• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBIJAKAN PASAR TENAGA KERJA FLEKSIBEL: TEPATKAH UNTUK INDONESIA SAAT INI?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEBIJAKAN PASAR TENAGA KERJA FLEKSIBEL: TEPATKAH UNTUK INDONESIA SAAT INI?"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

www.theindonesianinstitute.com

POLICY ASSESSMENT Juni 2005

KEBIJAKAN PASAR TENAGA KERJA FLEKSIBEL:

TEPATKAH UNTUK INDONESIA SAAT INI?

Tata Mustasya, SE

Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute

I. Pendahuluan

Perekonomian Indonesia sedang mengalami pemulihan setelah dilanda krisis pada pertengahan 1997 hingga 1998. Beberapa indikator makroekonomi meliputi pertumbuhan ekonomi, inflasi, tingkat suku bunga, nilai kurs, dan indeks harga saham cenderung terus membaik atau stabil.1 Laporan terakhir bahkan menunjukkan penguatan peran investasi dan ekspor dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi seperti itu memiliki fundamental dan keberlanjutan yang lebih kuat dibandingkan pertumbuhan ekonomi yang didominasi oleh konsumsi.

Perbaikan beberapa indikator makroekonomi tersebut ternyata belum diikuti oleh terbukanya kesempatan kerja yang lebih baik, terutama di sektor formal. Hal ini terlihat dari masih tingginya tingkat pengangguran dan besarnya jumlah pekerja di sektor informal yang relatif berpenghasilan rendah dibandingkan sektor formal. Padahal, pertumbuhan ekonomi tidak akan

1

Nilai Rupiah terhadap Dollar AS sempat melemah dan cenderung tidak stabil mulai Juni 2004. Namun, indikator makroekonomi secara keseluruhan cenderung stabil atau membaik.

(2)

memberikan manfaat bagi kesejahteraan tanpa adanya kontribusi yang riil terhadap kesempatan kerja.

Tingkat pengangguran tahun 2003 sebesar 9,5 persen jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum krisis ekonomi. Pada tahun 1996, tingkat pengangguran hanya sebesar 4,89 persen. Bahkan pada saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997 dan 1998, tingkat pengangguran hanya mencapai 4,68 persen dan 5,46 persen. Pada tahun 1999 dan 2000, pengangguran berturut-turut berada pada tingkat 6,36 persen dan 6,08 persen. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (SBY-Kalla) sendiri menargetkan mengurangi tingkat pengangguran hingga tinggal 5,1 persen pada tahun 2009.

Tabel 1.

Pengangguran Terbuka, Angkatan Kerja, dan Tingkat PengangguranTerbuka, 1995—2003

Tahun Pengangguran Terbuka

Angkatan Kerja Tingkat Pengangguran Terbuka (%) 1995 6.251.201 86.361.261 7,24 1996 4.407.769 90.109.582 4,89 1997 4.275.155 91.324.911 4,68 1998 5.062.483 92.734.932 5,46 1999 6.030.319 94.847.178 6,36 2000 5.813.231 95.650.961 6,08 2001 8.005.031 98.812.448 8,1 2002 9.132.104 100.779.270 9,06 2003 9.531.030 100.316.007 9,5

Sumber: Diolah dari Statistik Indonesia (berbagai tahun), Badan Pusat Statistika

Pasar tenaga kerja yang tidak fleksibel diyakini merupakan penyebab utama kondisi tersebut. Bentuk-bentuk kekakuan dalam pasar tenaga kerja yang disebabkan oleh berbagai regulasi pemerintah -seperti upah minimum provinsi (UMP), aturan pesangon, dan aturan perlindungan kerja- dinilai sangat

(3)

memberatkan pengusaha. Berdasarkan alasan tersebut, terdapat rekomendasi agar pemerintah mengurangi perannya -dalam bentuk berbagai regulasi- di pasar tenaga kerja. Konsekuensinya, peran bipartit (pengusaha dan pekerja) akan menentukan keseimbangan pasar.

Pasar tenaga kerja yang kaku berpotensi menghambat terbukanya kesempatan kerja melalui dua hal. Pertama, perusahaan yang bergerak di footloose industry akan menghindari Indonesia yang memiliki upah rata-rata relatif tinggi dibandingkan negara-negara pesaing seperti Vietnam dan Republik Rakyat China (RRC). Tingginya upah minimum dan ketatnya regulasi perlindungan pekerja menyebabkan biaya produksi di Indonesia tidak kompetitif dibandingkan negara-negara pesaing.

Kedua, perusahaan akan mengurangi jumlah karyawannya dan hanya mempekerjakan kayawan yang relatif produktif. Pengurangan jumlah karyawan juga terjadi akibat pergantian tenaga kerja dengan barang modal. Hal ini diindikasikan, antara lain, oleh menurunnya elastisitas penyerapan tenaga kerja dari tiap 1 persen pertumbuhan ekonomi mampu menyerap sekitar 400.000-600.000 tenaga kerja menjadi hanya menyerap sekitar 250.000 tenaga kerja.2

Pemerintahan SBY-Kalla memandang pentingnya mewujudkan pasar tenaga kerja yang fleksibel untuk mengatasi pengangguran. Hal tersebut dituangkan ke dalam Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004—2009. Masalah ketenagakerjaan dibahas secara khusus dalam RPJMN Bab 23 mengenai Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan. Karena pemerintahan SBY-Kalla belum mengatur masalah ini dalam regulasi yang lebih operasional, RPJMN merupakan bahan analisa arah kebijakan Pemerintahan SBY-Kalla dalam masalah fleksibilitas pasar tenaga kerja.

