ANALISIS TENTANG PIDANA MATI DALAM HUKUM
PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM
Tesis
Oleh
MARDIA PULUNGAN
087005032/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS TENTANG PIDANA MATI DALAM HUKUM
PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM
Tesis
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Magister Hukum
Dalam Program Studi Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
Oleh
MARDIA PULUNGAN
087005032/HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Tesis : ANALISIS TENTANG PIDANA MATI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA ISLAM.
Nama Mahasiswa : Mardia Pulungan.
NIM : 087005032.
Program Studi : Magister Ilmu Hukum.
Menyetujui: Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum) K e t u a
(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) (Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) A n g g o t a A n g g o t a
Ketua Program Studi Dekan
Telah diuji pada
Tanggal : 23 Februari 2011
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH, MHum
ABSTRAK
Hukuman mati selalu menjadi debat yang kontroversial. Pro dan kontra penerapan hukuman mati selalu bertarung di tingkatan masyarakat, maupun para pengambil kebijakan. Terhadap pertanyaan pidana mati terdapat 2 (dua) arus pemikiran utama,
pertama: adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan
yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang ingin menghapuskan secara keseluruhan, dengan alasan yang selalu dijadikan tameng adalah bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yaitu hak untuk hidup (right to life). Kecenderungan masa kini adalah penghapusan pidana mati, seperti yang dilakukan dibeberapa Negara, seperti Amerika serikat dan Uni Eropa. Indonesia, termasuk negara yang masih mempertahankan pidana mati dalam sistem hukum positifnya. Sebagaimana dalam hukum pidana nasional Indonesia, pidana mati juga berlaku dalam hukum pidana Islam, dalam hukum pidana Islam, pidana mati merupakan jenis pidana yang wajib diterapkan terhadap jarimah (tindak pidana tertentu). Akan tetapi banyak kalangan yang mempersepsikan pidana mati tersebut sebagai suatu pidana yang sangat kejam, dan tidak berprikemanusiaan. Dengan demikian, untuk menjawab pro dan kontra mengenai pelaksanaan pidana mati, khususnya dalam hukum pidana nasional Indonesia, ada baiknya menggali nilai-nilai filosofis dari pidana mati itu sendiri sehingga bisa melahirkan perspektif yang berkaitan dengan pengaturan pidana mati kedepan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran yuridis tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.
Oleh karena itu, hendaknya para pengambil kebijakan dapat mengatur tindak-tindak pidana berat lainnya yang dewasa ini sering terjadi dan sangat mengganggu serta meresahkan masyarakat menjadi salah satu tindak pidana yang dapat diancam dengan pidana mati. Misalnya, pengacau keamanan, pemerkosaan, penganiayaan yang mengakibatkan matinya korban, dan sebagainya. Selain itu, pelaksanaan eksekusi mati itu juga harus menjadi agenda penting, yaitu dengan melaksanakannya didepan umum (khalayak ramai) seperti yang berlaku dalam hukum pidana Islam, atau setidaknya dipublikasikan secara luas. Hal ini dimaksudkan agar pidana mati itu benar-benar dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan yaitu general deterrence (penjeraan bagi masyarakat luas).
ABSTRACT
Capital sentence remains a controversial debate. Pro and cons in application of capital sentences is competitive among community, and even among policy takers. To question of capital sentences two lines of thinking are posed, first some maintains it based on the applicable requirements, seconds, some wants to eliminate it at all. The common reason for it is always inconsistent with human rights, ice, rights of life. The recent tendency is elimination of capital sentence, as practiced ion some countries, including united states and Europe Union. Indonesia is a state to maintain the capital sentences through positive law system. As stated in national criminal law of Indonesia, the capital sentences is always applied in criminal law of island. In criminal law of island. Capital sentences is a compulsory judgment to be enforced on jeremiahs (certain criminal matter). However, some people assumed that the capital sentences is a very implementation of capital sentences in Indonesia, it is important to dig the philosophical values of the capital sentences it salt in order to generate the per spec ties related to determination of capital sentences in the future.
This was a normative law research of analytical and descriptive nature. In collection of date. This research used the library research, referring to primary law material, secondary law materials and tertiary one related to the problem. The equalization approach was used to analye the data, in depth analysis of data and holistic and then taken into interpretation. The result of juridical interpretation was expended to answer the problem of law posed in this paper.
The result of research indicated that the application of capital sentences either in national criminal law of Indonesia or Islamic law be to realize the ideal of law itself, I,e to produce the order and peace among peoples against offence. In another hand, the execution for capital sentences was also to realize the détente/preventive principle on another potential crimes, thus both order and peace would be created. And both national criminal law of Indonesia or Islamic criminal law were very concerned with the justice. For the reason, both were equally to enforce the capital sentences on certain criminal disturbing the order and peace among peoples, although there was still some debate regarding the concept of justice it self in both law system.
Therefore, it is suggested that policy takers should regulate another heavy criminal matter that is rottenly occurring recently. For example the disturb bane of safety, rape, insults causing the death of victims, and so on. Finally the implementation of execution in capital sentences has been a very importing agenda by applying it before public as practiced in island criminal law, or at least, it should be publicized widely. This will be to prove that the function of capital sentences is made as expected, to be a general detterence (deterring among offensive individuals).
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim.
Pada detik yang berbahagia ini izinkanlah saya memanjatkan segala puji dan
syukur atas kehadirat ALLAH SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya,
sehingga saya dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul : ”Analisis Tentang Pidana
Mati Dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam”. Demikian juga
shalawat beriring salam disampaikan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa
manusia dari alam kebodohan ke alam kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan.
Dalam melaksanakan sayaan Tesis ini bukanlah merupakan pekerjaan yang ringan
laksana membalikkan telapak tangan, hal tersebut ditandai dengan banyaknya
rintangan dan cobaan yang datang silih berganti menyertai langkah saya dalam
melakukan penulisan tesis ini. Namun semua itu saya anggap sebagai suatu ujian
dariMu, sehingga harus saya hadapi dengan penuh kesabaran dan senantiasa
mengharap ridho dan pertolonganMu, karena saya yakin bahwa Engkau tidak akan
membebani dan menguji hambaMu melebihi dari daya dan kemampuannya.
Penulisan Tesis ini dapat terselesaikan tidak terlepas berkat adanya bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itulah pada kesempatan yang baik ini saya
menghaturkan banyak terimakasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
1. Yang terpelajar Bapak Prof. Dr. Syafruddin Kalo, SH. MHum selaku ketua
komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, arahan dalam
memperluas wawasan saya.
2. Yang terpelajar Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH. MS selaku pembimbing II
yang telah banyak memberikan bimbingan dan kesempatan kepada saya dalam
menyelesaikan penulisan tesis ini.
3. Yang terpelajar Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH. MHum selaku pembimbing III
yang ditengah-tengah kesibukannya masih sempat untuk meluangkan waktunya
dalam memberikan arahan, bimbingan dan masukan yang sangat bermanfaat bagi
saya dalam penulisan tesis ini.
4. Yang terpelajar Bapak Prof. Hasballah Thaib, MA, PhD dan Bapak Dr. Hamdan,
SH. MH selaku penguji dari kolokium hingga meja hijau yang telah banyak
memberikan kritik dan sarannya demi menuju tesis ini kearah yang lebih baik.
5. Seluruh civitas akademika dan pegawai di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat saya sebutkan namanya satu persatu.
6. Seseorang yang terdekat dihati saya, Dupan Mey Dariah yang dengan
ketulusannya telah mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada saya, serta
senantiasa menemani saya baik dalam suka maupun duka, juga buah hati kami
yang baru saja lahir, Abdullah Musthafa, semoga menjadi anak yang sholeh serta
panjang umur, semoga semuanya senantiasa berada dalam lindungan ALLAH
7. Teman-teman satu angkatan di Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas
Sumatera Utara (Dani Sintara, Ijal, Ya’thi, Moral, Abel, Franky, Kiki, Pristi, Leni,
Yani, Nova, Claudia) dan yang lainnya yang tidak dapat saya sebutkan namanya
satu persatu. Semoga segala bantuan yang telah diberikan dapat dikategorikan
sebagai amal saleh dan dibalas dengan pahal yang berlipat ganda oleh ALLAH
SWT, Amin.
Dalam kesempatan ini juga saya ingin menyampaikan ucapan terimakasih kepada
saudara-saudara kandung saya, yakni: Abdul Hadi Pulungan, Robiatul Adawiyah,
Abdul Hafiz, Halimatussa’diyah, Mariyatulkibtiyah, Suaibatul Aslamiyah, Nur
Azizah (Butet Menek).
