• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINDAK PIDANA YANG DIANCAM DENGAN PIDANA MATI DALAM

B. Tindak Pidana (Jarimah) yang diancam dengan Pidana

Istilah tindak pidana adalah sebagai terjemahan dari istilah bahasa Belanda yaitu “Strafbaar Feit” atau “Delict”. Di dalam bahasa Indonesia sebagai terjemahan dari straafbar feitatau delict terdapat beberapa istilah seperti :

a. Tindak pidana b. Perbuatan pidana c. Peristiwa pidana d. Pelanggaran pidana

e. Perbuatan yang boleh dihukum f. Perbuatan yang dapat dihukum

21Eddy O.S. hiariej, Prinsip-prinsip Hukum Pidana, Op.Cit. h. 17.

Adapun beberapa defenisi tindak pidana menurut para sarjana dapat dilihat diantaranya sebagai berikut

1. Menurut Moeljatno, Tindak Pidana atau Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barangsiapa yang melanggar larangan tersebut.22

2. Menurut Simons dalam Moeljatno,23 bahwa Strafbaar feitadalah kelakuan (Handeling) yang diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.

3. Menurut Van Hamel,24Strafbaar Feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging) yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (strafwaardig) dan dilakukan dengan kesalahan.

4. R. Tresna mendefenisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.25

22Prof. Moeljatno, S.H., Op.Cit, h.61

23Ibid.

24Ibid.

25R. Tresna, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Tiara Limitet,1959), h. 27.

Bila kita lihat dalam definisi mengenai Tindak Pidana menurut beberapa sarjana di atas, maka dapat kita lihat bahwa suatu tindakan dapat dikatakan sebagai suatu tindak pidana jika memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :

1. Adanya suatu perbuatan subjek hukum

2. Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum (wederrechtelijk) 3. Perbuatan tersebut diancamkan dengan pidana dalam aturan

perundang-undangan

4. Perbuatan tersebut dilakukan oleh subjek hukum yang memiliki kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaar)

5. Perbuatan tersebut terjadi karena adanya kesalahan (schuld) si pembuat.

c) PIDANA

Pidana berasal dari kata straf (Belanda), yang pada dasarnya dapat dikatakan sebagai suatu penderitaan (nestapa) yang sengaja dikenakan/dijatuhkan kepada seseorang yang telah terbukti bersalah melakukan suatu tindak pidana.26

1. Menurut Andi Hamzah dalam Mohammad Ekaputra dan Abul Khair,27 ahli hukum Indonesia membedakan istilah hukuman dengan pidana, yang dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah Straf. Istilah hukuman adalah istilah umum yang dipergunakan untuk semua jenis sanksi baik dalam ranah hukum

26Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Sistem Pidana di dalam KUHP dan Pengaturannya Menurut Konsep KUHP Baru,(Medan: USU Press, 2010), h. 1.

27Ibid.

perdata, administratif, disiplin dan pidana, sedangkan istilah pidana diartikan secara sempit yaitu hanya sanksi yang berkaitan dengan hukum pidana.

2. Alf Ross mendefinisikan pidana sebagai tanggung jawab sosial yang:

a. Terdapat pelanggaran dalam aturan hukum;

b. Dijatuhkan atau dikenakan oleh pihak yang berwenang atas nama perintah hukum terhadap pelanggar hukum;

c. Merupakan suatu nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan;

d. Perwujudan pencelaan terhadap pelanggar.28

3. menurut H.L.A Hart, pidana merupakan salah satu unsur yang essensial di dalam hukum pidana. Pidana itu harus:

a. Mengandung penderitaan atau konsekuensi-konsekuensi lain yang tidak menyenangkan;

b. Dikenakan pada seseorang yang benar-benar atau disangka benar melakukan tindak pidana;

c. Dikenakan berhubung suatu tindak pidana yang melanggar ketentuan hukum;

d. Dilakukan dengan sengaja oleh orang selain pelaku tindak pidana;

e. Dijatuhkan dan dilaksanakan oleh penguasa sesuai dengan ketentuan suatu sistem hukum yang dilanggar oleh tindak pidana tersebut.29

28Muhammad Taufik Makarao, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Studi tentang Bentuk-Bentuk Pidana Khususnya Pidana Cambuk Sebagai Suatu Bentuk Pemidanaan, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005), h. 19.

29Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, (Bandung: Alumni, 1992), h. 22.

4. Menurut Van Hammel, pidana (straf) adalah suatu penderitaan yang bersifat khusus yang telah dijatuhkan oleh kekuawaan yang berwenang untuk menjatuhkan pidana atas nama negara sebagai penanggung jawab dari ketertiban hukum umum bagi seorang pelanggar, yakni semata-mata karena orang tersebut telah melnanggar suatu peraturan hukum yang harus ditegakkan oleh negara.30

5. Roeslan Saleh mengatakan bahwa Pidana adalah “reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa dengan sengaja diterapkan kepada si pembuat delik itu.31

6. Menurut Sudarto, pidana adalah sebagai nestapa yang dikenakan oleh negara kepada seseorang yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang-undang, sengaja agar dirasakan sebagai nestapa.32

7. Simons mendefinisikan pidana sebagai suatu penderitaan yang oleh undang-undang pidana telah dikaitkan dengan pelanggar terhadap suatu norma yang dengan suatu putusan hakim telah dijatuhkan bagi seorang yang bersalah.33

Berdasarkan pendapat-pendapat ahli di atas mengenai pidana, tidak dapat dipungkiri bahwasanya nestapa atau penderitaan itu merupakan suatu unsur yang memang ada dalam suatu pidana.34 Dalam pidana terkandung unsur penderitaan tidaklah disangkal. Penderitaan dalam konteks membebaskan harus dilihat sebagai

30P.A.F Lamintang, Hukum Pidana I: Hukum Pidana Material Bagian Umum, (Bandung: Binacipta, 1987), h. 17.

31Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1978), h. 5.

32 Marlina, SH., M.Hum., Hukum Penitensier, (Bandung: PT Refika Aditama, 2016), h.

19.

33P.A.F Lamintang, Op. Cit., h. 35.

34Mohammad Ekaputra dan Abul Khair, Op. Cit., h. 6.

obat untuk dibebaskan dari dosa dan kesalahan. Jadi penderitaan sebagai akibat pidana merupakan kunci jalan keluar yang membebaskan dan yang memberi kemungkinan bertobat dengan penuh keyakinan. 35

Masalah penetapan/pemberian pidana (straftoemeting) bukanlah masalah yang mudah. Perkiraan ini dapat dimengerti, karena hakim mempunyai kebebasan untuk menetapkan jenis pidana, cara pelaksanaan pidana dan tinggi rendahnya pidana. Mengenai tinggi rendahnya pidana ini, hakim dapat bergerak antara minimum pidana yang umum yang berlaku untuk tiap-tiap delik. Namun kebebasan ini tidak berarti bahwa Hakim boleh menjatuhkan pidana menurut seleranya sendiri, tanpa ukuran tertentu. Dalam keputusan keputusan Hakim harus terbaca proses pemikiran yang dapat diikuti oleh orang lain, sehingga wajar apabila diharapkan bahwa dalam pemebrian pidana ini pun proses pemikirannya harus dapat diikuti oleh orang lain pula, khususnya oleh terdakwa.36

Dalam menetapkan pidana, harus difahami benar apa makna kejahatan, penjahat (pembuat) dan pidana. Tidaklah cukup untuk mengatakan bahwa pidana itu harus setimpal dengan berat dan sifat kejahatan. Leo Polak dalam bukunya De Zin der Vergelding (Makna dari Pembalasan) menyebutkan atara lain, bahwa satu-satunya problema dasar dari hukum pidana, ialah makna, tujuan, dan ukuran dari penderitaan. Pidana yang patut untuk diterima oleh seseorang, tetap merupakan problema yang tidak terpecahkan.37

35Muhari Agus Santoso, Paradigma Baru Hukum Pidana, (Malang: Averroes Press, 2002), h. 25.

36Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: alumni, 1986), h. 78.

37Ibid., h. 79.

F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Karya ilmiah ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang memiliki kecenderungan dalam mencitrakan hukum sebagai disiplin preskriptif di mana hanya melihat hukum dari sudut pandang norma-normanya saja, yang tentunya bersifat preskriptif. Dimana tema-tema penelitiannya mencakup :38

1. Penelitian terhadap asas-asas hukum;

2. Penelitian terhadap sistematika hukum;

3. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi Vertical dan horizontal;

4. Perbandingan hukum; dan 5. Sejarah hukum.

Nama lain dari penelitian hukum Normatif adalah penelitian hukum doktriner, juga disebut sebagai penelitian perpustakaan atau studi dokumen.

Disebut penelitian hukum doktriner, karena penelitian ini dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain.

Sebagai penelitian perpustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada di perpustakaan.Penelitian perpustakaan demikian dapat dikatakan pula sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan).39

38Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2001), h. 14.

39 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), h. 13-14.

Karya ilmiah ini merupakan penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder.40Ranuhandoko dalam Mukti Fajar N.D. dan Yulianto Achmad mengemukakan, penelitian hukum normatif41 selalu mengambil isu dari hukum sebagai sistemnorma42yang digunakan untuk memberikan "justifikasi" tentang suatu peristiwa hukum, sehingga penelitian hukum normatif menjadikan sistem norma sebagai pusat kajiannya. Sistem norma dalam arti yang sederhana adalah sistem kaidah atau aturan.43

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif. Penelitian yang bersifat deskriptif adalah suatu penelitian yang bertujuan untuk melukiskan tentang suatu hal yang ada di suatu tempat tertentu serta untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.44

Penelitian hukum deskriptif bersifat pemaparan dan bertujuan untuk memperoleh gambaran (Deskripsi) lengkap tentang keadaan hukum yang berlaku di tempat tertentu dan pada saat tertentu, atau mengenai gejala yuridis yang ada,

40Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), h. 13.

41Penelitian hukum normatif meneliti kaidah atau aturan hukum sebagai suatu bangunan sistem yang terkait dengan suatu peristiwa hukum. Penelitian ini dilakukan dengan maksud untuk memberikan argumentasi hukum sebagai dasar penentu apakah sesuatu peristiwa sudah benar atausalah serta bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut hukum. Lihat Mukti Fajar N.D. dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010),h.36.

42Sistem norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran). Lihat ibid., h.

34. 43

Ibid., h. 36.

44Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press),1986), h. 137.

atau peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam masyarakat.Pada penelitian hukum deskriptif, peneliti yang melakukannya harus menggunakan teori atau hipotesis.45

3. Sumber Data

Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah berupa data sekunder yang meliputi dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, dll.

Data Sekunder adalah data yang telah dikumpulkan untuk maksud selain menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi.Data ini dapat ditemukan dengan cepat.Dalam penelitian ini yang menjadi sumber data sekunder adalah literature, artikel, jurnal serta situs di internet yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.46

Penelitian Hukum Doktrinal pada umumnya menerima bahwa data dasar yang diperlukan adalah data yang hanya mengenal data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier.47

a. Bahan Hukum Primer (primary law material)

Yaitu bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara umum (perundang-undangan) atau mempunyai kekuatn mengikat bagi pihak-pihak berkepentingan (kontrak, konvensi, dokumen hukum, dan putusan hakim).

45Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. 1 (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), h. 52.

46 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Cetakan ke 8 (Bandung:

Alfabeta, 2009), h. 137.

47Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan metodologi Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press, 2009), h. 127.

b. Bahan Hukum Sekunder (secondary law material)

Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer (buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan hukum, dan media cetak, atau elektronik).

c. Bahan Hukum Tertier (tertiary law material)

Yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder (rancangan undang-undang, kamus hukum, dan ensiklopedia).48

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis lakukan adalah melalui studi pustaka (Library Research).49 Studi pustaka merupakan usha-usaha yang dilakukan oleh penulis untuk mendapatkan berbagai macam informasi, sesuai dengan topik yang sedang diteliti dengan cara mencari berbagai informasi yang bersumber dari berbagai buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, dan sumber lainnya baik secara tertulis maupun dari media elektronik. Studi pustaka ini berguna untuk menjelaskan variabel yang menjadi topik dalam suatu penelitian.

48Abdul Kadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet. 1,(Bandung: PT Citra Aditya bakti,2004), h. 82.

49Studi pustaka (studi dokumen) merupakan suatu alat pengumpulan data yang

dilakukan melalui data tertulis dengan menggunakan “content analysis”. R. Holsti dalam Soerjono Soekanto menyebutkan: ” … any technique for making inferences by objectively and systematically identifying specified characteristics of massages”. Lihatibid., h. 21-22.

Secara singkat studi kepustakaan membantu peneliti dalam berbagai keperluan, misalnya:50

a. Mendapatkan gambaran atau informasi tentang penelitian yang sejenis dan berkaitan dengan permasalahan;

b. Mendapatkan metode, teknik, atau cara pendekatan pemecahan permasalahan yang digunakan;

c. Sebagai sumber data sekunder;

d. Mengetahui historis dan perspektif dari permasalahan penelitiannya;

e. Mendapatkan informasi tentang cara evaluasi atau analisis data yang dapat digunakan;

f. Memperkaya ide-ide baru;

g. Mengetahui siapa saja peneliti lain di bidang yang sama dan siapa pemakai hasilnya.

Penelitian studi kepustakaan ini dilakukan untuk mendapatkan suatu landasan dalam menganalisa data-data yang diperoleh dari berbagai sumber yang validitasnya terjamin sehingga akan diperoleh suatu kesimpulan yang relevan dari pokok bahasan. Alat pengumpul data yang digunakan dalam penulisan ini adalah studi dokumen terkait dengan topik penulisan.

5. Analisis Data

Analisis data merupakan merupakan suatu langkah yang berfungsi untuk menyimpulkan hasil penelitian. Penelitian ini menggunakan metode yuridis

50Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011) h. 112-113

normatif secara kualitatif yaitu penelitian yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam perarturan perundang-undangan dan putusanpengadilan serta norma hukum yang ada di dalam masyarakat.51

Metode ini dapat dilakukan dengan beberapa langkah yaitu yang pertama, menginventarisir dan mengidentifikasi bahan hukum primer,sekunder dan tersier yang relevan. Kedua, melakukan sistematisasi keseluruhan bahan hukum. Asas-asas hukum, teori-teori, konsep-konsep, dan bahan rujukan lainnya dengan cara melakukan seleksi bahan hukum kemudian melakukan klasifikasi bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian secara sistematis yang dilakukan secara logis dengan menghubungkan dan mengaitkan antar bahan hukum yang satu dengan bahan hukum yang lainnya. Ketiga, analisis bahan yang telah dikumpulkan dilakukan menurut cara-cara analisis dan penafsiran gramatikal secara sistematis dimana interpretasi dilakukan dengan menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan undang-undang lain secara logis dan sistematis.52 Keempat, hasil penelitian yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Kelima, penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif yaitu pemikiran dimulai dari hal yang umum kepada hal yang khusus.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (Lima) bab yang terdiri dari : BAB I : Pendahuluan

51Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Garfika, 2009), h. 105.

52Hadid Muhjaj dan Nunuk Nuswardani, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, (Yogjakarta : Genta Publishing, 2012), h.163

Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang penulisan skripsi dengan judul “Perbandingan Ketentuan Pidana mati menurut Hukum Pidana di Indonesia dan Hukum Islam”, permasalahan dalam perbandingan ketentuan pidana mati menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang membahas Hukum Pidana, Tindak Pidana, dan pengertian Pidana, kemudian metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II :Tindak pidana yang diancam dengan Pidana Mati menurut ketentuan hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam

Bab ini memberikan uraian mengenai Pengaturan mengenai Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati menurut Hukum Pidana Indonesia di dalam KUHP, di luar KUHP serta dalam Rancangan KUHP Nasional dan juga yang diatur dalam Hukum Islam.