Tanpa terlebih dulu menyiapkan sistem jaminan sosial bagi warga negara, implementasi kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel saat ini mengandung potensi masalah. Potensi masalah pertama adalah kontradiksi antara kebijakan pasar

2

Argumen ini sering digunakan untuk mendukung pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel. M. Chatib Basri menggunakan argumen tersebut dalam beberapa tulisannya di media massa.

(4)

tenaga kerja fleksibel dalam RPJMN dengan konstitusi yaitu UUD 1945 dan isi RPJMN bagian lain. Potensi masalah kedua adalah kontradiksi antara isi RPJMN tersebut dengan realitas adanya market power yang dimiliki pengusaha dalam pasar tenaga kerja. Kondisi ini menyebabkan kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel, jika diterapkan saat ini, mengancam kesejahteraan pekerja.

II. Aturan dan Arah Kebijakan

RPJMN Bab 23 mengenai Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan menjelaskan pentingnya fleksibilitas pasar tenaga kerja dalam mengatasi pengangguran. Di Bagian C) mengenai Arah Kebijakan ditegaskan,

Kebijakan yang ditempuh untuk menciptakan lapangan kerja formal dan meningkatkan produktivitas pekerja dilaksanakan dengan:

1. Menciptakan fleksibilitas pasar kerja dengan memperbaiki aturan main ketenagakerjaan yang berkaitan dengan rekrutmen, outsourcing, pengupahan, PHK, serta memperbaiki aturan main yang mengakibatkan perlindungan yang berlebihan.

2. …

Uraian tersebut diperjelas dalam Bagian D) mengenai Program-Program Pembangunan. Bagian ini merinci beberapa variabel kebijakan penyebab kekakuan pasar tenaga kerja yang harus dikoreksi untuk menciptakan pasar tenaga kerja fleksibel. Variabel-variabel tersebut adalah:

1) Pembatasan jenis pekerjaan bagi pekerja kontrak. Rekomendasinya, pemerintah harus mempermudah perekrutan pekerja kontrak di semua jenis pekerjaan untuk mengurangi jumlah pengangguran. Dijelaskan sebagai berikut:

Kegiatan pokok yang dilakukan dalam program ini difokuskan antara lain pada: 1. Penyempurnaan peraturan dan kebijakan ketenagakerjaan agar tercipta

pasar kerja yang fleksibel. Beberapa hal penting untuk disempurnakan agar tidak mengurangi fleksibilitas pasar kerja adalah:

(5)

a) Aturan main yang berkaitan dengan pembatasan pekerja kontrak. Dalam keadaan di mana jumlah penganggur terbuka sangat tinggi maka salah satu upaya menguranginya adalah dengan mempermudah perusahaan untuk melakukan rekrutmen tanpa membatasi jenis pekerjaan bagi pekerja kontrak.

2) Aturan pengupahan atau upah minimum. Dijelaskan, pemerintah seharusnya mendorong penentuan upah secara bipartit antara pengusaha dengan pekerja sekaligus mengurangi atau menghilangkan perannya dalam menentukan upah minimum. Sebagai lanjutan dari kutipan dalam poin 1) dijelaskan,

...

b) Aturan main yang berkaitan dengan pengupahan serta mendorong penentuan upah secara bipartit

3) Aturan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Rekomendasinya, pemerintah harus meninjau ulang aturan mengenai uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penggantian hak, dan uang pisah yang dinilai memberatkan pengusaha. Dijelaskan selanjutnya,

...

c) Aturan main yang berkaitan dengan PHK. Uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak yang harus disediakan oleh pemberi kerja bila PHK terjadi dirasakan memberatkan. Selain itu, masih ada ketentuan mengenai uang penggantian hak dan uang pisah bagi mereka yang melakukan kesalahan berat atau mengundurkan diri. Penurunan tingkat pesangon seperti tingkat pesangon di Negara ASEAN harus secepatnya dilaksanakan.

4) Aturan perlindungan pekerja. Pemerintah akan meninjau kembali perlindungan pekerja yang dinilai berlebihan, seperti cuti panjang setelah enam tahun bekerja, pembayaran gaji kepada pekerja yang sakit sampai satu tahun, larangan bekerja malam bagi perempuan yang berumur kurang dari 18 tahun, dan aturan cuti haid.

(6)

Peran pemerintah di masa yang akan datang adalah memfasilitasi perundingan, kesepakatan, dan perjanjian antara pekerja dengan pengusaha. Dijelaskan dalam Bagian tersebut,

...

d) Aturan main yang dikaitkan dengan perlindungan tenaga kerja. Perlindungan pekerja yang berlebihan, seperti cuti panjang setelah 6 tahun bekerja dan pembayaran gaji kepada pekerja yang sakit sampai satu tahun akan dipertimbangkan kembali. Perlindungan berlebihan yang diberikan kepada pekerja wanita seperti larangan kerja malam bagi wanita usia kerja yang berusia kurang dari 18 tahun serta aturan yang berkaitan dengan cuti haid bila dilaksanakan secara kaku dapat mengurangi fleksibilitas pasar kerja. Pemerintah mendorong berbagai perlindungan melalui perundingan antara pekerja dan pemberi kerja yang kemudian disepakati dalam perjanjian kerja bersama.

RPJMN menyatakan bahwa UMP dan berbagai regulasi yang melindungi pekerja telah memberatkan pengusaha. Pemerintah seharusnya tidak mengatur empat variabel penentu fleksibilitas pasar tenaga kerja dengan kaku dan menyerahkannya kepada mekanisme bipartit antara pekerja dengan pengusaha. Hal ini akan mewujudkan pasar tenaga kerja yang fleksibel dan membuka kesempatan kerja.