Akhirnya saya sampaikan terimakasih yang tiada tara disertai dengan doa nan
tulus saya untuk segala bantuan, doa restu, kasih sayang, pengorbanan, dan kesabaran
yang telah diberikan orang tua saya tercinta, yakni Ayahanda Awal Pulungan dan
Ibunda Mojak Batubara, kalian telah menjadi pemicu dan motivator bagi anakmu
untuk berusaha semaksimal mungkin dalam menyelesaikan sayaan tesis ini.
Sesuai dengan kata pepatah ”Tiada Gading Yang Tak Retak, Kalau Tak Retak
Bukanlah Gading” yang berarti juga saya menyadari bahwa tulisan ini masih jauh
dari sempurna, oleh karena itu dengan segala kerendahan hati saya mengharap kritik
Akhirnya, saya berharap tulis ini dapat membawa manfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmu hukum, AMIN.
Terimakasih.
Medan, 30 Desember 2010. Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... xi
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalahan ... 17
C. Tujuan Penelitian ... 18
D. Manfaat Penelitian ... 18
E. Keaslian Penelitian ... 19
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 19
1. Kerangka teori ... 20
2. Kerangka konsepsi ... 29
G. Metode Penelitian ... 31
1. Jenis penelitian ... 33
2. Sumber data ... 33
3. Teknik pengumpul data ... 35
BAB II : ASPEK FILOSOFIS PIDANA MATI DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DAN HUKUM
PIDANA ISLAM ... 37
A. Asfek Filosofis Pidana Mati Dalam Hukum
Pidana Indonesia ... 37
B. Asfek Filosofis Pidana Mati Dalam Hukum
Pidana Islam ... 54
BAB III : PENGATURAN PIDANA MATI DALAM HUKUM
PIDANA INDONESIA DAN HUKUM PIDANA
ISLAM ... 65
A. Pengaturan Pidana Mati Dalam Hukum Pidana
Indonesia ... 65
1. Kategori tindak pidana yang diancam dengan
hukuman mati ... 65
a. Pidana mati didalam KUHP ... 66
b. Pidana mati diluar KUHP ... 70
2. Mekanisme Eksekusi Mati Dalam Hukum Pidana
Indonesia ... 73
B. Pengaturan Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Islam ... 79
1. Kategori tindak pidana yang diancam dengan
hukuman mati ... 79
2. Mekanisme eksekusi mati dalam hukum pidana
Islam ... 92
BAB IV : PERSPEKTIF PENGATURAN PIDANA MATI
KEDEPAN ... ... 105
A. Argumentasi Pro dan Kontra Terhadap Pidana Mati
B. Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap
Pidana Mati ... 113
C. Perspektif Pidana Mati Kedepan ... 115
BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN ... 130
A. Kesimpulan ... 130
B. Saran ... 133
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Mardia Pulungan.
Tempat / Tanggal Lahir : Tornaincat, 20 September 1982.
Alamat : Jl. Flamboyan Raya Komplek Plamboyan
Island Blok L No. 40 Tanjung Selamat
Medan.
Agama : Islam
Pekerjaan : Guru Swasta.
Status Pribadi : Sudah Menikah.
Pendidikan :
1. SDN Batumadinding Kab. Madina : 1990-1996.
2. MTs Musthafawiyah Purba Baru Kab. Madina : 1997-2000. 3. Ma’had Pondok Pesantren Musthafawiyah Kab. Madina : 1996-2003. 4. MAS Musthafawiyah Purba Baru Kab. Madina : 2000-2003.
5. IAIN Sumatera Utara Medan : 2003-2008.
6. Program Magister Ilmu Hukum USU : 2008-2011.
Nama Orang Tua Laki-Laki : Awal Pulungan.
Nama Orang Tua Perempuan : Mojak Batubara.
Anak Ke : 1 Dari 8 Bersaudara.
ABSTRAK
Hukuman mati selalu menjadi debat yang kontroversial. Pro dan kontra penerapan hukuman mati selalu bertarung di tingkatan masyarakat, maupun para pengambil kebijakan. Terhadap pertanyaan pidana mati terdapat 2 (dua) arus pemikiran utama,
pertama: adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan ketentuan
yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang ingin menghapuskan secara keseluruhan, dengan alasan yang selalu dijadikan tameng adalah bertentangan dengan Hak Asasi Manusia yaitu hak untuk hidup (right to life). Kecenderungan masa kini adalah penghapusan pidana mati, seperti yang dilakukan dibeberapa Negara, seperti Amerika serikat dan Uni Eropa. Indonesia, termasuk negara yang masih mempertahankan pidana mati dalam sistem hukum positifnya. Sebagaimana dalam hukum pidana nasional Indonesia, pidana mati juga berlaku dalam hukum pidana Islam, dalam hukum pidana Islam, pidana mati merupakan jenis pidana yang wajib diterapkan terhadap jarimah (tindak pidana tertentu). Akan tetapi banyak kalangan yang mempersepsikan pidana mati tersebut sebagai suatu pidana yang sangat kejam, dan tidak berprikemanusiaan. Dengan demikian, untuk menjawab pro dan kontra mengenai pelaksanaan pidana mati, khususnya dalam hukum pidana nasional Indonesia, ada baiknya menggali nilai-nilai filosofis dari pidana mati itu sendiri sehingga bisa melahirkan perspektif yang berkaitan dengan pengaturan pidana mati kedepan.
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan sifat penelitian deskriptif analitis. Dalam melakukan pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan. Penelitian kepustakaan adalah dengan merujuk pada bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier yang berkaitan dengan permasalahan. Untuk menganalisis data digunakan pendekatan kualitatif, yaitu dengan menganalisis data secara mendalam dan holistic dan kemudian dilakukan penafsiran. Hasil dari penafsiran yuridis tersebut diharapkan mampu menjawab permasalahan hukum yang diajukan dalam tulisan ini.
Oleh karena itu, hendaknya para pengambil kebijakan dapat mengatur tindak-tindak pidana berat lainnya yang dewasa ini sering terjadi dan sangat mengganggu serta meresahkan masyarakat menjadi salah satu tindak pidana yang dapat diancam dengan pidana mati. Misalnya, pengacau keamanan, pemerkosaan, penganiayaan yang mengakibatkan matinya korban, dan sebagainya. Selain itu, pelaksanaan eksekusi mati itu juga harus menjadi agenda penting, yaitu dengan melaksanakannya didepan umum (khalayak ramai) seperti yang berlaku dalam hukum pidana Islam, atau setidaknya dipublikasikan secara luas. Hal ini dimaksudkan agar pidana mati itu benar-benar dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan yaitu general deterrence (penjeraan bagi masyarakat luas).
ABSTRACT
Capital sentence remains a controversial debate. Pro and cons in application of capital sentences is competitive among community, and even among policy takers. To question of capital sentences two lines of thinking are posed, first some maintains it based on the applicable requirements, seconds, some wants to eliminate it at all. The common reason for it is always inconsistent with human rights, ice, rights of life. The recent tendency is elimination of capital sentence, as practiced ion some countries, including united states and Europe Union. Indonesia is a state to maintain the capital sentences through positive law system. As stated in national criminal law of Indonesia, the capital sentences is always applied in criminal law of island. In criminal law of island. Capital sentences is a compulsory judgment to be enforced on jeremiahs (certain criminal matter). However, some people assumed that the capital sentences is a very implementation of capital sentences in Indonesia, it is important to dig the philosophical values of the capital sentences it salt in order to generate the per spec ties related to determination of capital sentences in the future.
This was a normative law research of analytical and descriptive nature. In collection of date. This research used the library research, referring to primary law material, secondary law materials and tertiary one related to the problem. The equalization approach was used to analye the data, in depth analysis of data and holistic and then taken into interpretation. The result of juridical interpretation was expended to answer the problem of law posed in this paper.
The result of research indicated that the application of capital sentences either in national criminal law of Indonesia or Islamic law be to realize the ideal of law itself, I,e to produce the order and peace among peoples against offence. In another hand, the execution for capital sentences was also to realize the détente/preventive principle on another potential crimes, thus both order and peace would be created. And both national criminal law of Indonesia or Islamic criminal law were very concerned with the justice. For the reason, both were equally to enforce the capital sentences on certain criminal disturbing the order and peace among peoples, although there was still some debate regarding the concept of justice it self in both law system.
Therefore, it is suggested that policy takers should regulate another heavy criminal matter that is rottenly occurring recently. For example the disturb bane of safety, rape, insults causing the death of victims, and so on. Finally the implementation of execution in capital sentences has been a very importing agenda by applying it before public as practiced in island criminal law, or at least, it should be publicized widely. This will be to prove that the function of capital sentences is made as expected, to be a general detterence (deterring among offensive individuals).
