• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINDAK PIDANA YANG DIANCAM DENGAN PIDANA MATI DALAM

B. Pengaturan ketentuan pelaksanaan Pidana Mati

1) Sanksi pidana rajam

Sanksi pidana rajam dikenakan kepada pelaku tindak pidana zina yang muhsan (sudah pernah menikah). Rasulullah SAW. Menjelaskan melalui hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Ubadah bin Samit:98

Dari „Ubadah bin Samit, ia berkata, “Rasulullah SAW. bersabda:

„ambillah dariku, ambillah dariku. Allah telah menjadikan para perempuan had: janda dan duda (muhsan) yang berzina harus dicambuk seratus kali dan dilempari dengan batu (rajam), perawan dengan perjaka yang berzina harus dicambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun‟.

“(H.R Abu Dawud) Shahih: Muslim

Abdurrahman Al-Maliki dan Ahmad Ad-Da‟ur menyebutkan bahwa mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat dan tabi‟in99maupun ulama-ulama

98Muhammad Nashiruddun Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud, Buku 3,(Jakarta:

Pustaka Azzam, 2006), h. 100-101.

99Tabiin artinya orang-orang yang mengikut/para pengikut.Tabi‟in adalah generasi Islam yang pernah bertemu dengan generasi sahabat Nabi Muhammad SAW.

terpandang menyatakan bahwa pezina muhsan di-rajam hingga mati, sebagaimana Rasulullah SAW.telah merajam Ma‟iz. Kata az-zaniyyah dan az-zaniy yang disebutkan di dalam Al-Qur‟an Surat an-Nur ayat 2 termasuk lafaz umum, yang mencakup muhsan dan gahiru muhsan.hal ini juga didasarkan kepada fakta bahwa Rasulullah SAW. telah merajam Ma‟iz setelah ditanya tentang ke-muhsan-annya, beliau juga merajam Ghamidiyyah dan yang lainnya yang tersebut di dalm hadits-hadits shahih.100

a) Pengertian rajam

Rajam adalah membunuh orang yang berzina dengan cara melemparinya dengan batu dan yang sejenis batu. Dalil rajam, sebagaimana yang sudah dijelaskan, adalah sabda dan fiil Rasulullah SAW, dengan demikian rajam adalah sunnahqauliyyauh (perkataan) dan fi‟liyyah (perbuatan) pada waktu yang sama.101

Rajam adalah hukuman yang diakui seluruh fukaha kecuali kelompok Azariqah dari golongan Khawarij.Mereka tidak menerima Hadits jika tidak mencapai batas mutawatir.Menurut mereka, hukuman bagi orang muhsan dang hair muhsan adalah dera.Dalilnya adalah firman Allah SWT. Yang artinya:

“pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali…” (Q.S an-Nur: 2)

100Abdurrahman al-Maliki dan Ahmad Ad Da‟ur, Sistem sanksi dan hukum hukum pembuktian dalam islam, (Bogor: pustaka thariqul izzah, 2004), h. 29-30

101 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam III,(Beirut: Kitab Al-Arab), h. 182

b) Tata cara pelaksanaan rajam

Amir Syarifuddin102 menyatakan bahwa, pelaksanaan eksekusi pelaku perzinaan baik dalam bentuk rajam atau dera dilakukan oleh hakim atau petugas yang ditentukan secara terbuka tanpa diberi rasa kasihan, agar orang lain menyaksikan dan merasa takut untuk melakukan kejahatan yang sama. Hal ini didasarkan firman Allah SWT dalam Surat an-Nur ayat 2.

Menurut Imam Syafi‟I dalam Husein Abdul hamid,103 hukuman laki-laki dan perempuan yang berzina dan sebelumnya pernah menikah adalah dilempari batu hingga mati (rajam), kemudian keduanya dimandikan dan disholatkan lalu dikuburkan. Pelaksanaan hukuman dera ataupun rajam minimal harus dihadiri oleh empat orang, berdasarkan firman Allah SWT dalam Surat an-Nur ayat 2 yang artinya :

“…dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oelh sekumpulan dari orang-orang yang beriman.” (Q.S. an-Nur:2)

Abdul Qadir audah104 menyebutkan bahwa, seorang laki-laki di-rajam dengan cara berdiri tanpa diikat dengan apapun, tanpa dimasukkan ke dalam lubang, tanpa dipegang, atau dibelenggu, ini berlaku dalam tindak pidana zina yang ditetapkan berdasarkan bukti maupun pengakuan. Rasulullah SAW tidak memasukkan Ma‟iz, Juhainiyah, ataupun dua orang Yahudi ke dalam lubang. Abu Sa‟id dalam Abdul Qadir Audah menyebutkan: “ketika Rasulullah memerintahkan untuk me-rajam Ma‟iz, kami berangkat kami berangkat ke baqi‟. Demi Allah,

102 Amir Syarifuddin, Garis-Garis besar fiqh, (Bogor:Kencana), h.283

103 Husein Abdul Hamid, Op.Cit., h. 328

104 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Islam IV, Op.Cit., h. 234

kami tidak memasukkannya ke dalam lubang dan tidak mengikatnya, tetapi ia berdiri menghadap kami.”