Permasalahannya, dilihat dari kepentingan kesejahteraan pekerja, implementasi pasar tenaga kerja yang fleksibel saat ini berpotensi melanggar hak warga negara berdasarkan konstitusi yaitu UUD 1945. Pasal 27 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan,

Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Fleksibilitas tenaga kerja -dengan asumsi akan mengurangi tingkat upah dan perlindungan kerja- mengancam kelayakan hidup pekerja, terutama yang sebelumnya telah diupah relatif rendah. Pekerja golongan ini yang telah

(7)

berkeluarga atau memiliki anak akan merasakan dampak lebih berat.3 Lebih jauh lagi, banyak pihak mempertanyakan kelayakan upah minimum dan perlindungan kerja saat ini. UMP di beberapa provinsi, misalnya, masih berada di bawah kebutuhan hidup minimum (KHM).

Tabel 2.

Penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan Kebutuhan Hidup Minimum (KHM)

2005

No Propinsi UMP (Rp) KHM (Rp) Persen (%)

1 NANGGROE ACEH D. 620.000 619.876 100,02 2 SUMUT 600.000 - - 3 SUMBAR 540.000 501.315 107,72 4 RIAU 551.500 551.498 100,00 5 KEPULAUAN RIAU 557.000 - - 6 JAMBI 485.000 495.242 97,93 7 SUMSEL 503.700 495.242 101,71 8 BANGKA BELITUNG 560.000 690.000 81,16 9 BENGKULU 430.000 480.000 89,58 10 LAMPUNG 405.000 396.456 102,16 11 JAWA BARAT 408.260 - - 12 JAWA TENGAH 390.000 405.282 96,23 13 JAWA TIMUR 340.000 - - 14 D.K.I JAKARTA 771.843 759.953 93,67 15 BANTEN 585.000 585.000 100 16 D.I. YOGYAKARTA 400.000 399.964 100,01 17 BALI 447.500 447.500 100 18 KALBAR 445.200 482.250 92,32 19 KALTENG 523.698 553.376 94,64 20 KALTIM 600.000 597.878 100,35 21 KALSEL 536.300 503.775 106,46 22 N.T.T. 450.000 402.989 111,67 23 N.T.B. 475.000 526.040 90,3 24 MALUKU 500.000 - - 25 MALUKU UTARA 440.000 - - 3

Beberapa studi mengenai fleksibilitas pasar tenaga kerja mengkritisi peningkatan upah minimum yang pesat di Indonesia, misalnya, dibandingkan dengan peningkatan upah rata-rata. Sayangnya, studi-studi tersebut tidak mengkritisi apakah tingkat upah pekerja saat ini sudah memadai untuk hidup secara layak.

(8)

26 GORONTALO 435.000 531.500 81,84 27 SULUT 600.000 - - 28 SULSEL 510.000 505.000 100,99 29 SULTENG 450.000 - - 30 SULTRA 498.600 498.600 100 31 PAPUA 700.000 769.050 91,02

Sumber:Depnakertrans, Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial

Sementara itu, keterkaitan fleksibilitas pasar tenaga kerja dengan kesempatan kerja masih merupakan perdebatan. Beberapa studi yang dilakukan International Labour Organization (ILO), misalnya, menunjukkan bahwa peningkatan upah minimum pada tingkat yang moderat di Indonesia dan beberapa negara lainnya tidak terbukti mengurangi kesempatan kerja (Saget, 2001 serta Islam dan Nazara, 2000). Jika memang fleksibilitas pasar tenaga kerja mempengaruhi kesempatan kerja secara signifikan, berarti pemerintah harus mengelola trade-off antara kedua variabel tersebut secara hati-hati

Isi RPJMN mengenai Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan juga bertentangan dengan isi RPJMN Bab 16 mengenai Penanggulangan Kemiskinan. Bab 16 tersebut memang tidak secara eksplisit menjelaskan kebijakan ketenagakerjaan untuk kaum miskin. Namun, kondisi kaum miskin -dalam kaitan dengan ketenagakerjaan- yang diuraikan dalam Bab tersebut menyebabkan kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel menjadi tidak relevan. Di dalam Bagian 3) mengenai Program Perlindungan dan Pengembangan lembaga Tenaga Kerja dijelaskan,

…Masyarakat miskin dengan keterbatasan modal dan kurangnya keterampilan maupun pengetahuan, hanya memiliki sedikit pilihan pekerjaan yang layak dan terbatasnya peluang untuk mengembangkan usaha. Terbatasnya lapangan pekerjaan yang tersedia saat ini seringkali menyebabkan mereka terpaksa melakukan pekerjaan yang beresiko tinggi dengan imbalan yang kurang memadai dan tidak ada kepastian akan keberlanjutannya.

Selanjutnya pada bagian tersebut juga dipaparkan bahwa kaum miskin berada pada posisi yang lemah dalam hubungan ketenagakerjaan. Akibatnya, kaum miskin harus mau bekerja dengan upah yang rendah, sistem kontrak yang

(9)

merugikan, serta menghadapi rentannya kondisi anak dan perempuan di tempat kerja. Berikut uraiannya,

...Penduduk miskin yang umumnya berpendidikan rendah harus bekerja apa saja untuk mempertahankan hidupnya. Kondisi tersebut menyebabkan lemahnya posisi tawar masyarakat miskin dan tingginya kerentanan terhadap perlakuan yang merugikan. Masyarakat miskin juga harus menerima pekerjaan dengan imbalan yang terlalu rendah, tanpa sistem kontrak atau dengan sistem kontrak yang sangat rentan terhadap kepastian hubungan kerja yang berkelanjutan. Di sisi lain, kesulitan ekonomi yang dihadapi keluarga miskin seringkali memaksa anak dan perempuan untuk bekerja. Pekerja perempuan, khususnya buruh migran perempuan maupun pembantu rumah tangga dan pekerja anak menghadapi resiko sangat tinggi untuk dieksploitasi secara berlebihan, tidak menerima gaji atau digaji sangat murah, dan bahkan seringkali diperlakukan secara tidak manusiawi.

