• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I :PENDAHULUAN

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi menjadi 5 (Lima) bab yang terdiri dari : BAB I : Pendahuluan

51Zainudin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Garfika, 2009), h. 105.

52Hadid Muhjaj dan Nunuk Nuswardani, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, (Yogjakarta : Genta Publishing, 2012), h.163

Bab ini dimulai dengan mengemukakan apa yang menjadi latar belakang penulisan skripsi dengan judul “Perbandingan Ketentuan Pidana mati menurut Hukum Pidana di Indonesia dan Hukum Islam”, permasalahan dalam perbandingan ketentuan pidana mati menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka yang membahas Hukum Pidana, Tindak Pidana, dan pengertian Pidana, kemudian metode penulisan dan sistematika penulisan.

BAB II :Tindak pidana yang diancam dengan Pidana Mati menurut ketentuan hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam

Bab ini memberikan uraian mengenai Pengaturan mengenai Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati menurut Hukum Pidana Indonesia di dalam KUHP, di luar KUHP serta dalam Rancangan KUHP Nasional dan juga yang diatur dalam Hukum Islam.

BAB III : Pengaturan ketentuan Pelaksanaan Pidana Mati di dalam Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam

Bab ini akan membahas mengenai pengaturan ketentuan pelaksanaan pidana mati yang diatur di dalam Hukum Positif Indonesia dan hukum Islam.

kemudian diuraikan mengenai prosedur pelaksanaan pidana mati menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam.

BAB IV : Perbandingan Ketentuan Pidana Mati Menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam

Bab ini akan menguraikan perbandingan ketentuan pidana mati dalam Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam dengan menguraikan

Persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan dalam ketentuan pidana mati menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam

BAB V : Kesimpulan dan Saran

Penutup pada bab ini berisikan kesimpulan dari pada hasil penulisan dan penjabaran mengenai perbandingan ketentuan pidana mati dalam Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam. Pada bab ini juga berisikan saran bagi semua pihak dalam hal pelaksanaan ketentuan pidana mati di Indonesia.

BAB II

TINDAK PIDANA YANG DIANCAM DENGAN PIDANA MATI DALAM KETENTUAN HUKUM POSITIF INDONESIA DAN HUKUM ISLAM

A. Pengaturan Mengenai Tindak Pidana yang diancam dengan Pidana Mati di dalam Hukum Pidana Indonesia

1. Menurut KUHP

Melalui UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang diterbitkan pada tanggal 26 Februari 1946, Undang-Undang Hukum Pidana Belanda yang berlaku di Indonesia diberlakukan di Indonesia. Ketentuan ini membuat aturan pada pasal peralihan yang menyatakan bahwa semua peraturan hukum pidana yang bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia tidak berlaku, mengubah nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch-Indie menjadi Wetboek van Strafrecht atau KUHP, serta mengubah beberapa kata dan menghapus beberapa pasal dalam WvS. UU No. 1 Tahun 1946 ini mengakhiri peraturan hukum pidana pada masa pendudukan Jepang yang dimulai pada 8 Maret 1942. Undang-Undang ini mulanya hanya berlaku di Jawa dan Madura, melalui Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1946 tertanggal 8 Agustus 1946 KUHP mulai diberlakukan untuk daerah Provinsi Sumatera Utara.

KUHP Indonesia pasca kemerdekaan ini masih mencantumkan hukuman mati sebagaimana diatur dalam WvSI yakni kejahatan berat terhadap keamanan

KUHP Indonesia pasca kemerdekaan ini masih mencantumkan hukuman WvSI yakni kejahatan mati sebagaimana diatur dalam berat terhadap keamanan negara, pembunuhan, pencurian dan pemerasan dengan pemberatan, perampokan, serta pembajakan53, Macam-macam perbuatan yang diancam dengan pidana mati menurut KUHP akan diuraikan sebagai berikut :

a. Makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden

Istilah makar berasal dari kata aanslag (Belanda) yang menurut arti harfiah adalah penyerangan atau serangan.Makar dalam kamus politik adalah akal busuk; tipu muslihat, perbuatan (usaha) menjatuhkan pemerintah yang sah.

Mengenai istilah makar dalam KUHP sendiri dimulai penafsiran secara khusus yang dapat ditemui dalam pasal 87, yang berbunyi :

Dikatakan ada makar untuk melakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelakasanaan seperti dimaksud pasal 53.

