• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBANDINGAN KETENTUAN PIDANA MATI MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM SKRIPSI OLEH :

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERBANDINGAN KETENTUAN PIDANA MATI MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM SKRIPSI OLEH :"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

PERBANDINGAN KETENTUAN PIDANA MATI MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA

DAN HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan untuk melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

FAHRUL RIZKY K NIM : 150200549

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2019

(2)
(3)

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Fahrul Rizky K

NIM : 150200549

Departemen : Hukum Pidana

Judul Skripsi : Perbandingan Ketentuan Pidana Mati Menurut Hukum Pidana di Indonesia dan Hukum Islam

Dengan ini menyatakan :

1. Bahwa isi skripsi yang saya tulis tersebut diatas adalah benar tidak merupakan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.

2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.

Medan, _______2019 FAHRUL RIZKY K

NIM :150200549

(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil‟alamin, puji dan syukur tak henti-hentinya kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya serta nikmat-nikmat yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian berupa skripsi ini. Shalawat serta salam terus kita curahkan kepada Rasulullah Saw yang telah Allah utus ke muka bumi untuk menyempurnakan akhlak, ialah Baginda Besar Nabi Muhammad Shallallahu „Alaihi Wasallam. Semoga kita dapat istiqomah meneladani akhlaqul karimah-nya, serta menjalankan sunnah-sunnahnya sehingga pada hari kiamat nanti kita termasuk kepada orang-orang yang meraih syafa‟at dari beliau kelak, Aamiin Allahuma Aamiin.

Skripsi ini disusun guna melengkapi tugas-tugas dan memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H) di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal tersebut merupakan suatu kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya pada Strata-1. Adapun skripsi ini berjudul “Perbandingan Ketentuan Pidana Mati menurut Hukum Pidana di Indonesia dan Hukum Islam”. Skripsi ini merupakan penelitian hukum pidana yang mana merupakan sebuah studi perbandingan hukum mengenai ketentuan pidana mati antara Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Islam.

Penulis menyadari tentunya masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Oleh karenanya, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun, demi meningkatkan kualitas dari skripsi ini dan penelitian-penelitian lainnya, khususnya

(5)

di jenjang pendidikan selanjutnya. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang baik, tidak hanya kepada penulis, namun juga kepada orang lain dan perkembangan ilmu pengetahuan karena Rasulullah Saw. pernah bersabda

“Sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi manusia lainnya”.

Selama hampir 4 Tahun waktu yang penulis habiskan dalam mengenyam pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, tentu banyak pihak yang telah ikut andil dalam membantu, mendukung, serta memberi motivasi sehingga masa perkuliahan ini menjadi suatu catatan sejarah hidup tersendiri bagi penulis. Oleh karena semua itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada orangtua penulis tercinta, Umarsyah Parlindungan dan Sulistyawati yang telah mengorbankan segalanya untuk membesarkan dan mendidik anaknya sehingga bisa sampai ke titik ini di jenjang perkuliahan dan selalu mendukung dan mengarahkan anaknya dalam menggapai impian- impiannya. Terimakasih pula kepada adik-adik kandung penulis Amelia Wulandari, M. Fadli Choiri dan Haikal Ramadhan serta seluruh Keluarga Besar Alm. Suwito dan Keluarga besar Alm Sarbaini, terima kasih atas segala doa dan semangat serta nasehat yang diberikan kepada penulis, semoga kita semua selalu dalam lindungan Allah SWT, Aamiin.

Selain itu, terima kasih yang sebesar-besarnya Penulis sampaikan juga kepada :

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Rektor Universitas Sumatera Utara;

(6)

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

3. Prof. Dr. Saidin, S.H,. M.Hum. selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, S.H,. M.Hum. selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

5. Dr. Jelly Leviza, S.H,. M.Hum. selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Dr. Muhammad Hamdan, S.H,. M.H selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Liza Erwina S.H,. M.Hum. selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H,. MS. Selaku Dosen Pembimbing I yang telah membantu dan mengarahkan penulis dalam penulisan serta penyelesaian skripsi ini;

9. Dr. Mohammad Ekaputra, S.H,. M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah membantu dan mengarahkan penulis dalam penulisan serta penyelesaian skripsi ini;

10. Bapak Yusrin S.H,. M.Hum selaku Dosen Penasehat akademik yang telah memberi nasehat-nasehat berkenaan dengan pencapaian akademik penulis;

11. Seluruh Bapak Ibu dosen sebagai tenaga pendidik di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah bersedia memberi ilmu,

(7)

pandangan, dan pengalaman hidupnya kepada penulis selama menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

12. Seluruh pegawai Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah turut membantu dan memberikan kemudahan kepada Penulis;

13. One Club, dimana berisi teman-teman penulis sedari SMA di SMA Kemala Bhayangkari 1 Medan sampai saat ini. Aldy, Dody, Fauzi, Milzam,Veri, Putera, Fadhil, Fadhel, Agung, Fuad, Sandi, Armando, Fajar, dan Dio, terimakasih atas kebersamaannya selama ini dan membantu penulis sedari pertama kali datang ke kota Medan Untuk bersekolah sampai saat ini. Semoga kesuksesan selalu mengiringi langkah kita, Aamin.

14. Teman-teman KBH, makasih atas keabsurd-annya selama ini. Semoga sukses selalu, aji, helza, aulia, rifky, sigit, marie, bayu dan iqbal.

Semoga makin dewasa dalam menyikapi kehidupan. Terimakasih atas pertemanan yang baik sedari semester 3 sampai saat ini dan seterusnya, komando!;

15. teman-teman klinis penulis, Terimakasih atas kerjasama yang baik selama ini, semoga sehat selalu dan sukses selalu;

16. Ibu Ida, Bang ayong, bang ardi, kak Lisa, Bang Reza terima kasih banyak atas kesediaannya menyewakan kamar kosnya untuk penulis tinggali selama 2011 sampai 2017 dan sudah menganggap penulis sebagai keluarga sendiri, Semoga sehat selalu;

(8)

Sekali lagi, mohon maaf atas segala kekurangan dan kesalahan. Semoga skripsi ini memeberi manfaat yang baik bagi siapa saja yang membacanya dan berkontribusi dalam kemajuan Ilmu Hukum dan negara ini. Aamiin Ya Robbal‟alamiin.

