Nining Khurrotul Aini
Tamaddun Volume 1 Nomor 2, Maret, 2017
TAMADDUN
||Volume||1||Nomor||2||Hal|| 134-144 ||2017|| |ISSN (online): 2528-2565|
Metode Takhrîj al-Hadîts Kajian Ilmu Hadits
Nining Khurrotul Aini
Niningkhurrotulaini1980@gmail.com
Institut Agama Islam Uluwiyah Mojokerto
Jl. Raya Mojosari-mojokerto KM.4 Mojosari Mojokerto
Catatan Artikel: dikirim: 07 Maret 2017 Diterima: 09 Maret 2017
Abstrak
Seringkali suatu hadits disampaikan langsung dalam bentuk matan, tanpa disertai sanadnya, sehingga perlu ditelusuri sumber asalnya. Oleh karena itu, dengan metode desriptif kualitatif, artikel ini membahas tentang pengertian, sejarah, kegunaan dan metode takhrîj al-hadîts.
penelitian ini menghasilkan kesimpulan bahwa
takhrîj al-hadîts adalah menisbatkan suatu hadits
kepada sumber asalnya, dengan menjelaskan tingkat kualitas, sanad dan keadaan para perawi;
Takhrîj al-hadîts pada awalnya dianggap kurang
penting, akan tetapi lamanya waktu menjadikan takhrîj al-hadîts dianggap penting dipelajari;
Takhrîj al-hadîts dapat dilakukan dengan lima
cara, yaitu melalui matan, lafadz pertama matan, penggalan matan, topik kajian hadits dan statusnya.
Kata Kunci: Takhrîj, Hadîth, Matan, Sanad Korespondesi Penulis:
Niningkhurrotulaini1980@g mail.com
Nining Khurrotul Aini
Tamaddun Volume 1 Nomor 2, Maret, 2017
Abstract
Oftenly a hadith is presented directly in the form of matan, without sanad accompanied with, so it is important to identify the original source of it. Therefore, with a qualitative descriptive method, this article discusses the definition, history, advantage and methods of takhrîj al-hadîts. this study yields the conclusion that takhrîj al-hadîts is to attribute a hadith to its original source, by explaining the level of quality, sanad and the condition of the narrators; Takhrîj al-hadîts was initially considered less important, but the length of time making takhrîj al-hadîts was considered important to be learned; Takhrîj al-hadîts can be done in five ways: through matan, first word of matan, matan splits, topic and status of hadith. Keywords: Takhrîj, Hadîth, Matan, Sanad
Pendahuluan
Sekarang ini hadits dipandang telah selesai dan telah lengkap dibukukan oleh ulama hadits, dan teks hadits bisa ditemukan di dalam berbagai buku, baik kitab hadits maupun lainnya. Sering kali dijumpai hadits hanya berupa penggalan matan hadits, bukan matan yang lengkap beserta sanadnya, bahkan tidak disebutkan siapa perawinya. Demikian juga, meskipun suatu hadits sudah ditemukan dalam kitab hadits yang memuatnya, namun seringkali kualitas kehujjahannya tidak dijelaskan. Karena itulah, dengan kegiatan takhrîj al-hadîts, semua permasalahan di atas dapat diatasi.
Oleh karena itu, di dalam artikel ini akan dibahas mengenai takhrîj al-hadîts, yaitu meliputi pengertian, sejarah, manfaat dan cara melakukan takhrîj al-hadîts.
