuk tidak berbuat seperti itu serta menjauhkan diri dari lingkungan jarimah.

Menjamin keamanan dari kebutuhan-kebutuhan hidup juga merupakan tujuan dari syariat. Dalam kehidupan manusia, ini merupakan hal penting, sehingga tidak bisa dipisahkan. Apabila kebutuhan-kebutuhan ini tidak terjamin, akan terjadi kekacauan dan ketidak tertiban di mana-mana.16

b. Pendidikan dan Perbaikan

Tujuan yang kedua dari penjatuhan hukuman adalah mendidik pelaku agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Disini terlihat bagaimana perhatian syari’at Islam terhadap diri pelaku. Dengan adanya hukuman ini, diharapkan akan timbul dalam diri pelaku kesadaran bahwa ia menjauhi jarimah bukan karena takut akan hukuman, melainkan kerena kesadaran diri dan kebencian terhadap jarimah serta dengan harapan mendapat ridho dari Allah SWT. Kesadaran yang demikian tentu saja merupakan alat yang sangat ampuh untuk memberantas jarimah.17

Disamping kebaikan pribadi pelaku, syari’at Islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan membentuk masyarakat yang baik yang diliputi rasa saling menghormati dan mencintai antara sesama anggotanya dengan

15 Ahmad Wardi Muslich,

op.cit. hlm. 138 16 Topo Santoso,

op.cit, hlm. 19. 17 Ahmad Wardi Muslih,

(40)

28

mengetahui batas-batas hak dan kewajibannya. Pada hakikatnya, suatu jarimah adalah perbuatan yang tidak disenangi dan menginjak-injak keadilan serta membangkitkan kemarahan masyarakat tehadap perebuatannya, selain menimbulkan rasa iba dan kasih sayang terhadap korbannya.18

Perbaikan juga menjadikan hal-hal yang menghiasi kehidupan sosial dan menjadikan manusia mampu berbuat dan mengatur urusan hidup lebih baik (keperluan tersier) atau tahsinat. Ketiadaan perbaikan-perbaikan ini tidak

membawa kekacauan sebagaimana ketiadaan kebutuhan-kebutuhan hidup juga tidak mencakup apa-apa yang perlu untuk menghilangkan berbagai kesulitan dan membuat hidup menjadi mudah. Perbaikan adalah hal yang apabila tidak dimiliki akan membuat hidup tidak menyenangkan bagi para intelektual. Dalam hal ini, perbaikan mencakup arti kebajikan (virtues),

cara-cara yang baik (good manner), dan setiap hal yang melengkapi peningkatan

cara hidup.19

Hukuman atas diri pelaku merupakan salah satu cara menyatakan reaksi dan balasan dari masyarakat tehadap perbuatan pelaku yang telah melanggar kehormatannya sekaligus juga merupakan upaya menenangkan hati korban. Dengan demikian, hukuman itu dimaksudkan untuk memberikan rasa derita yang harus dialami oleh pelaku sebagai imbangan atas perbuatan dan

18

Ibid, hlm. 140. 19 Topo Santoso,

(41)

29

sebagai sarana untuk menyucikan dirinya. Dengan demikian akan terwujudlah rasa keadilan yang dapat dirasakan oleh seluruh masyarakat.20

Tujuan hukuman telah mengalami beberapa perkembangan, dan dibagi menjadi berbagai fase sebagai berikut : 21

1) Fase balasan perseorangan

Pada fase ini hukuman yang diberikan atau diserahkan oleh korban atau walinya tak memiliki batasan sehingga dikhawatirkan terjadinya pembalasan yang berlebihan yang menimbulkan perang antar suku atau golongan.

2) Fase balasan Tuhan atau balasan umum

Balasan dari Tuhan dimaksudkan agar pembuat menyadari bahwa akan adanya balasan sesudah mati sehingga pelaku kejahatan menyadari dan jera dengan perbuatannya itu. Sedangkan balasan umum adalah agar orang yang berbuat merasa jera dan orang lain pun tidak berani meniru perbuatannya.

3) Fase kemanusiaan

Pada fase kemanusiaan, prinsip-prinsip keadilan dan kasih sayang dalam mendidik dan memperbaiki diri orang yang telah melakukan kejahatan. Bahkan memberi pelajaran dan mengusahakan kebaikan terhadap diri pelaku merupakan tujuan utama. Pada fase tersebut

20 A. Hanafi,

Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Bulan Bintang, Jakarta, cet.IV, 1990, hlm.