Selanjutnya disebutkan bahwa, jika orang yang di-rajam lari dan hukuman ditetapkan berdasarkan pengakuannya, ia tidak boleh dikejar dan rajam harus dihentikan. Jika ia dihukum rajam berdasarkan kesaksian, ia harus diikuti dan terus di-rajam sampai mati. Jika orang yang di-rajamberdasarkan kesaksian tidak sabar dan tidak mungkin menjalani hukuman kecuali diikat, ia harus diikat.105

Selanjutnya Abdul Qadir Audah menyebutkan bahwa, jika orang yang di-rajam perempuan, Imam Abu Hanifah dan Asy-Syafi‟I membolehkan memasukkan pelaku ke dalam lubang sampai ke dada karena hal itu bisa menutupi auratnya. Rasulullah SAW bersabda dari Abu Barkah:106

“Dari Abu Barkah, bahwa Nabi SAW. telah me-rajam seorang wanita (yang telah berzina) dengan membenamkannya hingga sebatas dada.”

(shahih)

Sebagian fuqaha mazhab Hanbali juga berpendapat demikian, akan tetapi pendapat yang kuat dalam Mazhab Hanbali adalah tidak memasukkan ke dalam lubang, demikian juga pendapat ulama Mazhab Maliki.107

Imam Abu Hanifah dalam Abdul Qadir Audah berpendapat bahwa, memasukkan terpidana perempuan ke dalam lubang dibolehkan dalam kondisi apapun.Ulama Syafi‟iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa memasukkan

105Ibid.

106Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud Buku 3, Op.Cit., h. 116

107Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Islam IV, Op.Cit., h. 234

terpidana ke dalam lubang hanya boleh dilakukan kalau hukuman hududditetapkan berdasar bukti.Jika hukuman hudud ditetapkan berdasar pengakuan, pelaku tidak dimasukkan ke dalam lubang. Alasannya, adanya lubang akan menghalanginya untuk lari, padahal lari dianggap sebagai penarikan pengakuan dan penarikan pengakuan menggugurkan hukuman hudud. Jika perempuan di-rajam tanpa dimasukkan ke dalam lubang, pakaiannya harus diikat agar tidak terbuka dan lebih menutupi badannya.108

Abu Bakr Jabir Al-Jazairi109 menyebutkan bahwa, cara melaksanakan hukuman rajam bagi pezina adalah dengan cara digali lubang ke dalam tanah sampai dengan dadanya, lalu ia dimasukkan ke dalam lubang itu, dan dilempari sampai mati di hadapan imam atau wakilnya dan jemaah kaum muslimin yang minimal berjumlah empat orang.

Menurut Muhammad bin Ismail Al-amir Ash-Shan‟ani, jika terpidana adalah perempuan maka rajam dilakukandan pakaiannya diikat kuat-kuat agar aurat tidak tersingkap setelah dilempari dengan batu. Selanjutnya disebutkan bahwa para ulama sepakat bahwa wanita yang akan di-rajam dengan posisi duduk sedangkan laki-laki berdiri, kecuali menurut Imam Malik bahwa laki-laki juga didudukkan. Ada juga yang berpendapat bahwa masalah ini diserahkan kepada penguasa untuk menentukan mana yang terbaik bagi terpidana.110 Hal ini

108Ibid.

109 Abu Bakr Jabir Al-Jazairi, Minhaj al-Muslim, diterjemahkan oleh Hasanudin dan Didin Hafidhuddin, Pedoman Hidup Muslim, (Bogor: Litera AntarNusa, 1996), h. 793.

110 Muhammad bin Isma‟il Amir Ash-Shan‟ani, Subul As Salam Syarh Bulughul Al-Maram, (Jakarta: Darus Sunnah), h. 113.

didasarkan kepada hadits yang dikenal dengan hadits wanita Juhaiah, sebagai berikut:111

Dari Imran bin Husain, bahwa seorang wanita dari Juhainah (dalam riwayat lain dari daerah Aban) datang kepada Nabi SAW dan mengatakan bahwa ia telah berzina dan mengaku bahwa ia tengah hamil. Maka Nabi SAW segera memanggil wali wanita tersebut dan beliau berkata padanya,

“perlakukan ia dengan baik, jika ia telah bersalin (melahirkan), maka bawalah ia kembali kepadaku.”

Dan ketika wanita itu telah melahirkan maka ia kembali didatangkan kepada Rasulullah, lalu beliau memberi sebuah perintah, maka wanita itu ditutupi pakaiannya (agar tidak tersingkap auratnya), kemudian beliau memerintahkan lagi, dan wanita itupun di-rajam. Lalu beliau memerintahkan lagi, maka khalayak pun menshalatinya.