Pengertian at-Takhrîj
Secara bahasa, lafadz at-Takhrîj adalah masdar dan memiliki akar kata
kharaja, kharraja-yukharriju-takhrîj.1 Arti asal at-takhrîj adalah mengumpulkan
1
Nining Khurrotul Aini
Tamaddun Volume 1 Nomor 2, Maret, 2017
dua hal yang bertentangan menjadi satu.2 Kemudian istilah takhrîj diucapkan untuk menunjukkan banyak maksud arti dan bersinonim dengan beberapa kata yang diantaranya adalah al-istinbâth (menggali, mengeluarkan), at-tadrîb (pembiasaan, latihan), at-taujîh (penjelasan) ibrâz (mengeluarkan) dan idzhâr (melahirkan, menampakkan).3
Adapun pengertian at-takhrîj dalam ilmu hadits adalah upaya untuk mengetahui sumber kitab utama suatu hadits, menelusuri dan menilai rangkaian sanad perawi hadits tersebut, menjelaskan tingkatannya, dan mempertimbangkan apakah hadits tersebut dapat dijadikan dalil hukum atau tidak.4 Sedangkan menurut ad-Dardiry, takhrîj al-hadîts adalah menunjukkan atau menisbatkan suatu hadits atau petunjuk letak suatu hadits pada tempatnya bersumber atau sumber asalnya, yaitu kitab-kitab hadits, dengan menjelaskan tingkat kualitasnya (sahih, hasan, dlaif, maudlu‟) dan menyebutkan urut-urutan sanad serta keadaan para perawi hadits tersebut.5
Kemudian menurut ad-Dardiry, ada perbedaan antara takhrîj al-hadîts dengan istikhrâj al-hadîts. Dengan mengutip pendapatnya al-„Iraqy, ad-Dardiry menjelaskan bahwa istikhrâj al-hadîts adalah upaya seorang penulis kitab hadits mengungkap suatu hadits yang terdapat pada kitab hadits yang ditulis oleh ulama sebelumnya dengan mengemukakan jalur sanad yang berbeda yang dia dapatkan sendiri, meskipun terkadang jalur sanadnya menyatu kembali dengan jalur sanad kitab tersebut.6
Adanya perbedaan pengertian antara takhrîj hadîts dengan istikhrâj
al-hadîts tersebut sebenarnya tidak lepas dari fase-fase perkembangan penelitian
hadits, yaitu:
a. pertama, ketika hadits dalam periode pembukuan. Takhrîj hadits berarti dzikr
al-ahadits bi asanidiha, yakni menukilkan hadits lengkap dengan sanadnya.
2 Mahmud at-Thahhan, Ushul at-Takhrîj wa Dirasat al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-Ma‟arif li
an-Nasyr wa at-Tauri‟, tt.), 7.
3 Ibid., 8. 4
Hasan Mu‟arif Anbary ed. All., Suplemen Ensiklopedi Islam, Jilid V (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996),
5 Muhammad at-Thahir ad-Dardiry, Takhrij Ahadits an-Nabawiyyah, Juz I (Makkah: Markaz
al-Bahts al-Ilmy wa Ihya‟ at-Thurats al-Islamy, tt.), 38.
6
Nining Khurrotul Aini
Tamaddun Volume 1 Nomor 2, Maret, 2017
Contohnya Imam Bukhary, Muslim, Imam Abu Dawud dan lainnya menukilkan hadits-hadits yang diperoleh lengkap dengan sanadnya dalam kitab hadits mereka masing-masing. Pengertian ini terkandung dalam ucapan “hadzâ
al-hadîts akhrajahû aw kharrajahû al-Bukhâry” (hadits ini dinukilkan oleh Imam
al-Bukhary).
b. Kedua, ketika ulama berupaya melengkapi penulisan hadits dengan mencari sanad lain untuk hadits-hadits yang sudah ditulis dan dibukukan oleh ulama sebelumnya. Takhrîj al-hadîts berarti menukil kembali hadits-hadits yang sudah ditulis dan dibukukan oleh ulama sebelumnya dengan sanad yang lain yang dicari dan didapatkan oleh ulama penukil kedua. Ulama penulis kitab pertama disebut mukharrij dan ulama yang menukil kembali hadits-hadits tersebut dengan sanad lain yang didapatkannya sendiri disebut mustakhrîj. Seperti hadits-hadits yang dinukil oleh Imam Muslim dalam kitab sahihnya. Matan hadits-hadits tersebut kemudian dinukil kembali Abu „Uwanah dalam kitab haditsnya dengan memakai sanad lain yang didapatkannya sendiri, meskipun kadang-kadang jalur sanadnya menyatu kembali dengan jalur sanad Imam Muslim.