257.

21 Ahmad Wardi Muslich,

(42)

30

muncul teori Becaria yang mengatakan bahwa suatu hukuman harus

dibatasi dengan batas-batas keadilan dan kepentingan sosial dan bukan penyiksaan atau penebusan dosa akan tetapi menahan pelaku kejahatan mengulangi perbuatannya dan menahan orang lain untuk tidak meniru perbuatannya..

4) Fase keilmuan

Didasarkan pada tiga pemikiran yaitu:

Pertama, pencegahan khusus dan pencegahan umum. Yang tujuannya

untuk mencegah masyarakat dari perbuatan-perbuatan jarimah dan pengulangan-pengulangan tindak kejahatan.

Kedua, yaitu dengan mngedepankan pengamatan ilmiah dan

pengalaman-pengalaman praktis serta kenyataan yang terjadi.

Ketiga, selain untuk memerangi jarimah yang ditujukan pada para

pembuatnya juga harus ditujukkan untuk mencegah dan mengatasi sebab-sebab yang menimbulkan jarimah tersebut.

B. Jarimah yang dikenai hukuman mati

Dalam hukum Islam, sanksi pidana yang dapat menyebabkan kematian pelakunya terjadi pada tiga kasus.

ﻞِﺤﻳﺎﹶﻟ

ِﻡﺩ

ٍﺉِﺮﻣﺍ

ٍﻢِﻠﺴﻣ

ﻻِﺍ

ﻯﺪﺣِﺎﺑ

ﹶﻼﹶﺛ

ٍﺙ

:

ٍﺮﹾﻔﹸﻛ

ﺪﻌﺑ

ٍﻥﺎﻤﻳِﺍ

ﺎﻧِﺯﻭ

َ

ﺪﻌﺑ

ٍﻥﺎﺼﺣِﺍ

ﹶﻞﺘﹶﻗﻭ

ﺲﹾﻔﻧ

ِﺮﻴﻐِﺑ

ٍﺲﹾﻔﻧ

(43)

31

“Tidak halal darah (jiwa) seorang muslim kecuali karena salah satu dari tiga hal yaitu kufur sesudah iman, zina sesudah ihsan (kawin) dan pembunuhan bukan karena pembunuhan orang (bukan pembunuhan qisas).22

Umumnya Fuqaha menyebut 6 macam: Sariqah, zina, qadzaf, hirabah,

khamar, riddah. Ada yang menambah dengan bughah (berontak). Abdullah

An-Na’im dan beberapa pemikir modern menyebut empat yang pertama saja. Menurut An-Na’im, Hudud hanya 4 macam saja: Zina, Qadzaf, Sariqah dan

Hirabah. 1. Murtad ( Al-Riddah)

ﻦﻋ

ﻦﺑﺍ

ﺱﺎﺒﻋ

ﻰﺿﺭ

ﷲﺍ

ﻪﻨﻋ

ﻝﺎﻗ

,

ﻝﺎﻗ

ﻝﻮﺳﺭ

ﷲﺍ

ﻰﻠﺻ

ﷲﺍ

ﻪﻴﻠﻋ

ﻢﻠﺳﻭ

:

ﻦﻣ

ﺪﺑ

ﹶﻝ

ﻪﻨﻳِﺩ

ﺎﹶﻓ

ﻩﻮﹸﻠﺘﹾﻗ

﴿

ﻩﺍﻭﺭ

ﻯﺭﺎﺨﺒﻟﺍ

Diriwayatkan dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah SAW telah bersabda : “Barang siapa yang menukar agamanya (dari Islam kepada agama yang lain) maka bunuhlah dia.

Makna Riddah menurut bahasa ialah kembali dari meninggalkan

sesuatu menuju ke sesuatu yang lainnya. Sedangkan menurut syara’ ialah

putusnya Islam dengan niat kufur, berucap kufur atau berbuat kufur, seperti sujud kepada berhala, baik sujudnya atas dasar mentertawakan atau karena nekat atau juga karena kepercayaan seperti mempercayai adanya dzat baru

22 A. Hanafi,

(44)

32

yang membuat alam.23 Serta berpaling dari Islam kemudian menjadi mata-mata atau musuh untuk menghancurkan Islam.

