• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : TINDAK PIDANA YANG DIANCAM DENGAN PIDANA MATI DALAM

B. Pengaturan ketentuan pelaksanaan Pidana Mati

1) Syarat-syarat qishash

Hukuman qishashini (dalam hal ini hukuman mati) tidak dapat dilaksanakan apabila syarat-syaratnya tidak terpenuhi.Syarat-syarat tersebut meliputi syarat-syarat untuk pelaku (pembunuh), korban (yang dibunuh), perbuatan pembunuhannya, dan wali dari korban.132 Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:

a. Syarat-syarat pelaku (pembunuh)

Wahbah Zuhaili mengemukakan ada empat syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku (pembunuh) untuk bisa diterapkannya hukuman qishash.Keempat syarat tersebut adalah sebagai berikut:

132 H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Op. Cit., h. 151.

1) Pelaku harus orang mukalaf, yaitu balig dan berakal. Dengan demikian, qishashtidak bisa dilaksanakan untuk anak yang masih di bawah umur dan orang gila, karena keduanya tidak layak untuk dikenai hukuman. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud.

“dari Aisyah ra. Ia berkata: telah bersabda Rasulullah Saw:

“dihapuskan ketentuan hukum dari tiga hal:dari orang yang tidur sampai dia bangun, dari orang yang gila sampai ia sembuh, dan dari anak kecil sampai ia dewasa.”133

Wahbah Zuhaili dalam Ahmad wardi Muslich menjelaskan134, Adapun orang yang mabuk karena minum minuman keras dan dilakukan dengan sengaja, menurut fuqaha mazhab yang empat harus dikenakan hukuman qishashapabila ia membunuh orang pada saat mabuknya itu. Hal ini dimaksudkan untuk menutup jalan dilakukannya tindak pidana, sebab apabila ia tidak dihukum qishash, seolah-olah terbuka peluang untuk melakukan tindak pidana pembunuhan atau lainnya dengan menggunakan alasan mabuk,kemudian dibebaskan dari hukuman.

133 Jalal Ad-Din As-Sayuthi, Al-Jami‟ ash-Shagir, Juz II, (Dar Al-Fikr, tanpa tahun), h.

24

134 H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Op. Cit., h. 152.

2) Pelaku melakukan pembunuhan dengan sengaja. Yaitu dengan perbuatannya itu pelaku bermaksud menghilangkan nyawa korban.

Apabila pelaku tidak berniat menghilangkaan nyawa korban, ia tidak dikenakan hukuman qishas. Hal ini sesuai dengan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Abi Syaibah dan Ishak ibn Rahuwaih di dalam musnadnya dari Ibn Abbas ra.

“pembunuhan sengaja harus diqishash, kecuali apabila wali korban memberikan pengampunan”.

3) Pelaku (pembunuh) harus orang yang mempunyai kebebasan. Syarat ini dikemukakan oleh kelompok Hanafiyah, kecuali Imam Zufar.

Dengan demikian, menurut mereka tidak ada hukuman qishashbagi orang yang dipaksa melakukan pembunuhan. Menurut jumhur ulama termasuk Zufar, orang yang dipaksa untuk melakukan pembunuhan tetap harus dikenakan qishash.

b. Syarat-Syarat untuk Korban (yang dibunuh)

Untuk dapat diterapkannya hukuman qishashkepada pelaku harus dipenuhi syarat-syarat yang berkaitan dengan korban. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:135

a) Korban harus orang yang ma‟shum ad-dam. Artinya, ia (korban) adalah orang yang dijamin keselamatannya oleh negara Islam.

Dengan demikian, apabila korban kehilangan jaminan

135Ibid.,h. 153.

keselamatannya, misalnya karena ia murtad, pezina muhshan, atau memberontak, pelaku (pembunuh) tidak dapat dikenakan hukuman qishash.

b) Korban bukan bagian dari pelaku. Artinya, antara keduanya tidak ada hubungan bapak dan anak. Dengan demikian, seorang ayah atau ibu, kakek atau nenek, tidak dapat diqishashkarena membunuh anaknya atau cucunya. Pendapat ini dikemukakan oleh jumhur ulama. Akan tetapi menurut Imam Malik, ayah atau kakek dapat dikenakan hukumsn qishashapabila ia sengaja menidurkannya dan menyembelihnya. Dasar hukum pendapat jumhur ulama tersebut adalah Hadits nabi Muhammad Saw. yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Turmudzi, Ibn Majah, dan baihaqi dari Umar ibn Al-Khatthab, bahwa ia mendengar Rasulullah Saw. bersabda :

“Tidaklah diqishash orang tua karena membunuh anaknya”.

c) Jumhur ulama selain Hanafiyah mensyaratkan, hendaknya korban seimbang dengan pelaku (pembunuh). Dasar keseimbangan dalam hal ini adalah Islam dan merdeka. Dengan demikian, seorang muslim tidak bisa diqishashkarena ia membunuh seorang kafir. Demkian pula seorang merdeka tidak boleh diqishashkarena ia membunuh seorang hamba.

