• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENERAPAN GOOD BREEDING PRACTICES SAPI POTONG DI PT LEMBU JANTAN PERKASA SERANG - BANTEN SKRIPSI TANTIA SAFITRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENERAPAN GOOD BREEDING PRACTICES SAPI POTONG DI PT LEMBU JANTAN PERKASA SERANG - BANTEN SKRIPSI TANTIA SAFITRI"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN GOOD BREEDING PRACTICES SAPI POTONG

DI PT LEMBU JANTAN PERKASA

SERANG - BANTEN

SKRIPSI TANTIA SAFITRI

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(2)

RINGKASAN

TANTIA SAFITRI. D14070016. 2011. Penerapan Good Breeding Practices Sapi Potong di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Rudy Priyanto

Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Henny Nuraini M.Si.

Peningkatan populasi ternak sapi yang terjadi di Indonesia dari tahun ke tahun diikuti pula dengan peningkatan pemotongan ternak sapi. Hal ini mengindikasikan adanya peningkatan pada kebutuhan akan daging sapi di Indonesia. Pemerintah telah melakukan beberapa upaya dalam meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia yaitu diantaranya dengan melakukan impor daging dan sapi bakalan. Sapi bakalan impor ini juga digunakan untuk usaha penggemukan di Indonesia. Namun, usaha ini akan terus bergantung pada impor bakalan apabila tidak ada usaha pembibitan ternak. Pelaksanaan usaha pembibitan sapi potong memerlukan suatu pedoman yang harus diterapkan dengan baik yaitu Good Breeding

Practices (GBP). Penerapan GBP merupakan suatu tindakan untuk meningkatkan

produktivitas sapi potong yang dihasilkan. Wujud nyata dari adanya penerapan ini adalah terbentuknya suatu manual mutu, yaitu semacam pedoman Standard

Operational Procedure (SOP) dalam melaksanakan kegiatan usaha ini.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan GBP sapi potong di PT Lembu Jantan Perkasa (LJP), Serang-Banten. Penerapan GBP meliputi empat aspek, yaitu sarana, proses produksi, pelestarian lingkungan, dan pengawasan. Kegiatan magang penelitian dilakukan di PT LJP, Serang-Banten. Magang penelitian ini dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus 2010. Metode yang digunakan berupa pengamatan, penyebaran kuisioner, dan wawancara. Analisis data penelitian dilakukan secara deskriptif dengan peubah yang diamati, yaitu evaluasi pelaksanaan GBP, calving interval (CI), service per conception (S/C), conception rate (C/R), serta calving rate (CR).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan aspek GBP sapi potong di PT LJP Serang-Banten telah dilakukan dengan baik. Penerapan GBP yang baik pada perusahaan ini ditunjukkan pada ketercapaian produktivitas yang tinggi pada tahun 2010 yaitu CI sebesar 372 hari, S/C sebesar 1,5, CR sebesar 88%, dan C/R sebesar 84%. Kesimpulan yang diperoleh yaitu diperlukan adanya perbaikan pada aspek GBP diantaranya, perbaikan tempat penampungan limbah, perusahaan mempertimbangkan kembali mengenai replacement stock, peningkatan pengawasan areal perusahaan, serta adanya fasilitas desinfeksi untuk staf/karyawan dan kendaraan tamu di pintu masuk perusahaan.

(3)

ABSTRACT

The Implementation of Good Breeding Practice for Beef Cattle at PT Lembu Jantan Perkasa in Serang-Banten

T. Safitri, R. Priyanto, and Henny .N

Cow-calf production is fundamental to the other cattle production system, i.e growing of stocker and cattle finishing. Good Breeding Practices (GBP) for beef cattle is important for breeding goal achievement that is producing breeding animal. The scope of GBP in beef cattle farming includes four aspects: facilities, cattle breeding, environmental protection and supervision. The study aimed to examine the Good Breeding Practices for beef cattle at PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) in Serang -Banten. Descriptive analysis was used to review the breeding operation in PT LJP Serang-Banten. The breeding parameters observed were calving interval, service per conception, conception rate, and calving rate. The result showed that in general the company had applied well GBP in its operation. There were several aspects that should be considered to improve the GBP operation those site plant building and security, replacement stock, and animal health. Calving interval are 408 days in 2009 and 372 days in 2010. Service per conception are 1,6 in 2009 and 1,5 in 2010. Conception rate are 78% in 2009 and 88% in 2010 and calving rate are 23% in 2009 and 84% in 2010.

Keywords: beef cattle, cow-calf production, implementation of good breeding

(4)

PENERAPAN GOOD BREEDING PRACTICES SAPI POTONG

DI PT LEMBU JANTAN PERKASA

SERANG - BANTEN

TANTIA SAFITRI

D14070016

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

(5)

PENERAPAN GOOD BREEDING PRACTICES SAPI POTONG DI PT LEMBU JANTAN PERKASA SERANG-BANTEN

Oleh TANTIA SAFITRI

D14070016

Skripsi ini telah disetujui untuk disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 19 April 2011

Menyetujui,

Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,

(Dr. Ir. Rudy Priyanto) (Dr. Ir. Henny Nuraini M.Si)

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 14 September 1989 di Tanjung Karang, Bandar Lampung. Penulis merupakan anak keempat dari empat bersaudara pasangan Bapak Mukrin Abdullah dan Ibu Darty Sabkie.

Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1995 di Sekolah Dasar Negeri 2 Palapa, Bandar Lampung dan diselesaikan pada tahun 2001. Pendidikan lanjutan menengah pertama dimulai pada tahun 2001 dan diselesaikan pada tahun 2004 di Sekolah Menengah Pertama Negeri 4 Bandar Lampung. Penulis melanjutkan pendidikan di SMA Yayasan Pembina Universitas Lampung pada tahun 2004 dan diselesaikan pada tahun 2007.

Penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2007 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di jurusan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008. Penulis aktif dalam unit kegiatan mahasiswa (UKM) Century Institut Pertanian Bogor sebagai staf divisi ilmu teknologi pada periode 2008-2009 dan sebagai ketua divisi ilmu teknologi pada periode 2009-2010. Penulis menjadi sekretaris umum pada periode 2009-2010 di Himpunan Mahasiswa Produksi dan Teknologi Peternakan (Himaproter). Penulis juga mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa pada tahun 2009 dan 2010, serta menjadi peserta dalam kegiatan Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional XXIII yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementrian Pendidikan Nasional bekerjasama dengan Universitas Mahasaraswati, Denpasar dalam bidang pengabdian pada masyarakat. Penulis menjadi penerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) selama menyelesaikan studinya.

(7)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT

atas karunia dan limpahan rahmat-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Penerapan Good Breeding Practices Sapi Potong di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten. Shalawat beriring salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasulullah SAW beserta keluarga dan sahabatnya. Penyelesaian skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan.

Upaya dalam meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia yaitu diantaranya dengan melakukan impor daging dan sapi bakalan. Sapi bakalan impor ini juga digunakan untuk usaha penggemukan di Indonesia. Namun, usaha ini akan terus bergantung pada impor bakalan apabila tidak adanya usaha pembibitan ternak. Pelaksanaan usaha pembibitan sapi potong memerlukan suatu pedoman yang harus diterapkan dengan baik yaitu Good Breeding Practices (GBP). Selanjutnya, sebagai wujud nyata dari adanya penerapan ini adalah terbentuknya suatu manual mutu, yaitu semacam pedoman Standard Operational Procedure (SOP) dalam melaksanakan kegiatan usaha ini. Maka dari itu Penulis tertarik untuk mengkaji penerapan GBP pada PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) Serang-Banten yang telah berkontribusi dalam usaha pembibitan ternak. Pengkajian terhadap aspek GBP di PT LJP, Serang-Banten ini diharapkan dapat menjadi acuan dalam pengembangan usaha pembibitan sapi potong skala kecil hingga besar di Indonesia.

Penulis menyadari karya sederhana ini masih jauh dari sempurna. Penulis berharap penelitian ini dapat menjadi masukan dan informasi yang bermanfaat kepada pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, 02 Mei 2011

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ……... i

ABSTRACT ... ii

LEMBAR PERNYATAAN ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

RIWAYAT HIDUP ... v

KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ………... x DAFTAR LAMPIRAN ………... xi PENDAHULUAN ………... 1 Latar Belakang ………... 1 Tujuan ... 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 3 Bangsa Sapi ... 3

