• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Gereja Bethel Indonesia Keluarga Allah (GBI-KA) Solo dimulai dari. di tahun 2006 dengan jumlah anggota sekitar orang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Gereja Bethel Indonesia Keluarga Allah (GBI-KA) Solo dimulai dari. di tahun 2006 dengan jumlah anggota sekitar orang."

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Permasalahan

1. Latar Belakang Masalah

Gereja Bethel Indonesia ‘Keluarga Allah’ (GBI-KA) Solo dimulai dari persekutuan doa yang dilakukan di rumah dan dihadiri 7 orang pada tahun 1988, hingga menjadi sebuah gereja yang memiliki bangunan yang besar dan megah di tahun 2006 dengan jumlah anggota sekitar 15.000 orang.1

Pembangunan gedung gereja yang besar dan megah dengan berbagai fasilitas pendukung lainnya, termasuk stasiun radio dan televisi lokal yang dimiliki oleh GBI-KA, tentu membutuhkan dana yang besar. Padahal GBI-KA, seperti pada umumnya di gereja-gereja Pentakosta dan Karismatik lainnya, independen dan tidak menerima bantuan dana dari luar negeri. Sehingga dana yang besar untuk berbagai pembangunan tentu merupakan swadaya dari anggota jemaat2 setempat. Sampai pada saat penelitian ini (Februari 2006), pembangunan masih berlangsung dan telah menghabiskan biaya Rp. 42 Milyar.

1

Pada saat penelitian ini dilakukan proses pembangunan beberapa gedung penunjang seperti ruang kelas dan kantor masih berlangsung. Jumlah jemaat menurut buku induk adalah 17.000 orang, kemudian dikurangi dengan jumlah yang meninggal dan pindah hingga jumlah yang aktif sekitar 13.000 orang. Namun jumlah kehadiran dalam 5 kali Ibadah hari Minggu mencapai sekitar 17.000 orang. Karena kapasitas tempat duduk mencapai 5.000 kursi. Dimana 2 kali kebaktian penuh dan 3 kali kebaktian kurang lebih separuh yang terisi.

2

Dalam tulisan ini saya akan memakai istilah ‘anggota jemaat’ untuk menyebut ‘anggota gereja’, sedangkan istilah ‘gereja’ dan ‘GBI-KA’ akan dipakai untuk menunjuk pada ‘gereja lokal’. Namun pada beberapa kutipan dari sumber GBI-KA maupun hasil wawancara sering dipakai istilah ‘jemaat’ yang maksudnya ialah ‘anggota jemaat’ dan ‘gereja’ yang maksudnya ialah ‘gereja lokal’,

(2)

Hal ini menimbulkan pertanyaan, mengapa anggota jemaat bersedia memberikan persembahan dalam jumlah besar dan secara berkesinambungan? Apakah karena anggota jemaat berasal dari kelas sosial tertentu dan memang mampu secara finansial? Jika memang jemaat mampu secara finansial maka, menurut saya, hal ini tidak selalu berbanding lurus dengan kesediaan mereka untuk memberikan persembahan dalam jumlah besar dan secara berkesinambungan kepada GBI-KA.

Apakah pembangunan gedung gereja dan berbagai fasilitasnya ini menjadi indikasi dari terbuktinya pengajaran GBI-KA mengenai berkat materi yang sering disebut sebagai ‘Teologi Sukses’ atau ‘Teologi Kemakmuran’.3 Teologi Kemakmuran terkait dengan ajaran GBI-KA mengenai persembahan, berkat materi, kekayaan, dan keuangan. Di mana didapati bahwa di GBI-KA ajaran mengenai berkat dan kemakmuran selain menjadi tema dari berbagai kotbah, juga adalah bagian dari materi utama pengajaran gereja yang diberikan melalui kelas Sekolah Orientasi Melayani (SOM).