Pendapat ini didasarkan kepada Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Majah, Tirmidzi, dan abu Dawud dari Amr ibn Syuaib dari ayahnya dari kakeknya yang berbunyi sebagai berikut :

“sesungguhnya Nabi Saw. telah memutuskan bahwa seorang muslim tidak boleh dibunuh (diqishash) karena membunuh seorang kafir”.

Selain Hadits di atas, jumhur juga beralasan dengan Hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthni dan Baihaqi dari Ibn Abbas bahwa Rasulullah bersabda:

“seorang merdeka tidak boleh dibunuh (diqishash) karena membunuh hambanya”.

Golongan Hanafiyah tidak mensyaratkan keseimbangan dalam merdeka dan agama, melainkan cukup dengan sifat kemanusiaan saja.Alasannya adalah keumuman ayat Alqur‟an tentang qishashyang tidak membedakan antara jiwa yang satu dengan jiwa yang lainnya. Dalam Surah Al-Baqarah ayat 178, Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang beriman, telah diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh” (QS.

Al-Baqarah: 178).

Dengan demikian menurut Hanafiyah, seorang muslim bisa diqishashkarena membunuh kafir dzimmi atau mu‟ahad, karena mereka itu setingkat. Demikian pula orang merdeka bisa diqishashkarena membunuh hamba sahaya, karena hamba juga sama-sama manusia, dijamin keselamatannya, sehingga ia menyamai orang merdeka.136

c. Syarat untuk Perbuatan (pembunuhan)

Hanafiyah, sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili mengemukakan bahwa untuk bisa diterapkannya hukuman qishashbagi pelaku disyaratkan perbuatan pembunuhan harus perbuatan langsung (mubasyarah), bukan perbuatan tidak langsung (tasabbub).Apabila perbuatannya tidak langsung (tasabbub), hukumannya bukan qishashmelainkan diyat. Contohnya seperti seseorang yang menggali saluran air dengan memotong jalan, kemudian seorang pengendara motor terjatuh karenanya dan ia mati maka untuk penggali saluran tersebut dikenakan hukuman diyat, bukan qishash.

d. Syarat untuk wali (keluarga) korban

Hanafiyah, sebagaimana dikutip oleh Wahbah Zuhaili137 mensyaratkan bahwa wali dari korban yang memiliki hak qishashharus jelas diketahui.Apabila wali korban tidak diketahui, hukuman qishashtidak bisa dilaksanakan. Akan tetapi, ulama-ulama yang lain tidak mensyaratkan hal ini.

136Ibid.

137 Ibid.

2. Tata caraPelaksanaan Hukuman mati dalam JarimahQishash a. Yang berhak melakukan qishash

Pada dasarnya pelaksanaan hukuman untuk jarimahqishashsama dengan hukuman yang lain, yaitu merupakan hak penguasa negara. Akan tetapi realisasinya diadakan pengecualian, yaitu pelaksanaan hukuman pada jarimahini dibolehkan dengan sepengetahuan atau persetujuan korban atau walinya. Hal ini didasarkan firman Allah SWT dalam Surah Al-Israa‟ ayat 33:

“...dan barangsiapa dibunuh secara dzalim maka sesungguhnya kami telah memberi kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat pertolongan”.(QS. Al-Israa’ : 33)

Para fuqaha telah sepakat, bahwa wali korban bisa melaksanakan qishash dalam pembunuhan dengan syarat harus di bawah pengawasan penguasa, sebab pelaksanaannya memerlukan ketelitian dan jangan sampai berlebihan. Apabila hukuman qishash dilaksanakan tanpa kehadiran petugas negara maka hukuman qishash tetap terjadi (berlaku), namun orang yang melaksanakannya tetap dianggap melanggar hukum dan ia harus dikenakan hukuman ta‟zir.138

Dari uraian tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa wali korban tidak ada halangannya untuk melaksanakan hukuman qishash sendiri, apabila menurut