Umar berkata, “Wahai Rasulullah, apakah engkau menshalatinya padahal ia telah berzina?”Rasulullah bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam genggaman-Nya, wanita itu telah bertobat.Jika taubatnya ia bagikan kepada tujuhn puluh penduduk Madinah, tentu masih akan

Menurut Abdul Qadir Audah, disunahkan mengelilingi orang yang dirajam lalu melemparinya dari segala arah. Sebagian berpendapat bahwa para pelempar disunahkan membuat tiga barisan, seperti barisan shalat.Jika salah satu barisan melempar, barisan lain menepi.Dalilnya adalah ucapan Ali ketika merajam Syarahah al-Hamzaniyah di mana banyak orang mengelilingi dan membawa batu.

Ali berkata kepada mereka kepada mereka, “bukan begitu caranya merajam karena (dengan cara seperti ini) sebagian dari kalian akan mengenai sebagian yang lain.

111Nashiruddin Al-Albani, Shahih Sunan Abu Daud Buku 3, Op.Cit.,h. 113.

Berbarislah seperti barisan dalam shalat, (yaitu) satu baris di belakang baris yang lain.112

Selanjutnya disebutkan, setiap orang yang merajam diminta untuk melempar kea rah yang tepat dan menghindari daerah muka.Tempat berdiri orang yang melempar pun diutamakan tidak jauh dari orang yang di-rajam hingga tidak terjadi salah lempar.Semua badan orang yang di-rajam adalah untuk di-rajam, tetapi hendaknya menghindari muka.Rajam adalah hukuman hudud yang mematikan, karenanya, segala sesuatu yang mempercepat kematian terpidana dinilai lebih baik.

c) Waktu pelaksanaan rajam

Hukuman hudud berupa rajam boleh dilaksanakan kapan saja, baik pada musim panas, musim dingin, pada saat terpidana sehat maupun sakit. Alasannya, rajam iadalah hukumanhudud yang mematikan, jadi tidak ada gunanya menghindari hal yang mematikan. Pelaksanaan hukuman hudud tidak boleh dilakukan terhadap perempuan hamil sampai ia melahirkan karena rajam akan mengakibatkan kematian sang anak: hukum tidak dibuat untuk memutus kehidupan.113

d) Tempat dilaksanakannya hukuman rajam

Para fukaha sepakat bahwa hukuman hudud tidak boleh dilakukan di masjid.Pelaksanaan hukuman hudud sebaiknya dilakukan di tempat yang luas dan

112Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Islam IV, Op.Cit.,h. 235.

113Ibid.,h. 236.

jauh dari pemukiman agar orang yang tidak di-rajam tidak terluka akibat salah lempar.114

e) Kewajiban seorang pemimpin (imam) untuk menyaksikan hukuman rajam

Menurut Muhammad bin Ismail Al-Amir Ash-Shan‟ani, sabda Nabi SAW. “bawalah dia dan nrajamlah” yang merupakan bagian dari hadits Ma‟iz menunjukkan bahwa Nabi SAW tidak menghadiri proses hukum rajam tersebut, serta tidak diwajibkan bagi seorang imam (pemimpin) untuk melakukan hukum rajam pertama terhadap pezina yang mengakui perbuatannya. Inilah yang menjadi pendapat Asy-Syafi‟I dan Al-Hadi, tapi yang utama bahwa kehadiran Imam dan ikut serta dalam memberikan hukum sifatnya sunnah dan tidak mewajibkan sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Al-Baihaqi dari Ali r.a yang berkata,

“setiap anak yang terbukti berzina dengan ibunya atau berdasarkan pengakuan;

maka imam (pemimpin) adalah orang yang pertama kali melakukan hukum rajam kepadanya, tapi jika ditetapkan berdasarkan bukti; maka yang pertama kali merajam adalah para saksi.

f) Alat yang digunakan untuk merajam

Orang yang di-rajam harus dengan batuyang ukurannya sedang maupun sesuatu yang mirip batu, seperti tanah liat atau tembikar.Hadits tentang Ma‟iz menyebutkan bahwa ia dilempari dengan tulang, tanah liat, dan tembikar.

Terpidana tidak boleh dilempar dengan kerikil yang ringan agar tidak terlalu lama

114Ibid.

mengalami penyiksaan.Begitu juga melempar dengan batu yang besar agar tidak menghancurkan terpidana secara langsung sehingga dampak untuk membuat jera tidak tercapai, yang terbaik adalah batu yang ukurannya segenggam tangan.115

g) Perlakuan terhadap jenazah

Jika terpidana sudah mati, mayatnya diserahkan kepada keluarganya dan mereka harus memperlakukan mayat tersebut seperti mayat lainnya, misalnya memandikan,mengafani, menyalatkan, dan menguburkan. Rasulullah SAW.

memerintahkan hal tersebut setelah merajam Ma‟iz, ketika beliau ditanya apa yang perlu dilakukan terrhadap mayat Ma‟iz, beliau bersabda: “perlakukan ia seperti kalian memperlakukan orang mati kalian”.116

Dokumen terkait