Lebih lanjut dijelaskan, kaum miskin sebagai pekerja tidak memiliki kemampuan bernegosiasi untuk memperjuangkan berbagai kepentingan dan haknya. Dalam relasinya dengan pengusaha, pekerja sering dirugikan. Pemerintah, dalam hal ini, dinilai kurang responsif dalam membela kepentingan pekerja sebagai pihak yang lemah.

...Rendahnya posisi tawar masyarakat miskin di antaranya disebabkan oleh ketidakmampuan pekerja untuk melakukan tawar menawar. Konflik-konflik perburuhan yang terjadi seringkali dimenangkan oleh pihak perusahaan dan merugikan para buruh. Pemerintah sebagai pihak yang dapat menjadi mediasi dan pembela kepentingan masyarakat seringkali kurang responsif dan peka untuk menindaklanjuti masalah perselisihan antara pekerja dengan pemilik perusahaan. Dampak dari perselisihan tersebut seringkali membuahkan pemutusan hubungan kerja (PHK) secara tidak adil, sehingga mengakibatkan munculnya sekelompok orang miskin baru.

(10)

Di Bagian 4.1) mengenai Program Perlindungan dan Pengembangan Lembaga Tenaga Kerja, terdapat poin-poin sebagai berikut:

a. Pengembangan hubungan industrial yang dilandasi hak-hak pekerja;

b. Peningkatan perlindungan hukum yang menjamin kepastian kerja dan perlakuan yang adil bagi pekerja;

c. Pencegahan terhadap eksploitasi dan berbagai bentuk pekerjaan terburuk anak

d. Peningkatan kerjasama bilateral dan multilateral dalam melindungi buruh migran

e. Perlindungan terhadap kebebasan berserikat dan hak atas perlindungan bersama; dan

f. Peningkatan jaminan keselamatan kesehatan dan keamanan kerja.

RPJMN Bab 16 di atas jelas bertentangan dengan RPJMN Bab 23 mengenai Perbaikan Iklim Ketenagakerjaan yang justru merekomendasikan pengurangan peran pemerintah. Menurut RPJMN Bab 23, kondisi saat ini sudah sangat menguntungkan pekerja dan memberatkan pengusaha. Pekerja juga dianggap telah memiliki kekuatan dan kemampuan untuk bernegosiasi.

III. Ekonomi-Politik Kebijakan

Secara teknis, kontradiksi ini telah memberikan ruang bagi arah kebijakan yang tidak jelas ke depan. Pemerintah seharusnya merumuskan arah kebijakan dengan tegas dan jelas, termasuk di antaranya dalam penentuan orientasi, prioritas, dan keberpihakan.

Secara politis, kontradiksi ini dapat ditafsirkan sebagai dinamika kepentingan yang berbeda dalam penyusunan RPJMN. Kondisi ini dapat berlanjut dalam penyusunan peraturan perundang-undangan yang operasional dan bahkan dalam implementasi kebijakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut. Dalam kaitan dengan kebijakan dan regulasi, SBY harus segera

(11)

meminimalisasi gaya politik yang ingin memuaskan semua pihak tanpa orientasi, prioritas, dan keberpihakan yang jelas.

Pengggantian Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dari Jacob Nuwa Wea pada masa Pemerintahan Megawati kepada Fahmi Idris pada Pemerintahan SBY-Kalla merupakan salah satu variabel penentu perubahan arah kebijakan mengenai fleksibilitas pasar tenaga kerja. Jacob Nuwa Wea yang berlatar belakang pimpinan serikat pekerja dinilai terlalu berpihak kepada pekerja. Sementara itu, Fahmi Idris yang berlatar belakang pengusaha dinilai terlalu membela kepentingan pengusaha.

Pengaruh latar belakang menteri terhadap kebijakan pasar tenaga kerja dapat terjadi melalui ”ideologi” yang dimiliki menteri tersebut. Nilai-nilai dan norma-norma yang dianut pengambil kebijakan menentukan kebijakan dalam kaitannya dengan orientasi, prioritas, dan keberpihakan.4

IV. Perkiraan Dampak Kebijakan

IV.1 Dampak Pasar Tenaga Kerja Fleksibel

Terdapat dilema dalam kebijakan yang berkaitan dengan fleksibilitas pasar tenaga kerja. Tingkat upah yang rendah dan aturan perlindungan kerja yang minimal dalam pasar tenaga kerja fleksibel akan menimbulkan dampak positif dalam bentuk tambahan kesempatan kerja. Resikonya, hal tersebut mengancam kelayakan hidup pekerja.

Sebaliknya, pasar tenaga kerja yang kaku -dengan berbagai regulasi pemerintah- relatif menjamin kepentingan pekerja. Pemerintah mengatur rekrutmen, upah minimum, PHK, dan perlindungan kerja. Namun, hal tersebut dinilai memberatkan pengusaha.

Dikhawatirkan, pengusaha telah mengurangi jumlah pekerja atau merelokasi usaha untuk menyiasati mahalnya biaya pekerja di Indonesia. Itulah

4

Douglass C. North (1993) menjelaskan pengaruh aturan informal, seperti norma dan nilai, terhadap dinamika perekonomian. Dalam konteks kebijakan publik, pilihan kebijakan yang mungkin diterapkan sangat tergantung dan dibatasi oleh aturan-aturan informal yang dianut oleh pengambil kebijakan.

(12)

alasan pemerintahan SBY mendorong fleksibilitas pasar tenaga kerja seperti yang tercantum dalam RPJMN 2004—2009.