Berdasarkan pasal 87 KUHP dapat disimpulkan bahwa unsur terpenting makar untuk melakukan suatu perbuatan adalah adanya niat dan permulaan pelaksanaan.

53 Notosoetardjo, Dokumen Konferensi Meja Bundar, (Jakarta: Penerbit Endang, 1956), h. 214.

Ancaman hukuman mati terhadap pelaku makar kepada pemerintah diatur di pasal 104 KUHP, yang berbunyi :

Makar dengan maksud untuk membunuh, atau merampas kemerdekaan, atau meniadakan kemampuan Presiden atau Wakil Presiden memerintah, diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Dalam pasal 104 KUHP ini, maka suatu perbuatan dapat dipidana apabila ada permulaan pelaksana dengan maksud untuk membunuh presiden dan seterusnya.Dalam pembuktian nantinya, maka perbuatan itu harus dapat diukur sebagai tindakan permulaan pelaksanaan dengan maksud membunuh presiden dan seterusnya.Untuk mempermudah mendapatkan gambaran, maka perbuatan makar ini seperti percobaan untuk membunuh presiden, tapi berbeda dengan percobaan, cukup ada niat permulaan pelaksanaan, seseorang sudah dapat dimintai pertanggung jawaban pidana.

Sejumlah pakar menilai ketentuan yang diatur dalam pasal 140 dan pasal 110 ayat (1) dan ayat (2), khususnya pasal 110 ayat (1) dan ayat (2), perlu diberi perhatian besar karena tidak menutup kemungkinan ancaman pidana matinya

terlalu tinggi apabila dianalisis dari sisi kekuatan hukum pidana,54 dasar pertimbangannya adalah:

1. Tindakan makar dipandang telah terjadi (selesai atau smpurna) selagi ancaman pidana masih dalam kondisi diperingan 1/3, namun dalam pasal 104 KUHP justru menjadi pidana mati.

2. Pemufakatan sanksi tindak pidana dalam pasal 104 adalah pidana mati, padahal pemufakatan merupakan tindakan yang masih sangat jauh dari permulaan pelaksanaan, namun pidananya sama dengan apabila telah masuk dalam tahap permulaan pelaksanaan.

3. Menyediakan atau memudahkan konstruksi hukum pidana juga termasuk dalam persoalan penyertaan (deelneming) pada bagian pembantuan.

Pemidanaan untuk peran tersebut justeru diperingan 1/3, sedangkan tindak pidana yang diatur dalam pasal 104 pidananya sama dengan perbuatan pelakunya.

4. Terakhir, Presiden tentu layak mendapat perlakuan lebih dibandingkan rakyat biasa. Oleh karena itu, pasal 104 dan pasal-pasal lainnya dalam KUHP bisa saja menjadi perangkat hukum yang diorientasikan untuk kepentingan pihak yang yang sedang memgang kekuasaan (pemerintah), bukan kepentingan umum. Artinya, tindak pidana tampaknya lebih ditujukan untuk menyingkirkan lawan-lawan politik pihak yang sedang berkuasa

54 Rudy Satriyo Mukantardjo, Naskah Akademis Peraturan Perundang-Undangan Tentang RPP Pelaksanaan Hukuman Mati di Indonesia, (Jakarta: BPHN Departemen Hukum dan HAM, 2004), h. 47-48.

sebagai upaya mempertahankan kekuasaaan. Tidak menutup kemungkinan penegakan hukum menjadi penghalang kehidupan demokrasi suatu negara.55

b. Perbuatan permusuhan terhadap Negara

Perbuatan ini diancam dengan pidana mati dalam pasal 111 ayat 1 dan 2 KUHP yang berbunyi :

Ayat 1

Barang siapa mengadakan hubungan dengan negara asing dengan maksud menggerakkannya untuk melakukan perbuatan permusuhan atau perang terhadap negara, memperkuat niat mereka, menjanjikan bantuan atau membantu mempersiapkan mereka untuk melakukan permufakatan atau perang terhadap negara, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 Tahun.

Ayat 2

Jika perbuatan permusuhan dilakukan atau terjadi perang, diancam dengan Pidana Mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

c. Memberi bantuan terhadap Negara musuh pada saat perang

Perbuatan ini diatur dalam Pasal 124 ayat (3) ke-1 dan ke-2, yang berbunyi:

55 Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Tim Pakar Hukum Pidana,(Jakarta:BPHN Departemen Hukum Dan HAM RI, 2004), h. 9.