Saya menduga, ada keterkaitan dan pengaruh dari pengajaran Teologi Kemakmuran di GBI-KA terhadap perkembangan ekonomi dari anggota jemaat. Sehingga timbulnya kesediaan untuk memberikan persembahan dalam jumlah pemakaian istilah ini biasa digunakan di kalangan Karismatik. Para pemimpin sering menyebut diri mereka sebagai ‘gereja’ dan menyebut ‘anggota gereja’ sebagai ‘jemaat’, hal ini antara lain dipengaruhi oleh pemahaman mengenai hirarki dalam sistem pemerintahan gereja, yang menjadikan para pemimpin sebagai penyelenggara dan pengambil keputusan.

3

Sebutan untuk berbagai ajaran mengenai berkat, kemakmuran, persepuluhan, keuangan, dan yang berkaitan dengan itu, dalam tulisan ini selanjutnya akan disebut: Teologi Kemakmuran. Selain untuk alasan praktis, juga karena sebutan ini sudah umum dikenal dalam diskursus mengenai pengajaran kemakmuran, khususnya di Indonesia.

(3)

besar dan berpartisipasi dalam pembangunan gedung gereja. Hal ini terjadi tidak hanya karena anggota jemaat mampu secara finansial, namun lebih karena adanya kesadaran bahwa peningkatan finansial mereka memiliki keterkaitan secara langsung dengan GBI-KA, khususnya pengajaran Teologi Kemakmuran.

2. Rumusan Masalah

Permasalahan dalam tesis ini dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut: - Bagaimana keterkaitan Teologi Kemakmuran GBI-KA dengan

perkembangan bisnis anggotanya dalam kurun waktu 1988-2006?

- Bagaimana tinjauan teologis kontekstual mengenai keterkaitan Teologi Kemakmuran dengan perkembangan bisnis di GBI-KA?

3. Hipotesis

- Diduga pengajaran Teologi Kemakmuran GBI-KA berpengaruh secara positif terhadap etos kerja anggota jemaat sehingga kemudian meningkatkan perkembangan bisnis yang mengakibatkan peningkatan kondisi sosial ekonomi anggota jemaat.

- Diduga Teologi Kemakmuran merupakan bentuk pergumulan teologis anggota jemaat, khususnya yang berasal dari etnis Tionghoa dan yang bergerak dalam bidang bisnis. Teologi Kemakmuran sebagai pergumulan teologis anggota jemaat perlu diapresiasi, namun juga perlu ditransformasi sehingga dapat menjadi bentuk pergumulan teologis yang kontekstual.

(4)

B. Alasan Pemilihan Judul 1. Judul

Berkaitan dengan studi ini, maka judul dalam penulisan Tesis ini adalah:

GEREJA KARISMATIK DAN BISNIS ETNIS TIONGHOA

Studi Historis-Teologis Mengenai Relasi Gereja dan Bisnis di Gereja Bethel Indonesia Keluarga Allah Solo, 1988-2006

Studi historis yang dimaksudkan dalam tulisan ini berkaitan dengan rekonstruksi historis mengenai keterkaitan pengajaran Teologi Kemakmuran GBI-KA dengan perkembangan bisnis anggotanya dan mengenai keterkaitan perkembangan bisnis terhadap pembangunan gereja dalam kurun waktu 1988-2006. Studi teologis yang dimaksud ialah refleksi teologis mengenai relasi gereja dan bisnis yang terjadi di GBI-KA dengan memperhatikan konteks pergumulan bisnis etnis Tionghoa.

Anggota jemaat GBI-KA yang diteliti akan dibatasi pada mereka yang bergerak dalam bidang bisnis, sebagai pengusaha maupun pedagang, dan berasal dari etnis Tionghoa. Namun sebagai pembanding juga akan dilakukan wawancara dengan etnis Tionghoa yang bekerja sebagai profesional dan karyawan.

Batasan temporal dalam penelitian ini ialah antara tahun 1988-2006, batasan ini dipilih karena GBI KA Solo dimulai pada tahun 1988 dan mengalami perkembangan pesat hingga waktu penelitian ini dilakukan, yaitu 2006.

(5)

Secara spasial maka ruang lingkup penelitian akan dibatasi pada kota Solo. Namun tidak hanya dalam batasan administratif, karena ada wilayah-wilayah kota satelit yang ada dalam lingkup kota Solo, namun secara administratif tidak termasuk dalam wilayah kota Solo.