138 Abdul qadir Audah, At-tasyri‟ Al Jina‟iy Al-Islamy, (Beirut: dar Al-Kitab Al-Araby, tanpa tahun), h. 757.

pandangan penguasa negara, ia mampu melaksanakannya. Tetapi apabila ia dipandang tidak mampu maka ia harus mewakilkan kepada orang yang memang ahli dan ditugaskan sebagai pelaksana hukuman.

b. Alat yang digunakan untuk meng-qishash

Mengenai alat yang digunakan untuk pelaksanaan hukuman qishash, tidak ada kesepakatan di kalangan para fuqaha. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad, dalam qishash atas jiwa, alat yang digunakan adalah pedang, apapun alat yang dipakai oleh pelaku dalam melakukan pembunuhan sedangkan menurut Imam malik, Imam Syafi‟i, dan sebagian ulama Hanabilah, alat yang digunakan untuk melaksanakan hukuman qishash harus sama dengan alat yang digunakan oleh pelaku dalam melakukan pembunuhan.139

Penggunaan pedang sebagai alat pelaksanaan qishash didasarkan kepada pertimbangan bahwa pedang merupakan alat yang paling cepat menghilangkan nyawa. Akan tetapi, kalau ada alat lain yang lebih cepat membawa kematian serta lebih sedikit menimbulkan derita maka alat tersebut boleh saja digunakan.140

2) Tata cara Pelaksanaan Hukuman mati dalam Tindak Pidana Ta’zir

a. Pidana ta’zir

JarimahTa‟ziradalah jarimah yang diancam dengan hukuman ta‟zir.ta‟zirmenurut bahasa adalah ta‟dib atau memberi pelajaran. Ta‟zir juga

139 Wahbah Zuhaili, al-Fiqh al-Islamy wa Adilantuhu, (Dar Al-Fikr, 1989), h. 283.

140 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukuman Pidana Islam Fikih Jinayah, Op. Cit., h. 173.

diartikan Ar Rad wa Al Man‟u, artinya menolak dan mencegah. Akan tetapi menurut istilah, sebagaimana yang dikemukakan oleh Imam Al Mawardi dalam Ahmad Wardi Muslich, nya adalah sebagai berikut.

“Ta‟zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum ditentukan hukumannya oleh syara‟”.141

Kaidah ini mengandung arti bahwa setiap perbuatan maksiat yang tidak dapat dimaknai sanksi Hudud(termasuk di dalamnya qishash) atau kaffarah dikualifikasikan sebagai jarimahta‟zir.Para fuqaha sepakat bahwa yang dimaksud dengan perbuatan maksiat adalah meninggalkan kewajiban dan melakukan hal-hal yang dilarang.142

Sementara berkenaan dengan meninggalkan hal-hal yang sunnah dan melakukan hal-hal yang makruh, ada dua pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidak boleh memberikan sanksi ta‟zirterhadap orang yang melakukan hal yang makruh atau meninggalkan hal yang sunnah. Sebab, perbuatan tersebut bukan merupakan perbuatan maksiat. Selain itu, tidak ada taklif (keharusan untuk mengerjakan atau meninggalkan) dalam hal-hal yang sunnah dan makruh.143

Pendapat kedua menyatakan bahwa boleh memberikan saksi ta‟zirkepada orang yang mengerjakan hal yang makruh atau meninggalkan hal yang sunnah.

141 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Op.

Cit., h. 19.

142Jaih Mubarok dan enceng arif Faizal, Op. Cit., h. 176.

143Ibid.,h. 177.

Hal ini didasarkan atas tindakan Umar bin Khaththab yang telah memberikan sanksi ta‟zir kepada seseorang yang tidak cepat-cepat menyembelih kambing, setelah kambing tersebut dibaringkan. Padahal, perbuatan tersebut termasuk perbuatan makruh.

Jarimahta‟zir ini terbagi menjadi tiga bagian:

1. JarimahHudud atau qishash yang subhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat, misalnya percobaan pencurian, pencurian di kalangan keluarga, dan sebagainya;

2. Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh Al-Qur‟an dan Al-Hadits, namun tidak ditentukan sanksinya, misalnya penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan amanah, dan sebagainya;

3. Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh ulil amri (pemerintah) untuk kemaslahatan umum. Dalam hal ini, nilai Ajaran Islam dijadikan pertimbangan penentuan kemaslahatan umum.144

Dasar hukum disyari‟atkannya ta‟zirterdapat dalam beberapa Hadits Nabi Saw. Hadits-Hadits tersebut antara lain sebagai berikut :

1. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bhaz ibn Hakim

“Dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, nahwa nabi Saw.

menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi, Nasa‟i, dan Baihaqi, serta dishahihkan oleh hakim).

