• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA. Blickwinkel Tokoh Ich Terhadap Tradisi dan Budaya Islam di Desa Tjurup dalam Roman Eine Ärztin im Dschungel von Sumatra SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA. Blickwinkel Tokoh Ich Terhadap Tradisi dan Budaya Islam di Desa Tjurup dalam Roman Eine Ärztin im Dschungel von Sumatra SKRIPSI"

Copied!
80
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

Blickwinkel

Tokoh

Ich

Terhadap Tradisi dan Budaya Islam di Desa Tjurup

dalam Roman “

Eine Ärztin im Dschungel von Sumatra

SKRIPSI

TEGUH RIYANTO

0706296364

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI JERMAN

DEPOK

JANUARI 2012

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

Blickwinkel

Tokoh

Ich

Terhadap Tradisi dan Budaya Islam di Desa Tjurup

dalam Roman “

Eine Ärztin im Dschungel von Sumatra

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora

TEGUH RIYANTO

0706296364

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI JERMAN

DEPOK

JANUARI 2012

(3)

ii

(4)
(5)
(6)

v

Kata Pengantar

Alhamdulillah, puji syukur selalu terpanjat kepada Allah SWT yang selalu memberi berkah, rahmat, rezeki dan hidayahnya kepada kita semua. Shalawat dan salam juga selalu tercurah kepada kekasih yang tercinta, Muhammad SAW.

Alhamdulillah setelah berjuang hampir selama satu tahun pengerjaan skripsi ini, akhirnya bisa selesai juga. Pengerjaannya memang sangat lama ini lebih disebabkan karena faktor pribadi saya sendiri. Atas izin Allah serta dukungan dari orang-orang sekitar, akhirnya skripsi ini bisa saya selesaikan. Saya secara spesifik ingin mengucapkan kepada orang-orang yang telah memberikan dukungannya kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini:

1. Untuk Ibunda Adriani Lucia Hilman, selaku pembimbing yang sabar dan senansetia memberikan bimbingannya kepada anaknya yang telah banyak mengecewakan ini. Saya sekali lagi mengucapkan maaf atas segala kelakuan saya yang selalu “kabur” dari menyelesaikan kewajiban ini. Terima kasih juga kepada Ibu Lily dan Frau Otto yang telah memberikan revisi dan masukan yang berharga sehingga skripsi ini dapat selesai dengan format yang benar. Tak lupa kepada Ibu Rita dan segenap dosen Program Studi Jerman yang selalu member nasihat dan motivasi kepada saya untuk menyelesaikan skripsi ini

2. Kepada orang tua, Bapak Bambang D.S. dan Ibu Iriyani Budiarti, Riyan ucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya atas kesabaran bapak dan ibu dalam menunggu anaknya yang paling tua ini untuk menyelesaikan studinya. Riyan minta maaf karena selama ini merepotkan bapak dan ibu karena terlambatnya penyelesaian skripsi ini.

3. Kepada teman-teman seperjuangan, Amalia Putri, Debbie Marris, Lifany Husnul Kurnia, Nandi Wardhana dan teman-teman lain yang telah sama-sama berjuang untuk bisa wisuda bersama di bulan Februari 2012. Setelah segala drama kita lewati, perjuangan kita akhirnya membuahkan hasil kawan, walaupun kita harus terseok dan menyeretkan kaki untuk mencapai keberhasilan ini. This is our moment mate, let’s celebrate it \^-^/

4. Kepada teman-teman satu kontrakan: Hadi Permana, Martinus Adinata, Agit Dwi Setio, Indra Jaya, Media dan Noor “Jawa” yang selalu memberikan hiburan kepada saya dalam mengerjakan skripsi ini, walaupun hiburan tersebut

(7)

vi

kadang membuat saya lengah dan meninggalkan kewajiban saya ini. Khusus kepada Syarif Hidayat yang telah banyak membantu dalam pengetikan beberapa bahan sehingga memudahkan saya untuk membaca di komputer. Ayo kita

camping setelah ini, untuk merayakan kesuksesan bersama. Hahaha.

5. Kepada adik-adik saya, DE 09: Rinka, Anes, Berlina, dll yang selalu hadir memberikan keceriaan ketika kalian hadir di sekitar saya. Khusus buat Aning, terima kasih sudah berbagi kisah. Seharusnya gw yang banyak cerita ke elu. Tapi tak apalah, cerita-cerita dari elu cukup membuat gw rileks dari segala kepenatan skripsi ini.

6. Kepada rakoor SALAM UI 14, yang selalu memberi inspirasi dalam setiap kegiatan. Khusus kepada keluarga kecil saya, Departemen Sosial SALAM UI 14, yang telah menjadi tempat mencurahkan isi hati dan tempat untuk sekedar melupakan beban dari kewajiban menyelesaikan skripsi ini. Khusus kepada Intan Syaw’dini, terima kasih atas dukungan khususnya tanpa itu mungkin semangat untuk menyelesaikan skripsi ini tidak akan ada.

7. Kepada orang-orang lain yang namanya tidak bisa disebutkan disini semua. Terima kasih atas dukungan kalian

Terakhir, saya mohon maaf jika dalam pengerjaan penulisan ini, saya melakukan banyak kesalahan atau kekhilafan lainnya baik disengaja atau tidak.

Jakarta, Desember 2011

(8)

vii

(9)

viii

ABSTRAK

Nama : Teguh Riyanto

Program Studi : Sastra Jerman

Judul : Blickwinkel Tokoh Ich terhadap Tradisi dan Budaya Islam di Desa Tjurup dalam Roman Berjudul “Eine Ärztin im Dschungel von Sumatra

Skripsi ini meneliti tentang pandangan tokoh ich dalam roman Eine Ärztin im Dschungel von Sumatra terhadap tradisi dan budaya yang ada di Desa Tjurup. Fokus sentral dari penelitian ini adalah pandangan (Blickwinkel) tokoh ich, yang berasal dari Jerman yang sedang bertugas sebagai dokter di Desa Tjurup. Dua permasalahan utama yang dibahas dalam penelitian ini adalah pandangan tokoh

ich terhadap kejadian gaib, pandangan tokoh ich terhadap tradisi dan budaya Islam.

Kata kunci: Pandangan, Blickwinkel, tokoh ich, kejadian gaib, tradisi dan budaya Islam

ABSTRACT

Name : Teguh Riyato

Study Program : German Literature

Title :

Blickwinkel of Ich Figure on Islamic Tradition and Culture in Tjurup Village in Roman “Eine Ärztin im Dschungel von Sumatra

This study investigates about ich figure’s view in Roman Eine Ärztin im Dschungel von Sumatra on Tradition and Culture that exists in Tjurup Village. Central focus of this study is ich figure’s view (Blickwinkel), who comes from Germany and works as a doctor in Tjurup village. There are two main issues that is discussed in this study: the view of ich figure on supranatural things and Islamic tradition and culture.

Keyword: View, Blickwinkel, ich Figure, supranatural thing, Islamic tradition and culture

(10)

ix

Daftar Isi

HALAMAN JUDUL ... i

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ... iii

LEMBAR PENGESAHAN ... iv

KATA PENGANTAR ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vii

ABSTRAK/ABSTRACT ... viii DAFTAR ISI ... ix LEMBAR PERSEMBAHAN ... xi 1. PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Masalah Penelitian... 3 1.3 Tujuan Penelitian ... 3 1.4 Metode Penelitian ... 4 1.5 Batasan Penelitian ... 4 1.6 Sistematika Penelitian ... 5 2. LANDASAN TEORI ... 6 2.1 Roman Biografi ... 6 2.2 Blickwinkel ... 9 2.3 Toleransi ... 16 2.4 Fremdheit ... 24 2.5 Hermeutik Interkultural ... 26 3. ANALISIS ... 30

3.1 Blickwinkel Tokoh Ich Terhadap Eksistensi Hantu di Desa Tjurup dalam Kapitel 6: Eine andere Art zu leben ... 30

3.2 Blickwinkel Tokoh Ich Terhadap Tradisi dan Budaya Agama Islam di Desa Tjurup dalan Kapitel 11: Indonesisch-islamisches Brauchtum ... 40

3.3 Blickwinkel Tokoh Ich Terhadap Kekuatan Magis dari Keris dan Susuk dalam Kapitel 12: Keris- und Tigergeschichten ... 49

(11)

x

3.4 Blickwinkel Tokoh Ich Terhadap Hari Raya yang Diselenggarakan di Desa Tjurup dalam Kapitel 13: Ramadan – Mekkapilger – Indonesische Hochzeit ... 56

4. KESIMPULAN ... 63 DAFTAR REFERENSI ... 67

(12)

xi

Persembahan

O mankind, indeed We have created you from male and female

and made you peoples and tribes that you may know one

another. Indeed, the most noble of you in the sight of Allah is the

most righteous of you. Indeed, Allah is Knowing and Acquainted

(QS Al-Hujaraat (49): 13)

O ihr Menschen! Wir haben euch aus Mann und Frau (Adam und

Eva) erschaffen und haben euch zu Völkern und Stämmen

werden lassen, damit ihr euch kennenlernt. Der Edelste vor Gott

ist der Frommste unter euch. Gottes Wissen und Kenntnis sind

unermeßlich. (QS Al-Hujaraat (49): 13)

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu

berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling

kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu

disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.

Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS

Al-Hujaraat (49): 13)

(13)

1

Pendahuluan

I.1. Latar Belakang

Secara sederhana sastra didefinisikan oleh A. Teeuw (1987) sebagai segala sesuatu yang tertulis; pemakaian bahasa dalam bentuk tulisan. Sastra adalah salah satu hasil kreasi dan karya manusia yang indah. Indah dalam pengertian disini bukanlah sebuah pemandangan yang menyejukan mata. Namun indah disini adalah karena sastra dapat menenangkan hati, baik oleh pengarangnya maupun oleh pembacanya. Untuk menghasilkan karya sastra yang berkualitas, seorang pengarang perlu memiliki kreatifitas yang tinggi dan kemauan yang kuat untuk menulis. Hal ini tentunya sejalan dengan pendapat dari Wellek dan Warren dalam buku Teori Kesusastraan yang diterjemahkan oleh Melani Budianta (1986) kedalam bahasa Indonesia, "Sastra adalah sebuah kegiatan kreatif, sebuah seni". Sesuatu yang menjadi tema dalam sebuah karya sastra, biasanya berhubungan dengan pengarangnya. Hal itu bisa berasal dari pengalaman, ideologi, keyakinan dan bahkan pengaruh dari pengarangnya. Seperti yang dikatakan oleh Jacob Sumardjo dan Saini K.M. (1991), "Sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman,pemikiran, semangat,dan keyakinan dalam suatu gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa." Dalam hal ini sastra juga dapat dijadikan oleh pengarangnya sebagai alat pembawa pesan. Sastra pun dapat menjadi sebuah alat komunikasi intrakultural. Hal ini dapat terjadi ketika seorang pengarang menuliskan pengalamannya saat berada di tempat asing dan memiliki kebudayaan yang berbeda dengan dirinya dalam sebuah karya. Munculnya dialog antar budaya yang terjadi diantara pengarang dengan orang-orang yang berasal dari negeri tersebut tentunya menarik untuk dibaca dan diamati. selain dapat menambah wawasan pengarang dan pembaca, hal ini tentunya dapat menjadi sebuah alat pembelajaran tentang toleransi dan keberterimaan.

(14)

Universitas Indonesia Sebagai sebuah seni, sastra pun berkembang seiring berjalannya waktu. Perkembangan karya sastra pun dipengaruhi juga oleh kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa pada tenggat waktu tertentu. Selain itu banyak muncul juga karya-karya yang bersifat fiksi realitas10 atau fiksi aktualitas11. Contoh-contoh karya sastra yang masuk ke dalam kategori fiksi realitas dan fiksi aktualitas ini adalah roman sejarah, kisah perjalanan, biografi, otobiografi dan lain-lain12. Khusus untuk biografi dan autobiografi, karya ini diciptakan oleh seorang pengarang tentunya sebagai suatu pengingatan atas kerja dan jerih payah seorang tokoh yang terkenal seperti ilmuwan, sastrawan, pahlawan perang dan sebagainya. Selain sebagai sebuah pengingatan, biografi juga dapat menjadi sebuah sarana pembawa pengaruh dan ideologi dari seorang tokoh.

Salah satu genre sastra yang menarik dan berasal dari biografi (riwayat hidup) seseorang adalah roman biografi (biographischer Roman). Roman biografi adalah penulisan biografi seseorang dalam teks narasi atau roman. Seperti namanya, roman biografi biasanya menceritakan tentang satu fase kehidupan dari seseorang. Tokoh utama yang ada di dalam roman biografi adalah sang pengarang. Roman biografi tidak hanya memberikan informasi tentang suatu peristiwa yang dialami oleh seseorang, tetapi juga kita dapat mempelajari dan menelusuri perkembangan karakter, pemikiran dan moral dari orang tersebut. Seperti dalam roman biografi yang akan dibahas oleh penulis berikut ini: “Eine Ärztin im Dschungel von Sumatra

karya Inge Schubart. Roman yang berkisah tentang pengalaman hidup seorang dokter yang berasal dari Jerman, yang tidak lain adalah sang pengarang (Inge Schubart), ketika menjalani dinas kerja di sebuah desa di hutan belantara Sumatra. Roman ini menarik perhatian saya karena roman ini memliki setting tempat di Indonesia. Yang lebih menarik adalah setting tempat yang ada di roman ini bukanlah di sebuah kota besar di Indonesia,

10 Fiksi realitas adalah karya yang menceritakan hal-hal yang dapat terjadi, tetapi belum tentu terjadi

11

Fiksi aktualitas adalah karya yang berasal dari kejadian yang benar-benar terjadi 12Teori Sastra. Hal 12.

http://pustaka.ut.ac.id/website/index.php?option=com_content&view=article&id=58:pbin-4104-teori-sastra&ltemid=75&catid=30:fkip 20-3-2011; pukul 15.34

(15)

Universitas Indonesia melainkan di sebuah desa di belantara hutan Sumatra yaitu di desa Tjurup. Sangat menarik, ketika orang asing bersedia dinas dan tinggal di sebuah desa terpencil di Indonesia. Yang lebih menarik lagi adalah desa tersebut bisa dibilang masih “primitif“, karena memercayai animisme dan dinamisme walaupun pengaruh Islam di dalam desa itu sudah kuat. Tentunya disini akan terdapat keterasingan tersendiri dari tokoh ich, tokoh utama dalam roman ini, ketika berada di tempat yang sangat asing dan berbeda budaya dengan tempat asalnya. Dan tentunya hal yang menarik lainnya adalah adanya dialog dan pengamatan budaya yang dilakukan tokoh ich terhadap kehidupan yang dijalani oleh masyarakat dari desa Tjurup tersebut.

I.2. Masalah Penelitian

Penulis akan membahas dan meneliti bagaimana perspektif orang Jerman terhadap kehidupan masyarakat Desa Tjurup di tahun 1950-an dalam

Bio-RomanEine Ärztin im Dschungel von Sumatra karya Inge Schubart. Dalam prosesnya, penulis akan membagi tiga permasalahan yang akan dibahas yaitu:

1. Bagaimana Blickwinkel awal tokoh ich terhadap kehidupan masyarakat Desa Tjurup?

2. Bagaimana proses perubahan Blickwinkel yang terjadi dalam tokoh ich?

3. Bagaimana Blickwinkel akhir tokoh ich terhadap kehidupan masyarakat Desa Tjurup?

I.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah untuk menjelaskan perubahan pandangan orang dari jerman terhadap kehidupan masyarakat dari desa Tjurup. Perubahan pandangan akan dijelaskan melalui penelitian mengenai kejadian-kejadian yang dialami oleh tokoh ich dalam roman Eine Ärztin im Dschungel von Sumatra dan pengaruhnya terhadap cakrawala dari tokoh ich.

(16)

Universitas Indonesia

I.4. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah metode deskriptif analisis dengan pendekatan hermeneutika sastra. Melalui metode deskriptif analisis ini penulis mencoba untuk mendeskripsikan data terlebih dahulu lalu menganalisisnya. Pendekatan hermeneutika sastra diperlukan penulis untuk memahami sudut pandang tokoh ich sebagai pencerita dan okoh utama terhadap kejadian-kejadian yang terjadi di sekitarnya.

Sumber data penulisan skripsi ini di dapat dari Perpustakaan Pusat UI, Perpustakaan FIB, Perpustakaan Iqra (Masjid Ukhuwah Islamiyah), Perpustakaan Goethe Institute Jakarta, Perpustakaan Program Studi Jerman UI, koleksi buku-buku dari dosen-dosen Program Studi Jerman UI, dan teman-teman dari Program Studi Jerman UI dan IMBSJI.

I.5. Batasan Penelitian

Novel Eine Ärztin im Dschungel von Sumatra ini memiliki 24 bab. Hal ini membuat terlalu banyaknya tema yang dapat dibahas. Untuk membuat penelitian lebih spesifik dan terarah, saya hanya akan mengangkat tema tentang pengalaman dengan hal-hal gaib dan tentang tradisi Islam di dalam masyarakat Desa Tjurup. Untuk itu saya hanya akan membahas 4 bab dari novel ini yaitu:

1. Bab 6: Eine andere Art zu leben

2. Bab 11: Indonesisch-islamisches Brauchtum

3. Bab 12: Keris- und Tigergeschichten

(17)

Universitas Indonesia

I.6. Sistematika Penyajian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi skripsi ini menjadi bab:

Bab I adalah pendahuluan yang berisi tentang latar belakang, permasalahan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bagian-bagian dalam bab I ini bertujuan untuk mengantarkan pembaca ke dalam penelitian

Bab II adalah penjabaran teori-teori yang dipakai dalam penelitian ini. Teori-teori yang dipakai penulis adalah Intekulturelle Hermeneutik oleh Hans-Georg Gadamer dan beberapa teori dari kerangka teoriInterkulturelle Germanistikdi dalam buku Handbuch Interkulturelle Germanistik yaitu

Blickwinkel, Toleranz, Fremdheit dan Interkulturalität. Teori-teori tersebut akan menjadi landasan dasar dari penelitian ini.

