• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I :PENDAHULUAN

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi mengenai “PERBANDINGAN KETENTUAN PIDANA MATI MENURUT HUKUM PIDANA DIINDONESIA DAN HUKUM ISLAM” setelah dilakukan pemeriksaan skripsi di Fakultas Hukum USU dan kearsipan di Departemen Hukum Pidana, tidak ada satupun karya ilmiah yang sama dan belum pernah diangkat di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Dengan demikian penulis menyatakan bahwa skripsi ini adalah benar hasil karya penulis dan belum pernah diangkat oleh penulis lain dengan permasalahan yang sama. Skripsi ini dibuat berdasarkan hasil pemikiran dan juga referensi dari buku-buku serta informasi yang di dapat dari media baik cetak maupun elektronik,

juga dilengkapi dengan fakta-fakta yang didapat dari studi komparatif dan hasil riset yang dilaksanakan oleh penulis. Jika di kemudian hari, ada skripsi yang sama maka penulis akan mempertanggung jawabkan sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan a) Hukum Pidana

Hukum merupakan suatu pencerminan dari kesadaran masyarakat, sehingga hukum itu tak dapat dilepaskan dari sifat bangsa. Hukum itu tumbuh dan timbul dari kesadaran hukum masyarakat (von savigny). Selain daripada itu, hukum itu berguna pula untukl menyalurkan kehendak masyarakat menuju realisasi cita-cita masyarakat itu. Oleh sebab itu hukum berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, dan sebaliknya masyarakat berpengaruh pula terhadap hukum.maka dapat dikatakan bahwa hukum adalah untuk membangun masyarakat.

Dimana hukum merupakan lembaga sosial untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan masyarakat, yakni tuntutan-tuntutan, permintaan-permintaan dan pengharapan-pengharapan yang terlihat dalam kehidupan masyarakat yang beradab. Dengan demikian ketertiban dan keamanan dalam masyarakat akan terpelihara bilamana tiap-tiap anggota masyarakat mentaati peraturan-peraturan (norma-norma) yang ada dalam masyarakat itu. 16

Peraturan peraturan itu dikeluarkan oleh suatu badan yang berkuasa dalam masyarakat di mana peraturan itu dikeluarkan. Suatu badan yang dimaksud

16MokhammadNajih, SH., M.Hum dan Soimin, SH. M.H, Pengantar Hukum Indonesia Sejarah, Konsep tata Hukum, dan Politik Hukum Indonesia, (Malang: Setara Press, 2014), h. 159.

adalah pemerintah. Namun walaupun peraturan-peraturan ini telah dikeluarkan oleh pemerintah, masih ada saja orang yang melanggar peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam perspektif ilmu hukum dikatakan sebagai “Hukum Pidana”. 17

Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk:

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 18

Menurut Van Hammel dalam Eddy O.S Hiariej,19 hukum pidana adalah suatu keseluruhan dari asas-asas dan aturan aturan yang ditaati negara (atau masyarakat hukum umum lainnya) yang mana mereka adalah pemelihara ketertiban hukum umum telah melarang perbuatan-perbuatan yang bersifat

17Ibid.

18Prof. Moeljatno. S.H., Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2015), h.

1. 19

Eddy O.S. Hiariej, Op. Cit. h. 15.

melanggar hukum dan telah mengaitkan pelanggaran terhadap aturan-aturan dengan suatu penderitaan yang bersifat khusus berupa pidana.

Sedangkan menurut Eddy O.S hiariej, hukum pidana didefinisikan sebagai aturan hukum dari suatu negara yang berdaulat, berisi perbuatan yang dilarang atau perbuatan yang diperintahkan, disertai dngan sanksi pidana bagi yang melanggar atau yang tidak mematuhi, kapan dan dalam hal apa sanksi pidana itu dijatuhkan dan bagaimana pelaksanaan pidana tersebut yang pemberlakuannya dipaksakan oleh negara.20

Kemudian Hukum Pidana dibagi menjadi dua bagian yaitu Hukum Pidana dalam arti objektif dan Hukum Pidana dalam arti subjektif:

1) Hukum Pidana dalam Arti Objektif

Hukum pidana dalam arti Objektif, juga disebut Ius Poenale, yaitu sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan terhadap pelanggarannya diancam dengan hukuman. Ius Poenale dapat dibagi dalam :

1. Hukum Pidana Materiil

Yaitu hukum yang berisikan peraturan-peraturan tentang :

a. Perbuatan-perbuatan yang dapat diancam dengan hukuman;

b. Siapa-siapa yang dapat dihukum atau dengan perkataan lain mengatur pertanggung jawaban terhadap Hukum Pidana;

20Eddy O.S Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2009), h. 4.

c. Hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap orang yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang, atau juga disebut Hukum Penitensier.