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum1 merupakan sesuatu yang harus ada dan berlaku dalam sebuah
masyarakat. Sebuah komunitas masyarakat yang tidak diikat oleh hukum akan
mengakibatkan timbulnya ketidakteraturan. Sebab, sebagaimana diketahui bahwa
manusia itu merupakan makhluk sosial (zoon politicion), yang berarti ia merupakan
makhluk yang senantiasa ingin berkumpul, bergaul dan berinteraksi dengan
sesamanya dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya.2
Manusia sebagai makhluk sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya
itu, maka sangat terbuka peluang untuk timbulnya ketidak teraturan tersebut. Salah
satu fungsi hukum, adalah membimbing perilaku manusia. Sebagai pedoman ia juga
bertugas untuk mengendalikan tingkah laku atau sikap tindak, dan untuk itu ia
didukung dengan sanksi negatif yang berupa hukuman agar dapat dipatuhi. Oleh
karena itu, hukum juga merupakan salah satu sarana pengendalian sosial. Dalam hal
1
Menurut Van Apeldoorn,sejak rubuan tahun orang berusaha merumuskan defenisi hukum.Namun,belum ditemukan defenisi yang memuaskan. Hampir semua ahli hukum,lanjutnya mendefenisikan hukum itu secara beragam. Hal itu menurutnya membuktikan bahwa hukum itu memiliki bentuk atau segu yang sangat luas, sehingga tidak mungkin mereka menyatukannya dalam satu rumus secara memuaskan. Han Kelsen , mengartikan hukum itu sebagai suatu system kaedah yang merupakan pedoman bagi manusia yang digunakan sebagai pembatas sikap atau tingkah laku dalam pergaulan hidup bermasyarakat.
2
ini, maka hukum adalah suatu sarana pemaksa yang melindungi warga masyarakat
dari ancaman-ancaman maupun perbuatan-perbuatan yang membahayakan diri
sendiri serta harta bendanya. Jadi, barang siapa yang melanggar hukum, dia akan
memperoleh hukuman (pidana). Hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan
apa yang diancam pidana dan dimana aturan pidana itu menjelma disebut hukum
pidana. Oleh karena itu, hukum pidana disebut sebagai hukum sanksi istimewa.3
Penjatuhan pidana sebagai penderitaan kepada pelanggar hanya merupakan obat
terakhir (Ultimum Remedium) yang hanya dijalankan jika usaha-usaha lain seperti
pencegahan sudah tidak berjalan. Salah satu bentuk pidana yang paling berat adalah
pidana mati. Pidana mati merupakan satu jenis pidana yang tua dalam usianya, setua
usia kehidupan manusia dan paling kontroversial dari semua sistem pidana, baik di
negara-negara yang menganut sistem Common Law, maupun di negara-negara yang
menganut Civil Law.
Terdapat dua arus pemikiran utama mengenai pidana mati ini, yaitu: pertama,
adalah mereka yang ingin tetap mempertahankannya berdasarkan
ketentuan-ketentuan yang berlaku, dan kedua adalah mereka yang menginginkan penghapusan
secara keseluruhan. Kecenderungan masa kini adalah penghapusan pidana mati,
seperti yang dilakukan dibeberapa Negara Amerika serikat dan Negara negara Uni
3
Eropa. Indonesia, termasuk negara yang masih mempertahankan pidana mati dalam
sistem hukum positifnya.4
Isu hukuman mati selalu menjadi debat yang kontroversial. Pro dan kontra
penerapan hukuman mati selalu bertarung di tingkatan masyarakat, maupun para
pengambil kebijakan. Kontroversi hukuman mati juga eksis baik itu di panggung
internasional maupun nasional. Hukum gantung terhadap Saddam Hussein di Irak
memicu debat di fora internasional. Di Indonesia kontroversi ini juga memanas ketika
eksekusi Tibo Cs dilakukan dan rencana eksekusi terhadap Amrozi Cs.
Pidana mati diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana
mati sebagai mana tercantum dalam KUHP belaku di Indonesia sejak januari 1918
dan diatur dalam pasal 10. Dalam pasal ini dimuat dua macam bentuk pidana, yaitu
pidana pokok dan pidana tambahan. Pidana mati adalah bagian dari pidana pokok
adapun ketentuan diluar KUHP adalah antara lain dalam undang-undang (UU) No. 35
tahun 2009 tentang Narkotika dan UU No.5 tahun 1997 tentang psikotropika, UU No.
31 tahun 1999 yang dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Jo UU No.1 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No.26 tahun 2000 Pengadilan
Hak Azasi Manusia, Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme.5
Perundang-undangan RI yang Memiliki Ancaman Pidana Hukuman Mati
No Judul UU Keterangan
4 Ibid. 5
Makar
Mengajak atau menghasut negara lain untuk menyerang RI
Melindungi musuh atau menolong musuh yang berperang melawan RI
Membunuh kepala negara sahabat
Pembunuhan berencana
Pencurian dengan kekerasan oleh dua orang atau lebih berkawan pada waktu malam dengan merusak rumah yang mengakibatkan orang luka berat atau mati
Pembajakan di laut, di tepi laut, di sungai sehingga ada orang yang mati
1
Kitab UU Hukum Pidana
Menganjurkan pemberontakan atau huru hara pada buruh terhadap perusahaan pertahanan negara waktu perang
Melakukan penipuan dalam menyerahkan barang-barang di saat perang
Pemerasan dengan kekerasan
2 UU Darurat No. 12 Tahun
1951
Senjata api
3 Penetapan Presiden No. 5 Tahun 1959
Wewenang Jaksa Agung/Jaksa Tentara Agung dalam hal memperberat ancaman hukuman mati terhadap tindak pidana yang membahayakan pelaksanaan perlengkapan sandang pangan.
4 Perpu No. 21 Tahun 1959 Memperberat ancaman hukuman terhadap tindak pidana ekonomi
5 UU No. 11/PNPS/1963 Pemberantasan kegiatan subversif
pasal dalam KUHP bertalian dengan perluasan berlakunya ketentuan perundang-undangan pidana kejahatan penerbangan dan kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan
7 UU No. 5 Tahun 1997 Psikotropika
8 UU No. 35 Tahun 2009 Narkotika
9 UU No. 31 Tahun 1999 yang dirubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Jo UU No.1 Tahun 2001
Pemberantasan Korupsi
10 UU No. 26 Tahun 2000 Pengadilan HAM
11 UU No. 15 Tahun 2003 Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Sumber: data olahan Litbang Kontras6
Di Indonesia perdebatan tentang penerapan pidana mati telah dimulai setidaknya
sejak penjahat kelas kakap Kusni Kasdut dieksekusi pada tanggal 6 februari 1980.7 Ia
dijatuhi hukuman mati karena kejahatan melakukan perampokan dan pembunuhan.
Pelaksanaan eksekusi setelah permintaan grasinya ditolak. Terhadap terpidana Kusni
Kasdut perhatian masyarakat pada waktu itu sangat besar. Kepergiannya
meninggalkan keharuan, sekalipun ia adalah bekas perampok dan pembunuh. Secara
6
www.kontras.org/hmati/data/Working%20Paper_Hukuman_Mati_di_Indonesia. pdf.: tanggal 20 september 2010.
7
Djoko Prakoso dan Nurwachid, Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai Efektivitas
kebetulan dalam masyarakat Indonesia sedang ada gerakan yang mempertanyakan,
apakah pidana mati masih sesuai dengan kebudayaan masyarakat pancasila.8
Hukum pidana yang merupakan warisan kolonial Belanda itu kemudian dimuat
dalam satu kitab Undang-Undang yang dikenal dengan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana (Wetboek Van Strafrech) yang disingkat dengan KUHP (WvS).9 Dalam Kitab
Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang terdiri dari tiga buku itu,10 diatur
secara tegas kedalam pasal-pasalnya tentang bentuk-bentuk perbuatan yang dapat
dikenakan sanksi/pidana sekaligus jenis pidana yang dapat dijatuhkan terhadap
pelaku kejahatan tersebut. Dalam salah satu pasal-pasal tersebut (pasal 10) di
cantumkan pula secara tegas jenis-jenis pidana yang akan dijatuhkan terhadap setiap
orang yang melakukan tindak pidana. Salah satu jenis pidana dan merupakan pidana
terberat yang dicantumkan dalam pasal 10 itu adalah pidana mati. Berdasarkan
ketentuan pasal 10 tersebut, maka dapat dipahami bahwa pidana mati merupakan
salah satu jenis pidana yang secara yuridis formal berlaku di Indonesia, kendatipun
senantiasa menimbulkan pro dan kontra dikalangan ahli hukum. Bahkan,
sebagaimana menurut Andi Hamzah, delik/tindak pidana yang dapat diancam pidana
mati dalam hukum nasional yang berlaku di tanah air saat ini semakin banyak. Sebab
di luar KUHP ternyata juga tercantum ancaman pidana mati tersebut.