Bab III berisi analisis data atau analisis teks. Pada bab ini penulis akan mengintepretasi sumber primer yang didapat,Bio-Roman berjudul Eine Ärztin im Dschungel von Sumatra karya Inge Schubart, menggunakan teori-teori yang ada di dalam bab II.

Bab IV adalah kesimpulan dan kritik terhadap penelitian yang penulis buat.

(18)

Landasan Teori

2.1. Roman Biografi

Roman biografi adalah penggabungan dari roman dan biografi. Genre roman ini berkembang di abad ke-20. Sebenarnya antara biografi dengan roman biografi terdapat beberapa persamaannya. Keduanya sama-sama menceritakan perjalanan hidup seorang tokoh. Tokoh yang diceritakan oleh sang pengarang bukanlah pengarang itu sendiri, melainkan orang lain. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan antara biografi dan autobiografi. Autobiografi adalah biografi seseorang yang ditulis oleh orang itu sendiri. Perbedaan yang mendasar dari biografi dan roman biografi adalah roman biografi merupakan teks narasi sedangkan biografi adalah teks eksposisi.

Ada beberapa definisi dari roman biografi. Menurut buku Metzler Literatur Lexikon: Stichwort zur Literatur1

1. Riwayat hidup seorang tokoh dalam bentuk roman dengan pengolahan bebas dari data-data sejarah biografi dan kebanyakan tujuannya untuk menekankan tokoh utama sebagai representasi dari sebuah ide (ideologi), epos, lapisan masyarakat, aliran seni dan untuk menciptakan kejelasan sejarah di waktu sekarang;

2. Bentuk roman yang di dalamnya menceritakan riwayat hidup tokoh pahlawan fiksi

Definisi lain tentang roman biografi dari buku Die Enzyklopedie. Dritter band (Bed-Brom): Bentuk karya sastra yang berasal dari biografi (riwayat hidup)

1____ . Metzler Literatur Lexikon: Stichworter zur Literatur. (Hg) Von Günther und Irmagard

(19)

Universitas Indonesia seseorang, yang membiaskan susunan penting dari riwayat hidup dan sejarah orang tersebut.2

Dari definisi-definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa roman biografi adalah sebuah roman yang menceritakan seorang tokoh kehidupan nyata yang bersumber pada biografi, pengalaman dan riwayat hidup tokoh tersebut dan ditulis dalam bentuk narasi. Bentuk penceritaannya menggunakan sudut pandang orang pertama. Seperti yang dikatakan Jochen Vogt (1996). Ia mengkategorikan roman biografi masuk ke dalam jenis roman Typen des Ich-Roman. Biographischer Roman dalam kategori tersebut memiliki ciri-ciri sebagai berikut3:

1. Pencerita Ich menceritakan kisahnya dari retrospektif waktu penceritaannya atau waktu penulisannya. Maksudnya, sang pengarang menceritakan kembali kisah atau pengalaman dari masa lalu untuk memastikan kejadian tersebut benar-benar terjadi dan dialami oleh orang yang diceritakan. Karena sang pengarang sudah mengetahui semua kejadian yang dialami tokoh utamanya, terkadang pengarang menjadikan tokoh utama tersebut menjadi tokoh yang serba tahu dalam

plotting cerita yang dibuatnya;

2. Dua lapisan penceritaan. Waktu penulisan pencerita, yang terlibat dengan pendapat dan pemikiran pribadi dan/atau pendapat politik historis dan kejadian penceritaan utama dari kehidupan tokohnya. Disini terkadang pengarang terpengaruh oleh pendapat pribadinya untuk merubah sedikit plot cerita agar menjadi lebih hidup, tanpa mengubah benang merah dari cerita tersebut;

2____. Brockhaus: Die Enzyklopedie. Dritter Band (Bed-Brom). Leipzig & Manheim: Brockhaus. 1996 3 Jochen Vogt. Grundlagen narrativer Texte, in: Grundzüge der Literaturwissenschaft, hrsg. v. Heinz

Ludwig Arnold und Heinrich Detering (Hg.), München: dtv 1996, S.287-307, diakses pada 15 Maret 2011, pukul 13.20

(20)

Universitas Indonesia 3. Degradasi jarak waktu antara plotting aktual cerita dengan waktu penulisan penulis. Maksudnya disini, roman biografi memiliki alur maju dengan waktu penceritaan dimulai dari waktu di masa lalu dan berjalan ke masa sekarang. Semakin banyak hal yang diceritakan dalam roman biografi, semakin dekat waktunya dengan masa sekarang. Dalam kasus ini muncul kombinasi dari Memoirenroman4 dan

Tagebuchroman5.

4. Pergeseran titik pandang dari masa lalu ke pengalaman masa sekarang tokoh ich;

5. Pencerita Ich, yang telah mengalami kejadian tersebut,mendapatkan peran sebagai saksi (pengamat) yang dapat muncul sebagai informan yang dapat dipercaya (pencerita ich adalah tokoh yang serba tahu); 6. Pencerita Ich berada diposisi ujung penceritaan.

Walaupun menggunakan sudut pandang orang pertama, bukan biografi tokoh ich atau sang pengarang yang diceritakan dalam roman ini. Tetapi tokoh-tokoh lain yang ada di roman tersebut. Dalam hal ini, pengarang atau tokoh-tokoh ich

hanya sebagai pencerita riwayat atau kegiatan hidup tokoh lain. Tentunya hal ini membuat sebagian orang bingung untuk membedakan roman biografi (biographischer Roman) dengan roman autobiografi (autobiographischer/Memoiren Roman). Mudahnya, untuk membedakan roman biografi dengan roman otobiografi adalah dalam roman biografi pengarang menceritakan riwayat hidup orang lain, sedangkan roman autobiografi pengarang lah yang menceritakan riwayat hidupnya sendiri.

4 Roman tentang riwayat hidup diri sendiri (autobiografi) 5

(21)

Universitas Indonesia II.2.Blickwinkel

Kata Blickwinkel adalah kosakata baru dalam kamus bahasa Jerman. Kata ini pun tidak ditemukan dalam kamus bahasa Jerman yang ditulis oleh Grimm bersaudara. Pertama kali kata Blickwinkel ini digunakan oleh Wolfgang Leonhard dalam buku Die Revolution entläßt ihre Kinder tahun 1961 dan sepuluh tahun kemudian oleh Ingeborg Bachmann dalam roman Malina. Kata ini muncul pertama kali di kamus bahasa Jerman pada tahun 19726. Makna

Blickwinkel dapat berarti sudut dan cara pandang seseorang terhadap sebuah objek yang digambarkan dalam suatu bidang. Sedangkan Winkel menurut Klappenbach, seperti yang dikutip oleh Alois Wierlacher, didefinisikan sebagai pergerakan mata, ketika pandangan beralih dari satu objek ke objek lainnya7.

“Während Klappenbach das Wort noch 1974 als Bezeichnung für einen "Winkel" definieren, um den sich das Auge dreht, wenn der Blick von einem Objekt zum andern wandert” (Wierlacher:211)

Dari definisi di atas, kita dapat melihat bahwa Blickwinkel merupakan awalan terjadinya suatu pengamatan atau pembentukan penggambaran, seperti pada alat optik.

Dari definisi ini Alois Wierlacher dan Andrea Bogner, dalam buku Interkulturelle

Germanistik, menyejajarkan kata Blickwinkel dengan kata Gesichtspunkte, Sehepunkt,

Perspektive, Blickstellung dan Sehwinkel. Wierlacher dan Bogner menyejajarkan kata-kata tersebut. Karena secara semantik kata-kata itu memang memiliki satu arti yang hampir sama yaitu sudut pandang. Namun untuk membedakan kata

Blickwinkel dengan kata-kata tersebut, maka Wierlacher membuat definisi lain yang ia tulis dalam buku Blickwinkel der Interkulturalität. Zur Standortbestimmung interkultureller Germanistik8:

6Alois Wierlacher/Georg Stötzel.Blickwinkel. Kulturelle Optik und interkulturelle

Gegenstandskonstitution. Akten des III. Internationalen Kongresses der Gesellschaft für Interkulturelle Germanistik Dusseldörf 1994. (München: iudicium Verlag. 1996). 33

7

Ibid. Hal 211

8

(22)

Universitas Indonesia Die Einführung und Festigung des Blickwinkel -Begriffs liegt in unserer

Sicht aber nicht nur im Interesse der Klärung und Ordnung unserer wissenschaftlichen Rede, sondern erscheint uns auch insofern ratsam, als der Ausdruck ‚Blickwinkel ’ in seiner Eigenschaft als Kompositum von ‚Blick’ und ‚Winkel’ sehr viel deutlicher die Verknüpfung naturaler und kulturaler Erkenntnisfaktoren zur Anschauung bringt als es die anderen genannten Wörter: AugenWinkel, Standort, Betrachtungsart, Sehweisen, Blickrichtungen, Blickfelder[...] und der viele verschieden Vorstellungsinhalte umfassende Perspektivbegriff vermögen.”