2. Hukum Pidana Formil

Yaitu sejumlah peraturan-peraturan yang mengandung cara-cara negara mempergunakan haknya untuk melaksanakan hukuman.

2) Hukum Pidana dalam Arti subjektif

Hukum Pidana dalam arti Subjektif disebut Ius Puniendi, yaitu sejumlah peraturan yang mengatur hak negara untuk menghukum seseorang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Hak negara untuk menghukum berwujud :

1. Hak untuk menjatuhkan mengancam perbuatan-perbuatan dengan hukuman yang dimiliki oleh negara;

2. Hak untuk menjatuhkan hukuman. Hak ini diletakkan pada alat-alat perlengkapan negara;

3. Hak untuk melaksanakan hukuman. Yang juga diletakkan pada alat-alat negara;

Hubungan hukum yang ditimbulkan oleh perbuatan orang yang menimbulkan kerugian dan menimbulkan dijatuhkannya pidana, bukan hubungan sesuatu yang bersalah dengan yang dirugikan, melainkan hubungan bersifat subordinasi dari yang bersalah terhadap pemerintah, yang ditugaskan untuk melindungi kepentingan masyarakat. Dengan demikian hukum pidana mempunyai hubungan hukum atas dasar kepentingan masyarakat, mempunyai sifat hukum publik.

Dari berbagai hukum pidana tersebut diatas, dapatlah disimpulkan bahwa salah satu karakteristik hukum pidana yang membedakannya dengan bidang hukum lainnya adalah adanya sanksi pidana yang yang keberlakuannya dipaksakan oleh negara. Dengan demikian hukum pidana adalah hukum publik karena mengatur hubungan antara individu dengan negara.21

Dapat disimpulkan pula bahwa hukum pidana secara luas meliputi hukum pidana materiil dan hukum pidana formil, sedangkan hukum pidana dalam arti sempit hanya mencakup hukum pidana materiil. Dalam percakapan sehari-hari maupun dalam kurikulum pendidikan tinggi hukum, istilah hukum pidana yang dimaksud adalah hukum pidana materiil, sementara untuk menyebutkan hukum pidana formil biasanya dikenal dengan istilah hukum acara pidana.

b) TINDAK PIDANA

Istilah tindak pidana adalah sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda yaitu “Strafbaar Feit” atau “Delict”. Di dalam bahasa Indonesia sebagai terjemahan dari straafbar feitatau delict terdapat beberapa istilah seperti :

a. Tindak pidana b. Perbuatan pidana c. Peristiwa pidana d. Pelanggaran pidana

e. Perbuatan yang boleh dihukum f. Perbuatan yang dapat dihukum

21Eddy O.S. hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Op.Cit. h. 17.

Adapun beberapa defenisi tindak pidana menurut para sarjana dapat dilihat diantaranya sebagai berikut

1. Menurut Moeljatno, Tindak Pidana atau Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.22

2. Menurut Simons dalam Moeljatno,23 bahwa Strafbaar feitadalah kelakuan (Handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

3. Menurut Van Hamel,24Strafbaar Feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.

4. R. Tresna mendefenisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.25

22Prof. Moeljatno, S.H., Op.Cit, h.61

23Ibid.

24Ibid.

25R. Tresna, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Tiara Limitet,1959), h. 27.

Bila kita lihat dalam definisi mengenai Tindak Pidana menurut beberapa sarjana di atas, maka dapat kita lihat bahwa suatu tindakan dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Adanya suatu perbuatan subjek hukum

2. Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum (wederrechtelijk) 3. Perbuatan tersebut diancamkan dengan pidana dalam aturan

perundang-undangan

4. Perbuatan tersebut dilakukan oleh subjek hukum yang memiliki kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar)

5. Perbuatan tersebut terjadi karena adanya kesalahan (schuld) si pembuat.

c) PIDANA

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.26

1. Menurut Andi Hamzah dalam Mohammad Ekaputra dan Abul Khair,27 ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Straf. Istilah hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum

26Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Sistem Pidana di dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru,(Medan: USU Press, 2010), h. 1.

27Ibid.

perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana.

2. Alf Ross mendefinisikan pidana sebagai tanggung jawab sosial yang:

a. Terdapat pelanggaran dalam aturan hukum;

b. Dijatuhkan atau dikenakan oleh pihak yang berwenang atas nama perintah hukum terhadap pelanggar hukum;

c. Merupakan suatu nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

d. Perwujudan pencelaan terhadap pelanggar.28

3. menurut H.L.A Hart, pidana merupakan salah satu unsur yang essensial di dalam hukum pidana. Pidana itu harus:

a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan;

b. Dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana;

c. Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum;

d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana;

e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.29

28Muhammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), h. 19.

29Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1992), h. 22.

4. Menurut Van Hammel, pidana (straf) adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuawaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melnanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.30

5. Roeslan Saleh mengatakan bahwa Pidana adalah “reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa dengan sengaja diterapkan kepada si pembuat delik itu.31

6. Menurut Sudarto, pidana adalah sebagai nestapa yang dikenakan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang-undang, sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.32

7. Simons mendefinisikan pidana sebagai suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggar terhadap suatu norma yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seorang yang bersalah.33

Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas mengenai pidana, tidak dapat dipungkiri bahwasanya nestapa atau penderitaan itu merupakan suatu unsur yang memang ada dalam suatu pidana.34 Dalam pidana terkandung unsur penderitaan tidaklah disangkal. Penderitaan dalam konteks membebaskan harus dilihat sebagai

30P.A.F Lamintang, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung: Binacipta, 1987), h. 17.

31Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), h. 5.

32 Marlina, SH., M.Hum., Hukum Penitensier, (Bandung: PT Refika Aditama, 2016), h.

19.

33P.A.F Lamintang, Op. Cit., h. 35.

34Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Op. Cit., h. 6.

obat untuk dibebaskan dari dosa dan kesalahan. Jadi penderitaan sebagai akibat pidana merupakan kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberi kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan. 35

Masalah penetapan/pemberian pidana (straftoemeting) bukanlah masalah yang mudah. Perkiraan ini dapat dimengerti, karena hakim mempunyai kebebasan untuk menetapkan jenis pidana, cara pelaksanaan pidana dan tinggi rendahnya pidana. Mengenai tinggi rendahnya pidana ini, hakim dapat bergerak antara minimum pidana yang umum yang berlaku untuk tiap-tiap delik. Namun kebebasan ini tidak berarti bahwa Hakim boleh menjatuhkan pidana menurut seleranya sendiri, tanpa ukuran tertentu. Dalam keputusan keputusan Hakim harus terbaca proses pemikiran yang dapat diikuti oleh orang lain, sehingga wajar apabila diharapkan bahwa dalam pemebrian pidana ini pun proses pemikirannya harus dapat diikuti oleh orang lain pula, khususnya oleh terdakwa.36

Dalam menetapkan pidana, harus difahami benar apa makna kejahatan, penjahat (pembuat) dan pidana. Tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa pidana itu harus setimpal dengan berat dan sifat kejahatan. Leo Polak dalam bukunya De Zin der Vergelding (Makna dari Pembalasan) menyebutkan atara lain, bahwa satu-satunya problema dasar dari hukum pidana, ialah makna, tujuan, dan ukuran dari penderitaan. Pidana yang patut untuk diterima oleh seseorang, tetap merupakan problema yang tidak terpecahkan.37

35Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, (Malang: Averroes Press, 2002), h. 25.

36Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: alumni, 1986), h. 78.

37Ibid., h. 79.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Karya ilmiah ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang memiliki kecenderungan dalam mencitrakan hukum sebagai disiplin preskriptif di mana hanya melihat hukum dari sudut pandang norma-normanya saja, yang tentunya bersifat preskriptif. Dimana tema-tema penelitiannya mencakup :38

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum;

2. Penelitian terhadap sistematika hukum;

3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi Vertical dan horizontal;

4. Perbandingan hukum; dan 5. Sejarah hukum.

Nama lain dari penelitian hukum Normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen.

Disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.

Sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.Penelitian perpustakaan demikian dapat dikatakan pula sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan).39

38Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h. 14.

39 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 13-14.

Karya ilmiah ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.40Ranuhandoko dalam Mukti Fajar N.D. dan Yulianto Achmad mengemukakan, penelitian hukum normatif41 selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistemnorma42yang digunakan untuk memberikan "justifikasi" tentang suatu peristiwa hukum, sehingga penelitian hukum normatif menjadikan sistem norma sebagai pusat kajiannya. Sistem norma dalam arti yang sederhana adalah sistem kaidah atau aturan.43

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang suatu hal yang ada di suatu tempat tertentu serta untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.44

Penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (Deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada,

40Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 13.

41Penelitian hukum normatif meneliti kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait dengan suatu peristiwa hukum. Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah sesuatu peristiwa sudah benar atausalah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut hukum. Lihat Mukti Fajar N.D. dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),h.36.

42Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran). Lihat ibid., h.

34. 43

Ibid., h. 36.

44Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press),1986), h. 137.

atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.Pada penelitian hukum deskriptif, peneliti yang melakukannya harus menggunakan teori atau hipotesis.45

3. Sumber Data

Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder yang meliputi dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, dll.