Ayat 3

pidana mati atau pidana seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun diajtuhkan jika si pembuat :

1. memberitahukan atau menyerahkan kepada musuh, menghancurkan atau merusakkan sesuatu tempat atau pos yang diperkuat atau diduduki, suatu alat perhubungan, gudang persediaan perang, atau kas perang ataupun Angkatan Laut, Angkatan Darat atau bagian daripadanya, merintangi, menghalang-halangi atau menggagalkan suatu untuk menggenangi air atau karya tentara lainnya yang direncanakan atau diselenggarakan untuk menangkis atau menyerang;

2. menyebabkan atau memperlancar timbulnya huru-hara, pemberontakan atau desersi di kalangan Angkatan Perang.

d. Makar terhadap nyawa kepala Negara sahabat

Indonesia juga mengancamkan pidana mati terhadap warga Negara yang melakukan makar terhadap nyawa kepala Negara sahabat. Hal ini dapat kita lihat pada pasal KUHP yang berbunyi :

Pasal 140 ayat (3)

1) Makar terhadap nyawa atau kemerdekaan raja yang memerintah atau kepala negara sahabat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.

3) jika makar terhadap nyawa dilakukan dengan rencana terlebih dahulu mengakibatkan kematian, diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Menurut R. Soesilo56, makar pembunuhan atau perampasan kemerdekaan itu harus dilakukan terhadap kepala Negara, baik yang berupa kaisar, raja, ataupun presiden dan lainnya, Negara yang bersahabat. Waktu melakukan makar itu penjahat harus mengetahui benar, bahwa ia berhadapan dengan seorang kepala Negara dari Negara yang bersahabat.

e. Pembunuhan berencana

Pembunuhan berencana merupakan pembunuhan yang direncanakan lebih dahulu (moord). Boleh dikatakan ini adalah suatu pembunuhan biasa (doodslag) dalam pasal 338, akan tetapi dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu.

Antara timbulnya maksud untuk membunuh dengan pelaksanaannya itu masih ada tempo bagi si pembuat untuk dengan tenang memikirikan misalnya dengan cara bagaimanakah pembunuhan itu akan dilakukan. Tempo ini tidak boleh terlalu sempit, akan tetapi sebaliknya juga tidak perlu terlalu lama, yang penting ialah apakah di dalam tempo itu si pembuat dengan tenang masih dapat berfikir-fikir

56 R. soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP serta komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, (Bandung: PT. Karya Nusantara, 1986), h. 124.

yang sebebnarnya ia masih ada kesempatan untuk membatalkan niatnya akan membunuh itu, akan tetapi tidak ia pergunakan.57

Kejahatan ini diancam dengan hukuman mati di dalam KUHP. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 340 KUHP yang berbunyi :

Barangsiapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam dengan pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

f. Penganiayaan menyebabkan luka berat atau kematian

Kejahatan ini diancam dengan pidana mati, hal ini dapat kita lihat pada pasal 365 ayat 4 yang berbunyi :

pasal 365 ayat 4

Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.

57 Ibid., h. 241

g. Pemerasan dengan dengan kekerasan yang menyebabkan luka berat atau kematian

Kejahatan ini diancam dengan pidana mati, hal ini dapat kita lihat pada pasal Pasal 368 ayat (1) dan (2)yang berbunyi :

Pasal 368 ayat (1) dan (2)

1) Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

2) Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini.

Di pasal tersebut pada ayat 2 disebutkan bahwa Ketentuan pasal 365 ayat kedua, ketiga, dan keempat berlaku bagi kejahatan ini, artinya pidana mati dapat dijatuhkan pada pelaku tindak pidana ini karena pada pasal 365 ayat 4 terdapat ancaman hukuman mati bagi pelakunya.

h. Kejahatan pelayaran

Kejahatan ini diancam dengan pidana mati, hal ini dapat kita lihat pada pasal Pasal 444 KUHP yang berbunyi :

Pasal 444 KUHP

Jika perbuatan kekerasan yang diterangkan dalam pasal 438-441 mengakibatkan seseorang di kapal yang diserang atau seseorang yang diserang itu mati maka nakhoda, komandan atau pemimpin kapal dan mereka yang turut serta melakukan perbuatan kekerasan, diancam dengan pidana mati, pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun.

R. Soesilo menjelaskan,58 dalam hal pembajakan di laut, di pantai, di pesisir atau di sungai jika menyebabkan mati orang yang tersebut dalam pasal ini, maka nahkoda kepala atau penganjurnya (komandan) dihukum menurut pasal ini.