BAB III : Pengaturan ketentuan Pelaksanaan Pidana Mati di dalam Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam

Bab ini akan membahas mengenai pengaturan ketentuan pelaksanaan pidana mati yang diatur di dalam Hukum Positif Indonesia dan hukum Islam.

kemudian diuraikan mengenai prosedur pelaksanaan pidana mati menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam.

BAB IV : Perbandingan Ketentuan Pidana Mati Menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam

Bab ini akan menguraikan perbandingan ketentuan pidana mati dalam Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam dengan menguraikan

Persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan dalam ketentuan pidana mati menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Penutup pada bab ini berisikan kesimpulan dari pada hasil penulisan dan penjabaran mengenai perbandingan ketentuan pidana mati dalam Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam. Pada bab ini juga berisikan saran bagi semua pihak dalam hal pelaksanaan ketentuan pidana mati di Indonesia.

BAB II

TINDAK PIDANA YANG DIANCAM DENGAN PIDANA MATI DALAM KETENTUAN HUKUM POSITIF INDONESIA DAN HUKUM ISLAM

A. Pengaturan Mengenai Tindak Pidana yang diancam dengan Pidana Mati di dalam Hukum Pidana Indonesia

1. Menurut KUHP

Melalui UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang diterbitkan pada tanggal 26 Februari 1946, Undang-Undang Hukum Pidana Belanda yang berlaku di Indonesia diberlakukan di Indonesia. Ketentuan ini membuat aturan pada pasal peralihan yang menyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana yang bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia tidak berlaku, mengubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie menjadi Wetboek van Strafrecht atau KUHP, serta mengubah beberapa kata dan menghapus beberapa pasal dalam WvS. UU No. 1 Tahun 1946 ini mengakhiri peraturan hukum pidana pada masa pendudukan Jepang yang dimulai pada 8 Maret 1942. Undang-Undang ini mulanya hanya berlaku di Jawa dan Madura, melalui Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1946 tertanggal 8 Agustus 1946 KUHP mulai diberlakukan untuk daerah Provinsi Sumatera Utara.

KUHP Indonesia pasca kemerdekaan ini masih mencantumkan hukuman mati sebagaimana diatur dalam WvSI yakni kejahatan berat terhadap keamanan

KUHP Indonesia pasca kemerdekaan ini masih mencantumkan hukuman WvSI yakni kejahatan mati sebagaimana diatur dalam berat terhadap keamanan negara, pembunuhan, pencurian dan pemerasan dengan pemberatan, perampokan, serta pembajakan53, Macam-macam perbuatan yang diancam dengan pidana mati menurut KUHP akan diuraikan sebagai berikut :

a. Makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden

Istilah makar berasal dari kata aanslag (Belanda) yang menurut arti harfiah adalah penyerangan atau serangan.Makar dalam kamus politik adalah akal busuk; tipu muslihat, perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.

Mengenai istilah makar dalam KUHP sendiri dimulai penafsiran secara khusus yang dapat ditemui dalam pasal 87, yang berbunyi :

Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelakasanaan seperti dimaksud pasal 53.

Berdasarkan pasal 87 KUHP dapat disimpulkan bahwa unsur terpenting makar untuk melakukan suatu perbuatan adalah adanya niat dan permulaan pelaksanaan.