2. Alasan

Studi ini dipilih karena studi mengenai Sejarah Gereja aliran Karismatik masih minim dan umumnya dilakukan secara konvensional (naratif dan deskriptif). Tulisan-tulisan yang ada mengenai Gerakan Karismatik di Indonesia kebanyakan masih dilakukan oleh kalangan di luar kelompok tersebut dan biasanya masih menggunakan pendekatan dogmatis dan apologetis. Tulisan semacam ini dapat dijumpai pada tulisan Sugiri (dkk)4dan Hans Marris.5 Sedangkan Djaka C. Silalahi6 yang berasal dari kalangan Karismatik juga menggunakan pendekatan apologetis.

Pendekatan yang berbeda dilakukan oleh Jan S. Aritonang.7 Tidak seperti beberapa tulisan sebelumnya yang menggunakan pendekatan dogmatis dan apologetis, maka buku Aritonang ditulis dengan pendekatan

4

Sugiri, dkk, Gerakan Kharismatik Apakah Itu? (Jakarta: BPK GM, 1995). 5

Hans Maris, Gerakan Karismatik dan Gereja Kita (Surabaya: Momentum, 2004). 6

Djaka Christianto Silalahi, Karismatik Bercampur dengan Perdukunan?: Tanggapan atas

Metode Kritik Ir Herlianto, M. Th Terhadap Gerakan Karismatik (Yogyakarta: ANDI, 2001).

7

Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran Di Dalam dan Di Sekitar Gereja (Jakarta: BPK GM, 2000). Sebagai seorang sejarawan gereja dan pendeta dari gereja arus utama yang juga dididik dalam lembaga pendidikan teologi yang sealiran, maka Aritonang menunjukkan suatu penulisan yang bernuansa historis, sehingga kecenderungan penilaian negatif serta pendekatan penulisan yang bersifat apologetis sudah tidak nampak lagi.

(6)

fenomenologis-historis. Sehingga cara pandang terhadap berbagai aliran dalam kekristenan lebih penuh dengan penghargaan dan masing-masing aliran yang berbeda dengan aliran penulisnya ditanggapi dengan lebih positif.

Berkaitan dengan wacana mengenai ‘Teologi Kemakmuran’, maka tulisan Herlianto8 menunjukkan perspektif evangelical dan konservatif dalam menanggapi ajaran ini, sehingga nampak kuat nuansa apologetis dalam tulisan ini. Sedangkan E. G. Singgih9 dalam artikelnya yang menyoroti mengenai ‘Teologi Sukses’, menyatakan bahwa pada umumnya ia setuju dengan garis besar dari kecaman yang diberikan Herlianto, namun mengkritik pendekatan doktrinal yang dilakukan kalangan Protestan konservatif, seperti yang dilakukan Herlianto, karena kurang memperhatikan segi konteks dan pastoral. Karena itu Singgih menawarkan pendekatan yang interdisipliner dalam menyikapi gejala-gejala keagamaan, salah satunya ialah dengan memanfaatkan ilmu psikologi.

Studi mengenai keterkaitan antara bisnis etnis Tionghoa dan kekristenan dilakukan oleh Yahya Wijaya.10 Studi ini dilakukan dalam lingkup Gereja Kristen Indonesia, di mana hasil penelitiannya menunjukkan bahwa ajaran gereja tidak memberikan pengaruh terhadap semangat bisnis/etos kerja dari anggotanya.11 Hal ini antara lain disebabkan kurangnya, atau bahkan tidak ada,

8

Herlianto, Teologi Sukses: Antara Allah dan Mamon (Jakarta: BPK GM, 1996). 9

E. G. Singgih, “Mentransformasikan Narsisisme: Tinjauan Kritis atas Gejala ‘Teologi Sukses’ ” dalam Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad ke-21 (Yogyakarta: Kanisius, 1997), h. 107-124.