Dari definisi di atas, Blickwinkel tidak hanya memiliki arti sebagai sudut pandang atau sudut penglihatan mata seseorang dalam bidang optik saja, tetapi juga sebagai bentuk pengamatan dan penilalian terhadap budaya dan ilmu pengetahuan. Blickwinkel adalah hasil pandangan atau tafsiran individu sebagai realitas dari produk kategorisasi kebudayaan. Hal itu tentunya berbeda dengan kata-kata lain yang juga memiliki arti harfiah sudut pandang. Dalam kajian budaya, Blickwinkel berfungsi sebagai alat untuk mengintepretasi komunikasi dan pola perilaku antar budaya yang saat ini begitu luas. Blickwinkel, yang merupakan teori dan tema pokok dalam ilmu budaya, tidak diperoleh secara langsung tetapi melalui analisis kebudayaan dan dikembangkan dalam kerangka teori yang telah ditetapkan.

Sebagai perbandingan, Wierlacher kembali mengutip definisi Blickwinkel

yang lain dari Lutz Röchrich9

“Einen grossen Blickwinkel haben" heisse eine umfassende Sicht der Dinge haben, über weitreichende Kenntnisse verfügen. "Den Blickwinkel ändern" heisse seinen Standort ändern, einen Wechsel der Positionen vornehmen müssen"

Dari definisi di atas, padanan kata Blickwinkel maknanya tersamarkan ketika kita kaitkan dengan kajian interkultural. Namun Blickwinkel akan mudah dipahami dengan jalan penelitian, contohnya dalam penelitian feminisme. Walaupun memiliki korpus data yang sama, penelitian ini tentunya akan menghasilkan adanya perbedaan antara Blickwinkel laki-laki dengan Blickwinkel

9

(23)

Universitas Indonesia perempuan. Hal ini terjadi dikarenakan adanya perbedaan ideologi antara Blick

laki-laki dengan Blick perempuan. Intinya, pemahaman atau penafsiran suatu objek dari setiap pengamat akan berbeda sesuai dengan masing Blickwinkel

pengamat. Hal penting yang harus dilakukan pengamat dalam menggunakan

Blickwinkel dalam kajian interkultural adalah membedakan dan memisahkan pengaruh subjektif peneliti dengan korpus data. Oleh karena itu penting dilaksanakan penelitian dengan memanfaatkan dua sudut pandang yang berbeda. Dari dua sudut pandang yang berbeda tersebut nantinya pengamat akan mendapatkan Blickwinkel dan pengetahuan yang luas serta menghindari masuknya pengaruh yang subjektif dari pengamat tersebut. Mempunyai

Blickwinkel yang luas berarti mempunyai pengetahuan yang luas. Pengetahuan luas didapat ketika kita mengetahui sudut pandang dari budaya lain sehingga mengharuskan membuat perubahan dari suatu posisi. Maksudnya, ketika kita sudah bisa membedakan Blickwinkel tersebut, kita dapat dengan mudah memahami sudut pandang orang lain. Begitupula pemahaman Blickwinkel oleh Chladenius dikaitkan dengan pertunjukan drama atau teater10. Dalam pertunjukan, Sehepunkt (sudut pandang) tidak hanya harus melihat keadaan penonton di dalam saja, melainkan juga melihat keadaan di luar penonton.

Sehepunkt sebagai Blickwinkel membuat akses budaya dari kedua Blickwinkel

subjek individu mengacu pada ketetapan keadaan manusia kolektif yang yang kompleks, seperti mengacu pada sejarahnya, cara pandang dan bahasanya, kesehariannya, dan pengetahuannya dan pemahaman budaya yang dimilikinya. Sudut pandang dari kedua Blickwinkel satu sama lain dan oleh karena itu mencerminkan individu atau kebudayaan pluralitas dari cara pandang yang dirancang Chladenius pada pengetahuan antropologis. Ditekankan juga oleh Chladenius bahwa dalam realisasinya, Sehepunkt tidak dapat hanya menggunakan pandangan atau empat indra yang lainnya saja, namun membutuhkan semua kemampuan dan pemahaman manusia dan masyarakat seutuhnya.

10

(24)

Universitas Indonesia Pada tahun 1981, Dietrich Krusches menggunakan Blickwinkel dalam studi literatur dan kebudayaan, khususnya untuk menelaah teks sastra yang berlatar belakang perbedaan budaya. Ini adalah inovasinya bersama beberapa ilmuwan lain, seperti Willy Michel dan Horst Steinmetz yang juga menggunakan pendekatan Blickwinkel untuk menelaah teks sastra11. Krusches mengungkapkan bahwa pengalaman membaca dari pembaca dengan kebudayaan sama dengan pengarang dan pembaca dengan kebudayaan yang berbeda dapat dikombinasikan dalam sebuah teks, namun tidak secara teoritis. Konsep ini melahirkan pengetahuan yang berkaitan dengan pemahaman keilmuan dikaitkan dengan bidang-bidang lainnya dalam meneliti perbedaan kebudayaan pada teks-teks karya sastra12. Dalam telaah karya sastra yang memiliki setting budaya yang berbeda, sang penulis ditempatkan sebagai pengamat yang memiliki Blickwinkel. Dalam hal ini konsep Blickwinkel berperan sebagai pembedah masalah interkultural dalam teks sastra. Adanya perbedaan ciri karakteristik antar manusia, kebudayaan, dan etnisnya telah banyak menghasilkan karya sastra dari sudut pandang yang berbeda-beda. Komunikasi antar kebudayaan merupakan bagian penting dari interaksi antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya sebagai bagian dari pemahaman masing-masing kebudayaan. Dengan metode hermeneutik, kita melakukan pertukaran dengan disiplin ilmu yang lainnya dan bekerja sama untuk memahami terjadinya pertukaran kebudayaan yang dihubungkan dengan kepentingan penelitian antar satu dan kebudayaan lainnya. Posisi ini dikenal dengan Zwischenraum (dimensi antar ruang) yang merupakan bentuk ketiga dari penjabaran makna Blickwinkel.Istilah Blickwinkel juga merupakan salah satu konsep penting yang digunakan dalam studi literatur dan kebudayaan, khususnya dalam menalaah teks sastra yang terkait dengan latar belakang budaya yang berbeda (interkultural). Karya sastra ini mengedepankan adanya perspektif seseorang yang memiliki kebudayaan yang berbeda-beda

11Helene Griendl. Interkulturelle Germanistik: Darstellung und Kritik. (Wien. 2002). 11 12

(25)

Universitas Indonesia sehingga terasa suasana asing (dasFremde) dan sesuai dengan diri sendiri (das Eigene).

Thomas Köbner dan Gerhart Pickerodt, pada tahun 1987, melakukan penelitian terhadap karya sastra yang dibuat oleh orang Eropa tentang kehidupan masyarakat di luar Eropa. Dari penelitian tersebut, mereka melihat adanya makna yang luas dalam realitas Blickwinkel13. Mereka melihat adanya beberapa persamaan Blickwinkel yang digunakan para pengarang Eropa dalam penulisan karya sastranya yaitu dengan menggunakan Blickwinkel barat. Melalui

Blickwinkel tersebut munculah hal-hal asing (Fremde) dan hal-hal yang sesuai (Eigene). Blickwinkel sangat erat kaitannya dengan makna Eigenen dan

Fremden, seperti yang diungkapkan oleh Gotz Grossklaus dan Berd Thum, seperti yang dikutip Wierlacher dalam bukunya14, yaitu:

"sie nutzen die Wendung etwas unter eine fremden Blickwinkel sehen synonym für die >Betrachtung aus der Auβenperspektive<"

Kutipan di atas memiliki makna bahwa penglihatan Blickwinkel yang berasal dari sudut pandang Fremd serupa dengan pengamatan dari perspektif luar. Teori Blickwinkel membentuk pemahaman bahwa untuk memulai proses

Verstehen (simpati), seseorang harus bisa memahami permasalahan yang ada dari Blickwinkel orang lain. Oleh karena itu dalam menghadapi permasalahan yang muncul diantara kita dengan orang lain, yang harus dilakukan dalam pribadi kita adalah saling mengerti dan memahami objek dari beberapa sudut pandang.

Dalam buku Interkulturelle Germanistik, Alois Wierlacher mengungkapkan bahwa pengetahuan tiap orang memiliki ciri kebudayaan yang berbeda sebagai faktor untuk memahami Blickwinkel. Konsep ini menjadi dasar

13Ibid. Hal 213

(26)

Universitas Indonesia adanya perbandingan antara das Fremde dengan das Eigene yang mencerminkan adanya perbedaan cara pandang masing-masing individu dalam masyarakat15. Dalam Blickwinkel terdapat dua sisi yang merepresentasikan das Fremde dan das Eigene yang menjadi identitas pribadi maupun kolektif. Tidak mudah untuk menentukan das Fremde dan das Eigene suatu kebudayaan, oleh sebab itu untuk mengangkat pokok ilmu kebudayaan yang terkait perlu berdasarkan pengembangan proses pemahaman dan permasalahan keterasingan dengan teori dasar Blickwinkel.