144 D.A. Djazuli, Fiqh Jinayah (upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta:Rajawali Press,1996), h. 9.

2. Hadits Nabi yang diriwayatkan Oleh Abi Burdah

“Dari Abi Burdah Al-Anshari rq. Bahwa ia mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “tidak boleh dijilid di atas sepuluh cambuk kecuali di dalam hukuman yang telah ditentukan oleh Allah Ta‟ala”. (Muttafaq alaih)

3. Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah

“Dari Aisyah ra. Bahwa Nabi saw. bersabda : Ringankanlah hukuman bagi orang-orang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimahhudud.

(diriwayatkan oleh Ahmad, Abu dawud, Nasa‟i, dan Baihaqi)

Diatas telah dijelaskan bahwa hukuman ta‟ziradalah hukuman yang belum ditentukan oleh syara‟ dan diserahkan kepada ulil amriuntuk menetapkannya. Hukuman ta‟zirini jenisnya beragam, namun secara garis besar dapat dikelompokkan kepada empat kelompok, diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Hukuman ta‟ziryang mengenai badan, seperti hukuman mati dan jilid (dera).

2. Hukuman yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, seperti hukuman penjara dan pengasingan.

3. Hukuman ta‟ziryang berkaitan dengan harta, seperti denda, penyitaaan/perampasan harta, dan penghancuran barang.

4. Hukuman-hukuman lain yang ditentukan oleh ulil amridemi kemaslahatan umum.145

Dalam hal mengenai hukuman mati dalam tindak pidana ta‟zirini diterapkan oleh para fuqahasecara beragam. Hanafiyah membolehkan kepada ulil amri untuk menerapkan hukuman mati sebagai ta‟zirdalam jarimah-jarimahyang sejenisnya diancam dengan hukuman mati apabila jarimahtersebut dilakukan berulang-ulang. Contohnya pencurian yang berulang-ulang dan menghina Nabi beberapa kali yang dilakukan oleh kafir dzimmi , meskipun setelah itu ia masuk Islam.146

Abd al-Aziz Amir dalam Ahmad Wardi Muslich147 mengatakan bahwa Malikiyah juga membolehkan hukuman mati sebagai ta‟ziruntuk jarimah-jarimahta‟zirtertentu, seperti spionase dan melakukan kerusakan di muka bumi.

Pendapat ini juga dikemukakan oleh sebagian fuqaha Hanabilah, seperti Imam ibn Uqail.

Sebagian fuqaha Syafi‟iyah membolehkan hukuman mati sebagi ta‟zirdalam kasus penyebaran aliran-aliran sesat yang menyimpang dari ajaran Al-Qur‟an dan as-sunnah.Demikian pula hukuman mati bisa diterapkan kepada pelaku homoseksual (liwath) dengan tidak membedakan antar muhsan dan ghair muhsan.Alasan yang dikemukakanoleh Syafi‟iyah adalah Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

145 H. Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Op. Cit., h. 258.

146 Ibid.

147 Ibid

“barangsiapa yang kamun dapati melakukan perbuatan kaum nabi Luth (homoseksual maka bunuhlah pelaku dan objeknya.” (hadis diriwayatkan oleh lima ahli hadis kecuali Nasa‟i).

Selain Hadits tersebut, para ulama yang membolehkan hukuman mati sebagai ta‟zirmengemukakan alasan lain, di antaranya Hadits yang memerintahkan hukuman mati bagi peminum khamr untuk keempat kalinya. Hadits tersebut adalah :

“Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam musnadnya dari Dailam Al-Humairi, ia berkata : Saya bertanaya kepada Rasulullah Saw : „Ya Rasulullah, kami berada di suatu daerah untuk melaksanakan suatu pekerjaan yang berat, dan kami membuat minuman dari perasan gandum untuk menambah kekuatan kami dalam melaksanakan pekerjaan kami dan menahan rasa dingin negeri kami‟. Rasulullah bertanya: „apakah minuman itu memabukkan?‟ saya menjawab :‟benar‟. Nabi berkata :

„kalau demikian jauhilah!‟. Saya berkata: „Orang-orang tidak mau meninggalkannya‟. Rasulullah berkata : „Apabila mereka tidak mau meninggalkannya bunuhlah mereka”.

