• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I : PENDAHULUAN

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka teori

Kerangka Teoritis dalam penulisan karya ilmiah fungsinya adalah sebagai pemandu untuk mengorganisasi, memprediksi dan memperjelaskan fenomena- fenomena dan atau objek masalah yang diteliti dengan cara mengkonstruksi keterkaitan antara konsep secara deduktif maupun induktif. Oleh karena objek masalah yang diteliti dalam tesis ini berada dalam ruang lingkup ilmu hukum, maka konsep-konsep yang akan digunakan dalam sebagai sarana analisis adalah konsep- konsep,asas,dan norma-norma hukum yang dianggap relevan.

Pidana mati ditempatkan sebagai pidana yang terberat karena objek dan sasarannyaadlah nyawa seseorang merupakan sesuatu yang sangat berharga dan tidak ternilai harganya olehkarena itusetiap manusia,selalu berusaha untuk mempertahankan nyawanyauntuk tetap hidup. Pidana mati ditujukan untuk membinasakan penjahat yang dianggap tidak dapat diperbaiki lagi agar kejahatannya tidak ditiru oleh orang lain atau tidak semakin bertambah orang yang dirugikan. Pidana mati biasanya diancamkan secara selektif dan selalu diikutidengan ancaman pidana lain sebagai alternatifnya. Berkenaan dengan pidana mati Modderman mengatakan bahwa: Demi ketertiban umum pidana mati dapat dan harus diterapkan,

namun penarapan ini hanya sebagai sarana terakhir dan harus dilihat sebagai wewenang darurat yang dalam keadaan luar biasadapat diterapkan.25

Wirjono Prodjodikoro mengemukakan pendapatnya mengenai tujuan penjatuhan pidana mati sebagai berikut: Tujuan menjatuhkan dan menjalankan hukuman mati selalu diarahkan kepada khalayak ramai agar mereka dengan ancaman hukuman mati akan takut melakukan perbuatan-perbuatan kejam yang akan mengakibatkan mereka dihukum mati. Berhubungan dengan inilah zaman dahulu hukuman mati dilaksanakan dimuka umum.26

Pidana mati merupakan jenis pidana yang senantiasa menjadi perdebatan serius diberbagai Negara. Bahkan perdebatan itu bukan hanya muncul dari kalangan para ahli hukum, namun juga dari kalangan filosofis, teolog, dan ilmuan, sasial. Dikalangan ahli hukum, setidaknya ada tiga teori tentang pemidanaan. Dan teori itu lahir didasarkan kepada persoalan mengapa suatu tindak pidana harus dijatuhi sanksi pidana. Teori yang pertama disebut teori absolut. Menurut teori ini sebuah pidana diberikan karena pelaku kejahatan memang harus menerima pidana itu semata-mata karena kesalahannya. Pidana itu menjadi retribusi yang adil atas kerugian yang diakibatkannya.27

Menurut Imanuel Khant (1724-1804) tokoh aliran retributivisme bahwa dalam segala situasi sebuah pidana dapat dijatuhkan terhadap seorang pelaku kejahatan

25

J.E. Sahetafy, Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana MatiTerhadap Pembunuhan Berencana, (Jakarta: C.V.Rajawali, 1979), hlm.47.

26

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung :Eresco, 1989), hlm. 9.

27

Yong Ohoitimur, Teori Etika Tentang Hukum Legal, (Gramedia Pustaka Utama, 1997), hlm. 71

hanya karena ia terbukti bersalah. Dengan demikian penderitaan yang disebabkan oleh seseorang harus dibayar dengan retribusi berupa hukuman/pidana. Dengan kata lain Kant berpendapat bahwa pidana adalah merupakan ganjaran (desert) terhadap perbuatan jahat yang sudah dilakukan. Karena itu aliran retributinisme ini menganut perinsip punitur peccatum est (dihukum karena bersalah).

Beranjak dari teori diatas, maka dalam hal pidana mati Kant berpendapat bahwa apabila seseorang terbukti melakukan pembunuhan, maka ia juga harus dibunuh. Dalam kasus ini lanjutnya, tidak mungkin ada ganti rugi yang memuaskan secara adil kecuali pidana mati, karena hanya pidana itulah yang dapat menyeimbangi kejahatan pembunuhan itu. Senada dengan pendapat Kant, Hegel (1770-1831 M), juga tokoh aliran retributivisme berpendapat bahwa, tidak ada pidana yang patut diberikan terhadap seorang pembunuh kecuali dengan mencabut nyawa si pembunuh.28