Blickwinkel berperan sebagai jembatan antara Fremde dan Eigene. Maksudnya, Blickwinkel memiliki peran untuk dapat merepresentasikan dua sisi yaitu Fremde dan Eigene, khususnya dalam telaah teks sastra. Sebuah sudut pandang (Blickwinkel) terbentuk dari dua sisi, garis atau gradien, yang bertemu pada satu titik, seperti dalam ilmu matematika. Dua sisi ini melambangkan representasi Fremden dan Eigenen. Sebuah penelitian dapat dikaitkan dengan satu atau beberapa disiplin ilmu yang berbeda untuk menghasilkan dasar pernyataan kolektif ataupun individual yang mempunyai kaitan yang sama dalam proses pengertian das Eigene dan Das Fremde. Konsep Winkel, yang membangun kedua sisi, adalah sebagai sudut pengikat sebuah ketertarikan resiprok untuk mendefinisikan kedua sisi yang saling berkaitan, dalam hal ini sisi-sisi tersebut adalah das Fremde dan das Eigene.

Konsep dasar dari Blickwinkel sesuai dengan pemahaman kajian ilmu Germanistik Interkultural sebagai sebuah kajian antropologi kebudayaan yang komparatif. Konsep ini berharmonisasi dengan wawasan sejarah. Konsep ini muncul seiring dengan adanya pertukaran budaya yang selalu berulang, sehingga konsep ini dapat berkembang di masa yang akan datang sebagai fungsi dari sejarah budaya. Harmonisasi makna Blickwinkel dan pengetahuan dengan perbandingan antara pengetahuan diri dan pengetahuan yang ada di masyarakat

15 Ibid.

(27)

Universitas Indonesia pada dasarnya merupakan wujud dari perkembangan pemahaman kehidupan karena kebudayaan selalu berkembang dengan adanya percampuran dan pertukaran antar satu dan kebudayaan lainnya.

Kebudayaan, pandangan, dan mental suatu masyarakat tidak dapat dihubungkan karena satu sama lain saling membatasi. Variasi konsep mengenai Blickwinkel terjadi pula dikarenakan perbedaan pengalaman kebudayaan sebagai pembeda pencetakan kebudayaan dan pengetahuan satu sama lain menghubungkan bahwa pada akhir abad ke-20 kita hidup dalam kebudayaan yang kompleks dan beberapa di antaranya memperlihatkan memperlihatkan internasionalitasnya. Pernyataan ini memunculkan fungsinya dalam rekontruksi dalam mengeluarkan pertanyaan yang sama mengenai pertukaran perbandingan dari pertemuan kebudayaan.

Pengertian yang kedua dari Blickwinkel terletak pada penglihatan dari teori Sehepunkt yang secara historis dan hermeneutik oleh Chladenius telah dipakai 200 tahun lamanya. Teori ini merupakan landasan penting dari penggambaran konsep point-of-view terdahulu yang ditawarkan dengan pemikiran hermeneutik. Oleh Chaldenius ditekankan bahwa dalam esensinya,

Sehepunkt tidak dapat hanya menggunakan pandangan atau empat indra yang lainnya saja, namun membutuhkan semua kemampuan dan pemahaman manusia dan masyarakat seutuhnya.

Sehepunkt adalah pangkal kebudayaan dari dua garis Blickwinkel. Makna

Blickwinkel mengandung titik tolak teori Sehepunkt ini dan kedua faktor individu dan kolektif dari hasil antropologi kompleks manusia: sejarahnya, pemikirannya dan bahasanya, pengetahuan dan sejarah kulturalnya. Untuk menghasilkan

Blickwinkel sebagai titik pandang yang lengkap, seseorang harus memasukan semua faktor dalam masyarakat yang mendukung untuk melihat dengan pandangan yang luas dari satu titik bertupu seorang peneliti.

(28)

Universitas Indonesia

II.3.Toleransi

Dalam interaksi manusia sehari-hari, kita akan bertemu dengan banyak individu yang berbeda satu sama lain, baik dari segi pemikiran maupun tindakan. Perbedaan ini terjadi dikarenakan tiap individu memiliki latar belakang kebudayaan dan ideologi yang berbeda. Dalam interaksi kepada individu lain, kita tentunya ingin pendapatnya didengar dan diterima oleh orang lain. Namun, tidak bisa memaksakan pendapat kita kepada orang lain. Kita juga tidak bisa menganggap pendapat orang lain salah. Hal ini dikarenakan perbedaan tadi. Namun, ada sikap bijak yang dapat membuat perbedaan tersebut menjadi lebih bermakna. Sikap tersebut adalah sikap toleransi. Toleransi berasal dari bahasa latin tolerare yang artinya menahan diri, bersikap sabar, berhati lapang, dan membiarkan orang berpendapat lain. Namun dalam prakteknya, toleransi bukan berarti membiarkan orang lain berpendapat atau mengerjakan apa yang sedang ia kerjakan. Tetapi lebih memberi rasa hormat terhadap pekerjaan dan pendapat orang lain. Sunderemeier dalam artikelnya yang berjudul Toleranz als Begegnungsmodell im Rahmen einer praxisorientierten interkulturellen Hermeneutik mendefinisikan toleransi:

Toleranz benennt kein absolutes Verhalten, sondern definiert die Orientirung am anderen, am Fremden und das Verhalten ihm

gegenüber.16

Dari defenisi Sundermeier ini, kita dapat menyimpulkan bahwa toleransi itu bukanlah suatu sikap yang sifatnya mutlak, melainkan toleransi itu adalah suatu sikap yang bijak dalam memberi batasan. Baik itu terhadap orang lain, orang asing maupun sikap yang berseberangan dengannya. Memberi batasan disini bukan berarti kita selalu menolak terhadap sikap dan pendapat dari orang lain. yang ditekankan dari definisi toleransi dari Sundemeier ini adalah memberikan rasa hormat terhadap pendapat dan sikap orang lain. Dengan rasa

16Theo Sundemeier. Toleranz als Begegnungsmodell im Rahmen einer praxisorientierten

interkulturellen Hermeneutik. Dalam Alois Wierlacher/Wolf D. Otto. Toleranztheorie in Deutschland (1949-1999)Eine authologische Dokumentation. Tübingen: Stauffenberg Verlag. 2002. Hlm 453

(29)

Universitas Indonesia hormat tersebut, individu dapat lebih memahami dan menerima pendapat dan sikap orang lain. hal ini sejalan dengan definisi lain toleransi yang dikemukakan oleh Karl Jaspers:

Definiert man mit Karl Jaspers “das Erstnehmen des Fremden, das

Hinhören und Sichangehenlassen” als Toleranz.17

Dari definisi di atas, Karl Jaspers lebih menspesifikan bahwa sikap bijak toleransi adalah menerima (menganggapi dengan sangat penting), mendengarkan dan menghadapi orang lain. Pentingnya toleransi dalam kehidupan di era global ini juga disadari oleh salah satu organisasi antar negara terbesar di dunia, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Melalui salah satu anak organisasinya, UNESCO (United Nation for Education, Science, and Culture Organisation), PBB menyelenggarakan rapat pada tahun 1995 di Paris, Perancis. Dalam rapat tersebut salah satunya dibahas tentang deklarasi prinsip-prinsip toleransi antar negara. Ada empat prinsip-prinsip toleransi yang berhasil dirumuskan dalam rapat tersebut18: Pertama, toleransi adalah sikap hormat, penerimaan dan menghargai adanya kekayaan dan keragaman budaya di atas muka bumi, sebagai bentuk ekspresi dan jalan hidup umat manusia. Hal ini didorong dengan pengetahuan, keterbukaan, komunikasi dan kebebasan berpikir, hati nurani dan keyakinan. Toleransi adalah selaras dalam perbedaan. Toleransi tidak hanya menjadi kewajiban moral, tetapi juga persyaratan politik dan hukum. Toleransi, kebajikan yang membuat perdamaian menjadi mungkin, memberikan kontribusi dalam penggantian budaya perang menjadi budaya perdamaian. Kedua, toleransi adalah tidak ada konsesi, perendahan atau kelonggaran. Toleransi adalah sikap aktif yang ditunjukan dengan pengakuan hak asasi manusia yang universal dan kebebasan fundamental orang lain. dalam hal ini tidak dapat digunakan untuk membenarkan pelanggaran nilai-nilai

17Alois Wierlacher. Toleranz. Alois Wierlacher, Andrea Bogner. Handbunch Interkulturelle

Germanistik. Germany: J.B Metzler.2003. Hlm 317.

18Record of General Conference of United Nations for Science, Education and Culture Organisation. Paris. 1995

(30)

Universitas Indonesia fundamental. Toleransi harus dilaksanakan oleh individu, kelompok dan negara. Ketiga, toleransi adalah tanggung jawab untuk menjunjung tinggi hak asasi manusia, pluralisme (termasuk budaya pluralisme), demokrasi dan supremasi hukum. Ini dengan melibatkan penolakan terhadap dogmatisasi dan absolutisme dan menegaskan standar yang ditetapkan dalam instrumen internasional hak asasi manusia. Terakhir, toleransi adalah konsistensi dengan menghormati hak asasi orang lain, praktek dari toleransi bukan berarti toleransi terhadap ketidakadilan atau penolakan atau melemahkan keyakinan orang lain.