8
Ibid hlm.10 9
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang berlaku di Indonesia saat ini merupakan hukum pidana (Code penal) Perancis.
10
Penarapan pidana mati dalam sistem hukum nasional (KUHP) Indonesia, pada
peraktiknya sangat diupayakan sebagai alternative terakhir. Karena itulah dalam
KUHP ancaman pidana mati itu selalu diikuti dengan pidana yang lain sebagai
alternatifnya, yaitu pidana penjara seumur hidup, atau penjara selama 20 tahun.
Bahkan eksekusi mati itu harus melalui persetujuan (Fiat executie) presiden. Adanya
penolakan garasi oleh presiden, barulah eksekusi itu boleh dijalankan.11
Ketentuan yang terkait dengan proses penjatuhan pidana mati seperti diatas
merupakan filter yang agak ketat untuk terlaksananya eksekusi mati dalam hukum
positif Indonesia, kendatipun pidana terberat itu pada dasarnya diatur secara tegas
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 10 KUHP tersebut. Adanya filter terhadap
pelaksanaan eksekusi mati itu yidak terlepas dari hakikat pemidanaan itu sendiri yaitu
bertujuan unyuk mengarahkan si terpidana kearah kebaikan. Dimana tujuan ini tidak
akan terwujut apabila ia terlanjur dieksekusi mati.
Sudarto mengatakan bahwa:
Suatu pidana itu dapat diukur dari sudut keadilan dan kemanfaatan. Keadian yang ingin ditegakkan oleh manusia yang sipatnya tidak sempurna ini, tidak mungkin keadilan yang sempurna. Nyawa adalah milik paling berharga bagi manusia. Hilangnya nyawa berarti hilangnya nyawa itu sendiri. Adakah alasan yang cukup kuat untuk menghilangkan manusia itu sendiri? Kekeliruan dari pengadilan selalu dapat terjadi, dan kalau hal ini terjadi dalam penjatuhan hukum mati, maka tidak ada kemungkinan lain sama sekali tidak memperbaiki, manfaat pidana ini sangat diragukan.12
11
Andi Hamzah, sistem pidana dan pemidanaan Indonesia, (Jakarta: Pratnya, Cet,. II, 1993). hlm. 36.
12
Hukuman mati merupakan jenis pelanggaran hak asasi manusia yang paling
penting, yaitu hak untuk hidup (right to life). Hak fundamental (non-derogable
rights) ini merupakan jenis hak yang tidak bisa dilanggar, dikurangi, atau dibatasi
dalam keadaan apapun, baik itu dalam keadaan darurat, perang, termasuk bila
seseorang menjadi narapidana. Indonesia sendiri ikut menandatangani Deklarasi
Universal HAM dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah meratifikasi
Kovenan Internasional Hak Sipil Politik, keduanya secara jelas menyatakan hak atas
hidup merupakan hak setiap manusia dalam keadaan apapun dan adalah kewajiban
negara untuk menjaminnya. Penulisngnya ratifikasi Kovenan Sipil Politik ini tidak
diikuti pula dengan ratifikasi Protokal Tambahan Kedua Kovenan Internasional
tentang Hak Sipil Politik tentang Pengahapusan Hukuman Mati.13
Hukuman mati memiliki turunan pelanggaran HAM serius lainnya, yaitu
pelanggaran dalam bentuk tindak penyiksaan (psikologis), kejam dan tidak
manusiawi. Hal ini bisa terjadi karena umumnya rentang antara vonis hukuman mati
dengan eksekusinya berlangsung cukup lama. Tragisnya Indonesia sendiri telah
meratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan dan mengadopsinya menjadi UU Anti
Penyiksaan No.5/1998.
Penerapan hukuman mati di Indonesia juga bertentangan dengan perkembangan
peradaban bangsa-bangsa di dunia saat ini. Amnesty Internasional, mencatat hingga
September 2007 ini, terdapat 142 negara – dengan rata-rata pertambahan 3 negara
13
tiap tahun- yang telah menghapuskan hukuman mati, baik melalui mekanisme hukum
maupun praktek konkrit. Bahkan dari jumlah di atas, 24 negara memasukkan
penghapusan hukuman mati di dalam konstitusinya. Wilayah yang negaranya paling
aktif menghapus praktek hukuman mati adalah Afrika, yang memiliki kultur, sistem
politik, dan struktur sosial yang mirip dengan Indonesia. Penghapusan hukuman mati
baik melalui mekanisme hukum atau politik di Indonesia pasti meninggikan martabat
Indonesia di mata komunitas internasional.14
Selain itu dalam konteks politik hukum di Indonesia, hukuman mati harus ditolak
karena:
1. Karakter reformasi hukum positif Indonesia masih belum menunjukkan sistem
peradilan yang independen, imparsial, dan aparaturnya yang bersih. Bobroknya
sistem peradilan bisa memperbesar peluang hukuman mati lahir dari sebuah
proses yang salah. Kasus hukuman mati Sengkon dan Karta pada tahun 1980 lalu
di Indonesia bisa menjadi pelajaran pahit buat kita. Hukum sebagai sebuah
institusi buatan manusia tentu tidak bisa selalu benar dan selalu bisa salah.
2. Dari kenyataan sosiologis, tidak ada pembuktian ilmiah hukuman mati akan
mengurangi tindak pidana tertentu. Artinya hukuman mati telah gagal menjadi
faktor determinan untuk menimbulkan efek jera, dibandingakan dengan jenis
hukuman lainnya. Kajian PBB tentang hubungan hukuman mati (capital
punishment) dan angka pembunuhan antara 1988-2002 berujung pada kesimpulan
hukuman mati tidak membawa pengaruh apapun terhadap tindak pidana
pembunuhan dari hukuman lainnya seperti hukuman seumur hidup.
Meningkatnya kejahatan narkoba, terorisme, atau kriminal lainnya tidak
semata-mata disebabkan oleh ketiadaan hukuman mati, namun oleh problem struktral
lainnya seperti kemiskinan atau aparat hukum/negara yang korup. Di tahun 2005
ini misalnya ditemukan pabrik pil ekstasi berskala internasional di Cikande,
Serang, Banten. Pabrik ini dianggap sebagai pabrik ekstasi terbesar ketiga di
dunia dengan total produksi 100 kilogram ekstasi per minggu dengan nilai sekitar
Rp 100 milyar.15
Ternyata operasi ini melibatkan dua perwira aparat kepolisian; Komisaris MP
Damanik dan Ajun Komisaris Girsang. Meningkatnya angka kejahatan narkoba
juga diakui oleh Polda Metrojaya. angka kasus narkotika, psikotropika, dan bahan
adiktif lainnya (narkoba) tahun 2004 naik hingga 39,36 persen jika dibandingkan
dengan angka kasus narkoba tahun 2003. Selama tahun 2004 Polda Metrojaya
telah menangani 4.799 kasus narkoba, atau meningkat 1.338 kasus jika
dibandingkan kasus narkoba tahun 2003 yang hanya 3.441 kasus. Bahkan untuk
kejahatan terorisme hukuman mati umumnya justru menjadi faktor yang
menguatkan berulangnya tindakan di masa depan. Hukuman mati justru menjadi
amunisi ideologis untuk meningkatkan radikalisme dan militansi para pelaku.
sampai saat ini bahkan kejahatan terorisme masih menjadi momok dan negara
sama sekali tidak punya jawaban efektif atas persoalan ini. Terakhir kali pada 1
Oktober 2005 lalu terjadi lagi kasus bom bunuh diri di Bali. Satu pernyataan
pelaku kasus pemboman di depan Kedubes Australia, Jakarta (9 September 2004),
Iwan Dharmawan alias Rois, ketika divonis hukuman mati oleh majelis hakim
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 13 November 2005:
“Penulis tidak kaget dengan vonis ini karena penulis sudah menyangka sejak
awal penulis menjadi terdakwa. Penulis menolak vonis ini karena dijatuhkan
oleh pengadilan setan yang berdasarkan hukum setan, bukan hukum Allah.
Kalaupun penulis dihukum mati, berarti penulis mati syahid”.16
Sikap ini juga ditunjukkan terdakwa kasus bom lainnya yang umumnya menolak
meminta grasi atau pengampunan atas perbuatan yang telah dilakukan. Penerapan
hukuman mati jelas tidak berefek positif untuk kejahatan terorisme semacam ini.
3. Praktek hukuman mati di Indonesia selama ini masih bias kelas dan diskriminasi,
di mana hukuman mati tidak pernah menjangkau pelaku dari kelompok elit yang
tindak kejahatannya umumnya bisa dikategorikan sebagai kejahatan serius/luar
biasa.