Sapi Brahman Cross ... 3

Sapi Simmental ... 5

Sapi Limousin ... 5

Produktivitas Sapi Potong di Indonesia ... 6

Produksi Sapi Potong ... 6

Reproduksi Sapi Potong ... 7

Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi ... 8

Efisiensi Reproduksi ... 9

Service per Conception (S/C) ... 9

Conception Rate (CR) ... 10

Calving Interval (CI) ... 10

Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong ... 11

Sistem Pemeliharaan Sapi Potong ... 11

Bangunan dan Fasilitas Peternakan ... 12

Perkandangan ... 13

Manajemen Pakan ... 13

Iklim ... 14

Good Breeding Practice (GBP) ... 15

MATERI DAN METODE ... 16

(9)

viii

Materi dan Alat ... 16

Prosedur ... 16

Teknik Pengumpulan Data ... 16

Analisis Data ... 16

Peubah yang diamati ... 17

1. Evaluasi pelaksanaan Good Breeding Practices .. 17

2. Calving Interval (CI) ... 17

3. Service per Conception (S/C) ... 17

4. Conception Rate (CR) ... 17

5. Calving Rate (C/R) ... 17

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

Keadaan Umum Lokasi ... 18

Stuktur Organisasi ... 20

Bangsa Sapi yang Dipelihara ... 20

Evaluasi Penerapan Pembibitan Sapi Potong yang Baik ... 22

Sarana dan Prasarana ... 37

Proses Produksi Bibit ... 43

Kesehatan Hewan ... 45

Pelestarian Lingkungan ... 46

Monitoring, Evaluasi dan Pelaporan ... 47

Ketercapaian Penerapan GBP di PT. LJP Serang-Banten ... 48

Calving Interval (CI) ... 48

Service per Conception (S/C) ... 49

Conception Rate (CR) ... 51

Calving Rate (C/R) ... 51

Evaluasi Penerapan Standard Operational Procedure (SOP) ... 53

Penimbangan ... 55

Seleksi Awal ... 56

Pemeliharaan Calon Bibit (Cabit) dan Proses Pengawinan ... 57

Pemeriksaan Kebuntingan (PKB) ... 59

Pemeliharaan Induk Bunting ... 60

Kelahiran ... 61

Perawatan Induk dan Anak ... 63

Penjualan Sapi Bibit ... 65

KESIMPULAN DAN SARAN ... 66

Kesimpulan ... 66

Saran ... 66

UCAPAN TERIMA KASIH ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Populasi Ternak Sapi di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten per-

Juli 2010 ... 19

2. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Sarana dan Prasarana di PT Lembu Jantan Perkasa ...

24

3. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Proses Produksi Bibit di PT Lembu Jantan Perkasa ...

29

4. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Pelestarian Lingkungan di PT Lembu Jantan Perkasa ...

35

5. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Monitoring, Evaluasi, dan Pelaporan di PT Lembu Jantan Perkasa...

36

6. Ketercapaian Penerapan Good Breeding Practices di PT Lembu Jantan Perkasa Serang-Banten ...

48

7. Penjualan Ternak Breeding PT Lembu Jantan Perkasa Periode 2009-2010 ...

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Bagan Struktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa ... 21

2. Sarana: (a) Kantor, (b) Mess Karyawan, (c) Mushola, dan (d) Unit Kesehatan Hewan ... 38 3. Prasarana: (a) Kandang pemeliharaan, (b) Kandang Isolasi, (c) Gudang Pakan, dan (d) Unit Penanganan Limbah ... 39 4. Peralatan Kesehatan Hewan: (a) Obat-obatan dan (b) Alat Suntik ... 43

5. Fasilitas Desinfeksi ... 46

6. Alur Penanganan Sapi Pembibitan di PT Lembu Jantan Perkasa …….. 53

7. Penerimaan Sapi: (a) Loading Chute dan (b) Penampungan ... 55

8. Penimbangan Awal: (a) Penimbangan Ternak dan (b) Pemasangan Ear-Tag ... 56 9. Pemeriksaan Alat Reproduksi ... 57

10. Peralatan Inseminasi Buatan ……….... 58

11. Kelahiran: (a) Induk Setelah Beranak dan (b) Induk Menjilati Anak ... 61

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman 1. Kuisioner Good Breeding Practices ... 72 2. SOP Usaha Pembibitan Ternak ... 78 3. Data Perhitungan pada Tahun 2009 dan 2010 ... 84

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Permasalahan mengenai pemenuhan akan daging sapi di Indonesia masih belum teratasi dengan baik. Hal ini disebabkan populasi ternak sapi yang ada belum dapat memenuhi kebutuhan akan konsumsi daging sapi di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (2009), pada tahun 2007 populasi ternak sapi potong di Indonesia berjumlah 11.514.900 ekor dan meningkat menjadi 11.869.200 ekor pada tahun 2008. Jumlah ternak yang dipotong pun meningkat dari tahun ke tahun, pada tahun 2007 jumlah ternak yang dipotong sebesar 1.218.560 ekor dan meningkat menjadi 1.295.789 ekor pada tahun 2008. Kondisi ini menunjukkan adanya peningkatan populasi ternak sapi yang diikuti dengan peningkatan kebutuhan akan daging sapi. Pemerintah telah melakukan beberapa upaya dalam meningkatkan produksi daging sapi di Indonesia yaitu diantaranya dengan melakukan impor daging dan sapi bakalan. Impor daging sapi tahun 2009 mencapai 110.245,6 ton atau senilai 266,5 juta dollar AS. Impor sapi di Indonesia telah berlangsung sejak tahun 1990-an dan umumnya berasal dari Australia. Sapi bakalan impor ini juga digunakan untuk usaha penggemukan di Indonesia. Usaha ini akan terus bergantung pada impor bakalan apabila tidak ada usaha pembibitan ternak. Usaha pembibitan merupakan salah satu upaya dalam mendukung swasembada daging pada tahun 2014.

Beberapa perusahaan yang bergerak di bidang sapi potong telah mulai merintis usaha pembibitan sapi potong sejak tujuh tahun terakhir. Menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2006), usaha pembibitan adalah kegiatan budidaya menghasilkan bibit ternak untuk keperluan sendiri atau untuk diperjualbelikan. Bibit sapi potong merupakan salah satu faktor produksi yang menentukan dan mempunyai nilai strategis dalam upaya mendukung terpenuhinya kebutuhan daging. Upaya pengembangan pembibitan sapi potong secara berkelanjutan diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha ternak potong, antara lain penentuan bibit ternak potong yang baik, penyediaan dan pemberian pakan hijauan yang baik, pembuatan kandang yang memenuhi persyaratan kesehatan, pemeliharaan yang baik, sistem perkawinan yang baik, dan pengawasan terhadap penyakit ternak (Direktorat Jenderal Peternakan, 1985).

(14)

2 Pelaksanaan usaha pembibitan sapi potong memerlukan suatu pedoman yang harus diterapkan dengan baik yaitu Good Breeding Practices (GBP).

Direktorat Jenderal Peternakan (2006) telah mengeluarkan pedoman GBP bagi pembibit, sebagai acuan dalam melakukan pembibitan sapi potong untuk menghasilkan bibit yang bermutu baik serta bagi petugas dinas yang menangani fungsi peternakan di daerah, sebagai pedoman dalam melakukan pembinaan, bimbingan dan pengawasan dalam pengembangan pembibitan sapi potong. Ruang lingkup pedoman pembibitan sapi potong yang baik meliputi empat aspek yaitu 1) sarana dan prasarana, 2) proses produksi bibit, 3) pelestarian lingkungan, 4) monitoring, evaluasi dan pelaporan (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006).

PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten merupakan salah satu perusahaan swasta yang bergerak dalam pembibitan, penggemukan, dan pemasaran sapi potong. Perusahaan ini telah berdiri sejak tahun 1996 hingga sekarang dan telah banyak menyuplai bibit sapi untuk bakalan, calon pejantan, maupun calon induk, oleh sebab itu penerapan GBP menjadi hal yang sangat penting bagi perusahaan ini. Penerapan GBP merupakan suatu tindakan untuk meningkatkan produktivitas sapi potong yang dihasilkan. Wujud nyata dari adanya penerapan ini adalah terbentuknya suatu manual mutu, yaitu semacam pedoman Standard Operational Procedure (SOP) dalam melaksanakan kegiatan usaha ini.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji penerapan GBP sapi potong di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten berdasarkan empat aspek, yaitu sarana dan prasarana, proses produksi, pelestarian lingkungan, dan pengawasan.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA Bangsa Sapi

Bangsa (breed) sapi adalah sekumpulan ternak yang memiliki karakteristik tertentu yang sama. Berdasarkan karakteristik tersebut, bangsa sapi dapat dibedakan dari ternak lainnya meskipun masih dalam spesies yang sama. Karakteristik yang dimiliki dapat diturunkan ke generasi berikutnya.

Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi mempunyai klasifikasi taksonomi sebagai berikut :

Phylum : Chordata

Subphylum : Vertebrata

Class : Mamalia

Sub class : Theria Infra class : Eutheria Ordo : Artiodactyla Sub ordo : Ruminantia Infra ordo : Pecora Famili : Bovidae Genus : Bos (cattle) Group : Taurinae

Spesies : Bos taurus (sapi Eropa)

Bos indicus (sapi India/sapi Zebu) Bos sondaicus (banteng/sapi Bali) Sapi Brahman Cross

Minish dan Fox (1979) menyatakan bahwa sapi Brahman di Australia secara komersial jarang dikembangkan secara murni dan banyak disilangkan dengan sapi Hereford-Shorthorn (HS). Hasil persilangan dengan Hereford dikenal dengan nama Brahman Cross (BX). Sapi ini mempunyai keistimewaan karena tahan terhadap suhu panas dan gigitan caplak, mampu beradaptasi terhadap makanan jelek, serta mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi. Sapi Brahman Cross (BX) pada awalnya dikembangkan di stasiun CSIRO‟S Tropical Cattle Research Centre di Rockhampton Australia. Materi dasarnya adalah sapi American Brahman, Hereford,

(16)

4 dan Shorthorn. Sapi BX mempunyai proporsi 50% darah Brahman, 25% darah Hereford, dan 25% darah Shorthorn. Secara fisik bentuk fenotif sapi BX lebih cenderung mirip sapi American Brahman karena proporsi darahnya yang lebih dominan, seperti punuk dan gelambir masih jelas, bentuk kepala dan telinga besar menggantung, sedangkan pola warna kulit sangat bervariasi mewarisi tetuanya (Turner, 1977).