Berbeda dengan teori absolute diatas, teori relatif tujuan pada dasarnya menolak pidana mati tersebut. Menurut teori ini suatu pidana dapat diberikan apabila mengandung konsekuensi yang positif bagi si terhukum atau orang lain. Dengan kata lain sebuah pidana baru dapat dibenarkan apabila secara ositif dapat membuat jera si terhukum sekaligus berfungsi preventif bagi orang lain. Menurut teori ini konsekuensi yang terpenting dari suatu pidana adalah efek-efeknya yang bersifat preventif, yaitu kontribusinya terhadap pencegahan kejahatyan atau penurunan jumlah pelanggaran hukum. Karena itu aliran ini menganut prinsif punitur utni

pecetur (dihukum agar tidak lagi bersalah). Akan tetapi dalam kondisi tertentu pidana

28

mati itu dapat diterapkan demi mempertahankan tertib hukum. Justru itu wujut pidana menurut teori ini berbeda-bada ssesuai dengan kebutuhannya, yaitu memperbaiki

(verbetering), menakutkan (afschrikking) dan membinasakan (onschdelijkmaking).29

Dengan demikian menurut teori ini pidana mati itu dapat diterapkan apabila kondisinya menuntut demikian.

Dikalangan ahli hukum juga terjadi perbedaan pandangan/pro dan kontra tentang pelaksanaan pidana mati sebagaimana yang diatur dalam pasal 10 KUHP. Mantan Hakim Agung Bismar Siregar misalnya, menghendaki tetap dipertahankannya pidana mati dengan maksud jika sewaktu-waktu dibutuhkan masih tersedia. Sebab ia berpendirian bahwa jika seorang pejabat sudah terlalu keji tanpa perikemanusiaan, maka hanya pidana matilah yag pantas dujatuhkan. Senada dengan pendapat diatas, mantan jaksa Agung Ali Said berpendapat, bahwa jika seseorang mengetahui masih ada ancamannya, maka ia akan berhati-hati untuk melaksanakan kejahatan.Hampir senada dengan pendapat yang terakhir. Moh. Assegaf berpendapat, bahwa jka pidana mati itu benar-benar dijalankan secara konsekuen, maka ia dapat mengurangi

timbulnya kejahatan. Sebagai bukti di Negara-negara yang menjalankan secara

konsekuen, misalnya Arab Saudi, Pakistan, dan Singapura, angka kejahatan dapat dianggap relatif kecil.30

Berbeda dengan pandangan diatas, JE Sahetapy dalam disertasinya berpendapat bahwa pidana hendaknya dilihat sebagai suatu sarana yang mempunyai tujuan

29

Bambang Poernomo, Hukum Pidana, (Jakarta: Bina Aksara, 1982), hlm. 7 30

membebaskan dan bukan sebagai pembalasan dendam terhadap pelaku kejahatan, sebab bagaimanapun, lanjutnya, perbuatan itu sudah terjadi dan korban telah jatuh. Pembalasan dalam bentuk apapun tidak akan membawa keseimbangan kembali kecuali hanya untuk memuaskan dendam. Ia menandaskan, bahwa dalam perspektif tujuan membebaskan, pidana harus diartikan kemasa depan. Sebab itu, ia menolak pidana tersebut karena tidak sesuai dengan pendekatan utilitas dimana ia memang meragukan keefektipannya.31

Selain Sahetapy, Roeslan Saleh merupakan ahli hukum yang kontra dengan pidana mati. Menurutnya, banyak negara yang menghapuskan pidana mati tersebut merupakan bukti bahwa orang menyadari betapa buruknya penerapan pidana berat tersebut. Akan tetapi diantara negara tersebut ada pula yang memasukkan kembali pidana itu ke dalam hukum pidanya.

Dari alasan baik yang pro, maupun dari yang kontra tersebut, terdapat kesamaan bahwa mereka mendasarkan pada pancasila sebagai dasar atau landasannya, terutama sila ketuhanan yang maha Esa dan sila kemanusiaan yang adil dan beradab.32

31

JE. Sahetapy, Op. cit., hlm. 146. 32

Apabika kita melihat satu kesatuan dari pancasila maka ia mengandung keseimbangan antara sila yang satu dengan sila yang lainnya. Namun, apabila kita melihat pancasilan secara parsial (menitikberatkan pada salah satu sila), ada pendapat yang mengatakan bahwa pidana mati bertentangan dengan pancasila dan ada pula yang mengatakan tidak bertentangan dengan pancasila. Jadi kedua pendapat tersebut sama- sama didasarkan kepada pancasila. Hal ini sudah tercermin dalam penelitian yang dilakukan oleh Fakultas Hukum Undip yang bekerja sama dengan Kejaksaan Agung tahun 1981- 1982. Kesimpulan penelitian itu menyatakan bahwa ada kecenderungan diantara mereka yang pro dan yang kontra terhadap pidana mati, untuk menjadikan pancasila sebagai “ justification”.Lihat, Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana, Reformasi Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008).