Para pelaku korupsi, pelaku pelanggaran berat HAM dengan jumlah korban jauh
lebih masih dan merugikan ekonomi orang banyak tidak pernah divonis mati.
Padahal janji Presiden SBY hukuman mati diprioritaskan buat kejahatan luar
biasa seperti narkoba, korupsi, dan pelanggaran berat HAM.
4. Penerapan hukuman mati juga menunjukkan wajah politik hukum Indonesia yang
kontradiktif. Salah satu argumen pendukung hukuman mati adalah karena sesuai
dengan hukum positif Indonesia. Padahal semenjak era reformasi/transisi politik
berjalan telah terjadi berbagai perubahan hukum dan kebijakan negara. Meski
hukuman mati masih melekat pada beberapa produk hukum nasional, namun
reformasi hukum juga menegaskan pentingnya hak untuk hidup. Pasal 28I ayat
(1) UUD ’45 (Amandemen Kedua) menyatakan:
“hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan umum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apapun”.
Penulisngnya masih banyak sekali peraturan dan perundang-undangan yang
bertentangan dengan semangat konstitusi di atas. Tercatat masih terdapat 11
perundang-undangan yang masih mencantumkan hukuman mati.
5. Sikap politik pemerintah terhadap hukuman mati juga bersifat ambigu. Beberapa
waktu lalu pemerintah mengajukan permohonan secara gigih kepada pemerintah
Arab Saudi, Malaysia, dan Singapura untuk tidak menjalankan hukuman mati
kepada warga negara Indonesia, dengan alasan kemanusiaan. Namun hal ini tidak
terjadi pada kasus hukuman mati WNA di Sumatra Utara tahun lalu dan
kasus-kasus lainnya baru-baru ini.17
Belum lagi dengan kasus-kasus kejahatan berat yang dilakukan warga Negara
Indonesia yang berada di negara lain seperti Malaysia yang diancam hukuman mati.
“ Berdasarkan data yang dimiliki pemerintah, sebanyak 70 warga Negara Indonesia
yang mendapat vonis hukuman mati saat ini berada di penjara di Malaysia,” kata
Abdul Malik Harahap pada diskusi “Nasib TKI dan Diplomasi Setengah Hati “ di
Jakarta, sabtu. Abdul Malik menjelaskan, berdasarkan data yang dimiliki pemerintah,
WNI yang mendapat hukuman di Malaysia secara keseluruhan sebanyak 6.845 kasus
pidana dan perdata. Dari jumlah tersebut, kata dia, ada sebanyak 177 WNI yang
terancam hukuman mati, yakni terjerat kasus narkoba 142 orang serta terjerat kasus
pembunuhan dan senjata api sebanyak 35 orang18
Sebagaimana dalam hukum pidana nasional Indonesia ( KUHP ), pidana mati
juga berlaku dalam hukum pidana Islam. Dalam Alqur’an surat al-Mululk ayat 2 di
ingatkan bahwa hidup dan mati ada di tangan tuhan. Karena itu Islam sangat
memperhatikan keselamatan hidup dan kehiduan manusia sejak ia masih dalam
kandungan sampai sepanjang hidupnya. dan untuk melindungi keselamatan hudup
manusia, Islam menetapkan berbagai norma hukum perdata dan pidana beserta
sanksinya baik di dunia seperti hukum had, diyat (denda) dan termasuk hukuman
qisas, maupun hukuman di akhirat kelak.
Demikian juga dalam hukum pidana Islam, pidana mati merupakan jenis pidana
yang wajib diterapkan terhadap jarimah (tindak pidana tertentu). Akan tetapi banyak
kalangan yang mempersepsikan pidana mati tersebut sebagai suatu pidana yang
sangat kejam, dan tidak berprikemanusiaan.
18
Dalam Al-Qur’an maupun hadis, istilah yang digunakan untuk menyebutnya
sangat bervariasi tergantung kepada Jarimah atau tindak pidana yang dilakukan,
misalnya pidana mati terhadap tindak pidana pembunuhan sengaja (al-qatl al- ‘amd),
pidana salib (salaba) terhadap tindak pidana perampokan dan pembunuhan, dan
sebagainya.19
Dalam hukum pidana Islam, sistem hukum pidanya diklasifikasikan kedalam tiga
bentuk, yaitu:
1. Hudud, yaitu jenis/bentuk pidana yang telah ditentukan oleh Tuhan dan
Rasul-Nya terhadap seorang yang melakukan tindak pidana hudud. Sehingga hakim dalam hal ini bersifat pasif, artinya ia tidak berwenang menambah atau mengurangi, apalagi membebaskan tersangka dari tuntutan hudud tersebut.20 2. Qisas, yaitu jenis pidana eksekusi mati yang dijatuhkan terhadap tersangka
pembunuhan karena dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain.21Jenis pidana ini pada dasarnya juga telah ditetapkan oleh Tuhan dan Rasul-Nya. Akan tetapi hakim dalam hal ini dapat bersifat aktif, artinya ia dibenarkan bahkan merupakan tindakan yang arif untuk menyarankan perdamaian kepada keluarga korban dengan cara mengajukan agar mereka memaafkan tersagka. Salah satu bentuk perdamaian itu adalah pihak korban membebaskan tersangka pembunuhan itu dari tuntutan qisas ini. Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa penarapan / pemberlakuan pidana mati tersebut merupakan jaminan untuk langengnya sebuah masyarakat itu sendiri.22 Rasionalisasinya adalah bahwa seseorang yang bermaksud menghilangkan nyawa orang lain akan berpikir panjang untuk melakukannya, karena pada akhirnya nyawanya juga akan dihilangkan melalui pidana qisas (eksekusi ) tersebut.
3. Ta’zir, yaitu, jenis pidana yang tidak diatur secara tegas oleh Tuhan dan
Rasul-Nya. Karena itu hakim dalam hal ini dituntut untuk bersifat aktif. Artinya, ia diberi kewenangan secara luas untuk menetapkan pidananya dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi perubahan sosial dalam peradaban masyarakat. Jenis pidananya dapat berupa nasehat, pemukulan/ cambuk, penjara, dan sebagainya.
19
Kedua Term yang digunakan Al-qur’an untuk penyebut pidana mati diatas dapat dilihat dalam QS, 5: 33, Lihat Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahan,(Semarang: Toha Putra, 1989), hlm.1.
20
Abd. Al-Qadir Audah, Juz II, Muassasah ar-Risalah,Beirut Libanon, 1412/1993, hlm. 663. 21
Ibid.,hlm. 663 22
Adapun urgensi pembagian jenis /bentuk pidana seperti diatas adalah untuk
mengkategorikan setiap tindak pidana (jarimah) yang dilakukan oleh pelaku jarimah
tersebut, apakah tergolong kepada jazimah hudud, qisas atau ta’zir. Selain itu
pengklasifikasian tersebut juga erat kaitannya dengan kewenangan hakim dalam
menentukan vonis/pidana kepadanya. Terhadap jarimah yang tergolong kepada
hudud misalnya, seorang hakim tidak memiliki kewenangan dalam memilih
jenis/bentuk pidana yang akan dijatuhkan pada seorang tersangka sebagaimana
dikemukakan diatas. Jadi, tugas hakim dalam hal ini adalah menjatuhkan pidana yang
telah ditentukan tersebut apabila telah terbukti kesalahannya. Dengan demikian
permohonan maaf dari pihak manapun tidak akan dapat mempengaruhi vonis yang
akan dijatuhkan oleh hakim, karena jenis pidana tersebut merupakan hak Tuhan
(haqq li Allah) untuk kepentingan orang banyak (maslahat al-mujtami).
Berbeda dengan qisas meskipun merupakan jenis pidana yang telah ditetapkan
oleh Tuhan sebagaimana pidana hudud, akan tetapi ia merupakan jenis pidana yang
bersifat khusus. Artinya aplikasi pidana tersebut sangat tergantung kepada sikap
keluarga korban pembunuhan. Dengan demikian. Apabila keluarga korban
memaafkannya maka hakim tidak dibolehkan menjatuhkan pidana mati (qisas)
tersebut. Ketentuan seperti inilah yang menyebabkan tindak pidana pembunuhan itu
ditetapkan sebagai hak hamba/perorangan (haqq al-ibad/al-afrad).23
Sebaliknya apabila keluarga korban tidak memafkannya, maka hakim bahkan
kepala Negara sekalipun tidak berhak memberikan maaf (grasi) seperti yang berlaku
23
dalam hukum pidananasional. Adapun pidana ta’zir sebagaimana di kemukakan
sebelumnya, bahwa hakim diharapkan bersifat aktif dan memiliki kewenangan yang
sangat luas dalam menjatuhkan jenis pidananya.