10

Yahya Wijaya, Business, Family, and Religion (Oxford: Peter Lang, 2002). 11

(7)

perhatian khusus yang diberikan gereja terhadap permasalahan bisnis. Dalam sarannya untuk studi lebih lanjut, Wijaya menyarankan untuk melihat keterkaitan antara bisnis etnis Tionghoa dan kekristenan dalam gereja Katolik,

Evangelical dan juga Karismatik, karena besarnya prosentase etnis Tionghoa

dalam tiga aliran ini.

Keterkaitan antara Gereja-gereja aliran Karismatik dengan bidang bisnis dan dengan etnis Tionghoa sering disebut,12 namun, sepengetahuan saya, belum ada studi empiris yang mendalam yang mencoba melihat mengenai keterkaitan tersebut. Karena itu melalui studi ini, selain memberikan perspektif dan pendekatan baru dalam studi mengenai Gerakan Karismatik di Indonesia, diharapkan dapat diketahui sejauh mana keterkaitan antara Teologi Kemakmuran dengan perkembangan bisnis dan juga keterkaitan antara perkembangan bisnis dengan perkembangan gereja. Sehingga diharapkan hasil dari studi ini dapat dipakai untuk melihat dan menanggapi Gerakan Karismatik secara lebih berimbang (tidak hanya apologetis dan dogmatis) namun dengan memperhatikan aspek dan konteks yang terkait.

C. Metodologi

1. Metode Pembahasan

Dalam wacana historiografi, berkembang pendekatan yang sering disebut sebagai ‘sejarah baru’ yang sering dibedakan dengan ‘sejarah lama.’ Jika dalam

12

Band. Rijn van Kooij, Spiritualitas Kharismatis (Yogyakarta: makalah tidak diterbitkan, 2005), h. 10. Yahya Wijaya, Business, Family, and Religion, h. 259. E. G. Singgih, “Mentransformasikan Narsisisme ”, h. 113-114.

(8)

‘sejarah lama’ yang ditonjolkan adalah aspek politik, maka dalam ‘sejarah baru’ ini pendekatan yang dipakai ialah pendekatan dengan memperhatikan dan menekankan analisis terhadap faktor-faktor dan ranah-ranah sosial yang mempengaruhi peristiwa sejarah itu sendiri.13

Dalam tulisannya Azra14 menunjukkan bahwa pertanyaan mengenai esensi dari sejarah sosial atau ‘sejarah baru’ tersebut tidak begitu mudah didefinisikan dan setidaknya ada tiga pengertian dari sejarah sosial ini. Pertama, ialah sejarah mengenai gerakan sosial yang muncul dan berkembang dalam sejarah, hal ini mengacu pada Sartono Kartodirdjo yang merupakan sejarawan terkemuka Indonesia. Kedua, sejarah sosial mengacu pada sejumlah aktivitas manusia yang agak sulit diklasifikasikan karena begitu luasnya, seperti kebiasaan, adat istiadat, dan kehidupan sehari-hari. Ketiga, istilah sejarah sosial juga digunakan sebagai kombinasi dari sejarah ekonomi, kombinasi ini terjadi berdasarkan asumsi bahwa pertumbuhan ekonomi akan menjelaskan banyak tentang struktur dan perubahan dalam masyarakat, khususnya tentang kelas-kelas dan kelompok sosial. Sejarah sosial dalam pengertian terakhir inilah yang akan dipakai dalam studi ini.

Penulisan sejarah sosial perlu menggunakan pendekatan model tertentu. Penggunaan model dalam penulisan sejarah akan memberikan inspirasi

13

Lihat. Azyumardi Azra, “Kata Pengantar” dalam Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan

Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta : BPK GM, 2004), h. x. Azyumardi Azra, “Historiografi

Kontemporer Indonesia” dalam Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary, Ed., Panggung

Sejarah (Jakarta : YOI, 1999), h. 64.

14

(9)

heuristik yang berguna dalam pencarian, pengumpulan bahan, dan penyusunan.