Medan, Mei 2019

Fahrul Rizky K 150200549

(9)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ... i

DAFTAR ISI ... ... vi

ABSTRAKSI ... ... x

BAB I :PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... ... 1

B. Perumusan Masalah ... ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... ... 9

D. Keaslian Penulisan ... ... 10

E. Tinjauan Pustaka ... ... 11

1. Hukum Pidana ... ... 11

2. Tindak Pidana ... ... 15

3. Pidana ... ... 17

F. Metode Penelitian ... ... 21

G. Sistematika Penulisan ... ... 26

BAB II : TINDAK PIDANA YANG DIANCAM DENGAN PIDANA MATI DALAM KETENTUAN HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM ISLAM A. Pengaturan Mengenai Tindak Pidana yang diancam dengan Pidana mati di dalam Hukum Pidana Indonesia ... ... 29

1. Menurut KUHP ... ... 30

a. Makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden ... ... 30

b. Perbuatan permusuhan terhadap Negara ... ... 33

c. Memberi bantuan terhadap Negara musuh pada saat perang ... ... 33

d. Makar terhadap nyawa kepala Negara Sahabat ... ... 34

e. Pembunuhan berencana ... ... 35

f. Penganiayaan menyebabkan luka berat atau kematian ... ... 36

g. Pemerasan dengan dengan kekerasan yang menyebabkan luka berat atau kematian ... ... 37

h. Kejahatan Pelayaran... ... 37 i. Kejahatan penerbangan dan kejahatan

(10)

terhadap sarana/prasarana penerbangan ... ... 38

2. Di Luar KUHP ... ... 40

a. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ... ... 41

b. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Terorisme tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ... ... 44

c. Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi ... ... 46

d. Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ... ... 48

e. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi manusia ... ... 48

B. Tindak Pidana (Jarimah) yang diancam dengan Pidana mati di dalam Hukum Islam ... ... 49

1. Pidana Hudud ... ... 51

a) Hirabah ... ... 51

b) Zina Muhsan ... ... 53

c) Bughah ... ... 56

d) Murtad... ... 58

e) Liwath ... ... 59

2. Pidana Qishash... ... 60

a) Pembunuhan dengan sengaja ... ... 60

3. Pidana Ta‟zir ... ... 62

a. Liwath ... ... 62

b. Minum Khamr ... ... 63

(11)

BAB III :PENGATURAN KETENTUAN PELAKSANAAN PIDANA MATI DI DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA DAN HUKUM ISLAM

A. Pengaturanketentuan pelaksanaan pidana mati dalam

hukum positif Indonesia ... ... 64

1. Menurut Undang-Undang No. 2/Pnps/1964 ... ... 64

2. Menurut Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 ... ... 68

B. Pengaturan ketentuan pelaksanaan Pidana Mati menurut Hukum Islam ... ... 70

1. Pengaturan Pidana Mati dalam Tindak Pidana Hudud ... ... 70

a. Jenis pidana mati dalam pidana Hudud ... ... 73

1) Sanksi pidana rajam ... ... 73

a) Pengertian rajam... ... 74

b) Tata cara pelaksanaan rajam ... ... 75

c) Waktu pelaksanaan rajam ... ... 79

d) Tempat dilaksanakannya hukumanrajam ... ... 79

e) Kewajiban seorang pemimpin (imam) untuk menyaksikan hukumanrajam ... ... 80

f) Alat yang digunakan untuk Merajam ... ... 80

g) Perlakuan terhadap jenazah ... ... 81

2) Pidana salib terhadap pelaku tindak pidana hirabah ... ... 81

3) Pidana mati dengan cara memenggal kepala menggunakan pedang ... ... 84

2. Pengaturan pidana mati dalam Tindak Pidana Qishash ... ... 88

a. Pidana Qishash... ... 88

1) Syarat-syarat qishash ... ... 91

a) Syarat pelaku untuk dapat dijatuhiqishash ... ... 91

b) Syarat untuk korban (yang dibunuh) ... ... 93

c) Syarat untuk perbuatan (pembunuhan) ... ... 96

d) Syarat untuk wali korban ... ... 96

(12)

2) Tata cara pelaksanaan pidana

mati dalam pidana qishash ... ... 97 a) Yang berhak melakukan

Qishash ... ... 97 b) Alat yang digunakan

untuk mengqishash... ... 98 3. Pengaturan pidana mati dalam Tindak Pidana Ta‟zir ... ... 99

a. Pidana ta‟zir ... ... 99 1) Syarat penjatuhan pidana mati

dalam pidana Ta‟zir ... ... 103 a) Yang berhak menjatuhkan

pidana mati ... ... 103 b) Syarat perbuatan yang dijatuhi

pidana mati dalam pidana

ta‟zir ... ... 105 BAB IV :PERBANDINGAN KETENTUAN PIDANA MATI MENURUT

HUKUM POSITIF INDONESIA DAN HUKUM ISLAM A. Persamaan dalam ketentuan Pidana Mati menurut

Hukum positif Indonesia dan Hukum Islam ... ... 106 B. Perbedaan dalam ketentuan Pidana Mati menurut

Hukum positif Indonesia dan Hukum Islam ... ... 107 1. Ditinjau dari sumber hukum ... ... 107 2. Ditinjau dari tata cara pelaksanaan Hukuman Mati ... ... 109 BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... ... 112 B. Saran ... ... 114 DAFTAR PUSTAKA

(13)

ABSTRAK

Fahrul Rizky K*

Prof. Dr. Madiasa Ablisar, S.H, MS **

Dr. Mohammad Ekaputra, S.H, M.Hum ***

Hukuman mati telah dikenal umat manusia sejak ribuan tahun yang lalu bahkan dikatakan bahwa hukuman mati merupakan salah satu hukum tertua yang usianya seusia dengan peradaban manusia itu sendiri. Dalam pelaksanaannya terdapat banyak kontroversi dan penolakan.yang mendasari penolakan terhadap pelaksanaan hukuman mati adalah bahwa hak untuk menghukum hanya ada pada Tuhan termasuk mencabut nyawa pelaku kejahatan baik itu merupakan sebuah kejahatan pembunuhan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui permasalahan mengenai pengaturan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati dalam Hukum positif Indonesia dan Hukum Islam, bagaimana pengaturan pelaksanaan ketentuan pidana mati menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam serta apa apa saja perbedaan dan persamaan ketentuan pidana mati dalam Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam.Karya Ilmiah ini menggunakan metode Penelitianhukum normatif, yaitu penelitian yang memiliki kecenderungan dalam mencitrakan hukum sebagai disiplin preskriptif di mana hanya melihat hukum dari sudut pandang norma-normanya saja.Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa terdapat persamaan dan perbedaan antara pidana mati dalam hukum Islam dan hukum pidana Indonesia.Persamaannya terletak pada tujuan pemidanaannya Baik hukum Pidana Islam maupun Hukum Pidana di Indonesia keduanya sama- sama bertujuan memelihara kepentingan dan ketenteraman masyarakat serta menjamin kelangsungan Hidup.Kedua, adanya pengawasan pelaksanaan pidana mati yang dilakukan oleh penguasa.Menurut hukum Islam pengawasan dilakukan oleh penguasa setempat sedangkan menurut hukum pidana Indonesia pengawasan dilakukan oleh Kepala Polisi Komisariat Daerah.Ketiga, pidana mati merupakan pidana pokok menurut hukum Islam dan hukum pidana Indonesia.Keempat, pidana mati masih diberlakukan dalam hukum Islam (negara yang menganut syariat Islam) dan hukum pidana Indonesia. Perbedaannya terletak pada sumber dan sistem yang digunakan (pidana mati dalam hukum Islam bersumber pada Al- Qur‟an dan Al-Hadis sedangkan dalam hukum pidana Indonesia bersumber pada KUHP), tentang penentuan pidana mati (dalam hukum Islam di kasus tertentu ditentukan oleh keluarga korban sedang dalam hukum pidana Indonesia ditentukan oleh Hakim), pidana mati dalam hukum pidana Indonesia bisa berubah menurut zaman sedang dalam hukum Islam pidana mati bersifat kekal dan abadi selamanya.