Kajian yang dilakukan Lembaga Penelitian SMERU (2003) dengan menggunakan metode ordinary least square (OLS) menunjukkan bahwa tingkat upah minimum -sebagai salah satu indikator fleksibilitas pasar tenaga kerja- mempengaruhi kesempatan kerja secara signifikan. Setiap kenaikan upah minimum sebesar 10 persen akan mengurangi kesempatan kerja sebesar 1,12 persen. Pengaruh tingkat upah minimum terhadap kesempatan kerja ini juga konsisten untuk hampir semua kelompok pekerja.

Kesempatan kerja untuk pekerja laki-laki, pekerja perempuan, pekerja dewasa, pekerja muda, pekerja terdidik, pekerja kurang terdidik, pekerja kerah biru, pekerja penuh waktu, dan pekerja paruh waktu berkurang secara signifikan dengan adanya peningkatan upah minimum. Pengecualian terjadi pada pekerja kerah putih. Setiap kenaikan upah minimum sebesar 10 persen justru akan meningkatkan kesempatan kerja bagi pekerja kerah putih sebesar 10 persen.

Kajian tersebut menganalisis, peningkatan upah minimum menyebabkan perusahaan mengurangi jumlah pekerja yang kurang produktif dan menggantinya dengan pekerja yang relatif lebih produktif. Hal tersebut juga disebabkan oleh penggantian pekerja dengan barang modal dalam proses produksi karena biaya pekerja menjadi relatif mahal dibandingkan biaya barang modal.

Kajian di atas -dan beberapa kajian lain yang menghasilkan kesimpulan serupa- tidak serta merta membuat pemerintah dapat mengimplementasikan kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel saat ini dan dalam beberapa tahun ke depan. Kenyataannya, kajian-kajian tersebut tidak menganalisis apakah keseimbangan upah di pasar tenaga kerja -tanpa adanya upah minimum dan berbagai aturan perlindungan kerja- akan memadai untuk hidup secara layak.

Lebih jauh lagi, kebijakan upah fleksibel belum tentu efektif membantu kaum miskin dan di sekitar garis kemiskinan (near poor) sebagai bagian masyarakat yang paling rentan terhadap perubahan perekonomian. Pasar tenaga kerja fleksibel memang akan menambah kesempatan kerja, termasuk bagi kaum miskin. Di sisi lain, tingkat kesejahteraan banyak kaum miskin dan di sekitar garis

(13)

kemiskinan akan memburuk karena pengurangan upah dan perlindungan kerja. Trade-off antara kesempatan kerja dengan kesejahteraan pekerja menjadi lebih berat karena banyak near poor yang akan menjadi miskin jika upah menurun sedikit saja.5

IV.2 Pengadaan Jaminan Sosial

Kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel hanya dapat diimplementasikan jika pemerintah telah menyediakan jaminan sosial bagi warga negara. Pekerja yang diupah rendah dalam pasar tenaga kerja fleksibel akan memperoleh jaminan sosial untuk hidup secara layak. Jaminan sosial juga melindungi pekerja dari kemungkinan hubungan ketenagakerjaan yang merugikan, seperti PHK. Karena dapat mempertemukan kebutuhan terhadap pasar tenaga kerja fleksibel dengan hak hidup layak warga negara, jaminan sosial ini merupakan kebijakan yang ideal dan harus menjadi pilihan kebijakan dalam jangka panjang (long-run).

Saat ini, bagaimanapun, perlindungan di pasar tenaga kerja praktis merupakan satu-satunya ”perlindungan” bagi warga negara.6 Apabila pemerintah mendorong pasar tenaga kerja fleksibel tanpa menyediakan jaminan sosial yang memadai dan berfungsi secara efektif, pekerja akan merasakan dampak negatif yang sangat berat.

Mengingat pemerintah masih menyusun sistem jaminan sosial tersebut, pemerintah baru dapat mengimplementasikan pasar tenaga kerja feksibel dalam jangka waktu 4—5 tahun ke depan. Waktu tersebut merupakan waktu yang diperlukan untuk menyusun konsep jaminan sosial yang matang dan

5

Permasalahan ini dibahas oleh Shafiq Danani dan Inayatul Islam (2001). Mereka mengkritisi Manning (2000) yang secara a priori menyatakan terbukanya kesempatan kerja melalui fleksibilitas pasar tenaga kerja telah menahan laju kemiskinan akibat krisis ekonomi di Indonesia. Padahal, fleksibilitas pasar tenaga kerja -pada saat yang bersamaan- menurunkan upah riil yang dapat memperparah tingkat kemiskinan karena banyak near poor menjadi miskin.

6

Berbagai peraturan perlindungan pekerja, seperti upah minimum, hanya melindungi pekerja di sektor formal yang berjumlah sekitar sepertiga total pekerja. Peraturan ketenagakerjaan tidak melindungi dua pertiga pekerja di sektor informal. Sistem jaminan sosial, dengan demikian, memiliki dua kelebihan dibandingkan peraturan ketenagakerjaan yang kaku. Pertama, jaminan sosial tidak mendistorsi pasar tenaga kerja. Kedua, jaminan sosial mencakup semua warga negara, tidak hanya pekerja di sektor formal.

(14)

operasionalisasi konsep tersebut.7 Sebelum itu, kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel tidak layak diimplementasikan.