Nilai ketuhanan yang maha Esa, yang terkandung dalam nilai-nilai dasar hukum nasional, merupakam nilai sentral dan menjiwai nilai-nilai yang lain. Hal ini mengisyaratkan bahwa hukum nasional mengenal adanya hukum Tuhan, hukum kodrat dan hukum susila. Berpangkal dari keyakinan dan kebenaran bahwa manusia ciptaan Tuhan, dan tuhan memberikan aturan-aturan bagi ciptaan-nya, maka sudah semestinya hukum kodrat dan hukum susila tidak bertentangan dengan hukum tuhan. Ketiga macam hukum itu tidak berdiri sendiri ataupun terpisah satu sama lain.33

Apabila ada dua pendapat yang bertentangan antara satu dengan yang lainnya, biasanya ada suatu pendapat ketiga yang berada di tengah-tengah. Disamping teori absolute dan relatif, makamuncul teori ke tiga (teori gabungan), dimana teori ini mengakui adanya unsur pembalasan disatu pihak dan unsur memperbaiki di pihak lain.

Teori gabungan dimaksud dibagi kedalam tiga golongan, yaitu:

1. Teori gabungan yang menitikberatkan pembalasan, tetapi membalas itu tidak boleh melampaui batas apa yang perlu dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat.

2. Teori gabungan yang menitikberatkan pada pertahanan dan tata tertib masyarakat sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana. 3. Teori gabungan yang menganggap kedua asas itu harus dititik beratkan sama. Untuk mengetahui teori pemidanaan dalam hukum pidana Islam, setidaknya dapat dilihat melalui dua ayat Al-Qur’an berikut ini:

33

1. Q.S. Al-Baqarah ayat 179 yang artinya: dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.

Ayat ini secara tegas menginformasikan bahwa ditetapkannya pidana qisas itu dalam sistem hukum pidana Islam, agar kehidupan manusia itu menjadi langgeng (terjamin). Sebab denga adanya pidana itu manusia akan berpikir untuk melakukan pembunuhan, karena ia menyadari bahwa membunuh orang lain bererti membunuh diri sendiri. Jadi, pencantuman pidana qisas itu dimaksudkan sebagai tekanan awal secara pisikologis bagi setiap calon pelaku pembunuhan agar mengurungkan niatnya itu. Dengan demikian, orientasi pemidanaan dalam ayat ini bersipat preventiv (bagi calon pelaku), dan sekaligus bersifat retribusi (bagi pelaku pembunuhan).

Meskipun demikian, pidana qisas itu bukanlah pidana yang mudah untuk dijatuhkan. Pelaksanaannya cukup selektif/ketat karena menyangkut pencabutan nyawa seseorang. Diantara indikasi selektifnya pelaksanaan eksekusi mati itu adalah adanya prinsif (kaedah) dalam dalam hukum pidana Islam, bahwa pelasanaan pidana hudud tidak dapat dijalankan jika terdapat keragu-raguan / (syubhat).34 Prinsip yang ada dalam ukum Islam ini sekaligus dapat meghilangkan khawatiran para ahli hukum posoitif/ modern yang keberatan yang

34

Jalal ad-Din Abd ar-Rahman bin Abi Bakar as-Suyuti, al-Asybah wa an- Naza’ir, Semarang: Toha Putra), hlm. 84.

keberatan dengan penarapan pidana mati karena alasan bahwa jika dikemudian hari terjadi kekeliruan, pidana itu tidak dapat ditarik kembali.

2. Q.S. An-Nur ayat : 2 yang artinya: “Dan hendaklah (pelaksanaan) hukum mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang beriman”.35

Ayat ini menegaskan bahwa pelaksanaan pidana terhadap pelaku perzinaan itu dilakukan dengan disaksikan oleh masyarakat luas (kaum muslimin). Tujuan penyaksian ini adalah agar menjadi peringatan pula bagi mereka untuk tidak melakukan tindak pidana (Jarimah) tersebut.36

Dengan demikian orientasi pemidanaan dalam ayat ini bersifat general

derrence (pencegahan terhadap masyarakat luas). Selain itu pidana tersebut

dimaksudkan untu penjeraan/pencegahan bagi terpidana (individual deterrence) agar tidak mengulangi kejahatannya. Orientasi/ teori pemidanaan seperti itu telah dirumuskan oleh yuris Islam (fuqaha) dalam satu statemennya yang intinya bahwa sebuah pidana dimaksudkan sebagai pencegahan (mawani’) sebelum kejahatan itu dilakukan, dan sebagai penjeraan (al-zawajir) apabila kejahatan tersebut telah dilakukan.37