Secara khusus dalam penyusunan tulisan sejarah, model berguna untuk mengorganisasikan dan mensintesakan tulisan sejarah tersebut.15 Hobsbawm,16 seperti yang dikutip Kuntowijoyo, mengatakan bahwa “setiap penulisan sejarah sosial memerlukan sebuah model, yang sekalipun tidak sangat formal dan terperinci strukturnya, setidak-tidaknya sebagai sebuah kerangka akan tampak lingkaran pusat atau lingkar hubungan dari permasalahan yang akan digarap.” ‘Sistem sejarah’, seperti halnya sistem sosial, merupakan kesatuan dari unit-unit yang saling berhubungan, karena itu lingkaran sebab akibat, pengaruh, dan perbuatan dapat merupakan sebuah sistem apabila strukturnya menjadi jelas.17

Model yang dipilih dalam penulisan ini ialah ‘Model Lingkaran Sentral.’ Model ini dimulai dengan gambaran sinkronis tentang masyarakat (atau obyek) yang diteliti, baru kemudian secara diakronis ditunjukkan pertumbuhannya. Dinamika sejarah merupakan perkembangan logis dari serentetan gejala sejarah yang saling berpautan, karena itu dalam model ini akan ditunjukkan suatu kejadian A yang mempunyai akibat-akibat di sekitarnya (karena A merupakan pusat dari sebuah lingkaran), kemudian A dan lingkarannya (akibat-akibatnya)

15

E. J. Hobsbawm, “From Social History to the History of Society” dalam Felix Gilbert and Stephen R. Graubard (Eds), Historical Studies Today (New York: W. W. Norton and Company. Inc, 1972), h. 1-26. Seperti yang dikutip dalam Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), h. 42.

16

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, h. 42. 17

(10)

akan menyebabkan terjadinya pusat B, dimana B juga akan menimbulkan sejumlah gejala, dan demikian seterusnya.18

Dalam tulisan ini akan diberikan gambaran mengenai pergumulan bisnis etnis Tionghoa, Teologi Kemakmuran di Indonesia, dan GBI-KA Solo. Kemudian akan ditunjukkan keterkaitan antara pengajaran Teologi Kemakmuran di GBI-KA Solo dengan perkembangan bisnis dan finansial dari anggota jemaatnya, dan keterkaitan perkembangan bisnis dan finansial anggota jemaat terhadap perkembangan pembangunan (gedung) gereja di GBI-KA Solo, dalam kurun waktu 1988-2006.

Hasil dari studi historis ini kemudian akan direfleksikan secara teologis dengan memakai acuan Teologi Rakyat sebagai metode berteologi kontekstual. Yaitu dengan melakukan evaluasi empiris, evaluasi teologi dan kemudian mentransformasi pergumulan dari Teologi Rakyat tersebut.19

2. Metode Pengumpulan Sumber

Penelitian ini akan menggunakan sumber tertulis, artifact, dan lisan. Sumber tertulis dapat berupa statistik, buku-buku, maupun tulisan lainnya yang berkaitan dengan GBI-KA. Sumber artifact dapat berupa foto-foto yang berkaitan dengan perkembangan GBI KA. Sedangkan sejarah lisan akan digunakan sehingga dapat ‘menghasilkan teks baru’ yang merupakan hasil dari

18

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, h. 49, 51. Model yang dipakai dalam tulisan ini lebih dimaksudkan untuk menjadi inspirasi heuristik dan membuat kerangka mengenai keterkaitan antara Gereja dan Bisnis di GBI-KA dalam rentang waktu 1988-2006.

19

(11)

wawancara dengan pelaku-pelaku sejarah. Dalam hal ini pelaku sejarah yang akan diwawancarai adalah Gembala Sidang, staf penggembalaan, anggota jemaat yang berlatar belakang bisnis dan etnis Tionghoa, serta nara sumber lainnya yang berkaitan dengan pokok bahasan dalam penelitian ini.