1) Syarat penjatuhan pidana mati dalam pidana Ta’zir a. Yang berhak menjatuhkan pidana mati

Pelaksanaan hukuman pada jarimahta‟ziryang sudah diputuskan oleh hakim, juga menjadi hak penguasa negara atau petugas yang ditunjuk olehnya.Hal ini oleh karena hukuman itu disyariatkan untuk melindungi masyarakat, dengan demikian hukuman tersebut menjadi haknya dan dilaksanakan oleh wakil masyarakat, yaitu penguasa negara. Orang lain, selain penguasa negara atau orang yang ditunjuk olehnya tidak boleh melaksanakan hukumanta‟zir, meskipun

hukuman tersebut menghilangkan nyawa. Apabila ia melaksanakannya sendiri dan hukumannya berupa hukuman mati sebagai ta‟zir maka ia dianggap sebagai pembunuh, walaupun sebenarnya hukuman mati ersebut adalah hukuman yang menghilangkan nyawa.148

Dari uraian tersebut diatas dapat kita lihat sebuah perbedaan dalam pelaksanaan pidana mati antara pelaksanaan dalam jarimahhududdan jarimahta‟zir.Perbedaan tersebut adalah mengenai pertanggung jawaban terhadap orang yang tidak berwenang melakukan eksekusi pidana mati. Dalam jarimahhududdikatakan bahwasanya orang yang tidak memiliki wewenang melakukan eksekusi mati terhadap pelaku jarimahhudud, maka ia tidak dapat dikatakan sebagai pembunuh. Sedangkan dalam jarimahta‟zir ini orang yang tanpa wewenang melakukan eksekusi terhadap pelaku tindak pidana yang diancam dengan pidana mati dalam jarimahta‟zir dapat dianggap sebagai pembunuh.

Perbedaan ini disebabkan karena dalam jarimahhudud tidak ada alasan pemaaf bagi pelaku karena itu merupakan hak Allah yang mutlak untuk menentukan kadar hukuman terhadap seseorang dan tidak ada alasan pemaaf baginya. Sedangkan dalam tindak pidana ta‟zirmasih terdapat peluang untuk dimaafkan dalam hal ini oleh penguasa atau pemimpin suatu Negara.

148 Ibid., h. 171-172

b. Syarat perbuatan yang dijatuhi pidana mati dalam pidana ta’zir

hukuman mati untuk jarimahta‟zir, hanya dilaksanakan dalam jarimah-jarimah yang sangat berat dan berbahaya, dengan syarat-syarat sebagai berikut:149 1) Bila pelaku adalah residivis yang tidak mempan oleh hukuman-hukuman hudud

selain hukuman mati.150

2) Harus dipertimbangkan betul-betul dampak kemaslahatan terhadap masyarakat dan pencegahan terhadap kerusakan yang menyebar di muka bumi.

149H.A Djazuli, Op. Cit., h. 191.

BAB IV

PERBANDINGAN KETENTUAN PIDANA MATI MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA DAN HUKUM ISLAM

A. Persamaan dalam ketentuan pidana mati menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum islam

Berdasarkan pemahaman dan uraian-uraian yang sudah penulis tulis di bab-bab sebelumnya, maka diperoleh hasil bahwa terdapat beberapa persamaan antara pelaksanaan ketentuan pidana mati menurut Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia. Persamaan-persamaan tersebut antara lain yaitu:

1. Syariat islam sama pendiriannya dengan Hukum Positif Indonesia dalam segi tujuannya. Baik hukum Pidana Islam maupun Hukum Positif Indonesia keduanya sama-sama bertujuan memelihara kepentingan dan ketenteraman masyarakat serta menjamin kelangsungan Hidup.

2. pidana mati masih diberlakukan dalam hukum Islam (negara yang menganut syariat Islam) dan hukum pidana Indonesia

3. Pidana mati dalam ketentuan Hukum islam dan Hukum Positif Indonesia merupakan Hukuman Pokok. Hal ini dapat kita lihat dari ketentuan dalam Hukum Islam yang diatur dalam tindak pidana qishashdan dalam Hukum Positif Indonesia diatur dalam Undang-Undang No. 2/Pnps/1964 yaitu Penpres Nomor 2 Tahun 1964 (LN 1964 No. 38) yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1969 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan militer151 dan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang tata cara pelaksanaan pidana mati.