Sebagaimana dipahami bahwa tujuan syari’ (Tuhan) dalam mensyariatkan hukumnya adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia, dan sekaligus

35

Depag RI (Al-Qur’an dan Terjemahan), op. cit., hlm. 543. 36

Abdul Kholiq, loc, cit. 37

menghindarkannya dari mafsadat baik didunia maupun diakhirat.38 Tujuan hukum seperti tersebut diatas oleh para pakar filsafat hukum Islam lazim juga disebut dengan

at-tahsil wa al-ibqa atau jalb al-masalih al-mafasid, yaitu mengambil maslahat dan

sekaligus mencegah kerusakan.39 Dalam kaitan inilah Yusuf Hamid Al-Alim menegaskan bahwa tujuan utama (a’zam al-maqasid) diutusnya para Rasul As, oleh Tuhan adalah untuk menghilangkan kezaliman diantara manusia, sehingga terwujudlah ketentraman dan kedamaian diantara mereka.40

Dalam rangka mewujudkan kemaslahatan didunia dan akhirat sebagaimana disebutkan diatas, maka bukan hanya para ulama Islam, bahkan seluruh agamawan sepakat bahwa ada 5 (lima) unsur pokok yang harus dipelihara dan diwujudkan. Kelima unsur pokok dimaksud adalah: Memelihara agama (hifz ad-din), Memelihara jiwa (hifz an-nafs), Memelihara akal (hifz al-aql), Memelihara keturunan dan atau kehormatan (hifz an-nasb/al-ird), Memelihara keturunan (hifz al-mal).41

Untuk memelihara kelima unsur pokok itulah maka Tuhan menetapkan pidana (uqubah) terhadap pelaku tindak pidana (al-jani) yang dapat menggangu atau menghambat terwujudnya lima kebutuhan dasar (iad-daruriyat) diatas. Karena itu ditetapkanlah pidana murtad (hadd ar-riddah) dalam rangka untuk memelihara agama, ditetapkan pula pidana qisas (uqubah al-qisas) untuk memelihara jiwa/nyawa manusia, untuk memelihara akal, maka ditetapkanlah pidana meminum minuman

38

Pada dasarnya, Tuhan menginginkan agar manusia selamat dari azab-Nya diakhirat. Karena itulah tujuan hukum bukan hanya untuk kemaslahatan didunia, melainkan juga diakhirat.

39

Juhaya S. Praja, Filsafat Hukum Islam, (Bandung: LPPM, 1985), hlm. 100. 40

Ibid. 41

keras (hadd asy-syarb), untuk memelihara keturunan dan / atau kehormatan maka ditetapkan pidana zina (hadd az-zina), kemudian ditetapkan pula pidana pencurian (hadd as-sirqah) untuk memelihara harta.42

Berdasarkan uraian diatas, maka dapatlah dipahami bahwa Tuhan dan Rasul-Nya lewat Al-Qur’an dan Hadis sengaja menetapkan sanksi hukum yang tegas terhadap pelaku tindak pidana yang dapat merusak/mengganggu al-kulliyat al-khams diatas, mengingat kelima unsur tersebut adalah merupakan kebutuhan yang paling mendasar.

Sehubungan dengan hal tersebut diatas, Asy-Syatibi sebagaimana dikutip oleh Khalid Mas’ud mendefenisikan Jinayat (Hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana) adalah:

Sebagai hukum-hukum yang memperhatikan kelima ad-daruriyat al-khams diatas dengan cara preventif. Ketentuan-ketentuan yang ada dalam jinayat itu adalah dimaksudkan untuk mengantisipasi dan membersihkan apa-apa saja yang dapat menghalangi terwujudnya kebutuhan-kebutuhan dasar tersebut.43

Dengan diberlakukannya sanksi hukum yang tegas dan berat berupa pidana mati terhadap tindak-tindak pidana (jarimah) tersebut baik yang tergolong kedalam

jarimah qisas maupun hudud, maka diharapkan akan terpelihara dan terwujudlah

kelima kebutuhan mendasar diatas. Sehingga dengan demikian terwujud pulalah tujuan disyariatkannya hukum itu (maqasid asy-syari’ah), yaitu kemaslahatan manusia itu sendiri dan sekaligus menghindarkannya dari mafsadat.

Dokumen terkait