Data Sekunder adalah data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.Data ini dapat ditemukan dengan cepat.Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder adalah literature, artikel, jurnal serta situs di internet yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.46

Penelitian Hukum Doktrinal pada umumnya menerima bahwa data dasar yang diperlukan adalah data yang hanya mengenal data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.47

a. Bahan Hukum Primer (primary law material)

Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatn mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen hukum, dan putusan hakim).

45Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. 1 (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), h. 52.

46 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Cetakan ke 8 (Bandung:

Alfabeta, 2009), h. 137.

47Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan metodologi Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press, 2009), h. 127.

b. Bahan Hukum Sekunder (secondary law material)

Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, dan media cetak, atau elektronik).

c. Bahan Hukum Tertier (tertiary law material)

Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (rancangan undang-undang, kamus hukum, dan ensiklopedia).48

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah melalui studi pustaka (Library Research).49 Studi pustaka merupakan usha-usaha yang dilakukan oleh penulis untuk mendapatkan berbagai macam informasi, sesuai dengan topik yang sedang diteliti dengan cara mencari berbagai informasi yang bersumber dari berbagai buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, dan sumber lainnya baik secara tertulis maupun dari media elektronik. Studi pustaka ini berguna untuk menjelaskan variabel yang menjadi topik dalam suatu penelitian.

48Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. 1,(Bandung: PT Citra Aditya bakti,2004), h. 82.

49Studi pustaka (studi dokumen) merupakan suatu alat pengumpulan data yang

dilakukan melalui data tertulis dengan menggunakan “content analysis”. R. Holsti dalam Soerjono Soekanto menyebutkan: ” … any technique for making inferences by objectively and systematically identifying specified characteristics of massages”. Lihatibid., h. 21-22.

Secara singkat studi kepustakaan membantu peneliti dalam berbagai keperluan, misalnya:50

a. Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan;

b. Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan;

c. Sebagai sumber data sekunder;

d. Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya;

e. Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan;

f. Memperkaya ide-ide baru;

g. Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasilnya.

Penelitian studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan suatu landasan dalam menganalisa data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang validitasnya terjamin sehingga akan diperoleh suatu kesimpulan yang relevan dari pokok bahasan. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi dokumen terkait dengan topik penulisan.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan merupakan suatu langkah yang berfungsi untuk menyimpulkan hasil penelitian. Penelitian ini menggunakan metode yuridis

50Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011) h. 112-113

normatif secara kualitatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam perarturan perundang-undangan dan putusanpengadilan serta norma hukum yang ada di dalam masyarakat.51

Metode ini dapat dilakukan dengan beberapa langkah yaitu yang pertama, menginventarisir dan mengidentifikasi bahan hukum primer,sekunder dan tersier yang relevan. Kedua, melakukan sistematisasi keseluruhan bahan hukum. Asas-asas hukum, teori-teori, konsep-konsep, dan bahan rujukan lainnya dengan cara melakukan seleksi bahan hukum kemudian melakukan klasifikasi bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian secara sistematis yang dilakukan secara logis dengan menghubungkan dan mengaitkan antar bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lainnya. Ketiga, analisis bahan yang telah dikumpulkan dilakukan menurut cara-cara analisis dan penafsiran gramatikal secara sistematis dimana interpretasi dilakukan dengan menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan undang-undang lain secara logis dan sistematis.52 Keempat, hasil penelitian yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Kelima, penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif yaitu pemikiran dimulai dari hal yang umum kepada hal yang khusus.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (Lima) bab yang terdiri dari : BAB I : Pendahuluan

51Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Garfika, 2009), h. 105.

52Hadid Muhjaj dan Nunuk Nuswardani, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, (Yogjakarta : Genta Publishing, 2012), h.163

Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang penulisan skripsi dengan judul “Perbandingan Ketentuan Pidana mati menurut Hukum Pidana di Indonesia dan Hukum Islam”, permasalahan dalam perbandingan ketentuan pidana mati menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang membahas Hukum Pidana, Tindak Pidana, dan pengertian Pidana, kemudian metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II :Tindak pidana yang diancam dengan Pidana Mati menurut ketentuan hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam

Bab ini memberikan uraian mengenai Pengaturan mengenai Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati menurut Hukum Pidana Indonesia di dalam KUHP, di luar KUHP serta dalam Rancangan KUHP Nasional dan juga yang diatur dalam Hukum Islam.

BAB III : Pengaturan ketentuan Pelaksanaan Pidana Mati di dalam Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam

Bab ini akan membahas mengenai pengaturan ketentuan pelaksanaan pidana mati yang diatur di dalam Hukum Positif Indonesia dan hukum Islam.

kemudian diuraikan mengenai prosedur pelaksanaan pidana mati menurut

kemudian diuraikan mengenai prosedur pelaksanaan pidana mati menurut

Dokumen terkait