Perbuatan murtad diancam dengan dua hukuman, yaitu hukuman mati sebagai hukuman pokok dan dirampas harta bendanya sebagai hukuman tambahan.24

ﻦﻣﻭ

ﺩِﺪﺗﺮﻳ

ﻢﹸﻜﻨِﻣ

ﻦﻋ

ِﻪِﻨﻳِﺩ

ﺖﻤﻴﹶﻓ

ﻮﻫﻭ

ﺮِﻓﺎﹶﻛ

ﻚِﺌﹶﻟﻭﹸﺄﹶﻓ

ﺖﹶﻄِﺒﺣ

ﻢﻬﹸﻟﺎﻤﻋﹶﺃ

ﻲِﻓ

ﺎﻴﻧﺪﻟﺍ

ِﺓﺮِﺧﺂﹾﻟﺍﻭ

ﻚِﺌﹶﻟﻭﹸﺃﻭ

ﹶﺃ

ﺏﺎﺤﺻ

ِﺭﺎﻨﻟﺍ

ﻢﻫ

ﺎﻬﻴِﻓ

ﹶﻥﻭﺪِﻟﺎﺧ

﴿

ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ

:

٢١٧

Artinya: ...Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Al-Baqarah: 217)25

Mawlana Muhammad Ali dan Muhammad Hasyim Kamali juga menyatakan bahwa murtad yang diancam dengan hukuman mati adalah yang setara dengan desersi.26

Hukuman mati dalam kasus murtad telah disepakati tanpa keraguan lagi oleh keempat Mazhab Hukum Islam. Namun kalau seseorang dipaksa

23 Imron Abu Bakar, ,

Fathul Qorib (terjemah), Kudus: Menara Kudus, 1983, hlm. 161 24 A. Hanafi,

Op.Cit, hlm. 277

25 Departemen Agama Republik Indonesia,

Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang : PT

Tanjung Mas Inti, 1992, hlm. 53

26 Rusdji Ali Muhammad,

Diyat dalam perspektif Islam, disampaikan pada acara seminar

yang yang diselenggarakan oleh Imparsial dan Aceh Judicial Monitoring Independent (AJMI) pada 8-9 Mei 2007 dan 7-8 Agustus 2007, di Banda Aceh, dan seminar yang diselenggarakan oleh ICTJ Indonesia bekerja sama dengan Koalisi Pengungkap Kebenaran dan Universitas Malikussaleh dan Pusat Studi HAM Universitas Syiah Kuala selama dua kali di Lhokseumawe dan Banda Aceh.

(45)

33

mengucap sesuatu yang berarti murtad sedangkan hatinya tetap beriman, maka dalam keadaan demikian itu dia tidak akan dihukum murtad.27

ﻦﻣ

ﺮﹶﻔﹶﻛ

ِﻪﱠﻠﻟﺎِﺑ

ﻦِﻣ

ِﺪﻌﺑ

ِﻪِﻧﺎﳝِﺇ

ﺎﱠﻟِﺇ

ﻦﻣ

ﻩِﺮﹾﻛﹸﺃ

ﻭ

ﻪﺒﹾﻠﹶﻗ

ﻦِﺌﻤﹾﻄﻣ

ِﻥﺎﳝِﺄﹾﻟﺎِﺑ

ﻦِﻜﹶﻟﻭ

ﻦﻣ

ﺡﺮﺷ

ِﺮﹾﻔﹸﻜﹾﻟﺎِﺑ

ﹰﺍﺭﺪﺻ

ﻢِﻬﻴﹶﻠﻌﹶﻓ

ﺐﻀﹶﻏ

ﻦِﻣ

ِﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻢﻬﹶﻟﻭ

ﺏﺍﹶﺬﻋ

ﻢﻴِﻈﻋ

﴿

ﻞﺤﻨﻟﺍ

:

١٠٦

Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman , kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman , akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.(Q.S. An-Nahl: 106)28

2. Zina

Zina ialah dosa besar yang paling besar setelah pembunuhan. Juga ada pendapat bahwa zina itu lebih besar dosanya dari pada pembunuhan.