Sebagaimana dipaparkan diatas, bahwa pidana merupakan jenis pidana yang
secara yuridis formal berlaku dalam hukum pidana nasional Indonesia dan sampai
saat ini masih terdapat pro dan kontra dikalangan ahli hukum. Kalangan yang pro
dengan pidana mati berargumentasi antara lain bahwa pidana terberat itu lebih epektif
karena memiliki daya represif yaitu menakut-nakuti menjerakan (deterrence), dan
sesuai dengan prikemanusiaan. Selain itu pidana mati tersebut dapat mencegah
tindakan publik untuk tidak melakukan pengeroyokan/balas dendam terhadap
tersangka (dalam kasus pembunuhan). Sedangkan kalangan yang kontra
berargumentasi bahwa disamping tidak sesuai dengan prikemanusiaan,
keefektifannya sebagai alat penjeraan masih diragukan. Selain itu kesalahan dalam
peradilan tidak dapat diperbaiki.
Jimly Assidiqie dalam bukunya Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia
mengatakan dalam hal kebijakan mengenai agama dalam pembaharuan bentuk pidana
menjelaskan bahwa bagaimana sesungguhnya kedudukan agama dalam proses
pembaharuan hukum pidana, khususnya dalam rangka pembentukan KUHP Nasional.
Meskipun secara ideal, konstitusi menghendaki sifat hukum nasional yang tidak
sekuler, namun demikian pelaksanaan gagasan ideal itu masih harus dijabarkan dan
Akan tetapi, tentu saja hal inipun tergantung pula kepada bagaimana persepsi para
perancang dan pejabat pembentuk hukum pidana itu sendiri mengenai agama.24
Jika di kaitkan dengan rencana pembentukan KUHP baru maka sangat penting
adanya pertimbangan nilai nilai agama dalam pembaharuan bentuk pidana khususnya
mengenai pidana mati.
Dengan demikian, penulis berpendapat bahwa untuk menjawab pro dan kontra
mengenai pelaksanaan pidana mati, khususnya dalam hukum pidana nasional
Indonesia, ada baiknya menggali nilai-nilai filosofis dari pidana mati itu sendiri
sehingga bisa melahirkan perspektif yang berkaitan dengan pengaturan pidana mati
kedepan.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, dengan mengingat fenomena pro dan kontra
terhadap pidana mati dalam hukum pidana, khususnya hukum pidana nasional
Indonesia dan dengan membandingkannya dengan pidana mati dalam hukum pidana
Islam, maka penulis tertarik untuk melakukan sebuah perbandingan antara hukum
pidana nasional Indonesia dengan hukum pidana Islam terkait dengan pidana mati
dengan mengangkatnya kedalam suatu bentuk tesis dengan judul: ”Analisis Tentang
Pidana Mati Dalam Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam”.
B. Perumusan Masalah
24
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah pokok
yang perlu dirumuskan dalam beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana aspek Filosofis pidana mati dalam hukum pidana Indonesia dan
hukum pidana Islam?
2. Bagaimana pengaturan pidana mati dalam hukum pidana Indonesia dan hukum
pidana Islam?
3. Bagaimana Perspektif pengaturan pidana mati kedepan?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini tesis ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui aspek Filosofis pidana mati dalam hukum pidana dan hukum
pidana Islam.
2. Untuk mengetahui pengaturan pidana mati dalam hukum pidana Indonesia dan
hukum pidana Islam.
3. Untuk mengetahui bagaimana perspektif pengaturan pidana mati kedepan.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara toritis dan praktis
yaitu:
Sesuai dengan jenis penelitian ini (komparatif) diharapkan dapat mengemukakan
sisi kelemahan dan keunggulan dari kedua sistem hukum tersebut. Sisi
keunggulannya diharapkan dapat menjadi sumbangan pemikiran di bidang
hukum, khususnya dalam disiplin ilmu yang berkaitan dengan pidana mati.
2. Bersifat praktis
Sisi keunggulan yang dapat diperoleh dari hasil studi perbandingan tentang
pidana mati terhadap kedua sistem hukum tersebut diharapkan dapat pula
dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan dalam
rangka pembaharuan hukum pidana nasional (KUHP) yang merupakan warisan
kolonial belanda.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan yang dilakukan oleh
penulis terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan secara khusus di
lingkungan Universitas Sumatera Utara. Penelitian mengenai “ Analisis Tentang
Pidana Mati Dalam Hukum Pidana dan Hukum Islam” belum pernah dilakukan
penelitian pada topik dan pembahasan yang sama. Adapun judul penelitian yang
mendekati adalah tesis saudari Nelvitia Purba dengan judul “ Suatu analisis
Perkembangan hukuman Mati Di Indonesia .”
Dalam rangka menjawab permasalahan dan mencapai tujuan penelitian, maka
digunakan beberapa teori dan konsep dalam rangka menganalisis pidana mati daalam
hukum pidana dan hukum pidana Islam.
1. Kerangka Teori
Kerangka Teoritis dalam penulisan karya ilmiah fungsinya adalah sebagai
pemandu untuk mengorganisasi, memprediksi dan memperjelaskan
fenomena-fenomena dan atau objek masalah yang diteliti dengan cara mengkonstruksi
keterkaitan antara konsep secara deduktif maupun induktif. Oleh karena objek
masalah yang diteliti dalam tesis ini berada dalam ruang lingkup ilmu hukum, maka
konsep yang akan digunakan dalam sebagai sarana analisis adalah
konsep-konsep,asas,dan norma-norma hukum yang dianggap relevan.
Pidana mati ditempatkan sebagai pidana yang terberat karena objek dan
sasarannyaadlah nyawa seseorang merupakan sesuatu yang sangat berharga dan tidak
ternilai harganya olehkarena itusetiap manusia,selalu berusaha untuk
mempertahankan nyawanyauntuk tetap hidup. Pidana mati ditujukan untuk
membinasakan penjahat yang dianggap tidak dapat diperbaiki lagi agar kejahatannya
tidak ditiru oleh orang lain atau tidak semakin bertambah orang yang dirugikan.
Pidana mati biasanya diancamkan secara selektif dan selalu diikutidengan ancaman
pidana lain sebagai alternatifnya. Berkenaan dengan pidana mati Modderman
namun penarapan ini hanya sebagai sarana terakhir dan harus dilihat sebagai
wewenang darurat yang dalam keadaan luar biasadapat diterapkan.25
Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan penjatuhan
pidana mati sebagai berikut: Tujuan menjatuhkan dan menjalankan hukuman mati
selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman mati
akan takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang akan mengakibatkan mereka
dihukum mati. Berhubungan dengan inilah zaman dahulu hukuman mati dilaksanakan
dimuka umum.26
Pidana mati merupakan jenis pidana yang senantiasa menjadi perdebatan serius
diberbagai Negara. Bahkan perdebatan itu bukan hanya muncul dari kalangan para
ahli hukum, namun juga dari kalangan filosofis, teolog, dan ilmuan, sasial.
Dikalangan ahli hukum, setidaknya ada tiga teori tentang pemidanaan. Dan teori itu
lahir didasarkan kepada persoalan mengapa suatu tindak pidana harus dijatuhi sanksi
pidana. Teori yang pertama disebut teori absolut. Menurut teori ini sebuah pidana
diberikan karena pelaku kejahatan memang harus menerima pidana itu semata-mata
karena kesalahannya. Pidana itu menjadi retribusi yang adil atas kerugian yang
diakibatkannya.27
Menurut Imanuel Khant (1724-1804) tokoh aliran retributivisme bahwa dalam
segala situasi sebuah pidana dapat dijatuhkan terhadap seorang pelaku kejahatan
25
J.E. Sahetafy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana MatiTerhadap Pembunuhan Berencana, (Jakarta: C.V.Rajawali, 1979), hlm.47.
26
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung :Eresco, 1989), hlm. 9.
27
hanya karena ia terbukti bersalah. Dengan demikian penderitaan yang disebabkan
oleh seseorang harus dibayar dengan retribusi berupa hukuman/pidana. Dengan kata
lain Kant berpendapat bahwa pidana adalah merupakan ganjaran (desert) terhadap
perbuatan jahat yang sudah dilakukan. Karena itu aliran retributinisme ini menganut
perinsip punitur peccatum est (dihukum karena bersalah).
Beranjak dari teori diatas, maka dalam hal pidana mati Kant berpendapat bahwa
apabila seseorang terbukti melakukan pembunuhan, maka ia juga harus dibunuh.