c. Ketiga, ketika hadits-hadits dipandang telah selesai dan telah lengkap dibukukan oleh ulama hadits, takhrîj al-hadîts mengandung arti menelusuri dan menunjukkan di mana terdapatnya hadits (yang menjadi obyek pembicaraan) di dalam kitab-kitab hadits sumber asli (yang menukilnya lengkap dengan sanadnya) dan disertai dengan penjelasan tentang kualitas kehujjahannya. Pengertian ini terkandung dalam ucapan, misalanya: “Akhrajahǔ Abu Dawud fi
sunanihi wa huwa hadîts sahîh” (hadits diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud
dalam kitab sunannya, nilainya sahih. Arti ke-tiga inilah pada umunya yang dimaksud oleh ulama hadits muta’akkhirîn untuk menunjukkan makna takhrîj
al-hadîts sekarang ini, saat dimana hadits-hadits dianggap selesai dan telah
dibukukan lengkap oleh ulama hadits terdahulu.7
Sejarah Takhrîj al-hadîts
7 Abdul Aziz Dahlan et. all., Ensiklopedi hukum Islam Jilid IV, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Nining Khurrotul Aini
Tamaddun Volume 1 Nomor 2, Maret, 2017
Pada mulanya ilmu takhrîj al-hadîts tidak dibutuhkan oleh ulama dan peneliti hadits karena pengetahuan mereka tentang hadits sangat luas dan mantap. Lagi pula, hubungan para ulama dengan sumber hadits aslinya pada waktu itu sangat dekat dan melekat, sehingga ketika mereka hendak menjelaskan validitas suatu hadits, mereka cukup menjelaskan tempat atau sumbernya dalam berbagai kitab hadits. Mereka memahami bagaimana kitab-kitab sumber hadits itu ditulis, sehingga dengan kemampuan yang dimiliki tersebut, mereka tidak menemui kesulitan untuk menggunakan dan mencari sumber ketika mengemukakan suatu hadits. Apabila dibacakan di hadapan mereka suatu hadits yang bukan berasal dari kitab hadits, maka dengan mudah mereka dapat menjelaskan sumber aslinya.8
Beberapa dekade kemudian, para ulama hadits mengalami kesulitan untuk menemukan hadits dari sumber aslinya, terutama setelah bermunculan kitab-kitab fikih yang tidak sedikit menggunakan hadits sebagai dasar ketetapan hukum, begitu pula bidang ilmu yang lain seperti Tafsir, Sejarah, dan lainnya. Keadaan inilah yang melatar-belakangi timbulnya keinginan para ulama hadits untuk melakukan takhrîj, yaitu dengan menjelaskan atau menunjukkan suatu hadits kepada sumber aslinya, menjelaskan metode penulisannya, dan menentukan kualitas hadits-hadits tersebut sesuai dengan kedudukan masing-masing.
Upaya para ulama tersebut memunculkan kitab-kitab takhrîj, seperti diantaranya yang terkenal adalah kitab Fawâid al-Muntakhabah al-Shahâh yang ditulis oleh Abu Qasim Husaini, Takhrîj Fawâid Muntakhabah
al-Shahhâh wa al-Gharâib yang ditulis oleh Abu Qasim al-Mahrawani.9
Pentingnya Kegiatan Takhrîj al-Hadîts
Takhrîj al-hadîts mempunyai arti penting karena ada kalanya hadits yang
diterima atau ditemukan merupakan penggalan matan hadits, bukan matan yang lengkap dan kadang kala tidak pakai sanad, bahkan tidak disebutkan siapa perawinya. Demikian juga, meskipun suatu hadits sudah ditemukan dalam kitab hadits yang memuatnya, namun seringkali kualitas kehujjahannya tidak dijelaskan.