Kata kunci :Pidana Mati, Hukum Pidana Indonesia, Hukum Islam

(14)

*) Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

**) Pembimbing I, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

***) Pembimbing II, Staf Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum USU

(15)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukuman mati telah dikenal umat manusia sejak ribuan tahun yang lalu bahkan dikatakan bahwa hukuman mati merupakan salah satu hukum tertua yang usianya seusia dengan peradaban manusia itu sendiri. Di dalam Codex Ur-namu yang ditulis 2100 SM, hukuman mati diterapkan untuk beberapa jenis kejahatan seperti pembunuhan, perampokan, dan pencabulan. Naskah hukum lainnya yang tak kalah terkenal Code of Hammurabi yang ditulis oleh Raja Babylon pada sekitar tahun 1760 SM di dalamnya mereferensikan eksekusi mati dengan cara ditenggelamkan.1

Berdasar Encyclopedia Britannica, capital punishment atau hukuman mati mengacu pada eksekusi kepada seseorang yang dijatuhi dengan hukuman mati setelah vonis bersalah yang dijatuhkan oleh pengadilan pidana.2

Dua dasar argumentasi utama adanya pidana mati adalah sebagai retribusi atau pembalasan dan penjeraan3.Bahkan, retribusi tidak hanya bagian dari pidana mati, melainkan kunci utama dalam system peradilan pidana, khususnya aliran klasik dalam hukum pidana4.Pidana mati diberikan terhadap orang-orang yang

1Michael Newton, Criminal Justice Crime Fighting and Crime Prevention,(New York:Chelsea House Publisher, 2010), h. 23.

2S.s. Das, “Capital punishment-A brief contemporary study in present context”, (Researchgate, 2016), h. 1.

3 Charles L. Black Jr, Capital Punishment: The Inevitability Of Caprice And Mistake, Second Edition, (New York: Augmented,W.W. Norton & Company Inc, 1974), h. 24.

4 Victor Streib, Death Penalty In A Nutshell, Third edition, (Thomson West, 2008)h. 10.

(16)

melakukan kejahatan-kejahatan kejam yang dilaksanakan oleh Negara sebagai representasi korban bagi para pelaku yang bermoral buruk.

Dalam perkembangannya, kontroversi terhadap pidana mati mulai bermunculan di berbagai belahan dunia termasuk Indonesia.Salah satu yang mendasari penolakan terhadap pelaksanaan hukuman mati adalah bahwa hak untuk menghukum hanya ada pada Tuhan termasuk mencabut nyawa pelaku kejahatan baik itu merupakan sebuah kejahatan pembunuhan. Selain alasan tersebut, alasan yang lain adalah bahwa jika terjadi suatu kesalahan dalam penjatuhan pidana mati dan pelakunya sudah terlanjur dieksekusi, maka putusan tersebut tidaklah bisa diperbaiki lagi.

Beccaria dalam Andi hamzah dan A. Sumangelipu,5 pada abad ke-18 menentang pidana mati. Menurutnya hidup adalah sesuatu yang tidak dapat dihilangkan secara legal dan membunuh adalah tercela, karena pembunuhan yang manapun juga yang mengizinkan untuk pidana mati adalah ammoral dan makanya tidak sah. Hal yang menyebabkan Beccaria menentang pidana mati adalah proses yang dijalankan dengan cara yang amat buruk terhadap Jean Callas yang dituduh telah membunuh anaknya sendiri. Hakim menjatuhkan pidana mati.

Beberapa waktu kemudian Voltaire, pujangga termashur dapat membuktikan bahwa Jean Callas tidak bersalah, sehingga namanya direhabilitasi, tetapi apa gunanya. Tanpa salah ia telah dimatikan akibat pidana mati yang diperkenankan pada waktu itu.

5 Andi Hamzah dan A. Sumangelipu, Pidana Mati Di Indonesia, di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan, (Jakarta: Ghia Indonesia, 1984), h. 36-37.

(17)

Pada level internasional, penghapusan pidana mati lebih dari 50 tahun terakhir telah diupayakan, antara lain dengan ketentuan adanya hak untuk hidup yang dituangkan dalam Universal Decaration Of Human Rights tahun 1948 dan United Nations Covenant On Civil And Political Rights tahun 1966.6Sampai dengan saat ini, menurut Amnesti Internasional, lebih dari 100 negara telah menghapus pidana mati.Ada Negara yang menghapus pidana mati untuk semua kejahatan, namun ada juga Negara yang menghapus pidana mati hanya untuk kejahatan biasa, sedangkan terhadap kejahatan luar biasa, pidana mati masih diberlakukan7.Demikian juga terhadap kejahatan-kejahatan biasa, namun dilakukan secara brutal dan tidak beradab, pidana mati masih tetap diberlakukan seperti di Jepang, beberapa bekas Negara Uni Soviet, bahkan Indonesia.

Dalam konteks hukum pidana Indonesia, kontroversi terkait pidana mati pernah diajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Para pemohon yang mengajukan uji materiil adalah Edith Yunita Sianturi, Rani Andriani, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan berargumen antara lain bahwa pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia. Melalui persidangan yang panjang, Mahkamah Konstitusi Mengeluarkan Putusan Nomor 2 – 2/PUU-V/2007 yang pada intinya menolak permohonan uji materiil tersebut. Artinya, pidana mati masih tetap berlaku sebagai hukum positif di Indonesia. Kendatipun demikian, tidak terdapat suara bulat dalam pengambilan putusan perkara a quo.Empat dari

6 William A. Schabas, The Abolition Of The Death Penalty In International Law, Third Edition, (Cambridge University Press, 2002), h. 7.

7 Herbert H. Haines, Against Capital Punishment: The Anti-Death Penalty Movement In America, 1972-1994, (New York: Oxford University Press, 1996), h. 3.

(18)

Sembilan hakim Mahkamah Konstitusi mengajukan pendapat berbeda terkait pidana mati8.

Direktur Program Imparsial Al Araf berpendapat9, bahwa hukuman mati tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan.Tujuan pemidanaan bukan berorientasi pada balas dendam.Menurut dia harusnyapemidanaan diarahkan pada perbaikan diri si pelaku kejahatan.Karena itu, hakim harus memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki diri.Hukuman mati menapikan kesempatan tersebut.“Hukuman mati tak sesuai dengan tujuan pemidanaan,” kata Al Araf.

Banyak anggapan pidana mati merupakan jenis pidana yang tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur budaya Indonesia. Meski pidana mati masih menjadi kontroversi, dengan dikeluarkannya putusan MK No. 21/PUU-VI/2008 yang berisi tentang Penolakan Permohonan Pengujian Undang-Undang No.2/Pnps/1964 tentang Tata cara Pelaksanaan Pidana Mati, semakin menegaskan bahwa pidana mati masih dibutuhkan dan tidak bersifat inkonstitusional. Pidana mati memang menduduki posisi yang penting dalam sistem peradilan dan penegakan hukum di Indonesia.