Menurut Sundemeier, ada tiga latar belakang yang menyebabkan adanya perbedaan dan batasan pendapat dan sikap tiap individu yaitu kultur, hukum dan agama:

Die Grenzen des Landes bestimmten auch die Grenzen der

Gültigkeit der Kultur, des Rechtes und Religion19

Dari pernyataan Sundermeier, terlihat jelas bahwa sebuah kultur, hukum dan agama tidaklah bersifat universal dan luas. Hal ini dikarena mereka hanya berlaku di ruang tertentu saja. Mereka tidak dapat melampaui suatu garis batas karena mereka akan luruh dan tidak berlaku lagi jika mereka sudah berada di luar garis batas tersebut. Garis batas tersebut adalah garis abstrak yang terbentuk dengan adanya perbedaan kultur, hukum dan agama tersebut. Jadi, garis batas suatu daerah sangat menetukan keabsahan suatu budaya, hukum dan agama. Berpijak pada pernyataan Sundermeier di atas, muncul pertanyaan bagaimana dengan keabsahan budaya jika seseorang dari wilayah tertentu bertemu dengan orang lain yang berada di luar garis batas wilayahnya.

Di sinilah peran toleransi sangat dibutuhkan karena tidak mungkin seseorang memaksakan kulturnya kepada orang lain yang berada di luar garis batas wilayahnya. Sundermeier menjelaskan:

19

(31)

Universitas Indonesia Toleranz hebt die Fremdheit des anderen nicht auf, sondern

respektiert die Grenze zwischen den sich begegnenden20.

Maksudnya bahwa toleransi itu tidak menonjolkan (menghapus) keterasingan terhadap yang lain, tetapi menghormati batas pertemuan dengan orang lain tersebut. Seseorang yang berasal dari suatu wilayah, pasti memiliki identitas budaya yang berbeda dengan orang yang berasal dari wilayah lain. Perbedaan identitas itu baru akan dirasakannya ketika dia bertemu dengan orang yang berasal dari wilayah lain. Dalam situasi seperti ini, muncullah istilah

Identität dan Fremdheit. Identität adalah jati diri yang dimilikinya, sedangkan

Fremdheit adalah jati diri yang asing bagi diri seseorang. Kesadaran akan

Identität ini membangun sebuah Trenlinieatau garis pemisah dengan Fremdheit. Situasi ini dapat diibaratkan ketika kita memisahkan sebuah ruangan dengan tembok sehingga ruangan itu menjadi dua bagian. Bagian luar dari dinding yang satu akan menjadi bagian dalam dari dinding ruangan yang lainnya, begitu juga sebaliknya21. Dengan adanya Trenlinie, bukan berarti ruangan yang satu dapat membuang sampah dengan seenaknya ke bagian luarnya karena bagian luarnya itu adalah bagian dalam bagi ruangan yang lainnya. Begitu juga dengan

Identität dan Fremdheit. Identitas kita akan menjadi Fremdheit bagi orang lain dan begitu juga sebaliknya, Jadi di sini diperlukan toleransi untuk menyikapi keduanya.

Untuk mewujudkan toleransi tersebut, Sundermeier mengatakan bahwa kita harus memenuhi dua syarat. Syarat yang pertama adalah

Wahrnehmung in Distanz22. Maksudnya kita dituntut untuk memperhatikan batas yang memisahkan kita dengan orang lain. Dalam mewujudkan toleransi bukan berarti kita harus menghilangkan batas antara kita dengan orang lain karena dengan menghilangkan batas, berarti kita telah menghilangkan identitas kita dan orang yang bersangkutan. Batas antara kita dengan orang lain sifatnya

20Ibid Hlm 457 21Ibid Hlm 456 22

(32)

Universitas Indonesia tidak kaku, tetapi dapat bergerak dan fleksibel sehingga memungkinkan terjadinya ein osmotischer Austausch dan saling memberi pengaruh. Ein osmotischer Austausch maksudnya terjadinya perpindahan atau pertukaran melalui dinding batas yang sifatnya fleksibel, tetapi tidak semuanya dapat menembus batas yang fleksibel itu karena batasan itu sifatnya selektif.

Syarat kedua menurut Sundermeier yang harus dipenuhi untuk mewujudkan toleransi adalah Respekt23. Dengan Respekt, seseorang tidak hanya mampu menghargai sesuatu yang luar biasa pada orang lain, tetapi juga menghargai sesuatu yang tidak bagus pada orang lain. Bahkan dengan Respekt, seseorang berusaha mencari keindahan dari sesuatu yang tidak bagus pada orang lain24. Jika seseorang Respekt, dia akan mampu untuk menghargai sehingga dia tidak akan terburu-buru mencari keselarasan dan keseimbangan antara Identität dengan Fremdheit, tetapi dia akan terlebih dahulu menahan perselisihan dan perbedaan yang terjadi diantara keduanya. Singkatnya, Respekt

bukan gegeneinander (mempertentangkan satu sama lain), tetapi miteinander

(bersama-sama atau selaras satu sama lain). Perubahan dari gegeneinander ke

miteinander ini merupakan sebuah pertanda berhasilnya sebuah praktek toleransi antar budaya.

Dua syarat di atas juga menjadi syarat mutlak salah satu konsep toleransi. Konsep itu disebut toleransi aktif. Berbagai disiplin kajian ilmu budaya, sosiologi politik, ilmu sejarah dan teologi memunculkan hasil yang memformulasikan makna dari toleransi aktif. Toleransi dimaknai sebagai sebuah figur perdamaian, sebagai prinsip dasar konstitusi negara yang modern, sebagai kategori dari efisiensi ekonomis, sebagai kategori komunikasi dan perceptual, sebagai ktitik terhadap stereotip, sebagai orientasi nilai dan tujuan

23Ibid Hlm 457 24

(33)

Universitas Indonesia pendidikan, dan sebagai syarat mutlak dari dasar komunikasi25. Komunikasi tidak hanya mengabarkan dunia, tetapi juga berbagi dengan dunia. Dalam situasi khusus dari komunikasi ilmu pengetahuan menjadi jelas bahwa toleransi adalah sebuah kompetensi sosial. Menurut Hanns Lilje (1956), toleransi tidak dapat dipraktekan selain jika ada tindakan aktif dan positif dari individu. Toleransi tidak akan terjadi tanpa adanya pengertian atau simpati, dan simpati tidak akan muncul jika kita tidak ada usaha dari individu untuk bersimpati dengan orang lain26. Dari konsep toleransi aktif yang dikemukanan oleh Lilje terlihat jelas bahwa simpati menjadi salah satu pemicu terjadinya sikap toleransi. Senada dengan pernyataan Lilje, Mitscherlich mendefinisikan toleransi sebagai sebuah sikap yang bertujuan untuk bersimpati dengan orang lain secara lebih baik.

Untuk lebih memahami makna dari toleransi aktif, Sundemeier menganalogikan konsep ini dengan kisah dua pemuda yang sedang berlatih badminton27. Pemuda pertama adalah seorang yang biasa bermain badminton, ia menguasai teknik-teknik permainan badminton. Pemuda yang satunya lagi adalah pemain pemula. Di awal-awal permainan, permainan tidak begitu indah dilihat. Pemuda yang mahir selalu melakukan smash dan tidak dapat dikembalikan oleh pemain pemula. Hal ini juga membuat pemain pemula menjadi kesal karena tidak diberi kesempatan. Namun, lama-kelamaan pemuda yang sudah mahir ini menyadari bahwa permainan dari pemula ini tidak akan berkembang jika ia terus memberikan smash kepada pemain pemula. Akhirnya, ia menurunkan level permainannya dengan memberikan bola-bola yang mudah dikembalikan sehingga permainan dapat diimbangi dan dinikmati oleh pemain pemula.

25Alois Wierlacher. Toleranz. Dalam Alois Wierlacher, Andrea Bogner. Handbunch Interkulturelle

Germanistik. Germany (J.B Metzler: 2003). 322

26 Hanns Lilje. Toleranz in der europäischen Welt. München 1956. Hlm 67 27

(34)

Universitas Indonesia Dari contoh di atas kita dapat melihat sikap toleransi ditunjukan oleh pemuda yang sudah mahir bermain badminton. Toleransi memang muncul ketika orang mulai sadar adanya perbedaan dengan orang lain. Namun toleransi tidak akan muncul jika orang tersebut tidak berusaha untuk memahami dan bersimpati terhadap orang tersebut. Dari contoh di atas pula, kita dapat mengetahui bahwa manfaat toleransi tidak hanya dirasakan oleh orang yang menggunakannya. Tetapi toleransi juga dapat memberikan manfaat dua orang tersebut untuk belajar memahami sesuatu.

Agama merupakan urusan pribadi masing-masing dan hanya bertanggung jawab terhadap keyakinannya sendiri dan pada akhirnya keyakinan beragama dilakukan dengan kebenaran dan tindakan ritual dan etis yang kemudian harus dipisahkan dari sikap sosial. Pertimbangan ini hampir sama dengan konsep toleransi kedua, toleransi dan intoleransi dalam agama. Sundemeier membagi 2 kategori agama yang ada di dunia yaitu agama primer dan agama sekunder28.