Sapi BX memiliki sifat-sifat seperti: (1) persentase kelahiran 81,2%, (2) rataan bobot lahir 28,4 kg, bobot umur 13 bulan mencapai 212 kg dan umur 18 bulan bisa mencapai 295 kg, (3) angka mortalitas postnatal sampai umur 7 hari sebesar 5,2%, mortalitas sebelum disapih 4,4%, mortalitas lepas sapih sampai umur 15 bulan sebesar 1,2% dan mortalitas dewasa sebesar 0,6%, (4) daya tahan terhadap panas cukup tinggi karena produksi panas basal rendah dengan pengeluaran panas yang efektif, (5) ketahanan terhadap parasit dan penyakit sangat baik, serta (6) efisiensi penggunaan pakan terletak antara sapi Brahman dan persilangan Hereford-Shorthorn (Turner, 1977).

Menurut Winks et al. (1979), jantan kebiri sapi BX di daerah tropik Quensland secara normal memiliki performa di bawah bangsa sapi Eropa. Sapi Hereford steer lebih cepat pertumbuhannya dibandingkan sapi BX pada lingkungan beriklim sedang. Bobot hidup finishing yang sama pada produksi karkas sapi BX lebih berat dibandingkan sapi Frisian karena memiliki persentase karkas (dressing percentage) yang lebih tinggi. Bobot karkas sapi Shorthorn terletak antara sapi Brahman dan Hereford. Persentase karkas sapi Hereford lebih rendah dibandingkan sapi BX dan lebih tinggi dibandingkan sapi Frisian. Karkas sapi Frisian memiliki persentase tulang lebih tinggi dibandingkan sapi Shorthorn dan BX. Trim lemak bervariasi mulai dari 4,2% sampai 11,2%, terendah pada sapi Frisian dan tertinggi pada Shorthorn.

Sapi BX di Indonesia diimpor dari Australia sekitar tahun 1973 namun penampilan yang dihasilkan tidak sebaik dengan di Australia. Hasil pengamatan di ladang ternak Sulawesi Selatan memperlihatkan: (1) persentase beranak 40,91%, (2)

calf crop 42,54%, (3) mortalitas pedet 5,93%, (4) mortalitas induk 2,92%, (5) bobot

(17)

5 badan sebelum disapih sebesar 0,38 kg/hari (Hardjosubroto, 1994; Ditjen Peternakan dan Fapet UGM, 1986).

Sebagian besar sapi di Australia merupakan sapi American Brahman dan Santa Gertrudis yang diimpor dari Amerika. Persilangan antara kedua bangsa sapi ini dengan sapi Zebu menghasilkan bangsa sapi yang sama dengan sapi American Brahman dan Santa Gertrudis yakni Brangus dan Braford. Persilangan lebih lanjut menghasilkan sapi Droughtmaster yang merupakan hasil persilangan dengan komposisi darah 3/8 – 5/8 darah Zebu utamanya American Brahman yang diimpor dari Texas (Payne, 1970). Sementara sapi Brangus mempunyai komposisi darah 5/8 Angus dan 3/8 Brahman (Minish dan Fox, 1979).

Sapi Simmental

Sapi Simmental berasal dari lembah Simme di Swiss, berwarna merah, bervariasi mulai dari yang gelap sampai hampir kuning dengan totol-totol serta mukanya berwarna putih. Sapi ini terkenal karena menyusui anak dengan baik pertumbuhan cepat, serta badan panjang dan padat. Sapi Simmental berukuran besar, baik pada kelahiran, penyapihan maupun saat mencapai dewasa (Blakely dan Bade, 1991). Pertumbuhan otot sangat baik dan tidak banyak terdapat penimbunan lemak di bawah kulit. Warna bulu pada umumnya krem kecokelatan hingga sedikit merah dan warna bulu pada muka putih, demikian pula dari lutut ke bawah dan pada ujung ekor berwarna putih. Tanduk tidak begitu besar, meskipun berat lahir anaknya tidak setinggi anak Charolais dan Maineanjou, tetapi berat sapih tinggi demikian pula pertambahan berat badan setelah sapih. Produksi susu tinggi (rata-rata 3.900 kg/laktasi) dengan persentase lemak susu sebesar 4%. Berat sapi jantan dewasa kira-kira 1.150 kg dan betina kira-kira-kira-kira 800 kg. Melihat daya gunanya yang luas (triguna), diperkirakan sapi ini cocok untuk memperbaiki mutu sapi di Indonesia (Pane, 1986). Sapi Limousin

Bangsa sapi Limousin berasal dari sebuah propinsi di Perancis yang banyak berbukit batu. Warna mulai dari kuning sampai merah keemasan. Tanduk berwarna cerah. Bobot lahir tergolong kecil sampai medium yang berkembang menjadi golongan besar pada saat dewasa. Betina dewasa dapat mencapai 575 kg sedangkan pejantan dewasa mencapai berat 1.100 kg. Fertilitas cukup tinggi, mudah melahirkan,

(18)

6 mampu menyusui dan mengasuh anak dengan baik serta pertumbuhan cepat (Blakely dan Bade, 1991).

Produktivitas Sapi Potong di Indonesia

Produktivitas ternak sapi potong di Indonesia sebagai salah satu sumber daging belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dikarenakan jumlahnya masih rendah. Faktor yang menyebabkan produksi daging masih rendah adalah rendahnya populasi ternak sapi dan tingkat produksi sapi.

Produksi Sapi Potong

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa usaha peternakan ruminansia besar penghasil daging dapat dikelompokkan ke dalam beberapa program produksi sapi yang masing-masing memiliki kekhususan dalam pengelolaannya. Program tersebut antara lain produksi anak (cow calf), pembesaran anak sapi sapihan (stocker), dan penggemukan (finisher). Program Cow Calf (CC) bertujuan untuk menghasilkan anak, batas program ini dengan program lain atau program selanjutnya ialah pada waktu anak yang dihasilkan, disapih. Program ini merupakan dasar semua program yang ada dalam industri beef, anak yang dihasilkan dalam program ini merupakan materi untuk program lain. Program stocker atau pembesaran anak dapat dimulai dari awal pemanfaatan anak yang disapih dari program CC sampai anak tersebut akan digemukkan atau untuk replacement stock. Produk program ini adalah feeder untuk digemukkan ataupun untuk replacement stock. Gabungan berbagai program bukanlah suatu hal yang tidak mungkin apabila beberapa program bergabung bersama jika kondisi yang memungkinkana atau mengharuskan. Program CC yang bersatu dengan program pembesaran anak sering dilakukan oleh peternak (Parakkasi, 1999).

Hardjosubroto (1994) menyatakan bahwa produksi ternak sapi potong sangat berhubungan dengan performa, seperti bobot badan, ukuran tubuh, komposisi tubuh dan kondisi ternak. Penimbangan bobot badan ternak sapi tidak mungkin dilakukan sehingga ukuran tubuh dapat digunakan sebagai alat penduga bobot hidup dan dapat menggambarkan penampilan produksi ternak sapi. Beberapa ukuran tubuh seperti lingkar dada, panjang badan, dan tinggi gumba dapat dijadikan indikator bagi bobot hidup ternak sapi potong. Produksi ternak yang menguntungkan membutuhkan ternak-ternak yang sehat karena penyakit merupakan faktor pembatas keuntungan

(19)

7 pada kebanyakan daerah tropis (Williamson dan Payne, 1993). Kondisi ternak sapi dapat diamati dengan cara observasi, pengamatan, dan perabaan bagian tulang belakang.

Reproduksi Sapi Potong

Aspek reproduksi merupakan dasar utama dalam peternakan dan menentukan tingkat prestasi produksi. Semakin tinggi tingkat reproduksi yang dicapai, maka produksi yang dihasilkan akan meningkat pula (Natasasmita dan Mudikdjo, 1979). Sistem reproduksi jantan dan betina belum berfungsi secara sempurna sebelum seekor sapi mencapai masak kelamin (pubertas), yakni umur pada saat dicapai kematangan kelamin atau kematangan seksual. Hal ini ditandai dengan estrus yang pertama sebagai akibat dari pengaruh hormon esterogen yang disekresikan oleh ovari (Blakely dan Bade, 1991). Umur pada saat tercapainya masak kelamin bervariasi diantara bangsa-bangsa sapi, dengan suatu kisaran umur 8-18 bulan (Blakely dan Bade, 1991). Terjadinya estrus pertama pada hewan betina muda sangat mencolok karena timbul secara tiba-tiba.

Umumnya sapi-sapi Brahman dan Zebu mencapai pubertas 6-12 bulan lebih lambat dari pada bangsa-bangsa sapi Eropa. Pubertas pada ternak sapi betina bangsa Eropa mulai timbul pada umur 6-18 bulan, sedangkan sapi Brahman dan Zebu pada umur 12-30 bulan. Penurunan tingkat makanan pada sapi potong pada umumnya dapat memperlambat pubertas (Toelihere, 1979). Menurut Wijono et al. (1998), umur pubertas lebih awal dapat terjadi pada perkembangan sapi dara yang dipelihara dengan baik atau memiliki kondisi badan yang baik. Adapun berat yang dicapai pada saat pubertas berkisar antara 250-400 kg (Blakely dan Bade, 1991). Umur pubertas sangat dipengaruhi oleh musim, suhu, makanan, dan genetik, oleh karena itu perkawinan awal sebaiknya dilakukan pada umur 14-22 bulan atau pada bobot badan 160-270 kg (Toelihere, 2006). Sapi-sapi dara Eropa yang tumbuh baik tidak dikawinkan sebelum mencapai umur 14-18 bulan karena pubertas berkembang jauh sebelum dapat terjadi konsepsi, kebutingan, dan kelahiran normal. Sapi potong yang kurang baik pertumbuhanya baru dapat dikawinkan sesudah mencapai umur 18-24 bulan (Toelihere, 1979).