8 Mahmud at-Thahhan, Ushul at-Takhrîj…, 13-14. 9
Nining Khurrotul Aini
Tamaddun Volume 1 Nomor 2, Maret, 2017
Tanpa melakukan kegiatan takhrij, seorang peneliti hadits akan kehilangan wawasan untuk mengetahui eksistensi hadits dari berbagai sisi. Sisi-sisi penting yang perlu diperhatikan seorang peneliti hadits terkait dengan takhrij adalah meliputi kajian tentang asal-usul riwayat suatu hadits, berbagai sanad yang meriwayatkan hadits tersebut, dan keberadaan syahid dan muttabi' dalam sanad hadits yang diteliti.
Secara garis besar, faedah takhrîj al-hadîts dapat dilihat dari empat segi, yaitu: segi kitab sumber, segi sanad, segi matan, dan dari segi kualitasnya. a. Dari segi kitab sumber, kegiatan takhrîj al-hadîts dapat mengantarkan seseorang untuk dapat mengetahui lebih banyak kitab-kitab hadits sumber asli yang memuatnya, serta dapat menunjukkan secara tepat tempat terdapatnya hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits yang memuatnya.
b. Dari segi sanad, dengan ditemukannya hadits di dalam kitab-kitab sumber asli yang memuatnya, maka dapat diketahui lebih banyak jalur sanad yang turut mendukung proses periwayatan hadits tersebut dan membandingkan satu dengan lainnya sehingga mendapat informasi yang lebih banyak dan saling melengkapi. c. Dari segi matan, takhrîj al-hadîts dapat mengantarkan seorang pentakhrîj untuk mengetahui redaksi-redaksi matan yang terdapat dalam berbagai kitab sumbernya dan membandingkan matan hadits satu dengan lainnya, sehingga memungkinkan dia mengetahui mana redaksi matan hadits yang lebih lengkap, begitu pula kejanggalan-kejanggalan pada matan yang ditemui.
d. Dan dari segi kualitas, takhrîj al-hadîts memungkinkan seseorang memberikan penilaian yang komprehensif terhadap suatu hadits yang dia teliti sesuai dengan kelengkapan informasi yang dia dapatkan berkenaan dengan sanad dan matan, sehingga dia tidak lagi merasa ragu untuk menyatakan apakah hadits tersebut dapat dijadikan hujjah atau tidak.10
Metode Takhrîj al-hadîts
Mencari sebuah hadits tidaklah sama dan semudah mencari ayat al-Qur‟ân. Untuk mencari ayat Qur‟ân cukup dengan sebuah kamus seperti Mu'jam
10
Nining Khurrotul Aini
Tamaddun Volume 1 Nomor 2, Maret, 2017
Mufahras li Alfâdz al-Qur'ân al-Karim dan sebuah mushaf al-Qur‟an. Sedangkan
hadits, karena ia terhimpun dalam banyak kitab, diperlukkan waktu yang lebih lama untuk menelusurinya sampai sumber asalnya.
Meskipun begitu, para ulama hadits telah menulis kitab-kitab yang dapat membantu seorang peneliti hadits dalam rangka kegiatan takhrîj. Tetapi, hanya sedikit yang sampai kepada kita. Kitab-kitab yang dapat dijumpai hanyalah merupakan alat bantu, seperti al-Jâmi' al-Shaghîr, al-Mu'jam al-Mufahras li
Alfâdz al-Hadits al-Nabawi, Miftâh Kunǔz al-Sunnah, kitab-kitab al-Athrâf, dan
lain-lainnya.