Demikian pula orang lain (penumpang kapal yang turut melakukan pembajakan itu.

i. Kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan

Ancaman pidana mati terhadap kejahatan ini diatur pada pasal 479 huruf k ayat 2 yang berbunyi :

Pasal 479 k

58Ibid.,h. 297.

1) Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun, apabila perbuatan dimaksud pasal 479 huruf i dan pasal 479 j itu:

a. Dilakukan oleh dua orang atau lebih bersama-sama;

b. Sebagai kelanjutan pemufakatan jahat;

c. Dilakukan dengan direncanakan lebih dahulu;

d. Mengakibatkan kerusakan pada pesawat udara tersebut , sehingga dapat membahayakan penerbangannya;

e. Mengakibatkan luka berat seseorang;

f. Dilakukan dengan maksud untuk merampas kemerdekaan atau meneruskan merampas kemerdekaan seseorang.

2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya seseorang atau hancurnya pesawat udara itu, dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama-lamanya dua puluh tahun.

Dalam setiap ancaman pidana mati tersebut selalu selalu dicantumkan alternatif pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama dua puluh tahun. Bentuk-bentuk pemidanaan yang dijatuhkan tidaklah terlepas dari latar belakang filosofi yang melahirkan teori-teori tujuan pemidanaan, maka apabila pidana mati dimaksudkan sebagai upaya pembalasan (menurut Vergeldings Theorien) akan mengakibatkan kecenderungan untuk memuaskan atau dapat saja tidak memuaskan, di mana secara estetika terpidana harus menerima penderitaan seimbang dengan korbannya. Sementara itu, tujuan pemidanaan yang lain, adalah

lebih menitikberatkan sebagai prevensi dengan maksud agar orang lain jera untuk tidak melakukan kejahatan.

Filosofis pidana mati bagi bangsa Indonesia tidaklah terlepas dari pandangan dan sikap bangsa Indonesia sebagaimana dituangkan dalam Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 yang menyebutkan bahwa pandangan dan sikap bangsa Indonesia mengenai hak asasi manusia adalah bersumber dari ajaran agama, nilai moral universal, dan nilai luhur budaya bangsa, serta berdasarkan pancasila. Sehingga hak asasi manusia dirumuskan secara substansi dengan menggunakan pendekatan normatif, empiris, deskriptif, dan analitis, antara lain disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kemerdekaan, perkembangan manusia dan masyarakat yang tidak boleh diabaikan, dirampas atau diganggu gugat oleh siapapun.

2. Di Luar KUHP

Selain pengaturan tindak pidana yang diancam dengan Pidana Mati dalam KUHP, masih terdapat tindak pidana yang diancam dengan pidana mati yang diatur dalam beberapa undang-undang yang telah ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia (RI) atas persetujuan DPR RI, terdapat ancaman pidana mati pada kejahatan yang dianggap berbahaya. Daftar tindak pidana tersebut antara lain sebagai berikut:

a. Pengaturan dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang

Narkotika

Tindak pidana narkotika dapat diartikan dengan suatu perbuatan yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum narkotika, dalam hal ini adalah Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika dan ketentuan-ketentuan lain yang termasuk dan/atau tidak bertentangan dengan undang-undang tersebut.Tindak pidana narkotika juga dapat dikatakan adalah penggunaan atau peredaran narkotika yang tidak sah (tanpa kewenangan) dan melawan hukum (melanggar undang-undang narkotika). Bentuk tindak pidana narkotika yang umum dikenal antara lain :

a. Penyalahgunaan/melebihi dosis;

b. Pengedaran narkotika;

c. Jual beli narkotika.

Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009, sanksi pidana terhadap perbuatan pidana yang disebut di atas adalah :

1. Pidana mati 2. Pidana penjara

3. Tindakan Rehabilitasi

Untuk ketentuan penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika, dapat kita lihat daftar pasal yang mengancamkan pidana mati bagi pelaku tindak pidana narkotika melalui daftar di bawah ini :

1. Pasal 113 ayat (2)

Pidana matidijatuhkan kepada terdakwa apabila melakukan tindak pidana yang diatur di dalam ayat (1) yaitu memproduksi, mengimpor mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman yang beratnya melebihi satu Kilogram atau melebihi 5 batang pohon dan dalam bentuk bukan tanaman melebihi 5 gram.