Eksistensi hukuman mati di Indonesia dapat kita lihat melalui ketentuan pasal 10 KUHP Republik Indonesia, ketentuan pasal 10 tersebut menyebutkan jenis-jenis pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana, yaitu terdiri dari :

a. Pidana pokok, meliputi :

8 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Edisi Revisi, (Yogyakarta: Penerbit Cahaya Atma Pustaka, 2016), h. 457.

9http://m.hukumonline.com, “Hukuman Mati Tidak sesuai dengan Tujuan Pemidanaan,”

diakses tanggal 29 Juni 2019 Pukul 9.38 WIB.

(19)

1. Hukuman Mati 2. Pidana Penjara 3. Pidana Kurungan 4. Pidana Denda

b. Pidana tambahan, meliputi :

1. Pencabutan hak-hak tertentu 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim

Dari ketentuan pasal 10 KUHP Republik Indonesia tersebut, dapat kita lihat bahwa pidana mati diposisikan pada urutan pertama karena dianggap sebagai hukuman yang paling berat diantara pidana-pidana lainnya.

Pidana mati memang suatu pidana yang memiliki ciri yang khas, bersifat istimewa, dan berbeda dengan jenis pidana pokok lainnya.Pidana mati sekali dijalankan, tidak munkin untuk diubah atau diperbaiki lagi. Dengan perkataan lain, sekali eksekusi pidana mati telah dijalankan, orang yang sudah kehilangan nyawa itu tidak mungkin dihidupkan lagi. Ilmu kedokteran yang secanggih apapun tidak mungkin bisa menghidupkan orang yang telah ditembak mati10.Oleh karena itu pidana mati dianggap sebagai pidana terberat dan pidana yang paling ampuh dalam rangka pencegahan tindak pidana.

Di dalam penjelasan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Republik Indonesia dikatakan bahwa pelaksanaan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana

10 J.E. Sahetapy, Pidana mati dalam Negara Pancasila, (Bandung: PT. CitraAditya Bakti, 2007), h. 67.

(20)

yang berat masih perlu dilakukan dikarenakan beberapa sebab, antara lain karena adanya keadaan yang khusus yaitu bahaya gangguan atas ketertiban umum di wilayah Indonesia masih lebih besar dibandingkan dengan keadaan di Belanda11. Alasan lain adalah karena Wilayah Indonesia luas dan penduduknya terdiri dari beberapa macam golongan yang mudah bentrokan, sedangkan alat-alat kepolisian tidak begitu kuat dan sebagainya.12

Selanjutnya pelaksanaan pidan mati diatur pada pasal 11 KUHP yang menyatakan, “Pidana matidijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan tempat terpidana berdiri”.Pelaksanaan pidana mati yang demikian dianggap tidak manusiawi sehingga diterbitkan Undang-Undang Nomor 2/Pnps/1964 yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No 38) yang ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan Umum Dan Militer.13

Dalam Penpres Nomor 2 Tahun 1964 tersebut dikatan bahwa dalam pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan baik di lingkungan pengadilan umum dan militer, dilakukan dengan ditembak sampai mati, menurut ketentuan yang diatur dalam undang-undang a quo.

11Diambil perbandingan dengan Belanda karena KUHP Republik Indonesia merupakan produk hukum peninggalan Belanda yang merupakan Negara penjajah yang berdasarkan asas concordantie memberlakukan hukum negaranya di negara jajahan

12 Roeslan Saleh, Prof,. Mr., Stelsel Pidana Indonesia,(Jakarta:Penerbit Aksara Baru, 1978, , h. 53

13 Eddy O.S Hiariej, Op.cit., h. 457.

(21)

Indonesia merupakan salah satu Negara dengan populasi penduduk muslim terbanyak di dunia. Dalam membicarakan Hukum Islam dalam tata hukum nasional pusat perhatian akan ditujukan pada kedudukan hukum Islam dalam sistem hukum nasional. Sistem hukum Indonesia, sebagai akibat dari perkembangan sejarahnya bersifat majemuk.Disebut demikian karena sampai sekarang di Negara Republik Indonesia berlaku beberapa sistem hukum yang mempunyai corak dan susunan sendiri.Sistem hukum itu adalah sistem hukum adat, sistem hukum Islam dan sistem hukum barat.14

Islam sebagaimana halnya Hukum Positif, juga mengenal adanya hukuman mati terhadap beberapa tindak pidana tertentu.Seperti pembunuhan sengaja, zina muhsan, murtad dan lain-lain.Adanya hukuman mati terhadap tindak pidana-tindak pidana ini mendapat tentangan hebat dari ahli hukum modern dengan anggapan bahwa hukum Islam sangat kejam.

Terlepas dari konsep tersebut, bahwa setiap ketentuan Agama Islam termasuk hukum pidananya akan bertumpu pada pemenuhan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia serta kepentingan manusia. Di kalangan para ulama dikenal dengan apa yang disebut Maqosid syari‟ah, yaitu tujuan hukum pidana Islam yang mencakup perlindungan terhadap lima hal yang menjadi tonggak keberadaan manusia yakni agama (akidah), nyawa, akal, nasab atau harga diri, dan harta benda.15 Dalam kitab-kitab Fikih, pembahasan tentang hukuman mati menjadi bagian dari pembahasan tentang kriminalitas (aljinayah) seperti pencurian

14 Mardani, Hukum Islam Kumpulan Peraturan Tentang Hukum Islam di Indonesia, edisi kedua,(Jakarta:Kencana Prenada media Group, 2015), h. 1.

15Noerwahidah, Pidana Mati Dalam Hukum Islam, (Surabaya: Al Ikhlas, 1994), h. 13.

(22)

(assariqah), minuman keras (al khamr), perzinaan (az zina), hukum balas/timbal balik (al qishas), pemberontakan (al bugat), dan perampokan (qatta u tariq).

Saat ini Indonesia belum ada melakukan eksekusi terhadap vonis mati yang dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana yang dijatuhi hukuman mati sejak 2015. Namun perlu diingat bahwasanya terpidana mati yang belum dieksekusi jumlahnya cukup banyak. Hal tersebut dapat kita lihat dari hasil survei yang dilakukan oleh Amnesty Internasional. Meski tidak ada eksekusi, Amnesty mencatat pengadilan Indonesia telah menerbitkan 37 vonis hukuman mati antara Januari hingga Oktober 2018.Adapun pada 2017 vonis mati dijatuhkan pada 47 kasus.Saat ini sebanyak 299 narapidana mati masih menunggu waktu eksekusi.

Jumlah tersebut tentu cukup menarik perhatian masyarakat Indonesia.

Ditambah lagi Indonesia merupakan negara dengan populasi penduduk yang memeluk Agama Islam terbanyak di Dunia. Hal ini menarik minat penulis untuk mengangkat isu ini menjadi skripsi untuk mencari tahu bagaimana penerapan ketentuan pidana mati di Negara Indonesia dengan ketentuan pidana mati dalam Hukum Islam. Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis berupaya dalam mencari solusi yang penulis tuangkan ke dalam bentuk skripsi dengan judul

“PERBANDINGAN KETENTUAN PIDANA MATI MENURUT HUKUM PIDANA DI INDONESIA DAN HUKUM ISLAM”.