Agama primer pada umumnya tanpa penyebaran. Maksudnya, dalam prakteknya agama primer berkembang bukan karena pemeluk agamanya melakukan kegiatan misionaris. Agama ini berkembang hanya di suatu wilayah. Walaupun penduduk tersebut keluar dari wilayahnya, ia tidak akan menyebarkan agama yang ia bawa dari asalnya. Agama ini biasanya berkembang di kelompok masyarakat kecil (suku) di pedalaman. Di dalam suku tersebut agama primer tidak memiliki ajaran agama yang terstruktur, namun hanya ada ritual dan bentuk etnik, yang tidak memberikan perbedaan ajaran29. Meskipun demikian, para pemeluknya tidak mempertanyakan kebenaran dari agama tersebut. Hal ini dikarenakan, ajaran agama primer telah menyatu dengan pokok kehidupan30. Para pengikutnya oun sangat memperhatikan etika. Perilaku yang menyimpang dari agama ini akan diberikan sanksi yang keras dan tidak ditoleransi. Keterbukaan, yang dalam konteks ini berbicara tentang kebebasan,

28Ibid. Hlm 453 29Ibid. Hlm 454 30

(35)

Universitas Indonesia dalam agama ini, toleransi terhadap kondisi diluar agama dan intoleran terhadap penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di dalam adalah sebuah segitiga, yang di dalamnya perbandingan dari toleransi dan intoleransi terbingkai31

Dalam agama di seluruh dunia, agama primer berbeda dengan agama sekunder. Mereka memiliki ajaran terstrujtur yang membedakannya dengan agama lainnya dan menuntut pengakuan universal. Oleh karena itu, muncul misionaris, yang mereka gunakan unguk menyebarkan agama tersebut. Agama lain dianggap sebagai agama yang salah. Zarathustra adalah agama pertama yang memperkenalkan adanya “kebenaran“ dan “dusta” dalam penilainan agama32. Penilaian dualisme ini kurang lebih menjadi ciri khas yang tajam dari agama sekunder. Jika mengacu pada kebenaran atau kebohongan, maka tidak ada penyimpangan yang diberikan dari doktrin agama sekunder. Oleh karena itu, agama sekunder memandang sebuah doktrin sebagai sikap intoleransi. Maksudnya doktrin adalah sesuatu yang tidak dapat diganggu gugat oleh para pengikut agama sekunder. Selama keberagaman pengikut dalam agama sekunder tidak mengancam ajarannya, agama dapat menerima toleransi dari dalam. Jika keanekaragaman menjadi berlebihan dan membahayakan kesatuan, maka timbullah intoleransi dari dalam yang dibawa dari wilayah etis dan ritual dari awal.

Dalam proses penyebaran agama ini ditemukan sebuah adaptasi teologi yang berbicara tentang inkulturasi – sebuah pertukaran yang intensif antara agama baru dan budaya palsu. Setiap agama sekunder mengarah ke agama masyarakat yang untuk kemudian segala religius, etik, dan budaya meresap kedalamnya. Toleransi kemudian muncul dari dalam maupun dari luar.

Semakin berkembang besar suatu kekuasaan dan semakin jelas, religius, dan agung suatu wilayah, maka semakin kecil sikap toleransi di antara mereka, yang kemudian membahayakan sistem politik negara itu.

31Ibid. Hlm 454 32

(36)

Universitas Indonesia Jika agama menjadi pusat dari kehidupan seorang keluarga, misalnya keluarga yang pietis dan kalvinis atau muslim, kita mengenal contoh toleransi dari agama sekunder. Disini tidak penyimpangan sikap etis yang tidak diterima, tetapi juga sama halnya dengan sikap tidak peduli agama dan penggantian agama. Wierlacher menyebut hal itu sebagai intoleransi yang fundamental. Tapi itu juga menjadi labelling yang perlu dipikirkan Pada masa reformasi terdapat keabsahan agama yang hilang di daerah perbatasan dan pada abad pencerahan, agama bukan lagi mengenai kebenaran atau kebohongan, melainkan diukur dari etika seseorang.

II.4.Fremdheit

Awal pemaknaan Fremdheit (Keterasingan) memberikan dorongan terhadap perluasan perpsektif intercultural dalam penelitian germanistik dan praktek pengajaran bahasa asing. Fremdheit berasal dari akar kata Fremd yang memiliki arti, dalam bahasa Indonesia, asing. Dalam bahasa Inggris, kata Fremd

memiliki arti foreign, strange, alien, dan other33. Dalam bahasa Perancis, kata

étranger memiliki jangakauan yang luas dari kata fremd dan tidak mengangkat semua aspek makna yang berbeda. Meskipun demikian itu meberikan satu perbedaan semantik daripada persamaan yang dangkal34. Tidak jauh berbeda, makna dari lexem fremd jika mengacu pada dua bahasa kuno, bahasa Yunani dan Latin. Dalam bahasa Yunani terdapat kata xenos yang memiliki arti fremd. Sedangkan dalam bahasa Latin terdapat kata alienus yang juga memiliki arti

fremd. Kamus eka bahasa jerman, makna fremd memiliki makna35:

1. Sebuah daerah berbeda (asing), masyarakat berbeda (asing), tempat berbeda (asing), sebuah wilayah yang asing (asing), negara berbeda (asing), keluarga berbeda (asing), berasal dari daerah yang berbeda (asing), dari masyarakat yang berbeda (asing), dari tempat yang

33 Keempat kata tersebut jika diartikan dalam bahasa Indonesia juga memiliki makna asing dan aneh 34 Corrina Albrecht. Fremdheit. Dalam Alois Wierlacher dan Andrea Bogner. Handbuch

interkulturelle Germanistik. 2003. Verlag J.B. Metzler. Hlm 35

(37)

Universitas Indonesia berbeda (asing), dari wilayah berbeda (asing), dari keturunan yang berbeda (asing);

2. Milik orang lain, hal yang berbeda tentang orang lain (asing);

3. Tidak dikenal, tidak dipercaya, tidak terkenal, tidak percaya, tidak biasa, bersifat beda (asing), baru, asing;

4. Tidak cocok dengan sesuatu atau seseorang, berbeda, bersifat asing, ganjil.

Dari makna-makna di atas, kita dapat melihat bahwa dua makna yang pertama menjelaskan tentang perbandingan kepemilikan. Dari makna ini, kita dapat formulasikan bahwa Fremd adalah sesuatu yang dimiliki oleh orang lain, yang dalam hal ini dapat berarti identitas atau karakteristik suatu bangsa. Makna yang ketiga menekankan pada sifat kognisi atau penerimaan. Dari makna ini,

Fremd adalah sesuatu yang berasal dari bersifat asing dan berlaku sebagai hal yang asing. Disini das Fremd muncul sebagai tampak sebagai sesuatu yang ganjil. Sedangkan makna yang keempat memberikan deviasi dari sebuah situasi normal atau hal-hal yang bersifat biasa. Semua makna tentang fremd sedikit banyak mengandung makna negasi36. Hal ini muncul secara eksplisit melalui kata nicht (tidak) atau kata ander (beda). Sebagai kata yang mengandung negasi,

fremd menunjukan adanya pembatas dan ekslusifitas pada konstruksi dari suatu identitas kelompok.

Gambaran struktur untuk sebuah gambaran dialektik antara das Fremde

dan das Eigene adalah hubungan antara identitas dan alteritas. Das Fremde dan

das Eigene mendasari hubungan yang saling timbal balik. Contohnya ketika kita mengintepretasi seseorang, sebuah benda atau suatu situasi sebagai sesuatu yang asing (fremd), hal ini selalu didasari pada kesesuaian (Eigene) diri kita. Oleh karena itu, das Fremde dalam hal ini cakupannya sangat luas. Wolfram Hogrebe berpendapat bahwa das Fremde dapat dibedakan menjadi dua, yaitu das Fremde

36

(38)

Universitas Indonesia yang dekat dengan kita dan das Fremde yang jauh dari kita37. Das Fremde yang dekat dengan kita adalah keasingan atau keanehan yang muncul dari dalam diri kita. Biasanya das Fremde ini didapatkan karena adanya hal-hal yang tidak mengenakan, tidak dikenal dan tidak diketahui dari diri kita, contohnya rasa takut yang mencekam. Sedangkan das Fremde yang jauh dari kita adalah keasingan atau keanehan yang berasal dari orang lain. Keanehan ini muncul dikarenkan adanya perbedaan latar belakang budaya antara kita dengan orang lain.

Otto Friedrich Bollnow mengungkapkan bahwa Fremdheit (keasingan) yang dihadapi seseorang adalah sesuatu yang tidak diketahui atau tidak dikenal orang tersebut. Biasanya keasingan muncul karena adanya perbedaan budaya dan bahasa. Akan tetapi keasingan ini akan membangkitkan rasa ingin tahu orang tersebut. Menurut Bollnow, setiap orang yang dihadapkan dengan suatu keasingan biasanya akan membuat orang tersebut akan mempunyai keinginan untuk melihat, mengetahui dan mengalami lebih banyak terhadap keasingan tersebut38.