ﻦﻣ

ﺮﹶﻔﹶﻛ

ِﻪﱠﻠﻟﺎِﺑ

ﻦِﻣ

ِﺪﻌﺑ

ِﻪِﻧﺎﳝِﺇ

ﺎﱠﻟِﺇ

ﻦﻣ

ﻩِﺮﹾﻛﹸﺃ

ﻪﺒﹾﻠﹶﻗﻭ

ﻦِﺌﻤﹾﻄﻣ

ِﻥﺎﳝِﺄﹾﻟﺎِﺑ

ﻦِﻜﹶﻟﻭ

ﻦﻣ

ﺮﺷ

ﺡ

ِﺮﹾﻔﹸﻜﹾﻟﺎِﺑ

ﹰﺍﺭﺪﺻ

ﻢِﻬﻴﹶﻠﻌﹶﻓ

ﺐﻀﹶﻏ

ﻦِﻣ

ِﻪﱠﻠﻟﺍ

ﻢﻬﹶﻟﻭ

ﺏﺍﹶﺬﻋ

ﻢﻴِﻈﻋ

﴿

ﻞﺤﻨﻟﺍ

:

١٠٦

Artinya: Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.(Q.S. Al-Isra: 32)29

27 Abdur Rahman Doi,

Tindak Pidana dalam Syariat Islam, Jakarta : Rineka Cipta, 1992, hlm.

73

28 Departemen Agama Republik Indonesia,

opcit, hlm. 418 29

(46)

34

Untuk jarimah zina ditetapkan tiga hukuman, yaitu : dera (jilid),

pengasingan (taghrib), dan rajam. Pelaku zina yang sudah kawin (muhson)30,

sanksinya dirajam, yakni dilempari batu sampai mati.

Adapun hukuman zina mukhson yaitu dirajam (dilempari) dengan batu

yang normal, tidak cukup dengan kerikil kecil dan pula dengan batu besar.31 Karena biasanya keihsanan orang yang sudah kawin dapat menjauhkan pemikiran untuk menghindari dari kenikmatan zina. Akan tetapi jika dia masih memikirkan hal itu, maka ia patut mendapatkan hukuman yang berat.

Ketentuan tersebut telah menunjukkan atas keadilan dan kebijaksanaan. Menurut Syari’at Islam contoh yang buruk tidak berhak hidup, karena Syari’at Islam ditegakkan atas keutamaan akhlak dan pembersihan keluarga dari segala macam noda.

Para fuqoha selain golongan Khawarij sudah bulat pendapatnya atas adanya hukuman rajam, karena hukuman tersebut pernah dijatuhkan oleh Rasulullah saw, dan oleh sahabat-sahabat sepeninggalnya.

Hukuman mati bagi pelaku muhsan (terikat kawin) hanya dapat dilakukan setelah melalui proses pembuktian yang ketat, sehingga dimasa nabi dan sahabat penjatuhan hukuman ini dapat dihitung dengan jari.

3. Pembunuhan disengaja

30 Zina muhson ialah zina seorang laki-laki atau perempuan yang memenuhi syarat-syarat :

Sudah dewasa, berakal sehat, merdeka, wujudnya jimakdari orang Islam atau Kafir Dzimmi dalam ikatan pernikahan yang sah. Bagi Imam Malik dan Imam Abu Hanifah menambahkan syarat lagi, yaitu masing-masing harus Islam agamanya.

31 Imron Abu Bakar,

(47)

35

Pembunuhan ada tiga macam :

a. Benar-benar disengaja. Kata

ﺪ

ﻤ

ﻋ

adalah masdar dari

ﺪ

ﻤ

ﻋ

sewazan dengan

ﺏ

ﺮ

ﺿ

.Adapun artinya ialah sengaja.

b. Benar-benar tidak sengaja. c. Disengaja, tapi salah.32

ﻣ

ﻦ

ﹶﺍﻋ

ﺘﺒ

ﹶﻂ

ﻣ

ﺆِﻣ

ﻨﺎ

ِﺑﹶﻘﺘ

ٍﻞ

ِﻓ

ﻬ

ﻮ

ﹶﻗﻮ

ﺩٌ

ِﺑِﻪ

ِﺍ

ﹶﺍ

ﹾﻥ

ﺭ

ِﺿ

ﻲ

ﻭ

ﹶﻟﻲ

ﺍﹶﳌ

ﹾﻘﺘ

ﻮ

ٍﻝ

Artinya: Barangsiapa menyerang seorang mukmin dengan pembunuhan, maka ia harus dijatuhi qisas karena pembunuhannya, kecuali kalau wali (keluarga) korban merelakannya.