4. Adanya pengawasan pelaksanaan ketentuan pidana mati yang dilakukan oleh penguasa atau pemerintah. Dalam hukum Islam pelaksanaan diawasi oleh pemerintah setempat dan menurut Hukum positif Indonesia dilakukan melalui organ pemerintah yaitu Kepolisian khususnya Kepolisian Daerah dimana pelaksanaan Hukuman mati tersebut dilaksanakan.

5. Dalam hal Tindak Pidana yang diancam dengan pidana mati, terdapat beberapa persamaan jenis tindak pidana yang diancam dengan pidana mati antara Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia diantaranya :

a. Tindak pidana Pembunuhan dengan sengaja b. Pemberontakan terhadap penguasa

c. Tindak Pidana Hirabah atau perampokan atau pencurian yang disertai kekerasan yang dilakukan oleh beberapa orang sehingga menyebabkan luka berat atau kematian pada orang yang dirampok.

151Eddy O.S Hiariej, Op.cit.,h. 457.

B. Perbedaan dalam ketentuan Pidana Mati menurut Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam

1. Ditinjau dari Sumber Hukum

Pidana Mati di Indonesia bersumber pada Undang-Undang.Undang-Undang (hukumpositif) adalah produk buatan manusia, sedangkan Pidana Mati dalam Hukum Islam bersumber dari Allah SWT berupa wahyu yang diturunkan kepada Rasul-Nya. Dengan demikian, dalam hukum pidana Islam terdapat beberapa macam tindak pidana yang hukumannya sudah ditetapkan dalam Al-Quran dan As-Sunnah, yaitu JarimahHudud dan qishash. Di samping itu, adapula tindak pidana yang hukumannya diserahkan kepada penguasa (ulil amri), yaitu jarimahta‟zir. Walaupun begitu tidak berarti penguasa tersebut bisa bertindak sewenang wenang dalam pelaksanaan hukuman mati terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana mati karena dalam pelaksanaannya ia tetap harus berpedoman kepada ketentuan-ketentuan umum yang ada dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah.

Dari perbedaan dalam segi sumber atau penciptaannya ini tergambarlah dengan jelas bagaimana sifat kedua hukum tersebut dengan memperhatikan sifat penciptanya.Hukum Positif merupakan produk manusia tentu saja serba tidak lengkap dan tidak sempurna, karena penciptanya juga serba tidak sempurna, lemah dan terbatas kemampuannya.Itulah sebabnya undang-undang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat. Sebaliknya, Hukum Islam adalah ciptaan Allah yang sifatnya serba mampu, sempurna, agung, dan serba tahu akan peristiwa yang sudah dan akan terjadi. Oleh karenanya maka tentu saja ciptaannya

juga sempurna, konstan dan tidak diubah-ubah atau diganti-ganti, terutama dalam jarimah yang berbahaya, yaitu hudud dan qishash.

2. Ditinjau dari tata cara pelaksanaan Pidana Mati

a. Dari segi yang berwenang melaksanakan eksekusi Pidana mati Di bab sebelumnya telah disebutkan bahwasanya yang berhak melakukan eksekusi terhadap pelaku tindak pidana yang dijatuhi pidana mati adalah penguasa.

Hal tersebut berlaku dalam Hukum Positif Indonesia dan Hukum Islam.Namun terdapat perbedaan dalam pelaksanaan pidana matinya. Di dalam hukum Islam wali korban dapat melaksanakan Hukuman terhadap pelaku dengan tetap diawasi oleh penguasa setempat sedangkan dalam Hukum Positif Indonesia dikatakan bahwa yang berwenang melakukan eksekusi pidana mati adalah penguasa dalam hal ini kepolisian daerah dimana hukuman tersebut dilaksanakan. Dari penjelasan tersebut dapat dilihat bahwa yang berwenang dalam pelaksanaan hukuman mati di Indonesia hanya penguasa melalui kepolisian sebagai eksekutornya.

b. Dari metode yang digunakan untuk pelaksanaan pidana mati jika ditinjau dari segi metode pelaksanaan pidana matinya, maka dapat dilihat dalam Hukum Positif Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum dan militer hanya menggunakan metode tembak sampai sampai mati, sedangkan dalam Hukum Islam Terdapat berbagai metode pelaksanaan pidana mati diantaranya :

- Hukuman mati dengan disalib

Hukuman ini dikenakan bagi pelaku tindak pidana yang melakukan Jarimah Hirabah atau mengganggu keamanan.

- Hukuman mati dengan dirajam

- Hukuman mati dengan dirajam

Dokumen terkait