(23)

B. Perumusan Masalah

Untuk membatasi pembahasan permasalahan, penulis merumuskan identifikasi permasalahannya sebagai berikut :

1. Tindak Pidana Apa saja yang diancam dengan pidana mati menurut ketentuan Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam?

2. Bagaimana Pengaturan ketentuan Pelaksanaan Pidana Mati di dalam Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam?

3. Bagaimana perbandingan ketentuan pidana mati menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam?

C. Tujuan dan manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian

Mengacu pada pokok permasalahan yang diidentifikasikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui bagaimana Pengaturan tindak pidana apa saja yang diancam dengan pidana mati menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam.

b. Untuk mengetahui bagaimana ketentuan pelaksanaan pidana mati menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam.

c. Untuk mengetahui apa-apa saja persamaan dan perbedaan dalam pelaksanaan hukuman mati menurut hukum Indonesia dan Hukum Islam.

(24)

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : a. Teoritis

Penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pikiran dalam rangka perkembangan dan pembaharuan ilmu hukum pada umumnya serta perkembangan dan pembaruan hukum pidana khususnya dalam pelaksanaan hukuman mati di Negara Republik Indonesia

b. Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi lembaga pembentuk Undang-Undang untuk melakukan pembaharuan sistem dalam pelaksanaan ketentuan hukuman mati di Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi mengenai “PERBANDINGAN KETENTUAN PIDANA MATI MENURUT HUKUM PIDANA DIINDONESIA DAN HUKUM ISLAM” setelah dilakukan pemeriksaan skripsi di Fakultas Hukum USU dan kearsipan di Departemen Hukum Pidana, tidak ada satupun karya ilmiah yang sama dan belum pernah diangkat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian penulis menyatakan bahwa skripsi ini adalah benar hasil karya penulis dan belum pernah diangkat oleh penulis lain dengan permasalahan yang sama. Skripsi ini dibuat berdasarkan hasil pemikiran dan juga referensi dari buku-buku serta informasi yang di dapat dari media baik cetak maupun elektronik,

(25)

juga dilengkapi dengan fakta-fakta yang didapat dari studi komparatif dan hasil riset yang dilaksanakan oleh penulis. Jika di kemudian hari, ada skripsi yang sama maka penulis akan mempertanggung jawabkan sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan a) Hukum Pidana

Hukum merupakan suatu pencerminan dari kesadaran masyarakat, sehingga hukum itu tak dapat dilepaskan dari sifat bangsa. Hukum itu tumbuh dan timbul dari kesadaran hukum masyarakat (von savigny). Selain daripada itu, hukum itu berguna pula untukl menyalurkan kehendak masyarakat menuju realisasi cita-cita masyarakat itu. Oleh sebab itu hukum berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, dan sebaliknya masyarakat berpengaruh pula terhadap hukum.maka dapat dikatakan bahwa hukum adalah untuk membangun masyarakat.

Dimana hukum merupakan lembaga sosial untuk memuaskan kebutuhan- kebutuhan masyarakat, yakni tuntutan-tuntutan, permintaan-permintaan dan pengharapan-pengharapan yang terlihat dalam kehidupan masyarakat yang beradab. Dengan demikian ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat itu. 16

Peraturan peraturan itu dikeluarkan oleh suatu badan yang berkuasa dalam masyarakat di mana peraturan itu dikeluarkan. Suatu badan yang dimaksud

16MokhammadNajih, SH., M.Hum dan Soimin, SH. M.H, Pengantar Hukum Indonesia Sejarah, Konsep tata Hukum, dan Politik Hukum Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014), h. 159.

(26)

adalah pemerintah. Namun walaupun peraturan-peraturan ini telah dikeluarkan oleh pemerintah, masih ada saja orang yang melanggar peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam perspektif ilmu hukum dikatakan sebagai “Hukum Pidana”. 17

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 18

Menurut Van Hammel dalam Eddy O.S Hiariej,19 hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan aturan aturan yang ditaati negara (atau masyarakat hukum umum lainnya) yang mana mereka adalah pemelihara ketertiban hukum umum telah melarang perbuatan-perbuatan yang bersifat

17Ibid.

18Prof. Moeljatno. S.H., Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2015), h.

1. 19

Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit. h. 15.

(27)

melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap aturan-aturan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa pidana.

Sedangkan menurut Eddy O.S hiariej, hukum pidana didefinisikan sebagai aturan hukum dari suatu negara yang berdaulat, berisi perbuatan yang dilarang atau perbuatan yang diperintahkan, disertai dngan sanksi pidana bagi yang melanggar atau yang tidak mematuhi, kapan dan dalam hal apa sanksi pidana itu dijatuhkan dan bagaimana pelaksanaan pidana tersebut yang pemberlakuannya dipaksakan oleh negara.20

Kemudian Hukum Pidana dibagi menjadi dua bagian yaitu Hukum Pidana dalam arti objektif dan Hukum Pidana dalam arti subjektif:

1) Hukum Pidana dalam Arti Objektif

Hukum pidana dalam arti Objektif, juga disebut Ius Poenale, yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan- keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman. Ius Poenale dapat dibagi dalam :

1. Hukum Pidana Materiil

Yaitu hukum yang berisikan peraturan-peraturan tentang :

a. Perbuatan-perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman;

b. Siapa-siapa yang dapat dihukum atau dengan perkataan lain mengatur pertanggung jawaban terhadap Hukum Pidana;

20Eddy O.S Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h. 4.

(28)

c. Hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, atau juga disebut Hukum Penitensier.

2. Hukum Pidana Formil

Yaitu sejumlah peraturan-peraturan yang mengandung cara-cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan hukuman.

2) Hukum Pidana dalam Arti subjektif

Hukum Pidana dalam arti Subjektif disebut Ius Puniendi, yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak negara untuk menghukum berwujud :

1. Hak untuk menjatuhkan mengancam perbuatan-perbuatan dengan hukuman yang dimiliki oleh negara;

2. Hak untuk menjatuhkan hukuman. Hak ini diletakkan pada alat-alat perlengkapan negara;

3. Hak untuk melaksanakan hukuman. Yang juga diletakkan pada alat- alat negara;

Hubungan hukum yang ditimbulkan oleh perbuatan orang yang menimbulkan kerugian dan menimbulkan dijatuhkannya pidana, bukan hubungan sesuatu yang bersalah dengan yang dirugikan, melainkan hubungan bersifat subordinasi dari yang bersalah terhadap pemerintah, yang ditugaskan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dengan demikian hukum pidana mempunyai hubungan hukum atas dasar kepentingan masyarakat, mempunyai sifat hukum publik.