Mengenai cara-cara mentakhrîj hadits, ada lima cara atau langkah11 yang bisa digunakan, yaitu:
l. Takhrîj melalui periwayat pertama (al-rawi al-a'la)
Takhrîj dengan metode ini dapat dilakukan dengan terlebih dahulu mengetahui secara pasti perawi pertamanya, baik dari kalangan sahabat ataupun tabi'in. Langkah pertama dari metode ini adalah mengenal nama perawi pertama dari hadits yang akan ditakhrîj. Langkah berikutnya adalah mencari nama perawi yang diinginkan dari kitab-kitab al-Athraf atau Musnad. Jika identitas perawi pertama telah ditemukan, kemudian dicari hadits yang diinginkan di antara hadits-hadits yang tertera di bawah nama perawi tersebut. Bila sudah ditemukan, maka akan diketahui ulama hadits yang meriwayatkannya.
Kitab yang membantu untuk kegiatan takhrîj berdasarkan metode ini adalah
al-Athraf dan Musnad. Al-Athraf adalah kitab yang menghimpun hadits dari kitab
induknya, di mana yang ditulis hanyalah bagian atau penggalan dari setiap hadits yang telah diriwayatkan oleh sahabat atau tabi'in. Diantara kitab-kitab al-Athraf adalah Athraf al-Shahîhain yang ditulis oleh Abu Mas'ud Ibrahim ibn Muhanmmad ibn Ubaid al-Dimasyqy dan Athrâf al-Kutub al-Sittah yang ditulis oleh Syamsuddin Abu al-Fadhl Muhammad ibn Tahin ibn Ahmd al-Maqdisy,
Musnad adalah kitab hadits yang disusun berdasarkan nama-nama para sahabat yang meriwayatkannya. Cara penyusunan nama-nama para sahabat dalam kitab ini tidak sama, ada yang disusun berdasarkan alphabet dan ada juga yang
11
Nining Khurrotul Aini
Tamaddun Volume 1 Nomor 2, Maret, 2017
disusun berdasarkan waktu masuk Islam atau keutamaan Sahabat. Di antara kitab-kitab Musnad adalah kitab-kitab Musnad yang ditulis oleh Imam Ahmad ibn Hanbal, musnad karya Abu Bakr 'Abdullah ibn al-Zubair al-Humaidi, dan musnad karya Abu Daud al-Tayalisi.
Keunggulan metode ini adalah bahwa peneliti hadits bisa cepat sampai pada sahabat yg meriwayatkan hadits. Kekurangannya adalah bahwa peneliti hadits akan memerlukan waktu lama untuk sampai pd hadits yg dicari jika sahabat yang dimaksud banyak meriwayatkan hadits.
2. Takhrîj melalui Lafadz pertama Matan Hadits
Penggunaan metode berdasarkan atas lafadz pertama matan hadits. Melalui metode ini, pentakhrîj terlebih dahulu menghimpun lafadz pertama hadits berdasarkan huruf-huruf hijaiyah. Setelah pentakhrîj mengetahui lafadz pertama yang terletak dalam hadits tersebut, selanjutnya ia mencari lafadz itu dalam kitab-kitab takhrîj yang disusun sesuai dengan metode ini berdasarkan huruf pertama, huruf kedua dan seterusnya. Contoh, hadits yang berbunyi:
“نه اناشغ سيلف انه”
Langkah pertama, karena lafadz pertamanya adalah “نم”, maka pentakhrîj harus mencarinya pada babم
. Langkah kedua, mencari hurufن
setelah hurufم
tersebut. Ketiga, mencari huruf-huruf selanjutnya yang mengiringinya, yaitu hurufغ
, dan demikian seterusnya.Kitab-kitab yang dapat digunakan untuk mentakhrîj dengan metode ini di antaranya adalah al-Jami' al-Kabîr karya Imam Suyuthi, al-Jâmi' al-Adzhar karya al-Manawy, al-Jâmi' al-Shaghîr min Hadîts al-Basyîr an-Nazhîr karya Jalaluddin al-Suyuthi.