2. Pasal 114 ayat (2)

Pidana matidijatuhkan pada terdakwa apabila dalam hal menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli menukar, menyerahkan atau menerima narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman yang beratnya melebihi satu Kilogram atau melebihi 5 batang pohon dan dalam bentuk bukan tanaman melebihi 5 gram.

3. Pasal 116 ayat (2)

Pidana mati dijatuhkan kepada pelaku penyalahgunaan narkotika dengan memberikan narkotika golongan I kepada orang lain untuk digunakan oleh orang lain dan akibat dari perbuatan tersebut menyebabkan orang lain mati atau cacat permanen.

4. Pasal 118 ayat (2)

Dijatuhkan pidana matiterhadap orang yang memproduksi, Mengimpor, mengekspor, atau menyalurkan Narkotika Golongan II yang beratnya melebihi 5 gram.

5. Pasal 119 ayat (2)

Pidana mati dijatuhkan pada terdakwa apabila :

dalam hal menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menjadi perantara dalam jual beli menukar, menyerahkan narkotika Golongan II yang beratnya melebihi 5 gram.

6. Pasal 121 ayat (2)

Pidana mati dijatuhkan kepada pelaku penyalahgunaan narkotika dengan memberikan kepada orang lain Narkotika golongan II untuk digunakan orang lain dan akibat dari perbuatan tersebut menyebabkan orang lain mati atau cacat permanen

7. Pasal 133 ayat (2)

Pidana matidijatuhkan terhadap orang yang menyuruh, memberi atau menjanjikan sesuatu, memberikan kesempatan, menganjurkan, memaksa dengan kekerasan, melakukan tipu muslihat atau membujuk anak yang belum cukup umur untuk melakukan tindak pidana yang dimaksud dalam pasal 111, pasal 112, pasal 113, pasal 114, pasal 115, pasal 116, pasal 117, pasal 118, pasal 119, pasal 120, pasal 121, pasal 122, pasal 123, pasal 124, dan pasal 125.

b. Pengaturan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 Terorisme tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Dalam hal upaya mencegah terjadinya serangan terorime dalam berbagai tragedi yang terjadi, pemerintah mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2002 yang kemudian diundangkan menjadi Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Terorisme yang bersifat Internasional merupakan kejahatan yang terorganisasi, sehingga pemerintah Indonesia meningkatkan kewaspadaan dalam memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pada jumat, 25 mei 2018, DPR dan Pemerintah akhirnya resmi mengesahkan UU Perubahan UU Terorisme. Di dalam UU ini, terdapat 4 ketentuan yang diubah ataupun baru yang mengatur mengenai pidana mati, yaitu pasal 6, pasal 14 dan pasal 15 yang merupakan pengubahan dari Undang-Undang sebelumnya yang juga memuat pidana mati dan pasal 10 A ayat 1 yang merupakan ketentuan baru yang disisipkan.

Oleh karena itu, terkait pengaturan mengenai penjatuhan pidana mati tehadap pelaku tindak pidana terorisme saat ini dapat kita lihat pada pasal :

1. Pasal 6

Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan

hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional dipidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.

2. Pasal 9

Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, meyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.

3. Pasal 10A ayat (1)

Setiap orang yang secara melawan hukum memsukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, membuat, menerima, memperoleh, menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, atau mengeluarkan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia senjata kimia, senjata biologi, radiologi, mikroorganisme, nuklir, radioaktif atau komponennya, dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.

4. Pasal 14

Setiap orang yang dengan sengaja menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 10 A, pasal 12, pasal 12A, pasal 12B, pasal 13 huruf b dan huruf c, dan pasal 13 A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9,

pasal 10, pasal 10 A, pasal 12, pasal 12 A, pasal 12 B, pasal 13 huruf b dan huruf c, dan pasal 13 A.

5. Pasal 15

Setiap orang yang melakukan pemufakatan jahat, persiapan, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 10 A, pasal 12, pasal 12A, pasal 12B, pasal 13 huruf b dan huruf c, dan pasal 13 A dipidana dengan pidana yang sama sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 10 A, pasal 12, pasal 12 A, pasal 12 B, pasal 13 huruf b dan huruf c, dan pasal 13 A.

6. Pasal 16

Setiap orang di luar wilayah Negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kemudahan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, pasal 7, pasal 8, pasal 9, pasal 10, pasal 11 dan pasal 12.

c. Pengaturan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Salah satu negara yang menganut pengaturan pidana mati adalah

Salah satu negara yang menganut pengaturan pidana mati adalah

Dokumen terkait