(20)

8 Sapi betina hanya akan menerima pejantan selama periode estrus yang lamanya rata-rata 16 jam, dan jika tidak terjadi perkawinan maka kondisi ini akan berulang setiap 21 hari (Blakely dan Bade, 1991). Periode estrus ini menurut Frandson (1993) ditentukan oleh tingkat sirkulasi esterogen. Arthur et al. (1989) mengatakan bahwa lama estrus ini berkisar 12-30 jam dengan rata-rata 20 jam, sedangkan ovulasi setelah estrus rata-rata 31 jam atau antara 18-48 jam.

Pembuahan atau konsepsi atau fertilisasi merupakan awal dari periode kebuntingan (Salisbury dan Vandemark, 1985). Menurut Frandson (1993), periode kebuntingan dimulai dari saat pembuahan (fertilisasi) ovum sampai anak lahir. Periode kebuntingan yang normal berkisar antara 240-330 hari atau rata-rata 283 hari (Blakely dan Bade, 1991).

Inseminasi Buatan (IB) pada Sapi

Fertilisasi maksimal akan dihasilkan jika mortalitas dan kesehatan sperma yang dideposisikan ke dalam saluran kelamin betina berjumlah cukup serta pada tempat dan waktu yang terbaik saat ovulasi (Gomes, 1977). Hal ini, menurut Toelihere (1993), memerlukan deteksi dan pelaporan berahi yang tepat sehingga inseminasi dapat dilakukan pada waktu yang tepat. Demikian juga teknik inseminasi dilakukan secara cermat oleh tenaga terampil dan juga hewan betina yang sehat dalam kondisi reproduksi yang optimal (Toelihere, 1993). Bearden dan Fuguay (1997) menambahkan bahwa puncak keberhasilan inseminasi buatan (IB) tergantung dari penempatan semen berkualitas tinggi yang tepat di dalam alat reproduksi betina. Tanda-tanda visual sapi betina menjelang birahi adalah pembengkakan dan vulva yang menjadi merah serta keadaan gelisah yang menunjukkan keinginan untuk kawin, tetapi perilaku yang amat menonjol adalah mengusir atau diusir oleh temannya. Kunci untuk menentukan yang mana di antara sapi-sapi itu yang sedang birahi adalah sapi betina yang akan tetap diam apabila dinaiki (Blakely dan Bade, 1991). Menurut Frandson (1993), konsepsi masih dapat terjadi pada sapi yang dikawinkan mulai dari 34 jam sebelum ovulasi sampai 14 jam setelah ovulasi. Spermatozoa dari pejantan harus hadir sekurang-kurangnya 6 jam di dalam uterus atau oviduk betina sebelum mampu membuahi sebuah ovum (Frandson, 1993). Inseminasi yang tepat sebaiknya dilakukan pada saat mulai pertengahan estrus

(21)

9 sampai 6 jam sesudah puncak berahi (Salisbury dan Vandemark, 1985). Evaluasi semen harus dilakukan untuk menentukan pergerakan (motilitas) dan daya hidup (viabilitas) sperma yang diejakulasikan, meskipun keadaan fisik pejantan itu tidak memperlihatkan kelemahan atau kekurangan tertentu (Blakely dan Bade, 1991).

Efisiensi Reproduksi

Payne (1970) menyatakan bahwa IB dapat dipakai untuk meningkatkan efisiensi reproduksi terutama dalam mengatasi kegagalan reproduksi, tetapi tidak selamanya IB dapat memberikan hasil yang lebih baik dari kawin alam, misalnya jumlah pelayanan per kebuntingan atau service per conception . Balai Inseminasi Buatan Singosari (1997) memberikan suatu gambaran efisiensi reproduksi ternak dengan mengevaluasi nilai conception rate (CR) dan services per conception (S/C). Direktorat Jenderal Peternakan (1991) memberikan pedoman dalam mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan IB dengan memberikan nilai standar dari calving interval (CI) 12 bulan, service per conception (S/C) 1,6, dan conception rate (CR) 62,5%.

Service per Conception (S/C)

Service per conception adalah jumlah pelayanan inseminasi sampai seekor

ternak menjadi bunting (Salisbury dan Van Demark, 1985). Service per conception merupakan ukuran berapa kali seekor ternak sapi melakukan perkawinan hingga ternak tersebut bunting. Nilai S/C yang normal menurut Toelihere (1979) berkisar antara 1,6-2,0. Penelitian Depison et al. (2003) pada persilangan Simmental dan Brahman (Simbrah) dapat mencapai nilai S/C sebesar 1,45. Semakin rendah nilai tersebut, makin tinggi nilai kesuburan hewan-hewan betina kelompok-kelompok tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan S/C diantaranya kualitas semen yang digunakan, deteksi birahi, body condition score (BCS), tingkat kemampuan inseminator, dan bobot hidup (Kutsiyah et al., 2002). Menurut Vandeplassche (1982), nilai S/C yang rendah sangat penting dalam arti ekonomis, baik dalam perkawinan alam maupun melalui IB. Nilai S/C dianggap tidak baik apabila melebihi angka 2,0 karena hal ini menunjukan gambaran reproduksi yang tidak efisien dan akan merugikan secara ekonomis.

(22)

10

Conception Rate (CR)

Angka dari persentase sapi betina yang bunting disebut dengan nilai CR atau angka konsepsi yang ditentukan berdasarkan hasil diagnosis kebuntingan oleh dokter hewan dalam waktu 45–60 hari sesudah inseminasi (Partodihardjo 1987). Toelihere (1993) menyatakan bahwa conception rate di negara maju dapat berkisar antara 60-70%, namun untuk kondisi di Indonesia conception rate sebesar 50% sudah termasuk normal, dan jika dibawah 50% berarti menunjukkan wilayah tersebut memiliki ternak yang kurang subur. Menurut Toelihere (1993), angka konsepsi ditentukan oleh tiga faktor, yaitu kesuburan pejantan, kesuburan betina dan teknik inseminasi. Pengaruh ketiga kombinasi tersebut dapat menghasilkan angka konsepsi sebesar 64%. Teknik inseminasi yang baik dan benar akan mempertahankan nilai tersebut. Penelitian Depison et al. (2003) menunjukkan hasil persilangan Simmental dan Brahman (Simbrah) dapat mencapai nilai CR sebesar 61,29%.

Calving interval (CI)

Jarak beranak (calving interval) adalah periode waktu antara dua kelahiran yang berurutan dan dapat juga dihitung dengan menjumlahkan periode kebuntingan dengan periode days open (interval antara saat kelahiran dengan terjadinya perkawinan yang subur berikutnya) (Sutan, 1988). Interval kelahiran atau jangka waktu antara satu kelahiran dengan kelahiran berikutnya seharusnya 12-13 bulan (Toelihere, 1979). Peters (1996) menyatakan bahwa CI yang optimum adalah 365 hari atau 12 bulan. Efisiensi yang buruk ditandai dengan interval kelahiran yang lebih panjang. Umur sapih pedet cenderung memperpanjang jarak beranak. Sapi menyusui pedet lebih lama akan menunda perkawinan pertama kali setelah beranak. Nilai CI pada sapi peranakan Simmental yang dikawinkan secara IB yaitu sebesar 392,28±77,27 hari (Iswoyo dan Priyantini, 2008). Faktor -faktor yang mempengaruhi jarak beranak, yaitu lama bunting, jenis kelamin pedet yang dilahirkan, umur penyapihan pedet, S/C, bulan beranak, bulan saat terjadinya konsepsi, dan jarak waktu sapi pertama kali dikawinkan setelah beranak (Bowker et al., 1978). Nilai CI yang optimum tersebut akan dapat dicapai jika sapi-sapi betina yang telah melahirkan dikawinkan lagi setelah 50-70 hari (Craig, 1981).

(23)

11 Manajemen Pemeliharaan Sapi Potong

Sistem Pemeliharaan Sapi Potong

Kelangsungan hidup sapi potong yang sehat dengan pertumbuhan yang baik dapat dijaga dengan pemeliharaan dan perawatan yang baik. Keberhasilan tahap pemeliharaan sebelumnya merupakan pangkal pemeliharaan berikutnya sehingga usaha pemeliharaan pada umumnya selalu disesuaikan dengan fase hidup sapi yang bersangkutan, mulai dari pedet, sapi muda, dan sapi dewasa (finishing).

Parakkasi (1999) menyatakan bahwa sistem pemeliharaan ternak sapi dibagi menjadi tiga, yaitu intensif, ektensif, dan mixed farming system. Pemeliharaan secara intensif dibagi menjadi dua, yaitu (a) sapi di kandangkan terus-menerus dan (b) sapi dikandangkan pada saat malam hari, kemudian siang hari digembalakan atau disebut semi intensif. Pemeliharaan ternak secara intensif adalah sistem pemeliharaan ternak sapi dengan cara dikandangkan secara terus-menerus dengan sistem pemberian pakan secara cut and carry. Sistem ini dilakukan karena lahan untuk pemeliharaan secara ekstensif sudah mulai berkurang. Keuntungan sistem ini adalah penggunaan bahan pakan hasil ikutan dari beberapa industri lebih intensif dibanding dengan sistem ekstensif. Kelemahan terletak pada modal yang digunakan lebih tinggi, masalah penyakit, dan limbah peternakannya.