Dalam kitab al-Jâmi' al-Shaghîr min Hadîts al-Basyîr an-Nazhîr, Jalaluddin al-Suyuthy menghimpun dan menyusun hadits-hadits yang diatur berdasarkan urutan huruf hijaiyyah, mulai dari huruf alif, ba', ta', dan seterusnya. Dalam menjelaskan kualitas hadits, kitab ini meng¬gunakan rumus-rumus sebagai berikut: حص untuk hadits berkualitas shahih; ح untuk hadits berkualitas hasan; dan
Nining Khurrotul Aini
Tamaddun Volume 1 Nomor 2, Maret, 2017
yang bersangkutan digunakan kode خ untuk Bukhary, م untuk Muslim, نح untuk Ahmad, ت untuk Turmudzy.
Keunggulannya menggunakan metode ini adalah antara lain:
a. meskipun peneliti hadits tidak hafal semua hadits, dengan lafadz pertama saja dia bisa cepat sampai padd hadits yg dia cari;
b. Kemungkinan besar dia akan menemukan hadits lain yg tidak menjadi objek pencarian, akan tetapi dibutuhkan.
Kekurangan metode ini adalah dia tidak akan menemukan hadits yang dia cari jika lafadz yg dianggap awal hadits tersebut ternyata bukan awal hadits; atau jika terjadi penggantian lafadz yg diucapkan Rasul.
3. Takhrîj melalui penggalan kata-kata yang banyak diungkap dalam lisan
Mentakhrîj hadits dengan metode ini dapat menggunakan kitab al-Mu'jam
al-Mufahras li Alfâdz al-Hadîts an-Nabawy karya A.J. Wensinck yang
diterjemahkan oleh Muhammd Fuad 'Abd al-Baqi. Kitab ini merujuk kepada kitab-kitab yang menjadi sumber pokok hadits, yaitu Kutub at-Tis’ah. Cara penggunaan kitab al-Mu'jam di atas dapat dilihat pada jilid 7 bagian permulaan. Di sana ada penjelasan tentang penggunaan kitab ini secara mudah. Dua hal penting yang perlu dijelaskan adalah pemberian kode nama yang dijadikan sumber rujukan, misalnya kode نح untuk Ahmad, kode ت untuk Turmuzhi, kode
هج untuk Ibn Majjah, kode ىه untuk Darimi; dan penjelasan tentang nama kitab
atau bab dan halaman kitab yang dirujuk, misalnya Musnad Ahmad, nomor setelah rumus/ kode terdapat dua bentuk: nomor kecil menunjukkan jilid dan nomor besar menunjukkan halaman dari kitab yang dimaksud.
Kelebihan metode ini di antaranya: a. mempercepat pencarian hadits;
b. membatasi hadits-haditsnya pada kitab-kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz', bab, dan halaman;
c. memungkinkan mencari hadits melalui kata kunci apa saja yang terdapat dalam matan hadits.
Nining Khurrotul Aini
Tamaddun Volume 1 Nomor 2, Maret, 2017
a. Peneliti hadits (pen-takhrij) harus memiliki kemampuan berbahasa Arab beserta perangkat-perangkatnya, karena metode ini menuntut untuk mengembalikan kata kunci kepada kata dasar;
b. Terkadang suatu hadits tidak dapat ditemukan dengan satu kata kunci, sehingga pentakhrij harus menemukannya dengan menggunakan kata-kata yang lain.
4. Takhrîj berdasarkan topik hadits
Seorang pentakhrîj boleh saja tidak terikat dengan bunyi atau lafadz matan hadits yang ditakhrîjnya, tetapi harus berupaya memahami melalu topiknya. Upaya penelusurannya memerlukan kitab atau kamus yang dapat memberikan penjelasan riwayat hadits melalui topik yang telah ditentukan. Di antara kitab yang dapat membantu kegiatan takhrîj dengan metode ini adalah Miftah Kunuz
al-Sunnah, al-Jawami' al-Shahih, al-Mustadrak 'ala Shahihain, Jam'u al-Fawaid min Jam'i al-Ushul wa Majma' al-Zawaid.