IV.3 ”Jalan Ketiga” di Masa Transisi

Sebelum tersedianya jaminan sosial bagi warga negara, pemerintah dapat menempuh ”jalan ketiga” seperti yang ditawarkan Manning (2003). Jalan ketiga tersebut merupakan jalan tengah antara kebijakan yang sangat melindungi pekerja di Amerika Latin dengan kebijakan yang terlalu mengutamakan kesempatan kerja di Asia Timur. Pemerintah tetap mengatur pasar tenaga kerja dengan benar-benar mencari titik temu antara kepentingan pengusaha dengan kepentingan pekerja.8 Keempat indikator fleksibilitas pasar tenaga kerja dalam RPJMN 2004— 2009 yaitu rekrutmen, UMP, PHK, dan perlindungan kerja tetap diatur pemerintah. Namun, pemerintah perlu meninjau kembali substansi peraturan perundang-undangan berkaitan dengan keempat indikator tersebut. Misalnya, apakah nilai UMP dan pesangon saat ini memang sudah terlalu tinggi. Pemerintah harus memperhatikan dua hal berkaitan dengan kebijakan ”jalan ketiga” di pasar tenaga kerja. Pertama, pemerintah harus tetap menjamin keberadaan upah dan perlindungan kerja yang layak. Pemerintah bersama-sama dengan berbagai stakeholders harus merumuskan angka kelayakan hidup minimum pekerja -yang mungkin berbeda dengan angka kebutuhan fisik minimum (KFM) dan kebutuhan hidup minimum (KHM)- sebagai dasar penentuan upah minimum dan perlindungan kerja.

Kedua, pemerintah harus memperhitungkan struktur pasar tenaga kerja dalam mengambil suatu kebijakan. Hal ini, terutama, sangat penting dalam mengambil kebijakan untuk pekerja yang berupah rendah dan miskin atau di sekitar garis kemiskinan (near poor).

7

UU No 40/2004 mengenai Sistem Jaminan Sosial Nasional sudah mengatur mengenai jaminan sosial di Indonesia. Namun, seberapa memadai UU tersebut -baik secara konseptual maupun secara operasional- untuk menjadi pengganti intervensi di pasar tenaga kerja masih memerlukan kajian lebih lanjut.

8

Kenyataannya, merumuskan “jalan ketiga” ini tidaklah mudah. Titik temu antara kepentingan pengusaha dengan pekerja bersifat sangat subyektif. Bagaimanapun, pemerintah harus berusaha merumuskan jalan ketiga tersebut sebelum siapnya jaminan sosial sebagai prasyarat implementasi kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel.

(15)

Pasar tenaga kerja di Indonesia mengandung market power yang menguntungkan pengusaha dibandingkan pekerja, terutama pekerja yang berupah rendah dan miskin. Angkatan kerja yang tidak memiliki tabungan dan kekayaan bersedia bekerja apa saja walaupun dengan upah dan perlindungan kerja yang minimal.

Angkatan kerja seperti ini -karena harus bekerja saat itu juga pada pengusaha yang menawarkan pekerjaan- sebenarnya menghadapi pasar yang monopsonistik walaupun kelompok angkatan kerja yang lain menghadapi pasar yang mendekati sempurna (perfect competition). Dengan demikian, karakteristik tenaga kerja di pasar bersifat heterogen, tidak homogen.9 Kelompok miskin dan di sekitar garis kemiskinan (near poor) -tidak seperti kelompok angkatan kerja yang lain- tidak dapat menunda bekerja untuk bernegosiasi atau mencari pekerjaan yang lebih baik. Kondisi tersebut sulit menghasilkan negosiasi bipartit yang sehat dan adil.

Lebih jauh lagi, perusahaan memiliki keunggulan informasi dibandingkan pekerja. Perusahaan dapat memiliki informasi yang memadai mengenai pekerja dan tidak sebaliknya. Usulan untuk menentukan upah dan perlindungan berdasarkan kinerja keuangan perusahaan juga tidak dapat dilaksanakan karena mengandung ketidakseimbangan informasi dan memindahkan resiko dari pengusaha kepada pekerja.10

Berdasarkan kondisi tersebut, mendorong upah secara fleksibel tanpa adanya jaminan sosial bagi warga negara merupakan kebijakan publik yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Saat ini, pemerintah harus tetap mengatur pasar tenaga kerja dengan tetap membuka wacana bagi peraturan yang paling tepat dengan memperhitungkan dua variabel, kesempatan kerja dan kelayakan hidup pekerja.

9

Dengan menggunakan asumsi tersebut, studi International Labour Organization (ILO) di beberapa negara menunjukkan kenaikan upah minimum pada tingkat tertentu tidak mempengaruhi tingkat pengangguran. Studi di Amerika Latin menunjukkan bahwa tingkat upah minimum tidak berkaitan dengan besarnya tenaga kerja yang bekerja di sektor informal.

10

Lihat “Upah Pekerja Formal Perlu Ditentukan Secara Bipartit” dalam Harian Kompas, 17 Februari 2005, untuk melihat usulan penentuan upah secara bipartit dan berdasarkan kinerja keuangan perusahaan.

(16)

V. Pelajaran Meksiko dan Argentina

Analisa fleksibilitas pasar tenaga kerja tidak selalu bisa menjelaskan perubahan tingkat penganguran. Frenkel dan Ros (2003) menjelaskan perbedaan perubahan tingkat pengangguran di Meksiko dan Argentina pada tahun 1999— 2001. Pengangguran di Argentina bertambah sebesar 4,7 persen, dari 2,6 persen menjadi 7,3 persen, pada tahun 1999—2001. Sementara itu, tingkat pengangguran di Meksiko stagnan pada tingkat 0,9 persen dalam kurun waktu tersebut.

Padahal, tingkat fleksibilitas pasar tenaga kerja di kedua negara tersebut relatif sama. Dalam beberapa aspek, pasar tenaga kerja di Argentina bahkan lebih fleksibel dibandingkan Meksiko. Salah satu indikatornya, upah riil yang stagnan di Meksiko dan menurun di Argentina.

Ada beberapa hal yang menyebabkan perbedaan perubahan tingkat pengangguran dalam fleksibilitas pasar tenaga kerja yang relatif sama tersebut. Pertama, perbedaan perubahan ”upah dollar” (dollar wages) -bukan upah nominal dan upah riil- yang mempengaruhi biaya produksi. Hal tersebut kemudian mempengaruhi daya saing produk dari kedua negara tersebut.