ﻦﻣ

ﹶﻞِﺘﹸﻗ

ﻪﹶﻟ

ﹲﻞﻴِﺘﹶﻗ

ﻪﹸﻠﻫﹶﺎﹶﻓ

ﻦﻴﺑ

ِﻦﻴﺗﺮﻴِﺧ

:

ﹾﻥِﺍ

ﻮﺒﺣﹶﺍ

ﺩﻮﹶﻘﹾﻟﺎﹶﻓ

ﻯﹶﺍ

ﺹﺎﺼِﻘﻟﺍ

ﹾﻥِﺍﻭ

ﺣﹶﺍ

ﻮﺒ

ﹸﻞﹾﻘﻌﻟﺎﹶﻓ

ﻯﹶﺍ

ﺪﻟﺍ

ﹸﺔﻳ

Artunya: Barangsiapa mempunyai keluarga terbunuh, maka keluarganya ada diantara dua pilihan. Kalau suka, maka mereka mengambil qishash dan kalau suka maka mereka menerima diyat.

Di dunia ini seluruh agama memandang hidup manusia adalah sangat berharga sehingga jika membunuh satu orang saja dianggap telah membunuh semua orang dan sama halnya jika yang telah menyelamatkan hidup seseorang dianggap seolah-olah telah menyelamatkan hidup seluruh manusia yang ada di dunia.

32

(48)

36

ِﻣ

ﻦ

ِﻞﺟﹶﺃ

ﻚِﻟﹶﺫ

ﺎﻨﺒﺘﹶﻛ

ﻰﹶﻠﻋ

ﻲِﻨﺑ

ﹶﻞﻴﺋﺍﺮﺳِﺇ

ﻪﻧﹶﺃ

ﻦﻣ

ﹶﻞﺘﹶﻗ

ﹰﺎﺴﹾﻔﻧ

ِﺮﻴﻐِﺑ

ٍﺲﹾﻔﻧ

ﻭﹶﺃ

ٍﺩﺎﺴﹶﻓ

ﻲِﻓ

ِﺽﺭﹶﺄﹾﻟﺍ

ﺎﻤﻧﹶﺄﹶﻜﹶﻓ

ﹶﻞﺘﹶﻗ

ﺱﺎﻨﻟﺍ

ﹰﺎﻌﻴِﻤﺟ

ﻦﻣﻭ

ﺎﻫﺎﻴﺣﹶﺃ

ﺎﻤﻧﹶﺄﹶﻜﹶﻓ

ﺎﻴﺣﹶﺃ

ﺱﺎﻨﻟﺍ

ﹰﺎﻌﻴِﻤﺟ

...

﴿

ﺎﳌﺍ

ﺓﺪﺋ

:

٣٢

Artinya: "Oleh karena itu Kami tetapkan bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu orang lain , atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya . Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya".(al-Maidah: 32)33

Dalam Q.S Al An’am dijelaskan bahwa yang berhak menentukan apakah seseorang berhak untuk dihilangkan nyawanya atau tidak, untuk terus hidup dan dengan mengabaikan hak orang lain untuk hidup damai adalah

sepenuhnya tergantung pada wewenang Qadhi. Dan dalam ayat ini

diperintahkan agar melindungi kehidupan manusia.

...

ﻻﻭ

ﺘﹾﻘﺗ

ﺍﻮﹸﻠ

ﺲﹾﻔﻨﻟﺍ

ﻲِﺘﱠﻟﺍ

ﻡﺮﺣ

ﻪﱠﻠﻟﺍ

ﺎﱠﻟِﺇ

ﻖﺤﹾﻟﺎِﺑ

...

﴿

ﻡﺎﻌﻧﻻﺍ

:

١٥١

Artimya: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar.” (Q.S. Al-An’aam: 151)34

Orang boleh mencabut hak hidup sesorang dengan lima hal berikut: a. Hukum balas (Qishash) yang dikenakan bagi seseorang penjahat yang

membunuh seseorang dengan sengaja.