(29)

Dari berbagai hukum pidana tersebut diatas, dapatlah disimpulkan bahwa salah satu karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan bidang hukum lainnya adalah adanya sanksi pidana yang yang keberlakuannya dipaksakan oleh negara. Dengan demikian hukum pidana adalah hukum publik karena mengatur hubungan antara individu dengan negara.21

Dapat disimpulkan pula bahwa hukum pidana secara luas meliputi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, sedangkan hukum pidana dalam arti sempit hanya mencakup hukum pidana materiil. Dalam percakapan sehari-hari maupun dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum, istilah hukum pidana yang dimaksud adalah hukum pidana materiil, sementara untuk menyebutkan hukum pidana formil biasanya dikenal dengan istilah hukum acara pidana.

b) TINDAK PIDANA

Istilah tindak pidana adalah sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda yaitu “Strafbaar Feit” atau “Delict”. Di dalam bahasa Indonesia sebagai terjemahan dari straafbar feitatau delict terdapat beberapa istilah seperti :

a. Tindak pidana b. Perbuatan pidana c. Peristiwa pidana d. Pelanggaran pidana

e. Perbuatan yang boleh dihukum f. Perbuatan yang dapat dihukum

21Eddy O.S. hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Op.Cit. h. 17.

(30)

Adapun beberapa defenisi tindak pidana menurut para sarjana dapat dilihat diantaranya sebagai berikut

1. Menurut Moeljatno, Tindak Pidana atau Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.22

2. Menurut Simons dalam Moeljatno,23 bahwa Strafbaar feitadalah kelakuan (Handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

3. Menurut Van Hamel,24Strafbaar Feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.

4. R. Tresna mendefenisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang- undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.25

22Prof. Moeljatno, S.H., Op.Cit, h.61

23Ibid.

24Ibid.

25R. Tresna, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Tiara Limitet,1959), h. 27.

(31)

Bila kita lihat dalam definisi mengenai Tindak Pidana menurut beberapa sarjana di atas, maka dapat kita lihat bahwa suatu tindakan dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Adanya suatu perbuatan subjek hukum

2. Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum (wederrechtelijk) 3. Perbuatan tersebut diancamkan dengan pidana dalam aturan

perundang-undangan

4. Perbuatan tersebut dilakukan oleh subjek hukum yang memiliki kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar)

5. Perbuatan tersebut terjadi karena adanya kesalahan (schuld) si pembuat.

c) PIDANA

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.26

1. Menurut Andi Hamzah dalam Mohammad Ekaputra dan Abul Khair,27 ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Straf. Istilah hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum

26Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Sistem Pidana di dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru,(Medan: USU Press, 2010), h. 1.

27Ibid.

(32)

perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana.

2. Alf Ross mendefinisikan pidana sebagai tanggung jawab sosial yang:

a. Terdapat pelanggaran dalam aturan hukum;

b. Dijatuhkan atau dikenakan oleh pihak yang berwenang atas nama perintah hukum terhadap pelanggar hukum;

c. Merupakan suatu nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

d. Perwujudan pencelaan terhadap pelanggar.28

3. menurut H.L.A Hart, pidana merupakan salah satu unsur yang essensial di dalam hukum pidana. Pidana itu harus:

a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan;

b. Dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana;

c. Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum;

d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana;

e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.29

28Muhammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), h. 19.

29Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1992), h. 22.

(33)

4. Menurut Van Hammel, pidana (straf) adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuawaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melnanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.30

5. Roeslan Saleh mengatakan bahwa Pidana adalah “reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa dengan sengaja diterapkan kepada si pembuat delik itu.31

6. Menurut Sudarto, pidana adalah sebagai nestapa yang dikenakan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang- undang-undang, sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.32

7. Simons mendefinisikan pidana sebagai suatu penderitaan yang oleh undang- undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggar terhadap suatu norma yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seorang yang bersalah.33

Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas mengenai pidana, tidak dapat dipungkiri bahwasanya nestapa atau penderitaan itu merupakan suatu unsur yang memang ada dalam suatu pidana.34 Dalam pidana terkandung unsur penderitaan tidaklah disangkal. Penderitaan dalam konteks membebaskan harus dilihat sebagai

30P.A.F Lamintang, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung: Binacipta, 1987), h. 17.

31Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), h. 5.

32 Marlina, SH., M.Hum., Hukum Penitensier, (Bandung: PT Refika Aditama, 2016), h.

19.

33P.A.F Lamintang, Op. Cit., h. 35.

34Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Op. Cit., h. 6.

(34)

obat untuk dibebaskan dari dosa dan kesalahan. Jadi penderitaan sebagai akibat pidana merupakan kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberi kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan. 35

Masalah penetapan/pemberian pidana (straftoemeting) bukanlah masalah yang mudah. Perkiraan ini dapat dimengerti, karena hakim mempunyai kebebasan untuk menetapkan jenis pidana, cara pelaksanaan pidana dan tinggi rendahnya pidana. Mengenai tinggi rendahnya pidana ini, hakim dapat bergerak antara minimum pidana yang umum yang berlaku untuk tiap-tiap delik. Namun kebebasan ini tidak berarti bahwa Hakim boleh menjatuhkan pidana menurut seleranya sendiri, tanpa ukuran tertentu. Dalam keputusan keputusan Hakim harus terbaca proses pemikiran yang dapat diikuti oleh orang lain, sehingga wajar apabila diharapkan bahwa dalam pemebrian pidana ini pun proses pemikirannya harus dapat diikuti oleh orang lain pula, khususnya oleh terdakwa.36

Dalam menetapkan pidana, harus difahami benar apa makna kejahatan, penjahat (pembuat) dan pidana. Tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa pidana itu harus setimpal dengan berat dan sifat kejahatan. Leo Polak dalam bukunya De Zin der Vergelding (Makna dari Pembalasan) menyebutkan atara lain, bahwa satu-satunya problema dasar dari hukum pidana, ialah makna, tujuan, dan ukuran dari penderitaan. Pidana yang patut untuk diterima oleh seseorang, tetap merupakan problema yang tidak terpecahkan.37

35Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, (Malang: Averroes Press, 2002), h. 25.

36Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: alumni, 1986), h. 78.

37Ibid., h. 79.

(35)

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Karya ilmiah ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang memiliki kecenderungan dalam mencitrakan hukum sebagai disiplin preskriptif di mana hanya melihat hukum dari sudut pandang norma-normanya saja, yang tentunya bersifat preskriptif. Dimana tema-tema penelitiannya mencakup :38

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum;

2. Penelitian terhadap sistematika hukum;

3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi Vertical dan horizontal;

4. Perbandingan hukum; dan 5. Sejarah hukum.

Nama lain dari penelitian hukum Normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen.

Disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.

Sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.Penelitian perpustakaan demikian dapat dikatakan pula sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan).39

38Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h. 14.

39 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 13-14.

(36)

Karya ilmiah ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.40Ranuhandoko dalam Mukti Fajar N.D. dan Yulianto Achmad mengemukakan, penelitian hukum normatif41 selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistemnorma42yang digunakan untuk memberikan "justifikasi" tentang suatu peristiwa hukum, sehingga penelitian hukum normatif menjadikan sistem norma sebagai pusat kajiannya. Sistem norma dalam arti yang sederhana adalah sistem kaidah atau aturan.43

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang suatu hal yang ada di suatu tempat tertentu serta untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.44

Penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (Deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada,

40Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 13.

41Penelitian hukum normatif meneliti kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait dengan suatu peristiwa hukum. Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah sesuatu peristiwa sudah benar atausalah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut hukum. Lihat Mukti Fajar N.D. dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),h.36.

42Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran). Lihat ibid., h.