Upah dollar, selain ditentukan oleh upah nominal, ditentukan juga oleh nilai kurs. Apresiasi mata uang suatu negara, misalnya, menyebabkan tingkat upah dollar menjadi relatif tinggi di negara tersebut. Hal ini akan mengurangi daya saing produk negara tersebut meskipun upah nominal atau upah riil tidak meningkat.

Kedua, perbedaan spesialisasi perdagangan kedua negara tersebut. Spesialisasi perdagangan di Meksiko pada labor intensive industries menyebabkan perekonomiannya mampu menyerap banyak tenaga kerja. Termasuk di dalamnya, tenaga kerja yang sebelumnya bekerja di sektor yang terkena dampak negatif liberalisasi perdagangan. Argentina tidak menempuh kebijakan seperti itu.

Ketiga, perbedaan kemampuan sektor informal -yang biasanya bergerak di non-tradable sectors- di kedua negara tersebut untuk menyerap tenaga kerja yang

(17)

tidak tertampung di sektor formal. Di dalam pembahasan tersebut, Frenkel dan Ros melihat peran sektor informal sebagai hal yang positif.

Poin pentingnya, tingkat pengangguran yang tinggi tidak hanya terkait dengan kekakuan pasar tenaga kerja, tetapi juga kondisi dan kebijakan makroekonomi. Ini berarti, implementasi kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel tidak akan serta merta menyelesaikan masalah tingkat pengangguran yang tinggi di Indonesia.

VI. Rekomendasi Kebijakan

Jika diimplementasikan saat ini, arah kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel -seperti yang terdapat dalam RPJMN 2004—2009- mengancam kelayakan hidup pekerja. Hal tersebut, terutama, terjadi pada pekerja berupah rendah dan miskin atau di sekitar garis kemiskinan (near poor). Di sisi lain, mewujudkan pasar tenaga kerja fleksibel merupakan salah satu kebutuhan untuk membuka kesempatan kerja dan mengatasi tingkat pengangguran yang tinggi. Di sinilah Pemerintahan SBY-Kalla menghadapi dilema kebijakan.

Berdasarkan hal tersebut, Pemerintahan SBY-Kalla harus memperhatikan prinsip-prinsip di bawah ini dalam meyusun peraturan perundang-undangan dan mengimplementasikan kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel berdasarkan RPJMN 2004—2009.

1. Kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel hanya dapat diimplementasikan jika pemerintah telah menyediakan jaminan sosial bagi warga negara. Pasar tenaga kerja fleksibel tanpa jaminan sosial merupakan ”mimpi buruk” bagi pekerja. Dalam kurun waktu 2004—2009, tahapan yang dapat ditempuh adalah penyiapan menuju pasar tenaga kerja fleksibel. Langkah-langkah yang harus ditempuh, di antaranya, penyiapan konsep dan percobaan implementasi jaminan sosial. Setelah hal tersebut berjalan, barulah pemerintah dapat menggeser intervensi di pasar tenaga kerja dengan jaminan sosial. Pentahapan waktu yang jelas merupakan salah satu poin krusial penggeseran intervensi

(18)

pasar tenaga kerja dengan jaminan sosial dalam konteks perlindungan kelayakan hidup warga negara.

2. Pemerintah harus menempuh ”jalan ketiga” sebelum mengimplementasikan pasar tenaga kerja fleksibel secara penuh. Pemerintah tetap mengatur masalah rekrutmen, upah, PHK, dan perlindungan pekerja di pasar tenaga kerja. Walaupun demikian, pemerintah harus membuka ruang seluas-luasnya untuk memperoleh masukan bagi substansi peraturan perundang-undangan. Aturan yang lahir harus, seoptimal mungkin, mempertemukan kepentingan pengusaha dan pekerja. Pemerintah harus tetap melindungi pekerja berkaitan dengan adanya market power di pasar tenaga kerja. Dalam hal ini, pemerintah harus konsisten mengoreksi pasar, baik dalam kasus pengusaha atau serikat pekerja memiliki kekuatan yang terlalu besar dalam pasar tenaga kerja.

3. Dalam masa transisi ke pasar tenaga kerja fleksibel, pemerintah dapat menerapkan kebijakan alternatif yang melindungi pekerja tetapi juga ”memperhitungkan” fleksibilitas. Solusinya, antara lain, perlindungan kerja

dan upah minimum harus memperhitungkan variasi kabupaten/kota dan sektor ekonomi secara lebih detil dibandingkan saat ini. Dengan demikian, ada peraturan perlindungan pekerja dan upah minimum yang berbeda untuk setiap sektor ekonomi, bahkan subsektor ekonomi, di tiap kabupaten/kota. Data-data berikut menunjukkan bahwa setiap sektor ekonomi memiliki tingkat upah nominal yang bervariasi. Variasi ini dapat menjadi dasar variasi upah minimum antarsektor ekonomi.

Tabel 3.

Upah Nominal Buruh Berstatus di Bawah Mandor Menurut Lapangan Usaha

(Per Bulan/Ribu Rupiah) Kuartal 2/2003-Kuartal 2/2004

(19)

Sumber: Statistik Upah Q-2/2003—Q-2/2004, Badan Pusat Statistika * angka sementara

** angka sangat sementara

NA tidak berlaku karena sampel terlalu kecil

4. Pemerintah juga harus berperan dalam memfasilitasi dialog, komunikasi, dan negosiasi untuk mendorong hubungan yang baik antara pengusaha dengan pekerja seperti yang diusulkan Sumarto (2003). Hal ini merupakan bagian penyiapan menuju pasar tenaga kerja fleksibel 4—5 tahun ke depan. Untuk konteks saat ini, komunikasi dan hubungan baik antara pengusaha dengan pekerja bukan merupakan substitusi perlindungan pekerja, tetapi komplemen yang harus saling melengkapi.