33 Departemen Agama Republik Indonesia,

opcit, hlm. 164 34

(49)

37

b. Dalam perang, mempertahankan diri (jihad) melawan musuh Islam. Merupakan hal yang wajar bahwa ada beberapa pejuang yang terbunuh.

c. Hukuman mati bagi para pengkhianat yang berusaha menggulingkan pemerintah Islam ( fasal fil bidh).

d. Lelaki atau perempuan telah menikah yang dijatuhi hukuman Hadd karena berzina.

e. Orang merampok/ membegal (Hirobah).35

Perintah tentang Qishash dalam Al-Qur’an didasarkan pada prinsip-prinsip keadilan yang ketat dan kesamaan nilai kehidupan manusia, seperti tersirat dalam Q.S Al-Baqoroh 178 :

ﺎﻳ

ﺎﻬﻳﹶﺃ

ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ

ﺍﻮﻨﻣﺁ

ﹸﻛ

ﺐِﺘ

ﻢﹸﻜﻴﹶﻠﻋ

ﺹﺎﺼِﻘﹾﻟﺍ

ﻲِﻓ

ﻰﹶﻠﺘﹶﻘﹾﻟﺍ

ﺮﺤﹾﻟﺍ

ﺮﺤﹾﻟﺎِﺑ

ﺪﺒﻌﹾﻟﺍﻭ

ِﺪﺒﻌﹾﻟﺎِﺑ

ﻰﹶﺜﻧﹸﺄﹾﻟﺍﻭ

ﻰﹶﺜﻧﹸﺄﹾﻟﺎِﺑ

ﻦﻤﹶﻓ

ﻲِﻔﻋ

ﻪﹶﻟ

ﻦِﻣ

ِﻪﻴِﺧﹶﺃ

ٌﺀﻲﺷ

ﻉﺎﺒﺗﺎﹶﻓ

ِﻑﻭﺮﻌﻤﹾﻟﺎِﺑ

ٌﺀﺍﺩﹶﺃﻭ

ِﻪﻴﹶﻟِﺇ

ٍﻥﺎﺴﺣِﺈِﺑ

ﻚِﻟﹶﺫ

ﻒﻴِﻔﺨﺗ

ﻦِﻣ

ﻢﹸﻜﺑﺭ

ﹲﺔﻤﺣﺭﻭ

ﻤﹶﻓ

ِﻦ

ﻯﺪﺘﻋﺍ

ﺪﻌﺑ

ﻚِﻟﹶﺫ

ﻪﹶﻠﹶﻓ

ﺏﺍﹶﺬﻋ

ﻢﻴِﻟﹶﺃ

﴿

ﺓﺮﻘﺒﻟﺍ

:

١٧٨

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah membayar kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik . Yang demikian itu adalah suatu

35 Abdur Rahman Doi,

Referensi

Dokumen terkait

Kelemahan pidana mati ini adalah selang waku yang panjang antara putusan yang dijatuhkan dengan eksekusi mati bagi terpidana mati, untuk mengatasi hal ini hendaknya tenggang

PELAKSANAAN TERHADAP PENJATUHAN SANKSI PIDANA MATI UNTUK PELAKU TINDAK

Meski pada kenyataannya pidana mati merupakan jenis pidana yang masih kontroversial dan menimbulkan begitu banyak perdebatan oleh dua pandangan yang saling

Hasil penelitian menunjukkan Hukum Pidana Indonesia dalam UU Nomor 2/PNPS/1964 tidak mengatur secara pasti tentang tenggat waktu pelaksanaan eksekusi bagi

Implikasi yuridis yang muncul dari penundaan eksekusi pidana mati tersebut adalah permasalahan mengenai kepastian hukum (rechts-zekerheid). Jelas dapat kita lihat

Dari yang semula pidana mati dilaksanakan dengan cara digantung oleh Algojo sampai mati sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 11 KUHP, kini ketentuan hukum tersebut tidak

1) Pidana mati, merupakan jenis pidana yang merampas suatu kepentingan hukum ( rechtsbelang ), yaitu berupa nyawa manusia.. 13 Pada zaman dahulu, hukuman mati

Skripsi dengan judul “Hukuman Mati pada Tindak Pidana Narkotika (Tinjauan Hukum Positif dan Hukum Islam)” yang ditulis oleh Widhi bagus Nugroho ini telah