Wawancara akan dilakukan dengan menggunakan tipe wawancara terbuka. Dengan wawancara terbuka ini, maka pertanyaan yang diajukan tidak hanya sekadar dijawab melainkan juga ditanggapi, dikomentari, diolah, diperbaiki, dibahas dan dianalisis bersama, sehingga hal seperti ini akan memperluas pemahaman serta mempertajam gagasan. Selain itu, dengan wawancara terbuka maka nara sumber dapat dengan bebas menceritakan pengalamannya, namun demikian kebebasan bercerita ini tentu juga dibangun dalam suatu kerangka tertentu, dimana pewawancara terlibat dalam mengarahkan dan menilai relevansi dari cerita yang sedang disampaikan nara sumber dan kemudian jika cerita itu relevan maka perlu diarahkan untuk menceritakan secara lebih konkrit dan terperinci, bahkan juga perlu diuji silang dengan kesaksian dari nara sumber lain.20

Setelah hasil wawancara ditranskrip menjadi teks, maka perlu dilakukan pengujian antara hasil wawancara yang satu dengan yang lainnya maupun dengan dokumen maupun literatur lainnya yang ada dan berkaitan langsung dengan topik penelitian. Barulah setelah itu dilakukan interpretasi, yang

20

Lihat. Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, h. 23-38. John Mansford Prior, Meneliti Jemaat-

Pedoman Riset Partisipatoris (Jakarta: Grasindo, 1997), h. 93-126. Daniel Chew, ‘Metodologi Sejarah Lisan-Pendekatan Pengalaman Hidup’ dalam P. Lim Pui Huen, James H. Morrison, dan Kwa Chong

(12)

merupakan ruang bagi subyektivitas penulis sejarah, namun demikian subyektivitas ini terbuka untuk direinterpretasi karena adanya pencantuman sumber sejarah.21

D. Sistematika Penulisan

Bab I: Pendahuluan. Berisi Permasalahan, Alasan Pemilihan Judul, Metodologi,

dan Sistematika Penulisan.

Bab II: Etnis Tionghoa dan Pergumulan Bisnis. Bab ini akan memaparkan

pergumulan bisnis etnis Tionghoa dengan berbagai kebijakan politik. Pengaruh Konfusianisme terhadap bisnis etnis Tionghoa. Serta kondisi sosial dan berbagai kerusuhan yang menimpa etnis Tionghoa di Solo.

Bab III: Teologi Kemakmuran: Bab ini akan berisi konteks sosio-historis lahirnya

‘Teologi Kemakmuran’ di lingkungan Pentakosta dan Karismatik, Perkembangan Teologi Kemakmuran di Indonesia, serta wacana mengenai Teologi Kemakmuran di Indonesia.

Bab IV: GBI-Keluarga Allah Solo: Relasi Gereja dan Bisnis, 1988-2006. Bab ini

akan berisi mengenai konteks kota Solo yang mencakup kondisi sosial dan kekristenan di kota Solo. Profil GBI-Keluarga Allah Solo. Kemudian akan ditunjukkan relasi gereja dan bisnis di GBI Keluarga Allah Solo dalam kurun waktu 1988-2006.

Bab V: Mentransformasikan Teologi Kemakmuran: Upaya Refleksi Teologis Kontekstual. Bab ini akan berisi refleksi teologis kontekstual sebagai upaya

21

(13)

mentransformasikan Teologi Kemakmuran. Refleksi akan dilakukan dengan memakai acuan Teologi Rakyat yang didapat dari studi historis, kemudian dilakukan evaluasi empiris, evaluasi teologis, dan kemudian ditransformasikan.

Referensi

Dokumen terkait

Lebih jauh dari ihtiyâth dilakukan untuk kehati-hatian dalam beribadah agar waktu Salat benar-benar tepat pada waktunya, sehingga terhindar dari waktu-waktu yang di

[r]

Bahasa Inggris dan Bahasa Asing Lainnya 352 B3. Muatan Peminatan

Universitas Negeri

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pembentukan Tim Persertifikatan Tanah-Tanah

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Kampung Buana Makmur Kecamatan Dayun Kabupaten Siak, maka dapat disimpulkan Sebagian besar responden dalam

1. Manfaat Akademik adalah untuk Pengembangan Ilmu Pengetahuan di bidang ilmu Hukum Pidana, khususnya yang menyangkut mengenai Peranan Kebijakann Polri dalam Menanggulangi

Di sisi lain pengaruh metode Quantum Learning terhadap kemampuan memproduksi teks eksposisi pada siswa kelompok eksperimen dengan kelompok kontrol dapat dibuktikan dari