II.5.Hermeneutik Interkultural

Untuk memahami latar belakang budaya Eigene dan Fremde suatu masyarakat, maka kita dapat menggunakan hermeneutik interkultural sebagai bentuk dari proses interpretasi budaya lain. Hermenutik secara umum dapat diartikan sebagai sebuah metode intepretasi. Metode ini, metode hermeneutik yang membahas dialektik das Fremde dan das Eigene, hingga saat ini masih terus berkembang. Metode ini berkembang karena metode ini memasukan unsur kebudayaan sebagai alat intepretasi. Salah satu tokoh yang menjadi ahli hermeneutik dan pemikirannya menjadi dasar di bidang ini adalah Hans Georg

37

Wolfram Hogrebe. Die Epistemische Bedeutung des Fremden. Dalam Alois Wierlacher dan Corrina Albrecht. Fremdgänge. Eine anthologische Fremdheitslehre für den Unterricht Deutsch als

Fremdsprache. Bonn: Inter Nationes. 1995. Hlm 103-105

38 Otto Friedrich Bollnow. Das Verstehen des Fremden. Dalam Wierlacher. Das Fremde und Das

(39)

Universitas Indonesia Gadamer. Menurut Gadamer kegiatan intepretasi pada dasarnya adalah kegiatan untuk memahami “sisi lain” (das Fremde)39.

Gadamer menjelaskan bahwa hermeneutik bukanlah sebuah metode atau cara, melainkan sebuah seni yang dipergunakan dalam ilmu humaniora (Geisteswissenschaft). Gadamer menegaskan bahwa pengalaman pada sebuah karya sastra menggambarkan cakrawala subjekt interpretasi, baik yang dimiliki seniman ataupun oleh penikmat seni dengan metode dialektika40. Intepretasi dapat dikatakan sebagai suatu proses untuk memahami. Namun Gadamer berpendapat bahwa memahami tidak selalu mengerti dengan baik. Pemahaman setiap individu berbeda-beda. Ini dikarenakan adanya perbedaan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki individu tersebut. Pengalaman dan pengetahuan tersebut akan membentuk sebuah cakrawala. Cakrawala adalah pandangan yang mencangkup dan merangkum segala hal yang terlihat dari suatu titik pandang (sudut pandang).

Menurut Gadamer, dalam hermeneutik yang mengacu pada proses memahami, terdapat sebuah istilah yang disebut dengan lingkaran hermeneutik41. Lingkaran ini akan dipahami sebagai lingkaran ontologis. Menurut Gadamer lingkaran ontologis adalah, jika kita mencoba untuk mengintepretasi sebuah teks, maka akan terjadi proses pemaknaan yang terus menerus. Artinya, ketika seorang intepretan mengeluarkan makna dari teks, maka ia akan kembali merujuk makna tersebut pada keseluruhan teks tersebut. Proses ini juga disebut dengan dialektika. Dengan adanya proses ini, seseorang akan terus menelaah teks secara lebih lanjut hingga ia benar-benar memahami teks tersebut.

39

Alois Wierlacher, Georg Stötzel. Blickwinkel. Kulturelle Optik und interkulturelle

Gegenstandskonstitution. Akten des III. Internationalen Kongresses der Gesellschaft für Interkulturelle Germanistik Dusseldörf 1994. München: iudicium Verlag. 1996. Hal 28

40

Richard Palmer. Hermeneutics: Interpretation Theory in Schleirmacher, Dhitley, Heidegger, and Gadamer.Evansten ( Northewstern University: 1969) hal 194

41

(40)

Universitas Indonesia Analisis Gadamer yang mendasari hermeneutik interkultural sangat berhubungan dengan analisis kritis tentang bahasa, kesadaran historis, dan pengalaman estetis. Pengetahuan historis hanya akan didapat melalui gagasan personal dan nilai terhadap subjek yang bersifat membuka wawasan. Pengetahuan historis memegang peranan penting dalam kegiatan intepretasi. Hal ini dikarenakan pengetahuan historis intepretan yang menjadi pegangan. Konsep ini digunakan Alois Wierlacher dan Dietrich Krusche yang mengembangkan teori hermeneutic intercultural yang lebih menitikberatkan telaah teks-teks yang memiliki jarak kebudayaan antara intepretan dengan teks. Dari hermeneutik intercultural inilah metode intepretasi das Fremde dan das Eigene yang berlandaskan pada pertemuan kebudayaan yang berbeda berkembang.

Metode hermeneutik interkultural mengenai teks asing sebenarnya sudah dijadikan cabang ilmu germanistik intercultural (interkulturelle Germanistik) oleh Wierlacher. Wierlacher adalah orang pertama yang mengungkap permasalahan tentang bagaimana seorang pembaca dapat membaca dan memahami teks asing. Untuk hal itu, seorang pembaca harus mempelajari bahasa asing ketika harus berhadapan dengan teks asing. Tidak hanya itu, orang tersebut harus mengerti isi (budaya) dari teks asing tersebut.

Proses memahami teks asing berbeda dengan proses pemahaman teks dalam bahasa sendiri karena pembaca dihadapkan pada dua keterasingan yaitu bahasa dan budaya. Dua hal tersebut bahkan dapat menjadi penghambat seseorang yang sedang mempelajari bahasa asing untuk membaca dan memahami teks dari bahasa asing tersebut. Jarak kebudayaan menjadikan pembaca harus siap dengan adanya culture shock dengan adanya perbedaan budaya dengan budaya asing. Dalam hal ini, hermeneutic Gadamer berperan besar. Menurut Gadamer dalam proses pemahaman akan dikatakan cukup bila seseorang sudah mengerti teks secara berbeda. Dalam proses memahami sesuatu yang asing, terdapat unsur memahami diri sendiri (sich verstehen).

(41)

Universitas Indonesia Jadi, jelas mengintepretasi sebuah teks juga berarti memahami cakrawala makna dalam penalaran teks. Kesadaran pembaca terhadap cakrawala teks merupakan pendekatan cakrawala seseorang atas teks. Dalam menafsirkan sebuah teks, seseorang tidak akan meninggalkan cakrawalanya. Bahkan penafsiran teks tersebut akan meluaskan cakrawalanya dengan pengetahuan yang berasal dari teks tersebut. Proses intepretasi juga harus dilakukan dengan melakukan pendekatan dialektik terhadap teks tersebut. Proses dialektika tersebut akan berjalan lancar juka didukung dengan adanya kesadaran pemahaman bahasa teks. Bahasa adalah fenomena menyeluruh, sebagaimana penggunaannya dalam pemahaman. Dalam proses menafsirkan, bahasa adalah sebuah mediasi, bukanlah sebuah alat. Gadamer menyimpulkan bahwa tanpa memahami bahasa teks, kita tidak dapat memahami teks secara keseluruhan.

Dengan demikian bahasa menjadi sangat penting jika dikaitkan dengan hermeneutik. Karena bahasa bertindak sebagai penghubung komunikasi antara hal asing (Fremd) dan milik diri (Eigene). Dialektika anatara pembaca dan teks akan melahirkan pertanyaan dan jawaban yang membuat terjadinya peleburan cakrawala dalam diri pembaca (Horizonsverschmelzung). Ketika seseorang dihadapkan dengan cakrawala teks dalam hal memberikan masukan terhadap cakrawala seseorang dan melahirkan pemahaman diri, maka hal tersebut menjadi suatu momen yang bersifat ontologis. Ontologis merupakan ilmu yang dimaknai sebagai teori tentang wujud dalam perspektif42.

Konsep seperti ini akan memperluas cakrawala dengan pengalaman hermeneutis. Konsep hermeneutis dialektik ini dinilai sebagai bentuk peleburan cakrawala. Dengan adanya peleburan cakrawala diharapkan akan merubah sesuatu yang tadinya asing (Fremd) menjadi sesuatu yang sesuai dari (Eigene)

dalam teks. Media bahasa, yang menjadi syarat dari peleburan cakrawala, akan memunculkan Fremdverstehen (pemahaman asing).

42

Referensi

Dokumen terkait

Kelompok kerja Bagian Layanan Pengadaan Barang Jasa, telah melaksanakan tahapan Pemberian Penjelasan (Aanwijzing) Dokumen Pengadaan dengan metode tanya jawab secara elektronik

While the context forces organisations to compete for limited resources, we know tha t ef ective, sustainable social change processes require innovative collaboration among the

28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dimana Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan dan Retribusi Pemakaman merupakan retribusi daerah yang

Hasil wawancara awal yang dilakukan pada 7 karyawan Melasti Beach Hotel, Kuta-Bali mendapatkan hasil bahwa adanya indikasi permasalahan yang berkaitan dengan

Hasil penelitian yang dilaksanakan pada ekosistem pegunungan di Desa Rejeki Kecamatan Palolo Kabupaten Sigi tahun 2014, ditemukan tujuh spesies nyamuk Anopheles dan

Berdasarkan hasil penelitian dapatlah peneliti uraikan bahwa peranan komunikasi keluarga dalam mengatasi kenakalan remaja dilihat dari motif orangtua berkomunikasi dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kemampuan berpikir kreatif matematis pada aspek fluency dalam menyelesaikan soal open ended Persamaan Linear Satu

Harapan terbesar dari masyarakat Desa Teluk Mesjid terkait dengan pengembangan daerah wisata Air 1 Terjun Seratak menunjukkan 67% untuk perbaikan dan penambahan