34. 43

Ibid., h. 36.

44Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI- Press),1986), h. 137.

(37)

atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.Pada penelitian hukum deskriptif, peneliti yang melakukannya harus menggunakan teori atau hipotesis.45

3. Sumber Data

Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder yang meliputi dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, dll.

Data Sekunder adalah data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.Data ini dapat ditemukan dengan cepat.Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder adalah literature, artikel, jurnal serta situs di internet yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.46

Penelitian Hukum Doktrinal pada umumnya menerima bahwa data dasar yang diperlukan adalah data yang hanya mengenal data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.47

a. Bahan Hukum Primer (primary law material)

Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatn mengikat bagi pihak- pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen hukum, dan putusan hakim).

45Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. 1 (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), h. 52.

46 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Cetakan ke 8 (Bandung:

Alfabeta, 2009), h. 137.

47Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan metodologi Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press, 2009), h. 127.

(38)

b. Bahan Hukum Sekunder (secondary law material)

Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, dan media cetak, atau elektronik).

c. Bahan Hukum Tertier (tertiary law material)

Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (rancangan undang-undang, kamus hukum, dan ensiklopedia).48

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah melalui studi pustaka (Library Research).49 Studi pustaka merupakan usha-usaha yang dilakukan oleh penulis untuk mendapatkan berbagai macam informasi, sesuai dengan topik yang sedang diteliti dengan cara mencari berbagai informasi yang bersumber dari berbagai buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, dan sumber lainnya baik secara tertulis maupun dari media elektronik. Studi pustaka ini berguna untuk menjelaskan variabel yang menjadi topik dalam suatu penelitian.

48Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. 1,(Bandung: PT Citra Aditya bakti,2004), h. 82.

49Studi pustaka (studi dokumen) merupakan suatu alat pengumpulan data yang

dilakukan melalui data tertulis dengan menggunakan “content analysis”. R. Holsti dalam Soerjono Soekanto menyebutkan: ” … any technique for making inferences by objectively and systematically identifying specified characteristics of massages”. Lihatibid., h. 21-22.

(39)

Secara singkat studi kepustakaan membantu peneliti dalam berbagai keperluan, misalnya:50

a. Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan;

b. Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan;

c. Sebagai sumber data sekunder;

d. Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya;

e. Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan;

f. Memperkaya ide-ide baru;

g. Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasilnya.

Penelitian studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan suatu landasan dalam menganalisa data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang validitasnya terjamin sehingga akan diperoleh suatu kesimpulan yang relevan dari pokok bahasan. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi dokumen terkait dengan topik penulisan.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan merupakan suatu langkah yang berfungsi untuk menyimpulkan hasil penelitian. Penelitian ini menggunakan metode yuridis

50Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011) h. 112-113

(40)

normatif secara kualitatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam perarturan perundang-undangan dan putusanpengadilan serta norma hukum yang ada di dalam masyarakat.51

Metode ini dapat dilakukan dengan beberapa langkah yaitu yang pertama, menginventarisir dan mengidentifikasi bahan hukum primer,sekunder dan tersier yang relevan. Kedua, melakukan sistematisasi keseluruhan bahan hukum. Asas- asas hukum, teori-teori, konsep-konsep, dan bahan rujukan lainnya dengan cara melakukan seleksi bahan hukum kemudian melakukan klasifikasi bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian secara sistematis yang dilakukan secara logis dengan menghubungkan dan mengaitkan antar bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lainnya. Ketiga, analisis bahan yang telah dikumpulkan dilakukan menurut cara-cara analisis dan penafsiran gramatikal secara sistematis dimana interpretasi dilakukan dengan menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan undang-undang lain secara logis dan sistematis.52 Keempat, hasil penelitian yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Kelima, penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif yaitu pemikiran dimulai dari hal yang umum kepada hal yang khusus.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (Lima) bab yang terdiri dari : BAB I : Pendahuluan

51Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Garfika, 2009), h. 105.

52Hadid Muhjaj dan Nunuk Nuswardani, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, (Yogjakarta : Genta Publishing, 2012), h.163

(41)

Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang penulisan skripsi dengan judul “Perbandingan Ketentuan Pidana mati menurut Hukum Pidana di Indonesia dan Hukum Islam”, permasalahan dalam perbandingan ketentuan pidana mati menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang membahas Hukum Pidana, Tindak Pidana, dan pengertian Pidana, kemudian metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II :Tindak pidana yang diancam dengan Pidana Mati menurut ketentuan hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam

Bab ini memberikan uraian mengenai Pengaturan mengenai Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati menurut Hukum Pidana Indonesia di dalam KUHP, di luar KUHP serta dalam Rancangan KUHP Nasional dan juga yang diatur dalam Hukum Islam.

BAB III : Pengaturan ketentuan Pelaksanaan Pidana Mati di dalam Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam

Bab ini akan membahas mengenai pengaturan ketentuan pelaksanaan pidana mati yang diatur di dalam Hukum Positif Indonesia dan hukum Islam.

kemudian diuraikan mengenai prosedur pelaksanaan pidana mati menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam.

BAB IV : Perbandingan Ketentuan Pidana Mati Menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam

Bab ini akan menguraikan perbandingan ketentuan pidana mati dalam Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam dengan menguraikan Persamaan-

(42)

persamaan dan perbedaan-perbedaan dalam ketentuan pidana mati menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Penutup pada bab ini berisikan kesimpulan dari pada hasil penulisan dan penjabaran mengenai perbandingan ketentuan pidana mati dalam Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam. Pada bab ini juga berisikan saran bagi semua pihak dalam hal pelaksanaan ketentuan pidana mati di Indonesia.

(43)

BAB II

TINDAK PIDANA YANG DIANCAM DENGAN PIDANA MATI DALAM KETENTUAN HUKUM POSITIF INDONESIA DAN HUKUM ISLAM

A. Pengaturan Mengenai Tindak Pidana yang diancam dengan Pidana Mati di dalam Hukum Pidana Indonesia

1. Menurut KUHP

Melalui UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang diterbitkan pada tanggal 26 Februari 1946, Undang-Undang Hukum Pidana Belanda yang berlaku di Indonesia diberlakukan di Indonesia. Ketentuan ini membuat aturan pada pasal peralihan yang menyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana yang bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia tidak berlaku, mengubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie menjadi Wetboek van Strafrecht atau KUHP, serta mengubah beberapa kata dan menghapus beberapa pasal dalam WvS. UU No. 1 Tahun 1946 ini mengakhiri peraturan hukum pidana pada masa pendudukan Jepang yang dimulai pada 8 Maret 1942. Undang-Undang ini mulanya hanya berlaku di Jawa dan Madura, melalui Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1946 tertanggal 8 Agustus 1946 KUHP mulai diberlakukan untuk daerah Provinsi Sumatera Utara.

KUHP Indonesia pasca kemerdekaan ini masih mencantumkan hukuman mati sebagaimana diatur dalam WvSI yakni kejahatan berat terhadap keamanan

(44)

KUHP Indonesia pasca kemerdekaan ini masih mencantumkan hukuman WvSI yakni kejahatan mati sebagaimana diatur dalam berat terhadap keamanan negara, pembunuhan, pencurian dan pemerasan dengan pemberatan, perampokan, serta pembajakan53, Macam-macam perbuatan yang diancam dengan pidana mati menurut KUHP akan diuraikan sebagai berikut :

a. Makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden

Istilah makar berasal dari kata aanslag (Belanda) yang menurut arti harfiah adalah penyerangan atau serangan.Makar dalam kamus politik adalah akal busuk; tipu muslihat, perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.