Pemeliharaan secara ekstensif adalah pemeliharaan ternak di padang penggembalaan, pola pertanian menetap atau di hutan. Aktivitas perkawinan, pembesaran, pertumbuhan dan penggemukan ternak sapi pada sistem ekstensif biasanya dilakukan oleh satu orang yang sama di padang penggembalaan yang sama (Parakkasi, 1999). Usaha peternakan secara ekstensif dapat dilakukan di daerah dan padang rumput luas, tandus, dan iklimnya tidak memungkinkan untuk pertanian. Dibeberapa daerah ternak dilepaskan di lapangan tanpa memperhatikan kecukupan pakan dan keadaan padang rumput (Tafal, 1981). Sistem pemeliharaan mix farming

system atau sistem pertanian campuran dilakukan petani dengan memelihara

beberapa ekor ternak sapi untuk digemukkan dengan pakan yang ada di dalam atau di sekitar usaha pertanian (Parakkasi, 1999).

(24)

12 Bangunan dan Fasilitas Peternakan

Office International des Epizooties (2006) menjelaskan bahwa bangunan dan

fasilitas peternakan harus dikontrol agar tidak membahayakan ternak karena di dalamnya dapat merupakan sumber penyebab kontaminasi bagi ternak seperti mikroba patogen, bahan kimia dan fisik yang dapat membahayakan tenak secara langsung dan tidak langsung. Beberapa hal yang harus dilakukan untuk meminimalisasi bahaya yang datang dari lingkungan terdekat ternak, yaitu (a) menghindarkan setiap kegiatan beternak dekat dengan pabrik industri yang dapat menjadi sumber polusi.

Lokasi sumber polusi meliputi: (i) pembakaran sampah lokal yang melepaskan banyak senyawa dioksida, pabrik pengolahan yang melepaskan senyawa pelarut dan logam berat, atau (ii) dalam suatu lingkungan yang mudah terkena polusi udara (dekat dengan jalan raya yang padat banyak pelepasan timah dan hidrokarbon), (iii) polusi tanah (industri pertanian atau tempat pembuangan bahan beracun), atau (iv) tempat perkembangbiakan hama seperti tempat pembuangan sampah akhir, dan (b) menempatkan bangunan atau fasilitas lain sehingga tersendiri dalam suatu banguan khusus yang cukup jauh dari tempat penyimpanan limbah.

Tata letak bangunan diatur dengan berdasarkan fungsinya dan jarak antar bangunan dalam peternakan yang berdekatan juga diatur agar tidak menambah resiko terjadinya perpindahan penyakit antar peternakan, membuat kandang dengan luas yang layak sesuai jumlah ternak dan ventilasi yang baik, membuat kandang isolasi bagi ternak yang sakit dan kandang karantina bagi ternak yang sehat. Mengisolasi kandang dari ganguan hama dan serangga, merancang kandang agar mudah dibersihkan dan mengunakan bahan bangunan yang aman. Akses keluar masuk peternakan dirancang agar orang yang tidak berkepentingan tidak sembarangan masuk ke areal peternakan.

Bangunan peternakan harus dirancang untuk memfasilitasi kenyamanan, kesehatan, dan produktivitas ternak. Ventilasi yang baik, tersedianya pakan dan air dengan kualitas yang baik, serta penerangan dan kenyamanan ternak harus diperhatikan untuk meningkatkan performan ternak (Ensminger dan Taylor, 2006). Area yang terpisah diperlukan untuk mengisolasi ternak dan untuk perawatan ternak. Area ini harus dibuat agar nyaman bagi ternak dan memiliki suplai obat-obatan serta

(25)

13 memiliki penerangan yang cukup. Area perawatan ini biasanya dibuat dekat dengan kandang khusus untuk melahirkan dan untuk mengisolasi ternak yang sakit. Hal ini dilakukan untuk efisiensi pekerja dan sering disebut dengan kandang untuk kebutuhan khusus (Palmer, 2005).

Perkandangan

Direktorat Jenderal Peternakan (1985) menyatakan bahwa kandang bagi ternak sapi potong merupakan sarana yang mutlak harus ada. Kandang merupakan tempat berlindung ternak dari hujan, terik matahari, pengamanan ternak terhadap binatang buas, pencuri, dan sarana untuk menjaga kesehatan. Persyaratan teknis kandang menurut Direktorat Jenderal Peternakan (2006) meliputi:

1. Konstruksi kandang harus kuat

2. Terbuat dari bahan yang ekonomis dan mudah diperoleh 3. Sirkulasi udara dan sinar matahari cukup

4. Drainase dan saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan 5. Lantai rata, tidak licin, tidak kasar, mudah kering, dan tahan injak 6. Luas kandang memenuhi persyaratan daya tampung

7. Kandang isolasi dibuat terpisah Manajemen Pakan

Pakan ternak sapi potong merupakan salah satu unsur yang sangat penting untuk menunjang kesehatan, pertumbuhan, dan reproduksi ternak. Bahan pakan ternak dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu hijauan dan konsentrat. Hijauan ditandai dengan jumlah serat kasar yang relatif banyak daripada berat keringnya, yaitu lebih besar dari 18%. Konsentrat mengandung serat kasar lebih sedikit daripada hijauan yaitu kurang dari 18% dan mengandung karbohidrat, protein, dan lemak yang relatif banyak namun jumlahnya bervariasi dengan jumlah air yang relatif sedikit (Williamson dan Payne, 1993).

Jerami termasuk salah satu hijauan yang sering digunakan pada ternak, tetapi hijauan ini umumnya memiliki nilai nutrisi yang rendah (Williamson dan Payne, 1993). Jerami padi memiliki palatabitas yang cukup baik, tetapi apabila diberikan terlalu banyak dalam pakan sapi akan menyebabkan kebutuhan hidup pokoknya tidak terpenuhi karena kandung nutriennya rendah (Panjono et al., 2000). Tingkat

(26)

14 konsumsi ransum sapi berbeda-beda bergantung pada status fisiologinya. Sapi dewasa dapat mengkonsumsi bahan kering minimal 1,4% bobot badan/hari, sedangkan sapi kebiri umur 1 tahun dengan hijauan berkualitas baik dapat mengkonsumsi 3% dari bobot badan (Parakkasi, 1999).

Office International des Epizooties (2006) menjelaskan bahwa pakan

komersial juga harus dipastikan bebas dari residu bahan kimia. Label pada pakan komersial penting diantaranya untuk mengetahui cara pemakaian dengan benar, tanggal kadaluarsa, dan identitas perusahaan. Kemasan pakan komersial tersebut harus utuh tanpa cacat yang dapat mempengaruhi isi. Pencatatan atau recording kualitas bahan pakan yang diterima juga sangat penting dan isinya harus sesuai dengan label, serta tidak mengandung hasil ikutan ternak yang tidak diperbolehkan. Pakan yang dicampur atau diproduksi sendiri mengandung resiko bahaya terdapat residu bahan kimia, tumbuhnya jamur dan kapang. Proses pencampuran bahan-bahan mentah harus dipastikan komposisinya dan tercampur dengan sempurna. Menurut Parakkasi (1999), konsumsi adalah faktor esensial yang merupakan dasar untuk hidup dan menentukan produksi. Hal ini antara lain disebabkan oleh: 1) segi ekonomi, dengan fixed maintanance cost tingkat konsumsi penting dimaksimumkan guna memaksimumkan produksi, 2) berdasarkan pengetahuan tingkat konsumsi dapat ditentukan kadar suatu zat makanan dalam ransum untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi, 3) makanan yang berkualitas baik, tingkat konsumsinya relatif lebih tinggi dibanding dengan makanan berkualitas rendah, 4) hewan yang mempunyai sifat dan kapasitas konsumsi yang lebih tinggi, produksinya pun relatif akan lebih tinggi dibanding dengan hewan (yang sejenis) dengan kapasitas/ sifat konsumsi rendah (dengan ransum yang sama), dan 5) variabilitas kapasitas produksi yang disebabkan oleh makanan pada berbagai ternak karena perbedaan dalam konsumsi (± 60%), kecernaan (± 25%) ataupun konversi hasil pencernaan menjadi produksi ( ±15%).

Iklim

Iklim merupakan manifestasi dari berbagai unsur, seperti suhu, curah hujan, kelembaban, gerakan udara, tekanan udara, kondisi cahaya, dan pengionan. Suhu dan curah hujan merupakan faktor lingkungan yang paling penting (Tafal, 1981). Indonesia termasuk daerah tropis sehingga tidak banyak dipengaruhi oleh perubahan

(27)

15 iklim yang berbeda-beda. Indonesia termasuk dalam wilayah iklim tropis yaitu tipe iklim di bumi yang daerahnya berada di sekitar equator (Suharsono, 1995). Negara yang cukup luas ini (± 52.000.000 km2) disertai banyaknya pegunungan dan bukit yang dipisahkan lembah dan laut mengakibatkan terjadinya perbedaan suhu udara di daerah-daerah tertentu. Keadaan tersebut menyebabkan Indonesia memiliki kondisi tanah dan vegetasi yang berbeda-beda dan memiliki daerah-daerah yang beriklim sangat basah, setengah basah, dan kering. Iklim tropis merupakan tipe iklim dengan suhu dan kelembabann tinggi sepanjang tahun. Suhu rata-rata tahunan terendah di daerah beriklim tropis yaitu 18 °C (Suharsono, 1995). Banyak daerah yang memiliki iklim yang cocok untuk peternakan, baik untuk bangsa-bangsa sapi lokal (tropis) maupun sapi impor dari luar negeri. Faktor iklim yakni suhu lingkungan yang tinggi dapat menurunkan feed intake dan sebaliknya akan menaikkan konsumsi air minum. Bila hal ini terus terjadi, akan mempengaruhi produktivitas yang diukur dari pertumbuhan dan produksi ususnya serta dapat langsung mempengaruhi reproduksi dari sapi (Williamson dan Payne, 1993).