53 Notosoetardjo, Dokumen Konferensi Meja Bundar, (Jakarta: Penerbit Endang, 1956), h. 214.

Ancaman hukuman mati terhadap pelaku makar kepada pemerintah diatur di pasal 104 KUHP, yang berbunyi :

Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Dalam pasal 104 KUHP ini, maka suatu perbuatan dapat dipidana apabila ada permulaan pelaksana dengan maksud untuk membunuh presiden dan seterusnya.Dalam pembuktian nantinya, maka perbuatan itu harus dapat diukur sebagai tindakan permulaan pelaksanaan dengan maksud membunuh presiden dan seterusnya.Untuk mempermudah mendapatkan gambaran, maka perbuatan makar ini seperti percobaan untuk membunuh presiden, tapi berbeda dengan percobaan, cukup ada niat permulaan pelaksanaan, seseorang sudah dapat dimintai pertanggung jawaban pidana.

Sejumlah pakar menilai ketentuan yang diatur dalam pasal 140 dan pasal 110 ayat (1) dan ayat (2), khususnya pasal 110 ayat (1) dan ayat (2), perlu diberi perhatian besar karena tidak menutup kemungkinan ancaman pidana matinya

terlalu tinggi apabila dianalisis dari sisi kekuatan hukum pidana,54 dasar pertimbangannya adalah:

1. Tindakan makar dipandang telah terjadi (selesai atau smpurna) selagi ancaman pidana masih dalam kondisi diperingan 1/3, namun dalam pasal 104 KUHP justru menjadi pidana mati.

2. Pemufakatan sanksi tindak pidana dalam pasal 104 adalah pidana mati, padahal pemufakatan merupakan tindakan yang masih sangat jauh dari permulaan pelaksanaan, namun pidananya sama dengan apabila telah masuk dalam tahap permulaan pelaksanaan.

3. Menyediakan atau memudahkan konstruksi hukum pidana juga termasuk dalam persoalan penyertaan (deelneming) pada bagian pembantuan.

Pemidanaan untuk peran tersebut justeru diperingan 1/3, sedangkan tindak pidana yang diatur dalam pasal 104 pidananya sama dengan perbuatan pelakunya.

4. Terakhir, Presiden tentu layak mendapat perlakuan lebih dibandingkan rakyat biasa. Oleh karena itu, pasal 104 dan pasal-pasal lainnya dalam KUHP bisa saja menjadi perangkat hukum yang diorientasikan untuk kepentingan pihak yang yang sedang memgang kekuasaan (pemerintah), bukan kepentingan umum. Artinya, tindak pidana tampaknya lebih ditujukan untuk menyingkirkan lawan-lawan politik pihak yang sedang berkuasa

54 Rudy Satriyo Mukantardjo, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang RPP Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia, (Jakarta: BPHN Departemen Hukum dan HAM, 2004), h. 47-48.

sebagai upaya mempertahankan kekuasaaan. Tidak menutup kemungkinan penegakan hukum menjadi penghalang kehidupan demokrasi suatu negara.55

b. Perbuatan permusuhan terhadap Negara

Perbuatan ini diancam dengan pidana mati dalam pasal 111 ayat 1 dan 2 KUHP yang berbunyi :

Ayat 1

Barang siapa mengadakan hubungan dengan negara asing dengan maksud menggerakkannya untuk melakukan perbuatan permusuhan atau perang terhadap negara, memperkuat niat mereka, menjanjikan bantuan atau membantu mempersiapkan mereka untuk melakukan permufakatan atau perang terhadap negara, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 Tahun.

Ayat 2

Jika perbuatan permusuhan dilakukan atau terjadi perang, diancam dengan Pidana Mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

c. Memberi bantuan terhadap Negara musuh pada saat perang

Perbuatan ini diatur dalam Pasal 124 ayat (3) ke-1 dan ke-2, yang berbunyi:

55 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Tim Pakar Hukum Pidana,(Jakarta:BPHN Departemen Hukum Dan HAM RI, 2004), h. 9.

Ayat 3

pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun diajtuhkan jika si pembuat :

1. memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan atau merusakkan sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, suatu alat perhubungan, gudang persediaan perang, atau kas perang

1. memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan atau merusakkan sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, suatu alat perhubungan, gudang persediaan perang, atau kas perang

Dokumen terkait