5. Pemerintah harus menerapkan kebijakan yang tepat sebagai komplemen kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel. Pemberantasan korupsi -yang terbukti telah menjadi sumber biaya tinggi bagi pengusaha- dan strategi industri yang tepat merupakan contoh. Pemerintah harus menempuh langkah-langkah tersebut, baik dalam masa penyiapan maupun implementasi pasar tenaga kerja fleksibel secara penuh.

2 3 4* 1* 2** Manufaktur 722,3 713,9 730,8 753,2 794,4 Hotel 647,8 668,4 670,8 741,9 763,0 Pertambangan Non Migas 2045,0 2031,0 2075,8 2025,0 NA

(20)

20

Gambar 1

Peta Masalah Fleksibilitas Pasar Tenaga Kerja di Indonesia

Masalah Pasar Tenaga Kerja Kaku

Pasar tenaga kerja yang kaku mengurangi kesempatan kerja - Aturan rekrutmen yang kaku - UMP terlalu tinggi

- Aturan PHK yang memberatkan pengusaha

- Perlindungan pekerja yang berlebihan

Masalah Pasar Tenaga Kerja Fleksibel

- Pasar tenaga kerja fleksibel mengancam kelayakan upah dan perlindungan pekerja

- Tidak adanya jaminan sosial bagi warga negara yang berpenghasilan tidak layak

Kebijakan pasar tenaga kerja fleksibel tidak layak diimplementasikan saat ini (sebelum

pengimplementasian jaminan sosial bagi warga negara) Trade-Off antara kesempatan kerja dengan

(21)
(22)

Bibliografi

Dhanani, Shafiq., dan I. Islam. 2001.

“Labor Market Adjustment to Indonesia’s Economic Crisis: A Comment”. dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, Vol. 37, No. 1, April, hal. 113—115.

Frankel, Roberto., dan Jaime Ros. 2003.

“Unemployment, Macroeconomic Policy and Labor Market Flexibility. Argentina and Mexico in The 1990s”.

Mankiw, N. Gregory. 2001.

Principles of Economics. Orlando. Hartcourt College Publishers. 2001.

Manning, Chris. 2003.

“Kebijakan Upah Minimum: Apakah Indonesia Mulai Menempuh Rute Amerika Latin?”. Makalah Tanggapan pada Lokakarya Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial untuk Memperluas Kesempatan Kerja, Surabaya. Bappenas, Partnership Economic Growth, dan Lembaga Penelitian SMERU.

North, Douglass C. 1993.

”The New Institutional Economics and Development”. Saget, Catherine. 2001.

“Is the Minimum Wage an Effective Tool to Promote Decent Work and Reduce Poverty? The Experience of Selected Developing Countries”. Empolyment Strategy Department International Labour Office.,

Sumarto, Sudarno. 2003.

“Menata Kembali Aturan Main Penyelesaian Perselisihan Industrial”. Makalah Tanggapan pada Lokakarya Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial untuk Memperluas Kesempatan Kerja, Surabaya. Bappenas, Partnership Economic Growth, dan Lembaga Penelitian SMERU.

Suryahadi, Asep. 2003.

“Mencari Keseimbangan Antara Perlindungan Pekerja dan Perluasan Kesempatan Kerja”. Makalah Tanggapan pada Lokakarya Kebijakan Pasar Tenaga Kerja dan Hubungan Industrial untuk Memperluas Kesempatan Kerja, Surabaya. Bappenas, Partnership Economic Growth, dan Lembaga Penelitian SMERU.

Suryahadi, Asep., W. Widyanti, D. Perwira dan S. Sumarto. 2003.

“Minimum Wage Policy and Its Impact on Employment in the Urban Formal Sector”. Bulletin of Indonesian Econimic Studies, Vol. 39, No. 1, Agustus, hal. 29—50.

Bappenas. 2004.

Peraturan Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2004—2009.

(23)

Badan Pusat Statistika. 1997—2003. Statistik Indonesia (Jakarta). Badan Pusat Statistika. 2004.

Referensi

Dokumen terkait

(d) Maklumat berikut diperoleh daripada Kelab Kebajikan Taman Seroja. Anda dikehendaki menyediakan Akaun Yuran bagi tahun berakhir 31 Disember 2017.. 2 Darwish dan Daniel adalah

Neither is PT NH Korindo Sekuritas Indonesia, its affiliated companies, employees, nor agents are liable for errors, omissions, misstatements, negligence, inaccuracy contained

selaku guru akidah akhlak, mengenai peran guru PAI sebagai informator dalam menanggulangi dampak perilaku negatif penggunaan sosial media yaitu memberi tahu kepada anak, contoh

Hal ini memungkinkan dicapai untuk tahun 2016 jika peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 tahun 2015 tentang larangan pengoperasian pukat hela ( trawls )

Dalam penghitungan kapasitas sisi udara terkait dengan konfigurasi bandar udara adalah exit factor atau faktor yang diakibatkan oleh jumlah landasan hubung dan jarak

Nilai demokrasi berdasar pancasila memberikan tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan dengan Tuhan yang Maha Esa sesama manusia, tanah air dan kesatuan republik

PENERAPAN STRATEGI DIRECTED READING THINKING ACTIVITY (DRTA) DALAM PEMBELAJARAN MEMBACA INTENSIF TEKS BIOGRAFI.. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu |

The next surgical step was to perform dacryocystorhinostomy with silicone tube insertion (Figure 3). The skin and muscles were undermined until the periosteum