Good Breeding Practices (GBP)

Good Breeding Practices (GBP) ditetapkan bagi pembibit, sebagai acuan

dalam melakukan pembibitan sapi potong untuk menghasilkan bibit yang bermutu baik serta bagi petugas dinas yang menangani fungsi peternakan di daerah, sebagai pedoman dalam melakukan pembinaan, bimbingan dan pengawasan dalam pengembangan pembibitan sapi potong (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006). Tujuan ditetapkannya pedoman GBP yaitu agar dalam pelaksanaan kegiatan pembibitan sapi potong dapat diperoleh bibit sapi potong yang memenuhi persyaratan teknis minimal dan persyaratan kesehatan hewan. Ruang lingkup pedoman pembibitan sapi potong yang baik meliputi empat aspek, yaitu 1) sarana dan prasarana, 2) proses produksi bibit, 3) pelestarian lingkungan, 4) monitoring, evaluasi, dan pelaporan (Direktorat Jenderal Peternakan, 2006).

Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha ternak potong, antara lain penentuan bibit ternak potong yang baik, penyediaan dan pemberian makanan hijauan yang baik, pembuatan kandang yang memenuhi persyaratan kesehatan, pemeliharaan yang baik, sistem perkawinan yang baik, dan pengawasan terhadap penyakit ternak (Direktorat Jenderal Peternakan, 1985).

(28)

MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu

Kegiatan magang penelitian dilakukan di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten. Magang penelitian ini dilakukan pada bulan Juli hingga Agustus 2010. Pengambilan data di perusahaan dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2011.

Materi dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada magang penelitian ini yaitu ternak pada unit breeding, data primer, dan data sekunder. Data primer terdiri atas hasil pengamatan wawancara, kuisioner, dan lembar evaluasi penerapan Standard

Operational Prosedure. Data sekunder merupakan data periode tahun 2009-2010

yang terdiri atas sejarah perusahaan, struktur organisasi, SOP (penerimaan ternak, penimbangan awal, perkandangan, manajemen pemberian pakan, pembersihan kandang, seleksi ternak, recording ternak, pengawinan ternak, penanganan ternak bunting, penanganan kelahiran, penanganan induk laktasi, penanganan anak, pengelolaan limbah, penanganan kesehatan penjualan, dan pembelian ternak), populasi sapi pembibitan, serta jumlah karyawan. Alat- alat yang digunakan pada penelitian ini yaitu alat tulis, meteran, dan termohigrometer.

Prosedur Teknik Pengumpulan Data

Data primer didapatkan melalui wawancara, kuisioner, dan lembar pengamatan ceklist yang berisikan instrumen SOP serta observasi langsung di lapangan. Kuisioner, wawancara, dan observasi berpedoman pada instrumen GBP sapi potong. Pengisian kuisioner dilakukan oleh berbagai pihak yang berkompeten atau ahli dalam perusahaan tersebut. Kuisioner yang telah disebar berjumlah 15 eksemplar. Wawancara dilakukan kepada farm manager, kepala unit, dan supervisor masing-masing unit. Data sekunder diperoleh dari PT LJP, Serang-Banten.

Analisis Data

Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif. Analisis deskriptif dalam magang penelitian ini digunakan untuk menggambarkan keadaan atau kondisi peternakan sapi di PT LJP, Serang-Banten terutama dalam penerapan GBP sapi

(29)

17 potong serta membandingkan penerapannya dengan pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik (Good Breeding Practices) yang dibuat oleh Direktorat Jenderal Produksi Peternakan.

Peubah yang diamati

1. Evaluasi pelaksanaan Good Breeding Practices

Dilakukan dengan cara mengikuti kegiatan magang di PT Lembu Jantan Perkasa, Serang-Banten dan terlibat langsung dalam kegiatan tersebut.

2. Calving Interval (CI)

Calving interval (CI) adalah selang waktu dari beranak sampai beranak

berikutnya (jarak beranak).

CI (bulan) : kelahiran ke-i – kelahiran ke (i-1)

3. Service per Conception (S/C)

Service per conception (S/C) adalah jumlah pelayanan IB (jumlah straw)

yang diperlukan untuk menghasilkan kebuntingan seekor sapi.

4. Conception Rate (CR)

Conception rate (CR) adalah jumlah positif bunting dibagi akseptor yang di

IB dkali 100%.

5. Calving Rate (C/R)

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi

PT Lembu Jantan Perkasa (LJP) Serang-Banten didirikan pada tahun 1990 oleh Bapak Djaya Gunawan. Perusahaan ini merupakan perusahaan swasta Nasional yang bergerak di bidang usaha breeding, fattening, dan trading. Visi perusahaan adalah meningkatkan kualitas dan modernisasi tata niaga sapi potong, yang bertujuan untuk menunjang usaha peningkatan gizi masyarakat melalui pemenuhan kebutuhan ternak sapi potong dalam lingkup regional dan nasional. Perusahaan ini memiliki kantor pusat yang terletak di Jalan Tarum Barat E11-12 No. 8, Jakarta Timur. Perusahaan terdaftar sebagai anggota Apfindo (Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia) dengan nomor registrasi 015/APFINDO/1995 tanggal 29 Agustus 1995 dan fokus pada usaha di bidang perdagangan, impor, dan penggemukan sapi potong.

PT Lembu Jantan Perkasa, Banten, terletak di Jalan Raya Serang-Pandeglang km. 9,6 Desa Sindang Sari, Kecamatan Pabuaran, Serang-Banten. Perusahaan ini terletak sekitar 200 m dari jalan raya dan memiliki topografi yang landai dan datar dengan ketinggian 200 m di atas permukaan laut. Rataan suhu di sekitar lokasi perusahaan adalah 28 ºC dengan kisaran 24,5 – 31 ºC dan rataan kelembaban udara 72% dengan kisaran 54 - 90%. Curah hujan di daerah ini sebesar 1500-3000 mm per tahun dengan jumlah hari hujan rata-rata 141 hari per tahun. Perusahaan ini sebelah Utara berbatasan dengan Kampung Rancang Lutung dan Kampung Baruan, sebelah Selatan berbatasan dengan Kampung Tanjung dan persawahan, sebelah Barat berbatasan dengan kebun masyarakat Desa Sindangsari, dan sebelah Timur berbatasan dengan Kampung Tonggoh.

PT LJP merupakan salah satu perusahaan penggemukan sapi terbaik di Indonesia dan didukung tenaga peternak berpengalaman sejak 1973, walaupun bukan yang terbesar. PT Lembu Jantan Perkasa mengantisipasi penurunan populasi sapi potong dan peningkatan kebutuhan dengan cara mulai merintis usaha pembibitan sapi potong (breeding) secara intensif di Serang pada tahun 2004. Keadaan ini menjadikan perusahaan ini sebagai perusahaan pertama di Indonesia yang bergerak di bidang pembibitan sapi potong secara intensif. Usaha ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan daerah-daerah akan sapi bibit pilihan dan berkualitas. PT

(31)

19 Lembu Jantan Perkasa memiliki beberapa cabang perusahaan yaitu di Serang-Banten, Cikalong-Bandung, Langkat-Medan, dan Sawah Lunto-Padang. Populasi ternak sapi per-Juli 2010 di perusahaan ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Populasi Ternak Sapi di PT Lembu Jantan Perkasa Serang Banten per-Juli 2010

Sumber : LJP (2010)

Fasilitas yang terdapat di PT LJP Serang-Banten adalah kantor, loading

chute, cattle yard, gang way, crush (kandang jepit), kandang pemeliharaan, kandang

isolasi, hospital pen, mess manager dan karyawan, pos satpam, gudang alat, mushola, gudang pakan, dan unit penanganan limbah. Loading chute digunakan untuk menurunkan dan menaikkan sapi dari atau ke truk dengan tinggi loading chute sekitar 1,15 m. Cattle yard merupakan tempat penanganan ternak sementara seperti bongkar muat sapi, penimbangan, pemasangan ear tag, pengobatan, pemeriksaan kebuntingan (PKB), pemeriksaan alat reproduksi (PAR), seleksi sapi, inseminasi buatan (IB), dan penyapihan. Gang way merupakan lorong tempat sapi berjalan dari

cattle yard menuju ke kandang ataupun sebaliknya. Kandang di PT LJP

Serang-Banten terdiri atas 2 jenis, yaitu kandang tertutup dan kandang terbuka.