Mengenai istilah makar dalam KUHP sendiri dimulai penafsiran secara khusus yang dapat ditemui dalam pasal 87, yang berbunyi :

Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelakasanaan seperti dimaksud pasal 53.

Berdasarkan pasal 87 KUHP dapat disimpulkan bahwa unsur terpenting makar untuk melakukan suatu perbuatan adalah adanya niat dan permulaan pelaksanaan.

53 Notosoetardjo, Dokumen Konferensi Meja Bundar, (Jakarta: Penerbit Endang, 1956), h. 214.

(45)

Ancaman hukuman mati terhadap pelaku makar kepada pemerintah diatur di pasal 104 KUHP, yang berbunyi :

Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Dalam pasal 104 KUHP ini, maka suatu perbuatan dapat dipidana apabila ada permulaan pelaksana dengan maksud untuk membunuh presiden dan seterusnya.Dalam pembuktian nantinya, maka perbuatan itu harus dapat diukur sebagai tindakan permulaan pelaksanaan dengan maksud membunuh presiden dan seterusnya.Untuk mempermudah mendapatkan gambaran, maka perbuatan makar ini seperti percobaan untuk membunuh presiden, tapi berbeda dengan percobaan, cukup ada niat permulaan pelaksanaan, seseorang sudah dapat dimintai pertanggung jawaban pidana.

Sejumlah pakar menilai ketentuan yang diatur dalam pasal 140 dan pasal 110 ayat (1) dan ayat (2), khususnya pasal 110 ayat (1) dan ayat (2), perlu diberi perhatian besar karena tidak menutup kemungkinan ancaman pidana matinya

(46)

terlalu tinggi apabila dianalisis dari sisi kekuatan hukum pidana,54 dasar pertimbangannya adalah:

1. Tindakan makar dipandang telah terjadi (selesai atau smpurna) selagi ancaman pidana masih dalam kondisi diperingan 1/3, namun dalam pasal 104 KUHP justru menjadi pidana mati.

2. Pemufakatan sanksi tindak pidana dalam pasal 104 adalah pidana mati, padahal pemufakatan merupakan tindakan yang masih sangat jauh dari permulaan pelaksanaan, namun pidananya sama dengan apabila telah masuk dalam tahap permulaan pelaksanaan.

3. Menyediakan atau memudahkan konstruksi hukum pidana juga termasuk dalam persoalan penyertaan (deelneming) pada bagian pembantuan.

Pemidanaan untuk peran tersebut justeru diperingan 1/3, sedangkan tindak pidana yang diatur dalam pasal 104 pidananya sama dengan perbuatan pelakunya.

4. Terakhir, Presiden tentu layak mendapat perlakuan lebih dibandingkan rakyat biasa. Oleh karena itu, pasal 104 dan pasal-pasal lainnya dalam KUHP bisa saja menjadi perangkat hukum yang diorientasikan untuk kepentingan pihak yang yang sedang memgang kekuasaan (pemerintah), bukan kepentingan umum. Artinya, tindak pidana tampaknya lebih ditujukan untuk menyingkirkan lawan-lawan politik pihak yang sedang berkuasa

54 Rudy Satriyo Mukantardjo, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang RPP Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia, (Jakarta: BPHN Departemen Hukum dan HAM, 2004), h. 47-48.

(47)

sebagai upaya mempertahankan kekuasaaan. Tidak menutup kemungkinan penegakan hukum menjadi penghalang kehidupan demokrasi suatu negara.55

b. Perbuatan permusuhan terhadap Negara

Perbuatan ini diancam dengan pidana mati dalam pasal 111 ayat 1 dan 2 KUHP yang berbunyi :

Ayat 1

Barang siapa mengadakan hubungan dengan negara asing dengan maksud menggerakkannya untuk melakukan perbuatan permusuhan atau perang terhadap negara, memperkuat niat mereka, menjanjikan bantuan atau membantu mempersiapkan mereka untuk melakukan permufakatan atau perang terhadap negara, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 Tahun.

Ayat 2

Jika perbuatan permusuhan dilakukan atau terjadi perang, diancam dengan Pidana Mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

c. Memberi bantuan terhadap Negara musuh pada saat perang

Perbuatan ini diatur dalam Pasal 124 ayat (3) ke-1 dan ke-2, yang berbunyi:

55 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Tim Pakar Hukum Pidana,(Jakarta:BPHN Departemen Hukum Dan HAM RI, 2004), h. 9.

(48)

Ayat 3

pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun diajtuhkan jika si pembuat :

1. memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan atau merusakkan sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, suatu alat perhubungan, gudang persediaan perang, atau kas perang ataupun Angkatan Laut, Angkatan Darat atau bagian daripadanya, merintangi, menghalang-halangi atau menggagalkan suatu untuk menggenangi air atau karya tentara lainnya yang direncanakan atau diselenggarakan untuk menangkis atau menyerang;

2. menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru-hara, pemberontakan atau desersi di kalangan Angkatan Perang.

d. Makar terhadap nyawa kepala Negara sahabat

Indonesia juga mengancamkan pidana mati terhadap warga Negara yang melakukan makar terhadap nyawa kepala Negara sahabat. Hal ini dapat kita lihat pada pasal KUHP yang berbunyi :

Pasal 140 ayat (3)

1) Makar terhadap nyawa atau kemerdekaan raja yang memerintah atau kepala negara sahabat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

Referensi

Dokumen terkait

Data dalam penelitian ini berupa kata, kalimat dan dialog yang mengandung nilai pendidikan yang terdapat dalam teks novel Luruh Kuncup Sebelum Berbunga.. Menurut jenisnya data

Jl. Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang terdapat di wilayah pantai daerah tropis. Terumbu karang memiliki berbagai macam bentuk morfologi yaitu tipe

Data yang diperoleh dalam penelitian ini terkait dengan potensi dan ketersediaan bahan pangan lokal sumber karbohidrat non beras, yang meliputi : jenis sumber pangan

Variabel penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data tentang penggunaan media audio midi sebagai upaya peningkatan teknik vokal dalam materi bernyanyi

Pesatnya perkembangan teknologi dalam industri manufaktur di era modern seperti sekarang ini menuntut adanya perbaikan dalam segi material yang memiliki sifat-sifat yang

Serangkaian pendekatan resolusi konflik sebagaimana dikemukakan oleh Boistein (2018) menetapkan beberapa strategi yang digunakan untuk mencegah terjadinya konflik antar

Berdasarkan hasil penelitian tentang Senandung Bertelur Kau Sinangin Pada Masyarakat Melayu di Kota Tanjungbalai (Studi Terhadap Bentuk Musik, Fungsi dan Makna), dapat

Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan gaya bahasa, penulis menemukan penelitian yang relevan, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Widya Wahyuningtyas (2019), Maria