Dalam kasus ini lanjutnya, tidak mungkin ada ganti rugi yang memuaskan secara adil
kecuali pidana mati, karena hanya pidana itulah yang dapat menyeimbangi kejahatan
pembunuhan itu. Senada dengan pendapat Kant, Hegel (1770-1831 M), juga tokoh
aliran retributivisme berpendapat bahwa, tidak ada pidana yang patut diberikan
terhadap seorang pembunuh kecuali dengan mencabut nyawa si pembunuh.28
Berbeda dengan teori absolute diatas, teori relatif tujuan pada dasarnya menolak
pidana mati tersebut. Menurut teori ini suatu pidana dapat diberikan apabila
mengandung konsekuensi yang positif bagi si terhukum atau orang lain. Dengan kata
lain sebuah pidana baru dapat dibenarkan apabila secara ositif dapat membuat jera si
terhukum sekaligus berfungsi preventif bagi orang lain. Menurut teori ini
konsekuensi yang terpenting dari suatu pidana adalah efek-efeknya yang bersifat
preventif, yaitu kontribusinya terhadap pencegahan kejahatyan atau penurunan
jumlah pelanggaran hukum. Karena itu aliran ini menganut prinsif punitur utni
pecetur (dihukum agar tidak lagi bersalah). Akan tetapi dalam kondisi tertentu pidana
28
mati itu dapat diterapkan demi mempertahankan tertib hukum. Justru itu wujut pidana
menurut teori ini berbeda-bada ssesuai dengan kebutuhannya, yaitu memperbaiki
(verbetering), menakutkan (afschrikking) dan membinasakan (onschdelijkmaking).29
Dengan demikian menurut teori ini pidana mati itu dapat diterapkan apabila
kondisinya menuntut demikian.
Dikalangan ahli hukum juga terjadi perbedaan pandangan/pro dan kontra tentang
pelaksanaan pidana mati sebagaimana yang diatur dalam pasal 10 KUHP. Mantan
Hakim Agung Bismar Siregar misalnya, menghendaki tetap dipertahankannya pidana
mati dengan maksud jika sewaktu-waktu dibutuhkan masih tersedia. Sebab ia
berpendirian bahwa jika seorang pejabat sudah terlalu keji tanpa perikemanusiaan,
maka hanya pidana matilah yag pantas dujatuhkan. Senada dengan pendapat diatas,
mantan jaksa Agung Ali Said berpendapat, bahwa jika seseorang mengetahui masih
ada ancamannya, maka ia akan berhati-hati untuk melaksanakan kejahatan.Hampir
senada dengan pendapat yang terakhir. Moh. Assegaf berpendapat, bahwa jka pidana
mati itu benar-benar dijalankan secara konsekuen, maka ia dapat mengurangi
timbulnya kejahatan. Sebagai bukti di Negara-negara yang menjalankan secara
konsekuen, misalnya Arab Saudi, Pakistan, dan Singapura, angka kejahatan dapat
dianggap relatif kecil.30
Berbeda dengan pandangan diatas, JE Sahetapy dalam disertasinya berpendapat
bahwa pidana hendaknya dilihat sebagai suatu sarana yang mempunyai tujuan
29
Bambang Poernomo, Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hlm. 7 30
membebaskan dan bukan sebagai pembalasan dendam terhadap pelaku kejahatan,
sebab bagaimanapun, lanjutnya, perbuatan itu sudah terjadi dan korban telah jatuh.
Pembalasan dalam bentuk apapun tidak akan membawa keseimbangan kembali
kecuali hanya untuk memuaskan dendam. Ia menandaskan, bahwa dalam perspektif
tujuan membebaskan, pidana harus diartikan kemasa depan. Sebab itu, ia menolak
pidana tersebut karena tidak sesuai dengan pendekatan utilitas dimana ia memang
meragukan keefektipannya.31
Selain Sahetapy, Roeslan Saleh merupakan ahli hukum yang kontra dengan
pidana mati. Menurutnya, banyak negara yang menghapuskan pidana mati tersebut
merupakan bukti bahwa orang menyadari betapa buruknya penerapan pidana berat
tersebut. Akan tetapi diantara negara tersebut ada pula yang memasukkan kembali
pidana itu ke dalam hukum pidanya.
Dari alasan baik yang pro, maupun dari yang kontra tersebut, terdapat kesamaan
bahwa mereka mendasarkan pada pancasila sebagai dasar atau landasannya, terutama
sila ketuhanan yang maha Esa dan sila kemanusiaan yang adil dan beradab.32
31
JE. Sahetapy, Op. cit., hlm. 146. 32
Nilai ketuhanan yang maha Esa, yang terkandung dalam nilai-nilai dasar hukum
nasional, merupakam nilai sentral dan menjiwai nilai-nilai yang lain. Hal ini
mengisyaratkan bahwa hukum nasional mengenal adanya hukum Tuhan, hukum
kodrat dan hukum susila. Berpangkal dari keyakinan dan kebenaran bahwa manusia
ciptaan Tuhan, dan tuhan memberikan aturan-aturan bagi ciptaan-nya, maka sudah
semestinya hukum kodrat dan hukum susila tidak bertentangan dengan hukum tuhan.
Ketiga macam hukum itu tidak berdiri sendiri ataupun terpisah satu sama lain.33
Apabila ada dua pendapat yang bertentangan antara satu dengan yang lainnya,
biasanya ada suatu pendapat ketiga yang berada di tengah-tengah. Disamping teori
absolute dan relatif, makamuncul teori ke tiga (teori gabungan), dimana teori ini
mengakui adanya unsur pembalasan disatu pihak dan unsur memperbaiki di pihak
lain.
Teori gabungan dimaksud dibagi kedalam tiga golongan, yaitu:
1. Teori gabungan yang menitikberatkan pembalasan, tetapi membalas itu tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.
2. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pertahanan dan tata tertib masyarakat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. 3. Teori gabungan yang menganggap kedua asas itu harus dititik beratkan sama.
Untuk mengetahui teori pemidanaan dalam hukum pidana Islam, setidaknya dapat
dilihat melalui dua ayat Al-Qur’an berikut ini:
33
1. Q.S. Al-Baqarah ayat 179 yang artinya: dan dalam qisas itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu
bertakwa.
Ayat ini secara tegas menginformasikan bahwa ditetapkannya pidana qisas itu
dalam sistem hukum pidana Islam, agar kehidupan manusia itu menjadi langgeng
(terjamin). Sebab denga adanya pidana itu manusia akan berpikir untuk
melakukan pembunuhan, karena ia menyadari bahwa membunuh orang lain
bererti membunuh diri sendiri. Jadi, pencantuman pidana qisas itu dimaksudkan
sebagai tekanan awal secara pisikologis bagi setiap calon pelaku pembunuhan
agar mengurungkan niatnya itu. Dengan demikian, orientasi pemidanaan dalam
ayat ini bersipat preventiv (bagi calon pelaku), dan sekaligus bersifat retribusi
(bagi pelaku pembunuhan).
Meskipun demikian, pidana qisas itu bukanlah pidana yang mudah untuk
dijatuhkan. Pelaksanaannya cukup selektif/ketat karena menyangkut pencabutan
nyawa seseorang. Diantara indikasi selektifnya pelaksanaan eksekusi mati itu
adalah adanya prinsif (kaedah) dalam dalam hukum pidana Islam, bahwa
pelasanaan pidana hudud tidak dapat dijalankan jika terdapat keragu-raguan /
(syubhat).34 Prinsip yang ada dalam ukum Islam ini sekaligus dapat
meghilangkan khawatiran para ahli hukum posoitif/ modern yang keberatan yang
34
keberatan dengan penarapan pidana mati karena alasan bahwa jika dikemudian
hari terjadi kekeliruan, pidana itu tidak dapat ditarik kembali.
2. Q.S. An-Nur ayat : 2 yang artinya: “Dan hendaklah (pelaksanaan) hukum mereka
disaksikan oleh sekumpulan orang-orang beriman”.35
Ayat ini menegaskan bahwa pelaksanaan pidana terhadap pelaku perzinaan itu
dilakukan dengan disaksikan oleh masyarakat luas (kaum muslimin). Tujuan
penyaksian ini adalah agar menjadi peringatan pula bagi mereka untuk tidak
melakukan tindak pidana (Jarimah) tersebut.36
Dengan demikian orientasi pemidanaan dalam ayat ini bersifat general
derrence (pencegahan terhadap masyarakat luas). Selain itu pidana tersebut
dimaksudkan untu penjeraan/pencegahan bagi terpidana (individual deterrence)
agar tidak mengulangi kejahatannya. Orientasi/ teori pemidanaan seperti itu telah
dirumuskan oleh yuris Islam (fuqaha) dalam satu statemennya yang intinya
bahwa sebuah pidana dimaksudkan sebagai pencegahan (mawani’) sebelum
kejahatan itu dilakukan, dan sebagai penjeraan (al-zawajir) apabila kejahatan
tersebut telah dilakukan.37
Sebagaimana dipahami bahwa tujuan syari’ (Tuhan) dalam mensyariatkan
hukumnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, dan sekaligus
35
Depag RI (Al-Qur’an dan Terjemahan), op. cit., hlm. 543. 36
Abdul Kholiq, loc, cit. 37
menghindarkannya dari mafsadat baik didunia maupun diakhirat.38 Tujuan hukum
seperti tersebut diatas oleh para pakar filsafat hukum Islam lazim juga disebut dengan
at-tahsil wa al-ibqa atau jalb al-masalih al-mafasid, yaitu mengambil maslahat dan
sekaligus mencegah kerusakan.39 Dalam kaitan inilah Yusuf Hamid Al-Alim
menegaskan bahwa tujuan utama (a’zam al-maqasid) diutusnya para Rasul As, oleh
Tuhan adalah untuk menghilangkan kezaliman diantara manusia, sehingga
terwujudlah ketentraman dan kedamaian diantara mereka.40
Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan didunia dan akhirat sebagaimana
disebutkan diatas, maka bukan hanya para ulama Islam, bahkan seluruh agamawan
sepakat bahwa ada 5 (lima) unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan.