Kelas ternak Status Ternak Jumlah Sapi (ekor)

Heifer Calon bibit 42

IB 76 Bunting 421 Cow Laktasi 137 Kering 29 IB 117 Bunting 89 Calves Jantan 98 Betina 64 Weaners Jantan 110 Betina 248 Foster mother - 4 Jumlah 1435

(32)

20 Stuktur Organisasi

Struktur organisasi sangat dibutuhkan dalam menunjang operasional suatu usaha. PT LJP Serang-Banten yang memiliki struktur kerja yang jelas dengan didukung oleh staf dan karyawan dalam melaksanakan berbagai aktifitas hariannya. Struktur organisasi di PT LJP dapat dilihat pada Gambar 1.

Bangsa Sapi yang Dipelihara

Spesies sapi yang dipelihara di PT LJP Serang-Banten yaitu Brahman Cross (BX). Sapi ini mempunyai keistimewaan karena tahan terhadap suhu panas dan gigitan caplak, mampu beradaptasi terhadap makanan jelek serta mempunyai kecepatan pertumbuhan yang tinggi. Sapi BX mempunyai proporsi 50% darah Brahman, 25% darah Hereford dan 25% darah Shorthorn. Secara fisik bentuk fenotif sapi BX lebih cenderung mirip sapi American Brahman karena proporsi darahnya yang lebih dominan, seperti punuk dan gelambir masih jelas, bentuk kepala dan telinga besar menggantung, sedangkan pola warna kulit sangat bervariasi mewarisi tetuanya (Turner, 1977).

(33)

21 Direksi

General Marketing Administrasi Head Office

General Manager Unit Manager Cikalong Supervisor Staf Hijauan Makanan Ternak Administrasi Farm Unit Fattening Staf Bagian Umum MmMekanik Unit Feedmill Unit Breeding Keamanan Farm manager Kesehatan Hewan HHewan Kandang Breeding Supervisor Kandang Fattening

Gambar 1. Bagan Struktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa (Sumber : LJP, 2010) ktur Organisasi PT Lembu Jantan Perkasa (Sumber : Arsip PT Lembu Jantan)

[Type a quote from the document or the summary of an interesting point. You can position the text box anywhere in the document. Use the Text Box Tools tab to change the formatting of the pull quote text box.]

Kesehatan Hewan Hewan 2 1 Unit Limbah

(34)

22 Evaluasi Penerapan Pembibitan Sapi Potong yang Baik

(Good Breeding Practices)

PT Lembu Jantan Perkasa merupakan salah satu perusahaan swasta Nasional yang telah merintis usaha pembibitan sapi potong sejak tahun 2004 hingga sekarang. Usaha pembibitan ternak bukan merupakan usaha yang mudah untuk dijalankan, dalam kegiatannya diperlukan suatu pedoman berupa Good Breeding Practices. Direktorat Jenderal Produksi Peternakan (2006) menetapkan GBP bagi pembibit sebagai acuan dalam melakukan pembibitan sapi potong untuk menghasilkan bibit yang bermutu baik serta bagi petugas dinas yang menangani fungsi peternakan di daerah dan sebagai pedoman dalam melakukan pembinaan, bimbingan dan pengawasan dalam pengembangan pembibitan sapi potong. Tujuan ditetapkannya pedoman GBP yaitu agar dalam pelaksanaan kegiatan pembibitan sapi potong dapat diperoleh bibit sapi potong yang memenuhi persyaratan teknis minimal dan persyaratan kesehatan hewan. Ruang lingkup pedoman pembibitan sapi potong yang baik meliputi empat aspek yaitu 1) sarana dan prasarana, 2) proses produksi bibit, 3) pelestarian lingkungan, 4) monitoring, evaluasi dan pelaporan (Direktorat Jenderal Produksi Peternakan, 2006). Evaluasi terhadap penerapan GBP pada PT LJP dapat dilihat pada Tabel 2 sampai 5.

(35)

23 Tabel 2. Hasil Penerapan Good Breeding Practices Aspek Sarana dan Prasarana di PT Lembu Jantan Perkasa

No. Aspek Kondisi Seharusnya Kondisi Di lapangan Kesesuaian/koreksi

1. Lokasi Tidak bertentangan dengan Rencana

Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD)

Sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) dan Rencana Detail Tata Ruang Daerah (RDTRD) dengan adanya izin pendirian bangunan

Mempunyai potensi sebagai sumber bibit sapi potong serta dapat ditetapkan sebagai wilayah sumber bibit ternak

Dibangun di wilayah Jawa yang berpotensi untuk pengembangan usaha ternak sapi

Terkonsentrasi dalam satu kawasan atau satu Village Breeding Center (VBC) atau satu unit pembibitan ternak

Perusahaan ini melakukan kegiatan usaha pembibitan, penggemukan, dan pemasaran ternak.

Tidak mengganggu ketertiban dan kepentingan umum setempat

Jarak perusahaan dengan jalan raya ± 200 m

Memperhatikan lingkungan dan topografi sehingga kotoran dan limbah yang dihasilkan tidak mencemari lingkungan

Memiliki topografi yang landai dan datar dengan ketinggian 200 m dpl

Jarak antara usaha pembibitan sapi potong dengan usaha pembibitan unggas minimal 1.000 meter

Jarak antara usaha pembibitan sapi potong dengan usaha pembibitan unggas yaitu 2.000 meter

2. Lahan Bebas dari jasad renik patogen yang membahayakan ternak dan manusia

Bukan merupakan daerah endemic penyakit antrax

Sesuai dengan peruntukannya menurut Izin pendirian bangunan dari pemerintah

Kabupaten Serang dengan No.

2

(36)

24 perundang–undangan yang berlaku. 03.647/0423.07/2008

3. Sumber Air Air yang digunakan tersedia sepanjang tahun dalam jumlah yang mencukupi

Air selalu tersedia

Sumber air mudah dicapai atau mudah disediakan

Sumber air berasal dari sumur bor dan sumur summermersible yang ada di dalam wilayah peternakan

Penggunaan sumber air tanah tidak mengganggu ketersediaan air bagi masyarakat

Selama ini tidak terdapat keluhan masyarakat mengenai penggunaan air, kedalaman sumur summermersible

mencapai ± 100 m 4. Bangunan dan Peralatan Bangunan: - kandang pemeliharaan; - kandang isolasi;

- gudang pakan dan peralatan;

- unit penampungan dan pengolahan limbah.

Telah memiliki unit penanganan limbah, namun limbah belum dikelola secara maksimal dikarenakan hanya ditumpuk pada areal terbuka dan dikarungkan

Sebaiknya dibuat tempat

penampungan limbah

yang berada di belakang kandang, agar lebih terlihat bersih dan tidak tampak secara langsung oleh pengunjung atau dengan cara perbaikan

tempat penampungan

limbah yang ada Peralatan:

- tempat pakan dan tempat minum; - alat pemotong dan pengangkut rumput; - alat pembersih kandang dan pembuatan

kompos;

- Tempat pakan dan minum terbuat dari semen dan terdapat pada tiap kandang

- Alat pemotong rumput berupa

(37)

25 - peralatan kesehatan hewan. yaitu mobil bak terbuka dan truk

- Tersedia alat pembersih kandang, alas kandang menggunakan sistem

beding

- Perlatan kesehan hewan tersedia di unit kesehatan hewan

Persyaratan teknis kandang: - konstruksi harus kuat;

- terbuat dari bahan yang ekonomis dan mudah diperoleh;

- sirkulasi udara dan sinar matahari cukup;

- drainase dan saluran pembuangan limbah baik, serta mudah dibersihkan; - lantai rata, tidak licin, tidak kasar,

mudah kering dan tahan injak;

- luas kandang memenuhi persyaratan daya tampung;

- kandang isolasi dibuat terpisah.

- Konstruksi kuat terbuat dari beton dan besi

- Bahan yang digunakan ekonomis dan mudah didapat

- Sirkulasi udara berjalan lancar, sinar matahari tidak langsung mengenai ternak - Alas kandang berupa serbuk gergaji sehingga limbah yang dihasilkan berupa limbah padat

- Lantai terbuat dari paving block dan semen dengan kemiringan 5º

- Daya tampung cukup, jumlah sapi tiap pen 40 - 50 ekor dengan luasan sekitar 3 m2/ekor

- kandang isolasi terletak lebih landai dibandingkan kandang pemeliharaan Letak kandang memenuhi persyaratan

sebagai berikut :

(38)

26 - tempat kering dan tidak tergenang

saat hujan; - dekat sumber air;

- cukup sinar matahari, kandang tunggal menghadap timur, kandang ganda membujur utara-selatan;

- tidak mengganggu lingkungan hidup; - memenuhi persyaratan higiene dan

sanitasi.

alat transportasi pengangkut pakan - Areal kandang telah menggunakan

paping blok sehingga terhindar dari genangan saat hujan

- Setiap kandang memiliki tempat penampungan air

- Kandang membujur dari utara ke selatan

5. Bibit Bibit sapi potong diklasifikasikan

menjadi 3 (tiga) kelompok, yaitu: a. bibit dasar (elite/foundation stock) b. bibit induk (breeding stock) c. bibit sebar (commercial stock),

Hanya terdapat bibit induk dan bibit sebar

Persyaratan umum:

i. sapi bibit harus sehat dan bebas dari segala cacat fisik seperti cacat mata (kebutaan), tanduk patah, pincang, lumpuh, kaki dan kuku abnormal, serta tidak terdapat kelainan tulang punggung atau cacat tubuh lainnya;

ii. semua sapi bibit betina harus bebas dari cacat alat reproduksi, abnormal ambing serta tidak menunjukkan gejala kemandulan;

iii. sapi bibit jantan harus siap sebagai pejantan serta tidak menderita cacat pada

Sapi bibit memiliki catatan kesehatan yang lengkap dan dijual dalam keadaan sehat.