Menurut Mahmud al-Thahhan, kitab hadits yang dijadikan acuan oleh kitab-kitab di atas jumlahnya banyak sekali. Seperti al-Muwaththa', Musnad Ahmad,
Sunan al-Darimi, Musnad Zaid ibn Ali, Sirah ibn Hisyam, Maghazi al-Waqidi,
dan Thabaqah ibn Sa'ad.
Keunggulan metode ini di antaranya adalah:
a. Metode ini bisa mendidik ketajaman pemahaman peneliti hadits (pen-takhrij) terhadap hadits;
b. Metode ini dapat memperkenalkan pentakhrij dengan hadits-hadits lain yang senada dengan hadits yang dicari.
Adapun kelemahannya:
a. Terkadang kandungan suatu hadits sulit disimpulkan oleh pentakhrij sehingga hadits tersebut tidak bisa ditentukan temanya. Akibatnya, pentakhrij tidak mungkin menggunakan metode ini, apalagi kalau topik yang dikandung hadits itu lebih dari satu;
b. Terkadang pemahaman pentakhrij tidak sesuai dengan pemahaman penyusun kitab, karena penyusun kitab meletakkan suatu hadits pada topik yang tidak diduga oleh pentakhrij.
Nining Khurrotul Aini
Tamaddun Volume 1 Nomor 2, Maret, 2017
5. Takhrîj berdasarkan status hadits
Dengan kitab-kitab tertentu, para ulama berusaha menyusun hadits berdasarkan statusnya, seperti hadits qudsi, masyhur, mursal, dan sebagainya. Kelebihan metode ini adalah memudahkan proses takhrîj, karena hadits-hadits yang diperlihatkan berdasarkan statusnya jumlahnya sangat sedikit dan simpel. Kekurangannya adalah terbatasnya kitab-kitab yang memuat hadits berdasarkan statusnya.
Di antara kitab yang disusun menurut metode ini adalah Azhar
al-Mutanatsirah fi al-Akhbar al-Mutawatirah yang ditulis oleh Suyuthi, yang
memuat hadits-hadits mutawatir; al-Ittihafath al-Saniah fi al-Ahadits al-Qudsiyah yang ditulis oleh Madani yang memuat hadits-hadits qudsi; Maqashid
Hasanah yang ditulis oleh Sakhawi yang memuat hadits-hadits populer; al-Marasil yang ditulis oleh Imam Abu Daud yang memuat hadits-hadits mursal; Tanzih al-Syari'ah al-Marfu'ah 'an al-Akhbar al-Syani'ah al-Maudlu'ah yang
ditulis oleh Ibn Iraq yang memuat hadits-hadits maudlu'‟.
Daftar Pustaka
Ad-Dardiry, Muhammad at-Thahir, Takhrij al-Ahadits an-Nabawiyyah, Juz I (Makkah: Markaz al-Bahts al-Ilmy wa Ihya‟ at-Thurats al-Islamy, tt.) Anbary, Hasan Mu‟arif ed. All., Suplemen Ensiklopedi Islam, Jilid V (Jakarta: PT
Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996)
At-Thahhan, Mahmud, Ushul at-Takhrîj wa Dirasat al-Asanid, (Riyadh: Maktabah al-Ma‟arif li an-Nasyr wa at-Tauri‟, tt.)
Dahlan, Abdul Aziz et. all., Ensiklopedi hukum Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996, Jilid IV)
Munawwir, Ahmad Warson, Al-Munawwir, (Yogyakarta: UPBIK Ponpes krapyak, 1984)