Kelima unsur pokok dimaksud adalah: Memelihara agama (hifz ad-din), Memelihara
jiwa (hifz an-nafs), Memelihara akal (hifz al-aql), Memelihara keturunan dan atau
kehormatan (hifz an-nasb/al-ird), Memelihara keturunan (hifz al-mal).41
Untuk memelihara kelima unsur pokok itulah maka Tuhan menetapkan pidana
(uqubah) terhadap pelaku tindak pidana (al-jani) yang dapat menggangu atau
menghambat terwujudnya lima kebutuhan dasar (iad-daruriyat) diatas. Karena itu
ditetapkanlah pidana murtad (hadd ar-riddah) dalam rangka untuk memelihara
agama, ditetapkan pula pidana qisas (uqubah al-qisas) untuk memelihara jiwa/nyawa
manusia, untuk memelihara akal, maka ditetapkanlah pidana meminum minuman
38
Pada dasarnya, Tuhan menginginkan agar manusia selamat dari azab-Nya diakhirat. Karena itulah tujuan hukum bukan hanya untuk kemaslahatan didunia, melainkan juga diakhirat.
39
Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: LPPM, 1985), hlm. 100. 40
Ibid. 41
keras (hadd asy-syarb), untuk memelihara keturunan dan / atau kehormatan maka
ditetapkan pidana zina (hadd az-zina), kemudian ditetapkan pula pidana pencurian
(hadd as-sirqah) untuk memelihara harta.42
Berdasarkan uraian diatas, maka dapatlah dipahami bahwa Tuhan dan Rasul-Nya
lewat Al-Qur’an dan Hadis sengaja menetapkan sanksi hukum yang tegas terhadap
pelaku tindak pidana yang dapat merusak/mengganggu al-kulliyat al-khams diatas,
mengingat kelima unsur tersebut adalah merupakan kebutuhan yang paling mendasar.
Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Asy-Syatibi sebagaimana dikutip oleh
Khalid Mas’ud mendefenisikan Jinayat (Hal-hal yang berkaitan dengan tindak
pidana) adalah:
Sebagai hukum-hukum yang memperhatikan kelima ad-daruriyat al-khams diatas dengan cara preventif. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam jinayat itu adalah dimaksudkan untuk mengantisipasi dan membersihkan apa-apa saja yang dapat menghalangi terwujudnya kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut.43
Dengan diberlakukannya sanksi hukum yang tegas dan berat berupa pidana mati
terhadap tindak-tindak pidana (jarimah) tersebut baik yang tergolong kedalam
jarimah qisas maupun hudud, maka diharapkan akan terpelihara dan terwujudlah
kelima kebutuhan mendasar diatas. Sehingga dengan demikian terwujud pulalah
tujuan disyariatkannya hukum itu (maqasid asy-syari’ah), yaitu kemaslahatan
manusia itu sendiri dan sekaligus menghindarkannya dari mafsadat.
2. Kerangka konsepsi.
42
Ibid, hlm. 129. 43
Untuk menghindari kesalahpahaman terhadap tulisan ini, peneliti akan
menegaskan beberapa terminologi yang digunakan dalam tulisan ini.
1. Pidana Mati
Pidana mati dalam penelitian ini adalah hukuan mati. Penulis sengaja
menggunakan terminologi pidana, karena istilah ini menurut penulis lebih khusus
disbanding dengan istilah hukuman, walaupun sebagian pakar menganggap
keduanya sinonim. Penulis lebih cenderung kepada pendapat yag menyatakan
bahwa hukuman merupakan istilah yang bersifat umum untuk segala macam
sanksi baik perdata, administrative, disiplin dan sebagainya. Sedangkan pidasna
merupakan istilah khusus yang berkaitan dengan hukum pidana. Dalam hukum
pidana nasional pidana itu dikategorikan kepada dua macam pidana pokok dan
pidana tambahan. Pidana mati merupakan pidana pokok yang diletakkan dalam
urutan pertama (pasal 10 KUHP). Dalam hukum pidana Islam, pidana itu
diistilahkan dengan ‘uqubah. Secara gaaris besar, ‘uqubah itu dikategorikan
kepada tiga macam, yaitu: hudud, qisas atau diyat dan ta’zir.
2. Undang-undang No. 5 Tahun 1969
UU No 2/Pnps/1964 Penpres No 2/Pnps1964 (LN 1964 No 138) yang ditetapkan
menjadi undang-undang dengan UU No. 5 Tahun 1969) Tentang Cara
Pelaksanaan Pidana Mati Yang Dijatuhkan Oleh Pengadilan Di Lingkungan
Peradilan Umum Dan Militer.
Adapun hukum pidana Islam yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kitab-kitab
fiqh, baik yang berupa warisan ulama terdahulu maupun karangan ulama/ ilmuan
muslim kontemporer yang bersumber dari Al-qur’an dan hadis yang berkaitan
dengan aspek kepidanaan (jinayat).
4. Esekusi.
Pengertian Eksekusi dalam penelitian ini adalah pelaksanaan putusan hakim, atau
pelaksanan hukum badan peradilan, khususnya pidana mati.
5. Hak Asasi Manusia (HAM)
Hak berarti derajat, martabat, atau kekuasaan untuk berbuat sesuatu. Sedang kan
asasi adalah sesuatu yang bersifat mendasar, atau pokok. Adapun manusia
merupakan makhluk yang berakal budi. Dengan demikian manusia merupakan
makhluk tuhan yang berakal budi, memiliki harkat dan martabat yang tinggi. Jika
dikaitkan dengan pidana mati, maka HAM disini berarti penarapan pidana terberat
itu itu melanggar/ merendahkan hak manusia yang paling mendasar itu.
6. Tindak Pidana (Jarimah)
Yang dimaksud tindak pidana dalam tulisan ini adalah perbuatan-perbuatan yang
dilakukan seseorang yang melanggar hukum. Dalam istilah belanda disebut
dengan straf baar feit. Istilah tersebut dalam bahasa Arab disebut Jarimah.
G. Metode Penelitian.
Melakukan penelitian hukum setidaknya diperlukan lagkah-langkah yang dapat
memunyai krakteritik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu
yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai kadilan,
validditas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum. Sebagai
ilmu terapan ilmu hukum menetapkan standar, prosedur, ketentuan-ketentuan
rambu-rambu dalam melaksanakan aturan hukum.44
Oleh karena itu dilakukan langkah-langkah (1) mengidentifikasi fakta hukum dan
mengeliminir hal-hal yang tidak relevan untuk menetapkan isu hukum yang hendak
dipecahkan ; (2) pengumpulan bahan-bahan hukum dan sekiranya dipandang
mempunyai relevansi juga bahan-bahan hukum; (3) melakukan telaah atas issu
hukum yang diajukan berdasarkan beberapa bahan yang telah dikumpulkan; (4)
menarik kesimpulan dalam bentuk argumentatif yang menjawab isu hukum; dan (5)
memberikan preskriptif berdasarkan argumentasi yang telah dibangun di dalam
kesimpulan.45
Berdasarkan objek penelitian yang merupakan hukum positif, maka metode yang
digunakan adalah pendekatan yuridis normatif, karena pada satu sisi mengutamakan
tinjauan dari segi pengaturan hukum yang menyangkut pidana mati, dalam hukum
pidana Islam. Metode pendekatan normatif itu dipergunakan dengan pertimbangan
titik tolak penelitian adalah analisis terhadap ketentuan pidana mati dalam hukum
pidana Islam.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, sebagi berikut:
44
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Fajar Interpratama Offset, 2009), hlm. 22.
45