Diterapkan sistem afkir / culling bagi bibit betina yang memiliki kualitas reproduksi rendah

(39)

27 alat kelaminnya.

6. Pakan Setiap usaha pembibitan sapi potong harus menyediakan pakan yang cukup bagi ternaknya, baik yang berasal dari pakan hijauan, maupun pakan konsentrat.

Pakan berupa hijauan dan konsentrat yang diproduksi sendiri oleh perusahaan

Pakan hijauan dapat berasal dari rumput, leguminosa, sisa hasil pertanian dan dedaunan yang mempunyai kadar serat yang relatif tinggi dan kadar energi rendah.

Pakan hijauan yaitu rumput Taiwan dan jerami

Pakan konsentrat yaitu pakan dengan kadar serat rendah dan kadar energi tinggi, tidak terkontaminasi mikroba, penyakit, stimulan pertumbuhan, hormon, bahan kimia, obat-obatan, mycotoxin melebihi tingkat yang dapat diterima oleh negara pengimpor.

Pakan konsentrat diproduksi sendiri dan setiap status ternak berbeda-beda jenis pakan konsentratnya.

Air minum disediakan ad libitum. Air minum disediakan ad libitum. 7. Obat hewan Obat hewan yang digunakan meliputi

sediaan biologik, farmasetik, premik dan obat alami.

Obat hewan yang digunakan yaitu sediaan biologik, farmasetik, premik dan obat alami.

Obat hewan yang dipergunakan seperti bahan kimia dan bahan biologik harus memiliki nomor pendaftaran.

Untuk sediaan obat alami tidak dipersyaratkan memiliki nomor

Setiap obat memiliki nomor pendaftaran tersendiri.

(40)

28 pendaftaran.

Penggunaan obat keras harus di bawah pengawasan dokter hewan sesuai ketentuan peraturan perundang-udangan yang berlaku di bidang obat hewan.

Penggunaan obat keras di bawah pengawasan tim kesehatan hewan (Keswan) yaitu dokter hewan dan kepala unit Keswan

8. Tenaga Kerja Sehat jasmani dan rohani Tidak memiliki luka terbuka

Sehat jasmani dan rohani Tidak memiliki luka terbuka Jumlah tenaga kerja sesuai kebutuhan

pada pembibitan sapi potong dengan sistem intensif, setiap satu orang/hari kerja, untuk 5 satuan ternak (ST)

Satu orang mengawasi ± 100 ekor ternak dikarenakan efisiensi tenaga kerja

Telah mendapat pelatihan teknis pembibitan sapi potong.

Ada sistem training khusus para karyawan baru

(41)

29 Tabel 3. Hasil Evaluasi Penerapan Aspek Proses Produksi Bibit di PT Lembu Jantan Perkasa

No. Aspek Kondisi Seharusnya Kondisi dilapangan Kesesuaian/koreksi

1. Pemeliharaan Dalam pembibitan sapi potong, pemeliharaan ternak dapat dilakukan dengan sistem pastura (penggembalaan), sistem semi intensif, dan sistem intensif.

Pemeliharaan ternak dilakukan dengan sistem intensif

2. Produksi Berdasarkan tujuan produksinya,

pembibitan sapi potong dikelompokkan ke dalam pembibitan sapi potong bangsa/rumpun murni dan pembibitan sapi potong persilangan.

Pembibitan sapi potong yang dilakukan yaitu pembibitan sapi potong persilangan.

3. Seleksi Bibit Sapi Induk

a. sapi induk harus dapat menghasilkan anak secara teratur;

b. anak jantan maupun betina tidak cacat dan mempunyai rasio bobot sapih umur 205 hari (weaning weight ratio) di atas rata-rata.

Seleksi bibit induk dilakukan dengan cara pemeriksaan alat reproduksi (PAR) dengan kriteria kondisi tubuh dan saluran reproduksi baik, serta bobot badan ≤ 350 kg.

Calon Pejantan

a. bobot sapih terkoreksi terhadap umur 205 hari umur induk dan musim kelahiran, di atas rata-rata;

b. bobot badan umur 365 hari di atas rata-rata;

c. pertambahan bobot badan antara umur

Tidak dipelihara untuk pembibitan sebab menggunakan perkawinan dengan sistem Inseminasi Buatan (IB).

(42)

30 1-1,5 tahun di atas rata-rata;

d. bobot badan umur 2 tahun di atas rata-rata;

e. libido dan kualitas spermanya baik; f. penampilan fenotipe sesuai dengan rumpunnya.

Calon induk

a. bobot sapih terkoreksi terhadap umur 205 hari umur induk dan musim kelahiran, di atas rata-rata;

b. bobot badan umur 365 hari di atas rata-rata;

c. penampilan fenotipe sesuai dengan rumpunnya.

Seleksi berdasarkan berat badan minimal 270 kg dan kondisi tubuh serta saluran reproduksi.

4. Perkawinan Dalam upaya memperoleh bibit yang berkualitas melalui teknik perkawinan dapat dilakukan dengan cara kawin alam dan Inseminasi Buatan (IB).

Teknik perkawinan dilakukan dengan Inseminasi Buatan (IB).

5. Ternak Pengganti (Replacement Stock )

Calon bibit betina dipilih 25% terbaik untuk replacement, 10% untuk pengembangan populasi kawasan, 60% dijual ke luar kawasan sebagai bibit dan 5% dijual sebagai ternak afkir (culling)

Dikarenakan orientasi perusahaan ini untuk bisnis, sehingga sistem ini sangat minim diterapkan

Lebih mempertimbang-kan kembali mengenai masalah replacement stock ini.

Calon bibit jantan dipilih 10% terbaik pada umur sapih dan bersama calon bibit

Semua jantan dijual atau dijadikan bakalan penggemukan

(43)

31 betina 25% terbaik untuk dimasukkan

pada uji performan.

6. Afkir (Culling) Sapi betina yang tidak memenuhi persyaratan sebagai bibit (10%) dikeluarkan sebagai ternak afkir (culling). Sapi induk yang tidak produktif segera dikeluarkan

Kriteria ternak afkir yaitu yang kelebihan berat dan kualitas saluran reproduksi jelek.

7. Pencatatan (Recording)

Pencatatan (recording) tersebut meliputi: 1. Rumpun;

2. Silsilah;

3. Perkawinan (tanggal, pejantan, IB/ kawin alam);

4. Kelahiran (tanggal, bobot lahir); 5. Penyapihan (tanggal, bobot badan); 6. Beranak kembali (tanggal, paritas); 7. Pakan (jenis, konsumsi);

8.Vaksinasi, pengobatan (tanggal, perlakuan / treatment);

9. Mutasi (pemasukan dan pengeluaran ternak)

Pencatatan yang ada yaitu pencatatan perkawinan (tanggal, pejantan, IB/ kawin alam), kelahiran (tanggal, bobot lahir), penyapihan (tanggal, bobot badan), beranak kembali (tanggal, paritas), pakan (jenis, konsumsi), vaksinasi, pengobatan (tanggal, perlakuan) dan mutasi

8. Persilangan Komposisi darah sapi persilangan sebaiknya dijaga komposisi darah

sapi temperatenya tidak lebih dari 50%

Persilangan diterapkan berdasarkan kondisi induk dan diterapkan tiap satu siklus laktasi

Gambar

Tabel 1. Populasi Ternak Sapi di PT Lembu Jantan Perkasa Serang Banten per-Juli  2010
Gambar 2. Sarana: (a)  Kantor,  (b)  Mess  Karyawan,  (c)  Mushola,  dan  (d)  Unit  Kesehatan Hewan
Gambar  3.  Prasarana:  (a)  Kandang  Pemeliharaan,  (b)  Kandang  Isolasi,  (c)  Gudang  Pakan, dan (d) Unit Penanganan Limbah
Gambar 4. Peralatan Kesehatan Hewan: (a) Obat-obatan dan (b) Alat Suntik  Proses Produksi Bibit
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kajian empiris dan studi literatur tersebutlah yang antara lain mendorong suatu penelitian dengan judul “Peningkatan Kemampuan Membaca Bahasa Indonesia

Kota Yogyakarta Nomor 18 Tahun 2002. Pokok permasalahan yang diangkat adalah bagaimana pelaksanaan pengelolaan sampah pasar oleh dinas pengelolan pasar dalam upaya

Digital Repository Universitas Jember... Digital Repository

PERAN PEREMPUAN BERPERAN GANDA TERHADAP PEMENUHAN KEBUTUHAN DASAR ANAK Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu | perpustakaan.upi.edu..

Penelitian kualitatif merupakan suatu pendekatan di mana penelitian tidak menggunakan populasi dan sampel. Subjek dalam penelitian kualitatif ditentukan teknik sampling yang

Dalam dunia pariwisata istilah obyek wisata mempunyai pengertian sebagai sesuatu yang menjadi daya tarik bagi seseorang wisatawan untuk berkunjung ke suatu daerah tujuan

Aprindo menyayangkan Depdag mengeluarkan instruksi tersebut pada Agustus dan bukan pada awal tahun, ketika kontrak syarat perdagangan (trading term) baru mulai dinegosiasikan

Berdasarkan hasil Evaluasi Dokumen Penawaran dan Evaluasi Kualifikasi Pemilihan Langsung, dengan ini kami mengundang Perusahaan Saudara untuk melakukan Pembuktian Kualifikasi